Anda di halaman 1dari 15

PRINSIP-PRINSIP HUKUM

PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen Pengampu:
Galuh Widitya Qomaro, S.HI., M.HI

.
Oleh Kelompok 4
Moh. Amin (1707111000)
Rheinandy Nurlita Maghfiro (170711100020)
Arisona Mustoifa (170711100046)

Kelas 5B
PROGRAM STUDI HUKUM BISNIS SYARIAH
FAKULTAS KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2019
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah kami panjatkan puja dan puji syukur terhadap kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Prinsip-prinsip Hukum
Perlindungan Konsumen Di Indonesia”.
Kedua kalinya shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kita dari alam kegelapan
menuju jalan yang terang benderang yakni islam.
Ketiga kalinya kami mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada
mahasiswa/i dan dosen pengampu kami karena sesungguhnya makalah ini telah
kami buat dan tentunya tak luput dari kekurangan dan kesalahan.
Terakhir kalinya kami mengucapakan terima kasih banyak kepada semua
pihak yang telah mendukung dan membantu kami dalam meyelesaikan makalah
ini sehingga makalah ini dapat terkumpulkan pada waktunya. Semoga Allah SWT
senantiasa melindungi kita semua.

Bangkalan, 01 September 2019

Penulis,
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 4
A. Latar Belakang ............................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
C. Tujuan .......................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 5
A. Prinsip Tanggung Jawab ............................................................................. 5
B. Prinsip Halal-haram .....................................................................................
C. Penyalahgunaan Keadaan ............................................................................
D. Norma-norma Perlindungan Konsumen .....................................................
E. Perlindungan Konsumen Dalam Islam ........................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................
A. Kesimpulan .................................................................................................
B. Kritik dan Saran ...........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kondisi konsumen yang banyak dirugikan , memerlukan peningkatan upaya untuk
melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Namun sebaliknya, perlu
diperhatikan bahwa dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, tidak boleh
justru mematikan usaha produsen, karena keberadaan produsen merupakan suatu yang
esensial dalam perekonomian negara. Oleh karena itu, ketentun yang memberikan
perlindungan kepada konsumen juga harus diimbangi dengan ketentuan yang
memberikan perlindungan kepada produsen, sehingga perlindungan konsumen tidak
juatru membalik kedudukan konsumen dari kedudukan yang lemah menjadi lebih kuat,
dan sebaliknya produsen yang menjadi lemah. Di samping itu, untuk melindungi diri dari
kerugian akibat adanya tuntutan dari konsumen, produsen juga dapat mengasuransikan
tanggung gugatnya terhadap konsumen.
Upaya terpentingdalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah melalui
peraturan perundang-undangan, sehingga perlu melengkapi ketentuan perundang-
undangan bidang perlindungan konsumen yang sudah ada. Hal ini perlu dilakukan dengan
pertimbangan yang matang dan tidak cukup hanya mencontoh undang-undang negara lain
yang dianggap berhasil dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, karena
keberhasilan undang-undang di negara lain belum tentu mencapai keberhasilan yang sama
di Indonesia. Walaupun pembaharuan hukum dibutuhkan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen secara memadai, namaun usaha-usaha tersebut pada
umumnya mengalami hambatan-hambatan. Hal ini karena tidak semua pihak dalam hidup
bermasyarakat berkepentingan dengan pembaruan hukum, meskipun nilai-nilai yang melandasi
hubungannyatelah berubah. Mereka yang baik karena alasan politis, ekonomis, maupun
kultural diuntungkan oleh ketiadaan atau tidak memadainnya aturan hukum cenderung
menolak pembaruan hukum dengan berbagai alasan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan prinsip tanggung jawab dalam hukum perlindungan
konsumen?
2. Apa yang dimaksud dengan prinsip halal-haram dalam hukum perlindungan
konsumen?
3. Apa yang dimaksud dengan penyalahgunaan keadaan dalam hukum perlindungan
konsumen?
4. Apa saja norma-norma dari perlindungan kosumen?
5. Bagaimana perlindungan konsumen dalam Islam?
C. TUJUAN
1. Untuk memahami maksud dari prinsip tanggung jawab.
2. Untuk memahami maksud dari prinsip halal-haram.
3. Untuk memahami maksud dari penyalahgunaan keadaan.
4. Untuk memahami segala norma-norma dalam perlindungan konsumen.
5. Untuk memahami perlindungan. Konsumen dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Tanggung Jawab
Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan
tanggung jawab produsen/tanggung jawab produsen/ tanggung jawab produk, karena pada
dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Dengan demikian, dibawah ini akan dikemukakan pula pengertian tanggung
jawab produk.
Tanggung jawab produk adalah suatu usaha terjemahan dari istilah asing, yaitu:
product(s) liability; produkt(en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat
diterjemahkan sebagai “tanggung jawab produsen”, yakni istilah Jerman yang sering
digunakan dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung. Untuk pengertian tanggung
jawab produk, dibawah ini akan dikemukakan pengertian tanggung jawab produk yang
dikemukakakn oleh Agnes M. Toar, yaitu sebagai berikut:
“Tanggung jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang
telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian
karena cacat yang melekat pada produk tersebut.”
Selanjutnya, definisi tersebut dapat dijabarkan atas bagian-bagian sebagai berikut:
1. Tanggung jawab mmeliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan suatu
perjanjian, maupun tanggung jawab perundang-undangan /berdasarkan perbuatan
melanggar hukum;
2. Para produsen; termasuk ini adalah, produsen/pembuat, grossir (whole-saler),
leveransir dan pengecer (detailer) profesional;
3. Produk; semua benda bergerak dan tidak bergerak/tetap;
4. Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran; yang telah ada dalam peredaran
karena tindakan produsen;
5. Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang ditimbulkannya/disebabkan oleh
produk dan kerusakan atau musnahnya produk; dan
6. Cacat yang melekat pada produk; kekurangan pada produk yang menjadi penyebab
timbulnya kerugian.
Kata “tanggung jawab” yang dipergunakan pada pengertian tanggung jawab produk di
atas, karena dalam bahasa Indonesia, kata “tanggung jawab” tersebut sudah dipakai
secara umum oleh masyarakat untuk terjemahan responsibility dan liability, yaitu
menerjemahkan responsibility dengan tanggung jawab, sedang liability dengan tanggung
gugat.1
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-undang tentang
Perlindungan Konsumen diatur khusus dalam satu bab yaitu bab VI, mulai Pasal 19
sampai dengan Pasal 28. Dari sepuluh pasal tersebut, dapat dipilah sebagai berikut:
a. Tujuh pelaku usaha, yaitu Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26,
dan Pasal 27 yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha;
b. Dua pasal, yaitu Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian;
c. Satu pasal, yaitu Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku
usaha tidak memenuhi kewajibanya untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen.
Ketentuan mengenai pembuktian selain dapat ditemukan dalam hukum acara yang
berlaku (HIR dan RBg) juga dapat ditemukan dalam buku yang diatur dalam Pasal 163
HIR dan Pasal 1865 KUHPerdata dapat dikatakan bahwa setiap pihak mendalilkan
adanya suatu hak, (yang dalam hal ini konsumen sebagai pihak yang dirugikan), maka
pihak konsumen harus dapat membuktikan bahwa:
1. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian;
2. Konsumen juga harus membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat
dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang
tidak layak;
3. Bahwa ketidaklyakan dalam penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian dari
barang/jasa tersebut merupakan tanggung jawaab dari pelaku usaha tertentu;
4. Konsumen tidak “berkontribusi”, baik secara langsung maupun tidak langsung atas
keruggian yang dideritanya tersebut.
Dalam dua paal yang mengatur beban pembuktian pidana dan perdata atas kesalahan
pelaku usaha, kewajiban pembuktian tersebut “dibalikkan” menjadi beban dan tanggung
jawab dari pelaku usaha sepenuhnya. Dalam hal yang demikian, selama pelaku usaha
tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahan yang
terletak pada pihaknya, maka demi hukum pelaku kesalahan yang terletak pada pihaknya,
maka demi hukum pelaku usaha bertanggung jawab dan wajib mengganti kerugian yang
dideritan tersebut. Pasal 23 merupakan slah satu pasal yang tampaknya diselipkan secara
spesifik, khusus mengatur hak konsumen untuk menggugat pelaku usaha yang menolak,
dan/atau tidak memberikan tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
1
Ahmadi Miru, Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, (Depok:
Rajagrafindo Persada, 2011), 31-32
konseumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, baik melalui badan penyelesaian
sengketa konsumen maupun dengan mengajukannya ke badan peradilan di tempat
kedudukan konsumen.
Dengan demikian, jelaslah bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi
yangdiatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, merupakan suatu lex
spesialis terhadap ketentuan umum yang ada KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut, beban
pembuktian “kesalahan” yang berdasarkan Pasal 1865 KUH Perdaata dibebankan kepada
pihak yang dirugikan (dalam hal ini konsumen), tetapi demi hukum dialihkan kepada
pihak pelaku usaha. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen memberikan
kemudahan bagi konsumen yang dirugikan, untuk meminta pertanggungjawaban dan
