Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang


wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut.
Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau
kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan
dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu
uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi
yang dapat berakhir dengan kematian.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari pemberian
anestesi. Management jalan napas adalah tugas terpenting dari anestesiologi.
Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas
berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung
jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap
kontrol pernapasan. Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan
menunjukkan di mana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan
dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien
tersebut.
Manajemen jalan napas merupakan salah satu keterampilan yang harus
dimiliki oleh seorang dokter ahli anestesiologi. Pemasangan pipa endotrakea (ET)
merupakan salah satu tindakan pengamanan jalan nafas terbaik dan paling sesuai
sebagai jalur ventilasi mekanik. Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan
memberikan ventilasi mekanik, tindakan ini juga dapat menghantarkan agen
anestesi inhalasi pada anestesi umum.

1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Suharnita
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 26 tahun
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Ahmad Dg. Lau
No. RM : 53.52.63
Diagnosis : Kehamilan Ektopik Terganggu

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut bawah tembus belakang
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien perempuan 26 tahun datang ke IGD RS Syekh Yusuf Gowa dengan
keluhan nyeri perut bawah tembus ke belakang yang dirasakan 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah 1 kali.
Pasien tidak mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir. Pasien mengatakan
bahwa dia sedang hamil 11 minggu. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-),
Riwayat alergi (-), demam (-).

C. PEMERIKSAAN FISIK
 GCS : E4V5M6 = 15
 KU : Lemah
 Gizi : Baik
 Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 100 x/menit
- Suhu : 36,7C
- Pernafasan : 20 x/menit

2
 Status Generalis
o Kulit : Warna kecoklatan, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup.
o Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma.
o Rambut : Distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
o Mata : Terdapat konjungtiva anemis
o Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Tidak terdapat jejas
- Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid.
o Pemeriksaan Thorax
a. Jantung
 Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae
sinistra
 Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
 Perkusi :
Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
 Auskultasi : S1 & S2 murni reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
b. Paru
 Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ditemukan retraksi.
 Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
 Perkusi : Sonor kedua lapang paru
 Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonki dan wheezing

c. Pemeriksaan Abdomen
 Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal

3
 Inspeksi : Ikut gerak napas
 Perkusi : Timpani
 Palpasi : Tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
d. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 8,4 11,5-16 g/dL
Leukosit 22,5 4.0-10.0 103/mm3
Eritrosit 3,44 3.80-5.80x106/
Trombosit 352000 150000-500000/L
CT/BT 9’20”/4’
Kimia Klinik
SGOT - <32 U/L
SGPT - <31 U/L
Ureum - 0-50 mg/dL
Creatinin - <1,1 mg/dL
GDS 200 ≤ 140 mg/Dl
Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif Negatif
Tes Kehamilan (Plano Positif (+)
Test)

4
E. KESAN ANESTESI
Pasien usia 26 tahun dengan diagnosa Kehamilan Ektopik Terganggu dengan
anemia, ASA PS II
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) Asering 20 tpm
b. Rencana Laparotomy
c. Transfusi PRC 2 bag
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Operasi
f. Informed Conset Pembiusan Dilakukan operasi dengan General Anestesi
dengan status ASA II E( E : Emergency)
g. Stop intake oral mulai pukul 02.00

G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Kehamilan ektopik terganggu + anemia
2. Diagnosis Pasca Bedah
Kehamilan ektopik terganggu + anemia
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus Asering 960cc/8 jam
4. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis Pembedahan : Laparatomy
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Teknik Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube
Mulai Anestesi : 20 Juni 2019, pukul 10.30 WITA
Mulai Operasi : 20 Juni 2019, pukul 10.05 WITA
Premedikasi : Midazolam 2 mg
Fentanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 120 mg

5
Relaksasi : Rokuronium Bromida (Novoren) 30 mg. Pada saat relaksasi,
dilakukan intubasi oral dengan ETT no. 6,5. Cek pengembangan
paru dan suara nafas D/S. Fiksasi ETT, hubungkan dengan
aparatus anestesi. Pernapasan pasien dibantu sampai napas
spontan.
Maintanance : 02 4-6 lpm via nasal kanul
Sevofluran 1,5 vol %
IVFD Asering 960 cc/8 jam

