Anda di halaman 1dari 30

31

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hospitalisasi bagi anak merupakan suatu tindakan yang akan membatasi

anak dengan dunia luar. Pengalaman hospitalisasi dapat beradaptasi dengan

lingkungan barunya dirumah sakit (supratini, 2012). Fenomena yang terjadi di

rumah sakit saat anak dalam masa perawatan sering didapatkan anak sering

menangis, terlihat gelisah, rewel dan bersikap tidak kooperatif. Hal tersebut dapat

terjadinya karena ada rasa takut anak terhadap pengobatan, terlebih lagi terhadap

tindakan yang sifat melukai jaringan seperti pemasangan infus serta peralatan

medis dan lingkungan sekitar yang tampak asing bagi anak (Ambarwati, 2015).

Pengalaman hospitalisasi yang dialami anak selama rawat inap tersebut

tidak hanya mengganggu psikologi anak, tetapi juga akan berpengaruh terhadap

psikososial anak anak dalam berinteraksi terhadap lingkungan rumah sakit

termasuk pada perawat. Masalah tersebut akan berpengaruh terhadap pelayanan

keperawatan yang akan diberikan misalnya saat melakukan tindakan “Insersi IV”

pada anak. Rasa nyeri yang disebabkan oleh tindakan insersi dapat menimbulkan

ketakutan pada anak sehingga dapat menghambat pelayanan kesehatan khususnya

keperawatan. Nyeri pada anak merupakan satu hal kompleks, individual, subjektif

dan merupakan hal yang umum terjadi. Apabila tidak diatasi membuat anak
32

menjadi tidak kooperatif dan menolak prosedur tindakan sehingga dapat

menghambat proses penyembuhan (Sarfika, 2015).

Prosedur tindakan invasive yang rutin dilakukan pada anak yang dirawat

adalah pemasangan infus. Prosedur terapi melalui jalur intravena tersebut

menimbulkan kondisi nyeri akut bagi anak, artinya nyeri yang dirasakan hanya

berlangsung dengan periode waktu yang singkat sekitar 1 menit saat penusukan

(Sarfika, 2015). Walco (2008) dalam Maharani (2018) yang meneliti tentang

prevalensi nyeri dan sumber utama penyebab nyeri pada 200 anak yang dirawat di

rumah sakit bahwa tindakan pemasangan IV cateter merupakan tindakan pertama

yang menyebabkan nyeri dengan hasil 83 % dialami oleh anak usia prasekolah (3-6

tahun).

Salah satu teknik distraksi yang dapat dilakukan pada anak dalam

penatalaksanaan nyeri adalah menonton kartun animasi. Pada film animasi terdapat

unsur gambar warna dan cerita sehingga anak-anak menyukai menonton kartun

animasi. Ketika anak lebih fokus pada kegiatan menonton flim kartun, hal tersebut

membuat impuls nyeri akibat adanya cidera tidak mengalir melalui tulang

belakang, pesan tidak mencapai otak sehingga anak tidak merasakan nyeri

(Sarfika, 2015).

Word Health Organisation (WHO) menyatakan bahwa angka kejadian

pemasangan infus di rumah sakit khususnya di instalasi gawat darurat cukup tinggi

yaitu 85 % per tahun. 120 juta orang dari 190 juta pasien yang di rawat di rumah

sakit menggunakan infus (Suprapto, 2015). Angka kesakitan anak di Indonesia


33

adalah 15,26 %. Angka kesakitan anak di daerah pedesaan sebesar 15,75 %

sementara angka kesakitan anak di daerah perkotaan sebesar 14,47 % (Profil Anak

Indonesia, 2015).

Timbulnya berbagai jenis penyakit yang menyerang anak-anak membuat

populasi anak yang dirawat dirumah sakit meningkat, sehingga semakin banyak

anak-anak yang mengalami stress akibat hospitalisasi. Berdasarkan data

Perhimpunan Nasional Rumah Sakit Anak di Amerika, sebanyak 6,5 juta anak /

tahun yang menjalani perawatan di rumah sakit dengan usia kurang dari 17 tahun

(CDC National Health Report, 2013).

