Anda di halaman 1dari 34

ASUHAN KEPERERAWATAN PADA PASIEN TONSILITIS

MATA KULIAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

LILIK SUPARWATI P07220218010

LOIS GREIS DOMBULAN P07220218011

M. ARFIAN NUR RISKY P07220218016

NAINA RHOZIANA P07220218020

RUSMIATI P07220218029

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb. Alhamdulillah Puji syukur kepada Allah Swt,


karena berkat Rahmat dan atas izin-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Tonsilitis dan Asuhan Keperawatan pada Pasien Tonsilitis”
sebagai makalah mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Makalah ini saya
susun berdasarkan referensi dari beberapa media internet dan berbagai sumber
yang kami dapatkan dan saya mencoba menyusun data-data itu hingga menjadi
sebuah makalah yang sederhana ini. Di dalam penyusunan makalah ini, terdapat
sedikit masalah yang saya hadapi.Tetapi berkat bantuan dan dukungan keluarga,
teman, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.
Terima kasih tak terhingga saya ucapkan kepada guru pembimbing saya yang
telah memberikan cara tugas ini. Saya mendapatkan suatu pelajaran baik dalam
penulisan makalah serta mendapatkan ilmu pengetahuan tersebut. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca atau pun untuk teman-teman yang
akan melakukan dengan tema yang sama.
Saya menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini sangat banyak
kekurangannya,dan masih jauh dari kata sempurna, karena pengetahuan saya yang
kurang luas,oleh karena itu dengan rendah hati dan tangan terbuka kami mohon
segala kritik dan saran sangat saya harapkan agar dapat memperbaiki kesalahan-
kesalahan tersebut.

Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum wr.wb

Samarinda, 03 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER ................................................................................................... i


HALAMAN JUDUL ................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi Tonsilitis ............................................................................................ 5


B. Anatomi Tonsilitis ........................................................................................... 6
C. Etiologi Tonsilistis ............................................................................................ 8
D. Manifestasi Klinis ............................................................................................. 9
E. Patofisiologi .................................................................................................... 10
F. Pemeriksaan Penunjang .................................................................................. 10
G. Penatalaksanaan Tonsilitis .............................................................................. 11
H. Komplikasi ...................................................................................................... 12
I. WOC Tonsilistis ............................................................................................. 21

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN


A. Pengkajian....................................................................................................... 22
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................................... 23
C. Intervensi Keperawatan .................................................................................. 24

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan .........................................................................................................
B. Saran ...................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tonsilitis disebabkan oleh infeksi kuman golongan streptococcus atau virus yang
dapat bersifat akut atau kronis (Rukmini, 2003). Masalah kekambuhan pada pasien
tonsillitis perlu diperhatikan. Apabila tonsilitis diderita oleh anak tidak sembuh maka
akan berdampak terjadinya penurunan nafsu makan, demam, berat badan menurun,
menangis terus-menerus, nyeri waktu menelan dan terjadi komplikasi seperti sinusitis,
laringtrakeitis, otitis media, gagal nafas, serta osteomielitis akut. Pada umumnya
serangan tonsillitis dapat sembuh sendiri apabila daya tahan tubuh penderita baik. Tonsil
yang mengalami peradangan terus-menerus sebaiknya dilakukan tonsilektomi (operasi
pengangkatan amandel) yang harus dipenuhi terlebih dahulu indikasinya. Tindakan
tonsilektomi mempunyai risiko yaitu hilangnya sebagian peran tubuh melawan penyakit
yang dimiliki jaringan amandel (Syaifudin, 2002).
Tonsilitis sering terjadi pada anak-anak usia 2-3 tahun dan sering meningkat pada
anak usia 5-12 tahun (Rukmini, 2003). Tonsilitis paling sering terjadi di negara
subtropis. Pada negara iklim dingin angka kejadian lebih tinggi dibandingkan dengan
yang terjadi di negara tropis, infeksi Streptococcus terjadi di sepanjang tahun terutama
pada waktu musim dingin (Rusmarjono, 2003). Hasil Penelitian Jagdeep (2008)
menunjukkan bahwa gangguan tonsillitis berdampak pada penampilan pasien, seperti
sering mengalami radang namun tidak sampai mengalami gangguan suara. Penelitian
Sakka dkk (2009) menyimpulkan bahwa infeksi pada tonsil merupakan masalah yang
cukup sering dijumpai. Keluhan yang ditimbulkan berupa nyeri menelan, demam, otitis
media, sampai obstructive sleep apnea. Kadar s-IgA penderita tonsilitis kronik sebelum
tonsilektomi tinggi. Empat minggu setelah operasi, kadar s-IgA turun mendekati kadar s-
IgA individu normal.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah bagaimana konsep asuhan keperawatan pada
pasien tonsilitis.

