Lapsus Anestesi Ame
Lapsus Anestesi Ame
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Suharnita
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 26 tahun
Berat Badan : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Jl. Ahmad Dg. Lau
No. RM : 53.52.63
Diagnosis : Kehamilan Ektopik Terganggu
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Nyeri perut bawah tembus belakang
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien perempuan 26 tahun datang ke IGD RS Syekh Yusuf Gowa dengan
keluhan nyeri perut bawah tembus ke belakang yang dirasakan 6 jam sebelum
masuk rumah sakit. Pasien juga mengeluhkan mual serta muntah 1 kali.
Pasien tidak mengeluhkan keluar darah dari jalan lahir. Pasien mengatakan
bahwa dia sedang hamil 11 minggu. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-),
Riwayat alergi (-), demam (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6 = 15
KU : Lemah
Gizi : Baik
Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 100 x/menit
- Suhu : 36,7C
- Pernafasan : 20 x/menit
2
Status Generalis
o Kulit : Warna kecoklatan, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
cukup.
o Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma.
o Rambut : Distribusi merata dan tidak mudah dicabut.
o Mata : Terdapat konjungtiva anemis
o Pemeriksaan Leher
- Inspeksi : Tidak terdapat jejas
- Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid.
o Pemeriksaan Thorax
a. Jantung
Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae
sinistra
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas kiri : SIC II LPS sinsitra
Batas atas kanan : SIC II LPS dextra
Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra
Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra
Auskultasi : S1 & S2 murni reguler, tidak ditemukan gallop dan
murmur.
b. Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, tidak ditemukan retraksi.
Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor kedua lapang paru
Auskultasi : Tidak terdengar suara rhonki dan wheezing
c. Pemeriksaan Abdomen
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
3
Inspeksi : Ikut gerak napas
Perkusi : Timpani
Palpasi : Tidak teraba massa, nyeri tekan (-)
d. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Pemeriksaan Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 8,4 11,5-16 g/dL
Leukosit 22,5 4.0-10.0 103/mm3
Eritrosit 3,44 3.80-5.80x106/
Trombosit 352000 150000-500000/L
CT/BT 9’20”/4’
Kimia Klinik
SGOT - <32 U/L
SGPT - <31 U/L
Ureum - 0-50 mg/dL
Creatinin - <1,1 mg/dL
GDS 200 ≤ 140 mg/Dl
Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif Negatif
Tes Kehamilan (Plano Positif (+)
Test)
4
E. KESAN ANESTESI
Pasien usia 26 tahun dengan diagnosa Kehamilan Ektopik Terganggu dengan
anemia, ASA PS II
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) Asering 20 tpm
b. Rencana Laparotomy
c. Transfusi PRC 2 bag
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Operasi
f. Informed Conset Pembiusan Dilakukan operasi dengan General Anestesi
dengan status ASA II E( E : Emergency)
g. Stop intake oral mulai pukul 02.00
G. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Kehamilan ektopik terganggu + anemia
2. Diagnosis Pasca Bedah
Kehamilan ektopik terganggu + anemia
3. Penatalaksanaan Preoperasi
Infus Asering 960cc/8 jam
4. Penatalaksanaan Anestesi
Jenis Pembedahan : Laparatomy
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Teknik Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube
Mulai Anestesi : 20 Juni 2019, pukul 10.30 WITA
Mulai Operasi : 20 Juni 2019, pukul 10.05 WITA
Premedikasi : Midazolam 2 mg
Fentanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 120 mg
5
Relaksasi : Rokuronium Bromida (Novoren) 30 mg. Pada saat relaksasi,
dilakukan intubasi oral dengan ETT no. 6,5. Cek pengembangan
paru dan suara nafas D/S. Fiksasi ETT, hubungkan dengan
aparatus anestesi. Pernapasan pasien dibantu sampai napas
spontan.
Maintanance : 02 4-6 lpm via nasal kanul
Sevofluran 1,5 vol %
IVFD Asering 960 cc/8 jam
Posisi : Supine
Selesai Operasi : 11.35 WITA
Keadaan Post Operasi : Durasi operasi : 45 menit
Tanda vital monitor
- TD : 110/89 mmHg
- Nadi : 102 x/m
- Pernafasan : 40 x/m
- Saturasi O2 : 99 %
- GCS : 15 (E4M6V5)
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik yang paling banyak terjadi adalah di tuba (98%), hal
ini disebabkan oleh adanya hambatan perjalanan ovum yang telah
dibuahi ke kavum uteri, hal ini dapat disebabkan karena :
a. Adanya sikatrik pada tuba.
b. Kelainan bawaan pada tuba.
c. Gangguan fisiologis pada tuba karena pengaruh hormonal
(Saymonds et al, 2002).
