As one on the producer a cocoa bean to export market, an international cocoa bean market
perspective, Aceh cocoa sholud have the traceability system to increase its competitiveness. To
develop the traceability system needed technique which can Aceh cocoa decrimination with
another producer. The character of Aceh cocoa is created from physical, chemical and sensory
aspects. The origin of Aceh cocoa bean were Geumpang, Tiro and Padang Tiji Subdictrict, Pidie
District, hence as comparing is used cocoan bean from Lampung, Sulawesi Selatan and Jawa
Timur Province. Parameters test involves bean size, slaty, pH, free fatty acid, polyphenol and
several sensories test such as flavour, acidity, bitterness, astringent, caramelly, creamy and
texture. A total experts panelist members were 6 who from ICRI Jember, East Java Province.
The study found that Aceh cocoa bean samples have pH nearst netral, size of bean under 85
per/100 gr sample, free fatty acids conten was 0.14-0.42 and poliphenol was 5.5-
10.41.Generally, the quality of Aceh cocoa bean have moderat strongly.
1
Disampaikan pada seminar Hasil Riset dan Standarisasi Industri V, Banda Aceh 11-12 November 2015. Balai Riset
dan Standarisasi Industri Banda Aceh, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Biji kakao merupakan salah satu komoditi hasil perkebunan yang mempunyai peran
penting untuk meraih devisa non-migas di Indonesia. Sekitar 60% produksi biji kakao di
Indonesia dihasilkan oleh perkebunan rakyat dari beberapa daerah antara lain Aceh, Lampung,
Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Saat ini, di Indonesia biji kakao yang dihasilkan sebagian
besar adalah biji kakao lindak dan hanya sedikit perkebunan yang menghasilkan biji kakao
mulia. Komoditi biji kakao tersebut selain untuk memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri
juga diekspor ke luar negeri, antara lain ke USA, Eropa, Singapore dan Australia.
Komoditi ini memiliki perbedaan karakteristik mutu fisik, kimia dan sensori untuk
masing-masing daerah dan hal ini disebabkan daerah tempat tumbuhnya, proses budidaya dan
proses pascapanennya (Alam et al., 2010; Sudibyo dan Astuti, 2010; Saltini et al., 2013). Dalam
perdagangan ukuran berat biji selalu dijadikan standar untuk menentukan mutu biji kakao. Biji
kakao yang berat bijinya besar mengandung komponen kimia seperti karbohidrat, lemak,
protein, mineral serta komponen kimia lainnya dalam jumlah lebih banyak. Ukuran berat biji ini
sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat tumbuh dan terkait dengan iklim (suhunya). Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Alam et al. (2010) yang melaporkan bahwa berat buah,
rendemen biji kering dan jumlah biji/100 g tertinggi diperoleh dari buah kakao yang dipanen
pada ketinggian 400 ≤ x ≤ 800 m dpl dengan suhu berkisar antara 24,16 - 26,55ºC. Daymond
dan Hadley (2008) juga melaporkan bahwa berat kering biji kakao klon UF 676 dan Amelonado
menurun dengan meningkatnya temperatur.
Sistem perdagangan internasional, selain mensyaratkan ukuran berat biji kakao tapi juga
menghendaki biji kakao yang mempunyai citarasa dasar cokelat yang kuat, dengan cita
rasa khas seimbang, serta bebas dari cacat citarasa (Yusianto 1998). Citarasa cokelat
sendiri berasal dari senyawa prekursor citarasa yang terbentuk selama prafermentasi,
fermentasi dan proses pengeringan. Senyawa prekursor citarasa tersebut kemudian bereaksi
dengan senyawa lain selama proses penyangraian, sehingga menghasilkan citarasa cokelat
(Jinap et al. 1995; Crafack et al. 2014). Citarasa cokelat dipengaruhi oleh sifat genetis
tanaman, ketinggian lahan, spesifik lokasi, cara atau metode pengolahan (roasting), sehingga
mempengaruhi komponen volatil yang dihasilkan (Diab et al. 2014). Komponen citarasa cokelat
sebagian besar merupakan hasil reaksi senyawa flavour seperti polifenol dan prekursor rasa
seperti asam amino dan gula pereduksi, yang terbentuk selama proses fermentasi (Saltini et al.,
2013).