1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memahami konsep asuhan keperawatan pada pasien tonsilitis
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memahami konsep pengkajian pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.
b. Untuk memahami diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.
c. Untuk memahami intervensi keperawatan pada asuhan keperawatan pasien
tonsilitis.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tonsilitis

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di
dalamrongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatine (tonsil faucial),
tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius ( lateral band dinding faring /
Gerlach’s tonsil ) ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk, 2007 ). Tonsilitis disebabkan
peradangan pada tonsil yang diakibatkan oleh bakteri, virus, dan jamur.

Tonsilitis akut adalah radang akut yang disebabkan oleh kuman streptococcus beta
hemolyticus, streptococcus viridons dan streptococcus pygenes, dapat juga disebabkan
oleh virus (Mansjoer,A. 2000). Tonsilitis akut merupakan suatu inflamasi akut yang
terjadi pada tonsilla palatina, yang terdapat pada daerah orofaring disebabkan oleh adanya
infeksi maupun virus. (Sutji Pratiwi,2008).

Tonsilitis Kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi


pada tonsila palatina yang menetap (Chan, 2009). Tonsilitis Kronis disebabkan
oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan kerusakan yang
permanen pada tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu
ataupun untuk waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali
ketika daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan (Colman, 2001).
Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan
pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

B. Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri
dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tubal (Ruiz JW,
2009).

3
Gambar 2.1. Anatomi Tonsil

1. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa
tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus)
dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5
cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong
diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh:
- Lateral mulkus konstriktor faring superior
- Anterior-muskulus palatoglosus
- Posterior-muskulus palatofaringeus
- Superior-palatum mole
- Inferior– tonsil lingual (Wanri A, 2007)
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh
sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya
memperlihatkan pusat germinal (Anggraini D, 2001).
2. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut

4
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai
kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di
nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat
meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid
bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai
ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi
(Hermani B, 2004).
3. Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata (Kartosoediro S, 2007).
4. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior (Shnayder, Y, 2008).
Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring
terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal (Wiatrak BJ, 2005).
5. Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu:
1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden
2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4) arteri faringeal asenden.
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan
bagian posterior oleh arteri palatine asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal
asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar
kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal (Wiatrak BJ, 2005).
5
6. Aliran Getah Bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada (Wanri A, 2007).
7. Persyarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.
8. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang
(Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin
(IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin
berakumulasi di jaringan tonsilar (Eibling DE, 2003). Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area
ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel
ilmfoid (Wiatrak BJ, 2005). Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.
Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan
asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel
limfosit T dengan antigen spesifik (Hermani B, 2004).

C. Etiologi Tonsilitis

Penyebabnya infeksi bakteri streptococcus atau infeksi virus. Tonsil berfungsi


untuk membuat limfosit, yaitu sejenis sel darah putih yang bertugas membunuh kuman
yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Tonsil akan berubah menjadi tempat infeksi
bakteri maupun virus, sehingga membengkak dan meradang, menyebabkan tonsillitis.
(Charlene J. Reeves,2001) Penyebab tonsilitis menurut (Firman S, 2006) dan (Soepardi,
Effiaty Arsyad,dkk, 2007) adalah infeksi kuman Streptococcus beta Hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes. Streptococcus pyogenes merupakan

6
patogen utama pada manusia yang menimbulkan invasi lokal, sistemik dan kelainan
imunologi pasca streptococcus (Jawetz, 2007).

D. Manifestasi Klinis

Gejala pada tonsillitis akut adalah rasa gatal/ kering ditenggorokan, anoreksia,
otalgia, tonsil membengkak. Dimulai dengan sakit tenggorokan yang ringan hingga
menjadi parah, sakit menelan, kadang muntah. Pada tonsillitis dapat mengakibatkan
kekambuhan sakit tenggorokan dan keluarnya nanah pada lekukan tonsil (Mansjoer,
2000).