Posisi : Supine
Selesai Operasi : 11.35 WITA
Keadaan Post Operasi : Durasi operasi : 45 menit
Tanda vital monitor
- TD : 110/89 mmHg
- Nadi : 102 x/m
- Pernafasan : 40 x/m
- Saturasi O2 : 99 %
- GCS : 15 (E4M6V5)

P/ - Dexamethasone 1 ampul extra


- Furosemide 2 ampul extra

Pasien dipindahkan ke icu pukul 12.00 WITA

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kehamilan Ektopik

Istilah ektopik berasal dari bahasa Inggris, ectopic, dengan akar


kata dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat. Jadi istilah ektopik
dapat diartikan “berada di luar tempat yang semestinya”. Apabila pada
kehamilan ektopik terjadi abortus atau pecah, dalam hal ini dapat
berbahaya bagi wanita hamil tersebut maka kehamilan ini disebut
kehamilan ektopik terganggu. 4,7
Pembagian menurut lokasi :
a. Kehamilan ektopik tuba : pars interstisialis, isthmus, ampulla,
infundibulum, fimbria.
b. Kehamilan ektopik uterus: kanalis servikalis, divertikulum, kornu,
tanduk rudimenter.
c. Kehamilan ektopik ovarium.
d. Kehamilan ektopik intraligamenter.
e. Kehamilan ektopik abdominal.
f. Kombinasi kehamilan dalam dan luar uterus (Speroff et al, 2009).

Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba (98%), hal
ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah
dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena :
a. Adanya sikatrik pada tuba.
b. Kelainan bawaan pada tuba.
c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal
(Saymonds et al, 2002).

7
Gambar 1 Lokasi Kehamilan Ektopik

B. Anemia
Anemia (dalam bahasa yunani = Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah
seldarah merah atau jumlah hemoglobin <protein pembawa oksigen=
dalam seldarah merah berada di bawah normal Sel darah merah
mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut
oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia,
jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini

kelompok Kriteria anemia (Hb)


Anak 6-59 bulan < 11 gr/dl
Anak 5-11 tahun < 11,5 gr/dl
Anak 12-14 tahun < 12 gr/dl
Laki-laki dewasa <13 gr/dl

8
Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl

Hasil pemeriksaan Hb dengan sachli dapat digolongkan sebagai berikut:


1) Hb 11 gr% : Tidak anemia
2) Hb 9-10 gr% : Anemia ringan
3) Hb 7 – 8 gr%: Anemia sedang
4) Hb < 7 gr% : Anemia berat

C. Efek Anemia pada Ibu Hamil, Bersalin, dan Nifas


Anemia dapat terjadi pada setiap ibu hamil, karena itulah kejadian ini
harus selalu diwaspadai. Anemia yang terjadi saat ibu hamil Trimester I
akan dapat mengakibatkan: Abortus, Missed Abortus dan kelainan
kongenital. Anemia pada kehamilan trimester II dapat menyebabkan:
Persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan pertumbuhan janin
dalam rahim, asfiksia aintrauterin sampai kematian, BBLR, gestosis dan
mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Saat inpartu, anemia dapat menimbulkan gangguan his baik
primer maupun sekunder, janin akan lahir dengan anemia, dan persalinan
dengan tindakan yang disebabkan karena ibu cepat lelah. Saat post
partum anemia dapat menyebabkan: tonia uteri, rtensio placenta, pelukaan
sukar sembuh, mudah terjadi febris puerpuralis dan gangguan involusio
uteri.

D. Anestesi Umum
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan
dimana hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di
seluruh tubuh akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat
reversible. Anestesi umum dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan
intramuscular.

9
Indikasi anestesi umum
 Pada bayi dan anak-anak
 Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
 Operasi besar
 Pasien dengan gangguan mental
 Pembedahan yang lama
 Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
 Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.

Sebelum dilakukan tindakan anestesi, sebaiknya dilakukan persiapan pre-


anestesi. Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Persiapan-persiapan yang perlu
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan keadaan gigi, tindakan buka mulut, lidah yang relatif besar
sangat penting untuk mengetahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang
keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi
dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
c. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan laboratorium rutin yang
sebaiknya dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap (Hb, leukosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis.Pada pasien yang berusia di
atas 50 tahun sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks dan EKG.