sekaligus ganti rugi atas kerugian yang telah dideritanya.2
B. Prinsip Halal-haram
Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk yang halal, perlu dikemukakan
ketentuan yang terdapat dalam salah satu Surat Keputusan Mentri Pertanian yang
menentukan bahwa pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus
berasal dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat Islam dan dinyatakan
dalam sertifikat halal. Pengecualian terhadap ketentuan tersebut hanya berlaku bagi
daging impor yang berupa daging babi, untuk keperluan khusus dan terbatas, serta daging
untuk pakan hewan yang dinyatakan secara tertulis oleh pemilik dan atau pemakai.
Keputusan Menteri Pertanian tersebut tampaknya lebih ketat dibanding dengan Undang-
undang Pangan, yang dalam Pasal 30 menentukan bahwa:
1) Setiap orang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan
yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan
atau dikemaan pangan.
2) Label, sebagaimana yang di maksud pada ayat (1), memuat keterangan sekurang-
kurangnya mengenai:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia;
2
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis: Telaah Tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 265-267
e. Keterangan tentang halal; dan
f. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
3) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah dapat menetapkan
keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada label pangan.
Khusus mengenai Pasal 30 ayat (2) e dalam penjelasan Undang-undang
Pangan disebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting
bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam. Namun
pencantumannya pada label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang
yang memproduksi pangan dan atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal
bagi ummat Islam. Hal yang sama juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69
Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Keterangan halal tersebut dimaksudkan
agar masyarakat (umat Islam) terhindar dari mengkonsumsi pangan yang tidak halal
(haram).
Perlindungan kesehatan manusia dengan cara dengan cara yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tentu dengan mudah tindakan perlindungan
kesehatan (rohani) yang walaupun secara ilmiah sulit (bahkan mungkin tidak dapat)
dibuktikan, namun sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan (rohani) atau
ketentraman batin konsumen. Persyaratan dalam Keputusan Menteri tersebut dapat
menjadi masalah dalam kaitannya dengan perjanjian internasional, karena dalam
WTO sendiri yang diatur hanyalah pencegahan kesehatan manusia yang didasarkan
pada bukti ilmiah, sehingga apabila timbul sengketa maka kita dapat dirugikan karena
dimuka pengadilan internasional suatu negara responden tidak dapat mengemukakan
alasan bahwa hukum nasionalnya (bukan konstitusi) memuat kaidah-kaidah yang
bertentangan dengan hukum internasional dan juga tidak dapat menyatakan ketiadaan
suatu ketentuan legislatif atau suatu kaidah hukum interen sebagai pembelaan diri
terhadap dakwaan bahwa pihaknya telah melanggar hukum internasional.
Hal itu bukan berarti bahwa impor daging dari luar negeri harus mengabaikan
kepentingan umat Islam, tapi masih perlu diperjuangkan untuk memasukkan kriteria
kepentingan agama tertentu sebagai salah satu persyaratan impor dalam WTO, karena
dengan adanya persyaratan yang demikian, misalnya daging hewan yang akan
diimpor ke negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam harus di potong
berdasarkan syariat Islam, maka konsumen yang beragama Islam akan mendapat
perlindungan dari mengonsumsi makanan haram. Persyaratan yang demikian juga
dengan sendirinya akan menunjang prinsip national treatment terhadap semua
produk, karena pemerintah negara pengimpor dapat menyampaikan/mewajibkan
importir untuk menyampaikan informasi lengkap tentang daging yang dipasarkan,
sehingga daging yang tidak memenuhi persyaratan syarian Islam tidak akan diminati
oleh konsumen yang beragama Islam. Hal ini menimbulkan kesan adanya
pelanggaran prinsip national treatment terhadap daging impor, sehingga importirnya
sendiri yang akan mengalami kerugian. Penyampaian informasi tenrtang daging yang
dimaksud tersebut merupakan salah satu hak konsumen yang harus dipenuhi,
sehingga penyampaian informasi itu adalah tindakan yang dibenarkan.
Salah satu contoh pemberian informasi untuk kepentingan konsumen yang
beragama Islam adalah adanya ketentuan bahwa:
1) Pada wadah aatau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun
yang berasal dari impor yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus
dicantumkan tanda peringatan;
2) Tanda peringatan tersebut yang dimaksud ayat (1) harus berupa gambar babi dan
tulisan yang berbunyi: “MENGANDUNG BABI” dan haruss ditulis dengan huruf
bear berwarna merah dengan ukuran sekurang-kurangnya univers medium corp
12, di dalam suatu garis kotak persegi yang berwarna merah.3

