Nama kelompok 2 :
Sefri Tania salsabilah 1721110042
Maratus
Serli
Aji
Genio
Kelas : 2b
2019
KATA PENGATAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah perkembangan peserta didik dengan
judul “PERKEMBANGAN AFEKTIF”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada guru Bahasa
Indonesia kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapi
atau memiliki sesuatu.Sebarapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat yang dimilikinya
meruapakan dasar pengalamn emosionalnya. Perjalanan kehidupan sesorang tidak sama.
Keinginan dan minat yang berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya
masing-masing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk memwujudkan minat dan
keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya berlangsung mulus, di mana dorongan-dorongan dan
keinginan-keinginan atau minatnya dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai, karena
cenderung memiliki perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati
hidupnya. Hal itu juga didukung dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif. Sedangkan
bagi pola kehidupan yang tidak berlangsung dengan mulus atau terdapat hambatan yang
membuatnya tidak terlalu menikmati hidupnya, karena emosionalnya tidak stabil. Sehingga nilai,
moral dan sikapnya terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan anatar emosiona dengan nilai, moral dan sikap adaah dorongan emosional
dapat mempengaruhi pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Karena itu, seseorang individu
dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan oleh penalaran dan pertimbangan-
pertimbangan yang objektif. Penjelasan di atas menjelaskan tentang bagaimana keterkaitan
emosioanal pada tingkah laku yang akan dilakukan. Untuk lebih jelas mengenai perkembangan
emosional, makalah ini akan membahas bagaimana perkembangan emosional dan keterkaitan
antara nilai, sikap dan moral yang mencangkup pada makalah yang berjudul “Perkembangan
Afektif”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana perkembangan emosi, serta
pengembangan nilai, moral dan sikap itu sendiri.
C. Tujuan
1. Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Menjelaskan pengertian emosi
b. Menjelaskan karakteristik perkembangan emosi
c. Menjelasakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi
d. Menjelaskan hubungan antara emosi dan tingkah laku.
e. Menjelaskan perbedaan individu dalam perkembangan emosi.
f. Memberi contoh upaya pengembangan emosi remaja dalam penyelenggaraan
pendidikan.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
Mahasiswa dapat mengetahui pengertian dari emosi, nilai, moral dan sikap. Dapat menjelaskankan
karakteristiknya masing-masing Serta dapat memahami apa itu perkembangan afektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Emosi
1. Pengertian Emosi
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu mnyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-
hari disebut warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang lemah tau kadang-kadang tidak jelas
(samar-samar). Dalam hal warna afetif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih
mnedalam, lebih luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito,
1982:59). Di samping perasaan seneng atau tidak seneng, beberapa contoh macam emosi yang
lain adalah gembira, cintah, marah, takut, cemas dan benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan merupakan suatu
gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu
saat warna afektif dapat dikatakan sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi;
contohnya marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita mendefinisikan
emosi. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah sebagai berikut :
Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat
terjadi emosi sering kali terjadi perubahan-perubahan pada fisik antara lain berupa ;
i). Otot : ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar (tremor).
j). Komposisi darah : kmposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-
kelenjar lebih aktif.
Secara tradisional mas remaja dianggap sebagai periode “ badai dan tekanan”, suatu masa
dimana ketegangan keterangan emosional sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
Pola emosi remaja adalah sama dengna pola emosi masa kanak-kanak. Jenis emosi yang
secara normal dialami adalah : cinta/kasih sayang, gembira, amarah, takut, dan cemas, cemburu,
sedih, dan lain-lain. Perbedaannya terletak pada macam dan derajat rangsangan yang
mengakibatkan emosinya, dan khususnya pola pengendalian yang dilakukan individu terhadapat
ungkapan emosi mereka.
a.Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam kehidupan remaja adalah kapasitasnya untuk mencintai orang lain
dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari orang lain. Kemampuan untuk memberinya.
