Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap Manusia yang ada di atas permukan bumi ini pada umumnya selalu
menginginkan bahagia, dan berusaha agar kebahagiaan itu tetap menjadi miliknya. Tetapi
kebahagiaan itu tidak dapat di capai dengan mudah tanpa mematuhi peraturan-peraturan yang
telah di gariskan Agama, diantaranya mesti individu-individu dalam masyarakat itu saling
menunaikan hak dan kewajibannya masing-masing.

Salah satu jalan untuk mencapai bahagia adalah dengan jalan perkawinan, dengan
adanya perkawinan terbentuklah suatu rumah tangga. Didalam perkawinan pasti ada banyak
menimbulkan masalah di tengah-tengah rumah tangga, antara lain disebabkan suami tidak
sanggup memberi nafkah lahir kepada istrinya seperti perbelanjaan sehari-hari. Dan istri yang
tidak saling pengertian dan tidak tabah menghadapinya serta tidak mau memikirkan
kekurangan ekonomi yang telah muncul di hadapan kelarganya dan akhirnya menimbulkan
pertengkaran.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah Pernikahan itu?
2. Bagaimanakah Meminang itu?
3. Bagaimanakah Talak dalam pandangan Islam?

C. Tujuan
1. Menjelaskan makna pernikahan
2. Menjelaskan makna peminangan
3. Menjelaskan dan menjabarkan makna talak dalam pandangan Islam

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN
1. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa mempunyai dua arti, yakni arti yang sebenarnya (haqiqi) dan arti
kias (majaz). Arti yang sebenarnya dari “Nikah”, ialah “dham” yang berarti “menghimpit”, “
menindih” atau “berkumpul”, sedang arti kiasannya adalah “Watha” yang berarti “setubuh”
atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”. Adapun dalam istilah hukum
syariat, nikah adalah akad yang menghalalkan pergaulan sebagai suami-istri (termasuk
hubungan seksual) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang
memenuhi berbagai persyaratan tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing
demi membangun keluarga yang sehat secara lahir dan batin.1
Adapun menurut ulama fikih mereka berbeda pendapat mengenai makna pernikahan, yaitu:

a. Ulama Hanafiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna untuk
memiliki mut’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat menguasai perempuan
dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan kesenangan atau kepuasan.
b. Ulama Syafi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad dengan
mengunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti memiliki wati. Artinya dengan
pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan kesenangan dari pasangannya.
c. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
mengandung arti mut’ah untuk mencapai kepuasan, dengan tidak mewajibkan dengan
adanya harga.
d. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan mengunakan
lafal inkah atau untuk mendapatkan kepuasan artinya seorang laki-laki dapat
memperoleh kepuasan dari seorang perempuan dan sebaliknya.2
Dari pendapat ulama fikih diatas dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah sutu akad
antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan antara kedua belah
pihak, yang dilakukan oleh pihak lain (wali) menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan

1
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Bandung: Mizan, 2002), h. 3.
2
Slamet Abidin, Aminudin, Fikih Munakahat 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 11-12.

2
syarat untuk menghalalkan percampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling
membutuhkan menjadi sekutu sebagai teman hidup dalam rumah tangga.
Tujuan pernikahan dalam islam adalah untuk kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia,
juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam
menjadikan hidupnya didunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta ketenangan dan
ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan, serta ketentraman keluarga dan masyarakat.
Dasar hukum pernikahan terdapat didalam Q.S an-Nur ayat 32:

‫س ٌع‬
ِ ‫َّللاُ َوا‬ ْ َ‫َّللاُ ِم ْن ف‬
َّ ‫ض ِل ِه َو‬ َّ ‫َوأ َ ْن ِك ُحوا األيَا َمى ِم ْن ُك ْم َوال‬
َّ ‫صا ِل ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِ ْن يَكُونُوا فُقَ َرا َء يُ ْغنِ ِه ُم‬
‫ع ِلي ٌم‬
َ

