Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Amerika, prevalensi LES adalah 1 kasus per 2000 penduduk pada populasi
umum. Karena kesulitan diagnosis dan kemungkinan banyak kasus tidak terdeteksi,
sebagian besar peneliti menyarankan bahwa prevalensi mungkin lebih dekat ke 1 kasus
per 500-1000 populasi. Data prevalensi LES di Indonesia sampai saat ini belum ada.
Jumlah penderita LES di Indonesia menurut Yayasan Lupus Indonesia (YLI) sampai
dengan tahun 2005 diperkirakan mencapai 5000 orang. Keterlibatan ginjal pada LES
merupakan manifestasi penyakit yang umum dijumpai dan merupakan prediktor kuat
luaran yang buruk. Prevalensi penyakit ginjal pada 8 studi kohort besar yang terdiri atas
2649 pasien LES bervariasi antara 31-65%. Suatu studi menganalisis insidensi tahunan
dari nefritis pada 384 pasien lupus di John Hopkins Medical Center antara 1992-1994,
dan didapatkan insidensi penyakit ginjal akut sebesar 10 persen. Berdasarkan data dari
Asia, keterlibatan renal berkisar antara 6-100% secara keseluruhan. Secara histologis,
ginjal terpengaruh sampai derajat tertentu pada kebanyakan pasien dengan LES.
Perkiraan prevalensi keterlibatan ginjal secara klinis pada pasien LES berkisar antara 30-
90% pada studi-studi yang sudah dipublikasikan. Prevalensi sesungguhnya dari nefritis
lupus klinis pada pasien LES kemungkinan sekitar 50%, lebih sering pada anak-anak dan
etnis tertentu (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
LES lebih sering pada orang kulit hitam dan ras Hispanik dibandingkan kulit
putih. Nefritis lupus yang berat terutama lebih sering ditemukan pada orang kulit hitam
dan ras Asia dibandingkan ras lain. Karena prevalensi LES lebih tinggi pada wanita (rasio
wanita:pria = 9:1), lupus nefritis juga lebih sering dijumpai pada wanita (Hahn et al,
2012). Kebanyakan pasien dengan LES terkena nefritis lupus pada awal perjalanan
penyakitnya. LES lebih sering terjadi pada wanita di dekade ketiga kehidupannya, dan
nefritis lupus juga sering terjadi pada pasien usia 20-40 tahun. Anak dengan LES
memiliki risiko penyakit ginjal lebih tinggi daripada dewasa dan lebih sering mengalami
cedera akibat penyakit yang agresif dan toksisitas akibat pengobatan. Selama 4 dekade
terakhir, perubahan dari manajemen nefritis lupus telah banyak meningkatkan
kemungkinan hidup pasien. Saat ini rata-rata 10 year survival rate dari LES telah melebihi
90%. Sebelum tahun 1955, 5-year survival rate kurang dari 50%. Penurunan mortalitas
terkait SLE dapat merupakan kontribusi diagnosis lebih awal (termasuk kasus ringan),
perbaikan pengobatan spesifik dan kemajuan ilmu kedokteran secara umum. Morbiditas
dari nefritis lupus terkait dengan penyakit ginjalnya sendiri, selain komplikasi pengobatan
dan morbiditas seperti penyakit kardiovaskular dan trombosis. Gagal ginjal progresif
dapat berakhir pada anemia, uremia dan gangguan asam basa serta elektrolit. Hipertensi
akan semakin meningkatkan risiko penyakit jantung koroner dan stroke. Sindroma
nefrotik dapat menimbulkan edema, asites dan hiperlipidemia. Komplikasi infeksi yang
terkait SLE aktif dan pengobatan imunosupresi saat ini merupakan penyebab utama
kematian pada SLE fase awal yang aktif, dan arteriosklerosis dini adalah penyebab kunci
mortalitas pada fase lanjut. Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita
usia 35-44 tahun dengan LES adalah 50 kali lebih mudah mengalami iskemia miokardial
dibandingkan wanita sehat(Meivina Ramadhani Pane, 2011).

B. Rumusan masalah
1) Apa pengertian lupus nefritis ?
2) Apa penyebab penyakit lupus nefritis ?
3) Apa saja klasifikasi lupus nefritis ?
4) Bagaimana manifestasi klinis dari lufus nefritis ?
5) Bagaimana penatalaksanaan dari lupus nefritis ?
6) Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien lupus nefritis ?

C. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :


1) Agar mahasiswa mengetahui definisi lufus nefritis
2) Agar mahasiswa mengetahui penyebab penyakit lufus nefritis
3) Agar mahasiswa mengetahui klasifikasi lupus nefritis
4) Agar mahasiswa mengetahui manifestasi klinis dari lupus nefritis
5) Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan dari lupus nefritis
6) Agar mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien lupus nefritis
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Nefritis Lupus


Nefritis Lupus (NL) adalah merupakan salah satu komplikasi ginjal pada Lupus
Eritematosus Sistemik (LES) atau Sistemik Lupus Erithematosus (SLE) (Meivina
Ramadhani P, 2011).Nefritis lupus adalah suatu proses inflamasi ginjal yang disebabkan
oleh Sistemik Lupus Erithematosus, yaitu suatu penyakit autoimun. Selain ginjal, SLE
juga dapat merusak kulit,sendi, system saraf dan hampir semua organ dalam tubuh ( Arif
Mansjoer, 2001).