Kebutuhan untuk memberi dan menerima cinta menjadi sangat penting, walaupun kebutuhan-
kebutuhan akan perasaan itu disembunyikan secara rapi. Para remaja yang berontak secara
terang-terangan, nakal dan mempunyai sikap permusuhan besar kemungkinannya disebabkan
oleh kurangnya rasa cinta dan dicintai yang tidak disadari.
b. Gembira
Sejak masa kanak-kanak, rasa marah telah dikaitkan dengan usaha remaja untuk
mencapai dan memiliki kebebasan sebagai seorang pribadi yang mandiri. Rasa marah merupakan
gejala yang penting di antara emosi-emosi yang memainkan peranan yang menonkol dalam
perkembanagn kepribadian. Pertama, dianatar emosi-emosi ini adalah cinta, dimana kita ketahui
bahwa dicintai dan mencintai adalah segala emosi bagi perkembangan pribadi yang sehat. Rasa
marah juga penting dalam kehidupan, karena melalui rasa marahnya seseorang mempertajam
tuntunnannya sendiri dan pemilikan minat-minatnya sendiri.
Mendekati saat mencapai remaja, dia telah melalui banyak fase dalam perkembangan emosional,
anatara lain dalam kaitanya dengna perbuatan mrah dan cara menyatakan kemarahan itu.
Kondisi-kondisi dasar yang menyebabkan timbulnya rasa marah kurang lebih sam , tetapi ada
beberapa perubahan sehubungna dengan pertambahan umurnya dan kondisi-kondisi tertentu
yang menimbulkan rasa marah atau meningkatnya penguasaan kendali emosional. Banyaknya
hambatan berpengaruh pada kehidupan emosional remaja. Tetapi rasa mara tersebut terus akn
berlanjut pemunculannya apabila minat-mintanya, rencan-rencananya dan tindakan-tindakannya
dirintangi.
Dalam upaya memahami remaja, ada 4 faktor yang sangat penting sehubungan dengan rasa
marah.
1). Adanya kenyataan bahwa perasaan marah berhubungna dengan usaha manusia untuk
memiliki dirinya sendiri. Meskipun marah sering kali tamapak tolo dan tidak terkendali namun
rasa marah akan terus berlanjut sepanjang ada kehidupan \, dan sangat berfungsi sebagai usaha
indivis\du untuk menjadi seorang pribadi sesuai dengan haknya. Selama masa remaja, fungsi
marah terutama untuk melindungi haknya untuk menjadi bebas/independen, dan menjamin
hubungan antara dirinya dan pihak lain yang berkuasa.
2). Pertimbangan penting lainnya ialah ketika individu mencapai masa remaja, dia tidak akan
merupakan subjek kemarahan yang berkembang dan kemudian menjadai surut, tetapi juga
mempuyai sikap-sikap dimana sisa kemarahan dalam bentuk permusuhan yang meliputi sisa
kemarahan masa lalu. Sikap-sikap permushan berbentuk dendam, kesediahan, prasangka atau
kecendrungan untuk merasa tersiksa. Sikap-sikap permusuhan dapat juga tampak dalam suatu
kecendrungan utnuk menjadi curiga dan keenggananatau menganggap bahwa orang lain tidak
bersahabat dan mempunyaimotif yang jelek. Sikap-sikap permusuhan mungkin tampak dalam
cara-cara yang bersifat pura-pura. Remaja bukannya menampakan kemarahan langsung tetapi
remaja lebih menunjuan keinginan yang terbesar. Contoh dalam kampanye politk, seorang
remaja mungkin menyanyikan lagu kebanggaan dari seorang calon, padahal sebenarnya ia
bersifat bermusuhan terhadap calon tersebut tetapi sifatnya itu ditekan.
3).Seringkali perasaan marah sengaja disembunyikan dan seringkali tampak dalam bentuk yang
samar-samar. Bahkan seni dari cinta mungkin dipakai sebagai alat kemarahan. Contohnya : jika
seorang anak laki-laki yang mempunyai latar belakang kecemburuan dan sikap-sikap
permusuhan yang idak terselesaikan terhadap saudara perempuannya dan terhadap gadis-gadis
pada umumnya, akhirnya dia mempunayi kebiasaan untuk menarik gadis-gadis hanya untuk
menunjukan perolehannya terhadap gadis-gadis yang jatuh hati padanya.