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Hadits Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “ Dari Abdullah bin Mas’ud ra beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai
segenap pemuda, barangsiapa yang mampu memikul beban keluarga hendaklah kawin.
Sesungguhnya perkawinan itu lebih dapat meredam gejolak mata dan nafsu seksual, tapi
barangsiapa yang belum mampu hendaklah dia berpuasa karena (puasa itu) benteng
(penjagaan) baginya”. (HR. Bukhari)

2. Kedudukan Hukum Pernikahan


Mengenai kedudukan hukum pernikahan, terdapat beberapa perbedaan pendapat
segolongan ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan adalah Mandub (sunnah). Ahli
zhahir berpendapat bahwa hukumnya adalah wajib.
Sedangkan, golongan malikiyah yang kemudian berpendapat bahwa hukum menikah bagi
sebagian orang adalah wajib, bagi sebagian yang lain adalah sunnah, dan bagi sebagian yang
lain lagi adalah mubah (boleh). Hal tersebut, menurut mereka disesuaikan dengan kekhawatiran
seseorang untuk berbuat zina.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum melakukan pernikahan itu bervariasi tergantung
pada keadaan seseorang yang melaksanakannya. Untuk menentukan hukum perkawinan harus
dilihat dari dua segi, yaitu:

3
Pertama: kemampuan melaksanakan sebelum dan sesudah perkawinan baik sebagai suami
maupun sebagai istri.
Kedua: kesanggupan memelihara dirinya itu sanggup tidaknya seseorang mengendalikan
dirinya untuk tidak jatuh dalam perbuatan zina.
Hukum melakukan pernikahan dapat dibedakan kedalam lima macam, yaitu:
a. Perkawinan wajib (az-zawaj al-wajib), yaitu perkawinan yang harus dilakukan oleh
seseorang yang memiliki kemampuan untuk menikah (berumah tangga) serta memiliki
nafsu biologis (nafsu syahwat) dan khawatir benar dia akan melakukan perbuatan zina
manakala tidak melakukan pernikahan.
b. Perkawinan yang dianjurkan (az-zawaj al-mustahab), yaitu perkawinan yang
dianjurkan kepada seseorang yang mampu untuk melakukan pernikahan dan memiliki
nafsu biologis tetapi dia merasa mampu untuk menghindarkan dirinya dari
kemungkinan melakukan zina.
c. Perkawinan yang kurang atau tidak disukai (az-zawaj al-makruh), yaitu jenis
pernikahan yang dilakukan orang yang tidak mempunyai kemampuan biaya hidup
meskipun memiliki kemampuan biologis, atau tidak memiliki nafsu biologis
meskipunmemiliki kemampuan ekonomi, tetapi ketidakmampuan biologis atau
ekonomi itu tidak sampai membahayakan salah satu pihak khususnya istri.
d. Perkawinan yang dibolehkan ( az-zawaj al-mubah), yaitu pernikahan yang dilakukan
tanpa ada yang mendorong (memaksa) atau yang menghalang-halangi.
e. Perkawinan yang dilarang keras (haram), yaitu bagi seseorang yang tidak mampu
memenuhi nafkah batin dan lahirnya kepada istrinya serta nafsunya tidak mendesak.3
Perkawinan dalam islam dianggap sah apabila telah memenuhi rukun syaratnya yang telah
digariskan oleh para fuqoha. Rukun pernikahan ada lima, yaitu:
1) Calon suami, Syarat-syaratnya ( beragama islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat
mmeberikan persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan).
2) Calon istri, Syarat-syaratnya ( beragama islam, perempuan, jelas orangnya, dapat
dimintai persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan).
3) Wali, Syarat-syaratnya (laki-laki, dewasa, mempunyai hak perwalian dan tidak
terdapat halangan perwalian).
4) 23 Dua orang saksi, Syarat-syaratnya (minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab
qobul, dapat mengerti maksud akad, islam dan dewasa).