B. Pathogenesis Nefritis Lupus


Lupus nefritis timbul pada waktu antibody antinuklear (anti-DNA) melekat pada
antigennya (asamdeoksiribonukleat/DNA) dan diendapkan pada glomerolus ginjal.
Biasanya DNA tidak bersifat antigenik pada orang normal tetapi dapat menjadi antigenik
pada penderita SLE. Komplemen terfiksasi pada kompleks imun ini, dan proses
peradangan dimulai. Akibatnya dapat terjadi peradangan ginjal, kerusakan jaringan. Dan
pembentukan jaringan parut(Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995).
Kira-kira 65 % dari penderita SLE akan mengalimi ganguan pada ginjalnya.
Tetapi hanya 25% yang menjadiberat. NL diketahui dengan melakukan pemeriksaan
adanya protein dan sel darah merah/ silender di dalam air kemih. Untuk mendapatkan
diagnosis pasti mungkin perlu dilakukan biopsi ginjal(Price, Sylvia A., Lorainne M.
Wilson. 1995).
Pathogenesis timbulnya SLE diawali oleh adanya interaksi antara factor
predisposisi genetic (seperti HLA-β haplotipe, antigen DRW2 dan DRW5, defisiensi C2-
inhorn, HLA-DR2 dan HLA-DR3) dengan factor lingkungan, factor hormone seks, dan
factor system neuro endrokrin. Interaksi factor-faktor ini akan mempengaruhi dan
mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan auto-antibodi
(DNA-antiDNA). Sebagian auto antibody akan membentuk komplek imun bersama
nukleosom (DNA-histon), kromatin, C1q, lamini, Ro (SS-A), ubiquitin, dan ribosom;
yang kemudian akan membentuk deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan.
Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan
imunofluoresen atau mikroskop electron (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Gambaran klinik kerusakan glomerulus berhubungan dengan lokasi terbentuknya
deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal
terhadap membrane basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh
darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan
membentuk kemoatrakan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influx sel netrofil
dan mononuclear (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan
gambaran mesangial, proliferative local, dan proliferative difus, secara klinis memberikan
gambaran sedimen urin aktif (ditemukan eritrosit, leukosit, selinder sel dan granular),
proteinuria dan sering disertai penurunan fungsi ginjal (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Sedangkan deposit pada subepitel juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak
terjadi influx sel-sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membrane basalis
glomerulus dari sirkulasi. Sehingga jejas hanya terbatas pada sel-sel epitel
glomerulus.Secara histopatologi memberikan gambaran nefropati membranosa, dan
secara klinis hanya didapatkan proteinuri (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik antigen
dan antibody (Meivina Ramadhani Pane, 2011):
 Komplek imun yang besar atau antigen yang anionic, yang tidak dapat melewati
sawar dinding kapiler glomerulus yang juga bersifak anionic, akan diendapkan dalam
mesangium dan subendotel. Banyak deposit imun ini akan menentukan apakah pada
pasien akan berkembang gejala penyakit yang ringin (deposit imun pada mesangium),
atau terdapat gejala yang lebih besar (proliferative fokal atau difus)
 Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun dihubungkan dengan
muatan antibody dan daerah tempat berikatan dengan antigen. Antibody dapat
berikatan sehingga menimbulkan manifestasi histologist dan klinis yang berbeda.
C. Pathway
Pencetus (initiating even):
(infeksi, terbentuknya antigen-
antibody , penyakit sistemik)

Membrane Kapiler
glomerolus mengalami
inflamasi

Meningkatkan permebilitas Menurunkane GFR


glomerolus (glomerolus Filtration
Rate)/laju filtrasi glomerolus

Hematuria Proteinuria
Azotemia Renin angiotensin
teraktifasi oleh
system aldosteron

Hipoalbunemia Sodium dan retensi cairan

Edema Hipertensi

D. Klasifikasi Nefritis Lupus


Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai
yang sangat penting. Gambaran ini mempunyai hubungan dengan gejala klinis yang
ditemukan pada pemeriksaan dan juga menentukan pilihan pengobatan yang akan
diberikan. Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histopatologi dan lokasi dari imun
kompleks. Jika pasien tidak dapat dilakukan biopsi ginjal maka untuk menentukan
klasifikasi nephritis lupus dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan WHO,
(Kasjmir, Yoga I, Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo,
Zuljasri Albar, et al. 2011).
Tempat Gambaran Klinis
Kelas Pola deposit Protenuria Kreatinin Tekanan Anti-
Sedimen C3 / C4
komplek imun (24 jam) serum darah dsDNA
Tidak
I Normal Tidak ada <200 mg Normal Normal Negatif Normal
ada
Eritrosit / 200-500
II Mesangial Mesangial saja Normal Normal Negatif Normal
tidak ada mg
Fokal dan Mesangial, Normal Normal
Eritrosit, 500-3500
III segmental subendotelial, sampai sampai Positif Menurun
leukosit mg
proliferative ±subepitelial meningkat meningkat

Berikut ini tabel klasifikasi menurut WHO pada pasien Nephritis Lupus:
ringan sedikit
Normal
Eritrosit, Positif
Mesangial, sampai
Difus leukosit, 1000→35 sampai
IV subendotelial, tergantung Tinggi Menurun
proliferative silinder 00 mg Titer
±subepitelial saat
eritrosit tinggi
dialisis
Normal Negatif
Membranou Mesangial, Tidak sampai sampai
V >3000 mg Normal Normal
s subepitalial ada meningkat Titer
sedikit sedang
Sumber : Appel GB, Silva FG, Pirani CL.
Tabel ini hanyalah panduan, parameter bervariasi, biopsi diperlukan untuk
ketepatandiagnosis.

