Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Permasalahan faktur pajak fiktif sebenarnya sudah bukan hal yang baru walau tetap menjadi
salah satu sorotan utama atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan faktur pajak
fiktif yang melibatkan oknum petugas pajak, wajib pajak, dan pihak-pihak lainnya telah berhasil
diungkap oleh DJP dengan melibatkan pihak aparat hukum yang berwenang.

Walaupun beberapa oknum yang berkaitan dengan faktur pajak fiktif tersebut telah dijatuhi
hukuman, ternyata efek jera yang ditimbulkan tidak begitu berpengaruh, dengan kata lain
permasalahan tersebut masih dapat muncul setiap saat.

Dalam rangka meningkatkan langkah antisipatif untuk menanggulangi terjadinya kasus


penggunaan faktur pajak fiktif, maka perlu kiranya pihak DJP meningkatkan pengendalian
internal terhadap permasalahan tersebut dengan langkah-langkah antara lain sebagai berikut:
Memberikan penegasan kembali tentang pentingnya melakukan langkah-langkah pengamanan
berkaitan dengan faktur pajak fiktif dan klarifikasi/konfirmasi PK-PM sebagaimana diatur dalam
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-745/PJ/2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.
Pengawasan (klarifikasi) terhadap PK-PM hendaknya dilakukan secara periodik dan tidak
hanya pada saat melakukan pemeriksaan. Bila dijumpai adanya kejanggalan dapat segera
diambil langkah-langkah pencegahan terjadinya penyimpangan lebih lanjut.

Dalam hal permintaan klarifikasi dari KPP tempat PKP Penjual terdaftar belum dijawab, maka
aparat pemeriksa pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Pengujian Arus Kas dan Arus
Barang atas Faktur Pajak yang Dimintakan Klarifikasi, dilengkapi dengan Kertas Kerja
Pemeriksaan beserta dokumen-dokumen yang mendukung hasil pengujian tersebut, seperti
rekening koran, bukti penerimaan barang, voucher, kartu gudang, atau dokumen terkait lainnya.

Lebih meningkatkan pengendalian terhadap data PK-PM dengan melakukan pembatasan


terhadap pejabat yang dapat mengakses menu dan petugas yang melakukan peng-input-an
maupun penggunaan, disertai dengan peningkatan pengawasan atasan langsung sehingga
dapat mencegah terjadinya pengubahan data oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab.

1
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah menyelesaikan penyelidikan terhadap 92 kasus
tindak pidana bidang perpajakan selama 2009–2012 dan masuk tahap penuntutan oleh
kejaksaan di pengadilan. Sekitar 69 kasus di antaranya telah divonis di pengadilan dengan
putusan penjara dan denda pidana sebesar hampir 4,3 triliun rupiah. Selama ini, kasus tindak
pidana bidang perpajakan didominasi kasus faktur pajak tidak sah (fiktif) dan bendaharawan.
Pelaku terbesar adalah wajib pajak badan sebanyak 68 kasus, wajib pajak bendaharawan
sebanyak 14 kasus, dan wajib pajak orang pribadi sebanyak 10 orang.

Kasus faktur pajak tidak sah atau fiktif memang masih marak. Direktorat Jenderal Pajak
menegaskan larangan menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya
dan/atau sebelum wajib pajak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Tidak hanya
penerbit, namun pengguna faktur pajak tidak sah juga akan kena hukuman yang sama.

Direktorat Jenderal Pajak melarang wajib pajak menggunakan faktur pajak yang tidak
berdasarkan transaksi sebenarnya dan/atau dari wajib pajak yang belum dikukuhkan sebagai
pengusaha kena pajak. Sebelum menerima faktur pajak, hendaknya mewaspadai dan
memeriksa terlebih dulu apabila penerbit itu sudah masuk suspect list Ditjen Pajak.

Penerbit dan pengguna faktur pajak tidak sah (fiktif) akan diselidiki atas tindak pidana di bidang
perpajakan. Sesuai Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), pelaku
kasus faktur pajak tidak sah dapat dituntut di pengadilan dengan ancaman pidana penjara
paling sedikit dua tahun dan paling lama enam tahun.