Tanda klinisnya dijumpai tonsil membengkak dan meradang. Tonsila biasanya


bercak-bercak dan kadang-kadang diliputi oleh eksudat. Eksudat ini mungkin keabu-
abuan dan kekuningan. Eksudat ini dapat berkumpul, membentuk membran dan pada
beberapa kasus dapat terjadi nekrosis jaringan lokal (Boies, 1997).

Keluhan utama yang paling sering adalah sakit tenggorokan dan infeksi saluran
nafas atas. Penyebab utama yang paling banyak pada tonsilitis akut adalah bakteri grup A
streptococcus B hemoliticus, disamping itu penyebab terbanyak biasanya disebabkan oleh
virus (Brodsky, Poje, 2006).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar


(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa,
kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus
mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005). Thane & Cody membagi
pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:

• T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula.

• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak anterior
– uvula.

• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar
anterior – uvula.

• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang dapat
menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat

7
menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep obstructive apnea
lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).

E. Patofisiologi Tonsilitis

Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut. Tonsil berperan
sebagai filter yang menyelimuti bakteri ataupun virus yang masuk dan membentuk
antibody terhadap infeksi. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka
jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan
infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil
yang berisi bercak kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit,
bakteri dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut tonsillitis
falikularis.

Pada tonsillitis akut dimulai dengan gejala sakit tenggorokan ringan hingga
menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa sakit tenggorokannya sehingga sakit
menelan dan demam tinggi (39C-40C). Sekresi yang berlebih membuat pasien mengeluh
sakit menelan, tenggorokan akan terasa mengental. (Charlene J. Reeves,2001). Tetapi bila
penjamu memiliki kadar imunitas antivirus atau antibakteri yang tinggi terhadap infeksi
virus atau bakteri tersebut, maka tidak akan terjadi kerusakan tubuh ataupun penyakit.
Sebaliknya jika belum ada imunitas maka akan terjadi penyakit (Arwin, 2010). Sistem
imun selain melawan mikroba dan sel mutan, sel imun juga membersihkan debris sel dan
mempersiapkan perbaikan jaringan (Sterwood, 2001).

Pada tonsillitis kronik terjadi karena proses radang berulang yang menyebabkan
epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan
limfoid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara
kelompok melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus (Iskandar N,1993). Infiltrasi
bakteri pada epitel jaringan tonsil akan menimbulkan radang berupa keluarnya leukosit
polymorphnuklear serta terbentuk detritus yang terdiri dari kumpulan leukosit, bakteri
yang mati, dan epitel yang lepas.

Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah (2003) bahwa adanya infeksi


berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman
sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan
tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu saat kuman dan

8
toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh
menurun.

Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan
limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh
jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara klinik
kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa tonsilaris.
Proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibula (Rusmarjono, 2006).

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam
tubuh pasien dengan tonsilitis merupakan bakteri grup A, kemudian pemeriksaan
jumlah leukosit dan hitung jenisnya, serta laju endap darah. Persiapan pemeriksaan
yang perlu sebelum tonsilektomi adalah :
1. Rutin : Hemoglobine, lekosit, urine.
2. Reaksi alergi, gangguan perdarahan, pembekuan.
3. Pemeriksaan lain atas indikasi (Rongten foto, EKG, gula darah, elektrolit, dan
sebagainya.
a. Kultur
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
b. Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,
dan obat kumur yang mengandung desinfektan.( Soetomo, 2004 )

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa tonsilitis


akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
- Leukosit : terjadi peningkatan
- Hemoglobin : terjadi penurunan
- Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat

Pemeriksaan swab dari permukaan tonsil dilakukan pada saat pasien telah dalam
narkose. Permukaan tonsil diswab dengan lidi kapas steril. Sebelumnya tidak
dilakukan tindakan aseptik anti septik pada tonsil. Pemeriksaan bakteriologi dari inti

