Anda di halaman 1dari 12

1.

Pendahuluan
Minat wirausaha masyarakat Indonesia dari hari ke hari semakin meningkat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2016 jumlah penduduk Indonesia
sebesar 252 juta, dimana jumlah wirausaha non pertanian yang menetap mencapai 7,8 juta
orang atau 3,1 persen yang pada tahun 2013/2014 rasio wirausaha Indonesia sebesar 1,67
persen (Humas Kementerian Koperasi dan UKM).
Akuntansi menjadi kebutuhan vital dalam sebuah organisasi khususnya entitas bisnis,
terlebih di era global organisasi dituntut untuk menciptakan akuntabilitas dan transparansi
dalam berbagai hal seperti keadaan finansial suatu perusahaan. Fungsi akuntansi bagi entitas
bisnis adalah memberikan informasi bagi pihak yang berkepentingan tentang keadaan
finansial perusahaan.
Pada dasarnya setiap bisnis, baik kecil maupun besar membutuhkan sistem akuntansi
atau lebih sederhananya pencatatan atau pembukuan agar suatu bisnis dapat dikelola dengan
baik. Namun hal itu belum tentu terjadi pada usaha-usaha perseorangan yang skala usahanya
mikro, kecil dan menengah, seperti usaha yang lagi trend sejak beberapa tahun terakhir yakni
usaha burung lovebird yang notabene usaha rumahan.
Usaha burung lovebird menjadi usaha yang trend di tengah masyarakat kita sekarang
ini karena tingginya peminat terhadap burung tersebut. Burung lovebird terkenal dengan
keindahan bulu, kicau, dan tingkah lakunya yang unik membuat banyak orang terpikat oleh
burung tersebut. Harga dari burung lovebird inipun beragam tergantung jenis dan kualitas
burung tersebut, mulai yang standart hingga yang berkualitas tinggi. Sebagai contoh harga
satu anakan lovebird jenis Pasjo dan Violet masing-masing dipatok dengan harga Rp. 155.000
dan Rp. 630.000. Berbeda dengan anakan Biola dan Parblu yang harganya jutaan rupiah,
kedua jenis burung ini masing-masing dijual dengan harga Rp. 6.000.000 dan Rp. 6.500.000
(hasil observasi prapenelitian).
Omzet usaha burung lovebird bisa sampai puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta
rupiah tergantung skala usahanya. Oleh karena itu, perlu pengelolaan keuangan yang baik.
Kebanyakan usaha yang berskala kecil menengah hanya menerapkan akuntansi sederhana
sehingga informasi terkait keuangan perusahaan tidak diketahui secara detail. Hal ini
memperkuat peneliti untuk melakukan penelitian mengenai praktik akuntansi pada usaha
burung lovebird.

2. Tinjauan Literatur
Akuntansi

Samryn (2012) mendefinisikan akuntansi sebagai suatu sistem informasi yang


digunakan untuk mengubah data dari transaksi menjadi informasi keuangan. Proses akuntansi
meliputi kegiatan mengidentifikasi, mencatat, dan menafsirkan, mengomunikasikan peristiwa
ekonomi dari sebuah organisasi kepada pemakai informasinya.
Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah dokumen bisnis yang digunakan perusahaan untuk
melaporkan hasil aktivitasnya kepada berbagai kelompok pemakai, yang dapat meliputi
manajer, investor, kreditor, dan agen regulator (Harrison et al., 2012). Tujuan laporan
keuangan ialah menyediakan informasi keuangan suatu entitas yang bermanfaat bagi
sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan.