10
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :10
 ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
 ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
 ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
 ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
 ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
 ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk
ditransplantasi.
 Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi :
 Meredakan kecemasan dan ketakutan
 Memperlancar induksi anestesi
 Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
 Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
 Mengurangi isi cairan lambung
 Mengurangi rasa sakit
 Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
 Menurunkan basal metabolisme tubuh

11
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan
keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam
sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi
jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat
yang banyak digunakan:
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler
- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler
- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, Dewasa
1,5 mg/kgbb intramuskuler
- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral
Anak
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
Vagolitik antisialagogue : - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau
intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg
Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan
2 jam sebelum operasi
- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi

Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah

12
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.

Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:10
 S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
 T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).

 A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
 T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
 I = Introducer

13
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
 C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
 S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

Obat - Obat Induksi


a. Profofol
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam
lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA.
Propofol adalah obat anestesi umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya
dicapai dalam waktu 30 detik (Pramono, A., 2008).
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Pada pasien yang berumur diatas 55
tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi itu lebih kecil dari
dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55 tahun. Cara
pemberian bisa secara suntikan bolus intravena atau secara kontinu melalui
infus, namun kecepatan pemberian harus lebih lambat daripada cara
pemberian pada oranag dewasa di bawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan
ASA III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih lambat
(Pramono, A., 2008).

b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-
fenilpiperidin-4-karboksilat. Efek samping meperidin dan derivat
fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,

14
mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.
c. Atracurium
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja (Pramono, A., 2008).
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama
20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C,
kecepatan efek kerjanya 1-2 menit. Penawar pelumpuh otot atau
antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-
esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang
paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB)
au obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa
(Pramono, A., 2008).

d. Fentanyl
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu
analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin.
Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid
yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan
opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan
itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang
tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada
terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.

15
a. Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-
dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan
lewat urin.
b. Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg
BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150
mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia
dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.
c. Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan
kortisol.

e. Intubasi Endotrakeal
Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi.4
Indikasi
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit ataupun
pada prosedur medis untuk mempertahankan jalan napas seseorang,
pernapasan, dan oksigenasi darah.Pada cakupan tersebut, tambahan oksigen
yang menggunakan face mask sederhana masih belum adekuat.
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut4.

16
1. Penurunan kesadaran
Kerusakan otak (misalnya stroke massif, cedera kepala non-penetrasi,
intoksikasi atau keracunan) dapat berakibat penurunan kesadaran.Saat
keadaan tersebut menjadi lebih buruk menjadi stupor atau koma
(didefinisikan sebagai Glasglow Coma Scale (GCS) kurang dari 8).
Kolaps dinamik pada otot ekstrinsik jalan napas dapat menyumbat jalan
napas, yang menunda aliran udara bebas ke dalam paru.Lebih jauh lagi, reflex
perlindungan jalan napas seperti batuk dan menelan dapat berkurang atau
hilang.Intubasi endotrakeal sering dipilih untuk mengembalikan kepatenan
jalan napas dan melindungi cabang trakeobronkial dari aspirasi pulmoner dari
isi lambung.
2. Hipoksemia
Intubasi dapat diperlukan pada pasien dengan penurunan kandungan oksigen
dan saturasi oksigen dalam darah yang disebabkan pernapasan yang tidak
adekuat (hipoventilasi), apnea atau saat paru tidak dapat cukup mentransfer
udara ke dalam darah.Pada beberapa pasien, yang dapat bangun dan terjaga,
memiliki tipe sakit yang kritis dengan penyakit multisistem.4
Sebagai contoh kondisi tersebut yaitu cedera servikal, fraktur kosta multipel,
pneumonia berat, acute respiratory distress syndrome (ARDS), atau
tenggelam. Secara spesifik, intubasi dapat dipertimbangkan apabila tekanan
arterial parsial oksigen (PaO2) kurang dari 60 mmHg, dimana konsentrasi O2
inspirasi (FiO2) sebesar 50% atau lebih besar. Pada pasien dengan
peningkatan karbon dioksida arterial, tekanan arterial parsial dari CO2
(PaCO2) lebih besar dari 45 mmHg pada keadaan asidemia memerlukan
intubasi, khususnya pada pengukuran yang memperburuk asidosis
respiratorik.6
3. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas merupakan indikasi yang sering pada intubasi
endotrakea.Pertolongan pada obstruksi jalan napas diperlukan saat benda
asing menjadi terjepit di jalan napas, hal ini khususnya sering terjadi pada
bayi dan anak kecil.Trauma tumpul yang berat atau trauma penetrasi pada