9
tonsil dilakukan dengan mengambil swab sesaat setelah tonsilektomi. Tonsil yang
telah diangkat disiram dengan cairan salin steril kemudian diletakkan pada tempat
yang steril. Tonsil dipotong dengan menggunakan pisau steril dan jaringan dalam
tonsil diswab memakai lidi kapas steril. Spesimen yang telah diambil dimasukkan ke
dalam media transportasi yang steril. Biakan bakteri aerob dan anaerob fakultatif
dapat dilakukan dengan menggunakan agar darah, agar coklat, eosin-methilene blue
(EMB). Tempat pembiakan ini diinkubasi pada suhu 370C, 5% CO2.
- Tes Schick atau tes kerentanan di ptori
- Audiometri : adenoid terinfeksi

G. Penatalaksanaan Tonsilitis
Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut ( Mansjoer, 2000) yaitu :
1. Penatalaksanaan tonsilitis akut
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur atau
obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klindomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2-3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3x negatif.
d. Pemberian antipiretik.
2. Penatalaksanaan tonsilitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur / hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.

Tonsilektomi menurut ( Nettina, 2006 ) yaitu:


1. Perawatan pra Operasi :
a. Lakukan pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorok secara seksama
dan dapatkan kultur yang diperlukan untuk menentukan ada tidak dan
sumber infeksi
b. Ambil spesimen darah untuk pemeriksaan praoperasi untuk menentukan
adanya resiko perdarahan : waktu pembekuan, pulasan trombosit, masa
protrombin, masa tromboplastin parsial.

10
c. Lakukan pengkajian praoperasi : Perdarahan pada anak atau keluarga, kaji
status hidrasi, siapkan anak secara khusus untuk menghadapi apa yang
diharapkan pada masa pascaoperasi, gunakan teknik-teknik yang sesuai
dengan tingkat perkembangan anak (buku, boneka, gambar ), bicaralah
pada anak tentang hal-hal baru yang akan dilihat di kamar operasi, dan
jelaskan jika terdapat konsep-konsep yang salah, bantu orang tua
menyiapkan anak mereka dengan membicarakan istilah yang umum
terlebih dahulu mengenai pembedahan dan berkembang ke informasi yang
lebih spesifik, yakinkan orang tua bahwa tingkat komplikasi rendah dan
masa pemulihan biasanya cepat, anjurkan orang tua untuk tetap bersama
anak dan membantu memberikan perawatan.
2. Perawatan pascaoperasi :
a. Kaji nyeri dengan sering dan berikan analgesik sesuai indikasi
b. Kaji dengan sering adanya tanda-tanda perdarahan pascaoperasi
c. Siapkan alat pengisap dan alat-alat nasal packing untuk berjaga-jaga
seandainya terjadi kedaruratan.
d. Pada saat anak masih berada dalam pengaruh anestesi, beri posisi
telungkup atau semi telungkup pada anak, dengan kepala dimiringkan
kesamping untuk mencegah aspirasi
e. Biarkan anak memperoleh posisi yang nyaman sendiri setelah ia sadar
(orangtua boleh menggendong anak )
f. Pada awalnya anak dapat mengalami muntah darah lama. Jika diperlukan
pengisapan, hindari trauma pada orofaring.
g. Ingatkan anak untuk tidak batuk atau membersihkan tenggorok kecuali
jika perlu.
h. Berikan asupan cairan yang adekuat; beri es batu 1 sampai 2 jam setelah
sadar dari anestesi. Saat muntah susah berhenti, berikan air jernih dengan
hati-hati.
i. Tawarkan jus jeruk dingin disaring karena cairan itulah yang paling baik
ditoleransi pada saat ini, kemudian berikan es loli dan air dingin selama 12
sampai 24 jam pertama
j. Ada beberapa kontroversi yang berkaitan dengan pmberian susu dan es
krim pada malam pembedahan : dapat menenangkan dan mengurangi
pembengkakan, tetapi dapat meningkatkan produksi mukus yang
11
menyebabkan anak lebih sering membersihkan tenggorokanya,
meningkatkan resiko perdarahan.
k. Berikan collar es pada leher, jika didinginkan. ( lepas collar es tersebut,
jika anak menjadi gelisah ).
l. Bilas mulut pasien dengan air dingin atau larutan alkalin.
m. Jaga agar anak dan lingkungan sekitar bebas dari drainase bernoda darah
untuk membantu menurunkan kecemasan.
n. Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak ketika anak sadar.