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2016,

angka kesakitan anak tertinggi terdapat pada umur 1-2 tahun yakni pada anak

laki-laki sebesar 49 % sedangkan untuk anak perempuan sebesar 51 % dengan

perawatan selama 4 hari. Proporsi angka kesakitan anak di ruang rawat anak RSUD

Sungai Dareh pada tahun 2017 adalah 432 anak dan pada tahun 2018 meningkat

sebanyak 521 anak dengan usia terbanyak berada direntang usia 1-3 tahun

(Toddler).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Pengaruh tehnik distraksi menoton video kartun terhadap tingkat

nyeri anak pra sekolah yang dilakukan tindakan insersi IV di Ruang Rawat Inap

Anak RSUD Sungai Dareh tahun 2019”


34

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh tehnik distraksi menoton video kartun terhadap

tingkat nyeri anak pra sekolah yang dilakukan tindakan insersi IV di Ruang

Rawat Inap Anak RSUD Sungai Dareh tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui rata-rata tingkat nyeri anak usia pra sekolah saat dilakukan

tindakan Insersi IV sebelum pemberian tehnik distraksi menonton kartun

animasi di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Sungai Dareh tahun 2019.

b. Mengetahui rata-rata tingkat nyeri anak usia pra sekolah saat dilakukan

tindakan Insersi IV setelah pemberian tehnik distraksi menonton kartun

animasi di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Sungai Dareh tahun 2019.

c. Mengetahui pengaruh tehnik distraksi menonton kartun animasi terhadap

tingkat nyeri anak saat dilakukan tindakan insersi IV di Ruang Rawat Inap

Anak RSUD Sungai Dareh tahun 2019.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Petugas Kesehatan

Sebagai bahan masukan guna meningkatkan kreatifitas saat memberikan

asuhan keperawatan terutama dalam mengatasi nyeri anak saat mendapatkan

tindakan insersi IV.


35

2. Bagi institusi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kepustakaan bagi

institusi pendidikan STIKes Perintis Bukittinggi serta menjadi referensi yang

digunakan dalam proses pembelajaran khususnya keperawatan Anak.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini akan menjadi data dasar untuk penelitian lebih lanjut terkait

pengaruh tehnik distraksi menoton video kartun terhadap tingkat nyeri anak

pra sekolah yang dilakukan tindakan insersi IV dan juga menjadi referensi

ilmiah pada penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakan pembahasan dan

penggunaan perlakuan atau metode lain guna membantu mengurangi rasa nyeri

anak terhadap tindakan insersi IV.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian

quasi-eksperimen yaitu One Group Pretest-postest dimana rancangan ini hanya

menggunakan satu kelompok subyek, pengukuran dilakukan sebelum (pretest) dan

sesudah (postest) perlakuan dan pengumpulan data akan dilakukan pada bulan

November 2019 di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Sungai Dareh untuk mengetahui

pengaruh tehnik distraksi menoton video kartun terhadap tingkat nyeri anak pra

sekolah yang dilakukan tindakan insersi IV. Populasi pada penelitian ini adalah

semua anak usia pra sekolah yang dirawat di ruang rawat Inap Anak RSUD Sungai

Dareh teknik pengambilan sampel adalah secara accidental sampling berjumlah 31


36

orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi mengunakan

kuesioner sebagai instrumennya. dengan analisa data yang digunakan adalah analisis

univariat dan analisis bivariate menggunakan uji hipotesis adalah uji Uji mann-

whitney.
37

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Nyeri

1. Defenisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan baik yang aktual maupun

potensial. Dari defenisi ini, pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan

bahwa nyeri adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan

nyeri menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa nyeri

(Tamsuri, 2007).

Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut yaitu nyeri yang biasanya

berlangsung singkat (waktu atau durasinya dari i detik sampai kurang dari 6

bulan) dan nyeri kronik yaitu nyeri yang berkembang lebih lambat dan terjadi

dalam waktu yang lebih lama sehingga terkadang pasien sulit untuk

mengingat sejak kapan nyeri tersebut dirasakan. Nyeri juga dapat dibedakan

menjadi nyeri somatogenik yaitu nyeri secara fisik dan nyeri psikogenik yaitu

nyeri secara psikis atau mental.

Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan atau akibat

dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena itu dalam

hal pengkajian dan penatalaksanaannya tidak hanya akan menitikberatkan


38

pada faktor fisik semata tapi juga faktor mental dan emosional yang

mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri.

Pokok penting yang harus diingat adalah , apa yang “dikatakan”

tentang nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa pasien tidak

dapat atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami

nyeri. Karenanya, perawat juga bertanggung jawab terhadap perilaku non

verbal yang dapat terjadi bersamaan dengan nyeri (Brunner & Suddarth,

2002).

2. Fisiologi Nyeri

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara

anatomis, nosiseptor ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin

dari saraf perifer.

Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa

bagian tubuh yaitu pada kulit dan subkutan (kutaneus), somatik dalam (deep

somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya berbedabeda maka nyeri

yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nyeri yang berasal dari

kutaneus biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor

kutaneus terbagi dalam 2 komponen :


39

a. Serabut A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30m/det)

yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat hilang

apabila penyebab nyeri dihilangkan

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi

0,5-2m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor nyeri

yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan

penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang

timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi. Reseptor

nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi organ-organ

visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul biasanya terus-menerus dan tidak sensitif terhadap pemotongan

organ tetapi sangat sensitive terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi

( Tamsuri,2007).

Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan

bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat

ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri

dapat timbul, namun teori gate control yang dianggap paling relevan

(Tamsuri,2007).
40

Teori gate control dari Melzack & Wall (1978) mengusulkan

bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme

pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini menyatakan bahwa

impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls

dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan

tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut

control desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A

dan C melepaskan substansi C untuk mentransmisi impuls melaui

mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor , neuron

delta-A yang lebih tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter

penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A

maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme

penutupan ini dapat terlihat saat perawat mengusap punggung klien

dengan lembut.

Pesan yang dihasilkan akan menstimuli mekanoreseptor, apabila

masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka

akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan sensasi

nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat

kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf

desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan dinorfin,

suatu pembunuh alami nyeri dari dalam tubuh. Neuromodulator ini


41

menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan

substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo

merupakan upaya untuk melepaskan endorfin ( Potter,2005 ).

Anas Tamsuri tahun 2007 menyatakan bahwa ada beberapa

respon tubuh terhadap nyeri, antara lain :

1) Respon Fisik

Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan

oleh medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus, sistem saraf

otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa

dengan respon tubuh terhadap nyeri. Respo fisiologis terhadap nyeri

dibedakan menjadi reaksi simpatis dan parasimpatis.Adapun reaksi

simpatis tubuh terhadap nyeri antara lain:

a) Dilatasi saluran pernapasan dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan heart rate

c) Vasokontriksi perifer sehingga meningkatkan tekanan darah

d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaporesis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas gastro intestinal

Respon fisik timbul karena reaksi parasimpatis tubuh terhadap nyeri

antara lain:
42

a) Muka pucat

b) Kelelahan otot

c) Peburuban tekanan darah dan nadi

d) Napas cepat dan tidak teratur

e) Mual dan muntah

f) Kelelahan.

2) Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien

terhadap nyeri yang terjadi. Arti nyeri bagi individu berbeda-beda antara

lain :

a) Bahaya atau merusak

b) Komplikasi seperti infeksi

c) Penyakit baru

d) Penyakit yang berulang

e) Penyakit yang fatal

f) Peningkatan ketidakmampuan

g) Kehilangan mobilitas

h) Menjadi tua

i) Sembuh

j) Perlu untuk penyembuhan

k) Hukuman karena berdosa


43

l) Tantangan

m) Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

n) Sesuatu yang harus ditoleransi

o) Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.

Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi tingkat

pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan factor sosial budaya.