Sedangakan International Society Neprology/ Renal Pathologi Society (ISN / RPS)


membuat klasifikasi baru NL.Klasifikasi baru ini terutama berdasarkan pada perubahan
glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan
pemeriksaan imfluoresen dapat ditemukn deposit imun pada semua kompartemen ginjal.
Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas immunoglobulin, terbanyak ditemukan deposit
IgG dengan co-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa diidentifikasi
komplemen C3 dan C1q (Meivina Ramadhani Pane, 2011).

Tabel International Society of Nephrology / Ginjal Pathology Society (ISN / RPS)


2003 klasifikasi lupus nephritis(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
a Menunjukkan proporsi glomeruli dengan aktif dan dengan lesi sklerotik.
b Menunjukkan proporsi glomeruli dengan nekrosis fibrinoid dan / atau crescent
selular.
Indikasi dan grade (ringan, sedang, berat) tubular atrofi, peradangan interstitial
dan fibrosis, tingkat keparahan arteriosclerosis atau lesi vaskular lainnya.
Kelas I Mesangial lupus nephritisminimal
Glomeruli normal dengan mikroskop cahaya, tetapi terdapat deposit
imun mesangial dengan imunofluoresensi
Kelas II Proliferatif mesangial lupus nephritis
Hypercellularity Murni mesangial dari setiap tingkat atau perluasan
matrix mesangial dengan mikroskop cahaya, dan terdapat deposit
imun mesangial
Mungkin beberapa deposito tersisih di subepitel atau
subendothelialyang terlihat oleh immunofluorescence atau
mikroskop elektron, tapi tidak dengan mikroskop cahaya
Kelas III Lupus nefritis Focala
Fokal aktif atau tidak aktif, segmental atau global yang endo-atau
glomerulonefritis extracapillary melibatkan <50% dari semua
glomeruli, biasanya dengan deposit imun subendothelial fokal,
dengan atau tanpa perubahan mesangial
Kelas III (A) Lesi aktif: fokalterdapat proliferasi lupus nephritis
Kelas III (A / Aktif dan kronis lesi: fokal terdapat proliferasi dan sclerosa lupus
C) nephritis
Kelas III (C) Lesi aktif kronis dengan bekas luka glomerular: focal sclerosa
lupus nephritis
Kelas IV Diffuse lupus nephritisb
Aktif atau tidak aktif difus, segmental atau global yang endo-atau
glomerulonefritis extracapillary melibatkan ≥ 50% dari semua
glomeruli, biasanya dengan deposit imun subendothelial difus,
dengan atau tanpa perubahan mesangial. Kelas ini dibagi menjadi
segmental difus (IV-S) lupus nefritis ketika ≥ 50% dari glomeruli
terlibat memiliki lesi segmental, dan menyebar global yang (IV-G)
lupus nephritis ketika ≥ 50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi
global. Segmental diartikan sebagai lesi glomerulus yang
melibatkan kurang dari setengah dari glomerulus. Kelas ini
termasuk kasus dengan kawat difus lingkaran deposito tapi dengan
sedikit atau tanpa proliferasi glomerulus
Kelas IV-S Lesi aktif: difus segmental proliferatif lupus nephritis
(A)
Kelas IV-G Lesi aktif: difus global yang proliferatif lupus nephritis
(A)
Kelas IV-S (A Lesi aktif dan kronis: diffuse segmental proliferasi dan sclerosing
/ C) lupus nephritis
Lesi aktif dan kronis: difus proliferasi global dan sclerosing lupus
nephritis
Kelas IV-S Lesi aktif kronis dengan bekas luka: difus segmental sclerosing
(C) lupus nephritis
Kelas IV-G Lesi aktif kronis dengan bekas luka: difus global yang sclerosing
(C) lupus nephritis
Kelas V Membran lupus nephritis
Deposit imun subepitel global atau segmental atau morfologi
mereka sequelae dengan mikroskop cahaya dan dengan
imunofluoresensi atau mikroskop elektron, dengan atau tanpa
perubahan mesangial
Kelas V lupus nefritis dapat terjadi dalam kombinasi dengan kelas
III atau IV dalam kasus ini kedua akan didiagnosis
Kelas V lupus nephritis menunjukkan maju sclerosis
Kelas VI Lanjutan sklerosis lupus nephritis
≥ 90% dari glomeruli global sclerosed tanpa aktivitas residual

