Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Ruptur uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan
rongga peritoneum dapat berhubungan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa
ruptur uteri adalah adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat
dilampauinya daya regang miometrium.1,2,3
Ruptur uteri sendiri dapat di bedakan menjadi ruptur uteri komplit dan
ruptur uteri inkomplit. Ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim
dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga
peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur
dengan demikian janin sebagia atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh
kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga
abdomen. Pada ruptura uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih
dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum
masuk ke dalam rongga peritoneum.1,2,3

B. Etiologi

Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau anomali yang sudah
ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam persalinan dengan uterus
yang sebelumnya tanpa parut. Akhir-akhir ini, penyebab ruptur uteri yang
paling sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio sesarea
sebelumnya dan peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan
dengan timbulnya kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan
pada persalinan dengan riwayat seksio sesarea.
Faktor predisposisi ruptur uteri lain yang sering dijumpai adalah riwayat
manipulasi atau operasi traumatik, misalnya kuretase, perforasi, dan
miomektomi. Stimulasi uterus yang berlebihan atau tidak tepat dengan
oksitosin juga dapat menjadi penyebabnya, meskipun hal ini sekarang sudah
sangat jarang terjadi. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak pernah
mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus
berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri.
C. Klasifikasi
Menurut terjadinya, ruptur uteri dibedakan menjadi 2, yaitu:
1. Ruptur uteri tanpa jaringan parut
 Ruptur uteri spontan
Yaitu bila ruptur uteri terjadi secara spontan pada uterus tanpa
parut (utuh) dan tanpa adanya manipulasi dari penolong. Faktor
pokokdisini ialah bahwa persalinan tidak maju karena panggul sempit,
hidrosepalus, janin dalam letak lintang dan sebagainya,sehingga
segmen bawah uterus makin lama makin meregang. Faktor
yangmerupakan predisposisi terhadap terjadinya ruptur uteri
adalahmultiparitas, disini ditengah-tengah miometrium sudah terdapat
banyakjaringan ikat yang menyebabkan kekuatan dinding uterus
menjadi kurang,sehingga regangan lebih mudah menimbulkan
robekan.
 Ruptur uteri traumatika
Ruptur uteri yang disebabkan oleh trauma dapat terjadi karena
jatuh, kecelakaan seperti tabrakan dan sebagainya. Robekan demikian
ituyang bisa terjadi pada setiap saat dalam kehamilan, jarang terjadi
karenarupanya otot uterus cukup tahan terhadap trauma dari luar.
Yang lebihsering terjadi adalah ruptur uteri yang dinamakan ruptur
uteri violenta. Faktor utama disebabkan oleh distosia sudah ada
regangan segmenbawah uterus dan usaha vaginal untuk melahirkan
janin mengakibatkantimbulnya rupture uteri. Hal itu misalnya terjadi
pada versi ekstraksi padaletak lintang yang dilakukan bertentangan
dengan syarat-syarat untuktindakan tersebut. Kemungkinan besar
yang lain ialah ketika melakukanembriotomi. Berhubung dengan itu,
setelah tindakan- tindakan tersebutdiatas dan juga setelah ekstraksi
dengan cunam yang sukar perlu dilakukanpemeriksaan kavum uteri
dengan tangan untuk mengetahui apakah terjadiruptur uteri. Gejala-
gejala ruptur uteri violenta tidak berbeda dari rupturuteri spontan.
 Ruptur uteri dengan jaringan parut pada uterus
Ruptur uteri demikian ini terdapat paling sering pada parut
bekasseksio sesarea, peristiwa ini jarang timbul pada uterus yang telah
dioperasiuntuk mengangkat mioma (miomektomi) dan lebih jarang
lagi pada uterusdengan parut karena kerokan yang terlampau dalam.
Di antara parut-parutbekas seksio sesarea, parut yang terjadi sesudah
seksio sesarea klasiklebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada
parut bekas seksio sesareaprofunda. Perbandingannya ialah 4:1. Hal
ini disebabkan oleh karena lukapada segmen bawah uterus yang
menyerupai daerah uterus yang lebihtenang dalam masa nifas dapat
sembuh dengan lebih baik, sehingga parutlebih kuat. Ruptur uteri pada
bekas seksio bisa menimbulkan gejala-gejalaseperti telah diuraikan
lebih dahulu, akan tetapi bisa juga terjadi tanpabanyak menimbulkan
gejala. Dalam hal yang terakhir ini tidak terjadirobekan secara
mendadak, melainkan lambat laun jaringan disekitar bekasluka
menipis untuk akhirnya terpisah sama sekali dan terjadilah rupturuteri.
Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terdapat
rupturuteri inkompleta. Pada peristiwa ini ada kemungkinan arteria
besar terbukadan timbul perdarahan yang untuk sebagian berkumpul
di ligamentumlatum dan untuk sebagian keluar. Biasanya janin masih
tinggal dalamuterus dan his kadang-kadang masih ada.
Sementara itu penderita merasanyeri spontan atau nyeri pada
perabaan tempat bekas luka. Jika arteriabesar luka, gejala-gejala
perdarahan dengan anemia dan syok, janin dalam uterus meninggal.
2. Menurut tingkat robekan :