Berdasarkan penjelasan sebelumnya perlu dilakukan karakterisasi mutu fisik, kimia dan
sensori biji kakao supaya diketahuinya adanya karakteristik mutu untuk beberapa daerah
penghasil kakao di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kespesifikan
karakteristik mutu kakao yang digali berdasarkan mutu fisik yang mencakup serangga hidup,
biji berbau asap abnormal, jumlah biji per 100 gr, biji pecah (%), benda asing (%), biji
berjamur (%), biji berserangga (%), biji slaty (%), kadar kotoran (%), biji berkecambah (%)
serta kadar kulit dan keeping bii (%). Mutu kimia mengacu kepada pH, kadar air (%), asam
lemak bebas (%) dan poliphenol (%), sedangkan mutu sensori dikaji berdasarkan analisis cita
rasa seperti aroma, flavour, rasa asam, rasa pahit, rasa sepat, karamel, krim dan tekstur/warna
oleh panel pakar (Misnawi et al. 2004; Sudibyo dan Astuti 2010).
Hasil karakterisasi mutu kakao ini dapat digunakan untuk membangun suatu sistem
ketertelusuran rantai pasok Aceh yang mampu mendekriminasikan produk sejenis, tentunya
diperlukan input yang mencakup karakteristik spesifik dari produk tersebut sehingga dapat
dibedakan dalam suatu sistem. Dalam penelitian ini karakter khas tersebut digali berdasarkan
sifat fisik, kimia dan sensori (Żyżelewiczet al. 2014; Crafack et al. 2014).
Bahan
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji kakao kering fermentasi
dan jenis lindak (forestero) yang diperoleh dari perkebunan rakyat berbagai daerah di
Indonesia, antara lain: Kabupaten Aceh Pidie (Kec.Geumpang, Padang Tiji dan Tiro), Lampung
Timur, Sulawesi Selatan (Kab.Luwuk) dan Jawa Timur (Kab.Jember). Pemilihan lokasi dilakukan
secara sengaja (purposive) dengan justifikasi bahwa ketiga lokasi merupakan sentra utama
penghasil kakao di Kabupaten Pidie, sedangkan kabaupten ini merupakan salah satu penghasil
utama kakao di Provinsi Aceh, selain Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Timur dan Tenggara
(Bappeda Kab. Pidie 2010; BPS Provinsi Aceh 2014). Sebagai pembanding digunakan sampel
dari Provinsi Lampung dari Kecamatan Lampung Selatan, Jawa Timur dari Kabupaten Jember,
sedangkan dari Provinsi Sulawesi Selatan berasal dari Pangkajene. Penentuan lokasi
pembanding juga dilakukan secara sengaja dengan dasar bahwa ketiga provinsi ini merupakan
sentra produksi kakao di Indonesia.
Metode
Penelitian ini menggunakan dua macam sampel yaitu biji kakao kering dan pasta coklat. Analisis
fisik dan kimia dilakukan pada biji kakao kering dan analisis sensori pada pasta coklat.
Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa karakteristik mutu kimia kakao pada
umumnya memiliki perbedaan antar daerah, namun nilai-nilai parameter pH dan kadar polipenol
memiliki perbedaan yang cukup besar. Nilai pH yang masing-masing daerah asal berturut-turut
Lampung 6.27, Geumpang (Aceh) 6.2, Padang Tiji (Aceh) 6.1, Sulawesi Selatan 5.87, Tiro 5.8
dan Jawa Timur 4.62. Perbedaan pH ini disebabkan oleh perbedaan perlakuan fermentasi
terutama waktu fermentasi biji kakao yang dilakukan oleh masing-masing petani daerah
tersebut. Perlakuan fermentasi dapat menurunkan pH biji kakao, semakin lama fermentasi
maka pH biji akan semakin menurun karena terbentuknya asam-asam organik seperti asam
laktat dan asam asetat. Keasaman biji merupakan aspek yang sangat penting dalam citarasa
cokelat karena tidak saja terkait dengan rasa asam, tetapi juga menentukan jalannya reaksi
pembentukan senyawa citarasa, terutama pada saat penyangraian, namun pH biji kakao yang
terlalu rendah juga tidak baik, tetapi harus di atas 5,0 agar mempunyai citarasa yang baik. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Misnawi et al. (2004) bahwa pembentukan citarasa lebih potensial
terjadi pada biji pH 5.0-5.5 daripada pH 4.0-4.5.