2
TEORITIS TEORI

Faktur Pajak adalah:

Bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP atau
bukti Pungutan Pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Ditjen Bea Cukai.

Pajak Keluaran (PK) atau Penjualan adalah:

PPN terhutag yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP atau
ekspor BKP.

Pajak Masukan (PM) atau Pembelian adalah:

PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan atau penerimaan
JKP dan atau pemanfaatan BKP/JKP tidak berujud dari luar daerah pabean dan atau impor
BKP.

Pengertian Faktur Pajak Fiktif

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE – 29/PJ.53/2003 yang dimaksud
dengan Faktur Pajak fiktif antara lain adalah:

1. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP).
2. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha dengan menggunakan nama, NPWP dan
Nomor Pengukuhan PKP orang pribadi atau badan lain.
3. Faktur Pajak yang digunakan oleh PKP yang tidak diterbitkan oleh PKP penerbit.
4. Faktur Pajak yang secara formal memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-
undang PPN, tetapi tidak memenuhi secara material yaitu tidak ada penyerahan barang
dan atau uang atau barang tidak diserahkan kepada pembeli sebagaimana tertera pada
Faktur Pajak.
5. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP yang identitasnya tidak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.

3
Dasar Hukum dan Petunjuk Pelaksanaan

1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajaknomor SE-29/PJ.53/2003 tentang Langkah-


Langkah Penanganan atas Penerbitan dan Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah (Fiktif).
2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ.52/2003 tentang Daftar dan
Sanksi atas Wajib Pajak yang Diduga Menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.
3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-15/PJ.5/2001 tanggal 8 Juni 2001
tentang Penanganan Faktur Pajak yang Diterbitkan oleh Pengusaha yang Belum
Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-755/PJ./2001 tanggal 26 Desember
2001 tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal Pajak Nomor KEP-
754/PJ/2001tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak Dengan Aplikasi
Sistem Informasi Perpajakan.
5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.7/2002 tanggal 19 Februari 2002
tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan PPn BM.
6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/2003 tanggal 8 Januari 2003
tentang Kewajiban Melaporkan Wajib Pajak yang bermasalah.

Faktur Pajak yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN dapat berupa:

1. Faktur Pajak Standar.


2. Faktur Pajak Sederhana sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-
524/PJ./2000 tentang Syarat-syarat Faktur Pajak Sederhana sebagaimana telah diubah
dengan KEP-425/PJ./2001.
3. Dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-
dokumen Tertentu Yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar sebagaimana telah
diubah dengan KEP-312/PJ./2001, antara lain:

- Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti
pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak;
- Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut;
- Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

4
Wajib Pajak yang perlu diwaspadai yang diindikasikan sebagai penerbit atau pengguna
Faktur Pajak fiktif antara lain:

1. Wajib Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN, tetapi elemen data SPT beserta
lampirannya tidak dapat direkam karena Wajib Pajak tersebut tidak terdaftar sebagai
PKP pada Master File Lokal.
2. Wajib Pajak yang sering pindah alamat atau selalu mengajukan permohonan
perpindahan alamat atau tempat kedudukan atau permohonan perpindahan lokasi
tempat terdaftar (Kantor Pelayanan Pajak).
3. Wajib Pajak Non Efektif (NE) tiba-tiba aktif dan mempunyai jumlah penyerahan yang
cukup besar tiap bulannya.
4. Wajib Pajak yang baru berdiri langsung mempunyai jumlah penyerahan besar, tetapi
kurang bayarnya relatif kecil.
5. Wajib Pajak-Wajib Pajak yang pengurus dan komisarisnya terdiri dari orang yang sama.
6. Wajib Pajak-Wajib Pajak yang Akta Pendirian badan hukumnya disahkan oleh Notaris
yang sama dan pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan, demikian
juga dengan Nomor Akta.
7. Wajib Pajak yang melaporkan jumlah penyerahan yang tidak sebanding dengan jumlah
modal atau jumlah harta perusahaan.
8. Wajib Pajak yang melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah
penyerahan yang terutang PPN (Pajak Keluaran) menjadi besar dan atau jumlah Pajak
Masukan menjadi besar.

