DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
RUSMIATI P07220218029
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi kuman golongan streptococcus atau virus yang
dapat bersifat akut atau kronis (Rukmini, 2003). Masalah kekambuhan pada pasien
tonsillitis perlu diperhatikan. Apabila tonsilitis diderita oleh anak tidak sembuh maka
akan berdampak terjadinya penurunan nafsu makan, demam, berat badan menurun,
menangis terus-menerus, nyeri waktu menelan dan terjadi komplikasi seperti sinusitis,
laringtrakeitis, otitis media, gagal nafas, serta osteomielitis akut. Pada umumnya
serangan tonsillitis dapat sembuh sendiri apabila daya tahan tubuh penderita baik. Tonsil
yang mengalami peradangan terus-menerus sebaiknya dilakukan tonsilektomi (operasi
pengangkatan amandel) yang harus dipenuhi terlebih dahulu indikasinya. Tindakan
tonsilektomi mempunyai risiko yaitu hilangnya sebagian peran tubuh melawan penyakit
yang dimiliki jaringan amandel (Syaifudin, 2002).
Tonsilitis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan sering meningkat pada
anak usia 5-12 tahun (Rukmini, 2003). Tonsilitis paling sering terjadi di negara
subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama
pada waktu musim dingin (Rusmarjono, 2003). Hasil Penelitian Jagdeep (2008)
menunjukkan bahwa gangguan tonsillitis berdampak pada penampilan pasien, seperti
sering mengalami radang namun tidak sampai mengalami gangguan suara. Penelitian
Sakka dkk (2009) menyimpulkan bahwa infeksi pada tonsil merupakan masalah yang
cukup sering dijumpai. Keluhan yang ditimbulkan berupa nyeri menelan, demam, otitis
media, sampai obstructive sleep apnea. Kadar s-IgA penderita tonsilitis kronik sebelum
tonsilektomi tinggi. Empat minggu setelah operasi, kadar s-IgA turun mendekati kadar s-
IgA individu normal.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana konsep asuhan keperawatan pada
pasien tonsilitis.
1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien tonsilitis
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memahami konsep pengkajian pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.
b. Untuk memahami diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.
c. Untuk memahami intervensi keperawatan pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalamrongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatine (tonsil faucial),
tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring /
Gerlach’s tonsil ) ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007 ). Tonsilitis disebabkan
peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri, virus, dan jamur.
Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan
oleh virus (Mansjoer,A. 2000). Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang
terjadi pada tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya
infeksi maupun virus. (Sutji Pratiwi,2008).
B. Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri
dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW,
2009).
3
Gambar 2.1. Anatomi Tonsil
1. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)
dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5
cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
- Lateral mulkus konstriktor faring superior
- Anterior-muskulus palatoglosus
- Posterior-muskulus palatofaringeus
- Superior-palatum mole
- Inferior– tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001).
2. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
4
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai
kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
(Hermani B, 2004).
3. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
4. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008).
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
5. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu:
1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden
2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4) arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatine asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
5
6. Aliran Getah Bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).
7. Persyarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
8. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang
(Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005). Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik (Hermani B, 2004).
C. Etiologi Tonsilitis
6
patogen utama pada manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan
imunologi pasca streptococcus (Jawetz, 2007).
D. Manifestasi Klinis
Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia,
otalgia, tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga
menjadi parah, sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan
kekambuhan sakit tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil (Mansjoer,
2000).
Keluhan utama yang paling sering adalah sakit tenggorokan dan infeksi saluran
nafas atas. Penyebab utama yang paling banyak pada tonsilitis akut adalah bakteri grup A
streptococcus B hemoliticus, disamping itu penyebab terbanyak biasanya disebabkan oleh
virus (Brodsky, Poje, 2006).
• T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula.
• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak anterior
– uvula.
• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior – uvula.
• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat
7
menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep obstructive apnea
lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).
E. Patofisiologi Tonsilitis
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan
sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan membentuk
antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil
yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis
falikularis.
Pada tonsillitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga
menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit
menelan dan demam tinggi (39C-40C). Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh
sakit menelan, tenggorokan akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila
penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap infeksi
virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit.
Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi penyakit (Arwin, 2010). Sistem
imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga membersihkan debris sel dan
mempersiapkan perbaikan jaringan (Sterwood, 2001).
Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang menyebabkan
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar N,1993). Infiltrasi
bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit
polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri
yang mati, dan epitel yang lepas.
8
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun.
Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik
kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam
tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian pemeriksaan
jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah. Persiapan pemeriksaan
yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit, dan
sebagainya.
a. Kultur
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
b. Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.( Soetomo, 2004 )
Pemeriksaan swab dari permukaan tonsil dilakukan pada saat pasien telah dalam
narkose. Permukaan tonsil diswab dengan lidi kapas steril. Sebelumnya tidak
dilakukan tindakan aseptik anti septik pada tonsil. Pemeriksaan bakteriologi dari inti
9
tonsil dilakukan dengan mengambil swab sesaat setelah tonsilektomi. Tonsil yang
telah diangkat disiram dengan cairan salin steril kemudian diletakkan pada tempat
yang steril. Tonsil dipotong dengan menggunakan pisau steril dan jaringan dalam
tonsil diswab memakai lidi kapas steril. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke
dalam media transportasi yang steril. Biakan bakteri aerob dan anaerob fakultatif
dapat dilakukan dengan menggunakan agar darah, agar coklat, eosin-methilene blue
(EMB). Tempat pembiakan ini diinkubasi pada suhu 370C, 5% CO2.
- Tes Schick atau tes kerentanan di ptori
- Audiometri : adenoid terinfeksi
G. Penatalaksanaan Tonsilitis
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut ( Mansjoer, 2000) yaitu :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.
10
c. Lakukan pengkajian praoperasi : Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji
status hidrasi, siapkan anak secara khusus untuk menghadapi apa yang
diharapkan pada masa pascaoperasi, gunakan teknik-teknik yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak (buku, boneka, gambar ), bicaralah
pada anak tentang hal-hal baru yang akan dilihat di kamar operasi, dan
jelaskan jika terdapat konsep-konsep yang salah, bantu orang tua
menyiapkan anak mereka dengan membicarakan istilah yang umum
terlebih dahulu mengenai pembedahan dan berkembang ke informasi yang
lebih spesifik, yakinkan orang tua bahwa tingkat komplikasi rendah dan
masa pemulihan biasanya cepat, anjurkan orang tua untuk tetap bersama
anak dan membantu memberikan perawatan.
2. Perawatan pascaoperasi :
a. Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai indikasi
b. Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pascaoperasi
c. Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal packing untuk berjaga-jaga
seandainya terjadi kedaruratan.
d. Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri posisi
telungkup atau semi telungkup pada anak, dengan kepala dimiringkan
kesamping untuk mencegah aspirasi
e. Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri setelah ia sadar
(orangtua boleh menggendong anak )
f. Pada awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika diperlukan
pengisapan, hindari trauma pada orofaring.
g. Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan tenggorok kecuali
jika perlu.
h. Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai 2 jam setelah
sadar dari anestesi. Saat muntah susah berhenti, berikan air jernih dengan
hati-hati.
i. Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah yang paling baik
ditoleransi pada saat ini, kemudian berikan es loli dan air dingin selama 12
sampai 24 jam pertama
j. Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan pmberian susu dan es
krim pada malam pembedahan : dapat menenangkan dan mengurangi
pembengkakan, tetapi dapat meningkatkan produksi mukus yang
11
menyebabkan anak lebih sering membersihkan tenggorokanya,
meningkatkan resiko perdarahan.
k. Berikan collar es pada leher, jika didinginkan. ( lepas collar es tersebut,
jika anak menjadi gelisah ).
l. Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.
m. Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase bernoda darah
untuk membantu menurunkan kecemasan.
n. Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak sadar.
1. Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga harus dipuasakan,
membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
2. Teknik Pembedahan
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan
terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi
mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan.
Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil
diangkat dengan diseksi/quillotine.
Metode apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara
lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam
ruang post nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang
berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar
tonsil.
3. Perawatan Paska-bedah
a. Berbaring ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
b. Memantau tanda-tanda perdarahan
1. Menelan berulang
2. Muntah darah segar
3. Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
c. Diet
1. Memberikan cairan bila muntah telah reda
12
a. Mendukung posisi untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih
nyaman dari ada kepingan kecil).
b. Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2. Menawarkan makanan
a. Es crem, crustard dingin, sup krim, dan jus.
b. Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat
dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
c. Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu
selama 1 minggu.
3. Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
a. Menggunakan ice color (kompres es) bila mau
b. Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
c. Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
d. Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4. Mengajari pasien mengenal hal berikut
a. Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi
hidung segera selama 1-2 minggu.
b. Tinja mungkin seperti teh dalam beberapa hari karena darah yang
tertelan.
c. Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4
dan ke-8 setelah operasi.
2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
14
tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih diragukan berikan antibiotik selama
3-6 bulan sesuai kultur, jika gejala masih menetap indikasi tonsilektomi.