1
3. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang
praktik akuntansi pada usaha burung lovebrid. Oleh sebab itu, peneliti menggunakan metode
penelitian kualitatif.
Paradigma yang digunakan adalah paradigma interpretif. Melalui strategi
fenomenologi, penelitian ini berupaya mengungkap makna dari sebuah praktik akuntansi
pada usaha burung lovebird. Peneliti sebagai instrumen kunci terus fokus pada usaha
mempelajari makna yang disampaikan partisipan tentang masalah penelitian.
Penelitian ini dilakukan pada salah satu usaha burung lovebird yang ada di Sumenep,
yaitu usaha yang dijalankan oleh saudara Lutfi Amin yang beralamat di Desa Kolor
Kecamatan Kota Kabupaten Sumenep. Oleh sebab itu ditetapkan informan kunci sebagai
sumber informasi yakni saudara Lutfi Amin, pemilik sekaligus pengelola usaha burung
lovebird tersebut. Alasan peneliti memilih objek dan informan ini adalah karena skala usaha
yang dijalankan cukup besar untuk kalangan usaha burung lovebird, terlebih jenis burung
yang dipelihara bisa dikatakan lengkap. Selain itu pengalaman usahanya juga menjadi
pertimbangan peneliti dalam pemilihan informan ini.
Selain dari informan kunci, data dalam penelitian ini juga diperoleh dari informan
pendukung, yakni Nurus Salam yang sehari-harinya dikenal dengan sebutan pak Oyok. Pak
Oyok ditetapkan sebagai informan pendukung karena berdasar rekomendasi informan utama
(kunci). Pak Oyok merupakan rekan bisnis dari saudara Lutfi Amin, informan kunci pada
penelitian ini.
Data yang digunakan adalah data primer, yaitu berbagai informasi yang didapat dari
informan atau situasi sosial secara langsung melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Data tersebut berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang
berbentuk deskripsi, teks, gambar, atau yang sejenisnya. Sedangkan data kuantitatif adalah
data yang berbentuk angka-angka yang ada kaitannya dengan praktek akuntansi pada usaha
burung lovebird.
Analisis data dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagaimana yang dikemukakan
Miles and Huberman (1984) dalam Sugiyono (2013) yaitu reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Teknik triangulasi digunakan untuk menguji kredibilitas data yang diperoleh, yaitu
suatu proses pengecekan data melalui berbagai sumber dengan berbagai cara dan waktu yang
berbeda. Oleh sebab itu, terdapat triangulasi sumber, triangulasi tekhnik pengumpulan data,
dan triangulasi waktu.

4. Hasil Dan Pembahasan

Komponen Biaya dalam Usaha Burung Lovebird

2
Suatu usaha dalam rangka memperoleh keuntungan tidak terlepas dari pengorbanan-
pengorbanan berupa biaya yang harus dikeluarkan, tak terkecuali usaha burung lovebird.
Dalam rangka breeding lovebird, biaya-biaya yang dikeluarkan meliputi biaya investasi dan
biaya produksi.

Biaya Investasi

Biaya investasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh sejumlah aset
guna memberikan manfaat ekonomi di masa yang akan datang. Investasi pada prinsipnya
bukanlah suatu biaya, akan tetapi kekayaan yang dimiliki suatu usaha yang berguna untuk
pelaksanaan kegiatan operasionalnya. Biaya investasi dalam usaha breeding lovebird meliputi
biaya indukan burung, biaya sangkar, biaya glodok, biaya tempat makan burung, biaya
tempat minum burung, biaya kandang, biaya penyemprot, dan peralatan tambahan lainnya.
Investasi paling pokok dalam usaha breeding lovebird ini yaitu indukan burung sebagai
peralatan utama dalam proses produksi untuk menghasilkan anakan. Investasi dalam burung
lovebird adalah segmented. Berikut pernyataan informan :

“Komoditi bisnis lovebird itu adalah segmented. Artinya segmented adalah segmennya
masing-masing. You punya uang lima ratus ribu you bisa main lovebird, marketnya
ada. You punya duit satu juta you bisa main lovebird, marketnya juga ada. You punya
uang sepuluh juta you bisa main lovebird, marketnya juga ada. You punya duit seratus
juta ni satu pasang you bisa main lovebird, marketnya juga ada. Sampai kemudian di
harga yang bisa saja di angka tiga ratus sampai lima ratus juta satu pasang. Nah kapan
BEP-nya? Sama! Maksimal 6 bulan jika kemudian beli indukan”.

Dari pemaparan tersebut dapat diambil inti sarinya bahwa ketika hendak investasi
burung lovebird seseorang tidak dituntut untuk memiliki modal yang sangat besar, akan tetapi
dapat berinvestasi pada segmen burung sesuai dengan modal yang dimiliki. Hal itu
disebabkan karena saking banyaknya jenis burung lovebird yang dapat dipelihara untuk
mendapatkan keuntungan breeding dan tersedianya pasar bagi masing-masing jenis burung
tersebut.
Sedangkan BEP (Break Event Point) yang dimaksud informan di atas adalah bukan
saat pendapatan sama dengan biaya produksi, akan tetapi ketika jumlah pendapatan sama
dengan seluruh biaya yang dikeluarkan, yakni biaya yang dikeluarkan untuk investasi burung
(indukan) dan biaya yang digunakan dalam kegiatan produksi (product cost). Hal ini akan
terjadi ketika suatu indukan sudah menghasilkan produk berupa anakan yang sudah siap
dijual (mandiri), yakni maksimal dalam jangka waktu 6 bulan jika proses produksi berjalan
dengan normal. Jadi dalam jangka waktu 6 bulan aset entitas usaha burung lovebird akan
menjadi dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya dengan adanya tambahan penghasilan dari
penjualan anakan dikurangi biaya produksinya. Berdasarkan pernyataan informan tersebut
dapat dibuat formula:
6 bulan pendapatan = investasi + Product cost
Sedangkan BEP sesungguhnya adalah