3
Mashunah Hanafi, Fiqh Praktis, (Bajarmasin: IAIN Antasari Press, 2015), h.129-130.

4
5) Ijab qobul, Syarat-syaratnya (adanay pernyataan perkawinan dari calon mempelai pria,
memakai kata-kata nikah, antara ijab qobul bersambungan dan jelas maksudnya, orang
yang berkaitdengan ijab qobul tidak sedang dalam ihram atau haji dan majelis ijab dan
qobul harus dihadiri minimum empat orang).4
Walaupun kelima rukun persyaratan tersebut sudah dianggap cukup, namun agar akad nikah
tersebut mempunyai kekuatan hukum, hendaknya disaksiakn pula oleh pegawai pencatat nikah
dari KUA setempat, sesuai undang-undang hukum perkawinan, yang berlaku di Indonesia,
Bab II, Pasal 5:
I. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus
dicatat.
II. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh pegawai pencatat nikah
sebagaimana diatur oleh Undang-Undang No. 22, tahun 1946 jo Undang-Undang No.
32, tahun 1954.
Selanjutnya didalam Pasal 6 disebutkan:
I. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan dibawah pengawasanpegawai pencatat nikah.
II. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatatnikah tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B. PEMINANGAN
1. Pengertian Peminangan
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut khitbah, artinya permintaan. Menurut istilah artinya
pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk
mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak
yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.
Dasar hukum peminangan terdapat dalam hadits nabi yang artinya:
“Dari Mughirah R.A, sesungguhnya ia pernah meminang seseorang wanita, lalu Nabi SAW.
Bersabda kepadanya, “lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih
cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.”(H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dalam hadits dan alquran tidak ada terdapat kejelasan tentang hukum meminang. Oleh
karena itu dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkanya,
dalam arti hukumannya mubah. Akan tetapi, Ibnu Rusyd, mengatakan bahwa hukum pinangan
adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapat-nya pada hadis-hadis nabi yang

4
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2000), h. 71-72.

5
menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang
dilakukan nabi dalam peminangan itu.
2. Syarat-Syarat Meminang
a. Syarat mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang menganjurkan pihak laki-laki untuk meneliti dahulu
wanita yang akan dipinang atau dikhitbahnya. Syarat ini termasuk syarat yang tidak wajib
dilakukan sebelum meminang seseorang. Khitbah seseorang tetap sah meskipun tanpa
memenuhi syarat mustahsinah. Bagi seorang lelaki ia perlu melihat dulu sifat dan seperti apa
penampilan wanita yang akan dipinang apakah memenuhi kriteria calon istri yang baik dan
sesuai dengan anjuran Rasulullah dalam hadits berikut ini :
Yang artinya: “Wanita dikawin karena empat hal, karena hartanya, keturunannya,
kecantikannya, dan karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”.(HR Abu Hurairah)
Berdasarkan hadits tersebut maka hendaknya pria memperhatikan agama sang wanita,
keturunan, kedudukan wanita ( apakah sesuai dengan dirinya), sifat kasih sayang dan lemah
lembut, serta jasmani dan rohani yang sehat.
b. Syarat lazimah
Syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan dan jika
tidak dilakukan maka pinangannya atau tunangannya tidak sah. Syarat lazimah meliputi:

 Wanita yang dipinang tidak sedang dalam pinangan laki-laki lain sebagaimana yang
dijelaskan dalam hadits yang artinya: “Janganlah seseorang dari kamu meminang
(wanita) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggal-
kannya atau telah mengizinkannya.” (HR Abu Hurairah)
 Wanita yang sedang berada dalam iddah talak raj’i. Wanita yang sedang dalam talak
raj’i masih rujuk dengan suaminya dan dianjurkan untuk tidak dipinang sebelum masa
iddahnya habis dan tidak memutuskan untuk berislah atau berbaikan dengan mantan
suaminya. Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam masa iddah atau yang
menjalani iddah talak ba’in boleh dipinang dengan sindiran atau kinayah 5 . Hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al qur’an surat Al baqarah ayat 235:

