TINJAUAN PUSTAKA
1.1.3 Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:1448) patofisiologi gagal ginjal kronik
dimulai dari fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya diekskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah, maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis.
Gangguan Klirens renal, banyak masalah muncul pada gagal ginjal
sebagai akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya
dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya
filtrasi glomerulus (Akibat tidak berfungsinya glomeruli) klirens kreatinin
akan menurun dan kadar kreatinin serum akan meningkat.Selain itu, kadar
nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan
indikator yang paling sensitif dari fungsi renal karena substansi ini
diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi oleh
penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
(Jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
Retensi cairan dan natrium, ginjal juga tidak mampu
mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit
ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Pasien sering menahan natrium
dan cairan, meningkatkan resiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis renin
angiotensin dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetus
risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis, dengan semakin berkembangnya penyakit renal terjadi
asidosis metabolik sering denga ketidakmampuan ginjal mengekskresikan
muatan asam yang berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat
ketidakmampuan tubulus ginjal untuk menyekresi amonia dan mengabsorpsi
natrium bikarbonat. Penurunan ekskresi fosfat dan asma organik lain juga
terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan
kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien,
terutama dari saluran gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi normal
yang diproduksi oleh ginjal, menstimulasi sum-sum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada gagal ginjal, produksi eritropoetin
menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan, angina, dan sesak
napas.
Ketidakseimbangan kalsium dan fosfat, abnormalitas utama yang lain
pada gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.
Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal
balik, jika salah satunya meningkat maka yang lain akan turun. Menurunnya
filtrasi melelui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum
dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan sekresi parathormon dari kelenjar paratiroid. Namun
demikian, pada gagal ginjal tubuh berespons secara normal terhadap
peningkatan sekresi parathormon dan akibatnya, kalsium ditulang menurun,
menyebabkan perubahan pada tulang dan penyakit tulang. Selain itu,
metabolit aktif vitamin D yang secara normal dibuat di ginjal menurun
seiring dengan berkembang gagal ginjal. Penyakit tulang uremik, sering
disebut osteodistrofi renal, terjadi dari perubahan kompleks kalsium, fosfat,
dan keseimbangan parathormon. Laju penurunan fungsi ginjal dan
perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasari, ekskresi protein dalam urin, dan adanya hipertensi. Pasien yang
mengekskresikan secara signifikan sejumlah protein atau mengalami
peningkatan tekanan darah cenderung akan cepat memburuk dari pada
mereka yang tidak mengalami kondisi ini.
Menurut Muhammad (2012:34) tahap-tahap gagal ginjal kronik, pada
tahap awal gagal ginjal kronik ditandai dengan adanya penurunan cadangan
ginjal, kemudian terjadi indufisiensi ginjal, gagal ginjal dan tahap akhir
penyakit ini diakhiri dengan uremia. Berikut tahap-tahap perkembangan
penyakit gagal ginjal kronis selengkapnya:
Pathway
Menurut Muttaqin, Arif (2011:168)
Pasien asimtomatik
GFR menurun
Gangguan perfusi
jaringan
1.1.5 Komplikasi
a. Hiperkalemia
Diakibatkan penurunan ekskresi, asidosis metabolik, katabolisme, dan
masukan diet berlebihan.
b. Perikarditis
Efusi perikardial, dan temponade jantung akibat retensi produk sampah
uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
c. Hipertensi
Disebabkan oleh retensi cairan dan natrium, serta malfungsi sistem renin
angioaldosteron.
d. Anemia
Disebabkan oleh penurunan eritroprotein, rentang usia sel darah merah, dan
pendarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah selama
hemodialisa.
e. Penyakit Tulang
Hal ini disebabkan oleh retensi fosfat kadar kalium serum yang rendah, metabolisme
vitamin D, abnormal, dan peningkatan kadar aluminium.
2.1.1 Pengkajian
2.1.3 Intervensi
Intervensi:
1. Kaji faktor yang menimbulkan keletihan:
1) Anemia.
2) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
3) Retensi produk sampah.
4) Depresi.
Rasional: Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
2. Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat di
toleransi; bantu jika keletihan terjadi.
Rasional: Meningkatkan aktivitas ringan/sedang dan memperbaiki
harga diri.
3. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
Rasional: Mendorong latihan dan aktivitas dalam batas-batas yang
dapat ditoleransi dan istirahat yang adekuat.
4. Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
Rasional: Istirahat yang adekuat di anjurkan setelah dialisis, yang bagi
banyak pasien sangat melelahkan.
2.2.3.6 Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan
peran, perubahan pada citra diri dan disfungsi seksual.
Tujuan: Memperbaiki konsep diri.
Kriteria hasil:
Mekanisme koping yang diterapkan positif dan pasien tidak rendah diri.
Intervensi:
1. Kaji respon dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan
penanganan.
Rasional: Menyediakan data tentang masalah pada pasien dan keluarga
terhadap penyakit dan penanganan.
2. Kaji hubungan antara pasien dengan anggota keluarga terdekat.
Rasional: Penguatan dan dukungan terhadap pasien diidentifikasi.
3. Kaji pola koping pasien dan anggota keluarga.
Rasional: Pola koping yang telah efektif di masa lalu mungkin potensial
destruktif ketika memandang pembatasan yang ditetapkan akibat
penyakit dan penanganan.
4. Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat penyakit
dari penanganan:
1) Perubahan peran.
2) Perubahan gaya hidup.
3) Perubahan dalam pekerjaan.
4) Perubahan seksual.
5) Ketergantungan pada tim tenaga kesehatan.
Rasional: Pasien dapat mengidentifikasi masalah dan langkah-langkah
yang diperlukan untuk menghadapinya.
5. Gali cara alternatif untuk ekspresi seksual lain selain hubungan seksual.
Rasional: Bentuk alternatif ekspresi seksual dapat diterima.
6. Diskusikan peran memberi dan menerima cinta, kehangatan, dan
kemesraan.
Rasional: Seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi tiap individu,
tergantung pada tahap maturitasnya.
2.2.3.7 Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (Jarum infus, jarum
cimino/hemodialisa).
Tujuan: Pasien tidak mengalami infeksi.
Kriteria hasil:
Leukosit dalam batas normal dan pasien tidak mengalami infeksi.
Intervensi:
1. Lakukan teknik aseptik saat melakukan tindakan invasif baik itu infus
dan jarum cimino (Jarum hemodialisa).
Rasional: Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap
kemungkinan terjadi infeksi.