BEP = Pendapatan = product cost

Pernyataan tentang usaha breeding lovebird dalam jangka waktu 6 bulan keuntungan
akan menyamai atau bahkan melampaui besaran investasi indukan di atas berlaku ketika

3
produksi berjalan normal. Artinya suatu indukan dapat menghasilkan tiga atau bahkan empat
anakan dalam proses waktu normal.

Biaya Produksi

Product cost atau biaya produksi dikeluarkan untuk kegiatan menghasilkan produk
yang secara langsung dibebankan ke produk yang dihasilkan. Biaya produksi melekat pada
produk, karena nilai suatu produk dapat diukur berdasarkan biaya produksi yang dikeluarkan
untuk menghasilkan produk tersebut. Prinsip seperti ini dalam ilmu akuntansi dikenal dengan
historical cost.

Usaha breeding lovebird merupakan bisnis dimana kegiatan utamanya yaitu


memelihara dan beternak lovebird. Anakan lovebird merupakan output dari proses breeding
tersebut. Oleh karena itu biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses breeding adalah biaya
produksi yang dibebankan terhadap anakan yang dilahirkan. Artinya, dalam usaha breeding
ini biaya produksi suatu anakan dapat diukur sebesar biaya pemeliharaan indukannya selama
waktu kawin sampai dengan anakan tersebut pisah. Jika sampai pisah (mandiri) suatu anakan
dibiarkan di entitas, maka biaya pemeliharaannya juga dibebankan sebagai product cost dari
anakan tersebut.
Dalam perusahaan manufaktur biaya produksi adalah biaya yang terjadi untuk
mengubah bahan baku menjadi barang jadi. Oleh karenanya biaya produksi diklasifikasikan
dalam tiga elemen utama sehubungan dengan produk yang dihasilkan, yakni : biaya bahan
baku, biaya tenaga kerja langsung, dan biaya overhead pabrik (Siregar et al., 2016 ). Biaya
bahan baku adalah besarnya nilai bahan baku yang dimasukkan ke dalam proses produksi
untuk diubah menjadi barang jadi. Biaya tenaga kerja langsung adalah besarnya biaya yang
terjadi untuk menggunakan tenaga karyawan yang secara langsung berhubungan dengan
proses produksi barang jadi. Sedangkan biaya overhead pabrik adalah biaya-biaya yang
terjadi di pabrik selain biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung yang meliputi biaya
bahan penolong dan biaya tenaga kerja tidak langsung.
Beda halnya pada usaha burung lovebird yang merupakan usaha dalam pemeliharaan
dan pengembangbiakan aset berupa makhluk hidup. Dalam proses produksi usaha ini tidak
ada bahan baku yang digunakan. Tidak ada bahan yang dirubah menjadi produk jadi.
Komponen biaya produksi burung lovebird terdiri dari biaya bahan penolong
yangberupa pakan, vitamin, obat-obatan dan bahan lainnya, seperti extra fooding yang
digunakan dalam proses breeding. Selain itu, terdapat biaya overhead lainnya yang dapat
dibebankan terhadap suatu produk, dalam hal ini burung. Yakni biaya listrik dan biaya tenaga
kerja tidak langsung (TKTL). Biaya TKTL ini berupa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
kebutuhan pengamanan (security).
Jika skope usaha yang dijalankan cukup besar dan membutuhkan jasa tenaga kerja
dalam pemeliharaannya, maka terdapat biaya tenaga kerja langsung yang berupa upah atau
gaji yang harus dikeluarkan. Biaya TKL ini juga dapat dibebankan secara proporsional
terhadap produk yang dihasilkan yang berupa anakan burung.
Biaya pakan diperkirakan menghabiskan 10.000 – 12.000 perbulan untuk satu pasang
indukan. Hal itu berdasar pernyataan informan pak Oyok sebagai berikut :

“Satu pasang burung lovebird itu menghabiskan satu kilo satu bulan pakannya, jadi
dengan biaya yang sangat murah. Kalau satu kilo pakan kanariset campur dengan
millet misalnya paling di angka 10 ribu sampai 12 ribu satu pasang dalam satu bulan.