َ ‫َّللاُ أ َنَّ ُك ْم‬


‫ست َ ْذ ُك ُرونَ ُه َّن‬ َ ‫اء أ َ ْو أ َ ْكنَ ْنت ُ ْم فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم‬
َّ ‫ع ِل َم‬ ِ ‫س‬ ْ ‫ضت ُ ْم بِ ِه ِم ْن ِخ‬
َ ِِّ‫طبَ ِة الن‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما‬
ْ ‫ع َّر‬ َ ‫َوال ُجنَا َح‬
ُ ‫ع ْقدَة َ النِِّ َكاحِ َحتَّى يَ ْبلُ َغ ْال ِكت‬
ُ‫َاب أ َ َج َله‬ ُ ‫َولَ ِك ْن ال ت ُ َوا ِعدُو ُه َّن ِس ًّرا ِإال أ َ ْن تَقُولُوا قَ ْوال َم ْع ُروفًا َوال ت َ ْع ِز ُموا‬

5
Al hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 31-33.

6
ٌ ُ ‫غف‬
‫ور َح ِليم‬ َّ
َ َ‫َّللا‬ ‫َّللاَ يَ ْعلَ ُم َما فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم فَاحْ ذَ ُروهُ َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
َّ ‫َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
ٌ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanitawanita itu dengan sindiran atau
kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah
kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf”. (Al-Baqarah:235)

C. TALAK
1. Pengertian Talak

Akar dari kata thalaq adalah al-ithlaq, artinya melepaskan atau meninggalkan, Anda berkata
‫ األسير اطلقت‬artinya aku telah melepaskan atau membebaskan tawanan, jika memang Anda
melepaskan dan membebaskannya. Dalam syariat Islam, talak artinya melepaskan ikatan
pernikahan atau mengakhirinya.6 Secara bahasa, thalaq berarti pemutusan ikatan. Sedangkan
menurut istilah, thalaq berarti pemutus tali perkawinan.
2. Hukum Talak

Tujuan asal dalam pernikahan adalah melanggengkan kehidupan rumah tangga antara suami
istri. Sungguh Allah telah mensyariatkan hukum-hukum yang banyak dan adab-adab yang
beragam di dalam pernikahan dalam rangka kelangsungannya dan menjamin kelanggengannya,
hanya saja adab-adab tersebut terkadang tidak dijaga oleh kedua belah pihak atau salah satunya.
Apabila pergaulan kedua suami istri tidak dapat mencapai tujuan dari pernikahan, maka hal
itu akan mengakibatkan berpisahnya dua keluarga. Karena tidak adanya kesepakatan antara
suami istri, maka dengan keadilan Allah swt. dikabulkan-Nya suatu jalan keluar dari segala
kesukaran itu, yakni pintu perceraian. Apalagi bila perselisihan suami istri itu menimbulkan
permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap kaum kerabat mereka,
sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung lagi,
maka talak (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang menjadi pemisah antara mereka; sebab
menurut asalnya hukum talak itu makruh adanya,7 berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw.
berikut ini:

6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 4, (Jakarta: Cakrawala Publishing,2009), h.2.
7
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016), h.401-402.

7
)‫ (رواه أبو داود وابن ماجه‬.‫ط ََل ُق‬ ‫َض ْال َح ََل ِل اِلَى ه‬
َّ ‫َّللاِ ال‬ ُ ‫سلَّ َم ا َ ْبغ‬ ‫صلَّى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ع َم َر قَال‬
‫س ْو ُل ه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫َع ِن اب ِْن‬

Dari Ibnu Umar, Ia berkata bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “suatu perbuatan yang
halal yang amat dibenci oleh Allah ialah talak.” (H.R Abu Daud dan Ibnu Majah).

Talak disyariatkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun Al-Qur’an maka sungguh
Allah swt. telah berfirman:
َ ‫ فَإِ ْم‬،‫ط ٰل ُق َم َّرت َان‬
.‫ساكُ ِب َم ْع ُروفٍ اَو تَس ِْري ُح ِبإِحْ سٰ ٍن‬ َّ ‫ٱ‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”(Al-Baqarah: 229).