7
Gambar 1 Lokasi Kehamilan Ektopik
B. Anemia
Anemia (dalam bahasa yunani = Tanpa darah) adalah keadaan saat jumlah
seldarah merah atau jumlah hemoglobin <protein pembawa oksigen=
dalam seldarah merah berada di bawah normal Sel darah merah
mengandung hemoglobin yang memungkinkan mereka mengangkut
oksigen dari paru-paru, dan mengantarkannya ke seluruh bagian tubuh.
karena sulitnya menentukan kadar hemoglobin normal akibat variasi usia,
jenis kelamin, tempat tinggal, dan lain-lain, maka anemia telah
didefinisikan oleh WHO berdasarkan kadar hemoglobin berikut ini
8
Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl
D. Anestesi Umum
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan suatu keadaan
dimana hilangnya kesadaran disertai dengan hilangnya perasaan sakit di
seluruh tubuh akibat pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat
reversible. Anestesi umum dapat diberikan secara intravena, inhalasi dan
intramuscular.
9
Indikasi anestesi umum
Pada bayi dan anak-anak
Pembedahan pada orang dewasa dimana anestesi umum lebih disukai oleh
ahli bedah walaupun dapat dilakukan dengan anestesi lokal
Operasi besar
Pasien dengan gangguan mental
Pembedahan yang lama
Pembedahan yang dengan lokal anestesi tidak begitu praktis dan memuaskan
Pasien dengan obat-obatan anestesi lokal pernah mengalami alergi.
10
d. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
ialah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA) :10
ASA 1 : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
ASA 2 : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang
ASA 3 : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas
ASA 4 : pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya setiap
saat
ASA 5 : pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
kehidupannya tidak akan lebih dari 24 jam.
ASA 6 : pasien dengan kematian batang otak dan organnya siap untuk
ditransplantasi.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E: EMERGENCY), misalnya ASA IE atau
IIE.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi. Tujuan
premedikasi :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anestesi
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurangi refleks yang tidak diharapkan
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi rasa sakit
Menghilangkan efek samping dari obat sebelum dan selama anestesi
Menurunkan basal metabolisme tubuh
11
Obat-obat premedikasi, dosisnya disesuaikan dengan berat badan dan
keadaan umum pasien. Biasanya premedikasi diberikan intramuskuler 1 jam
sebelumnya atau per oral 2 jam sebelum anestesi.
Beberapa ahli anestesi menghindari penggunaan opium untuk premedikasi
jika anestesinya mencakup pernapasan spontan dengan campuran eter/udara. Obat
yang banyak digunakan:
Analgetik opium : - Morfin 0,15 mg/kgbb, intramuskuler
- Petidin 1,0 mg/kgbb, intramuskuler
Sedatif : - Diazepam 0,15 mg/kgbb, oral/intramuskuler
- Pentobarbital 3 mg/kgbb per oral atau, Dewasa
1,5 mg/kgbb intramuskuler
- Prometazin 0,5 mg/kgbb per oral
Anak
- Kloral hidrat sirup 30 mg/kgbb
Vagolitik antisialagogue : - Atropin 0,02 mg/kgbb, intramuskuler atau
intravena pada saat induksi maksimal 0,5 mg
Antasida : - Ranitidine 150 mg per oral setiap 12 jam dan
2 jam sebelum operasi
- Omeprazole 40 mg, 3-4 jam sebelum operasi
- Metoclopramide 10 mg per oral sebelum operasi
Pemeriksaan Alat
Penting sekali bila kita memeriksa alat-alat sebelum melakukan anastesi,
karena keselamatan pasien tergantung pada hal ini. Kita harus mempunyai daftar
hal-hal yang harus diperiksadan gantungkan pada alat anastesi yang sering
digunakan.