4
Biaya pakannya sangat murah dibandingkan biaya pakan sapi, biaya pakan kambing,
biaya pakan ayam, maupun biaya pakan hewan-hewan peliharaan yang lain, lebih
besar pakannya kucing dibandingkan kemudian kita pelihara burung lovebird.”

Sedangkan vitamin, obat-obatan, dan extra fooding menyesuaikan kebutuhan,


tergantung para breeder dalam mengelola peliharaannya. Adapun biaya listrik dan biaya
tenaga kerja tidak langsung diberlakukan sebagaimana biaya tenaga kerja langsung, dimana
pembenannya dilakukan dengan membagi rata seluruh biaya yang dikeluarkan (BTKL, biaya
listrik, dan BTKTL) selama periode tertentu terhadap masing-masing indukan yang
dipelihara. Biaya dari masing-masing indukan tersebut kemudian menjadi dasar penentuan
product cost (biaya produksi) anakannya. Selain komponen biaya yang telah dijelaskan,
sebenarnya ada tambahan biaya produksi yaitu biaya tes DNA. Burung lovebird dengan
spesifikasi kelas mahal membutuhkan biaya tambahan sebelum burung tersebut laku terjual,
yakni tes DNA. Hal itu berdasar pernyataan informan berikut ini.

“Enjek, mon burung kelas rea dik tak segampang kita langsung prediksi, malarat.
Mon burung sayur rea etemmo dari sopet langsung etemmo laa jhek lakek binik roa
etemmo deri sopet laa”.

Artinya :

“Tidak, kalau burung kelas itu tak segampang kita langsung prediksi, susah. Kalau
burung sayur itu dari sopet langsung dapat ditemukan jantan betinanya”.

Konteks pernyataan tersebut bermakna tes DNA dilakukan untuk mengetahui jenis
kelamin burung, karena burung kelas mahal lebih sulit dalam mengetahui jenis kelaminnya,
berbeda dengan burung kategori sayur yang dapat diketahui jenis kelaminnya hanya dengan
melihat “sopet” burung.

Harga Pasar sebagai Dasar Harga Jual

Harga jual burung lovebird tidak didasarkan pada biaya historisnya (harga pokok),
akan tetapi mengacu pada pasar yang berlaku saat itu. Meskipun para breeder menghitung
biaya produksi dari produk yang akan dijual, hal itu sebatas manajemen agar pengusaha dapat
mengetahui cost yang dikeluarkan maupun benefit income yang didapat.
Berlakunya harga pasar dalam penetapan harga jual memberikan keuntungan yang
sangat besar bagi para breeder, karena harga pasar burung lovebird jauh di atas harga
pokoknya. Terlebih segmen investasinya terhadap burung kelas mahal, yaitu burung dengan
harga jutaan, puluhan juta, bahkan ratusan juta. Hal itu tentu akan sangat menguntungkan
meskipun risikonya juga sangat besar pula, mengingat harga pokok (product cost )dari
burung berkelas dan burung sayur relatif sama.
Harga pasar lovebird dapat berubah-ubah. Pada waktu tertentu harga lovebird naik dan
pada waktu yang lain harga lovebird juga bisa turun. Hal itu sesuai dengan pernyataan
informan berikut :

“Ketika kita berbicara dari sisi ekonomi, maka pasti juga berhitung di hukum pasar.
Semakin banyak produksi barang maka nilai barang akan semakin turun. Kemudian
pertanyaanya di lovebird kecenderungannya bukan seperti itu. Di lovebird berbeda

5
dengan komoditi bisnis yang lain misalnya fashion, makanan/food, atau alat-alat
rumah tangga dan sebagainya. Biasanya kebutuhan pangan/pokok menjelang
Ramadan itu kan naik, lovebird itu turun. apa sebab? saya katakan tadi lovebird ini
awalnya adalah komoditi hobi tapi kemudian masuk kepada komoditi bisnis. Pada saat
kebutuhan yang lain lebih mendesak maka komoditi hobi yang kemudian menjadi
bisnis ini pasti dikesampingkan disitu, karena mereka akan lebih mendahulukan
konsep kebutuhan pokoknya”.

Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa pada saat kebutuhan yang lain meningkat
drastis maka harga jual burung lovebird akan turun. Berbanding terbalik dengan trend
ekonomi yang lain, karena burung lovebird adalah komoditi hobi yang dijadikan bisnis,
sehingga orang akan memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu daripada keinginan untuk
membeli burung. Hal itu dapat berarti penyebab berubahnya harga pasar lovebird adalah
perubahan kebutuhan pokok masyarakat, bukan karena banyaknya burung yang mau dijual.
Harga burung lovebird sebenarnya sudah ada list harga dari masing-masing jenis
burung. Harga tersebut yang berlaku di pasaran dan menjadi kesepakatan antar para breeder.
Berikut ini data harga pasar lovebird dari waktu saat pasar normal sampai waktu pasar
lovebird turun.
Tinggi rendahnya harga lovebird sebenarnya tidak hanya dipengaruhi oleh segmen
investasinya, akan tetapi usia burung juga menjadi faktor perbedaan harga, tetapi yang
dibandingkan di sini perbedaan harga pada jenis burung yang sama.
Selain itu, status burung (indukan atau tidak) juga menjadi penentu mahalnya suatu
burung. Sesuai dengan pernyataan informan, Pak Oyok saat ditanya tentang ada tidaknya
penyusutan atau penurunan nilai terhadap burung : “Bertambah. Jadi gini kamu beli masih
perdana, ketika sudah kawin harganya lain. Ketika sudah jadi induk harganya lain, tambah
mahal”.
Pernyataan “ketika sudah menjadi induk harganya lain, tambah mahal” bermakna
status burung dapat membentuk perbedaan harga. Saat seseorang beli satu pasang burung
indukan (perdana) dengan harga 110 juta satu pasang misalnya, lalu sudah pernah produksi
menghasilkan anakan. Maka harga dari satu pasang indukan tersebut setelah menjadi induk
akan meningkat bahkan sampai dua kali lipat. Hal seperti ini terkadang dimanfaatkan oleh
para pengusaha lovebird untuk mendapatkan profit (keuntungan) dari penjualan indukan.
Selain jenis, usia, dan status burung ada faktor lain lagi yang membentuk harga itu
berbeda, yakni kualitas burung seperti kehalusan bulu. Hal itu berdasar pada pernyataan
informan sebagai berikut.

“Nomer duwe’ pole terkadang deri kualitassa mano’. Kayak biola saompamana pas
berse kepalana, itu lebih mahal bisa nyampek ka nem juta lema ratos. Yee mon
cemong dinnak pas ada hitemnya roa e kopeng sampek ka bebena coccok aroa
sekitaran pak juta lema ratos ka lema juta. Soalla oreng rea bengal melle larang tapi
asalkan kualitassa burungnga bagus”.

6
Artinya :

“Nomer dua lagi terkadang dari kualitas burung. Seperti biola misalnya kemudian
kepalanya bersih, itu lebih mahal bisa sampai enam juta lima ratus. Kalau ada
hitamnya di kuping sampai ke bawahnya paruh itu sekitar empat juta lima ratus
sampai lima juta. Soalnya orang berani beli mahal asal kualitas burungnya bagus”.

Pernyataan tersebut bermakna kualitas burung menjadi penentu perubahan harga.


Informan mencontohkan burung biola dengan kepala yang bersih, seperti tidak ada hitamnya
di areal kepala burung itu akan menjadi lebih mahal daripada burung jenis biola yang warna
kepalanya bercampur hitam.

Mutasi Genetika dan “Spet” : Alat memaksimalkan keuntungan

Dalam praktiknya, ada banyak cara yang dilakukan para pengusaha breeding lovebird
untuk memaksimalkan keuntungan. Salah satu cara tersebut yang sudah familiar di kalangan
para breeder yakni mutasi genetika. Berikut pernyataan informan tentang mutasi genetika.

