Anda di halaman 1dari 13

Etnometodologi H.

Garfinkel (Mohammad Fateh) 211

EPISTEMOLOGI HADIS:
Melacak Sumber Otentitas Hadis

Ahmad Atabik*

Abstrak: Al-Qur’an dan Hadis mempunyai sisi historis yang berbeda.


Sisi perbedaan inilah yang berimplikasi pada perbedaan dalam
perkembangan ilmu-ilmu yang berafiliasi pada keduanya. Di antara
perbedaan yang sangat signifikan antara keduanya adalah dalam
sampainya kepada generasi selanjutnya. al-Qur’an sebagai sumber
pertama ajaran Islam –tidak diragukan lagi—sampai kepada generasi
berikutnya dengan cara tasalsul atau tawâtur. Sedangkan Hadis
kalau dirunut hanya sedikit yang bersifat tawâtur, dan yang mayoritas
bisa dibilang sebagai Hadis âhâd.
Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menelusuri sisi ‘epistemologi’
Hadis. Bagaimana cara mengetahui Hadis yang sampai kepada kita?
Tentunya, ini diperlukan suatu hal atau piranti yang dapat menjembatani
atau menelusuri permasalahan, sumber awal atau masa silam di sekitar
Nabi yang berada di luar jangkauan kita. Penulis memberikan beberapa
tawaran untuk mengetahui masa lampau yang di luar jangkauan
inderawi kita. Di antaranya adalah sistem isnâd atau sanad dan
konsep tawâtur. Tentunya dengan adanya sanad dan kemutawâtiran
akan memperjelas posisi teks atau sumber ajaran Islam itu benar-
benar berasal dari Nabi sebagai penyampai risalah.

Quran and Hadith have different historical side. This different


implicates the differences of science development affiliated with them.
One of them, that are very significant, is their link from the period of
the prophet Mohammad to us. Quran as the first source of Islamic
teaching –no doubt– comes to us by tasalsul or tawâtur (handed

*. Jurusan Ushuluddin STAIN Kudus.


212 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

down from person to person for generations). Hadith, on the other


hand, if it is examined carefully, has only little that is tawâtur, and
most of them can be said as Hadith âhâd.
In this paper, I will try to examine the epistemological side of Hadith.
How to know its link from the Prophet to us? Certainly, a tool that is
able to bridge and examine the problems around the first source or
the Prophet period that is out of our coverage is needed. I give some
suggestions to know it. Two of them are the isnâd or sanad system
and the concept of tawâtur. The existence of sanad and its tawâtur,
will, of course, clarify the position of the text or the source of Islamic
teaching is really from the Prophet as a messenger.

Kata Kunci: Epistemologi, Hadis, Isnâd, Mutawâtir dan Sejarah.

PENDAHULUAN
Sunnah atau lebih dikenal dengan Hadis, sebagai fondasi kedua ajaran
Islam setelah al-Qur’an, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah
mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Sejarah merekam
bahwa gerakan Hadis baru muncul kira-kira seabad setelah Nabi Muhammad
wafat. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang.
Persaingan politik antarkelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan
juga ikut mewarnainya. Hingga akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian
tersebut menghasilkan beberapa kitab besar (kitab Hadis) yang dianggap
autentik.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, Hadis mempunyai
kedudukan yang istimewa di kalangan umat Islam. Hal ini dikarenakan Hadis
merupakan identitas konkrit atas perbuatan, perkataan, keputusan-keputusan
dan sifat-sifat yang melekat pada Nabi. Tidak berhenti pada itu saja, bahkan
yang menjadikan al-Qur’an dan Hadis sakral karena keduanya merupakan
wahyu Muhammad Nabi Islam, hanya saja sumber redaksi yang membedakan
keduanya, redaksi al-Qur’an bersumber dari Allah sedang redaksi Hadis
bersumber dari diri Muhammad (Qardhawi, 2002: 34).
Sebagai suatu yang berkedudukan sentral dalam ajaran Islam, sangatlah
logis apabila perhatian dan konsentrasi umat Islam dalam studi al-Qur’an dan
Hadis melebihi konsentrasi pada studi ilmu lain. Ini disebabkan karena al-
Qur’an dan Hadis menjadi inspirasi sumber bagi segala ilmu keIslaman umat
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 213