Berikut ini tabel definisi dari klasfikasikan oleh ISN/RPS maupun WHO pada tahun
2003:
Diffuse: Sebuah lesi yang melibatkan sebagian besar (≥ 50%) glomeruli
Focal:Sebuah lesi melibatkan <50% dari glomeruli
Global:Sebuah lesi yang melibatkan lebih dari setengah dari glomerulus
Segmental:Sebuah lesi yang melibatkan kurang dari setengah dari glomerulus
(misalnya, setidaknya setengah dari glomerulus terhindar)
Hypercellularity mesangial:Setidaknya tiga sel mesangial per daerah mesangial di
bagian 3 mikron tebal
Endocapillary proliferasi:hypercellularity Endocapillary karena peningkatan jumlah
sel mesangial, sel endotel, dan infiltrasi monosit, dan menyebabkan penyempitan
lumina kapiler glomerulus
Proliferasi Extracapillary atau sabit seluler:proliferasi sel Extracapillary lebih dari
dua lapisan sel menempati seperempat atau lebih dari lingkar kapsul glomerular
Karyorrhexis:Kehadiran apoptosis, pyknotic, dan terfragmentasi inti
Necrosis:Lesi ditandai dengan fragmentasi inti atau gangguan dari membran basal
glomerulus, sering dikaitkan dengan adanya bahan-kaya fibrin
Hialin trombi:Bahan eosinophilic Intracapillary dari konsistensi homogen yang
dengan imunofluoresensi telah terbukti terdiri dari deposito kekebalan
Proporsi terlibat glomeruli:Dimaksudkan untuk menunjukkan persentase total
glomeruli terkena lupus nephritis, termasuk glomeruli yang sclerosed akibat lupus
nephritis, tetapi tidak termasuk glomeruli iskemik dengan perfusi memadai karena
patologi vaskuler terpisah dari lupus nephritis
Angka 1-6. (1) Lupus nefritis kelas II. Mikrografi cahaya dari glomerulus dengan
hypercellularity mesangial ringan [periodik asam-Schiff (PAS)]. (2) Lupus nefritis kelas
III (A). Mikrografi cahaya menunjukkan glomerulus dengan segmental hypercellularity
endocapillary, hypercellularity mesangial, dinding kapiler penebalan, dan awal
segmental nekrosis kapiler (methenamine silver). (3) Lupus nefritis kelas III (A).
Mikrografi cahaya menunjukkan glomerulus dengan nekrosis kapiler segmental,
vaskulitis seperti lesi (methenamine silver). (4) kelas Lupus nefritis IV-G (A). Mikrografi
cahaya menunjukkan glomerulus dengan keterlibatan global endocapillary dan
mesangial hypercellularity dan ekspansi matriks, masuknya leukosit, dan terkadang
terdapat kontur ganda (methenamine silver). (5) kelas Lupus nefritis IV-S (A). Segmen
dari glomerulus menunjukkan hypercellularity endocapillary, dinding kapiler kontur
ganda, lesi wireloop, dan hialin trombus (PAS). (6) kelas Lupus nefritis IV-G (A / C).
Mikrograf cahaya dari glomerulus menunjukkan proliferasi globalendo dan
extracapillary, lesi wireloop, masuknya leukosit, badan-badan apoptosis, nekrosis
kapiler, dan ekspansi mesangial dengan hypercellularity dan matriks ekspansi; ditandai
infiltrasi inflamasi interstitial (PAS).
Kelas I
Kelas I didefinisikan sebagai minimal mesangial lupus nephritis dengan
akumulasi mesangial kompleks imun diidentifikasi oleh imunofluoresensi, atau dengan
imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tanpa perubahan mikroskopis cahaya secara
bersamaan.

Kelas II
Kelas II didefinisikan sebagai mesangial proliferatif lupus nephritis (Gambar 1)
ditandai dengan hypercellularity mesangial (didefinisikan sebagai tiga atau lebih sel
mesangial per daerah mesangial di bagian 3 mikron tebal) dihubungan dengan deposit
imunmesangial. Dengan immunofluorescence atau mikroskop elektron, mungkin ada
sedikit isolasi deposit imun yang jarang melibatkan dinding kapiler perifer dalam
beberapa contoh kelas II. Namun, identifikasi endapan subendothelial dengan mikroskop
cahaya akan menunjukan kelas III atau kelas IV tergantung pada tingkat dan distribusi
deposito subendothelial. Demikian pula, kehadiran kerusakan glomerulus global atau
segmental yang ditafsirkan sebagai sequela dari sebelumnya proliferasi glomerulus
endocapillary, nekrosis atau crescent tidak sesuai dengan kelas II dan akan konsisten
dengan baik kelas III atau kelas IV tergantung pada jumlah glomeruli bekas luka.