Dan Allah swt. berfirman:

‫ط ِلِّقُو ه َُّن ِل ِعدَّتِ ِه َّن‬ َ ِِّ‫طلَّ ْقت ُ ُم الن‬


َ َ‫سا َٰٓ َء ف‬ ُّ ِ‫ٰ َٰٓيَأَيُّ َها النَّب‬
َ َ‫ي إِذ‬
“Wahai Nabi! Apabila (kamu dan orang-orang beriman) menceraikan istri-istri
(kalian), maka hendaklah kalian ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi), iddahnya (yang wajar).” (Q.S. Ath-Thalaq: 1).

Sedangkan di dalam as-Sunnah adalah hadits Ibnu Umar ra. bahwa dia mentalak istrinya
saat haid, maka Nabi saw. bersabda kepada Umar ra.:
َ ُ‫ت فَإ ِ ْن شَا َء فَ ْلي‬
)‫ )متفق عليه‬.‫ط ِلِّ ْق َها‬ َ َ‫ فَإِذ‬،‫ِلي َُرا ِج ْع َها‬
ْ ‫ط ُه َر‬
“hendaklah dia merujuknya, maka bila dia (istrinya) sudah suci lalu dia berkehendak
(untuk mentalaknya), maka silakan dia mentalak nya.” (Muttafaqun alaihi).

Ulama umat sudah sepakat atas dibolehkan dan disyariatkannya talak,karena didalamnya
terkandung solusi untuk menangani masalah suami istri manakala diperlukan,khususnya ketika
tidak ada keharmonisan dan timbulnya kebencian yang karenanya membuat kedua belah pihak
tidak mampu menegakkan batasan-batasan Allah dan melangsungkan kehidupan rumah
tangga.dan talak dengan alasan tersebut termasuk dari salah satu bukti kebaikan Islam.8
Hukum talak bisa jadi wajib, sunnah, haram, mubah, dan makruh.9
a. Wajib, apabila terjadi perselisihan dan perpecahan antara suami istri, sedangkan dua
hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya keduanya
bercerai. Maksudnya apabila hakim menilai bahwa talak merupakan satu-satunya cara

8
Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Abdullah bin Fahd Asy-Syarif dan
Faihan bin Muthairi, penerjemah: Izzudin Karimi, Fiqih Muyassar: Panduan Praktis Fiqih dan Hukum Islam,
(Jakarta: Darul Haq, 2017), h. 501-502.
9
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, h.402-403.