C. Penyalahgunaan Keadaan
Penyalahgunaaan keadaan merupakan salah satu indikasi tidak adanya itikad
baik,penyalahgunaan keadaan merupakan perbuatan yang dilatar belakangi oleh keadaan
tidak seimbang antara para pihak.Dalam kondisi yang demikian pihak yangbkuat
memanfaatkan kedudukan pihak yangblemah,dimana pihak yang lemah tidak memiliki
kesempatan untuk mendiskusikan segala sesuatu yang menjadi hak dan kewajibannya.
Penyalahgunaan keadaan menurut Van dune dapat disebabkan oleh adanya keunggulan
ekonomis atau jiwa,menurut Robert W Clark penyalahgunaan keadaan tersebut dari pihak
yang kuat terhadap pihak yang lemah dilakukan dengan paksaan maupun penipuan.

Penyalahgunaan keadaan merupakan kondisi dimana seseorang telah memanfaatkan


posisi ekonominya yang lebih kuat untuk mengambil keuntungan dari pihak lain yang lain
yang memiliki posisi ekonomi yang lebih lemah.Sikap peristiwa yang timbul karena salah
satu pihak menyalahgunakan keadaan yang timbul kerugian bagi pihak lainnya maka pihak
peradilan melihat pada cause yang tidak halal,yaitu keadaan yang bertentangan dengan

3
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2004), 79-
83
ketertiban umum dan kebiasaan yang baik.Istilah penyalah gunaan keadaan dalam HIN
(UNDUE INFLUENCE ) dan COMMONLAW dikenal UNCONSCIOUN ALBILITY.4

Pada penyalahgunaan keadaan yang menjadi masalah adalah tentang keunggulan pihak
yang satu terhadap pihak yang lainnya dimana apabila dilakukan penyalahgunaan keunggulan
terjadilah penyalahgunaan keadaan dalam hal ini pihak yangblemah tidak dapat menghindari
paksaan dari pihak yang lebih kuat dengan menyalah gunakan isi kontrak dengan paksaan
dengan memberinya keuntungan yang tidak seimbangan.

Dari pertimbangan pertimbangn yang dikemukakan oleh mahkamah Agung


diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak yang tidak adil bila diterapkan kepada pihak
yang dirugikan,dimana pihak yang dirugikan berada pada keadaan yang tertekan sehingga
tidak bebas dalam menentukan kehendaknya.5