3) Respon Perilaku

Respon perilaku yang ditampilkan oleh individu jika mengalami

nyeri bermacam-macam. Meinhart & Mc.Caffery (1983) dalam Anas

Tamsuri (2007) menggambarkan 3 fase perilaku terhadap nyeri antara

lain :

a) Fase antisipasi

Fase ini merupakan fase yang paling penting karena fase ini

menentukan dua fase berikutnya. Fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri

tersebut.Peran perwat sangat penting dalam fase ini terutama dalam

memberikan informasi terhadap klien.

b) Fase sensasi

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri

bersifat subyektif maka tiap orang menyikapinya dengan cara yang

berbeda. Toleransinya pun berbeda antara orang yang satu dengan


44

yang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi yang tinggi

terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil dan

mampu menahan stimulus nyeri tanpa bantuan.

Berbeda dengan orang yang memiliki tingkat toleransi yang

rendah terhadap nyeri akan mudah merasakan nyeri pada stimulus

kecil dan sudah berupaya mencegah nyeri sebelum nyeri itu datang.

Keberadaan enkafalin dan endorphin membantu menjelaskan

bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus

yang sama. Kadar endorphin berbeda pada tiap individu dimana

individu dengan kadar endorphin tinggi sedikit merasakan nyeri

sedangkan individu dengan kadar endorphin yang rendah merasakan

nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai cara,

mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi

yang ditunjukkan itulah yang digunakan perawat untuk mengenali

pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus melakukan

pengkajian secara teliti apabila klien sedikit mengekspresikan

nyerinya. Karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan

nyeri tidak mengalami nyeri. Kasus seperti itu tentunya

membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

mengkomunikasikan nyeri secara efektif.


45

c) Fase akibat (pasca nyeri)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase

ini klien masih membutuhkan kontrool dari perawat. Karena nyeri

bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa

pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka

respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang

berat. Peran perawat dalam membantu memperoleh kontrol diri

untuk meminimalkan rasa takut akan kemunkinan berulang.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri

Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi respon nyeri

padaseseorang antara lain :

a. Budaya

Orang belajar dari budayanya tentang bagaimana mereka

berespon terhadap nyeri misalnya suatu daerah menganut

kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena

mereka melakukan kesalahan sehingga mereka tidak mengeluh jika

mengalami nyeri.

b. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat , sedangkan upaya

distraksi diupayakan dengan respon nyeri yang menurun.


46

c. Pengalaman nyeri yang lalu

Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui

ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya tidak adekuat.

Sekali individu mengalam nyeri berat, individu tersebut mengetahui

hanya seberapa berat nyeri ini dapat terjadi. Sebaliknya, individu

yang tidak pernah mengalami nyeri hebat tidak mempunyai rasa

takut terhadap nyeri itu. Cara seseorang berespon terhadap nyeri

adalah akibat dari banyaknya kejadian nyeri selama rentang

kehidupan.bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap

dan tidak terselesaikan,seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis

dan persisten (Brunner & Suddarth, 2010).

d. Usia dan Nyeri

Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak

diketahui secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit

karena perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses

penuaan. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami,

karena mereka menganggap nyeri adalah hal yang harus dijalani dan

mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika

nyeri diperiksakan (Brunner & Suddarth, 2010).


47

e. Kecemasan dan Stressor lain

Pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan

nyeri, tetapi ada pula riset yang tidak memperlihatkan suatu

hubungan yang konsisten antara ansietas dan nyeri. Namun, ansietas

yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan

persepsi pasien terhaap nyeri (Brunner & Suddart, 2010).

f. Efek plasebo

Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap

pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa

pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan

karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja.

Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah memberikan efek

positif. Individu yang diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan

dapat meredakan nyeri hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri

dibanding pasien yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya

tidak mempunyai efek apapun (Brunner & Suddarth, 2010).