Kelas III
Kelas III didefinisikan sebagai nefritis lupus focal melibatkan kurang dari 50%
dari semua glomeruli. Glomeruli yang terkena biasanya menampilkan lesi proliferatif
segmental endocapillary(Gambar 2) atau bekas luka glomerular aktif, dengan atau tanpa
nekrosis dan crescentdinding kapiler, dengan deposito subendothelial (biasanya distribusi
segmental). Dalam menilai luasnya lesi, glomeruli dengan lesi aktif dan sklerotik akan
diperhitungkan. Perubahan mesangial fokal atau difus (termasuk proliferasi mesangial
atau deposit imun mesangial) dapat disertai lesi glomerulus fokal. Dalam studi patologi
dari tujuh pusat berbeda pada 50 kasuslupus glomerulonefritis, untuk total 350 spesimen,
kelas III lesi yang ditemukan hampir selalu segmental dan jarang global. Lesi seperti
vaskulitis ditandai dengan nekrosis kapiler segmental tanpa ditemukan adanya proliferasi
endocapillary (Gambar 3).
Dalam laporan,parameter aktivitas dan kronisidapatdijelaskan pada table 6.
Padadiagnostik, proporsi glomeruli dipengaruhi oleh lesi aktif dan kronis, nekrosis
fibrinoid dan crescent. Selain itu, kehadiran bermacam-macam tubulointerstitial atau
pathologi pembuluh darah harus dilaporkan. Skema baru ini dapat memfasilitasi korelasi
proporsi glomeruli dipengaruhi oleh aktif, necrosis, lesi kronis dan hasil klinis. Diagnosis
spesifik dari kombinasi kelasIII dan kelas V membutuhkan keterlibatan membran
minimal 50% dari luas permukaan kapiler glomerulus minimal 50% dari glomeruli
dengan mikroskop cahaya atau immunofluorescence.
Active lesions
Endocapillary hypercellularity with or without leukocyte infiltration and with
substantial luminal reduction
Karyorrhexis
Fibrinoid necrosis
Rupture of glomerular basement membrane
Crescents, cellular or fibrocellular
Subendothelial deposits identifiable by light microscopy (wireloops)
Intraluminal immune aggregates (hyaline thrombi)
Chronic lesions
Glomerular sclerosis (segmental, global)
Fibrous adhesions
Fibrous crescents
Gambar 7-12. (7) Lupus nephritis class IV-G (A/C). glomerulus dengan proliferasi
global endokapilllary, masuknya leukosit, terdapat sel-sel apoptosis, double garis, bentuk
crecent (sabit)dengan transformasi tubular, sklerosis awal, early sclerosis, dan gangguan
kapsul Bowman (8) kelas Lupus nefritis IV-G (A). Glomerulus dengan deposit imun
subendotelial yang luas (wireloop lesion) terkait dengan formasi baru membran basal
sepanjang sisi dalam dari kapiler tapi tanpa endocapillary infiltrasi leukosit atau
hypercellularity (methenamine silver). (9) kelas Lupus nefritis V. Glomerulus dengan
stadium lanjut lupus nefropati membranosa ditandai dengan akumulasi deposit imun
yang besar di subepitel (immunofluorescence) dan interdigitating pembentukan lonjakan
(methenamine silver). (10) Lupus nefritis kelas IV dan V (A / C). Glomerulus dengan
lupus nefropati membranosa dengan formasi lonjakan subepitel dikombinasikan dengan
endocapillary global dan hypercellularity mesangial, pembentukan sabit awal, dan dari
mesangial dan sclerosis kapiler (methenamine silver). (11) kelas Lupus nefritis VI.
Korteks ginjal menunjukkan hampir menyebar, sclerosis glomerular global yang disertai
dengan fibrosis interstitial, infiltrat inflamasi mononuklear, dan sclerosis vaskuler
(methenamine silver). (12) mikroangiopati trombotik pada pasien dengan SLE dan
beredar anticoagulans. Glomerulus menunjukkan kapiler parah dan trombosis arteriol,
pembengkakan sel endotel dan nekrosis, neutrofil masuknya, dan stasis eritrosit. Tidak
ada tanda-tanda deposit imun (methenamine silver).

Kelas IV
Kelas IV didefinisikan sebagai difus lupus nephritis yang melibatkan 50% atau
lebih dari glomeruli di biopsi. Dalam glomeruli yang terkena, lesi seperti yang dijelaskan
di bawah ini mungkin segmental, yang didefinisikan sebagai hemat setidaknya setengah
dari glomerulus, atau global, didefinisikan sebagai melibatkan lebih dari setengah dari
glomerulus. Kelas ini dibagi menjadi diffuse segmental lupus nephritis (kelas IV-S)
ketika> 50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi segmental, dan menyebar lupus nefritis
dunia (kelas IV-G) ketika> 50% dari glomeruli terlibat memiliki lesi global (Gambar 4).
Kelas IV-S biasanya menunjukkan segmental proliferasi endocapillary melanggar pada
lumina kapiler dengan atau tanpa nekrosis (Gambar 5), dan dapat ditumpangkan pada
bekas luka glomerular didistribusikan sama. Kelas IV-G ditandai dengan difus dan
endocapillary global, extracapillary, atau proliferasi mesangiokapiler atau wireloops luas.
Setiap lesi aktif dapat dilihat dengan kelas IV-G, termasuk karyorrhexis, lingkaran kapiler
nekrosis, dan pembentukan sabit (Gambar 6 dan 7⇑). Contoh langka yang luas (diffuse
dan global) subendothelial deposito glomerular dengan sedikit atau tanpa proliferasi
(Gambar 8) juga harus dimasukkan dalam kategori ini. Subdivisi baru untuk segmental
dan lesi global yang didasarkan pada bukti yang menunjukkan bahwa difus lupus
nephritis segmental mungkin memiliki hasil yang berbeda dari lupus nephritis difus
global. Dalam studi percontohan dari tujuh pusat yang berbeda disebutkan di atas, 35%
dari 135 biopsi kelas IV mengungkapkan distribusi terutama segmental dari lesi, sebagai
lawan dari 65% yang menunjukkan distribusi didominasi global. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa nekrosis fibrinoid biasanya berhubungan dengan hypercellularity
endocapillary dan karena itu mungkin menjadi ekspresi yang lebih parah dari mekanisme
patogenetik yang sama.
Dalam laporan tersebut, parameter aktivitas dan kronisitas (Tabel 6) harus
dijelaskan. Pada baris diagnostik, proporsi glomeruli dipengaruhi oleh lesi aktif dan
kronis dan nekrosis fibrinoid oleh atau crescent harus ditunjukkan. Selain itu, kehadiran
patologi tubulointerstitial atau pembuluh darah harus dilaporkan dalam garis diagnostik.
Hal ini diakui bahwa deposito subepitel tersebar yang biasa terlihat di biopsi kelas
IV. Oleh karena itu, diagnosis gabungan kelas IV dan kelas V dijamin hanya jika deposit
subepitel melibatkan setidaknya 50% dari luas permukaan kapiler glomerulus dalam
setidaknya 50% dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau mikroskop
immunofluorescence.
Dalam menilai luasnya lesi, baik lesi aktif dan sklerotik akan diperhitungkan.
Dengan cara ilustrasi, biopsi ginjal berisi total 20 glomeruli, yang ada lesi proliferatif
segmental aktif dalam empat dan segmental lesi bekas luka tidak aktif dalam sepuluh
harus ditunjuk kelas IV-S lupus nephritis.