17
wajah atau leher dapat menyebabkan bengkak dan hematoma, atau trauma
laring, trakea maupun bronkus. Obstruksi jalan napas juga sering terjadi pada
orang yang sering terpapar inhalasi asap rokok
Tanda-tanda obstruksi jalan napas adalah sebagai berikut.
a. Stridor (mendengkur, snoring)
b. Napas cuping hidung (flaring of the nostrils)
c. Retraksi trakea
d. Retraksi torak
e. Tak terasa ada udara ekspirasi
4. Manipulasi jalan napas
Manipulasi jalan napas untuk keperluan diagnostik atau terapeutik (seperti
bronkoskopi, terapi laser) kadang-kadang dapat menyebabkan ketidak
mampuan bernapas, sehingga intubasi diperlukan pada kondisi tersebut.
Pipa endotrakeal yang telah diinsersi ke dalam trakea dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 1. Diagram pipa endotrakeal yang telah diinseri ke dalam


trakea.
A. Pipa endotrakeal (biru)
B. Pipa cuff inflasi dengan balon pilot
C. Trakea
D. Esofagus

Gambar 2. Intubasi Endotrakeal

18
Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain7 :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, peralatan yang harus disiapkan
adalah STATICS, yaitu S (Scope, laringoskop, steteskop), T(Tube, pipa
endotrakeal),A (Airway tube,pipa orofaring / nasofaring), T (Tape, plester), I
(Introducer, stilet, mandren), C (Connector, sambungan-sambungan), S
(Suction, penghisap lendir).7,8
1. Laringoskop
Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop adalah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung agar dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2
macam laringoskop:
a. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
b. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

Gambar 3. Laringoskop dengan berbagai Miller blade (dewasa besar,


dewasakecil, anak, bayi dan neonatus)

19
Gambar 4. Laringoskop dengan berbagai Macintosh blade (dewasa besar,
dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)
2. Stilet
Stilet untuk intubasi didesain untuk dimasukkan ke dalam endotracheal tube
untuk membuat pipa lebih baik pada anatomi jalan napas atas pada individu
yang spesifik.Hal ini sering menolong pada orang dengan kesulitan
laringoskopi.Seperti halnya blade laringoskop, terdapat beberapa tipe stilet
yang tersedia, misalnya stilet Verathon, yang secara spesifik didesain untuk
mengikuti sudut blade sebesar 60 derajat pada laringoskop.

Gambar 5. Stilet pipa endotrakeal, digunakan untuk membantu intubasi


orotrakeal
3. Pipa trakea (endotracheal tube)
Pipa trakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik langsung ke dalam
trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida.Ukuran
diameter lubang pipa trakea dalam millimeter. Karena penampang trakea
bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda, penampang melintang trakea bayi dan
anak kecil di bawah usia 5 tahun hamper bulat, sedangkan dewasa seperti
huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar-
dewasa dengan cuff, agar tidak bocor.

20
Penggunaan cuff pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
trakea dan selain itu jika ingin menggunakan pipa trakea dengan cuff pada
bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan
ini membuat risiko tahanan napas lebih besar. Pipa trakea dapat dimasukkan
melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

Gambar6.Cuffed endotracheal tube, terbuat dari polivinil klorida

Gambar7. Carlens double-lumen endotracheal tube, digunakan pada


pembedahan thoraks seperti lobektomi VATS
Komplikasi
1. Selama intubasi
- Trauma gigi geligi
- Laserasi bibir, gusi, laring
- Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi)
- Intubasi bronkus
- Intubasi esophagus
- Aspirasi
- Spasme bronkus

21
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea

E. Anestesi Umum Pada kasus gawat Darurat


Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus
emergency antara lain : keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra
anesthesia yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah,
lambung sering berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu,
keadaan umum sering buruk, menderita cedera ganda/multiple, kelainan
yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa
belum tegak), riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui, komplikasi yang
ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan.
Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas pasien bedah
darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif (sekitar 8x
lebih besar). (Imarengiaye, 2005)

Syarat dan Prosedur anestesi Darurat

Faktor utama agar pengelolaan anestesi bedah darurat dapat berjalan


sukses adalah kesiapan dalam menangani kejadian akut dan berat.
Perencanaan anestesi yang baik, optimalisasi kondisi dan resusitasi yang
sesuai diperlukan untuk kondisi durante dan post operasi yang memuaskan.