Pertama yakinlah bahwa alat yang akan dipergunakan bekerja dengan
baik. Jika kita menggunakan gas kompresi, periksalah tekanan pada silinder yang
digunakan dan silinder cadangan. Periksalah apakah vaporizer sudah disambung
dengan tepat tanpa ada yang bocor, hilang atau terlepas, sistem pernapasan dan
aliran gas ke pasien berjalan dengan baik dan aman. Jika kita tidak yakin dengan
sistem pernapasan, cobalah pada diri kita (gas anastesi dimatikan). Periksalah
12
fungsi alat resusitasi (harus selalu ada untuk persiapan bila terjadi kesalahan aliran
gas), laringoskop, pipa dan alat penghisap. Kita juga harus yakin bahwa pasien
berbaring pada meja atau kereta dorong yang dapat diatur dengan cepat ke dalam
posisi kepala dibawah, bila terjadi hipotensi mendadak atau muntah. Persiapkan
obat yang akan digunakan dalam spuit yang diberi label, dan yakinkan bahwa obat
itu masih baik kondisinya. Sebelum melakukan induksi anastesi, yakinkan aliran
infus adekuat dengan memasukkan jarum indwelling atau kanula dalam vena
besar, untuk operasi besar infus dengan cairan yang tepat harus segera dimulai.
Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesi, selayaknya disiapkan peralatan dan obat-
obatan yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi
dengan lebih cepat dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya
kita ingat kata STATICS:10
S = Scope
Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope, pilih
bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T = Tubes
Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5 tahun
dengan balon (cuffed).
A = Airway
Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas
T = Tape
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I = Introducer
13
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C = Connector
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S = Suction
Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
b. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping
yang mendekati sama. Secara kimia petidin adalah etil-1metil-
fenilpiperidin-4-karboksilat. Efek samping meperidin dan derivat
fenilpiperidin yang ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering,
14
mual-muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia,
sinkop dan sedasi.
c. Atracurium
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan
dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi,
hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak
dapat bekerja (Pramono, A., 2008).
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya selama
20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250 C,
kecepatan efek kerjanya 1-2 menit. Penawar pelumpuh otot atau
antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-
esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang
paling sring digunakan ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB)
au obat antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa
(Pramono, A., 2008).
d. Fentanyl
Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu
analgesik, fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin.
Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid
yang lebih besar dari fentanil dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan
opioid lain) meningkatkan aksi anestetik lokal pada blok saraf tepi. Keadaan
itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal yamg lemah (dosis yang
tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor opioid pada
terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk
menimbulkan neureptanalgesia.
15
a. Farmakokinetik
Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir
sama dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika
pertama kali melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-
dealkilase dan hidrosilasidan, sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan
lewat urin.
b. Indikasi
Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg
BB analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan
untuk anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150
mg/kg BB digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia
dengan kombinasi bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Sediaan yang tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.
c. Efek samping
Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya
dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah
peningkatan kadar gula, katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan
kortisol.
e. Intubasi Endotrakeal
Tujuan
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan
oksigenasi bagi pasien operasi.4
Indikasi
Intubasi endotrakeal diindikasikan pada berbagai keadaan saat sakit ataupun
pada prosedur medis untuk mempertahankan jalan napas seseorang,
pernapasan, dan oksigenasi darah.Pada cakupan tersebut, tambahan oksigen
yang menggunakan face mask sederhana masih belum adekuat.
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut4.
16
1. Penurunan kesadaran
Kerusakan otak (misalnya stroke massif, cedera kepala non-penetrasi,
intoksikasi atau keracunan) dapat berakibat penurunan kesadaran.Saat
keadaan tersebut menjadi lebih buruk menjadi stupor atau koma
(didefinisikan sebagai Glasglow Coma Scale (GCS) kurang dari 8).
Kolaps dinamik pada otot ekstrinsik jalan napas dapat menyumbat jalan
napas, yang menunda aliran udara bebas ke dalam paru.Lebih jauh lagi, reflex
perlindungan jalan napas seperti batuk dan menelan dapat berkurang atau
hilang.Intubasi endotrakeal sering dipilih untuk mengembalikan kepatenan
jalan napas dan melindungi cabang trakeobronkial dari aspirasi pulmoner dari
isi lambung.