Islam di segala zaman yang bisa ditelusuri oleh sejarah hingga ke sumber
aslinya. Di situlah ada kesinambungan antara nabi sebagai pembawa risalah
sumber asli dan generasi-generasi selanjutnya. Konsep berkesinambungan
dalam Islam inilah yang disebut tawâtur.
Walaupun demikian, antara al-Qur’an dan Hadis mempunyai sisi historis
yang berbeda. Sisi perbedaan inilah yang berimplikasi pada perbedaan dalam
perkembangan ilmu-ilmu yang berafiliasi pada keduanya. Di antara perbedaan
yang sangat signifikan antara keduanya adalah dalam sampainya kepada
generasi selanjutnya. al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam–tidak
diragukan lagi—sampai kepada generasi berikutnya dengan cara tasalsul
atau tawâtur. Sedangkan Hadis kalau dirunut hanya sedikit yang bersifat
tawâtur, dan yang mayoritas bisa dibilang sebagai Hadis âhâd (Qardhawi,
2002: 35).
Berangkat dari view point di atas, tulisan ini akan mencoba menelusuri
sisi ‘epistemologi’ Hadis. Hal ini dengan menjawab pertanyaan; Bagaimana
cara mengetahui Hadis yang sampai kepada kita? Tentunya, ini diperlukan
suatu hal atau piranti yang dapat menjembatani atau menelusuri permasalahan,
sumber awal atau masa silam di sekitar Nabi yang berada di luar jangkauan
kita. Penelusuran ini dirasa sangat urgen guna mengetahui sisi otentisitas sumber
ajaran Islam itu sendiri. Di samping itu perlu adanya pembumian niliai-nilai
yang terkandung dalam Hadis-hadis Nabi yang membentuk berbagai corak
kehidupan dalam kultur komunitas masyarakat muslim secara umum dari
masa-ke masa hingga sekarang ini.

PEMBAHASAN
A. Pengertian Epistemologi Hadis
Sejauh ini belum banyak karya pemikiran yang membahas tentang Hadis
dengan berbagai macam prespektifnya yang secara langsung membahas
tentang ‘epistemologi Hadis’. Kemungkinan hal ini disebabkan karena
kurangnya akademisi atau pemikir yang secara langsung berkecimpung dalam
bidang kajian Hadis beserta ilmu yang berkenaan dengannya termasuk
epistemologi Hadis. Padahal menurut hemat penulis ‘epistemologi Hadis’
sangat dibutuhkan untuk mengetahui kebenaran sejarah masa silam.
Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang mempelajari batas-
batas pengetahuan yang mencoba untuk digunakan sebagai alat penghubung
214 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

masa silam. Kata ‘epistemologi’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, terdiri
dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran,
percakapan). Jadi epistemologi berarti ilmu, percakapan tentang pengetahuan
atau ilmu pengetahuan (Hafni, 1999: 19). Pokok persoalan dari kajian
epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan; bidang,
batas jangkauan pengetahuan. Oleh sebab itu, rangkaian pertanyaan yang
biasa diajukan untuk mendalami permasalahan yang dipersoalkan di dalam
epistemologi adalah; apakah pengetahuan itu, apakah yang menjadi sumber
dan dasar pengetahuan? Apakah pengetahuan itu adalah kebenaran yang pasti
ataukah hanya merupakan dugaan? (Rapar, 2002: 38). Dengan kata lain,
epistemologi berarti “studi atau teori tentang pengetahuan” (the study or
theory of knowledge). Namun, dalam diskursus filsafat, epistemologi
merupakan cabang dari filsafat yang membahas asal usul, struktur, metode-
metode, dan kebenaran pengetahuan. Selain itu, dapat pula dikatakan bahwa
epistemologi adalah cabang dari filsafat yang secara khusus membahas “teori
tentang pengetahuan”.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan suatu
kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui oleh
seseorang tentang sesuatu. Maka, ketika seseorang mengatakan bahwa ia
mengetahui sesuatu, berarti ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu itu. Lebih
jelasnya bahwa pengetahuan itu dibagi menjadi tiga. Pertama, pengetahuan
biasa. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan pra ilmiah dan nir ilmiah (Rapar,
2002: 38). Kedua, pengetahuan ilmiah. Adalah pengetahuan yang diperoleh
lewat penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian
kebenarannya. Ketiga, pengetahuan filsafati. Yang terakhir ini, diperoleh lewat
pemikiran rasional yang didasarkan pada pemahaman, spekulasi, penilaiaan
kritis dan penafsiran (Rapar, 2002: 38).
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada
sumber pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran
(the theory of truth) pengetahuan. Pembahasan yang pertama berkaitan
dengan suatu pertanyaan apakah pengetahuan itu bersumber pada akal pikiran
semata (rasionalism), indera (empiricism), atau intuisi. Sementara itu,
pembahasan yang kedua terfokus pada pertanyaan apakah “kebenaran”
pengetahuan itu dapat digambarkan dengan pola korespondensi, koherensi
atau praktis-pragmatis. Selanjutnya, pembahasan dalam epistemologi
mengalami perkembangan, yakni pembahasannya terfokus pada sumber
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 215