Contoh kasus : Faktur Pajak yang semula dinyatakan batal melalui SPT Masa PPN digunakan
lagi untuk transaksi kepada pihak lain sehingga Pajak Keluaran-nya menjadi tinggi, untuk
mengimbanginya Wajib Pajak menambah nilai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya tidak mengubah nilai Pajak Pertambahan Nilai kurang
bayar yang telah dilaporkan.

1. Wajib Pajak melakukan kegiatan usaha perdagangan dan melakukan penyerahan


Barang Kena Pajak yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti core
business Wajib Pajak tersebut.
2. Wajib Pajak yang jumlah pajak kurang bayar-nya relatif kecil jika dibandingkan dengan
jumlah penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
3. Wajib Pajak tidak tertib atau tidak pernah melaporkan kewajiban perpajakan Pajak
Penghasilan Pasal 21, 23 dan 25.

5
4. Wajib Pajak yang melakukan rekayasa pembukuan.
5. Wajib Pajak yang alamatnya tidak ditemukan, begitupula alamat pengurusnya.
6. Wajib Pajak yang jumlah penyerahannya besar, namun PPh Pasal 21 nya kecil.
7. Wajib Pajak yang SPT Masa PPN-nya Lebih Bayar dan dikompensasi terus menerus,
dan begitu dilakukan pemeriksaan tidak ditemukan adanya persediaan.

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP):

1. Agar dalam rangka permohonan PKP baru, petugas Pemeriksaan Lapangan harus
mempunyai keyakinan terhadap kebenaran tempat usaha Wajib Pajak, apabila Wajib
Pajak hanya menyewa tempat usaha, maka petugas harus mempunyai keyakinan
terhadap alamat dari pengurus perusahaan (dewan direksi) dan dewan komisaris.
2. Menginventarisir kegiatan usaha PKP, untuk PKP perdagangan, importir, kontraktor dan
supplier agar dipisahkan.
3. Mempelajari kebenaran berkas Wajib Pajak, KTP pengurus, keterangan domisili dan
berkas data yang ada di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), terutama Wajib Pajak yang
melakukan kegiatan perdagangan, importir, kontraktor dan supplier.
4. Menganalisa SPT Masa PPN dengan setoran masa PPh Badan dan PPh 21 untuk
mendapatkan gambaran kegiatan Wajib Pajak dan kewajaran setoran masa PPh Badan,
dan indikasi adanya penyimpangan di dalam penerbitan Faktur Pajak.
5. Agar dalam melakukan konfirmasi atas kebenaran Faktur Pajak pemeriksa mewaspadai
pengkreditan Pajak Masukan tersebut untuk keperluan restitusi.
6. Agar Kepala KPP melakukan pengawasan dan penelitian terhadap Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud di atas dan agar hasil penelitian dilaporkan kepada Kepala
Kantor Wilayah DJP berikut tindak lanjut usulan yang akan dilakukan, setiap 3 (tiga)
bulan sekali, dengan tembusan Direktur Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak.
7. Dalam hal klarifikasi Faktur Pajak, apabila terdapat indikasi bahwa Faktur Pajak yang
dimintakan klarifikasi adalah fiktif, maka terhadap PKP Penjual yang menerbitkan Faktur
Pajak dengan indikasi tidak sah tersebut diusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP
untuk diperiksa.
8. Apabila dari hasil penelitian ditemukan data yang menunjukkan Wajib Pajak sebagai
penerbit dan atau pengguna Faktur Pajak fiktif maka agar terhadap Wajib Pajak tersebut
dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
9. Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Wajib Pajak adalah penerbit dan atau
pengguna Faktur Pajak fiktif, maka terhadap penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan

6
pemeriksaan Bukti Permulaan. Sedangkan terhadap pengguna Faktur Pajak fiktif agar
dihimbau untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan Pasal
8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur Pajak tersebut karena
secara formal dan material tidak memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-undang
PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT Masa PPN terdapat PPN yang kurang
dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar dengan menggunakan SSP. Apabila
pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT Masa PPN sesuai batas waktu
yang ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib Pajak itu dilakukan
penyidikan.
10. Dalam hal hasil pemeriksaan melibatkan Wajib Pajak lain sebagai penerbit Faktur Pajak
fiktif, maka agar daftar Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut dilaporkan kepada Kepala
Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak penerbit Faktur Pajak fiktif
terdaftar dengan tembusan Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib
Pajak pengguna Faktur Pajak fiktif terdaftar. Sedangkan dalam hal hasil pemeriksaan
melibatkan Wajib Pajak lain sebagai pengguna Faktur Pajak fiktif, maka agar daftar
Wajib Pajak-Wajib Pajak tersebut dilaporkan kepada Kepala Kanwil DJP yang
membawahi KPP tempat Wajib Pajak pengguna Faktur Pajak fiktif terdaftar dengan
tembusan Kepala Kanwil DJP yang membawahi KPP tempat Wajib Pajak penerbit
Faktur Pajak fiktif terdaftar..
11. Mengusulkan kepada Kepala Kanwil DJP masing-masing agar terhadap Wajib Pajak
tersebut dilakukan pemeriksaan atau penyidikan; dan
12. Dalam hal Faktur Pajak tersebut diterbitkan oleh Pengusaha yang belum dikukuhkan
sebagai PKP segera beritahukan kepada seluruh KPP terkait (KPP domisili PKP yang
mengkreditkan Faktur Pajak yang tidak sah tersebut) bahwa Faktur Pajak yang
diterbitkan Wajib Pajak dimaksud adalah merupakan Faktur Pajak yang tidak sah karena
Wajib Pajak tersebut belum dikukuhkan sebagai PKP, sesuai Pasal 9 ayat (8) Undang-
undang PPN maka Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan.

7
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak
(Karikpa)*:

1. Apabila permintaan klarifikasi Faktur Pajak dengan aplikasi Sistem Informasi Perpajakan
ditemukan Wajib Pajak termasuk dalam suspect list di program PKPM, maka pemeriksa
harus mewaspadai transaksi tersebut untuk diuji lebih dalam.
2. Selain melakukan permintaan klarifikasi data Pajak Masukan, pemeriksa harus menguji
arus uang, arus utang, arus piutang, arus barang dan arus dokumen.
3. Apabila ditemukan Faktur Pajak fiktif maka Kepala Karikpa harus:

- Membuat daftar Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan Faktur Pajak
fiktif, untuk diserahkan kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan
tembusan Direktur P4;
- Membuat alat keterangan (alket) kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar atas
transaksi yang menggunakan Faktur Pajak tidak sah (fiktif) tersebut;
- Mengusulkan untuk perluasan pemeriksaan atau bukti permulaan kepada Kepala Kanwil
DJP dengan tembusan Direktur P4 dan Kepala KPP dimana Wajib Pajak terdaftar; dan
- Apabila Wajib Pajak terbukti menerbitkan Faktur Pajak tidak sah, maka dalam Laporan
Pemeriksaan Pajak (LPP) diusulkan untuk disidik dan dicabut PKP-nya.

1. Dalam hal PKP yang diperiksa adalah penerbit Faktur Pajak fiktif agar dilakukan
pemeriksaan Bukti Permulaan. Dalam hal PKP yang diperiksa adalah pengguna Faktur
Pajak fiktif agar dihimbau untuk membetulkan SPT Masa PPN yang bersangkutan
sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-undang KUP dan tidak mengkreditkan Faktur
Pajak tersebut karena secara formal dan material tidak memenuhi ketentuan Pasal 13
ayat (5) Undang-undang PPN. Apabila berdasarkan pembetulan SPT Masa PPN
terdapat PPN yang kurang dibayar, agar PPN kurang bayar tersebut dibayar dengan
menggunakan SSP.
2. Apabila pengguna Faktur Pajak fiktif tidak membetulkan SPT Masa PPN sesuai batas
waktu yang ditentukan dalam surat himbauan, agar terhadap Wajib Pajak itu dilakukan
penyidikan.

Ket: * Sebelum adanya penggabungan menjadi KPP Pratama.