Tonsilektomi menurut Firman S (2006), yaitu :

1. Perawatan Prabedah
Diberikan sedasi dan premedikasi, selain itu pasien juga harus dipuasakan,
membebaskan anak dari infeksi pernafasan bagian atas.
2. Teknik Pembedahan
Anestesi umum selalu diberikan sebelum pembedahan, pasien diposisikan
terlentang dengan kepala sedikit direndahkan dan leher dalam keadaan ekstensi
mulut ditahan terbuka dengan suatu penutup dan lidah didorong keluar dari jalan.
Penyedotan harus dapat diperoleh untuk mencegah inflamasi dari darah. Tonsil
diangkat dengan diseksi/quillotine.
Metode apapun yang digunakan penting untuk mengangkat tonsil secara
lengkap. Perdarahan dikendalikan dengan menginsersi suatu pak kasa ke dalam
ruang post nasal yang harus diangkat setelah pembedahan. Perdarahan yang
berlanjut dapat ditangani dengan mengadakan ligasi pembuluh darah pada dasar
tonsil.
3. Perawatan Paska-bedah
a. Berbaring ke samping sampai bangun kemudian posisi mid fowler.
b. Memantau tanda-tanda perdarahan
1. Menelan berulang
2. Muntah darah segar
3. Peningkatan denyut nadi pada saat tidur
c. Diet
1. Memberikan cairan bila muntah telah reda

12
a. Mendukung posisi untuk menelan potongan makanan yang besar (lebih
nyaman dari ada kepingan kecil).
b. Hindari pemakaian sedotan (suction dapat menyebabkan perdarahan).
2. Menawarkan makanan
a. Es crem, crustard dingin, sup krim, dan jus.
b. Refined sereal dan telur setengah matang biasanya lebih dapat
dinikmati pada pagi hari setelah perdarahan.
c. Hindari jus jeruk, minuman panas, makanan kasar, atau banyak bumbu
selama 1 minggu.
3. Mengatasi ketidaknyamanan pada tenggorokan
a. Menggunakan ice color (kompres es) bila mau
b. Memberikan anakgesik (hindari aspirin)
c. Melaporkan segera tanda-tanda perdarahan.
d. Minum 2-3 liter/hari sampai bau mulut hilang.
4. Mengajari pasien mengenal hal berikut
a. Hindari latihan berlebihan, batuk, bersin, berdahak dan menyisi
hidung segera selama 1-2 minggu.
b. Tinja mungkin seperti teh dalam beberapa hari karena darah yang
tertelan.
c. Tenggorokan tidak nyaman dapat sedikit bertambah antara hari ke-4
dan ke-8 setelah operasi.

The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck


Surgery Clinical Indikators Compendium tahun 1995 menetapkan
indikasi dilakukannya tonsilektomi yaitu:
1) Serangan tonsilitis lebih dari tiga kali per tahun walaupun telah
mendapatkan terapi yang adekuat
2) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofasial
3) Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan nafas, sleep apnea, gangguan menelan, dan gangguan bicara.
4) Rinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil,
yang tidak berhasil hilang dengan pengobatan.
5) Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
13
6) Tonsilitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup Asterptococcos
β hemoliticus
7) Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
8) Otitis media efusa / otitis media supurataif (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk.
2007)

The American Academy of Otolaryngology-Head and Surgery (AAO-


HNS) merilis indikasi klinis untuk melakukan tonsilektomi adalah:
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas,
disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi
anatomi

2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik yang adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Brodsky menyatakan tonsilitis rekuren dindikasikan untuk tonsilektomi


jika terjadi serangan tonsilitis akut berulang lebih dari 4 kali dalam satu tahun
kalender, atau lebih dari 7 kali dalam 1 tahun, 5 kali setiap tahun selama 2
tahun, atau 3 kali setiap tahun selama 3 tahun. Bila masih diragukan berikan
antibiotik spektrum luas sebelum didapatkan hasil kultur tonsil kemudian
lanjutkan dengan antibiotik sesuai kultur. Bila terdapat rekurensi dalam 1
tahun diindikasikan untuk tonsilektomi. Bila ditemukan gejala yang persisten
yang nyata lebih dari 1 bulan dengan eritema peritonsil indikasi untuk

14
tonsilektomi. Bila gejala dimaksud masih diragukan berikan antibiotik selama
3-6 bulan sesuai kultur, jika gejala masih menetap indikasi tonsilektomi.