pengetahuan, proses dan metode untuk memperoleh pengetauan, cara untuk


membuktikan kebenaran pengetahuan, dan tingkat-tingkat kebenaran
pengetahuan.
Sedangkan epistemologi dalam filsafat Islam sebagaimana diterangkan
S.I. Poeradisastra, sebagaimana dikutip Miska Muhammad Amin, berjalan
dari tingkat-tingkat: 1) contemplation (perenungan) tentang sunatullah
sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an, 2) sensation (penginderaan), 3)
perception (pencerapan), 4) representation (penyajian), 5) concept
(konsep), 6) judgment (pertimbangan) dan reasoning (penalaran).
Dikatakannya, epistemologi di dalam Islam tidak berpusat kepada manusia
(anthropocentric) yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri
(antonomours) dan menentukan segala-galanya, melainkan berpusat kepada
Allah (theocentric), sehingga berhasil atau tidaknya tergantung setiap usaha
manusia kepada kehendak Allah (Amin, 1979: 132).
Epistemologi Hadis bertolak dari “teks” yang identik dengan khabar
sebagai otoritas (sulthah), yaitu warisan pemikiran yang ditransmisikan oleh
para sahabat dari Nabi Muhammad SAW. Sebagai karakter distingtif yang
membedakan dari epistemologi secara umum, problematika yang mendasar
dari epistemologi Hadis bukanlah problematika benar-salah secara logik,
melainkan problematika “kemungkinan sahih” (al-shih?h?ah?) dan “status
palsu” (al-wadh’). Hal itu karena Hadis sebagai otoritas referensial terkait
dengan problematika antara “ungkapan” (lafazh) dan “makna” (ma’na). Oleh
karena itu, epistemologi Hadis menunjukkan keterkaitan antara khabar di
satu sisi dan sumber-sumber pengetahuan di sisi yang lain.
Secara epistemologis, khabar diklasifikasikan kepada dua: pertama,
khabar yang meniscayakan pengetahuan langsung (dharûry). Ada dua
karakteristik yang menjadi tolak ukurnya: (1) orang-orang yang
mentransmisikannya harus memberitakan apa yang diketahui secara pasti;
dan (2) jumlah orang yang mentransmisikan harus lebih dari empat orang dan
didasarkan pada wahyu (simâ’) dan persyaratan persaksian (syahâdah) dan
proses ini terjadi secara tawâtur (berulang-ulang) dan pengulangan itu sendiri
membentuk apa yang disebut sebagai “keteraturan peristiwa-peristiwa”
(itththarâd al-hawâdîts). Di samping itu isi berita itu berdasarkan dari sesuatu
yang telah menjadi tradisi.
Khabar ini kebenarannya diketahui dengan inferensi (istidlâl). Tipe ini
diklasifikasikan kepada tiga hal: (1) khabar yang sumbernya diyakini tidak
216 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