Karakteristik mutu sensori meliputi aroma, flavor, rasa asam (acidity), rasa pahit
(bitterness), rasa sepat (astringent), caramel (caramelly), krim (creamy) dan tekstur/warna
(texture/colour). Hasil analisis yang dapat dilihat pada Gambar 1 menunjukkan bahwa setiap
daerah memilki mutu sensori yang berbeda dan masing-masing memilki mutu sensori yang
spesifik. Hal ini dapat terjadi karena antara lain adanya perbedaan proses fermentasi dan
pengeringan sehingga akan menyebabkan terjadinya perubahan senyawa kimia sebagai
penghasil citarasa cokelat. Tahapan pengolahan biji kakao yang sangat penting untuk dilakukan
adalah proses fermentasi karena proses ini dapat menghasilkan citarasa maupun aroma cokelat
yang baik (Beckett 2008; Misnawi 2008). Tahapan proses fermentasi ini selain dapat
memperbaiki dan mengembangkan citarasa, juga dapat mengurangi rasa pahit dan sepat serta
memperbaiki kenampakan biji kakao. Proses pengeringan yang baik dapat memaksimalkan
terbentuknya prekursor citarasa cokelat, dengan tanpa menimbulkan cacat citarasa atau
kontaminasi bahan asing (Yusianto 1998).
Pada Gambar 1 terlihat bahwa pasta kakao dari Geumpang (Aceh), Padang Tiji (Aceh),
Tiro (Aceh) dan Lampung memiliki aroma cokelat yang hampir sama namun berbeda dengan
aroma cokelat dari Sulawesi dan Surabaya. Pasta kakao dari Surabaya memiliki intensitas
aroma cokelat yang paling rendah, dari sisi intensitas rasa cokelat pasta kakao yang paling
rendah berasal dari daerah Jawa Timur dan pasta kakao yang berasal dari kelima daerah
lainnya memiliki rasa cokelat yang hampir sama. Rasa asam pada pasta kakao yang paling
tinggi intensitasnya adalah pasta kakao dari Jawa Timur yang berbeda dengan pasta kakao
yang berasal dari beberapa daerah lainnya. Intensitas rasa asam yang cukup tinggi ini
disebabkan dengan rendahnya nilai pH biji kakao yang dimiliki oleh Jawa Timur. Nilai pH biji
kakao yang terlalu rendah tidak baik, tetapi harus di atas 5.0 agar mempunyai citarasa yang
baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Biehl et al. (1985) bahwa pembentukan citarasa lebih
potensial terjadi pada biji pH 5.0-5.5 dari pada pH 4.0-4.5.
Pasta kakao yang berasal dari dari Geumpang (Aceh), Padang Tiji (Aceh), Tiro (Aceh),
Lampung dan Sulawesi mempunyai intensitas rasa pahit yang hampir sama kecuali pasta kakao
dari Surabaya memiliki rasa pahit yang sedikit agak tinggi dari yang lainnya. Rasa sepat pasta
kakao dari semua daerah mempunyai intensitas yang hampir sama. Intensitas karamel pasta
kakao juga hampir sama untuk semua asal daerah. Namun berbeda dengan sifat krimi pasta
kakao, dimana pasta kakao dari Padang Tiji (Aceh) lebih krimi dari lainnya yang memiliki sifat
krimi yang hamper sama. Untuk sifat tekstur/warna pasta kakao dari Padang Tiji (Aceh), Tiro
(Aceh), Geumpang (Aceh) dan Sulawesi memiliki sifat yang hampir sama.Hal ini berbeda
dengan pasta kakao yang berasal dari Lampung dan Jawa Timur yang memiliki intensitas
tekstur/warna yang hampir sama. Menurut Beckett (2008) menyimpulkan bahwa lama
fermentasi lima hari menghasilkan biji kakao dengan nilai warna dan citarasa aromatik terbaik.
Demikian juga dengan Minifie (1998) yang menyatakan bahwa dengan mutu biji kakao yang
baik akan menghasilkan mutu produk turunan yang baik pula, mengingat untuk mendapatkan
hasil pengolahan yang optimal didapatkan dari bahan baku biji kakao yang telah difermentasi
sempurna.
KESIMPULAN
1. Daerah Padang Tiji dan Geumpang (Aceh) mempunyai jumlah biji kakao per 100 g masing-
masing sebesar 78 dan 82 (golongan mutu AA). Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Tiro
(Aceh) masing-masing sebesar 88, 89 dan 95 (golongan mutu A). Dan jumlah biji kakao per
100 g dari Lampung sebesar 105 (golongan mutu B). Kadar keping biji yang tinggi berturut-
turut berasal dari daerah Jawa Timur (87%), Padang Tiji (Aceh)(86.31%), Geumpang
(Aceh)(85.62%), Sulawesi Selatan (84.78%), Lampung (84.6%) dan Tiro (Aceh) (83.27%).
