Tingkat 1 A
Filsafat Ketuhanan
Filsafat ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa
yang disebut sebagai pendekatan filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam,
Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi, filsafat ketuhanan
adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini
bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-
kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.
Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak atau
motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata
ilaah (Tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa
nafsu) dapat menjadi ilah (Tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula
berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:
‘’ Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai
tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.’’
Manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
di muka bumi. Manusia juga dipandang sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya dibandingkan makhluk
Allah SWT, bahkan Allah menyuruh para malaikat untuk bersujud kepada Adam Alaihi salam. Masyarakat Barat
memiliki pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki jiwa dan raga serta dibekali dengan akal dan
pikiran. Lalu bagaimanakah hakikat manusia dalam pandangan Islam?
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam menjalankan agama yang lurus …,” (QS:98:5).
b. Sebagai Al-Nas
Dalam Al-Qur’an manusia juga disebut dengan Al-Nas. Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an cenderung mengacu
pada hakikat manusia dalam hubungannya dengan manusia lain atau dalam masyarakat. Manusia sebagaimana
disebutkan dalam ilmu pengetahuan, adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia
lainnya (baca keutamaan menyambung tali silaturahmi). Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah SWT
berikut :
“Hai sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari
padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling
meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.” (QS: An Nisa:1).
“Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: Al Hujurat :13).
Telah disebutkan dalam tujuan penciptaan manusia bahwa pada hakikatnya, manusia diciptakan oleh
Allah SWT sebagai khlaifah atau pemimpin di muka bumi.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di
antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah…” (QS Shad:26).
Sebagai seorang khalifah maka masing-masing manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di
hari akhir.
Manusia disebut sebagai bani Adam atau keturunan Adam agar tidak terjadi kesalahpahaman bahwa
manusia merupakan hasil evolusi kera sebagaimana yang disebutkan oleh Charles Darwin. Islam memandang
manusia sebagai bani Adam untuk menghormati nilai-nilai pengetahuan dan hubungannya dalam masyarakat.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian
indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-
tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan
sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga...” (QS:Al-Araf 26-27).
e. Sebagai Al-Insan
Tidak hanya disebut sebagai Al-Nas, dalam Al-Qur’an manusia juga disebut sebagai Al-Insan merujuk
pada kemampuannya dalam menguasai ilmu dan pengetahuan serta kemampuannya untuk berbicara dan
melakukan hal lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Hud berikut ini :
“Dan jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat, kemudian rahmat itu kami cabut dari padanya, pastilah ia
menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih.” (QS:Al-Hud:9).
Manusia juga disebut sebagai makhluk biologis atau Al-Basyar karena manusia memiliki raga atau fisik
yang dapat melakukan aktifitas fisik, tumbuh, memerlukan makanan, berkembang biak dan lain sebagainya
sebagaimana ciri-ciri makhluk hidup pada umumnya. Sama seperti makhluk lainnya di bumi seperti hewan dan
tumbuhan, hakikat manusia sebagai makhluk biologis dapat berakhir dan mengalami kematian, bedanya manusia
memiliki akal dan pikiran serta perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.Segala hakikat
manusia adalah fitrah yang diberikan Allah SWT agar manusia dapat menjalankan peran dan fungsinya dalam
kehidupan. Manusia sendiri harus dapat memenuhi tugas dan perannya sehingga tidak menghilangkan hakikat
utama penciptaannya.