mungkin berdusta, yaitu khabar al-Qur’an dan Sunnah; (2) khabar yang
dinyatakan benar (tashdîq) oleh seseorang yang diketahui memiliki kredibilitas
yang cukup atau tidak mungkin berdusta; (3) khabar yang harus disertai
kondisi-kondisi khususnya (ah?wâl) untuk kualifikasi sebagai khabar yang
benar.
Kedua, tipe khabar yang disampaikan oleh seseorang (khabar al-wâhid,
khabar ahad) yang diketahui melalui persepsi dan disampaikan kepada
beberapa orang sesudahnya. Berbeda dengan khabar mutawatir yang dianggap
meniscayakan pengetahuan langsung (dharûri), khabar perorangan belum
memenuhi kriteria korespondensi dan afektivitas. Karena itu, khabar
perorangan secara epistemologis belum mancapai tingkat pengetahuan,
meskipun dianggap valid dari segi fikih (‘ibadah) karena statusnya zhann
atau ghalabat al-zhann (Silaturrahmah, 2006: 48).
Di dalam kajian epistemologi secara umum, terdapat beberapa teori
kesahihan atau kebenaran pengetahuan, antara lain teori kesahihan koherensi
(pernyataan suatu pengetahuan), teori kebenaran korespondensi (saling
bersesuaian), teori kebenaran pragmatis, teori kebenaran semantik dan teori
kebenaran logikal berlebihan (Silaturrahmah, 2006: 42-43). Tapi nampaknya
dari kelima teori kebenaran ini hanya dua teori (koherensi dan korespodensi)
yang relevan diterapkan dalam wacana kajian Hadis dikarenakan kedua teori
ini kemungkinan dapat diimplementasikan dalam bidang kajian sejarah. Teori-
teori kebenaran ini diharapkan dapat diterapkan dalam menilai status epistemik
laporan Hadis (sejarah masa silam).
Lebih lanjut, apabila epistemologi sebagai teori ilmu pengetahuan dikaitkan
dengan Hadis yang nota benenya sebagai produk sejarah dari laporan masa
silam, maka pengetahuan atau persoalan yang dikembangkan adalah bagaimana
cara mengetahui masa silam itu? Apa mungkin kita mengetahui masa silam
yang jauh dari pengamatan inderawi kita?. Olehnya, upaya untuk mengetahui
masa silam ini diharapkan bisa tercapai dengan membuat rumusan yang telah
digariskan oleh epistemologi itu sendiri. Di antaranya membuat rumusan kriteria
dengan menerapkan metode-metode ilmiah dan teori kebenaran yang
selanjutnya dikaitkan dengan ilmu Hadis. Dengan metode yang merupakan
ciri dari pengetahuan ilmiah ini maka penelusuran kebenaran masa silam ini
akan tercapai. Berangkat dari sini, penulis menawarkan beberapa metode
yang kiranya bisa diterapkan ketika hendak mengetahui secara persis masa
silam itu, diantaranya dengan mengetahui sejarah Hadis (masa silam), teori
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 217

isnâd dan periwayatan (sebagai konsep penghubung dari generasi pertama


ke generasi selanjutnya) dan tawâtur (kebersinambungan masa silam).

B. Sejarah Hadis; Sebagai Jembatan Mengetahui Masa Silam


Sebelum melangkah pada pembahasan epistemologi Hadis, tentang hal
apa saja yang menjembatani Hadis-hadis itu bisa sampai kepada kita, alangkah
baiknya kita sedikit akan menelusuri sejarah Hadis dan perkembangannya
dari masa kemasa. Hal ini dianggap urgen karena Hadis sebagai laporan masa
silam mesti berkaitan erat dengan sejarah. Sebab Hadis sendiri merupakan
produk sejarah. Walaupun keduanya berbeda dari segi bentuknya. Sejarah
merupakan suatu pendapat yang hasil rekonstruksi dari orang yang tidak
sezaman mengenai suatu bagian masa silam berdasarkan bukti-bukti yang
ada. Dengan kata lain sejarah adalah suatu pernyataan umum (general state-
ment) tentang masa lalu. Sebaliknya Hadis adalah sebuah pernyataan historis
yang bersifat singular dan bukan merupakan deskripsi menyeluruh mengenai
bagian tertentu dari masa silam. Dengan kata lain Hadis bukan rekonstruksi,
melainkan laporan sezaman secara apa adanya (Anwar, 2003: 104-119).
Uraian sejarah Hadis dirasa penting untuk menjembatani dan
menghubungkan kita kepada sumbernya yaitu Nabi sendiri sebagai pengemban
risalah ilahi. Sejak wahwu pertama dan kedua diturunkan kepada Muhammad,
beliau resmi didaulat menjadi Nabi sekaligus rasul sebagai menyampai
(muballigh) dari risalah yang diembannya. Dengan adanya perintah tablîgh
sebagai cara berdakwah maka itu menandai adanya fase pertama terjadinya
Hadis. Karena permulaan terjadinya Hadis seiring-bersamaan dengan awal
turunnya wahyu. Bisa dikatakan bahwa usia Hadis sama dengan usia al-Qur’an
sendiri (Waryono, 2002: 9).
Pertanyaannya kemudian, bagaimana metode Nabi dalam menyampaikan
Hadisnya? Menurut Muhammad Mustafa Azamy, metode-metode Nabi yang
dipakai dalam mengajarkan sunnah dan Hadisnya, dapat dipetakan menjadi
tiga kelompok (1). Pengajaran secara verbal atau lisan. Dalam hal ini
rasul berkedudukan juga sebagai guru. Untuk memudahkan menghafal dan
memahami, Nabi biasanya mengulang-ulangi inti masalah sampai tiga kali.
Setelah itu ganti Nabi mendengar uraian sahabat yang telah diterima dari
beliau. (2) Pengajaran secara tertulis. Cara yang dipakai adalah dengan
mengirimkan surat-surat kepada para raja, penguasa, komandan tentara dan
218 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