8
Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kanwil):

1. Menginventarisir daftar Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan Faktur
Pajak fiktif yang dilaporkan oleh KPP.
2. Kanwil dapat melakukan pemeriksaan atau penyidikan atas Wajib Pajak sebagaimana
tercantum dalam laporan KPP.
3. mengawasi dan memantau KPP dalam menindaklanjuti data-data tersebut.
4. Selanjutnya, daftar Wajib Pajak-Wajib Pajak yang menerbitkan dan atau menggunakan
Faktur Pajak tidak sah yang telah diinventarisir, serta tindak lanjut yang telah dilakukan
baik oleh KPP, Karikpa maupun Kanwil, agar dilaporkan setiap 3 (tiga) bulan sekali
kepada Direktur P4 dengan tembusan Direktur PPN dan PTLL*.

Direktur PPN dan PTLL akan mengirimkan data-data tersebut kepada Direktur Informasi
Perpajakan.

Direktorat Informasi Perpajakan akan*:

1. Meng input daftar Wajib Pajak penerbit dan pengguna Faktur Pajak fiktif ke dalam
intranet dan menghubungkan dengan program PK PM.
2. Meng up date daftar Wajib Pajak sebagaimana tercantum pada butir a secara teratur.

Dalam menangani Pengusaha yang menerbitkan Faktur Pajak sebelum dikukuhkan sebagai
PKP agar tetap berpedoman pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
15/PJ.5/2001 tanggal 8 Juni 2001 tentang Penanganan Faktur Pajak yang Diterbitkan oleh
Pengusaha yang Belum Dikukuhkan Sebagai Pengusaha Kena Pajak dan Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.52/2003 tanggal 8 Januari 2003 tentang Kewajiban
Melaporkan Wajib Pajak yang Bermasalah.

Dalam melakukan pemeriksaan, maka pemeriksa tetap memperhatikan penegasan


sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
01/PJ.7/2002tanggal 19 Februari 2002 tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Pajak
Pertambahan Nilai dan PPn BM, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
755/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal
Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak
Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.

Ket: * Sebelum adanya perubahan struktur organisasi DJP modern.

9
Sanksi

Terhadap Wajib Pajak yang termasuk di dalam daftar pada lampiran surat edaran ini agar
dilakukan pemeriksaan dengan tetap memperhatikan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-1/PJ.7/2002 tanggal 19 Februari 2002 tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan
Pajak Pertambahan Nilai dan PPn BM, dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
755/PJ./2001 tanggal 26 Desember 2001 tentang Penyampaian Keputusan Direktorat Jenderal
Pajak Nomor KEP-754/PJ/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konfirmasi Faktur Pajak
Dengan Aplikasi Sistem Informasi Perpajakan.

Apabila dalam pemeriksaan, Wajib Pajak terbukti menerbitkan Faktur Pajak tidak sah maka
Wajib Pajak tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Wajib Pajak yang termasuk di dalam daftar pada
lampiran SE-27/PJ.52/2003 tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Pajak Pertambahan
Nilai yang terutang atas transaksi tersebut akan ditagih lagi beserta sanksinya, apabila dari
hasil pemeriksaan arus uang dan arus barang dapat dibuktikan bahwa transaksi tersebut
adalah tidak benar.

10
PEMBAHASAN

Studi kasus : Faktur Pajak Fiktif atas nama Effendi


Pekerjaan : Direktur Utama PT Sentral Sawita Mulia
Tempat lahir : Tebing Tinggi
Tanggal lahir : 17 Desember 1956
Jenis kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Tempat tinggal : Jalan Bambu II Dalam No. 3-H Medan
Agama : Budha
Alamat Kantor : Jalan Yos Sudarso No. 20 Kompleks Graha Niaga Blok B-13 Medan

Direktur Utama PT Sentral Sawita Mulia (PT SSM), Effendy, satu dari empat terdakwa
pengemplang pajak negara senilai Rp12,1 miliar akhirnya diadili di Pengadilan Negeri Medan.

Sebelumnya, persidangan sempat tertunda dua kali karena terdakwa sakit. Dalam dakwaannya
Jaksa Penuntut Umum (JPU) RO Panggabean menyebutkan, sesuai hasil penyidikan Dirjen
Pajak Kanwil Sumatera Utara I, Effendi didakwa pasal 39 ayat 1 huruf c Undang-undang (UU)
Nomor 6 Tahun 1983 yang diubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan dan pasal 64 KUHP.