4). Kemarahan mungkin terbalik pada dirinya sendiri. Dalam beberapa hal, aspek ini merupakan
aspek yang sangat penting dan juga paling sulit dipahami.
Menjelang anak mencapai masa remaja, dia telah mengalami seringkali perkembangna panjang
yang mempengauhi pasang surut berkenan dengna rasa ketakutannya. Banyak ketakutan-
ketakutan baru muncul karena adanya kecemasan-kecemasan dan rasa berani yang bersamaan
dengan perkembangan remaja itu sendiri.
Satu-satunya cara untuk menghindarkan diri dari rasa takut adalah menyerah terhadap rasa takut,
seperti terjadi bila seorang begitu takut sehingga ia tidak berani mencapai apa yang ada sekarang
atau masa depan tidak menentu.
Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional ramaja menjadi dua rentang usia yaitu 12-15 tahun
dan usia 15-18 tahun.
1). Pada usia seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian
kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan
kematangan seksual dan sebagian karena kebingungannya dalam menghadapi apakah ia masih
sebagai anak-anak atau sebagai seorang dewasa.
2). Siswa mungkin bertingka laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3). Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat
dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis dan kelelahan karena terlalu
keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup.
4). Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya
sendiri yang disebabkan kurangnyarasa percaya diri. Mereka mempunyai pendapat bahwa ada
jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka menegtahuinya.
5). Siswa-siwa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif
dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu
(maha tahu).
2). Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaj yang mengalami konflik dengna
orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati dan nasihat orang tua dan guru.
3). Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan mas depan mereka. Banyak di antara
mereka terlalu tinggi menafsirkan kemampuan mereka sendiri dan merasa berpeluang besar
untuk memasuki pekerjaan dan memegang jabatan tertentu.
Dengan cara mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak
bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
Anak menirukan reaksi emosional orang lain yang etrgugah oleh rangsangan yang telah
membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan
mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya.
Belajar melalui pengkondisian
Dengan metode ini objek situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional,
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi. Pengkondisian terjadi dengan mudah dan cepat
pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, kurang pengalaman
untuk menilai situasi secara kritis, dan kurang mengenal betapa tidak rasionalnya reaksi mereka.
Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengkondisian semakin terbatas pada
perkembangan rasa suka dan tidak suka.
Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
Kepada anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika sesuatu emosi terangsang.
Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya
membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional
terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
Oarng tua dan guru-guru hendaknya menyadari bahwa perubahan ekspresi yang tampak
ini tidak berarti bahwa emosi tidak lagi berperan dalam kehidupan anak muda. Ia tatap
membutuhkan perangsang-parangsang yang memadai untuk pengembangan-pengembangan
pengalaman emosional. Karena anak tumbuh dalam kekuatan fisik dan pemahaman, responnya
berbeda terhadap apa yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman atau rintangan cita-citanya. Ia
pada akhirnya perlu mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan apa
yang sedang terjadi padanya.
4. Hubungan Antara Emosi dan Tingkah Laku serta Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku
Seorang siswa tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, namun bisa
disebabkan seauatu yang terjadi pada anak sehubungan dengan situasi kelas. Jika ia merasa malu
karena gagal dalam menghapal bahn pelajaran di muka kelas, pada kesempatan lain ia mungkin
takut untuk berpartisipasi dalam kegiatam nemnghapal. Akibatnya ia mungkin memutuskan
untuk membolos, atau mungkin ia melakukan kegiatan yang lebih jelek lagi yaitu melarikan diri
dari semuanya itu, dari orangtuanya, guru-gurunya, atau dari otoritas-otoritas lain. Penderitaan
emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar. Faktor-faktor afektif dalam
pengalaman individu mempengaruhi jumlah dan luasnya apa yang dipelajari. Seorang anak di
sekolah akan belajar lebih efektif bila ia termotivasi, karena ia merasa perlu belajar. Sekali hal
ini ada pada dirinya, selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan
yang dipelajari. Jika telah ada rasa senang karena berhasil mencapai prestasi, hal ini akan
mengurangi rasa akan kelelahan.