 Ruptur uteri komplit, bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding
uterus

 Ruptur uteri inkomplit, bila robekan hanya sampai miometrium,


disebut juga dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan
eksplorasi dinding rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir

 Ruptur uteri imminens, bila baru ada gejala akan terjadi ruptur.
Penderita merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di
luar his. Teraba ligamentum rotundum menegang. Teraba cincin
Bandle setinggi pusat. Segmen bawah rahim menipis. Urine kateter
kemerahan

3. Menurut waktu terjadinya:

 Ruptur Uteri Gravidarum, terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi


pada korpus

 Ruptur Uteri Durante Partum, Terjadi waktu melahirkan anak,


lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang terbanyak

4. Menurut lokasi:

 Korpus uteri, biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah


mengalami operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau
miomektomi.

 Segmen bawah rahim (SBR), biasanya pada partus sulit dan lama (tidak
maju). SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya
terjadilah ruptur.

 Servik uteri, biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep


atau versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap

 Kolpoporeksis-kolporeksis, robekan-robekan diantara servik dan


vagina.
D. Faktor resiko
Pasien yang berisiko tinggi antara lain :

1. Persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin


atau prostaglandin untuk mempercepat persalinan

2. Pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio


sesarea atau operasi lain pada rahimnya

3. Pasien yang pernah mengalami histerorafi

4. Pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan
sebagainya.
Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas
seksio sesarea klasik berlaku “Once Sesarean Section always Sesarean
Section”. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean
section (ulangan) untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah
matang.

E. Gejala Klinis
Menurut gejala klinis, ruptur uteri dapat dibedakan :
1. Ruptur uteri iminens (membakat/mengancam)
Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal betul
gejala dari ruptur uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab
dalam hal ini kita dapat bertindak secepatnya supaya tidak terjadi
ruptur uteri yang sebenarnya.Gejala ruptur uteri iminens/mengancam :
 Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong
oleh dukun/bidan, partus sudah lama berlangsung)
 Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan
perasaan nyeri diperut
 Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan
mengerang kesakitan bahkan meminta supaya anaknya secepatnya
dikeluarkan.
 Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
 Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor),
yaitu mulut kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
 His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
 Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang,
tebal dan keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
 Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik)
sedangkan SBR teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
 Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan
melintang yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan
SBR yang semakin tipis dan teregang. Sering lengkaran bandl ini
dikelirukan dengan kandung kemih yang penuh, untuk itu
dilakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan
tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita
periksa, misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak
tulang ubun-ubun belakang.
 Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik
dan teregang ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung
kemih, maka pada kateterisasi ada hematuri.
 Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur
 Pada pemeriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari
obstruksi, seperti oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala
janin yang besar.
2. Ruptur uteri sebenarnya
Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka suatu saat akan
terjadilah ruptur uteri sebenarnya.
1) Anamnesis dan Inspeksi
 Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan
yangluar biasa, menjerit seolah-olah perutnya sedang
dirobekkemudian jadi gelisah, takut, pucat, keluar keringat
dinginsampai kolaps.
 Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
 Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
 Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan
tidakterukur.
 Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak,
lebih-lebih kalau bagian terdepan atau kepala Sudah jauh turun
dan menyumbat jalan lahir.
 Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke
tungkaibawah dan dibahu.
 Kontraksi uterus biasanya hilang.
 Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut
menjadikembung dan meteoristis (paralisis usus)

2) Palpasi
 Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya
emfisema subkutan.
 Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu
atas panggul.
 Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di
ronggaperut, maka teraba bagian-bagian janin langsung dibawah
kulitperut dan disampingnya kadang-kadang teraba uterus
sebagaisuatu bola keras sebesar kelapa.
 Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3) Auskultasi

Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi


beberapa menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut
terlepas dan masuk ke rongga perut.
4) Pemeriksaan Dalam
 Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah,
denganmudah dapat didorong ke atas dan ini disertai keluarnya
darahpervaginam yang agak banya
 Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan
padadinding rahim dan kalau jari atau tangan kita dapat
melaluirobekan tadi, maka dapat diraba usus, omentum dan
bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang didalam kita
temukandengan jari luar maka terasa seperti dipisahkan oleh
bagianyang tipis seklai dari dinding perut juga dapat diraba
fundusuteri.

5) Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung
kemih.