Kelas V
Kelas V didefinisikan sebagai membran lupus nephritis (Gambar 9) dengan
granular subepitel deposit imun berkelanjutan global atau segmental, sering dengan
mesangial bersamaan deposit imun. Setiap tingkat hypercellularity mesangial dapat
terjadi di kelas V. Tersebar deposit imun subendothelial dapat diidentifikasi dengan
imunofluoresensi atau mikroskop elektron. Jika ada dengan mikroskop cahaya, deposito
subendothelial menjamin diagnosis gabungan lupus nefritis kelas III dan V, atau kelas IV
dan V, tergantung pada distribusi mereka. Ketika lesi membran didistribusikan difus
(melibatkan> 50% dari seberkas> 50% dari glomeruli dengan mikroskop cahaya atau
immunofluorescence) dikaitkan dengan lesi aktif kelas III atau IV (Gambar 10), kedua
diagnosis harus dilaporkan dalam garis diagnostik. Sebagai kelas V berkembang ke
kronisitas, biasanya ada pengembangan segmental atau global yang glomerulosclerosis,
tanpa superimposisi proliferatif lupus nephritis. Namun, jika bekas luka glomerular
dihakimi sebagai sequela dari proliferasi sebelumnya, necrotizing atau lesi glomerulus
bulan sabit, maka sebutan gabungan kelas III dan kelas V lupus nephritis, atau kelas IV
dan kelas V nefritis lupus harus diterapkan, tergantung pada distribusi jaringan parut
glomerular.
Kelas VI
Kelas VI (stadium lanjut lupus nephritis) menunjukan hasil biopsi dengan ≥ 90%
sclerosisglomerolus global (Gambar 11) dan di mana ada bukti klinis atau patologis
bahwa sclerosis yang disebabkan oleh lupus nephritis. Seharusnya tidak ada bukti
penyakit glomerular aktif yang sedang berlangsung. Kelas VI dapat mewakili tahap
kronis lanjut dari kelasIII, kelas IV, atau kelas V lupus nephritis. Tanpa bantuan biopsi
ginjal berurutan, mungkin mustahil untuk menentukan dari mana kelas lesi glomerulus
sklerotik berevolusi.
E. Manifestasi / Gejala Klinik
Gejala klinis yang dapat ditemukan merupakan kombinasi manifestasi kelainan
ginjalnya sendiri dan kelainan di luar ginjal seperti gangguan system Sistem Saraf Pusat,
system hematologi, persendian dan lainnya. Manifestasi ginjal berupa proteinuri
didapatkan pada semua pasien , sindrom nefrotik pada 45-65% pasien, hematuria
mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60-80% pasien, hipertensi pada 15-
50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40-80% pasien, dan penurunan fungsi ginjal
yang cepat pada 30% pasien (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
GAMBARAN KLINIS %
Proteinuria 100
Sindrom nefrotik 45-65

Silinder granular 30
Silinder eritrosit 10
Hematuria mikroskopik 80
Hematuria makroskopik 1-2

Penurunan fungsi ginjal 40-80


Penurunan fungsi ginjal yang cepat 30
Gagal ginjal akut 1-2

Hipertensi 15-50
Hiperkalemia 15
Abnormalitas tubular 60-80
Tabel. Gambaran klinis Nefritis Lupus(Dhaimeizar, 2005; Hugh R. Brady, Yvonne
M. O’Meara, Barry M.Brener, 2005)
Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam
perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit 2.4
mg/dl, dan kadar C3 < 76 mg/dl. Gejala klinis NL yang dapat ditemukan sesuai
klasifikasi sesuai kalsifikasi histopatologi sebagai berikut: Nefritis Lupus sesuai kelasnya:
I) Proteinuria tanpa kelainan pada sedimen urin IIa) Proteinuria tanpa kelainan pada
sedimen urin IIb) Hematuria mikroskopik dan atau proteinuria tanpa hipertensi dan tidak
pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal III) Hematuria dan
proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan
hipertensi, sindrom nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal. IV )Hematuria dan proteinuria
ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien V) Sindrom nefrotik ditemukan pada
seluruh pasien, sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih
normal atau sedikit menurun (Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Gejala klinis masing-masing kelas
Gejala klinis
Proteinurin Hematuria Hipertensi Sindrom Fungsi
Klasifikasi nefrotik ginjal
NL klas I + - - - N
NL klas IIa + - - - N
NL klas IIb + + - - N
NL klas III ++ ++ + + N atau ↓
NL klas IV ++ +++ ++ ++ ↓
NL klas V ++ + ± ++ N atau ↓
NL klas VI + ± ± ± ↓ lambat
Hubungan gejala klinis dan kelainan Histopatologis Nefritis Lupus(Austin III HA,
Boumpas DT, Waughan EM, Balow JE, 1994)