INDIKASI RELATIF:
1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan
antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)
KONTRAINDIKASI
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan
tonsil karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan
mengancam kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-
imunologik dan infeksi akut. Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi,
gangguan’ pada sistem hemostasis dan lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti
penyakit alergi pada saluran pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila
15
pengobatan kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena
pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma pernah
dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal,
kecuali bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan
setelah minimal 23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga
tidak dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes
atau penyakit jantung pulmonal
Teknik Operasi Tonsilektomi Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan
medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit
dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus.
Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole
bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil
dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada
tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi (Dhingra, 2008).
H. Komplikasi Tonsilitis
a. Abses pertosil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A.
16
b. Otitis media akut
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada rupture spontan gendang telinga.
c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid.
Menurut Fahrun Nur 2009 pada anak menimbulkan otitis media akut, Abses
peritonsil, Abses para faring, Sepsis, Bronkitis, Nepritis akut, Miokarditis dan Artritis.
17
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (
Reeves, Roux, Lockhart, 2001 )
7. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
8. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi. Abses peritonsil merupakan infeksi dapat meluas menuju
kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah
antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling
sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi
dengan melakukan aspirasi abses (Shnayder, Lee, Bernstein, 2008).
9. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
10. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening/pembuluh
darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar
limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
11. Abses retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
12. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih/berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
18
13. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil
membentuk bahan keras seperti kapur. Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis
Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat
membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign
body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
19
I. WOC TONSILITIS
20
21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Wawancara
- Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
- Apakah pengobatan adekuat
- Kapan gejala itu muncul
- Apakah mempunyai kebiasaan merokok
- Bagaimana pola makannya
- Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
2. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doengoes, (1999), yaitu :
- Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut
Khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan
kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
- Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk.
- Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
- Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
- Pernapasan
Gejala : Riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu,
debu.
22
Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
- Pembesaran tonsil dan hiperemis
23
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1. Pre Operasi
- Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
- Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
- Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
- Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
2. Post Operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
- Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
- Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi
C. Intervensi
Pre Operasi
Dx 1: Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
NOC: Perawatan Diri : Makan
Tujuan: Setelah dlakukan tindakan keperawatan terapi menelan selama 3 x24 jam
diharapkan tidak ada masalah dalam makan dengan skala 4 sehingga kerusakan menelan
dapat diatasi
Kriteria hasil:
- Reflek makan
- Tidak tersedak saat makan
- Tidak batuk saat menelan
- Usaha menelan secara normal
- Menelan dengan nyaman
Skala : 1. Sangat bermasalah
2. Cukup bermasalah
3. Masalah sedang
4. Sedikit bermasalah
5. Tidak ada masalah
NIC : Terapi menelan
Intervensi :
24
- Pantau gerakan lidah klien saat menelan
- Hindari penggunaan sedotan minuman
- Bantu pasien untuk memposisikan kepala fleksi ke depan untuk menyiapkan menelan.
- Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan penenangan pasien selama
makan / minum obat.
25
Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
NOC : Fluid balance
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nutrisi selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah nutrisi dengan skala 4 sehingga ketidak seimbangan nutrisi
dapat teratasi
Kriteria hasil :
- Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
- BB ideal sesuai tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Manajemen nutrisi
- Berikan makanan yang terpilih
- Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
- Berikan makanan sedikit tapi sering
- Berikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk menarik.
26
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fever Treatment
- Monitor suhu sesering mungkin
- Monitor warna, dan suhu kulit
- Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
- Monitor intake dan output
- Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.
27
Post Operasi
Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
NOC : Level Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah tentang nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang
atau berkurang
Kriteria hasil :
- Melaporkan nyeri
- Frekuensi nyeri.
- Lamanya nyeri
- Ekspresi wajah terhadap nyeri
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
- Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
- Berikan analgesik yang sesuai.
- Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
- Tingkatkan istirahat pasien.
29
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
30
DAFTAR ISI
https://www.academia.edu/13132164/tonsilitis?auto=download
https://www.academia.edu/9527732/asuhan_keperawatan_pada_klien_dengan_tonsilitis_oleh
_kelompok_9_qory_putri_sandra_prima_alwi_yahya_rahmatullah_ratna_wuandari_sab
ila_hasanah_almafazah?auto=download
Rikmini, S. 2003. Buku Ajar Ilmu THT untuk Perawat. Edisi Pertama. Surabaya: FK Airlangga
Rusmarjono. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: FKUI
Sakka I, Sedjawidada R., Kodrat L., Rahardjo SP. 2009. Kadar Imunoglobulin A Sekretori pada
Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum dan Setelah Tonsilektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telingan
Hidung Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar- Indonesia.
Diakses: http//:www.cusabio.com/wenxian/206.pdf
31