Anda di halaman 1dari 15

Prosiding

Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008


Universitas Lampung, 17-18 November 2008

PENGEMBANGAN VAKSIN MALARIA DENGAN RADIASI PENGION

Mukh Syaifudin, Siti Nurhayati dan Devita Tetriana


Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi
Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
Jl. Cinere Pasar Jum’at, PO BOX 7043 JKSKL Jakarta, 12070
email : mukh_syaifudin@batan.go.id

ABSTRAK

Malaria menyebabkan sekitar 300 juta kasus klinis dengan lebih dari 2 juta kematian
setiap tahun. Di Indonesia, sebanyak 1,8 juta kasus malaria ditemukan pada 2006 yang
bertambah sangat signifikan menjadi 2,5 juta pada tahun 2007 lalu. Program pemberantasan
malaria terkendala oleh semakin meluasnya plasmodium penyebab malaria yang resisten
terhadap obat. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah tindakan
pencegahan dengan imunisasi atau pemberian vaksin. Teknik nuklir dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan bahan vaksin karena lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknik
konvensional (pemanasan dan kimia) dimana respon imunnya lebih kuat dalam inang pasca
pemberian vaksin iradiasi. Pada dosis iradiasi yang optimum mikroorganisme tidak mampu
melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi. Hilangnya kemampuan infektif dari parasit
tersebut memungkinkan untuk memperoleh bahan yang layak untuk pembuatan vaksin. Hasil
studi awal menunjukkan bahwa dosis iradiasi 150-175 Gy dapat menurunkan daya infeksi
Plasmodium berghei dalam tubuh mencit yang ditunjukkan oleh periode prepaten yang panjang,
parasitemia dan jumlah kematian mencit yang rendah. Diharapkan dalam pengembangan bahan
vaksin iradiasi dapat ditemukan suatu sistem yang optimal dimana patogen kehilangan
kemampuan reproduktif dan virulensi akibat iradiasi sinar gamma, tetapi masih mampu memicu
respon imun dan tetap dapat mempertahankan viabilitas, aktivitas metabolik dan profil
antigeniknya.

Kata kunci : malaria, plasmodium, radiasi pengion, faktor geografi, genetika, respon imun.

1. PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang menempatkan 2,5 milyar manusia
berisiko dan menyebabkan lebih dari 300-900 juta kasus klinis dengan 1-3 juta kematian setiap
tahunnya (artinya 2 kematian per menit), terutama wanita dan anak-anak di Afrika dan Asia
Tenggara (WHO, 2005; Luke TC and Hoffman SL, 2003, Syafruddin D dkk, 2005). Malaria
tersebar di 109 negara dengan tingkat risiko hingga 40% (Luke TC and Hoffman SL, 2003).
Malaria disebabkan oleh parasit bersel tunggal, plasmodium, yang ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk Anopheles betina terinfeksi. Di dalam tubuh manusia, plasmodium
memiliki siklus hidup yang sangat komplek. Sekitar tahun 1950-an World Health Organization
(WHO) menyatakan optimis bahwa penyakit malaria dapat diberantas melalui cara antara lain
dengan pemberantasan nyamuk, terkontrolnya lingkungan serta pemberian obat anti-malaria

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-98


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

seperti kloroquin (WHO, 2005). Di Indonesia, masalah malaria terbukti hampir teratasi di Jawa
dan Bali melalui program KOPEM (Komando Pemberantasan Malaria) pada tahun enam
puluhan (Depkes, 2003) namun hanya dalam beberapa tahun.
Kasus malaria ternyata terus bertambah di banyak negara di dunia terutama benua
Afrika. Distribusi malaria di dunia disajikan dalam Gambar 1. Epidemi bahkan terjadi di daerah
yang transmisinya telah berhasil dihilangkan. Kejadian ini pada umumnya berhubungan dengan
memburuknya kondisi sosial dan ekonomi dan korban pertama adalah masyarakat kelas bawah.
Tekanan demografi, ekonomi dan politik memaksa suatu populasi membuka lahan baru
sehingga mengganggu stabilitas ekologi termasuk tempat perindukan vektor malaria.
Perpindahan masyarakat tersebut dan urbanisasi yang besar-besaran tidak selalu disertai
pembangunan sanitasi dan fasilitas kesehatan yang memadai. Diketahui di suatu daerah konflik,
krisis ekonomi dan kekacauan administrasi menyebabkan terbengkelainya pelayanan kesehatan.
Tidak adanya pelayanan kesehatan yang memadai merupakan faktor utama munculnya
resistensi parasit terhadap obat yang sebelumnya diketahui efektif seperti mefloquin, sulfadoxin
dan pirimetamin. Resistensi terhadap obat tersebut telah ditemukan pada beberapa kasus malaria
di Indonesia (Syafruddin D dkk, 2005).

Gambar 1. Distribusi malaria di dunia dimana Afrika merupakan tempat yang paling banyak
ditemukan kasus malaria.