gubernur muslim. Surat-surat tersebut banyak yang merangkum masalah-


masalah hukum yang berkaitan dengan zakat, pajak dan bentuk ibadah lainnya.
(3). Pengajaran sunnah atau Hadis Nabi dengan cara demonstrasi
praktis. Bagaimana Nabi mencontohkan cara-cara berwudlu, shalat, puasa
haji. Cara lain yang ditempuh dengan memberikan pelajaran praktis pada
sahabat di setiap perjalanan kehidupan Nabi (Azami, 1996: 27-28). Ketiga
metode di ataslah yang dianggap pas diterapkankan Nabi dalam penyampai
Hadis untuk supaya disampaikan juga kepada generasi selanjutnya.
Dalam perjalanan selanjutnya Hadis-hadis Nabi telah menyebar luas pada
diri para sahabat. Walaupun demikian Hadis-hadis tersebut masih otentik
sehingga tidak diperlukan adanya penelitian atau pemeriksaan terhadap
keraguan atas keabsahannya, sehingga cenderung tidak ada masalah terhadap
agama bahkan Hadis itu sendiri. Kalaupun terdapat masalah-masalah yang
bersinggungan erat pada agama, maka para sahabat langsung bersegera
menanyakan kepada Nabi.
Oleh karenanya, pada masa Nabi, pada awal mulanya beliau melarang
menulis Hadis karena mengutamakan pada konsentrasi al-Qur’an. Hanya saja
sebagian sahabat atas nama pribadi dan secara diam-diam mencatat Hadis-
hadis tersebut bahkan menghafalnya. Maka bermuncullah teks-teks (shahâ‘if)
(Waryono, 2002: 11) nama-nama dari pengumpulnya. Di antara sahabat yang
mencatat naskah atau teks Hadis adalah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang
shahîfah-nya dinamakan “al-shâdiqah” dinamakan tersebut karena Abdullah
bin Amr bin al-Ash mendapatkan hadits yang ia catat langsung dari Nabi saw
setelah diberi lisensi penulisan. Shahîfah inilah salah satu shahîfah yang ditulis
pada masa Nabi.
Shahîfah lain yang tak kalah monumental adalah al-shahîfah al-
shahîhah, karena merupakan kumpulan-kumpulan Hadis yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, dan disampaikan kepada salah satu muridnya yang seorang
tabi’in bernama Hammam bin al-Munabbih. Shah?îfah ini menduduki posisi
yang termulia karena merupakan kumpulan Hadîts yang sudah tertib
pengumpulannya. Oleh sebab itu banyak para ulama setelahnya merangkum
shahîfah-nya tersebut dalam karangan-karangannya seperti Imam Ibn Hanbal
memuat seluruh shahîfah tersebut dalam kitab musnadnya dalam juz kedua.
Begitu juga shahîfah ini dimuat dalam musnadnya al-Imam Abdurrozzaq al-
Shan’ani dan juga banyak dinukil oleh Imam Bukhari dalam bab yang berbeda
(Khotib, 1999: 355-357).
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 219