F. Diagnosis
Pada penegakan diagnosis didapatkan:
1. Anamnesis
 Adanya riwayat partus yang lama atau macet
 Adanya riwayat partus dengan manipulasi oleh penolong
 Adanya riwayat multiparitas
 Adanya riwayat operasi pada uterus (misalnya seksio sesaria, enukleasi
mioma atau miomektomi, histerektomi, histeretomi, dan histeografi)
2. Gambaran klinis
Gambaran klinis ruptur uteri didahului oleh gejala-gejala ruptur
uteri yang membakat, yaitu didahului his yang kuat dan terus menerus, rasa
nyeri yang hebat di perut bagian bawah, nyeri waktu ditekan, gelisah, nadi
dan pernapasa cepat, segmen bawah uterus tegang, nyeri apda perabaan
lingkaran retraksi (Van Bandle Ring) meninggi sampai mendekati pusat, dan
ligamentum rotunda menegang. Pada saat terjadinya ruptur uteri penderita
sangat kesakitan dan seperti ada robek dalam perutnya. Keadaan umum
penderita tidak baik, dapat terjadi anemia sampai syok.
3. Pemeriksaan luar
 Nyeri tekan abdominal
 Perdarahan percaginam
 Kontraksi uterus biasanya akan hilang
 Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding perut ibu
 atau janin teraba di samping uterus
 Perut bagian bawah teraba uterus kira kira sebesar kepala bayi
 Denyut jantungjanin (DJJ) bisanya negative (bayi sudah
meninggal)
 Terdapat tanda tadna cairan bebas
 Jika kejadian rupture uteri telah lama, maka akan timbul gejala gejala
meteorismus dan defans muscular yang menguat sehingga sulit untuk
meraba bagian janin.
4. Pemeriksaan Dalam
Pada ruptur uteri komplit:
 Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intraabdomen
sehingga didapatkan cairan bebas dalam abdomen
 Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak teraba lagi atau
teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu kepala atau bagian terbawah
janin dengan mudah dapat didorong ke atas hal ini terjadi karena
seringkali seluruh atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut
melalui robekan pada uterus
 Dapat meraba robekan pada dinding rahim jika jari tangan dapat melalui
robekan tadi, maka dapat diraba omentum, usus dan bagian janin
 Pada katerisassi didapat urin berdarah
Pada ruptur uteri inkomplit :
 Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul di bawah
peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina
 Janin umunya tetrap berada di uterus
 Pada katerisasi didapatkan urin berdarah
G. Penatalaksana
Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah:
1. Perbaiki keadaan umum
 Atasi syok dengan pemberian cairan dan darah
 Berikan antibiotika
 Oksigen
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan persalinan harus
dilakukan denganncermat, khususnya pada persalinan dengan kemungkinan
distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau
pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya
regangan segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu,
persalinan harus segera diselesaikan. Keselamatan wanita yang mengalami
ruptur uteri paling sering bergantung pada kecepatan dan efisiensi dalam
mengoreksi hipovolemia dan mengendalikan perdarahan.
2. Laparotomi
Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak bisa
dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak
akan bisa diterima. Bila keadaan umum penderita mulai membaik,
selanjutnya dilakukan laparotomi dengan tindakan jenis operasi:
a. Histerektomi, baik total maupun subtotal. Histerektomi dilakukan jika:
 Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
 Kondisi buruk yang membahayakan ibu
b. Repair uterus (histeorafi)yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-
baiknya.Histeorafi dilakukan jika :
 Maish mengharapkan fungsi reproduksinya
 Kondisi klinis ibu stabil
 Ruptur tidak berkomplikasi
c. Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang
cukup.
Tindakan aman yang dipilih, tergantung dari beberapa faktor, antara lain:
 Keadaan umum
 Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
 Jenis luka robekan
 Tempat luka
 Perdarahan dari luka
 Umur dan jumlah anak hidup
 Kemampuan dan keterampilan penolong
5.9. Prognosis

Harapan hidup bagi janin sangat buruk. Angka mortalitas yang ditemukan dalam
berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70 persen. Tetapi jika janin masih hidup pada saat
terjadinya peristiwa tersebut, satu- satunya harapan untukmempertahankan
nyawajaninadalahdengan persalinan segera, yang paling sering dilakukan lewat
laparotomi. Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita meninggal karena
perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi kemudian, kendati penyembuhan
spontan pernah pula ditemukan pada kasus-kasus yang luar biasa. Diagnosis cepat, tindakan
operasi segera, ketersediaan darah dalam jumlah yang besar dan terapi antibiotik sudah
menghasilkan perbaikan prognosis yang sangat besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan
perbaikan prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptura pada uterus yang
hamil.13,15,1

Daftar Pustaka

1. Gaufberg SV. Abruptio Placentae, available from


http:www.eMedicine.com/e merg/topic12.htm,inc, view article, 2003.
2. Deering SH. Abruptio Placentae, available from http:
www.eMedicine.com/med/topic.htm, inc, view article, 2002.
3. Silbernagl, Stefan. Teks dan Atlas berwarna, Patofisiologi. ECG,Penerbit Buku
Kedokteran. 2007.
4. Pitkin, J. Obstereics and Gynaecology: An Illustrated Colour Text.

Edinburgh, Churchill Livingstone, 2003

5. Pernoll ML. Third-Trimester Hemorrhage, dalam De Cherney AH, Pernoll ML. eds.
Current Obstetric and Gynecologic Diagnosis and Treatment, 8th
ed. Appleton and Lange Business and Professional Group, Connecticut, USA, 1994 : 398
– 404.

Anda mungkin juga menyukai