Sebagai negara tropis Indonesia masih merupakan tempat penyebaran penyakit endemik
malaria dimana 15 juta orang terinfeksi malaria setiap tahunnya (WHO, 2005). Lebih dari 90
juta penduduk Indonesia tinggal di daerah endemik malaria. Dari sekitar 30 juta kasus malaria
setiap tahun, hanya sekitar 10% saja yang mendapat pengobatan di fasilitas kesehatan. Pada
tahun 2000 diperkirakan terjadi 30.000 kematian akibat malaria. Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 2001 memperkirakan prevalensi malaria sebesar 850,2 per 100.000 penduduk
dengan angka tertinggi di Gorontalo dan angka kematian akibat malaria adalah 11 per 100.000
untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan (Depkes, 2003). Dibandingkan dengan

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-99


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

tahun 2004, jumlah kasus malaria tercatat bertambah sebesar 41,5% pada tahun 2005. Angka
kejadian malaria terbesar terjadi di propinsi-propinsi bagian timur Indonesia. Di Irian Jaya
tercatat 16.771 kasus malaria pada pertengahan tahun 2004, sedangkan di Jawa paling tidak
terdapat 660 kasus dimana malaria merupakan penyakit yang timbul kembali (re-emerging
disease). Di Aceh, melalui Program Roll Back Malaria Partnership berhasil mendiagnosa
sebanyak 20.440 kasus malaria. Laporan terakhir menyebutkan 1,8 juta kasus malaria di seluruh
Indonesia pada 2006, yang bertambah signifikan menjadi 2,5 juta pada 2007 (Jakarta Post,
2008).
Sesuai dengan kesepakatan negara-negara WHO, untuk meningkatkan upaya
pengendalian malaria maka pada tahun 1998 telah dibentuk suatu gerakan pengendalian yang
intensif secara global yakni Roll Back Malaria Initiative (RBMI) dan di Indonesia dikenal
dengan Gerakan Berantas Kembali Malaria (Gebrak Malaria) yang dicanangkan Menteri
Kesehatan di Kupang pada 8 April 2000. Gebrak Malaria adalah gerakan nasional seluruh
komponen masyarakat untuk memberantas malaria secara intensif melalui kemitraan antara
pemerintah, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat dan badan-badan internasional serta
penyandang dana (Anonim, 2006).

2. MALARIA, PLASMODIUM DAN VAKSIN


Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya,
hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus
Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil) serta demam
berkepanjangan. Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga
malaria tropika yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian
besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak,
menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh
Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana
atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi
terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari (Anonim, 2004).
Ciri utama genus plasmodium ini adalah siklus hidupnya terjadi dalam dua inang yang
berbeda. Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk Anopheles betina sebagai vektor
penyebaran parasit melalui gigitan nyamuk. Siklus aseksual terjadi dalam tubuh manusia
(Trager W, 1986; Anonim, 2000). Dari empat spesies parasit penyebab malaria, Plasmodium
falciparum merupakan parasit yang predominan (>95% kasus) dan diketahui paling ganas
karena dapat mengakibatkan kematian balita. Parasit yang masuk ke penderita akan menuju ke
hati dan berubah menjadi merozoites, kemudian masuk ke aliran darah, menginfeksi sel darah

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-100


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

merah, dan berkembang biak (Gambar 2). Sebelum muncul gejala panas tinggi dan flu, inkubasi
parasit terjadi selama 10-14 hari. Tetapi gejala dapat muncul satu tahun berikutnya setelah
seseorang terjangkit. Penyakit malaria tersebut tidak lepas dari berbagai pengaruh yang
menimbulkan wabah, yaitu faktor lingkungan, nyamuk sebagai vektornya, dan faktor genetik
dari parasit itu sendiri. Kekebalan tubuh alamiah sebenarnya sangat efektif menahan serangan
parasit tetapi tidak mampu menghancurkan parasit secara tuntas dimana patogen tetap mampu
berkembang biak dalam tubuh seseorang yang kebal secara klinis. Parasit mampu menyelinap
dalam sistem imun dan memiliki trik untuk bertahan. Sekali berada di dalam sel, protein-protein
tertentu muncul dipermukaannya (Okiro E et al., 2007). Oleh karena diperlukan suatu pencetus
daya imun dalam tubuh.

Gambar 2. Siklus hidup plasmodium penyebab malaria yang disebarkan oleh nyamuk
Anopheles yang menginjeksikan sporozoit dan dapat dijadikan sebagai kandidat bahan vaksin.

Pengobatan malaria yang ideal adalah pengobatan untuk membunuh parasit dalam darah,
membunuh sporozoit dan bentuk-bentuk ekstraeritrositer untuk mencegah relapse dan
membunuh gametosit untuk mencegah terisap oleh nyamuk sehingga tidak terjadi penularan
kepada orang lain. Namun sampai saat ini belum ada obat yang memenuhi kriteria tersebut.
Berbagai macam obat telah dipergunakan namun kendala utama adalah toksisitas dan efek
samping seperti hemoglobinuria dan blackwater fever, disamping resistensi parasit terhadap
obat seperti kloroquin, quinine, fansidar dam mefloquine (Sandjaja, 2007).
Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah malaria tersebut adalah tindakan
pencegahan dengan pemberian vaksin. Penelitian dan pengembangan vaksin terus mengalami
kemajuan antara lain melalui Malaria Vaccine Technology Roadmap yang bertujuan untuk
mempercepat pengembangan vaksin sehingga diharapkan pada tahun 2025 telah diperoleh