Motivasi untuk belajar akan membantu individu dalam memusatkan perhatian pada apa
yang ia sedang kerjakan dan dengan cara itu berarti ia akan memperoleh kepuasan. Karena reaksi
setiap pelajar tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus berbeda-beda dan
disesuaikan dengan kondisi anak. Dengan demikian, rangsangan-rangsangan yang menghasilkan
perasaan yang tidak menyenangkan, akan sangat mempengaruhi hasil belajar dan demikian pula
rangsangan yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan akan mempermudah siswa belajar.
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi terdapat perbedaan dalam
segi frekuensi, intensitas, serta jangka waktu dari berbagai macam emosi, dan juga saat
pemunculannya. Perbedaan ini sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin
bertambah frekuensinya serta lebih mencolok sehubungan dengan bertambahnya usia anak-anak.
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara lebih lunak karena
mereka telah mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun
emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Selain itu karena anak-
anak mengekang sebagian ekspresi emosi mereka, emosi tersebut cenderung bertahan lebih lama
daripada jika emosi itu diekspresikan secara lebih terbuka. Oleh sebab itu, ekspresi emosional
mereka menjadi berbeda-beda.
Perbedaan itu sebagian disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan
intelektualnya, dan sebagian lagi disebabkan oleh kondisi lingkungan. Anak yang sehat
cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Ditinjau
kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok, anak-anak yang pandai bereaksi lebih
emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang
pandai. Tetapi sebaliknya mereka juga cenderung lebih mampu mengendalikan ekspresi emosi.
Cara mendidik yang otoriter mendorong perkembangan emosi kecemasan dan takut, sedangkan
cara mendidik yang permisif atau demokratis mendorong berkembangnya semangat dan rasa
kasih sayang. Anak-anak dari keluarga yang berstatus sosial ekonomi rendah cenderung lebih
mengembangkan rasa takut dan cemas dibandingkan dengan mereka yang berasal dari keluarga
berstatus sosial ekonomi tinggi.
Dalam kaitannya dengan emosi remaja awal yang cenderung banyak melamun dan sulit
diterka, maka satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh guru adalah konsisten dalam
pengelolaan kelas dan memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh tanggung jawab.
Guru-guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai
keberhasilan dalam pekerjaan/tugas-tugas sekolah sehingga mereka menjadi anak yang lebih
tenang dan lebih mudah ditangani. Salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong
mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
Remaja ada dalam keadaan yang membingungkan dan serba sulit. Dalam banyak hal ia
tergantung pada orangtua dalam keperluan-keperluan fisik dan merasa mempunyai kewajiban
kepada pengasuhan yang mereka berikan dari saat dia tidak mampu memelihara dirinya sendiri.
Namun ia harus lepas dari orangtuanya agar ia menjadi orang dewasa yang mandiri, sehingga
adanya konflik dengan orangtua tidak dapat dihindari. Apabila terjadi friksi semacam ini, para
remaja mungkin merasa bersalah, yang selanjutnya dapt memperbesar jurang antara dia dengan
orangtuanya.
Seorang siswa yang merasa bingung terhadap rantau peristiwa tersebut mungkin merasa
perlu menceritakan penderitaannya, termasuk mungkin rahasia-rahasia pribadinya kepada orang
lain. Karena itu seorang guru diminta untuk berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang
simpatik.
Siswa sekolah menengah atas banyak mengisi pikirannya dengan hal-hal yang lain
daripada tugas-tugas sekolah. Misalnya seks, konflik dengan orangtua, dan apa yang akan
dilakukan dalam hidupnya setelah ia tamat sekolah. Salah satu persoalan yang paling
membingungkan yang dihadapi oleh guru ialah bagaimana menghadapi siswa yang hanya
mempunyai kecakapan terbatas tetapi yang selalu memimpikan kejayaan. Seorang guru tidak
ingin membuat mereka putus asa, tetapi jika ia mendorong siswa tersebut.
1. pengertian dan saling keterkaitan antara nilai, moral, dan sikap serta pengaruhnya terhadap
tingkah laku.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang termasuk dalam sila kemanusiaan yang adil
dan beradab, antara lain :
1) mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesame
manusia,
2) mengembangkan sikap tenggang rasa, dan
3) tidak semena-mena terhadap rang lain, berani membala kebenaran dan keadilan, dan
sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan
sebagainya (Purwadarminto, 1957: 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai tidak
baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara
perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam
bertingkah laku. Dalam kaitannya dengan pengalaman nilai-nilai hidup, maka moral merupakan
kontrol dalam bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai hidup yang dimaksud.