Pelarangan penulisan Hadis sendiri kalau disimpulkan tidaklah merupakan


suatu yang kontinyu dan paten, bahkan, sebaliknya terkesan diperbolehkan
pada masa-masa selanjutnya. Beberapa alasan mengapa gerakan penulisan
Hadis dilarang, di antaranya; (1) agar konsentrasi sahabat terhadap al-Qur’an
tidak pecah, (2) untuk menjaga keotentikan al-Qur’an dan (3) al-Qur’an
merupakan prioritas utama yang disampaikan Nabi, sedang Hadis hanya
merupakan “side effect” dari tugas utama beliau (Waryono, 2002: 14).
Periode selanjutnya, paska wafatnya rasul, mulailah terjadi permasalahan
pada umat Islam yang berimplikasi juga pada ajaran agama terutama sumber
ajarannya yaitu Hadis. Adanya permasalahan-permasalahan baru yang tidak
terdapat pada masa Nabi muncul hingga menyulitkan sahabat menetapkan
standar dari hukum yang berlaku. Ijtihad-ijihad barulah dipakai untuk
mensoving problem-problem tersebut.
Puncak dari semua permasalahan muncul adalah ketika terjadi
pembunuhan atas Utsman (fitnah kubrâ). Perpecahan antar umat meluas,
hal ini berimplikasi pada Hadis sebagai sumber agama. Setiap sekte
berkepentingan dan bertendensi pada sektenya. Maka diambillah kebijakan
sebagai sikap hati-hati dengan meletakkan sistem sanad sebagai rangkaian
dari kaedah-kaedah untuk mengukur validitas Hadis. Sikap ini diambil untuk
meminimalisir beredarnya Hadis-hadis palsu yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya.
Pada tahap akhir dari perjalanan Hadis adalah adanya upaya ulama untuk
memperketat “pencomotan” Hadis-hadis dalam kitab. Maka diletakkanlah
kaedah-kaedah paten yang dirumuskan untuk dapat mengukur kualitas Hadis
dari sahih atau tidaknya Hadis. Adalah al-Bukhari dan Muslim orang yang
meletakkan pengambilan Hadis-hadis sahih saja. Sedangkan ulama’-ulama’
lain yang tergabung dalam penyusun al-kutub as-sittah, seperti al-Tirmizi
menambah adanya kriteria “Hadis hasan”. Selanjutnya kitab-kitab Hadis (al-
kutub as-sittah) telah menyebar luas seantero jagad raya dijadikan sebagai
salah satu sumber landasan hukum Islam hingga sampai pada kita sekarang
ini.

C. Konsep Isnad dan Periwayatan


Terlepas dari kontradiksi kapan mulai diterapkannya sistem isnâd
(Schacht, 1959: 36-37 dan 163) dalam dunia Islam, tidak disangkal lagi bahwa
220 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