2. Hipoksemia
Intubasi dapat diperlukan pada pasien dengan penurunan kandungan oksigen
dan saturasi oksigen dalam darah yang disebabkan pernapasan yang tidak
adekuat (hipoventilasi), apnea atau saat paru tidak dapat cukup mentransfer
udara ke dalam darah.Pada beberapa pasien, yang dapat bangun dan terjaga,
memiliki tipe sakit yang kritis dengan penyakit multisistem.4
Sebagai contoh kondisi tersebut yaitu cedera servikal, fraktur kosta multipel,
pneumonia berat, acute respiratory distress syndrome (ARDS), atau
tenggelam. Secara spesifik, intubasi dapat dipertimbangkan apabila tekanan
arterial parsial oksigen (PaO2) kurang dari 60 mmHg, dimana konsentrasi O2
inspirasi (FiO2) sebesar 50% atau lebih besar. Pada pasien dengan
peningkatan karbon dioksida arterial, tekanan arterial parsial dari CO2
(PaCO2) lebih besar dari 45 mmHg pada keadaan asidemia memerlukan
intubasi, khususnya pada pengukuran yang memperburuk asidosis
respiratorik.6
3. Obstruksi jalan napas
Obstruksi jalan napas merupakan indikasi yang sering pada intubasi
endotrakea.Pertolongan pada obstruksi jalan napas diperlukan saat benda
asing menjadi terjepit di jalan napas, hal ini khususnya sering terjadi pada
bayi dan anak kecil.Trauma tumpul yang berat atau trauma penetrasi pada
17
wajah atau leher dapat menyebabkan bengkak dan hematoma, atau trauma
laring, trakea maupun bronkus. Obstruksi jalan napas juga sering terjadi pada
orang yang sering terpapar inhalasi asap rokok
Tanda-tanda obstruksi jalan napas adalah sebagai berikut.
a. Stridor (mendengkur, snoring)
b. Napas cuping hidung (flaring of the nostrils)
c. Retraksi trakea
d. Retraksi torak
e. Tak terasa ada udara ekspirasi
4. Manipulasi jalan napas
Manipulasi jalan napas untuk keperluan diagnostik atau terapeutik (seperti
bronkoskopi, terapi laser) kadang-kadang dapat menyebabkan ketidak
mampuan bernapas, sehingga intubasi diperlukan pada kondisi tersebut.
Pipa endotrakeal yang telah diinsersi ke dalam trakea dapat dilihat pada
gambar berikut.
18
Kontraindikasi
Beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain7 :
1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan
adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.
2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Peralatan
Sebelum mengerjakan intubasi endotrakea, peralatan yang harus disiapkan
adalah STATICS, yaitu S (Scope, laringoskop, steteskop), T(Tube, pipa
endotrakeal),A (Airway tube,pipa orofaring / nasofaring), T (Tape, plester), I
(Introducer, stilet, mandren), C (Connector, sambungan-sambungan), S
(Suction, penghisap lendir).7,8
1. Laringoskop
Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk paru.Laringoskop adalah
alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung agar dapat
memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2
macam laringoskop:
a. Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa
b. Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa
19
Gambar 4. Laringoskop dengan berbagai Macintosh blade (dewasa besar,
dewasa kecil, anak, bayi dan neonatus)
2. Stilet
Stilet untuk intubasi didesain untuk dimasukkan ke dalam endotracheal tube
untuk membuat pipa lebih baik pada anatomi jalan napas atas pada individu
yang spesifik.Hal ini sering menolong pada orang dengan kesulitan
laringoskopi.Seperti halnya blade laringoskop, terdapat beberapa tipe stilet
yang tersedia, misalnya stilet Verathon, yang secara spesifik didesain untuk
mengikuti sudut blade sebesar 60 derajat pada laringoskop.
20
Penggunaan cuff pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
trakea dan selain itu jika ingin menggunakan pipa trakea dengan cuff pada
bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea yang diameternya lebih kecil dan
ini membuat risiko tahanan napas lebih besar. Pipa trakea dapat dimasukkan
melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
21
2. Setelah ekstubasi
- Spasme laring
- Aspirasi
- Gangguan fonasi
- Edema glottis-subglotis
- Infeksi laring, faring, trakea
1. Persiapan
Kesiapan untuk operasi bedah darurat juga meliputi persiapan kamar
bedah dan alat-alat anestesi yang siap pakai misalnya mesin anestesi dan
alat untuk ventilasi, oksigensi, intubasi, dan pelengkap lainnnya, monitor,
22
set untuk infus dan transfusi serta cairan, obat-obatan baik obat resusitasi
maupun anestesi, defibrilator
Tindakan dokter untuk mengurangi rasa takut dan gelisah pasien adalah
sangat penting tetapi seringkali dilupakan pada situasi darurat, padahal hal
tersebut sering kali ditemukan pada bedah darurat. Penjelasan tentang
tindakan yang akan dilakukan sedikit banyak mampu membuat pasien
menjadi lebih tenang. Pengobatan terhadap kelainan medis yang menyertai
seringkali perlu dilakukan, karena terkadang pasien juga menderita penyakit
lain yang belum terkontrol dengan baik seperti asma, hipertensi, penyakit
jantung, maupun diabetes.