8
yang dapat ditempuh untuk menghentikan pertikaian di antara suami istri maka
hukumnya menjadi wajib.
b. Sunnah, apabila suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya
(nafkahnya), atau karena sang istri mengabaikan kewajibannya kepada Allah swt.
seperti istri enggan melaksanakan salat ataupun kewajiban yang lain, sementara sang
suami tidak kuasa untuk memaksanya agar dia menjalankan kewajibannya, atau
perempuan tidak lagi menjaga kehormatan dirinya.
‫ (المهذب‬.‫ط ِلِّقُ َها‬
َ ‫سلَّ َم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫سلَّ َم فَقَا َل اِ َّن ا ْم َرا َ ِت ْى َالت َُردُّ َيدَ َال ِم ٍس فَقَا َل النَّ ِب‬
َ ‫ى‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ى اَ َّن َر ُج ًَل اَت َى النَّ ِب‬
َ ‫ى‬ َ ‫َر ِو‬
)٢ ‫جزء‬
Seorang laki-laki telah datang kepada nabi saw. Dia berkata, “istriku tidak menolak
tangan orang yang menyentuhnya.” jawab Rasulullah saw., “hendaklah engkau
ceraikan saja perempuan itu.”(dari Muhazzab, juz II. 78)
c. Haram (bid'ah) dalam dua keadaan. Pertama, menjatuhkan talak waktu si istri dalam
keadaan haid. Kedua, menjatuhkan talak waktu suci yang telah dicampurnya dalam
waktu suci itu.
ُ ‫س فَ ِت ْلكَ ْال ِعدَّة‬ َ ‫س َك َها بَ ْعدَ ٰذ ِلكَ َوا ِْن شَا َء‬
َّ ‫طلَّ َق َها قَ ْب َل ا َ ْن يَ َم‬ ْ ‫ْض ث ُ َّم ت‬
َ ‫َط ُه َر ث ُ َّم ا ِْن شَا َء ا َ ْم‬ ْ ‫اج ْع َها ث ُ َّم ِلي ُْم ِس ْك َها َحتهى ت‬
َ ‫َط ُه َر ث ُ َّم ت َِحي‬ ِ ‫ُم ْرهُ فَ ْلي َُر‬
)‫ (متفق عليه‬.‫سا ُء‬ َ ِِّ‫طلِِّقَ لَ َها الن‬ ‫الَّتِ ْى ا َ َم َر ه‬
َ ُ ‫َّللاُ ا َ ْن ت‬
Suruhlah olehmu anakmu supaya dia rujuk (kembali) kepada istrinya itu, kemudian
hendaklah dia teruskan pernikahan itu sehingga ia suci dari haid, kemudian ia haid
kembali, kemudian suci pula dari haid yang kedua itu. Jika ia menghendaki, boleh iya
teruskan sebagaimana yang lalu; atau jika menghendaki, ceraikan iya sebelum
dicampuri. Demikian iddah yang diperintahkan Allah supaya perempuan di talak
ketika itu.” (muttafaqun alaih).
Talak juga menjadi haram apabila talak yang dijatuhkan dengan tanpa disertai dengan
alasan yang jelas. Talak ini diharamkan karena merugikan salah satu pihak, baik dari
pihak suami ataupun dari pihak istri, dan tidak ada kemaslahatan yang ingin dicapainya.
Karenanya talak seperti ini hukumnya haram.
d. Mubah, yaitu talak yang dilakukan karena adanya hal yang menuntut ke arah itu, baik
karena buruknya perang si istri, pergaulannya yang kurang baik atau hal-hal buruk
lainnya. Talak juga diperbolehkan untuk menghindari bahaya yang mengancam salah
satu pihak, baik dari suami maupun istrinya.
e. Makruh, yaitu hukum asal dari talak yang tersebut di atas. Talak dimurkai jika tidak
disertai dengan alasan yang dibenarkan oleh syara', meskipun Rasulullah saw.
Menyebutnya sebagai perbuatan yang halal. Sebab talak dapat merusak pernikahan

9
yang pada dasarnya banyak menyimpan kebaikan dan dianjurkan oleh Islam. Untuk itu,
talak seperti ini sangat dibenci Allah swt.

3. Rukun-Rukun Talak
a. Suami, yang mana selain suami tidak boleh mentalak. Sebagaimana hadits nabi:

َّ ‫اِنَّ َما ال‬


ِ ‫ط ََل ُق ِل َم ْن ا َ َخذَ ِبا لسَّا‬
)‫ (رواه ابن ماجه والدارقطنى‬.‫ق‬

“talak itu hanyalah bagi orang yang mempunyai kekuatan (suami).” (H.R Ibnu
Majah dan Daruquthni).
b. Istri, orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia adalah objek yang akan
mendapatkan talak.
c. Lafaz yang menunjukkan adanya talak, baik itu diucapkan secara lantang maupun
dilakukan melalui sindiran dengan syarat khusus disertai adanya niat. Namun demikian,
tidak cukup hanya dengan niat saja sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam:

)‫ ر(واه متفق عليه‬.‫س َها َما لَ ْم يَت َ َكلَّ ُموا أ َ ْو يَ ْع َملُ ْوابِ ِه‬ ْ َ ‫َّللاَ ت َ َج َاوزَ ِأل ُ َّمتِي َما َحدَّث‬
َ ُ‫ت بِ ٖه أَ ْنف‬ ‫ا َِّن ه‬

“sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa-apa yang perdetik di


dalam hati mereka, selama tidak mereka ucapkan atau kerjakan.” (Muttafaqun
'Alaih).10