1. Persiapan
Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar
bedah dan alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan
alat untuk ventilasi, oksigensi, intubasi, dan pelengkap lainnnya, monitor,

22
set untuk infus dan transfusi serta cairan, obat-obatan baik obat resusitasi
maupun anestesi, defibrilator
Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah
sangat penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat, padahal hal
tersebut sering kali ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang
tindakan yang akan dilakukan sedikit banyak mampu membuat pasien
menjadi lebih tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai
seringkali perlu dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit
lain yang belum terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit
jantung, maupun diabetes.

2. Penilaian Pasien
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan
kadang-kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus
mengikuti prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine control,
oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk
pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan
cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus menerus
sampai menjelang operasi.

Evaluasi awal harus meliputi tiga komponen,yaitu penilaian cepat, survey


primer dan survey sekunder :
Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan
harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal atau
kritis.
Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary survey) dalam
waktu 2-5 menit, yaitu menilai :
A: Airway = jalan nafas
B: Breathing = pernafasan
C: Circulation = sirkulasi
D: Disability = kecacatan
E: Exposure = paparan (Morgan, 2006)

23
atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu :
B — 1 : Breath = pernafasan
B — 2 : Bleed = hemodinamik
B — 3 : Brain = otak dan kesadaran
Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi,
karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi
tumpuan keselamatan penderita.

Stabilisasi fungsi pernafasan meliputi : terapi oksigen, nafas buatan, punksi


pneumotoraks, intubasi endotrakheal atau krikotirotomi . Sedangkan
indikasi mutlak untuk dilakukannya intubasi segera antara lain GCS kurang
dari 9, ancaman shock, obstruksi jalan napas, pasien yang gelisah dan
membutuhkan sedasi, trauma dada dengan hipoventilasi, hipoksia, dan henti
jantung. Life support diberikan tanpa menunggu pemeriksaan tambahan
yang lain. (Barash, 2001)

Selain ketidakstabilan dalam ABC, juga terdapat kriteria kemungkinan


terjadinya ketidakstabilan tulang belakang di leher, antara lain :

a. Nyeri leher
b. Nyeri gerak leher yang sangat berat
c. Tanda dan gejala neurologis
d. intoksikasi
e. Hilangnya kesadaran

jika terdapat salah satu tanda di atas, cedera cervikal perlu kita pikirkan,
sehingga penatalaksanaan kita juga harus sesuai dengan cedera cervikal.
Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada
penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilaian lanjutan
(secondary survey) meliputi :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang (sesuai indikasi) :

24
 Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan Radiologis
 Pemeriksaan EKG
 Tes Faal Paru

3. Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan
karena tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan
tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi
tidak betul-betul emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis.
Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekeja di kamar bedah
emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan kepada pasien
dengan hati-hati, perlahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi
akan dilakukan.

Pemberian obat untuk menaikkan PH gaster, menurunkan volume gaster,


meningkatkan tonus sphincter gastroesofageal digunakan sebagai usaha
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi cairan gaster. Obat yang
diberikan antara lain antasid, anticholinergik, H2 reseptor antagonis, dan
metoclopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian
tertentu, tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk
mencegah regurgitasi dan aspirasi selama induksi anestesi. (Morgan, 2006)

Obat Keuntungan Kerugian


Antasid Menetralkan pH gaster Acid-rebound, milk alkali
syndrome, menurunkan fosfor.
Antikholinergik Meningkatkan Meningkatkan sekresi lambung,
motilitas GIT, menyebabkan mual
mengurangi sekresi
airway
H2-reseptor Menurunkan produksi Tidak mempengaruhi volume
blocker cairan lambung : atau pH isi gaster
menurunkan volume Efeknya baru ada bila diberikan

25
gaster, meningkatkan 60-90 menit bila diberikan
pH gaster. peroral atau IM
Tidak menurunkan Cimetidin dapat menyebabkan
tonus sphincter aritmia jantung bila diberikan
gastroesofageal intravena
Dapat menimbulkan
bronkhopasme pada pasien
asthma
Metoclopramid Menurunkan volume Tidak meningkatkan pH gaster
gaster Dapat menimbulkan sedasi dan
Meningkatkan tonus gejala ekstrapiramidal
sphincter
gastroosophageal