2. Penilaian Pasien
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan
kadang-kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus
mengikuti prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine control,
oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk
pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan
cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus menerus
sampai menjelang operasi.
23
atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu :
B — 1 : Breath = pernafasan
B — 2 : Bleed = hemodinamik
B — 3 : Brain = otak dan kesadaran
Peranan dokter anestesi dalam fase ini jelas tidak dapat dielakkan lagi,
karena ketrampilannya dalam bidang support nafas dan sirkulasi menjadi
tumpuan keselamatan penderita.
a. Nyeri leher
b. Nyeri gerak leher yang sangat berat
c. Tanda dan gejala neurologis
d. intoksikasi
e. Hilangnya kesadaran
jika terdapat salah satu tanda di atas, cedera cervikal perlu kita pikirkan,
sehingga penatalaksanaan kita juga harus sesuai dengan cedera cervikal.
Bila dalam penilaian awal ternyata pasien stabil, lalu kita dapat masuk pada
penilaian berikutnya terhadap pasien tersebut melalui penilaian lanjutan
(secondary survey) meliputi :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang (sesuai indikasi) :
24
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan EKG
Tes Faal Paru
3. Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah emergensi disebabkan
karena tidak adanya waktu atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan
tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien tidak sakit kritis, operasi
tidak betul-betul emergensi, dan pasien memerlukan dukungan psikologis.
Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekeja di kamar bedah
emergensi. Dokter anestesi dapat memberikan keterangan kepada pasien
dengan hati-hati, perlahan dan tenang kenapa dan bagaimana proses anestesi
akan dilakukan.
25
gaster, meningkatkan 60-90 menit bila diberikan
pH gaster. peroral atau IM
Tidak menurunkan Cimetidin dapat menyebabkan
tonus sphincter aritmia jantung bila diberikan
gastroesofageal intravena
Dapat menimbulkan
bronkhopasme pada pasien
asthma
Metoclopramid Menurunkan volume Tidak meningkatkan pH gaster
gaster Dapat menimbulkan sedasi dan
Meningkatkan tonus gejala ekstrapiramidal
sphincter
gastroosophageal
26
5. Peningkatan TIK (pada neuraksial)
6. Aorta dan mitral stenosis berat (pada neuraksial)
Intubasi
27
namun dapat mengakibatkan hipotensi paradoksikal pada pasien hipertensi
kronik dengan deplesi katekolamin. Etomidate memiliki stabilitas
kardiovaskuler yang lebih besar dari semua agen induksi sekunder dan
efeknya yang kecil pada sistem saraf simpatis serta refleks otonom. Induksi
menghasilkan penurunan yang minimal pada kecepatan denyut jantung,
tekanan darah dan resistensi vaskuler sistemik. Suksinilkolin (1-1,5 mg/kg)
adalah relaksan otot pilihan untuk menghasilkan paralisis otot dengan onset
cepat yang dibutuhkan untuk laringoskopidanintubasi. Onsetnya kurang dari
60 detik dan durasi aksinya hanya 5-10 menit pada sebagian besar kasus.
Suksinilkolin berhubungan dengan komplikasi seperti hiperkalemia, aritmia,
peningkatan tekanan intrakranial dan tekanan intraokuler, serta hipertensi
maligna. Saat ini diyakini bahwa suksinilkolin aman untuk pasien dengan
cidera yang terlihat jelas namun harus dihindari pda cidera medulla spinalis
atau luka bakar yang telah terjadi 24 jam atau lebih. Rocouronium (1-1,5
mg/kg) merupakan alternatif relaksan otot nondepolarisasi yang lebih baik
dibandingkan dengan suksinilkolin dalam hal keamanannya. Rocuronium
mampu menghasilkan kondisi intubasi dalam 60-90 detik, namun memiliki
durasi aksi yang hampir sama dengan vecuronium (digunakan secara hati-
hati pada pasien dengan difficult airway) (Miller, 2000)
28
B IV
ANALISA KASUS
29
pelumpuh otot. Cara ini menghindari pemakaian obat anestesi yang banyak dan
memastikan oksigenisasi yang baik dan tidak ada kontra indikasi absolut untuk
tehnik anestesi umum. Bila pasien kooperatif, anestesi regional dapat
dipertimbangkan, khusus pada operasi ekstremitas maupun abdomen bawah. Cara
ini dapat mencegah bahasa aspirasi seperti yang dapat terjadi pada pasien yang
tidak sadar. Tetapi pada kasus ini pasien dengan keadaan umum lemah dan tidak
koperatif untuk di lakukan anestesi regional sehingga di lakukan prosedur
menejemen General anestei (umum ) dengan pipa Endotrakhal.