F. Pemeriksaan Fisik dan Diagnosis Medis


Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda berkurangnya fungsi ginjal dengan edem,
hipertensi. Auskultasi abnormal dapat terdengar di jantung dan paru yang menandakan
overload cairan. Diagnosis medis NL dapat ditegakkan apabila pasien dengan SLE yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh WHO 2003 (minimal 4 kriteria dari 11 kriteria)
dan dengan didapatkannya proteinuria ≥ 1 gr/24jam dengan atau hematuria (>8 eritrosit /
LPB) dengan atau penurunan funsi ginjal sampai 30 %, sedangkan untuk menentukan
diagnosis pasti NL dan menentukan kelas NL dapat menggunakan biopsi ginjal (Meivina
Ramadhani Pane, 2011).
Pemeriksaan protenuria dapat dilakukan menggunakan penggumpulan urin selama
24 jam, setelah itu mengukur jumlah protein dalam sedimen urin secara kuntitative, pada
pasien NL terdapat proteinuria ≥ 1 gr/24 jam. Cara lain yang lebih praktis digunakan dan
sekarang banyak digunakan dengan menghitung rasio antara kreatinin dengan protein
pada sampel urin sewaktu (ekskresi kreatinin normal 1000 mg/24 jam/1,75 m2: ekskresi
protein normal 150-200 mg/ 24 jam/ 1,75m2, rasio protein: kreatinin normal < 0,2 ).
Pemeriksaan ini mudah digunakan dan juga untuk mengetahui perubahan protein setelah
dilakukan pengobatan(Meivina Ramadhani Pane, 2011).
Pemeriksaan serologic yang biasa digunakan pada pasien NL (Meivina
Ramadhani Pane, 2011) adalah
1) Tes ANA. Tes ini sangat sensitii untuk LES , tapi tidak spesifik. ANA juga
ditemukan pada pasien dengan arthritis rematoid, scleroderma, sindrom syogren,
polimiositis dan infeksi HIV. Titer Ana tidak mempunyai korelasi yang baik
dengan berat kelainan ginjal ada LES dan tidak dapat digunakan untuk memantau
respon terapi dan prognosis.
2) Tes anti ds DNA (anti double-stranded DNA), lebih spesifik tapi kurang sensitive
untuk SLE. Tes ini positif pada kira-kira 75% pasien SLE aktif yang belum
diobati. Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassay farr atau teknik ELIZA
(enzim-linked immunosorbent assay). Anti ds DNA mempunyai korelasi yang
baik dengan adanya kelainan ginjal.
3) Pemeriksaan lain adalah antibody anti ribonuklear seperti anti-Sm dan anti –
nRNP. Antibobi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk SLE, tapi hanya
ditemukan pada 25 % pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
antibody anti-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens yang buruk.
Antibody anti-nRNP ditemukan pada 35% pasien SLE, juga pada penyakit-
penyakit rematologik terutamajaringan ikat.
4) Kadar komplemen serum menurun pada saat fase aktif SLE, terutama pada NL
tipe proliferative. Kadar C3 dan C4 serum sering sudah di bawah normal sebelum
gejala lupus bermanifestasi. Normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan
perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3q, C5a, dan C8
juga didapatkan pada SLE. Kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah
normal meskipun penyakit dalam keadaan inaktif.
Pemeriksaan serologi penting untuk menentukan diagnosis nefritis lupus karena
menunjukan adanya produksi auto-Ab yang abnormal tetapi kurang tepat untuk
menetukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi
(Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS, 2006).
Untuk pemeriksaan histopatologi pada NL yang direkomendasikan oleh ISN dan
WHO adalah biopsy ginjal.Pada biopsy ginjal akan mudah dalam menetukan kelas NL
dan juga agar pengobatan pada pasien NL lebih tepat.

G. PenatalaksaanNepritis Lupus
Penatalaksanaan nepritis lupus sebelumnya masih menjadi kontraversial, tetapi pada
tahun 2012 American Collage Rheumatology (ACR) membuat pedoman dalam
pemberian obat untuk pasien dengan Nepritis Lupus yang berdasarkan klasifikasi menurut
ISN. Pengobatan ini terdiri dari treatmen adjuvant (pengobatan tambahan yang memiliki
pengaruh terhadap SLE / NL dan pengobatan untuk NL yang berdasarkan kelas menurut
ISN (Hahn et al, 2012).
1) Pengobatan tambahan (adjuvan)
Task force panel merekomendasikan bahwa semua pasien SLE dengan NL
pengobatan diberikan Hidroxycholoroquine (HCQ), kecuali ada kontraindikasi. HCQ
menunjukan secara signifikan mengurangi kerusakan ginjal pada pasien SLE yang
menerima HCQ. HCQ juga dapat mengurangi kejadian pembekuan pada SLE(Hahn et
al, 2012).
Semua pasien NL dengan proteinuria 0,5 gr / 24 jam (setara dengan rasio
protein : kreatinin pada sampel urin). Blockade system renin angiotensin dapat
mendorong tekanan intra glomerolus (level A untuk non diabetic kronik penyakit
ginjal). Pengobatan Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor / Angiotensin
Reseptor Bloker (ARB) mengurangi sekitar 30 % proteinuria dan secara signifikan
terjadi dua kali penundaan terhadap kadar serum kreatinin dan perkembanganstadium
akhir penyakit ginjal pada pasien non diabetic kronik. Kontrandikasi dari obat ini
adalah kehamilan. Pengunaan kombinasi dari terapi ACE inhibitor / ARB masih
controversial. Pengobatan ACE inhibitor atau ARB lebih unggul dalam channel
blokers kalsium dan diuretic untuk mempertahankan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronis(Hahn et al, 2012).
Task force panel merekomendasikan perhatian dalam mengontrol hipertensi
dengan target ≤ 130/80 mmHg (level A untuk nondiabetik kronik penyakit ginjal).
Rekomendasi ini berdasarkan prospektif uji coba dan metaanalisis menunjukan ada
hubungan yang signifikan terhadap penundaan proses dari penyakit ginjal, dengan
ketidakedekuatan control tekanan darah. Task force panel juga merekomendasikan
terapi statin dengan pasien dengan Low Density Lipoprotein cholesterol > 100 mg/dl
(Rosenson RS, 2011). Catatan bahwa laju filtrasi glomerolus < 60 ml/ menit/ 1,73 m2
(setara dengan tingkat serum kreatinin >1.5 mg/dl or 133 µmoles/liter) merupakan
factor resiko yang dikaitkan dengan mempercepat terjadi atherosclerosis dan SLE itu
sendiri dapat menyebabkan terjadinya atherosclerosis(Hahn et al, 2012).
Akhirnya, Panel Task Force merekomendasikan bahwa perempuan yang
berpotensi untuk hamil dengan NL aktif, disarankan menerima konseling mengenai
risiko kehamilan yang disebabkan oleh penyakit dan pengobatan(Hahn et al, 2012).
2) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas III dan IV
berdasarkan ISN