INDIKASI TINDAKAN TONSILAKTOMI


INDIKASI ABSOLUT:
1. Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri
telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit
kardiopulmonal.
2. Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan
dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan
pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
3. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.

INDIKASI RELATIF:
1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa yang
memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis yang
tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier kuman
Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap pengobatan dengan
antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai berhubungan
dengan keganasan (neoplastik)

KONTRAINDIKASI
Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan pembedahan
tonsil karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada penderita, bahkan
mengancam kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan hematologik, kelainan alergi-
imunologik dan infeksi akut. Kontraindikasi pada kelainan hematologik adalah anemi,
gangguan’ pada sistem hemostasis dan lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti
penyakit alergi pada saluran pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila
15
pengobatan kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena
pembesaran tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma pernah
dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut lokal,
kecuali bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya baru dilakukan
setelah minimal 23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping itu tonsilektomi juga
tidak dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang tidak terkontrol seperti diabetes
atau penyakit jantung pulmonal
Teknik Operasi Tonsilektomi Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan
medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan jari tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan
saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.
 Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit
dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukus.
Dilakukan diseksi dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole
bawah dilanjutkan dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
 Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil
dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
 Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada
tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat
menyebabkan terjadinya luka bakar.
 Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser
KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai.tehnik yag
dilakukan sama dengan yang dilakukan pada tehik diseksi (Dhingra, 2008).

H. Komplikasi Tonsilitis

Komplikasi tonsillitis akut dan kronik menurut Mansjoer, (2000), yaitu:

a. Abses pertosil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A.

16
b. Otitis media akut
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan
dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat
mengarah pada rupture spontan gendang telinga.
c. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid.

Komplikasi lain adalah dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan


terhadap suara, aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia (Wanri, A., 2007)

Menurut Fahrun Nur 2009 pada anak menimbulkan otitis media akut, Abses
peritonsil, Abses para faring, Sepsis, Bronkitis, Nepritis akut, Miokarditis dan Artritis.

Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu :


1. Abses pertonsil
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi
beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptococcus group
A (Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007).
2. Otitis media akut
Infeksi dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustochi) dan dapat
mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang
telinga ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
3. Mastoiditis akut
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebarkan infeksi ke dalam sel-sel
mastoid ( Soepardi, Effiaty Arsyad,dkk. 2007 ).
4. Laringitis
Merupakn proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx.
Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakter,
lingkungan, maupunmkarena alergi ( Reeves, Roux, Lockhart, 2001 ).
5. Sinusitis

17
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satua atau lebih dari sinus
paranasal. Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari
dinding yang terdiri dari membran mukosa (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
6. Rhinitis
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (
Reeves, Roux, Lockhart, 2001 )
7. Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
8. Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi. Abses peritonsil merupakan infeksi dapat meluas menuju
kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah
antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling
sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah
malaise yang bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi
dengan melakukan aspirasi abses (Shnayder, Lee, Bernstein, 2008).
9. Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti
dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan
disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu
dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya
dilakukan tonsilektomi.
10. Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening/pembuluh
darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar
limfe faringeal, mastoid dan os petrosus.
11. Abses retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
12. Krista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih/berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
18
13. Tonsilolith (kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil
membentuk bahan keras seperti kapur. Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis
Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat
membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign
body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

19
I. WOC TONSILITIS

20
21
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Wawancara
- Kaji adanya riwayat penyakit sebelumnya (tonsillitis)
- Apakah pengobatan adekuat
- Kapan gejala itu muncul
- Apakah mempunyai kebiasaan merokok
- Bagaimana pola makannya
- Apakah rutin / rajin membersihkan mulut
2. Pemeriksaan fisik
Data dasar pengkajian menurut Doengoes, (1999), yaitu :
- Intergritas Ego
Gejala : Perasaan takut
Khawatir bila pembedahan mempengaruhi hubungan keluarga, kemampuan
kerja, dan keuangan.
Tanda : ansietas, depresi, menolak.
- Makanan / Cairan
Gejala : Kesulitan menelan
Tanda : Kesulitan menelan, mudah terdesak, inflamasi, kebersihan gigi buruk.
- Hygiene
Tanda : Kesulitan menelan
- Nyeri / Keamanan
Tanda : Gelisah, perilaku berhati-bati
Gejala : Sakit tenggorokan kronis, penyebaran nyeri ke telinga
- Pernapasan
Gejala : Riwayat merokok / mengunyah tembakau, bekerja dengan serbuk kayu,
debu.