D. Norma-norma Perlindungan Konsumen


Norma – norma perlindungan konsumen terdapat dalam Undang – Undang dan
hukum perlindungan konsumen dalam hukum perdata. Secara normative perlindungan
konsumen diatur dalam Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen(UUPK) dimana UUPK ini pula menjadi dasar hukum perlindungan konsumen
di Indonesia. namun meskipun adanya UUPk tetapi tidak menghapus ketentuan peraturan
perundang – undangan sebelumnya sesuai dengan ketentuan peralihan pasal 64 UUPK
yang menyatakan bahwa segala ketentuan perundang – undangan yang bertujuan untuk
melindungi konsumen yang telah ada saat Undang – Undang diundangkan dinyatakan
tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan UUPK dan tidak diatur secara khusus. 6
UUPK berjalan efektif sejak 20 April 2010,UUPK mendapat kedudukan sebagai
ketentuan umum dan(lex generalis) yang berarti ketentuan – ketentuan umum dalam
UUPK dapat diterapkan terhadap ketentuan Undang – Undang khusus yang mengatur
perlindungan konsumen dan juga bisa berkedudukan sebagai ketentuan khusus (lex
specialis) berarti ketentuan – ketentuan dalam UUPK dapat diberlakukan menyimpangi
ketentuan undang – undang yang mengatur dan melindungi konsumen. Secara garis
besarnya UUPK mengatur hal – hal :

4
Luh Nila Winarni,2015,Asas Itikad Tidak Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian
Pembiayaan,vol 11 No 21,hlm 6-7

5
Muhammad Arifin,2017,Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Faktor Pembatas Kebebasan
Berkontrak,vol 3 No. 2,hlm 66-72
6
Ali Mansyur,2015,Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Sebagai Upaya Peningkatan Mutu Produksi
Nasional,vol II No. 1,hlm 5-6
a. Ketentuan umum ; pengertian tentang istilah – istilah yang dipakai dalam
UUPK,antara lain pengertian mengenai perlindungan konsumen,pelaku usaha,barang
dan jasa,promosi,dll
b. Asas dan tujuan ; peraturan asas – asas perlindungan konsumen dan tujuan
perlindungan konsumen
c. Hak dan kewajiban ; hak dan peraturan kewajiban yang dimiliki konsumen maupun
pelaku usaha
d. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ; sejumlah perbuatan yang dilarang untuk
dilakukan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan kegiatan produksi,promosi atau
iklan,memasarkan dan juga penjualan dengan obral
e. Ketentuan pencantuman klausa baku ; ketentuan – ketentuan peraturan mengenai
larangan pencantuman klausa baku
f. Tanggung jawab pelaku usaha ; aturan – aturan tentang tanggung jawab pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan usahanya,baik tanggung jawab secara privat maupun
publik
g. Pembinaan dan pengawasan ; ketentuan – ketentuan peraturan tentang pelaksanaan
pembinaan dan pengawasan dalam perlindungan konsumen
h. Badan perlindungan konsumen nasional (BPKN) ; ketentuan tentang fungsi peraturan
tugas,organisasi dan keanggotaan BPKN
i. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) ; tugas dan fungsi
LPKSM
j. Penyelesaian sengketa ; ketentuan – ketentuan tentang penyelesaian sengketa
konsumen baik di pengadilan maupun diluar pengadilan
k. Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) ; fungsi,tugas dan kewenangan
BPSK
l. Penyidikan ; ketentuan penyidikan perkara konsumen yang diduga memenuhi unsur –
unsur pidana
m. Sanksi ; ketentuan – ketentuan tentang jenis sanksi,meliputi sanksi administratif
maupun sanksi pidana
n. Ketentuan peralihan ; memuat tentang ketentuan peralihan berkaitan dengan
pemberlakuan UUPK.
Sebelum adanya UUPK ini sudah ada beberapa Undang – Undang yang juga
melindungi konsumen seperti dalam KUHPerdata,UU No. 10 tahun 1961 tentang
penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang – Undang No. 1 tahun 1961 tentang
barang,UU No. 5 tahun 1984 tentang perindustian.Setelah pemberlakuan UUPK terdapat
beberapa perlindungan peraturan perundangan – undangan yang bertujuan untuk
melindungi konsumen diantara lainnya ;
a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan
b. UU No. 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan
c. UU No. 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal

E. Perlindungan Konsumen Dalam Islam


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

B. KRITIK DAN SARAN


Makalah ini adalah makalah tentang Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Di Indonesia yang kami buat secara detail dan di buat secara bersama. Jika makalah ini
tidak sempurna dan tidak seperti yang di inginkan kami mohon maaf untuk yang sebesar-
besarnya karena kami sebagai manusia yang tidak luput dari kesalahan karena tidak ada
yang kesempurna kecuali Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA

Rohidin.2016. Pengantar Hukum Islam.Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books..

Anda mungkin juga menyukai