Misalnya dalam pengalaman nilai hidup : tenggang rasa, dalam perilakunya eseorang akan selalu
memperhatikan perasaan orang lain, tidak “semau gue”. Dia dapat membedakan tindakan yang
benar dan yang salah.
Sedangkan, menurut Gerug, sikap secara umum diartikan sebagai kesediaan bereaksi
individu terhadap sesuatu hal (Mappiare, 1982:58).sikap berkaitan dengan motif dan mendasari
tingkah laku seseorang dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat
jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
berupa kecenderungan (predisposisi) itngkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan demikian, ketrkaitan antara nilai, moral, sikap, dan tingkah laku akan tampak
dalam pengalaman nilai-nilai. Dengan kata lain nilai-nilai perlu dikenal terlebih dulu, kemudian
dihayati dan didorong oleh moral, baru akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut
dan pada akhirnya terwujud tingkah laku sesuai dengan nilai-nilai yang dimaksud.
Michel meringkaskan lima perubahan dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh
remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidayanti dan kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut :
Pada stadium 1,anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau
buruk atas dasar akibat yang ditimbulkanya. Anak hnya mengetahui bahwa aturan-aturan
ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa di ganggu gugat. Ia harus menurut atau kalau
tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahapan ini, anak tidak lagi secara
mutlak tergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi
mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi,
ada relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang
(hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan ”mencuri” untuk
memenuhi kebutuhannya (lapar), maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral,
meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada
akibatnya, yaitu hukuman.
Tingkat II : konvensional
Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi perbuatan-perbuatan yang
dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang sangat
menentukan, apakah perbuatan seorang baik atau tidak. Menjadi ”anak yang manis” masih
sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4, yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium ini
perbuatan baik ang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan
masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan atura-aturan atau norma-
norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan
yang ada, agar tidak timbul kekacauan.
Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan
sosial. Pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial,
dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan
tuntutan norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan
membeikan perlindungan kepadanya.
Originalitas remaja juga tampak dalam hal ini. Pertama, remaja masih mau diatur secara ketat
oleh hukum-hukum umum yang lebih tinggi. Meskipun disini kata hati sudah mulai berbicara,
namun penilaian-penilaiannya masih belum timbul dari kata hati yang sudah betul-betul
diinternalisasi, yang seringkali tampak dalam sikap yang kaku.
Stadium 6. tahap ini disebut prinsip univesal. Pada tahap ini ada norma etik disamping norma
pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang dengan masyarakaatnya
ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu baik atau tidak baik.
Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang dengan orang lain. Dalam hal
ini, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya. Remaja
mengadakan penginternalisasian moral yaitu remaja melakukan tingkah laku-tingkah laku moral
yang dikemudikan oleh tanggung jawab batin sendiri. Tingkat perkembangan moral pasca
konvensional harus dicapai selama masa remaja.
Menurut Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai (Monk’s, 1984:
257). Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga
dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat
menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi.
Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah
lakunya.
Menurut psikoanalisis moral dan nilai menyatu dalam konsep superego. Superego dibentuk
melalui jalan internalisasi larangan-larangan atau perintah-perintah yang datang dari luar
(khusunya dari orang tua) sedemikian rupa sehingga akhirnya terpencar dalam diri sendiri.
Karena itu, orang-orang yang tak mempunyai hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di
masa kecil, kemungkina besar tidak mampu mengembangkan superego yang cukup kuat,
sehingga mereka bisa menjadi orang yang sering melanggar norma masyarakat.
Teori-teori lain yang non-psikoanalisis beranggapan bahwa hubungan anak – orang tua bukan
satu-satunya sarana pembentuk moral. Para sisiolog beranggapan bahwa masyarakat sendiri
mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan
oleh adanya kontrol dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri buat
pelanggar-pelanggarnya (Salito,1992:92).