22
Hasil pemerisaan fisik secara umum di dapat :
- Pembesaran tonsil dan hiperemis

 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak


pilar anterior – uvula.
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai
½ jarak anterior – uvula.
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai
¾ jarak pilar anterior – uvula.
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai
uvula atau lebih.
- Letargi
- Kesulitan menelan
- Demam
- Nyeri tenggorokan
- Kebersihan mulut buruk
- Pemeriksaan diagnostik
3. Pemeriksaan usap tenggorok
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan sebelum memberikan pengobatan, terutama
bila keadaan memungkinkan. Dengan melakukan pemeriksaan ini kita dapat
mengetahui kuman penyebab dan obat yang masih sensitif terhadapnya. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.

23
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
1. Pre Operasi
- Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
- Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.
- Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
- Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
- Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman
2. Post Operasi
- Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
- Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
- Kurang pengetahuan tentang diet berhubungan dengan kurang informasi

C. Intervensi
Pre Operasi
Dx 1: Kerusakan menelan berhubungan dengan proses inflamasi.
NOC: Perawatan Diri : Makan
Tujuan: Setelah dlakukan tindakan keperawatan terapi menelan selama 3 x24 jam
diharapkan tidak ada masalah dalam makan dengan skala 4 sehingga kerusakan menelan
dapat diatasi
Kriteria hasil:
- Reflek makan
- Tidak tersedak saat makan
- Tidak batuk saat menelan
- Usaha menelan secara normal
- Menelan dengan nyaman
Skala : 1. Sangat bermasalah
2. Cukup bermasalah
3. Masalah sedang
4. Sedikit bermasalah
5. Tidak ada masalah
NIC : Terapi menelan
Intervensi :
24
- Pantau gerakan lidah klien saat menelan
- Hindari penggunaan sedotan minuman
- Bantu pasien untuk memposisikan kepala fleksi ke depan untuk menyiapkan menelan.
- Libatkan keluarga untuk memberikan dukungan dan penenangan pasien selama
makan / minum obat.

Dx 2 : Nyeri akut berhubungan dengan pembengkakan jaringan tonsil.


NOC : Kontrol Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah dalam nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang
atau berkurang
Kriteria hasil :
- Mengenali faktor penyebab.
- Mengenali serangan nyeri.
- Tindakan pertolongan non analgetik
- Mengenali gejala nyeri
- Melaporkan kontrol nyeri
Skala: 1. Ekstream
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak Ada
NIC: Menejemen Nyeri
Intervensi :
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
- Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
- Berikan analgesik yang sesuai.
- Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
- Anjurkan pasien untuk istirahat.

25
Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
NOC : Fluid balance
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nutrisi selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah nutrisi dengan skala 4 sehingga ketidak seimbangan nutrisi
dapat teratasi
Kriteria hasil :
- Adanya peningkatan BB sesuai tujuan
- BB ideal sesuai tinggi badan
- Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
- Tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Manajemen nutrisi
- Berikan makanan yang terpilih
- Kaji kemampuan klien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
- Berikan makanan sedikit tapi sering
- Berikan makanan selagi hangat dan dalam bentuk menarik.

Dx 4: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit


NOC : Termoregulasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan fever treatment selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah dalam suhu tubuh dengan skala 4 sehingga suhu tubuh
kembali normal atau turun.
Kriteria hasil :
- Suhu tubuh dalam rentang normal
- Suhu kulit dalam batas normal
- Nadi dan pernafasan dalam batas normal.
Skala : 1. Ekstrem
2. Berat

26
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
NIC : Fever Treatment
- Monitor suhu sesering mungkin
- Monitor warna, dan suhu kulit
- Monitor tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
- Monitor intake dan output
- Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.