Dalam talak disyaratkan berakal bagi yang berkepentingan dan tidak ada kebencian pada
pihak suami. Dengan demikian, talak yang dilakukan oleh orang gila dinyatakan batal.
Demikian juga jika talak dilakukan karena perasaan benci dan emosi, di mana talak semacam
ini menjadi batal karena faktor kebencian. Dalil yang melandasinya adalah pada hadis
Rasulullah saw.:
‫ (رواه أحمد والنسائ والبيهقي‬.‫ي ِ َحتَّى َيحْ ت َ ِل َم َو َع ِن ْال َم ٔجنُ ْو ِن َحتَّى َي ْع ِق َل‬
ِّ ‫ص ِب‬ ٍ ‫ُرفِ َع ْالقَلَ ُم َع ْن ث َ ََل‬
َ ‫ث َع ِن النَّا ِع ِم َحتَّى َي ْستَ ْي ِق‬
َّ ‫ظ َو َع ِن ال‬
)‫والحاكم وسعيد بن منصور وابن خزيمة‬

“Pena di angkat dari 3 golongan: Orang yang tidur sampai dia bangun, anak-anak sampai
dia baligh, dan orang gila sampai akalnya sehat.” (H.R. Ahmad, Nasa'i, Baihaqi, Al-Hakim,
Sa'id bin Mansur dan Ibnu Khuzaimah).

4. Macam-Macam Talak

10
Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 437.

10
a. Talak sunni
Talak Sunni adalah talak yang didasarkan pada sunnah Nabi saw., Yaitu apabila seorang suami
mentalak istrinya yang telah disetubuhi, dengan talak satu pada saat suci, sebelum disetubuhi.
b. Talak bid'ah
Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang pernah dicampurinya dan
pada saat itu keadaan istri sedang haid dan dalam keadaan suci tetapi pada waktu suci tersebut
sudah dicampuri.
Mengenai talak bid'ah ini, ada beberapa macam keadaan yang mana seluruh ulama telah
sepakat menyatakan bahwa talak semacam ini hukumnya haram. Jumhur ulama berpendapat,
bahwa talak ini tidak berlaku. Talak bid'ah ini jelas bertentangan dengan syaria,t yang mana
bentuknya ada berapa macam yaitu:
1) Apabila seorang suami menceraikan istrinya ketika sedang dalam keadaan haid atau
nifas.
2) Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
3) Seorang suami mentalak istrinya dengan satu kalimat dengan tiga kalimat dalam satu
waktu. Seperti dengan mengatakan, “ia telah aku talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku
talak.”
Dalil yang melandasi adalah sabda Rasulullah, sebagaimana diceritakan; bahwasanya ada
seorang laki-laki yang mentalak tiga istrinya dengan satu kalimat. Lalu beliau mengatakan
kepadanya: “apakah kitab Allah hendak dipermainkan, sedangkan aku masih berada di tengah-
tengah kalian?” (H.R an-Nasa'i dan Ibnu Katsir mengatakan, bahwa isnad hadits ini jayyid.
c. Talak Raj'i
Talak raj’i adalah talak yang boleh untuk rujuk kembali saat istri masih sedang dalam masa
iddah. Namun, apabila istri sudah di luar masa iddah, rujuk hanya boleh dilakukan dengan akad
nikah yang baru. Pada talak raj’i, suami hanya memiliki kesempatan untuk menjatuhkan talak
1 dan 2. Untuk yang ketiga, talaknya akan menjadi talak bain.
Talak Raj'i adalah talak 2/1 yang dilakukan terhadap istri yang telah digauli, tanpa
menggunakan Iwadh (tebusan). Istri yang ditalak Raj'i mempunyai hukum yang sama seperti
hukum yang berlaku pada seorang istri dalam pemberian nafkah, tempat tinggal atau yang
lainnya seperti ketika belum ditalak, sehingga berakhir masa iddahnya. Jika masa iddahnya
telah berakhir dan suami belum merujuknya, maka dengan demikian telah terjadi di talak ba’in
terhadapnya. Jika suami hendak merujuknya, maka cukup baginya mengucapkan “aku telah
merujukmu kembali.” dan disunnahkan pada saat rujuk tersebut menghadirkan dua orang saksi
yang adil.