kumpulan atas rangkaian beberapa orang yang disebut rawi sehingga


membentuk suatu sistem sanad adalah salah satu media yang mampu
menjembatani kita untuk mengetahui masa lampau.
Sebagai suatu jembatan yang dapat menghubungkan pada masa lampau
kiranya isnad dipandang perlu dijadikan sebagai salah satu kaedah tetap atau
cara yang efektif untuk menentukan dan mendeteksi Hadis-hadis, apakah
benar-benar berasal dari Nabi atau tidak. Maka oleh Ibnu al-Mubarak sistem
sanad ini merupakan bagian dari agama Islam. Sanad juga sebagai sistem
pembeda antara agama Islam dan lainnya. Masuknya sistem sanad dan
periwayatan Hadis, berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu baru yang
difungsikan sebagai media penilaian dan pengkritikan atas orang-orang yang
meriwayatkan Hadis, hingga Hadis tersebut dapat diketahui kriterianya. Ilmu
tersebut adalah “ilm al-jarh wa al-ta’dîl” atau ilmu kritik terhadap perawi-
perawi Hadis (Azami, 1994: 531).
Di sisi lain, pengetahuan terhadap masa lampau akan semakin luas
jangkauannya apabila generasi yang menelusurinya semakin jauh menapak
waktu. Hal ini mengimbas pada semakin banyaknya rangkaian rawi yang
bercabang pula. Akan tetapi pengetahuan terhadap masa lampau itu bisa
dikatakan sama dengan pengalaman empiris indrawi kita apabila pelapor atau
rangkaian sanadnya itu telah benar-benar dapat dipertanggung jawabkan
keabsahannya. Maka harus diletakkan syarat-syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh seorang rawi yaitu berakal cakap, adil dan Islam (Shalih, 2000:
144).
Upaya lain yang bisa ditawarkan untuk merekonstrusi masa lalu adalah
dengan membuat suatu opini tentative (dzannî). Ini bahkan bisa berlaku juga
terhadap laporan-laporan sekitar diri Nabi saw. sendiri yang merupakan
sumber ajaran dan sumber hukum Islam. Tetapi sebaliknya, para ahli usul
fikih dan para fuqaha’ juga menyadari bahwa merelatifikasi sejarah masa silam
secara universal adalah suatu tindakan kebodohan, dan dari sudut pandang
agama bisa dikategorikan sebagai pengingkaran terhadap wahwu yang nota
benenya merupakan suatu peristiwa masa lampau. Oleh karena itu, menurut
para ahli usul fikih, pastilah ada sesuatu bagian dari masa lalu itu dan—
barangkali merupakan inti sejarahnya—yang dapat kita ketahui secara pasti.
Atas dasar itu para ahli usul fikih membedakan pengetahuan tentang masa lalu
menjadi pengetahuan yang bersifat pasti (qat’î) dan pengetahuan yang bersifat
dugaan atau tentative (dzannî) (Anwar, 2003: 109).
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 221

Sedangkan mengenai fungsi teori kebenaran dalam epistemologi Hadis


adalah mengaitkannya dengan pentingnya keberadaan sanad sebagai
penghubung generasi ke generasi. Para perawi yang terpercaya (tsiqah) yang
membentuk sanad akan menjadikan suatu Hadis itu shahih atau benar adanya.
Jadi teori korespondensi yang menyatakan bahwa suatu pernyataan dianggap
benar apabila sesuai dengan fakta. Fakta dari keberadaan sanad karena
terpercayanya para rawi inilah yang menyebabkan bahwa keberadaan Hadis
atau sejarah masa silam itu benar. Sedangkan teori koheren akan penting
ketika menetapkan protap-protap (prosedur tetap) kebenaran suatu
pernyataan. Prosedur tetap ini akan diberlakukan untuk mengecek atau
mengidentifikasi kebenaran itu.

D. Konsep Mutawâtir dan Âhâd


Para ahli ilmu Hadis membagi Hadis dari segi sampainya atau jumlah
rawinya menjadi tiga macam; yaitu mutawâtir, âhâd dan masyhûr. Namun,
ulama usul fikih membaginya menjadi dua kategori saja; yaitu laporan
mutawâtir dan laporan âhâd. Terlepas dari perbedaan tersebut pembagian
ini menghasilkan suatu konsep yang berbeda.
Laporan mutawâtir adalah Hadis yang diriwayatkan, sepanjang tiga
generasi pertama umat Islam, melalui banyak jalur dan secara logis tidak
memungkinkan untuk bersekongkol dalam kebohongan. Sebagian ahli Hadis
menetapkan standart pemenuhan rawi, minimal tujuh orang, ada yang
menentukan sampai empat puluh bahkan ada yang tujuh puluh. Sehingga
sangatlah sedikit Hadis yang sampai kepada kita masuk ke dalam kategori
mutawâtir.
Sedang ahad adalah Hadis yang diriwayatkan selama masa tiga generasi
pertama oleh satu sampai empat orang perawi saja dan tidak mencapai derajat
mutawâtir.
Pemahaman mutawâtir ini secara epistemologi berfaedah sekaligus
menimbulkan ilmu pasti (yufîdu al-‘ilm al-yaqînî), sedangkan metode
penukilan riwayat lainnya tidak menimbulkan ilmu pasti hanya saja menimbukan
keraguan (dzan). Mengingkari ketawâturan al-Qur’an dan Hadis-hadis
tertentu secara historis berimplikasi pada penolakan terhadap kenabian itu
sendiri. Kalau laporan âhâd hanya menimbulkan dzann, maka âhâd bukanlah
laporan yang diriwayatkan melalui satu jalur akan tetapi bisa juga bisa
222 RELIGIA Vol. 13, No. 2, Oktober 2010. Hlm. 211-224