4. Mengkaji persepsi nyeri

Brunner & Suddart (2010) menyatakan bahwa alat-alat pengukuran

nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar

alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut harus mmenuhi

kriteria berikut :

a. Mudah dimengerti dan digunakan


48

b. Memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien

c. Mudah dinilai

d. Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri.

Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk

mendokumentasikan kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi

efektivitas intervensi dan untuk mengidentifikasi kebutuhan akan

intervensi alternatif dan tambahan jika intervensi sebelumnya tidak

efektif dalam meredakan nyeri individu. Nyeri sukar digambarkan, saat

pasien mengeluh nyeri, dengarkan (lakukan sesuatu) karena nyerinya

adalah apa yang ia rasakan meskipun ia mungkin kesulitan

menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa ditemui yakni :

a. Kulit – menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.

b. Ekspresi wajah – kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup

rapat;pasien mungkin meringis.

c. Mata – tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin dilatasi.

d. Nadi – nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam

intensitas.

e. Respirasi – frekwensinya meningkat dan berubah karakternya.

f. Tekanan darah – bisa berubah jika terjadi nyeri.

g. Muskuloskeletal – menegang atau kaku.

h. Distres gastric – bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah;

anorexia atau menolak makan bisa terjadi.


49

i. Aktivitas fisik dan reaksi – pasien mungkin sangat tenang, hanya

bergerak saat disuruh atau perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan

tidak dapat tidur.

j. Aktivitas mental dan emosional – pasien mungkin menangis, bicara

terlalu banyak atau terlalu banyak meminta.

k. Observasi mengenai asuhan keperawatan – apakah pasien puas

dengan efek pengobatannya, lebih tenang, dapat tidur atau istirahat.

5. Skala Pengukuran nyeri

Untuk anak-anak skala yang digunakan adalah skala oucher yang

di kembangkan oleh Beyer dan skala wajah yang dikembangkan oleh

Wong & Baker. Pada skala oucher terdiri dari skala dengan nilai 0-10

pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dan skala

fotografik enam gambar pada sisi kanan untuk anak yang lebih kecil. Foto

wajah seorang anak dengan peningkatan rasa ketidaknyamanan dirancang

sebagai petunjuk untuk memberi anak-anak pengertian sehingga dapat

memahami makna dan keparahan nyeri. Anak bisa diminta untuk

mendiskripsikan nyeri yang dirasakan dengan memilih gambar yang ada.

Skala wajah terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum (tidak merasa

nyeri), kemudian secara bertahap meningkat sampai wajah yang sangat

ketakutan (nyeri yang sangat)


50

Gambar 2.1
Skala Nyeri

Keterangan

Tidak nyeri : bila skala nyeri 0

Nyeri ringan : bila skala nyeri 1-3

Nyeri sedang : bila skala nyeri 4-7

Nyeri berat : bila skala nyeri 8-10

B. Penatalaksanaan Nyeri

Menurut De idhoe (2007) Penatalaksanaan nyeri ada dua yaitu :

1. Intervensi Farmakologis

a. Analgesik

Obat golongan analgesik akan merubah persepsi dan interpretasi nyeri

dengan jalan mendepresi sistem saraf pusat pada Thalamus dan Korteks

Cerebri. Analgesik akan lebih efektif diberikan sebelum klien


51

merasakan nyeri yang berat dibandingkan setelah mengeluh nyeri.

Untuk alasan ini maka analgesik dianjurkan untuk diberikan secara

teratur dengan interval, seperti setiap 4 jam setelah pembedahan.

Terdapat dua klasifikasi mayor dari analgesik, yaitu:

1) Narcotic (strong analgesics)

Termasuk didalamnya adalah : derivat opiate seperti morphine dan

codein. Narkotik menghilangkan nyeri dengan merubah aspek

emosional dari pengalaman nyeri (misal : persepsi nyeri).

Perubahan mood dan perilaku dan perasaan sehat membuat

seseorang merasa lebih nyaman meskipun nyerinya masih timbul.

2) Nonnarcotics (Mild analgesics)

Mencakup derivat dari : Asam Salisilat (aspirin); Para-

aminophenols (phenacetin); Pyrazolon (Phenylbutazone).