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-101


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

vaksin dengan efektivitas lebih dari 80% dengan daya proteksi lebih dari 4 tahun serta aman
(WHO, 2005). Dalam pengembangan vaksin dapat dipergunakan bahan berdasarkan tahapan
siklus hidup plasmodium maupun metode untuk melemahkan atau mematikan plasmodium.
Berdasarkan stadium dari plasmodium, vaksin stadium eritrositik digunakan untuk
menghambat pertumbuhan dan perkembangan plasmodium di dalam sel eritrosit untuk
mereduksi parsial parasitemia serta mengurangi manifestasi klinis yang timbul (Wijayanti MA
dkk, 1997). Sedangkan vaksin stadium sporozoit digunakan untuk menghambat infeksi
plasmodium. Vaksin bentuk aseksual merupakan vaksin penghambat transmisi dan membantu
mencegah munculnya parasit yang resisten terhadap obat atau varian parasit yang dapat
meloloskan diri dari vaksin pre-eritrositik maupun eritrositik (Harijanto, 2000). Vaksin pre-
eritrositik merupakan vaksin yang ideal untuk penduduk di daerah non endemis atau
pengunjung yang akan masuk ke daerah endemis karena vaksin ini dapat memberikan
perlindungan hingga 90%. Vaksin malaria yang efektif melindungi tubuh terhadap infeksi dan
komplikasi malaria sampai saat ini masih belum ditemukan (Reeder JC et al., 1997).
Pengembangan vaksin paling awal adalah menggunakan protein circumsporozoite (CS)
parasit (SPf66) yang merupakan antigen permukaan paling dominan dari fase pre-eritrositik,
namun reaktogenisitas dan imunogenitasnya rendah. Vaksin yang lain adalah kombinasi antara
antigen dari sporozoit dan merozoit (Patarroyo ME, 2005) dimana penerapannya di Gambia
tidak menemukan efek yang nyata. Vaksin rekombinan berdasarkan protein CS kemudian
dikembangkan menggunakan Pseudomonas aeruginosa (A9) namun imunitas pada tahap awal
tidak muncul setelah inokulasi dan tidak ada peningkatan respon limfosit-T. Vaksin NYVAC-
Pf7 yang merupakan vaksin multi-stage dibuat menggunakan tujuh gen antigen P. falciparum
dari tahap- tahap siklus hidupnya. Meskipun vaksin tersebut menunjukkan respon imun seluler
hingga 90% namun tidak ada respon antibodi spesifik. Demikian juga vaksin lain yang masih
dalam taraf uji pra-klinis dan klinis seperti NANP19-5.1, RTS,S dan vaksin DNA (Shi YP et al.,
1999; Wang R. et al., 1998), serta vaksin DNA berbasis poli-epitope–modified vaccinia Ankara
strain (MVA) (Schneider J et al., 1998).
Hambatan pengembangan vaksin malaria adalah karena kompleksnya siklus hidup P.
falciparum sehingga perlu usaha pengembangan multi-stage vaccine, suatu vaksin yang dapat
menginduksi respons imun yang protektif terhadap setiap tahapan siklus hidup P. falciparum.
Vaksin ini mengandung beberapa subunit vaksin yang masing-masing terdiri dari satu atau
beberapa subunit vaksin yang bekerja pada setiap stadium sehingga diharapkan efektivitasnya
tinggi. Hambatan lain dalam pengembangan vaksin yang efektif adalah adanya polimorfisme
dan protein antigen kandidat vaksin karena bentuk alelle yang berbeda akan memberikan
perbedaan kemampuan untuk pengenalan respons imun tubuh (Sandjaja, 2007).

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-102


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Adanya variasi geografi dari P. falciparum, sehingga P. falciparum yang terdapat di


dalam suatu daerah dapat berbeda dengan P. falciparum yang terdapat di daerah lain, sehingga
vaksin yang efektif untuk suatu daerah belum tentu efektif untuk daerah lain (Safitri I et al.,
2003). Yang juga menjadi masalah adalah mudahnya terjadi mutasi gen Plasmodium falciparum,
termasuk gen yang menyandi protein kandidat vaksin, sehingga vaksin yang saat ini efektif
belum tentu masih efektif dalam 4 tahun ke depan. Hasil riset terbaru menyatakan bahwa P.
falciparum terus mengubah bentuk protein yang ditinggalkan pada sel yang terinfeksi sehingga
cukup menyulitkan sistem kekebalan tubuh. Walaupun demikian, hal ini tidak membuat para
peneliti menjadi pesimistis terhadap penemuan vaksin terhadap penyakit malaria yang benar-
benar efektif. Perbedaan pun ditemui di antara strain plasmodium itu sendiri. Beberapa strain
dapat dengan mudah dikultur secara in vitro, sementara yang lainnya rentan terhadap
pengkulturan seperti P. falciparum. Isolat pun dapat mengalami perubahan saat dikultur
(Srinivas SD and Puri SK, 2002; Reber-Liske R, 1983).

3. PENGEMBANGAN VAKSIN DENGAN RADIASI PENGION


Penelitian malaria di BATAN difokuskan pada pengembangan vaksin iradiasi sejak
2005 yang dimasukkan sebagai Sasaran Utama BATAN melalui Usulan Kegiatan
Pengembangan teknik deteksi resistensi penyebab penyakit berpola infeksi berbasis teknologi
nuklir, salah satunya adalah tuberkulosis (Syaifudin M dkk, 2005; Syaifudin M dkk, 2006).
Dalam penelitian awal vaksin malaria telah dilakukan penentuan dosis iradiasi sinar gamma
optimal yang melemahkan parasit sebagai bahan dasar vaksin menggunakan model P. berghei
stadium eritrositik dimana daya infeksinya menurun namun mampu mengaktifkan respon imun
mencit. Plasmodium berghei dan inang mencit merupakan model yang cocok untuk
mempelajari malaria. Pengaruh dosis iradiasi terhadap daya infeksi parasit dievaluasi dari
periode prepaten, persentase parasitemia, dan mortalitas mencit. Hasil studi awal menunjukkan
bahwa dosis iradiasi 75-125 Gy belum mampu melemahkan plasmodium, hal ini ditunjukkan
oleh parasitemia yang terus meningkat (virulensi) dan semua mencit mati pada hari ke 16-22
paska inokulasi pertama. Sedangkan dosis iradiasi 150-175 Gy dapat menurunkan daya infeksi
yang ditunjukkan oleh periode prepaten yang panjang, parasitemia dan jumlah kematian mencit
yang rendah (Darlina dan Tetriana D, 2007) (Gambar 3). Perlakuan booster (inokulasi kedua
pada dua minggu setelah inokulasi pertama) dengan plasmodium yang diiradiasi 150 Gy mampu
meningkatkan respon imun mencit karena terjadi penurunan densitas parasit dalam darah. Hasil
penelitian lain mengenai viabilitas P. falciparum pada Macaca fascicularis menunjukkan bahwa
ternyata tidak ada gejala klinis muncul akibat infeksi plasmodium.