“Jadi yang menarik di lovebird itu ketika terjadi proses mutasi genetika. Ada
perpindahan gen yang mempengaruhi lahirnya sebuah spesies baru. Bisa saja ada yang
mata merah, ada dari green berubah menjadi bleu dan itu akan ikut semuanya. Ada
gen paruh, ada gen kuku, ada gen kaki, ada gen bulu. Jadi dari green yang paruhnya
merah ketika bermutasi ke blue maka paruhnya berubah ke putih, bulunya juga
berubah ke blue. Jika dari green bermutasi ke parblue maka paruhnya berubah ke
orange bulunya akan berubah kepada blue tapi dari leher ke kepala berubah ke kuning.
Nah inilah yang menarik kemudian menjadikan burung ini menjadi beda harga, beda
kualitas, beda dari sisi keindahan yang bisa kita lihat. semakin sulit cara bermutasinya
maka akan semakin mahal”.

Makna pernyataan tersebut adalah dengan adanya mutasi genetika atau perkawinan
silang antara jenis burung yang satu dengan jenis burung yang lainnya diharapkan dapat
mengahasilkan produk berupa anakan yang status jenisnya lebih tinggi dari indukannya. Hal
ini dikenal dengan istilah jackpot, yaitu indukannya dengan biaya yang murah tapi keluar
anakan lebih mahal dari indukan.

Perkawinan silang dilakukan untuk mendapatkan jackpot. Sebagaimana pernyataan


informan pada potongan hasil wawancara berikut ini.

“…Yang dihasilkan oleh satu induk burung lovebird itu berbeda-beda variatif
tergantung kepada segmen indukannya main di mana. Ada yang kemudian orang lebih
mengenal dengan apa yang diakatakan jackpot. Dalam artian indukannya dengan
biaya yang murah tapi keluar anakan lebih mahal dari indukan. Yang bahaya ketika
indukannya mahal keluar anakan yang murah, itu ada”.
Pernyataan tersebut secara kontekstual mengandung makna bahwa seorang pengusaha
dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar dari hasil produksi dengan cara mutasi
genetika. Hal itu terjadi ketika jackpot yang diharapkan berhasil sesuai keinginan breeder. Di
sisi lain, seringkali jackpot yang diharapkan berupa anakan yang lebih berkelas dari
indukannya tidak terjadi, bahkan menghasilkan anakan yang lebih rendah kelasnya dari
indukannya. Hal seperti ini menjadi kerugian bagi breeder. Walaupun kerugian ini tidak
sampai menjadi ancaman bagi kelangsungan usahanya, mereka para breeder akan merasa
rugi dan tidak puas karena tidak sesuai ekspektasinya dari proses mutasi gen ini.
Cara lain untuk memaksimalkan keuntungan dalam usaha breeding lovebird adalah
“nyeppet”. “Nyeppet” berasal dari kata spet yakni memisahkan anakan dari indukannya
sebelum mandirinya anakan. Cara seperti ini adalah dengan melolo anakan dengan memberi
makanan khusus seperti “nutribird”.
Dalam proses breeding suatu indukan akan bereproduksi atau kawin kembali setelah
indukan tersebut sudah pisah dari anakannya. Oleh karenanya beberapa pengusaha burung
lovebird dalam rangka mempercepat proses reproduksi menggunakan cara spet.
Dalam proses spet terdapat peralatan yang digunakan untuk meloloh anakan tersebut
yaitu incubator. Incubator digunakan untuk menyimpan anakan yang dispet dengan
pengaturan suhu otomatis demi amannya anakan yang sedang dilolo. Apabila suhunya terlalu
dingin maka dengan sendirinya incubator tersebut dapat mengaturnya ke suhu panas
begitupun sebaliknya. Ada beberapa manfaat mengapa pengusaha burung lovebird
melakukan proses spet terhadap anakan yang baru lahir. Berikut hasil wawancara dengan
informan:
”Lebih cepat pole dik ketika manok mon eangkak deri korbi, korbi roa jhek senga
anona lebih cepat e,ehhh kawin pole. Mon manok eparaje neng e korbina rea dik
minim kita rea ajuwel tello bulen, mon epareje neng e korbina manok rea bisa ajuwel
budukna tello bulen buru bisa ejuwel. tape ketika bile eseppet, dubulen kita bisa
ajuwel laa. Ceppet aproduksi, kawin pole, roa ghun menanga mon e seppeten. Biar
cepat besar pas induknya cepat produksi. Jhek budu’en rea bile eangkak, sapolo are
laa korbhi kawin pole laa”.

Artinya :

“Lebih cepat lagi dik ketika burung diangkat dari induknya, induk tersebut lebih cepat.