dikategorikan sebagai laporan mutawatir yang tidak memenuhi salah satu syarat
sekalipun telah diriwayatkan oleh lebih dari satu jalur (Hanafi, tt: 240).
Dari banyaknya jalur yang ditempuh, maka sumber laporan tersebut
berefek pada kepastian kebenaran isinya. Jadi, pengetahuan kebenaran isi
ataupun pernyataan peristiwa masa silam bisa dikatakan sebagai pengetahuan
terhadap masa silam itu sendiri. Dengan kata lain, ketika seseorang mengetahui
kebenaran pernyataan (laporan) bahwa Nabi mengerjakan salat dzuhur empat
raka’at berarti orang itu mengetahui bahwa beliau salat dzuhur empat raka’at.
Jadi pengetahuan tentang laporan bawa Nabi salat dzuhur empat rakaat adalah
benar. Singkatnya, pengetahuan tentang suatu peristiwa masa lampau diperoleh
dari pengetauan tentang kebenaran laporan (pernyataan) tentang peristiwa
tersebut (Anwar, 2003: 110). Jadi dengan adanya laporan mutawatir kita
juga seakan-akan mengetahui persis peristiwa masa silam yang telah hilang
yang merupakan pengetahuan yang berada diluar jangkauan inderawi kita.

KESIMPULAN
Beberapa cacatan singkat di atas kiranya memberikan suatu pengertian
bahwa epistemologi sebagai suatu kajian filsafat dapat dihubungkan dengan
Hadis untuk dijadikan jembatan menuju masa lampau. Dalam hal ini penulis
memberikan beberapa tawaran untuk mengetahui masa lampau yang di luar
jangkauan inderawi kita. Di antaranya adalah sistem isnâd atau sanad.
Tentunya dengan adanya sanad akan memperjelas posisi teks atau sumber
ajaran Islam itu benar-benar berasal dari Nabi penyampai risalah. Demikian
juga laporan yang bersifat mutawâtir meyakinkan umat Islam bahwa teks-
teks tersebut juga sampai kepada kita melalui jalur yang banyak hingga validitas
data atau teks-teks tersebut tidak dimungkinkan adanya konspirasi untuk
berbohong.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul, Kontribusi Ahli-Ahli Usul Fikih Dalam Pengembangan
Studi Hadis, Profetika, Jurnal Studi Islam, Vol. 5, No. 1 Januari 2003
Azami, Muhammad Mustafa, Al-, Metodologi Kritik Hadis, penerjemah A.
Yamin, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
————, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Mustafa Yaqub,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Epistemologi Hadis (Ahmad Atabik) 223

Hafani, Abdul Mun’im, Al-, Mausû’ah al-Falsafah wa al-Falâsifah, jilid


pertama, Kairo, Maktabah Madbuli, 1999.
Hanafi, Hasan, Min al-’Aqîdah ilâ as-Tsauroh, jilid ketiga tentang ‘an-
Nubuwwah wa al-Mu’âd’ kenabian dan konsep eskatologi. Kairo:
Maktabah Madbuli, tt.
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford
University, 1959.
Khotib, Muhammad Ajjaj, Al-, As-Sunnah qobla at-Tadwîn, Cairo: maktabah
wahbah, 1999.
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat
Pengetahuan Islam (Jakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta,
1979).
Qardhawi, Yusuf, Al-, Kaifa Nata’âmal ma’a As-Sunnah An-Nabawiyyah,
Kairo: Dar As-Syuruq, 2002
Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta; Kanisius, cet. 6, 2002.
Silaturrahmah, Wahyuni, Epistemologi Hadis, Sunni dan Syi’ah, Yogyakarta:
Tesis UIN Yogyakarta, 2006.
Sholih, Subhi, Al-, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim pustaka firdaus,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
Waryono, Abdul Ghofur, Epistemologi Ilmu Hadis, dalam ‘Wacana Studi
Hadis Kontemporer’, Fazlur Rahman dkk, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002

Anda mungkin juga menyukai