Menurut Jaksa, terdakwa diduga melakukan penggelapan pajak sejak Januari 2004-Desember
2005 sehingga menimbulkan kerugian negara sekitar Rp4,6 miliar. Rinciannya adalah kerugian
dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp1,17 miliar dan pajak penghasilan badan Rp3,5
miliar. Terungkapnya perbuatan Efendi beserta terdakwa lainnya dari PT Karya Bina Bersama
(PT KBB) yakni Tjuni Ai Liang, Aswan Winarto,dan Juny berdasarkan hasil penyidikan PPNS
pajak.

Terkuaknya kasus ini berawal dari terungkapnya sindikat penerbit faktur pajak tidak sah di
Pulau Jawa. Hasil penyidikan ditemukan empat perusahaan yakni, PT SSM,PT KBB, PT Yudati
Putera Utama, dan CV Tehnik Utama yang beroperasi di Sumut menggunakan faktur pajak
tidak sah. Penggunaan faktur ini untuk menghindari pajak yang semestinya harus dibayarkan
kepada negara.

11
Menurut audit Dirjen Pajak, atas kejahatan ke empat perusahaan dan CV itu Negara dirugikan
seniali Rp 12,5 miliar. Penyidik telah menetapkan enam tersangka dalam kasus yang pertama
kali terungkap di Sumut ini. Namun dua tersangka lain,yakni Aliudin Pohan dari PT Yudati
Putera Utama, serta Tony Santoso dari CV Tehnik Utama masih dalam status daftar pencarian
orang (DPO).

Kamis, tanggal 11 September 2008 kasus ini pun selesai diproses oleh Mahkamah Agung RI
dengan segala tuntutan yang ditetapakan kepada Effendi. Informasi detailnya dapat di baca
pada Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada situs
http://putusan.mahkamahagung.go.id (putusan MA RI kasus PT Sentral Sawita Mulia terlampir).

12
KESIMPULAN & SARAN

DJP "menengarai" ada Wajib Pajak tertentu yang memang dengan sengan memanfaatkan
kelemahan dari sistem PPN. Walaupun bentuknya selembar kertas yang ditandatangani oleh
bagian accounting, sebenarnya faktur pajak sama dengan uang kertas! Faktur pajak bisa
mengurani PPN terutang. Bahkan bisa "menarik" uang negara melalui mekanisme restitusi.

Benar bahwa setiap permohonan restitusi wajib diperiksa oleh DJP. Tetapi yang melakukan
pemeriksaan adalah [sebagian besar] pemeriksa pajak yang selalu berpikir positif. Pemeriksa
pajak lebih sering berada pada tataran formalitas. Artinya, jika formalitas sudah dipenuhi maka
restitusi disetujui untuk dikeluarkan.

Permasalahan muncul jika formalitas berbeda dengan substansi. Formalitasnya ada jual beli,
tetapi pada kenyataannya tidak ada penyerahan barang. Dulu DJP menyebut faktur pajak fiktif.
Kemudian karena dipermasalahkan di pengadilan, maka disebut faktur pajak bermasalah.
Tetapi istilah sekarang adalah "faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya"
sebagaimana disebutkan di Pasal 39A UU KUP.

Pembuat faktur pajak fiktif tersebut sering disebut pemain. Ya, mereka memang "bermain-main"
dengan membuat dokumen faktur pajak. Pekerjaan pemain ini HANYA membuat faktur pajak
dan menjual kepada yang membutuhkan atau pengguna. Karena itu, pihak yang paling diburu
oleh DJP adalah pemain ini.

Surat Edara Direktur Jenderal Pajak No. SE-132/PJ/2010 mengatur langkah-langkah yang akan
dilakukan oleh DJP baik di tingkat pusat, kanwil maupun KPP. Pada intinya, KPP akan
melakukan penelitian atas Wajib Pajak yang terdapat indikasi penerbit atau pengguna faktur
pajak tidak sah [ini istilah yang digunakan di SE-132/PJ/2010]. Pada tahap ini, KPP hanya
menghimbau kepada Wajib Pajak jika memang indikasi tersebut benar.