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-103


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

30

Densitas P.berghei (%)


25
20
15
10
5
0
0 3 5 7 9 13 18 21 26
Waktu Pengam atan (Hari)
0 75 100 125 150 175

Gambar 3. Parasitemia dalam darah mencit Swiss yang diimunisasi dengan P. berghei yang
dilemahkan dengan beberapa dosis iradiasi.
Pemberian vaksin malaria idealnya disesuaikan dengan tahap perkembangan
plasmodium yaitu pra-eritrosit, aseksual dan seksual (WHO, 2005; Depkes, 2003, Anonim,
2005) yang menentukan imunitas dan daya proteksi seseorang. Vaksin pra-eritrosit merupakan
vaksin yang ideal untuk diberikan kepada penduduk di daerah non endemis atau pengunjung
yang akan masuk ke daerah endemis karena vaksin ini dapat memberikan perlindungan hingga
90%. Vaksin ini dihasilkan dengan melemahkan parasit stadium sporozoit menggunakan sinar
gamma dosis 150 – 200 Gy (WHO, 2001). Vaksin stadium eritrositik dibedakan menjadi anti-
komplikasi dan anti-invasi. Untuk anti-komplikasi, pemberian vaksin stadium aseksual
bertujuan untuk menghambat perkembangan merozoit dan mengurangi angka kesakitan
penderita pada daerah endemis. Sedangkan untuk anti-invasi, pemberian vaksin seksual
bertujuan untuk mencegah atau mengurangi transmisi parasit ke inang baru (Anonim, 2005).
Sejak tahun 1980 kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler dan ilmu kesehatan telah
mempercepat identifikasi protein dari P. falciparum yang spesifik untuk setiap tahapan dan
epitope serta mekanisme dan respon imun inang. Pengetahuan ini telah dijadikan petunjuk
dalam pengembangan sejumlah kandidat vaksin (Richie TL and Saul A, 2000; Long CA and
Hoffman SL, 2002).
Berdasarkan metode yang digunakan untuk melemahkan atau mematikan plasmodium,
pembuatan vaksin dapat dilakukan dengan metode fisika seperti pemanasan dan radiasi, atau
metode kimia yakni menggunakan suatu senyawa spesifik, maupun metode biologi seperti
modifikasi genetik. Pelemahan Plasmodium dengan teknik iradiasi merupakan salah satu cara
pembuatan vaksin yang handal dan dapat menggunakan seluruh tahapan hidup plasmodium
yang mampu melindungi dari malaria. Penelitian vaksin dengan iradiasi dimulai sejak 1967 oleh
Nussenzweig dkk (1967) yang membuktikan bahwa imunisasi mencit dengan sporozoit
Plasmodium berghei yang diatenuasi dengan radiasi mampu memproteksi tantangan sporozoit

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-104


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

infektif. Penelitian ini dilanjutkan oleh banyak peneliti lain antara lain dengan menggunakan
sukarelawan dengan hasil yang cukup memuaskan baik untuk Plasmodium falciparum maupun
Plasmodium vivax. Penyakit yang bervektor-nyamuk ini telah memacu para peneliti di berbagai
belahan dunia termasuk di BATAN mengembangkan metode berbasis teknologi nuklir untuk
pembuatan vaksin.
Radiasi dalam menimbulkan efeknya dapat dikatakan spesifik. Kerusakan asam deoksi
ribonukleat (DNA) merupakan kejadian kritis dalam sel yang terkena radiasi dan patahan untai
ganda (double strand breaks) merupakan lesi DNA utama yang bertanggung jawab terhadap
munculnya efek biologi dari radiasi pengion. Radiasi pengion memiliki ciri khusus karena
kemampuannya untuk menetrasi sel dan jaringan dan memberikan energinya pada sel dalam
bentuk ionisasi. Tidak seperti agen kimia, radiasi bukan organ-spesific dalam menginduksi
suatu efek. Toksisitasnya tidak bergantung pada absorpsi, ekskresi atau lokalisasinya dalam
tubuh. Proses ini juga tidak bergantung pada adanya sisi ikat (binding) atau reseptor yang
spesifik dalam sel, dan juga tidak pada mekanisme aktivasi atau detoksifikasinya yang umum
dijumpai pada agen kimia yang genotoksik (Ward JF, 1995). Dengan demikian radiasi pengion
juga memiliki karakteristika yang unik sebagai agen genotoksik dalam hal kerusakan DNA yang
dihasilkan.
Radiasi sinar gamma dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu imunogen yang
potensial untuk vaksin dan memicu pembentukan antibodi yang optimal dalam menahan
serangan infeksi parasit selanjutnya (Mendis KN, 1991; Hook RH, 2003). Yadev MS. dkk
(1982) telah membuktikan bahwa pemberian vaksin iradiasi dari P. berghei lebih dari satu kali
dapat memperpanjang masa hidup mencit dan lebih kebal dibandingkan dengan satu kali
imunisasi. Telah diketahui dosis irradiasi optimal untuk melemahkan P. berghei adalah 150 –
200 Gy. Hal ini sesuai dengan penelitian Waki S. dkk (1983) yang menyatakan bahwa dosis
optimal untuk menghambat pertumbuhan sporozoit P. falciparum adalah antara 150 -200 Gy.
Pajanan radiasi sinar gamma dapat menimbulkan efek pada agen penyakit berupa virus,
bakteri, protozoa dan cacing. Dalam pembuatan bahan vaksin, jenis radiasi yang biasanya
digunakan adalah sinar gamma yang memiliki daya tembus tinggi dan panjang gelombang
pendek (Hall EJ, 1994). Dosis iradiasi yang optimum akan menghancurkan DNA, sehingga
membuat mikroorganisme tidak mampu melakukan replikasi dan tidak menimbulkan infeksi.
Hilangnya kemampuan infektif dari parasit memungkinkan untuk memperoleh bahan yang
layak untuk pembuatan vaksin. Dengan demikian parasit dapat dinonaktifkan dengan
mempertahankan sifat-sifat parasit seperti hemoaglutinasi, antigenisitas dan lain sebagainya.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan percobaan, keberhasilan memperoleh bahan tidak aktif
ini bergantung pada faktor eksternal seperti dosis radiasi, laju dosis, jenis radiasi, suhu dan sifat