Dilakukan pemasangan NIBP dan O2 dengan hasil TD 120/80mmHg; Nadi
84x/menit, dan SpO2 100%. Selanjutnya diberikan obat induksi yaitu propofol 120
mg. Karena dilakukan prosedur operasi laparatomy maka dokter anestesi memilih
untuk melakukan intubasi endotrakeal agar tidak mengganggu operator sepanjang
operasi dilakukan dan supaya pasien yang tetap dianestesi dapat bernafas dengan
adekuat.
Sebelum pemasangan ETT, dilakukan anamnesis singkat dan penilaian
adanya kesulitan intubasi kepada pasien. Dan dari hasil pemeriksaan fisis
didapatkan tidak ada kelainan pada gigi geligi serta faring, uvula dan palatum
molle terlihat jelas. Mallampati skor 1.
Pasien dalam posisi terlentang, kepala diusahakan dalam keadaan ekstensi
serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus, kemudian dilakukan
anastesi dan pelumpuh otot berupa Noveron 5 ml dalam spoit 5cc dengan dosis
30mg, dan berikan oksigen 100% dengan melakukan bagging selama 2 menit
untuk menekan pengembangan paru dan juga menunggu kerja dari pelemas otot
sebelum memasukkan laringoskop ke dalam mulut pasien untuk di pasangkan
pipa endotrakheal, Setelah ETT terpasang, pangkal ETT pasien dihubungkan
dengan konekta kemudian dihubungkan ke mesin anastesi yang menghantarkan
gas (sevoflurane) dengan ukuran 1,5 vol% dengan oksigen dari mesin ke jalan
napas pasien. Penggunaan sevofluran disini dipilih karena sevofluran mempunyai
efek induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibanding dengan gas lain, dan
baunya pun lebih harum dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari
30
untuk induksi anestesi dibanding gas lain (halotan). Efek terhadap kardiovaskular
pun relatif stabil dan jarang menyebabkan aritmia.
Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka
dialirkan sevofluran 1,5 vol%, oksigen. Ventilasi dilakukan dengan bagging
dengan laju napas 18 x/ menit. Sesaat setelah operasi selesai gas anestesi
diturunkan untuk menghilangkan efek anestesi perlahan-lahan dan untuk
membangunkan pasien. Juga diharapkan agar pasien dapat melakukan nafas
spontan menjelang operasi hampir selesai.
Setelah operasi selesai di berikan penawar pelumpuh otot yakni reversal
dengan isi Neostigmin 0,5mg/ml dan Atropin 0,25 mg/ml yaitu 3:2, Neostigmin
bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi,
pandangan kabur, hipermotilitas usus sehingga pemberiannya harus disertai
dengan antikolinergik seperti atropin (0,01-0,02 mg/kg) untuk menghilangkan
efek anestesi perlahan-lahan dan untuk membangunkan pasien, mesin anestesi
diubah ke manual supaya pasien dapat melakukan nafas spontan. Gas sevofluran
dihentikan karena pasien sudah nafas spontan dan adekuat. Kemudian dilakukan
ekstubasi endotracheal secara cepat untuk menghindari penurunan saturasi lebih
lanjut.
31
BAB V
KESIMPULAN
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Siahaan O. Dr. Prof. 2015. Anastesi Umum dan Anastesi Lokal. Medan :
Fakultas Kedokteran UMI / UNPRI ; Hal : 1-38.
2. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/Bb2-Respirasi.pdf diakses pada
tanggal 10 april 2019
3. Sofyan Ferryan, Embriologi, anatomi dan Fisiologi
laringhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28894/1/embriologi
%20dan%20anatomi%20laring.pdf diakses pada tanggal 10 April 2019
4. repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40128/4/Chapter%20II.pdf
diakses pada tanggal 11 April 2019
5. www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FKS1KEDOKTERAN/.../bab%20II.pdf
diakses pada tanggal 11 April 2019
6. Buttler KH et al. 2003. Management of the difficult airway: alternative
airway techniques and adjuncts. Emergency Medicine Clinic of North
America 21 (2003) 259–289
33