Nah, Wajib Pajak yang mendapat himbauan dari KPP sebaiknya ditanggapi. Jika menolak
berikan alasan yang sebenarnya. Jika himbauan tersebut tidak ditanggapi justru bukan
menyelesaikan masalah tetapi akan menambah berat masalah karena akan dilakukan
pemeriksaan Bukti Permulaan.

Dari SE-132/PJ/2010 menyebutkan bahwa DJP akan mengeluarkan surat edaran suspect list.
Sesuai namanya, surat edaran ini merinci Wajib Pajak mana saja yang diindikasikan sebagai

13
penerbit atau pengguna. Nah, walaupun sudah dibuatkan surat edaran dan ditandatangani oleh
direktur jenderal, tetapi Wajib Pajak bisa dikeluarkan dari suspect list jika melakukan
sanggahan. Wajib Pajak diberi waktu untuk melakukan sanggahan atas SE suspect list tersebut
dalam jangka waktu 6 bulan saja.

SE-132/PJ/2010 salah satu cara bagaimana membuat basis data untuk informasi awal tentang
faktur pajak tidak sah. Maksudnya untuk pencegahan jika salah satu pemain masuk ke sistem
komputer maka komputer akan memberitahukan pengguna. Karena itu di surat edaran ini juga
mengatur langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Direktorat Teknologi Informasi
Perpajakan.

Dari sisi kemudahan penerbitan faktur pajak, ketika semua perusahaan dapat dengan
mudahnya menerbitkan faktur pajak. Sering ditemui faktur pajak tidak hanya diterbitkan oleh
Pengusaha Kena Pajak (PKP), namun juga diterbitkan oleh Wajib Pajak yang non PKP. Bahkan
ada kasus dimana perusahaan atau individu yang belum terdaftar (belum ber-NPWP) turut
menerbitkan faktur pajak. Faktur pajak yang diterbitkan oleh non-PKP atau bahwa non-Wajib
Pajak, inilah yang dinamakan faktur pajak fiktif. Selain itu, meski diterbitkan oleh PKP, namun
jika transaksi yang tercantum dalam faktur pajak tersebut adalah bukan transaksi yang
sebenarnya, faktur pajak juga dilabeli sebagai fiktif. Sebagai contoh, toko pakaian menerbitkan
faktur pajak atas transaksi penjualan bahan bangunan, yang mana tidak sesuai dengan
transaksi yang sebenarnya.

Mengatasi hal tersebut, DJP telah melakukan beberapa pembenahan terkait sistem administrasi
PPN. Upaya pertama yang dilakukan DJP adalah penertiban terhadap PKP. Pada tahun 2012
lalu, seluruh KPP diharuskan melakukan pendaftaran ulang PKP dan melakukan verifikasi
alamat PKP langsung ke lapangan. Apabila ternyata PKP tersebut tidak ditemukan di
alamatnya, atau PKP tersebut sudah tidak melakukan kegiatan usaha, maka status PKPnya
langsung dicabut, dan diumumkan melalui Situs Pajak (www.pajak.go.id). Pengumuman ini
dimaksudkan agar PKP lainnya tidak bertransaksi dengan menerbitkan faktur pajak kepada
PKP yang sudah dicabut ijinnya.

Kegiatan tersebut membuahkan hasil berupa pencabutan status PKP terhadap lebih dari 300
ribu Wajib Pajak. Upaya ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari sektor PPN di tahun
2012, dari target sebesar Rp 336,1 triliun (APBN-P 2012) terealisasikan sebesar Rp 337,6
triliun. Selain membenahi data PKP, faktur pajakpun dibenahi dan diatur ulang tatacara

14
penomorannya. Terhitung mulai 1 April 2013, penomoran faktur pajak dilakukan secara
sentralisasi oleh DJP melalui KPP dimana PKP terdaftar.