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-105


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

inang dimana parasit berada selama proses, dan juga karakteristik parasit itu sendiri seperti
komposisi DNA inti atau pada sifat struktur molekulnya.
Sebagai pelopor utama pengembangan vaksin dengan radiasi sinar gamma adalah
Hoffman dkk dari Amerika Serikat yang menyatakan bahwa stadium yang paling efektif untuk
mengatasi malaria adalah stadium sporozoit dengan dosis radiasi antara 150-200 Gy (Hoffman
SL, 2002). Dosis radiasi optimum tersebut cukup untuk mengatenuasi sporozoit,
membiarkannya memasuki sel hati yang sebagian diantaranya mampu berkembang biak tetapi
tidak mampu menjadi shizon tahap-hati dewasa, dan oleh karenanya mengeliminir kemampuan
menginfeksi eritrosit. Dengan menggunakan sukarelawan, penelitian Hoffman membuktikan
bahwa imunisasi dengan gigitan nyamuk terinfeksi P. falciparum strain tertentu yang diiradiasi
sinar gamma 150 Gy mampu memproteksi tantangan gigitan nyamuk pembawa P. falciparum
dalam 2-9 minggu. Namun gigitan kurang dari jumlah tertentu dan lebih dari 9 minggu tidak
bersifat protektif lagi. Pemberian tantangan kedua pada sukarelawan yang sebelumnya
terproteksi juga mampu bersifat protektif hingga 23-42 minggu. Hasil-hasil tersebut
menyiratkan bahwa imunisasi dengan gigitan nyamuk pembawa sporozoit dari P. falciparum
teratenuasi sinar gamma adalah aman dan ada toleransi serta mampu bersifat protektif paling
tidak selama 42 minggu.
Vaksin yang dibuat menggunakan teknik iradiasi dibagi menjadi dua macam, yaitu
vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin dengan bahan dasar organisme hidup
yang telah dilemahkan dengan iradiasi, sedangkan vaksin inaktif adalah vaksin dengan bahan
dasar organisme yang dimatikan dengan iradiasi. Vaksin inaktif sendiri dibagi menjadi dua,
yaitu vaksin aktif rekombinan dan non rekombinan. Vaksin inaktif rekombinan diperoleh
dengan cara melemahkan organisme terlebih dahulu melalui teknik rekombinan setelah itu
diinaktivasi dengan iradiasi. Vaksin inaktif non rekombinan adalah pemakaian iradiasi untuk
inaktivasi organisme patogen secara langsung (Anonim, 2005). Vaksin aktif yang telah
dilemahkan biasanya digunakan untuk parasit yang bersifat intraselular yang berasal dari
protozoa dan cacing. Keuntungan vaksin aktif ini adalah dapat mengaktifkan seluruh fase sistem
imun, meningkatkan respon imun terhadap seluruh antigen (proses inaktivasi dapat
menyebabkan perubahan antigenisitas), durasi imunisitas lebih panjang, biaya lebih murah,
lebih cepat menimbulkan respon imunitas, dan mudah dibawa ke lapangan.
Berdasarkan percobaan pada parasit (Hoffman SL et al., 2002) atau bakteri
(Rachmilewitz D et al., 2004) dan sel ragi (Demicheli MC et al., 2006) diketahui bahwa vaksin
iradiasi lebih efektif karena mampu menstimulasi respon protektif dari sel imun (sel T) melalui
protein toll-like receptor dan tidak perlu disimpan dalam ruang dingin. Meskipun vaksin yang
dibuat dengan pemanasan atau kimia lebih aman dan mudah dibuat akan tetapi respon imunnya