… ya kawin lagi. Jika burung dibesarkan di induknya minimal kita bisa menjual
anakannya tiga bulan baru bisa dijual. Tapi ketika di-spet, dua bulan kita sudah bisa
menjual. Cepat berproduksi, kawin lagi, itulah keuntungannya kalau di spet-an. Biar
cepat besar kemudian induknya cepat produksi. Anakan itu jika diangkat, sepuluh hari
indukannya sudah kawin lagi”.

Dari pemaparan informan tersebut terdapat dua keuntungan yang didapat dari
kegiatan nyeppet. Waktu mandirinya anakan akan lebih cepat sehingga lebih cepat
menghasilkan uang. Lebih cepat satu bulan dibandingkan dilolo indukannya sendiri. Indukan
dari anakan tersebut akan lebih cepat berepreduksi yaitu kira-kira sepuluh hari setelah anakan
diangkat atau dispet.
Biaya spet sangat murah yaitu hanya sekitar 25 ribu untuk tiga ekor anakan burung
lovebird kategori sayur atau hanya sekitar 60 ribu untuk dua ekor anakan burung lovebird
kategori burung berkelas. Dengan begitu pengusaha lovebird dengan biaya yang lumayan
kecil dapat menghasilkan keuntungan yang besar yakni cepat dari sisi mendapatkan uang dan
lebih cepat dalam produksi kembali. Selain itu dengan proses spet maka kualitas burung bisa
dikontrol oleh pemiliknya dengan memberikan makanan-makanan khusus. Keputusan
melakukan proses spet atau tidak menggambarkan adanya praktik akuntansi pada usaha
burung lovebird, yakni keputusan dengan berdasar pada prinsip cost and profit.
Biaya yang dikeluarkan dalam proses spet juga menjadi product cost (biaya produksi)
anakan yang dispet, sehingga harga pokok dari anakan yang dispet adalah sebesar biaya
pemeliharaan indukan sejak kawin sampai anakan itu diangkat atau dipisah ditambah biaya
selama proses spet. Anakan dapat diangkat dari indukannya pada usia 10 hari. Sedangkan
proses spet berlangsung selama 1 bulan 20 hari sampai mandirinya anakan. Jadi dapat
disimpulkan umur burung yang melalui proses spet dapat mandiri pada usia 2 (dua) bulan.
Jika dibandingkan dengan dilolo indukannya lebih cepat satu bulan dimana burung yang
dilolo indukannya bisa mandiri pada saat usia 3 (tiga) bulan.

“Mengintip” Kerugian dalam Usaha Burung Lovebird


Suatu bisnis tidak terlepas dari ancaman kerugian. Saat peneliti wawancara dengan
informan tentang ada tidaknya kerugian dalam bisnis burung lovebird, informan menaggapi
sebagai berikut.

“Salah, mon pas mate (kalau mati)???, satu. Yang kedua mon pas dutahon tak abuduk,
tak tuli ngisi (jika sampai dua tahun tidak menghasilkan anakan) dan lain sebagainya,
ada yang begitu. Se sengkok pernah satahon (yang saya pernah setahun). …Yaa bisa
gak ngisi Akhirnya telur itu gak bisa tetas. Se sengkok Bede satahon pakbulenan tak
abuduk- buduk (yang saya ada yang satu tahun empat bulanan tidak lahir)”.

Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa tidak ada bisnis apapun yang tidak ada
risikonya. Risiko yang berdampak pada kerugian yang mungkin diderita suatu usaha burung
lovebird meliputi resiko kematian, kabur, dan risiko kemalingan. Selain itu terkadang suatu
indukan tidak berproduksi atau berproduksi tapi dalam jangka waktu yang sangat lama. Oleh
sebab itu diperlukan pengelolaan usaha yang baik untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak
diinginkan. Dalam manajemen risiko ini pengusaha burung lovebird harus mengeluarkan
biaya tambahan yang akan menambah cost produk.

Pendapatan Lain-lain dalam Usaha Breeding Lovebird


Pendapatan lain-lain dalam usaha breeding lovebird adalah pendapatan yang diterima
oleh pengusaha burung lovebird selain dari penjualan anakan yang dihasilkan dari proses
breeding. Selain pendapatan dari penjualan, pengusaha burung lovebird bisa mendapatkan
komisi yaitu dengan membantu memasarkan lovebird milik rekan bisnisnya atau menjadi
perantara antara penjual dan pembeli. Dengan akitivitas seperti itu pengusaha lovebird dapat
memperoleh fee yang menambah penghasilannya. Pendapatan lain juga dapat diperoleh
dengan menerima jasa seppetan anakan. Berikut hasil wawancara dengan informan.