Agar dapat dipastikan hanya PKP patuh yang akan memperoleh nomor seri faktur pajak, DJP
mensyaratkan agar sebelum memperoleh nomor seri faktur pajak, PKP diharuskan mengajukan
permohonan kode aktivasi dan password untuk memperoleh nomor seri faktur pajak. Kode
aktivasi hanya sekali saja digunakan, yakni pada saat mengaktifkan akun, sedangkan password
akan digunakan setiap kali pengambilan nomor seri faktur pajak. PKP yang diperbolehkan
mengajukan permohonan kode aktivasi dan password, hanyalah PKP yang telah melaporkan
SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir. Kode aktivasi akan dikirimkan ke alamat PKP sesuai
dengan alamat yang ada di database kantor pajak, sedangkan password akan dikirim melalui
email PKP bersangkutan.

Dengan cara tersebut, dipastikan hanya PKP patuh yang jelas keberadaanya akan memperoleh
nomor seri faktur pajak yang bersifat unik. Nomor yang dikeluarkan oleh KPP juga bersifat acak,
dan tidak perlu digunakan secara berurutan. Hal ini akan mempermudah identifikasi faktur pajak
fiktif yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang tidak berhak menerbitkannya. Hal teknis terkait
dengan penomoran faktur pajak yang baru ini dapat dilihat pada PER-24/PJ/2012 dan
pembetulannya pada PER-08/PJ/2013. Terhitung mulai 1 Juni 2013, seluruh PKP diharapkan
sudah melakukan penomoran faktur pajak sesuai ketentuan terbaru tersebut.

Selain hal yang disebutkan di atas, untuk mendeteksi adanya faktur pajak fiktif sebaiknya
lakukan audit program dengan memastikan kondisi: Penjualan/penerimaan kas,
Pembelian/pengeluaran kas, Persediaan dan komputer system.

15
HIMBAUAN
Sebagai seorang Account Representative (AR) seharusnya mempunyai kemampuan
menghimbau kepada para wajib pajak baik Pemilik Perusahaan, direktur maupun komisaris
secara khusus divisi akuntansi, bendaharawan dan perpajakan di perusahaan untuk segera
melakukan perbaikan atau pengecekan kembali atas SPT yang sudah dilaporkan. Dan bagi
penerbit yang sengaja menjual faktur/menggunakan faktur pajak dengan tidak sebagaimana
mestinya untuk segera menyadari bahwa hal tersebut adalah salah. Dalam internet dan media
informasi lain banyak kisah nyata yang inspiratif dimana membuktikan bahwa sang pencipta
memiliki maksud mulia kita diciptakan di dunia ini. Jika para wajib pajak mempertanyakan
kemana uang pajak yang dikumpulkan jangan tanya pada DJP, jika marak dipublikasikan
bahwa DJP seakan-akan seluruhnya telah rusak secara moral tentu menyakitkan buat mereka
karena sebenarnya mereka bekerja untuk negara tercinta ini.

Mari bersama membangun bangsa Indonesia ini dengan merasa bangga karena mampu
membayar pajak. I’m Proud to be a tax payer.

Terima kasih dan Wassalam.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. http://putusan.mahkamahagung.go.id
2. http://www.nusahati.com/2012/04/terhindar-dari-faktur-pajak-pajak-bermasalah/
3. http://arjunajatwin33.blogspot.com/2008/07/permasalahan-faktur-pajak-fiktif.html
4. http://www.pajak2000.com/news_print.php?id=1680
5. http://pajaktaxes.blogspot.com/2010/12/untuk-pemain-faktur-pajak.html
6. http://pajakpraktis.wordpress.com/2010/03/08/penanganan-faktur-pajak-fiktif/
7. http://www.pajak.go.id/peraturan_tkb?id=423215dae3a7a243e300638262f9242d
8. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/118913
9. http://www.pajak.go.id/content/cegah-faktur-pajak-fiktif-penomorannya-diatur-ulang
10. http://www.nusahati.com/2012/04/terhindar-dari-faktur-pajak-pajak-bermasalah/
11. http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=31
12. Bahan perkuliahan mata kuliah Perpajakan dosen Drs. Zainuddin Lubis, M.Si, Ak.

17

Anda mungkin juga menyukai