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-106


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

lebih kecil. Hoffman SL. dkk (2002) menyatakan bahwa stadium yang paling efektif untuk
mengatasi malaria adalah menggunakan stadium sporozoit yang diiradiasi dengan dosis optimal
antara 150 – 200 Gy. Dosis sinar gamma optimal dan efektif untuk setiap bentuk dari tahapan
perkembangan plasmodium masih perlu dikaji lebih lanjut. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa pelemahan patogen dengan iradiasi lebih baik daripada pemanasan. Para peneliti
menyimpulkan beberapa mekanisme dimana pemanasan dapat menyebabkan inaktivasi seluler
meliputi kerusakan DNA, penghambatan sintesis protein, kerusakan membran sel dan inaktivasi
metabolik kritik. Dengan demikian terdapat beberapa perubahan selama inaktivasi dengan
pemanasan (Hoffman SL et al., 2002).
Plasmodium berghei merupakan model yang sangat cocok untuk penelitian
perkembangan biologi parasit malaria sekaligus untuk memperoleh vaksin ditunjang dengan
kemajuan penelitian malaria seperti telah diketahuinya teknologi untuk pengkulturan secara in
vitro termasuk penyempurnaan metode kultur dan cara sinkronisasi, dan cara-cara memproduksi
serta memurnikan berbagai tahap siklusnya dalam skala besar. Di samping itu juga telah
diketahui secara lengkap mengenai deret dan organisasi genomiknya, metodologi modifikasi
genetik parasit serta karakterisasi hasil pengklonan dan modifikasi genetik seperti parasit
transgenik yang mengekspresi suatu gen yang khas atau penghilangan gen-gen virulensi (Jobe O
et al., 2007), termasuk pengkulturan in vitro Plasmodium falciparum (Kim YA et al., 2007).
Riset menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh manusia akan menyerang sporozoit
malaria jika sebelumnya dipajankan pada parasit yang telah dilemahkan dengan radiasi. Sampai
saat ini para peneliti percaya bahwa vaksin potensial ini akan memicu respon imun karena
parasit menghabiskan waktu lebih lama di dalam hati untuk memproduksi molekul yang dikenal
sebagai ”antigen” dimana sistem kekebalan kita menggunakanya untuk mengenali malaria.
Akan tetapi sekarang suatu tim yang dipimpin oleh Ana Rodriguez di New York University
School of Medicine, Amerika Serikat (Rodriguez A et al., 1999) mengemukakan suatu infomasi
baru bahwa sel-sel hati yang terinfeksi parasit malaria yang dilemahkan akan melakukan
program bunuh diri segera setelah infeksi. Program bunuh diri merupakan suatu taktik dari
tubuh kita untuk menghancurkan sel yang tidak diinginkan, terluka, atau terinfeksi yang
membahayakan organisme dan oleh karenanya akan terhindar dari penyakit. Parasit malaria
biasanya melawan sistem protektif ini. Akan tetapi peneliti lain berpendapat bahwa parasit yang
lemah setelah diiradiasi mungkin tidak mampu melakukannya. Sel yang melakukan bunuh diri
kemudian ditelan oleh yang lain yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Oleh
karenanya pemajanan pada antigen parasit akan membuat sistem kekebalan mengenali dan
menghancurkan sporozoit malaria. Dengan demikian terori yang terakhir ini memperkuat
keterangan sebelumnya bahwa iradiasi menunda waktu antigen yang diproduksi oleh parasit.

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-107


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Hoffman, pemimpin Perusahaan Sanaria di AS yang meneliti vaksin malaria mengatakan bahwa
penelitian sangat berguna untuk menyibak cara-cara/mekanisme respon kekebalan bekerja.
Meskipun belum memperoleh bukti yang menyeluruh mengenai teori bunuh diri namun
merupakan suatu bukti yang meyakinkan. Penelitian saat ini memasuki babak percobaan klinis
untuk mengetahui efektivitas dan kemanjuran vaksin dari parasit yang dilemahkan dengan
iradiasi.

4. PENUTUP
Vaksin untuk malaria masih terus dikembangkan, namun sejauh ini belum diperoleh
vaksin yang efektif. Tujuan utama pemberian vaksin adalah terbentuknya antibodi dalam tubuh
seseorang. Jika menggunakan sporozoit maka diharapkan terbentuk antibodi anti-sporozoit, dan
jika digunakan merozoit maka diharapkan terbentuk antibodi anti-merozoit (Syafruddin D dkk,
2005; Good M et al., 1988). Pemberian vaksin merupakan jalan paling sesuai untuk
pengendalian malaria. Pembuatan bahan vaksin dapat dilakukan dengan menggunakan seluruh
tahapan siklus hidup atau salah satu tahapan yang diisolasi dari agen penginfeksi yang
diatenuasi atau dinon-aktifkan dengan beberapa metode fisika maupun kimia.
Salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam penanganan penyakit infeksi
khususnya untuk pembuatan vaksin adalah dengan menggunakan teknik nuklir (Anonim, 2005;
Benneth C et al., 2002; Gibco Invitrogen Corporation, 2000; Sanakkayala N et al., 2005;
Ramamoorthy S et al., 2006; Jenkins MC, 2002). Vaksin iradiasi terbukti dapat merangsang
sistem imun pada inang untuk melawan infeksi oleh organisme patogen. Young BA (1981)
dalam percobaannya menyatakan bahwa iradiasi dapat mengubah agen penyakit patogen
menjadi non patogen yang mampu menstimulasi sistem kekebalan dalam tubuh. Smith NC
(1992) juga menyatakan bahwa teknik nuklir/iradiasi dapat melemahkan agen penyakit tanpa
menghilangkan daya imunogeniknya dan mampu meningkatkan daya kekebalan pada hewan
yang dicobakan. Secara teknis iradiasi merupakan proses sederhana yang mampu
mempertahankan sifat struktural mikroorganisme patogen tanpa menghancurkan antigen
alamiah atau suatu adjuvant intrinsik. Oleh karena itu suatu respon imun yang kuat akan
terbentuk pada inang yang diberi vaksin (Biello D, 2006).