3) Analgesik kombinasi

seperti kombinasi dari analgesik kuat (strong analgesics) dengan

analgesik ringan (mild analgesics), contohnya : Tylenol #3,

merupakan kombinasi dari acetaminophen sebagai obat

analgesik nonnarkotik dengan codein, 30 mg.

4) Plasebo

Plasebo merupakan obat yang tidak mengandung komponen

obat analgesik (seperti : gula, larutan garam/normal saline, atau


52

air) tetapi hal ini dapat menurunkan nyeri. Hal itu karena faktor

persepsi kepercayaan klien.

2. Intervensi Non Farmakologis.

a. Distraksi

Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada

sesuatu selain pada nyeri. Distraksi di duga dapat menurunkan persepsi

nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang

mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.

Distraksi dapat berkisar dari hanya pencegahan monoton sampai

menggunakan aktivitas fisik dan mental yang sangat kompleks.

Distraksi dibagi menjadi :

1) Mendengar musik

Mendengar musik adalah kegiatan mendengarkan musik yang

disukai atau suara burung serta gemercik air, individu

dianjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik

tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi

pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk

menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang,

mengetukkan jari atau kaki.

2) Menonton video

Menonton video adalah menonton acara-acara yang bersifat

humor atau acara yang disukai oleh klien akan menjadi tehnik
53

distraksi yang dapat membantu mengalihkan perhatian klien

akan nyeri yang ia alami atau terjadi penurunan stimulus nyeri.

3) Pernafasan terkontrol

Melakukan inhalasi perlahan melalui hidung dengan hitungan

satu sampai empat dan kemudian menghembuskan nafas

melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu sampai

empat (dalam hati),

4) Imajinasi

Imajinasi adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu

cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif

tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi

dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan nafas

berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan

kenyamanan.

5) Stimulasi dan masase kutaneus

Beberapa strategi penghilang nyeri nonfarmakologis, termasuk

menggosok kulit dan menggunakan panas dan dingin, adalah

berdasarkan mekanisme ini. Masase adalah stimulasi kutaneus

tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan

bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor tidak

nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti reseptor nyeri


54

tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol

desenden.

6) Terapi es dan panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda

nyeri yang efektif pada beberapa keadaan. Terapi es dan panas

bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri

(non-nosiseptor) dalam bidang reseptor yang sama. Terapi es

dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensivitas

reseptor nyeri. Penggunaan panas mempunyai keuntungan

meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan

dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat

penyembuhan.

7) Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS)

TENS menggunakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan

elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan

sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area

nyeri. TENS diduga menurunkan nyeri dengan menstimulasi

reseptor tidak nyeri (non- menstransmisikan nyeri. Penjelasan

lain untuk keefektifan TENS adalah efek plasebo (pasien

mengharapkannya agar efektif) dan pembentukan endorfin,

yang juga memblok transmisi nyeri.


55

8) Hipnosis

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan

jumlah analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis.

Tehnik ini mungkin membantu dalam memberikan peredaan

nyeri terutama dalam situasi sulit. Mekanisme bagaimana

kerjanya hipnosis tidak jelas tetapi tampak diperantarai oleh

sistem endorfin.

C. Konsep Pemasangan Infus

1. Pengertian

Pemasangan infus adalah memasukkan cairan atau obat langsung ke

dalam pembuluh darah vena dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang

lama dengan menggunakan jarum abocath dan infus set (Potter, 2005).

Selain itu menurut Hidayat (2008), pemasangan infus didefinisikan

sebagai suatu tindakan pengobatan yang dilakukan dengan cara

memasukkan caiaran elektrolit, nutrisi dan obat-obatan kedalam tubuh

melalui pembuluh darah vena dalam jumlah yang banyak serta dalam waktu

yang cukup lama dengan menggunakan kanul.

2. Tujuan

a. Memenuhi cairan dan elektrolit setelah banyak kehilangan cairan.

b. Memberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

c. Menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena.