Dx 5: Cemas berhubungan dengan rasa tidak nyaman


NOC : Kontrol Cemas
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengurangan cemas selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah dengan kecemasan dengan skala 4 sehingga rasa cemas
dapat hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
- Ansietas berkurang
- Monitor intensitas kecemasan
- Mencari informasi untuk menurunkan kecemasn
- Memanifestasi perilaku akibat kecemasan tidak ada
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan

NIC : Pengurangan Cemas


- Sediakan informasi yang sesungguhnya meliputi diagnosis, treatmen dan prognosis.
- Tenangkan anak / pasien.
- Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan. (takhikardi, eskpresi
cemas non verbal)
- Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat.
- Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi

27
Post Operasi
Dx 6 : Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah, diskontinuitas jaringan.
NOC : Level Nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada masalah tentang nyeri dengan skala 4 sehingga nyeri dapat hilang
atau berkurang
Kriteria hasil :
- Melaporkan nyeri
- Frekuensi nyeri.
- Lamanya nyeri
- Ekspresi wajah terhadap nyeri
Skala : 1. Tidak pernah dilakukan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
NIC : Menejemen Nyeri
Intervensi :
- Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
- Ajarkan teknik non farmakologi dengan distraksi / latihan nafas dalam.
- Berikan analgesik yang sesuai.
- Observasi reaksi non verbal dari ketidanyamanan.
- Tingkatkan istirahat pasien.

Dx 7 : Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur infasif.


NOC: Kontrol Infeksi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan kontrol infeksi selama 3 x 24 jam
diharapkan tidak ada infeksi dengan skala 4 sehingga resiko infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil:
- Dapat memonitor faktor resiko
- Dapat memonitor perilaku individu yang menjadi faktor resiko
- Mengembangkan keefektifan strategi untuk mengendalikan infeksi.
- Memodifikasi gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko.
28
Keterangan Skala :
1: Tidak pernah menunjukkan
2: Jarang menunjukkan
3: Kadang menunjukkan
4: Sering menunjukkan
5: Selalu menunjukkan
NIC: Kontrol Infeksi
- Ajarkan teknik mencuci tangan dengan benar.
- Gunakan sabun anti mikroba untuk cuci tangan.
- Lakukan perawatan aseptik pada semua jalur IV.
- Lakukan teknik perawatan luka yang tepat.

Dx 8 : Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang mengenal informasi.


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan pengajaran pengobatan selama 3 x 24
jam diharapkan tidak ada masalah dengan kurang pengetahuan dengan skala 4 sehingga
pengetahuan pasien dan keluarga dapat bertambah
NOC : Knowledge: Diet
- Menyebutkan keuntungan dan diet yang
- Menyebutkan makanan-makanan yang diperbolehkan
- Menyebutkan makanan-makanan yang dilarang.
Ket: 1 : Tidak mengetahui
2 : Terbatas pengetahuannya
3 : Sedikit mengetahui
4 : Banyak pengetahuannya
5 : Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pengajaran Pengobatan
- Jelaskan kepada anak dan orang tua tentang tujuan obat.
- Informasikan kepada anak akibat tidak minum obat.
- Ajarkan anak untuk minum obat sesuai dnegan dosis.
- Informasikan kepada anak dan keluarga tentang efek samping

29
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

30
DAFTAR ISI

https://www.academia.edu/13132164/tonsilitis?auto=download
https://www.academia.edu/9527732/asuhan_keperawatan_pada_klien_dengan_tonsilitis_oleh
_kelompok_9_qory_putri_sandra_prima_alwi_yahya_rahmatullah_ratna_wuandari_sab
ila_hasanah_almafazah?auto=download
Rikmini, S. 2003. Buku Ajar Ilmu THT untuk Perawat. Edisi Pertama. Surabaya: FK Airlangga

Rusmarjono. 2003. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher Edisi 5. Jakarta: FKUI

Sakka I, Sedjawidada R., Kodrat L., Rahardjo SP. 2009. Kadar Imunoglobulin A Sekretori pada
Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum dan Setelah Tonsilektomi. Bagian Ilmu Kesehatan Telingan
Hidung Tenggorokan. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar- Indonesia.
Diakses: http//:www.cusabio.com/wenxian/206.pdf

Soepardi EA et Al. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-tenggorokan-kepala leher. 6th


ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 : 221

31

Anda mungkin juga menyukai