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Malaria: Epidemiologi, patogenesis dan manifestasi klinis, edited by Harijanto,
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anonim. 2004. Malaria pada manusia, Info Penyakit Menular; Dirjen Pemberantasan Penyakit
Menular & Penyehatan Lingkungan, DepKes RI, 2 Desember 2004.

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-108


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Anonim. 2005. Parasite control, Nature reviews/immunology, Nature publishing group.

Anonim. 2006. Rencana Kerja (Renja) Program Pengendalian Malaria 2005-2009, Subdit
Malaria, Direktorat PPBB, Direktorat Jenderal PP&PL, Departemen Kesehatan RI.

Benneth, C., Thatcher, S., Tolman-Hulsberg, J., Powers, M., Milwardm, H., Nielsen, D., and
Teng, D.H.F. 2002. Comparison of gamma-irradiated and triazol-treated RNA
viruses using the joint biological agent identification and diagnostic, Idaho
Technology Inc., Salt Lake City, UT.

Biello, D. 2006. Irradiated pathogens used to create potent vaccine, Science News, July 26, 2006.

Darlina dan Tetriana, D. 2007. Daya infeksi Plasmodium berghei stadium eritrositik yang
diiradiasi sinar gamma, Prosiding Pertemuan Ilmiah PTKMR Jakarta, 2007.

Demicheli, M.C., Reis, B.S., Goes, A.M., De Andrade, A.S.R. 2006. Paracoccidioides
brasiliensis: attenuation of yeast cells by gamma irradiation, Mycoses, 49(3), 184-
189.

Departemen Kesehatan. 2003. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah
kasus malaria dan penyakit lainnya pada 2015.

Gibco Invitrogen Corporation. 2000. Effectiveness of inactivation by gamma irradiation for


powder trypsin products, Grand Island, USA.

Good, M. Pombo, D. and Quakyi, I. 1988. Human T-Cell Recognition of the Circumsporozoite
Protein of Plasmodium falciparum: Immunodominant T-Cell Domains Map to the
Polymorphic Regions of the Molecule, PNAS, 85, 1199-1203.

Hall, E.J. 1994. Radiobiology for the radiobiologist, Lippincott Williams and Walkin,
Philadelphia.

Harijanto, P. 2000. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis dan Manifestasi Klinis dan Penanganan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Hoffman, S.L., Goh, M.L., Luke, T.C. 2002. Protection of humans against malaria by
immunization with radiation-attenuated Plasmodium falciparum, The Journal of
Infectious Diseases, 185, 1155 – 1164.

Hook, R.H., Green, T.J. and Stuart, M.K. 2003. Rheumatoid factor-like IgM in Plasmodium
berghei (Apicomplexa Haemosporida) infections of Balb /C mice, Folia
parasitologica 50, 176-182.

Jakarta Post. 2008. Malaria cases in Indonesia increases to about 3M in 2007: Health Official
Says, January 21.

Jenkins, M.C. 2002. Advances and prospects for subunit vaccines againsts protozoa of
veterinary importance, Veterinary Parasitology 101, Elsevier, 291-310.

Jobe, O., Lumusden, J., Mueller, A.K., Williams, J., Silva-Rivera, H., Kappe, S.H., Schwenk,
R.J., Matuschwski, K., and Krzych, U. 2007. Genetically attenuated Plasmodium
berghei liver stages induce sterile protracted protection that is mediated by major

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-109


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

histocompatibility complex Class I-dependent interferon-gamma-producing CD8+


Tcells, J. Infect. Dis, 196(4), 599-607.

Kim Y.A., Cha, J.E., Ahn, S.Y., Ryu, S.H., Yeom, J.S., Lee, H.I., Kim, C.G., Seoh, J.Y., and
Park, J.W. 2007. Plasmodium falciparum cultivation using the Petri Dish :
revisiting the effect of the “age” of arythrocytes and the interval of medium change,
J. Korean Med. Sci., 22(6), 1022-1025.

Long, C. A. and Hoffman, S. L. 2002. Parasitology: malaria - from infants to genomics to


vaccines, Science 297, 345 -347.

Luke, T.C. and Hoffman, S.L. 2003. Rationale and plans for developing a non-replicating,
metabolically active, radiation-attenuated Plasmodium falciparum sporozoite
vaccine, The Journal of Experimental Biology, 206, 3803-3808.

Mendis, K.N. 1991. Malaria vaccines research. In Malaria: waiting for the vaccine, Ed. Targett
GAT. John Wiley& Sons, England.

Nussenzweig, R. et al. 1967. Protective immunity produced by the injection of x-irradiated


sporozoites of Plasmodium berghei. Nature, 216, 160.

Okiro, E., Hay, S., Gikandi, P., Sharif, S., Noor, A., Peshu, N., Marsh, K., and Snow, R. 2007.
The decline in paediatric malaria admissions on the coast of Kenya. Malarial
Journal, 15;6 (1), 151-155.

Patarroyo, ME. 2005. The current status and future plans for the Malaria Vaccine Technology
Roadmap, Fourth MIM Pan-African Malaria Conference, Yaounde, Cameroon.

Rachmilewitz, D. et al. 2004. Toll-like receptor 9 signaling mediates the anti-inflammatory


effects of probiotics in murine experimental colitis, Gastroenterology, 126, 520-528.