Teknik anestesi pada bedah darurat


Tehnik terbaik dipilih oleh seorang anestesi tergangtung
kemampuannya karena keterbatasan waktu untuk memilih metode apa yang
dipilih. Pilihan tehnik tergantung pada jenis dan lama tindakan bedah,
keadaan umum dan kooperasi pasien. Operasi yang besar hampir selalu
mebutuhkan tehnik anestesi umum dengan intubasi trakea dan nafas kendali
dengan bantuan obat pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat
anestesi yang banyak dan memastikan oksigenisasi yang baik dan tidak ada
kontra indikasi absolut untuk tehnik anestesi umum. Bila pasien kooperatif,
anestesi regional dapat dipertimbangkan, khusus pada operasi ekstremitas
maupun abdomen bawah. Cara ini dapat mencegah bahasa aspirasi seperti
yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadar. Adapun kontra indikasi

absolut untuk anestesi regional antara lain :

1. Infeksi di daerah tusukan


2. Pasien menolak
3. Koagulopati
4. Hipovolemi berat (pada neuraksial)

26
5. Peningkatan TIK (pada neuraksial)
6. Aorta dan mitral stenosis berat (pada neuraksial)

Sedangkan kontra indikasi relatifnya antara lain :


1. Sepsis
2. Pasien tidak kooperatif
3. Terdapatnya kelainan neurologis sebelumnya
4. Kelainan katup jantung stenosis (pada neuraksial)
5. Deformitas tulang belakang yang berat (pada neuraksial)
6. Toksisitas anestesi lokal (pada peripheral nerve block)
7. Neuropati perifer (pada peripheral nerve block) (Morgan, 2006)

Pasien dengan lambung penuh sebaiknya dilakukan anestesi regional.


Tetapi perlu diingat bahwa anestesi spinal atau epidural tidak mampu
memberikan proteksi absolut terhadap aspirasi. (Barash, 2001)

Intubasi

Semua pasien emergensi harus dianggap memiliki lambung yang terisi


penuh dan harus dilakukan penekanan krikoid selama dilakukan intubasi
trakea dan ventilasi. Setelah dilakukan preoksigenasi dan hiperventilasi
dengan menggunakan masker secara adekuat, efek yang merugikan dari
intubasi terhadap TIK diredam dengan sebelumnya diberikan tiopental 2-4
mg/kg, atau propofol 1.5-3.0 mg/kg.

Induksi cepat (RSI) dengan menggunakan ketamin atau etomidate


disertai suksinilkolin sebagai pelumpuh otot, sering dilakukan pada pasien
dengan hemodinamik yang tidak stabil. Pemberian dengan tehnik titrasi
(incremental dose) dengan loading cairan sebelumnya mungkin dibutuhkan
untuk meminimalisir efek samping kardiovaskuler.(Morgan, 2006)

Ketamin dan etomidate dapat diterima jika digunakan dengan sesuai.


Ketamin dapat memelihara tekanan darah melalui stimulasi simpatis indirek

27
namun dapat mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada pasien hipertensi
kronik dengan deplesi katekolamin. Etomidate memiliki stabilitas
kardiovaskuler yang lebih besar dari semua agen induksi sekunder dan
efeknya yang kecil pada sistem saraf simpatis serta refleks otonom. Induksi
menghasilkan penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung,
tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik. Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg)
adalah relaksan otot pilihan untuk menghasilkan paralisis otot dengan onset
cepat yang dibutuhkan untuk laringoskopidanintubasi. Onsetnya kurang dari
60 detik dan durasi aksinya hanya 5-10 menit pada sebagian besar kasus.
Suksinilkolin berhubungan dengan komplikasi seperti hiperkalemia, aritmia,
peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler, serta hipertensi
maligna. Saat ini diyakini bahwa suksinilkolin aman untuk pasien dengan
cidera yang terlihat jelas namun harus dihindari pda cidera medulla spinalis
atau luka bakar yang telah terjadi 24 jam atau lebih. Rocouronium (1-1,5
mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang lebih baik
dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal keamanannya. Rocuronium
mampu menghasilkan kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki
durasi aksi yang hampir sama dengan vecuronium (digunakan secara hati-
hati pada pasien dengan difficult airway) (Miller, 2000)

Pada keadaan seperti nyeri, syok, trauma, kehamilan dapat


memperlambat pengosongan lambung sehingga tindakan anestesi sering
menghadapi bahaya aspirasi dan regurgitasi. Intubasi endotrakea dalam
keadaan pasien sadar dengan anelgesi topical (setempat) adalah tehnik untuk
mencegah bahaya aspirasi pada kasus trauma berat pada muka, leher,
perdarahan usus.