“Ohh yaa! kayak mon dikna oreng menta tolong seppet ka engkok yee, aroa deri bulu
kapas laa bulu pa’ak roo sampek ghen tao nyoccok minim tello ratos ebu per ekor,
mon burung kelas tape. mon burung sayur paleng laa tello polo ebu sampe tao
nyoccok, sabulan raa anggep laa. huu raje lajhu ben are dik. Tape ketika burung roa
eseppet ka engkok mate, engkok tidak nerima tanggung apa-apa”.

Artinya :

“ Ohh iya! Seperti jika punya orang lain minta tolong di-spet ke saya, itu dari ketika
masih berbulu kapas sampai bisa makan sendiri minimal tiga ratus ribu per ekor, jika
burung kelas. Kalau burung sayur mungkin tiga puluh ribu sampai mandiri, anggaplah
sebulan. Tapi ketika burung tersebut yang di-spet ke saya mati, saya tidak menerima
apa- apa”

Hal itu berlaku bagi pengusaha yang memiliki peralatan untuk kegiatan tersebut.
Menerima jasa spet anakan burung dilakukan untuk memanfaatkan potensi ekonomi yang
ada, karena biaya spet cukup murah sementara pendapatan yang akan diperoleh cukup untuk
menambah penghasilan yang ada. Jika anakan yang di-spet mati, maka penerima jasa
“seppetan” burung tidak akan menerima apa-apa dari sang pemilik burung.

5. Simpulan
Kebanyakan pengusaha burung lovebird rata-rata tidak melakukan pencatatan
terhadap peristiwa atau kejadian ekonomi yang terjadi. Dimana praktik akuntansi yang terjadi
adalah akuntansi ingatan. Breeder lovebird sebenarnya memperhitungkan biaya yang
dikeluarkan yang meliputi biaya investasi dan biaya produksi. Namun demikian, harga jual
dari burung lovebird tidak didasarkan atas biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan
burung tersebut, akan tetapi harga dibentuk oleh pasar yang berlaku untuk semua breeder
maupun pecinta burung lovebird dan harga itu sudah menjadi kesepakatan bersama.
Sudah menjadi lumrah bagi pengusaha memaksimalkan keuntungan dan mengelola
risiko. Dalam usaha lovebird mutasi genetika dan spet menjadi cara untuk memaksimalkan
keuntungan. Sedangkan risiko-risiko yang harus termanajemen dengan baik berupa risiko
kematian, risiko kabur, risiko tidak berproduksinya indukan, dan risiko kemalingan. Dalam
menjalankan kegiatan bisnis sehari-hari pengusaha burung lovebird dapat memperoleh
pendapatan selain dari usaha pokoknya. Pendapatan yang dimaksud seperti fee yang
diperoleh dari rekan sesama breeder karena membantu memasarkan produknya dan
pendapatan jasa seppetan.

6. Saran dan Review


Artikel ini memberikan pemahaman mengenai praktik akuntansi pada pengusaha atau
breeder loverbird. Dalam artikel ini dijelaskan fenomena praktik akuntansi ingatan yang
dilakukan oleh para pengusaha. Walaupun demikian, harga lovebird merupakan kesepakatan
antara penjual dan pembeli atau dengan kata lain merupakan harga pasar yang tidak
didasarkan pada biaya produksi. Sehingga para breeder menyiasatinya dengan pemaksimalan
keuntungan dan pengelolaan resiko seperti mutasi genetika. Secara keseluruhan artikel ini
telah memberikan pengetahuan tersebut melalui perspektif fenomenologi dengan baik dan
mudah dipahami.
Pengusaha burung lovebird diharapkan dapat melakukan pencatatan, karena
bagaimanapun secara akuntansi pencatatan itu perlu dilakukan dalam entitas bisnis terlebih
perputaran keuangan usahanya sangat besar dan dengan jenis transaksi yang variatif. Peneliti
selanjutnya diharapkan dapat meneliti topik ini dengan pendekatan yang lain seperti ground
theory, sehingga dapat menemukan pola pencatatan akuntansi yang sesuai dengan praktik
akuntansi pada usaha burung lovebird.

Anda mungkin juga menyukai