Ramamoorthy, S., Lindsay, D.S., Schurig, G, Boyle, S.M., Duncan, R.B., Vemulapalli, R., and
Srirangathan, S. 2006. Vaccination with gamma-irradiated Neospora caninum
tachyzoites protects mice against acute challenge with N.caninum, J. Eukaryot.
Microbiol., 53(2), 151-156.

Reber-Liske, R. 1983. A labour-saving method for the in vitro culture of Plasmodium


falciparum, Acta Trop., 40(1), 39-43.

Reeder, J.C., Davern, K.M., Baird, J.K., Rogerson, S.J., and Brown, G.V. 1997. The age-
specific prevalence of Plasmodium falciparum in migrants to Irian Jaya is not
attributable to agglutinating antibody repertoire, Acta Tropica, 65(3), 163-173.

Richie, T. L. and Saul, A. 2000. Progress and challenges for malaria vaccines. Nature 415, 694 -
701.

Rodriguez, A. et al. 1999. Selective transport of internalized antigens to the cytosol for MHC
class I presentation in dendritic cells, Nat Cell Biol. 1, 362–368.

Safitri, I., Jalloh, A., Tantular, I.S., Pusarawati, S., Thida Win, T., Liu, Q., Frreira, M.U.,
Dachlan, Y.P., Horii, T., Kawamoto, F. 2003. Sequence diversity in the amino-

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-110


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

terminal region of the malaria-vaccine candidate serine repeat antigen in natural


Plasmodium falciparum populations, Parasitology International, 52(2), 117-131.

Sanakkayala, N., Sokolovska, A., Gulain, J., Hogenesch, H., Sriranganthan, N., Boyle, S,
Schurig, G., and Vemulapalli, R. 2005. Induction of antigen-specific Th1-type
Immune Responses by Gamma-Irradiated recombinant Brucella abortus RB51,
Clinical and diagnostic laboratory immunology, American Society for Microbiology.

Sandjaja, B. 2007. Parasitologi Kedokteran Buku I: Protozoologi Kedokteran, Prestasi Pustaka


Publisher, Jakarta.

Schneider, J. et al. 1998. Enhanced immunogenicity for CD8+ T cell induction and complete
protective efficacy of malaria DNA vaccination by boosting with modified vaccinia
virus Ankara, Nat Med., 4, 397-402.

Shi, Y.P. et al. 1999. Immunologenicity and in vitro protective efficacy of a recombinant
multistage Plasmodium falciparum candidate vaccine, Proc. Natl. Acad. Sci. USA,
96, 1615-1620.

Smith, N.C. 1992. Concepts and strategies for anti-parasite immunoprophylaxis and therapy, Int.
J. For Parasite, 22, 1047.

Srinivas, S.D. and Puri, S.K. 2002. Time course of in vitro maturation of intra-erythrocytic
malaria parasite: a comparison between Plasmodium falciparum and Plasmodium
knowlesi, Mem Inst Oswaldo Cruz, 97(6), 901-903.

Syaifudin, M. dkk. 2005. Identifikasi M. tuberculosis dengan PCR dupleks dan analisis
resistensinya dengan SSCP radioaktif, Prosiding Presentasi Ilmiah Keselamatan
Radiasi dan Lingkungan XI, Jakarta, 21 Desember 2005.

Syaifudin, M., Marialina, R. dkk. 2006. Implementasi teknik nuklir untuk analisis resistensi
Mycobacterium tuberculosis terhadap rifampisin, Prosiding Pertemuan dan
Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir,
Yogyakarta, 10 Juli 2006.

Syafruddin, D., Asih, P.B., Casey, G.J., Maguire., J., Baird, J.K., Nagesha, H.S., Cowman, A.F.,
Reeder, J.C. 2005. Molecular Epidemiology of Plasmodium falciparum Resistance
to Antimalarial Drugs in Indonesia, Am. J. Trop. Med. Hyg., 72(2), 174-181.

Trager, W. 1986. Living together. The biology of animal parasitism. Plenum Press, New York.

Waki, S., Yonome, I., and Suzuki, M. 1983. Plasmodium falciparum: attenuation by irradiataion,
Exp. Parasitology, 56(3), 339-345.

Wang, R. et al. 1998. Induction of antigen-specific cytotoxic T lymphocytes in humans by a


malaria DNA vaccine, Science, 282, 476-479.

Ward, J.F. 1995. Radiation Mutagenesis: The Initial DNA Lesions Responsible, Radiation
Research, 142, 362-368.

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-111


Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008
Universitas Lampung, 17-18 November 2008

Wijayanti, M.A., Soeripto, N., Supargiyono, Fitri, L.E. 1997. Pengaruh Imunisasi Mencit
dengan Parasit Stadium Eritrositik terhadap Infeksi Plasmodium berghei, Berkala
Ilmu Kedokteran, 29(2), 53-59.

World Health Organization/Roll Back Malaria. 2001. Malaria early warning systems – concepts,
indicators and partners. A framework for field research in Africa, Geneva : The
organization.

World Health Organization, 2005. Initiative for Vaccine Research, State the art of vaccine
research and development, http:/www.who.int/vaccines-documents.

Yadev, M.S., Sekaran, S.D., and Dhaliwal, J.S. 1982. Induction of protection in rats and mice
with radiation attenuate Plasmodiium berghei (in: Nuclear Techniques in the Study
of Parasitic Infections, Proc. Symp. Vienna, 11) IAEA, Vienna 76.

Young, B.A. 1981. Nuclear techniques in animal agriculture, IAEA Bulletin 23, p. 47.

ISBN : 978-979-1165-74-7 IV-112

Anda mungkin juga menyukai