Intubasi sadar dilakukan bila tindakan intubasi diprediksi akan


mengalami kegagalan. Intubasi sadar sulit dilakukan pada anak, serta
merupakan kontra indikasi relatif pada trauma mata terbuka, trauma kepala
atau abdomen terbuka karena dapat merangsang reflek batuk dan mengejan.
(Barash, 2001)

28
B IV
ANALISA KASUS

Pasien perempuan 26 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani


operasi laparatomy Emergency dengan diagnosis Kehamilan Ektopik Terganggu
dengan Anemia. Pasien masuk dengan keluhan nyeri perut bawah tembus ke
belakang yang dirasakan 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga
mengeluhkan mual serta muntah 1 kali. Pasien tidak mengeluhkan keluar darah
dari jalan lahir. Pasien mengatakan bahwa dia sedang hamil 11 minggu. Riwayat
hipertensi (-), riwayat DM (-), Riwayat alergi (-), demam (-).
Dari pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80
mmHg; nadi 80/menit; respirasi 20x/menit; suhu 36,8OC. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi yang dilakukan tanggal 20 Juni 2019 setelah dilakukan
transfuse PRC 1 bag yaitu dengan hasil: RBC : 3,44 x106 Wbc : 22.5x103 Hb 8,4
g/dl ; waktu pembakuan : 9’20” detik, waktu perdarahan : 4’ detik dan HBsAg
non reaktif.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA PS II E ( Emergency)
Sebelum melaksanakan prosedur operasi emergency (cito), di lakukan
persiapan, serta evaluasi cepat keadaan pasien berupa Airway control and cervical
spine control, oksigenasi dan ventilasi serta mempertahankan stabilitas
hemodinamik termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi
problem medis dan cedera lain, setelah itu pasien di minta untuk Stop intake Oral,
Tujuan untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau
muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-
obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama
anestesia.
Pada keadaan seperti nyeri, syok, trauma, kehamilan dapat memperlambat
pengosongan lambung sehingga tindakan anestesi sering menghadapi bahaya
aspirasi dan regurgitasi, Operasi yang besar hampir selalu mebutuhkan tehnik
anestesi umum dengan intubasi trakea dan nafas kendali dengan bantuan obat

29
pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat anestesi yang banyak dan
memastikan oksigenisasi yang baik dan tidak ada kontra indikasi absolut untuk
tehnik anestesi umum. Bila pasien kooperatif, anestesi regional dapat
dipertimbangkan, khusus pada operasi ekstremitas maupun abdomen bawah. Cara
ini dapat mencegah bahasa aspirasi seperti yang dapat terjadi pada pasien yang
tidak sadar. Tetapi pada kasus ini pasien dengan keadaan umum lemah dan tidak
koperatif untuk di lakukan anestesi regional sehingga di lakukan prosedur
menejemen General anestei (umum ) dengan pipa Endotrakhal.
Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 120/80mmHg; Nadi
84x/menit, dan SpO2 100%. Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu propofol 120
mg. Karena dilakukan prosedur operasi laparatomy maka dokter anestesi memilih
untuk melakukan intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator sepanjang
operasi dilakukan dan supaya pasien yang tetap dianestesi dapat bernafas dengan
adekuat.
Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan penilaian
adanya kesulitan intubasi kepada pasien. Dan dari hasil pemeriksaan fisis
didapatkan tidak ada kelainan pada gigi geligi serta faring, uvula dan palatum
molle terlihat jelas. Mallampati skor 1.
Pasien dalam posisi terlentang, kepala diusahakan dalam keadaan ekstensi
serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus, kemudian dilakukan
anastesi dan pelumpuh otot berupa Noveron 5 ml dalam spoit 5cc dengan dosis
30mg, dan berikan oksigen 100% dengan melakukan bagging selama 2 menit
untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot
sebelum memasukkan laringoskop ke dalam mulut pasien untuk di pasangkan
pipa endotrakheal, Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan
dengan konekta kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan
gas (sevoflurane) dengan ukuran 1,5 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan
napas pasien. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai
efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan
baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari

30
untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular
pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 1,5 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan bagging
dengan laju napas 18 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai.
Setelah operasi selesai di berikan penawar pelumpuh otot yakni reversal
dengan isi Neostigmin 0,5mg/ml dan Atropin 0,25 mg/ml yaitu 3:2, Neostigmin
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi,
pandangan kabur, hipermotilitas usus sehingga pemberiannya harus disertai
dengan antikolinergik seperti atropin (0,01-0,02 mg/kg) untuk menghilangkan
efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien, mesin anestesi
diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran
dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan
ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut.

Pembedahan selesai dilakukan, dengan pemantauan akhir TD 120/80 mmHg;


Nadi 80x/menit, dan SpO2 99%. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan
(Recovery Room). Selama di ruang pemulihan, jalan nafas dalam keadaan kurang
baik, pasien merasa sesak dengan Tanda-tanda vital, TD : 110/89 mmHg, Nadi :
102 x/menit , Pernafasan : 40 x/menit,Saturasi O2 : 99 % GCS : 15 (E4M6V5),
sehingga diberikan injeksi dexamethasone 1 ampul dan Furesemid 2 ampul
(Extra), setelah 10 menit pemberian injeksi tersebut, pemantauan lebih lanjut
setelah opersi dilakukan di ruang ICU.

31
BAB V
KESIMPULAN

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang berbahaya bagi seorang


wanita yang dapat menyebabkan kondisi yang gawat bagi wanita tersebut.
Kehamilan ektopik diartikan sebagai kehamilan di luar rongga rahim atau
kehamilan di dalam rahim yang bukan pada tempat seharusnya, juga dimasukkan
dalam kriteria kehamilan ektopik, misalnya kehamilan yang terjadi pada cornu
uteri. Jika dibiarkan, kehamilan ektopik dapat menyebabkan berbagai komplikasi
yang dapat berakhir dengan kematian.. Anemia pada kehamilan trimester II dapat
menyebabkan: Persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan
pertumbuhan janin dalam rahim, asfiksia aintrauterin sampai kematian, BBLR,
gestosis dan mudah terkena infeksi, IQ rendah dan bahkan bisa mengakibatkan
kematian
Pada keadaan darurat tenik anastesi yang dapat di lakukan Anestesi umum
dengan Endotrakheal Tube dan Anestesi Regioan ( khusus Pada Bedah Abdomen
dan Ekstremitas Bawah). Anestesi regional dapat dipertimbangkan, khusus pada
operasi ekstremitas maupun abdomen bawah. Cara ini dapat mencegah aspirasi
seperti yang dapat terjadi pada pasien yang tidak sadar. Tetapi pada kasus KET
dengan keadaan umum lemah dan tidak koperatif manjemaen anestesi umum
dengan endotrakheal tube menjadi pilihan utama.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
2. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf diakses pada
tanggal 10 april 2019
3. Sofyan Ferryan, Embriologi, anatomi dan Fisiologi
laringhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi
%20dan%20anatomi%20laring.pdf diakses pada tanggal 10 April 2019
4. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada tanggal 11 April 2019
5. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf
diakses pada tanggal 11 April 2019
6. Buttler KH et al. 2003. Management of the difficult airway: alternative
airway techniques and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North
America 21 (2003) 259–289

7. Yoyagi GS et al. 1995. Evaluating the difficult airway. An


epidemiological study. PubMedDec;61(12):483-9

8. Dobson M.B . 1994. Penuntun Praktis Anastesi. Jakarta Penerbit Buku


Kedokteran

9. American Society of Anesthesiologists. 2013. Practice Guidelines for


Management of the Difficult Airway : An Updated Report by the American
Society of Anesthesiologists Task Force on Management of the Difficult
Airway. Anesthesiology 2013; 118:251-70.

10. Latief Said, Suryadi A. Kartini, Dachlan M R. 2001 Petunuk Praktis


Anastesiologi edisi ke 2. Jakarta . Bagian Anastesiologi Dan Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 42-43.

33

Anda mungkin juga menyukai