Di dalam usaha membentuk tingakah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup tertentu ternyata
bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting. Diantara segala unsur lingkungan sosial
yang berpengaruh, yang tampaknya sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia
yang langsung dikenal atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
Dalam hal ini lingkungan sosial terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi
sebagai pendidik dan pembina. Makin jelas sikap dan sifat lingkungan terhadap nilai hidup
tertentu dan moral makin kuat pula pengaruhnya untuk membentuk (atau meniadakan) tingkah
laku yang sesuai.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh kohlberg menunjukkan bahwa sikap moral
bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal ini yang
berhubungan dengan nilai kebudayaan. Tahap-tahap perkembangan moral terjadi dari aktivitas
spontan pada anak-anak (Singgih G.1990:202). Anak memang berkembang melalui interaksi
sosial, tetapi interaksi ini mempunyai corak yang khusus dimana faktor pribadi, faktor si anak
dalam membentuk aktivitas-aktivitas ikut berperan. Dalam perkembangan moral, kohlberg
menyatakan adanya tahap-tahap yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Penahapan
yang dikemukakan bukan mengenai sikap moral yang khusus, melainkan berlaku pada proses
penalaran yang didasarinya. Moral sifatnya penalaran menurut kohlberg, perkembangannya
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin tinggi
tingkat penalaran seseorang menurut tahap-tahap perkembangan piaget, makin tinggi pula
tingkat moral seseorang.
Pemahaman konsep dan nilai tenggang rasa, bila dibangdingkan dengan sikap serta tingkah
lakunya dalam kaitannya dengan tenggang rasa, memungkinkan kita menempatkan individu
dalam satu kontinum.
a. Di ujung paling kiri, kita kelompok individu yang hampir-hampir atau sama sekali tidak tahu
tentang konsep dan nilai tenggang rasa dan karenanya juga tidak bertindak secara benar ditinjau
dari konsep tenggang rasa.
b. Di ujung paling kanan terdapat individu yang baik pengetahuan maupun tingkah lakunya,
mencerminkan penghayatan nilai tenggang rasa yang sangat meyakinkan.
Jadi perbedaaan-perbedaan individual dalam pemaham nilai-nilai, dan moral sebaga pendukung
sikap dan perilakunya. Dan mungkin terjadi individu atau remaja yang tidak mencapai
perkembangan nilai, moral, dan sikap serta tingkah lakunya yang diharapkan padaanya.
5. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, dan Sikap Remaja serta Implikasinya Dalam
Penyelenggaraan Pendidikan
Perwujudan nilai, moral, dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang
dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya
dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17).
Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral, sikap remaja
adalah
Menciptakan Kominikasi
Usaha pengembangan tingkah laku niali hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan
pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan
yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sndiri merupakan penjelmaan yang konkret
dari nilai-nilai hidup tersebut. Selain itu lingkungan bersifat mengajak mengajak, mengundang
atau memberi kesempatan akan lebih aktif daripada lingkungan yang ditandai dengan larangan
dan peraturan yang membatasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Emosi juga adalah
warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Adapun beberapa kondisi
emosional seperti cinta/kasih sayang, gembira, kemarahan dan permusuhan, ketakutan dan
kecemasan. Sedangkan pembagian ciri-ciri emosional dibagi menjadi dua menurut Biehler
(1972) yaitu remaja berusia 12-15 tahun dan remaja usia 12-15 tahun. Dan faktor-faktor
perkembangan emosional dipengaruhi oleh:
Pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat atau prinsip-prinsip
hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam hidupnya, baik sebagai warga negara. Sedangkan
moral adalah ajaran tentang baik, buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak dan sebagainya. Sikap
adalah kesian bereaksi individu terhadap sesuatu hal. Kterkaitan anatar lain, moral dan sikap
tampak dalam pengalaman nilai-nilai.
B. Saran
Sebagai orang tua hendaklah memahami kondisi anak dan perkembangan emosional anak ketika
memasukin masa remaja. Agar dapat memahami kondisi tersebut hendaklah orang mengadakan
pendekatan terhadap anak tentang apa yang ia rasakan. Dan anak pun hendaklah menjadi lebih
terbuka serta berusaha mengendalikan emosional pada dirinya.