2. Nilai pH masing-masing daerah asal berturut-turut Lampung 6.27, Geumpang (Aceh) 6.2,
Padang Tiji (Aceh) 6.1, Sulawesi Selatan 5.87, Tiro 5.8 dan Jawa Timur 4.62. Kadar polipenol
yang dimiliki oleh masing-masing daerah berturut-turut Padang Tiji (Aceh) 10.41%,
Geumpang (Aceh) 10.38%, Lampung 8.99%, Jawa Timur 6.64%, Tiro (Aceh) 5.5% dan
Sulawesi Selatan 5.36%.
3. Berdasarkan aspek mutu sensori, pasta kakao dari Geumpang (Aceh), Padang Tiji (Aceh),
Tiro (Aceh) dan Lampung memiliki aroma cokelat hampir sama namun berbeda Sulawesi dan
Surabaya. Dan Surabaya memiliki intensitas aroma cokelat yang paling rendah. Intensitas
rasa cokelat paling rendah berasal dari Jawa Timur dan dari kelima daerah lainnya memiliki
rasa cokelat yang hampir sama. Rasa asam pasta kakao paling tinggi intensitasnya adalah
Jawa Timur dan berbeda dengan daerah lainnya. Rasa pahit pasta kakao dari
Surabaya sedikit agak tinggi dari yang lainnya. Pasta kakao dari Padang Tiji (Aceh) lebih
krimi dari lainnya. Tekstur/warna pasta kakao dari Padang Tiji (Aceh), Tiro (Aceh),
Geumpang (Aceh) dan Sulawesi memiliki sifat yang hampir sama, sedangkan pasta kakao
yang berasal dari Lampung dan Jawa Timur memiliki intensitas tekstur/warna yang hampir
sama.
DAFTAR PUSTAKA
Alam N. 2010. Karakteristik buah Kakao Yang Dipanen Pada Berbagai Ketinggian Tempat
Tumbuh dan Kelas kematangan. Agroland,17 (2): 123 – 130.
Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Pidie [Bappeda Kab Pidie] dan Pusat Penelitian
Kopi dan Kakao Indonesia [Puslit Koka]. 2010. Kajian Pengembangan Perkebunan Kakao
Kabupaten Pidie Jaya.
Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh. 2014. Aceh dalam Angka. Katalog BPS 110211.1. Banda
Aceh.
Beckett ST. 2008. The Science of Chocolate. Combride: The Society of Chemistry.
Jinap S, Dimick PS, Hollender R.1995. Flavor evaluation of chocolate formulated from
cocoa beans from different countries. Food Control, 6 : 105-110.
Kemp SE, Hollowood T, Hort J. 2011. Sensory evaluation: A practical hand books. Singapore:
John Wiley & Sons.
Minifie BW. 1989. Chocolate, Cocoa and Confectionery: Science and Technology. An Aispen
Publication.
Misnawi, Jinap S, Jamilah B, Nazamid S. 2004. Sensory properties of cocoa liquor as affected
bypolyphenol concentration and duration of roasting. Food Quality and Preference, 15:
403–409.
Saltini R, Akkerman R, Frosch S. 2013. Optimizing Chocolate Production through Traceability:
A Review of the Influence of Farming Practices on Cocoa Bean Quality. Food Control, 29:
167-187.
SNI 01-2323-2002. 2002. Standar mutu kakao. Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Sudibyo A, Astuti J. 2010. Mempelajari karakteristik kimia dan citarasa cokelat formulasi dari
biji kakao yang berasal dari berbagai daerah penghasil kakao di Indonesia. Jurnal
Industri Hasil Perkebunan, 5 (1): 1-11.
Yusianto. 1998. Analisis hubungan antar komponen citarasa biji kakao. Pelita Perkebunan,
14 (2) : 124-140.
Żyżelewicz D, Budryn G, Krysiak W, Oracz J, Nebesny E, Bojczuk M. 2014. Influence of roasting
conditions on fatty acid composition and oxidativechanges of cocoa butter extracted from
cocoa bean of Forastero varietycultivated in Togo. Food Research International, 63: 328–
343.