56

3. Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena

a. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids)

b. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam

jumlah terbatas.

c. Pemberian kantong darah dan produk darah.

d. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu)

4. Keuntungan Terapi intravena

a. Efek terapeutik segera dapat tercapai karena penghantaran obat ke

tempat target berlangsung cepat.

b. Absorsi total memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat

diandalkan

c. Kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek terapeutik dapat

dipertahankan maupun dimodifikasi

d. Rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu jika diberikan intramuskular atau

subkutan dapat dihindari

e. Sesuai untuk obat yang tidak dapat diabsorbsi dengan rute lain karena

molekul yang besar, iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus

gastrointestinalis

5. Kerugian Terapi Intravena

a. Tidak bisa dilakukan “drug Recall” dan mengubah aksi obat tersebut

sehingga resiko toksisitas dan sensitivitas tinggi

b. Kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speeed Shock”


57

6. Komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu:

a. Kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode

tertentu

b. Iritasi Vaskular, misalnya phlebitis kimia

c. Inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan

7. Peran perawat dalam terapi intravena

a. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infus

maupun kemasannya

b. Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan,

dosis, cara pemberian dan waktu pemberian)

c. Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten

d. Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas

e. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi

f. Monitor kondisi pasien dan melaporkan setiap perubahan

8. Alat dan Bahan

a. Standar infus dan set infus

b. Cairan sesuai program medic

c. Jarum infus (abocath) dengan ukuran yang sesuai

d. Pengalas

e. Turniket, plester dan gunting

f. Kapas alkohol, kasa steril dan betadin

g. Sarung tangan
58

9. Prosedur Kerja

a. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

b. Cuci tangan

c. Hubungkan cairan dan infus set dengan menusukkan ke bagian karet

atau akses selang ke botol infus.

d. Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan hingga terisi

sebagian dan buka klem selang hingga cairan memenuhi selang dan

udara selang keluar

e. Letakkan pengalas dibawah tempat (vena) yang akan dilakukan

penusukan

f. Lakukan pembendungan dengan turniket 10-12 cm di atas tempat

penusukan dan anjurkan pasien untuk menggenggam dengan gerakan

sirkular (bila sadar)

g. Gunakan sarung tangan steril

h. Desinfeksi yang akan ditusuk dengan kapas alcohol

i. Lakukan penusukan pada vena dengan meletakkan ibu jari dibagian

bawah vena dan posisi jarum (abocath) mengarah ke atas.

j. Perhatikan keluarnya darah melalui jarum (abocath). Apabila saat

penusukan terjadi pengeluaran darah melalui jarum, maka tarik keluar

bagian dalam (jarum) sambil meneruskan tusukan ke dalam vena

k. Setelah jarum infus bagian dalam dilepaskan/dikeluarkan, tahan bagian

atas vena dengan menekan menggunakan jari tangan agar darah tidak
59

keluar. Kemudian bagian infus dihubungkan atau di sambungkan

dengan selang infus

l. Membuka pengatur tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan dosis yang

diberikan

m. Lakukan fiksasi dengan kasa steril

n. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta catat ukuran jarum

o. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan

p. Catat jenis cairan, letak infus, kecepatan aliran, ukuran dan tipe jarum

infus.

10. Cara penusukan cairan dengan infus set

a. Kemasan infus set

b. Putar klem pengatur tetesan sampai selang tertutup

c. Pertahankan sterilitas penusuk botol

d. Buka penutup botol dengan tehnik aseptik atau antiseptic

e. Perhatikan arah menarik penutup

f. Tusukkan ujung penusuk infus set ke botol secara tegak lurus dengan

menerapkan tehnik aseptik. Jangan diputar

g. Bila menggunakan botol gelas, pasang jarum udara

h. Tekan chamber sampai cairan terisi setengah

i. Naikkan ujung infus set sejajar chamber

j. Putar klem pengatur tetesan perlahan supaya udara mudah keluar

k. Jarak botol dengan IV catheter minimal setinggi 80 cm


60

Anda mungkin juga menyukai