11
d. Talak Ba'in
Talak Ba’in adalah talak yang dijatuhkan oleh suami kepada istri yang ketiga; atau talak
yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya sebelum terjadi persetubuhan di antara keduanya;
atau talak dengan membayar tebusan yang diserahkan oleh istri kepada suaminya.
Talak Ba’in dibagi menjadi dua yaitu talak ba’in sugra dan talak ba’in kubra. Talak ba’in
sugra adalah talak yang menghilangkan kepemilikan mantan suami terhadap mantan istri, tetapi
tidak menghilangkan kebolehan mantan suami untuk rujuk dengan melakukan akad nikah
ulang.
Sedangkan talak ba’in kubra adalah talak tiga di mana mantan suami tidak boleh rujuk
kembali, terkecuali jika mantan istrinya pernah menikah dengan laki-laki lain dan sudah
digaulinya, lalu diceraikan oleh suaminya yang kedua.
e. Talak sharih
Talak sharih (tegas) adalah talak yang diucapkan dengan kata-kata yang jelas maknanya
untuk menceraikan, seperti “saya ceraikan kamu” atau “kamu telah haram bagiku”. Talak jenis
ini berarti pasangan tersebut sudah sah bercerai menurut Islam.
f. Talak kinaya
Sedangkan talak kinaya diucapkan dengan kata-kata yang belum jelas maknanya, seperti “aku
tidak bisa hidup denganmu lagi”. Maka, untuk menetapkan apakah itu sudah sah talak atau
belum, harus dikembalikan kepada niat dan tujuan suami, apabila dia memang berniat untuk
menceraikan, maka mereka sudah sah bercerai, namun apabila suami tidak berniat untuk
menceraikan, maka mereka belum bercerai.11

11
Syaikh Kamil Muhammad 'Uwaidah, Fiqih Wanita, h. 438-440.

12
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan

Nikah adalah akad yang dapat menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrimnya sehingga menimbulkan hak dan kewajiban antara
keduanya. Pada dasarnya menikah menurut agama islam bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia penuh cinta kasih (mawaddah wa rahmah), akan tetapi secara umum nikah
mempunyai tujuan memperoleh ketenangan hidup, cinta dan kasih sayang, memenuhi
kebutuhan seksual yang sah dan diridhai Allah swt, memperoleh keturunan serta memperoleh
keluarga yang bahagia didunia dan akhirat.
Menurut islam nikah dipandang sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya, yaitu ;
calon suami dan isteri, ijab qabul, ada wali, dan dua orang saksi. Didalam islam ada beberapa
golongan perempuan yang haram untuk dinikahi yaitu karena nasab (keturunan), sepersusuan
(radha’ah), hubungan perkawinan (mushaharah), dan juga karena mengumpulkan dua orang
perempuan yang antara keduanya bermuhrim.
Sedangkan talak menurut agama islam adalah melepaskan ikatan perkawinan dengan
menggunakan kata talak dan kata ang searti. Bila terjadi talak, ikatan-ikatan antara suami isteri
yang disebabkan oleh perkawinan telah lepas semuanya.
Macam-macam talak: talak sunni, bid’ah, ba’in, raj’I, sharih, dan kinaya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Bagir, Muhammad Al-Habsyi. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan. 2002.

Abidin, Slamet dan Aminudin. FIKIH MUNAKAHAT . Bandung: CV Pustaka Setia. 1999.

Hanafi, Mashunah. Fiqh Praktis. Bajarmasin: IAIN Antasari Press. 2015.

Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2000.

Al hamdani. Risalah Nikah. Jakarta: Pustaka Amani. 2002.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah jilid 4. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2009.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2016.

Aziz, Abdul Mabruk al-Mahdi, dkk., penerjemah: Izzudin Karimi. Fiqih Muyassar: Panduan
Praktis Fiqih dan Hukum Islam. Jakarta: Darul Haq. 2017.

'Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2000.

14

Anda mungkin juga menyukai