MMF 2-3 mg/hari selama 6 bulan*


( di Africa America lebih menyukai CYC CYC
& Hispanik ) +
+ Pemberian GC IV x 3 hari kemudian
Pemberian GC IV x 3 hari kemudian berikan Prednisolon 0,5-1 mg/kg/hari
berikan Prednisolon 0,5-1 mg/kg/hari Namun dosis dikurangi setelah beberapa
Namun dosis dikurangi setelah beberapa minggu untuk efektifitas.
minggu untuk efektifitas. (dengan 1 mg/kg/hari jika terlihat
(1mg/kg/hari jika terlihat membesar) membesar)

CYC Dosis Rendah atau CYC Dosis Tinggi


500 mg IV selama 2 minggu x 6 500-1.000 mg/m2 BSA IV
Diikuti pengobatan utama dengan selama satu bulan x 6
pemberian oral MMF atau AZA

Ada perkembangan Tidak ada


Ada perkembangan Tidak ada
MMF 1-2 mg/hari perkembangan
MMF 1-2 mg/hari perkembangan
Atau CYC (dosis rendah
Atau MMF 2-3 mg setiap
AZA 2 mg/kg/hari atau tinggi)
AZA 2 mg/kg/hari hari selama 6 bulan +
+/- dosis rendag +
+/- dosis rendag GC kemudian GC
setiap harinya GC Pulse GC kemudian
setiap harinya GC harian
GC harian

Ada perkembangan Tidak ada Ada perkembangan Tidak ada


Kembali pada perkembangan Kembali pada perkembangan
pengobatan utama Rituximab atau pengobatan utama Rituximab atau
MMF 1-2 mg/hari penghambat MMF 1-2 mg/hari penghambat
Atau calceneurin + GC Atau calceneurin + GC
AZA 2 mg/kg/hari
AZA 2 mg/kg/hari
+/- dosis rendag
+/- dosis rendag
setiap harinya GC
setiap harinya GC

(Skema Pengobatan 1) Class III/IV induction therapy. MMF _ mycophenolate mofetil; * _ the
Task Force Panel discussed their preference of MMF over cyclophosphamide (CYC) in
patients who desire to preserve fertility; GC _ glucocorticoids; IV _ intravenous; † _
recommended background therapies for most patients are discussed in section III in the text;
AZA _ azathioprine; BSA _ body surface area (Hahn et al, 2012).
Task force panel merekomendasikan MMF (2-3 gm harian total secara oral
atau Intravena (IV) CYC ditambah dengan GC (Appel GB, et al, 2009). Berdasarkan
data, MMF dalam terapi induksi dengan dosis 3 gm total harian untuk 6 bulan
menunjukan hasil yang baik, dilanjutkan dengan MMF dosis rendah selama 3 tahun
untuk mampertahankan keseimbangan(Touma Z, 2011). The Aspreva Lupus Studi
Manajemen (ALMS) membandingkan tingkat respons LN terhadap terapi dengan
MMF yang ditambah glukokortikoid menunjukkan peningkatan serupa pada kulit
putih , Asia , dan ras lain (terutama Amerika Afrika dan Hispanik) (Hahn et al, 2012).
Namun berdasarkan Task force Panel pada orang Asia hanya memerlukan dosis MMF
yang rendah dibandingkan orang non Asia dengan dosis 3gm per hari untuk non Asia
dan 2 gr per hari untuk orang Asia (Weng MY, Weng CT, Liu MF.,
2010).Sedangakan IV CYC pada orang Afrika American kurang baik dibandingkan
pasien dari RAS kulit putih dan Asia (Dooley MA, Hogan S, Jennette C, Falk R.,
1997). MMF / Micophenolic Acid (MPA) menjadi pilihan pertama dalam perbaikan
NL pada pasien Africa American / Hispanik (Isenberg D, Appel GB, Contreras G,
Dooley MA, Ginzler EM, Jayne D, et al., 2010).
Task force panel merekomendasikan pada pasien NL kelas III/ IV tanpa sabit
seluler, proteinuria dan kreatinin yang stabil serta tidak dilakkan pengambilan sampel
biopsy ginjal dosis yang disarankan 2gm atau 3gm total harian. Sementara itu, dosis 3
gm total harian untuk kelas III/ IV dengan sabit seluler, proteinuria, dan peningkatan
creatinin. Berdasarkan beberapa penelitian efek dari dosis MMF ini dapt
menyebabkan mual dan diare tetapi ini masih kontroversi. Monitoring pasien
dilakukan setelah 1 jam pemberian obat(Hahn et al, 2012).
Terdapat 2 macam pengobatan dari IV CYC yang direkomendasikan oleh task
force panel yaitu 1) dosis rendah CYC (500 mg IV setiap2 minggu sekali dengan total
dosis 6) ditambah dengan Azathioprine per oral harian atau MMF oral harian untuk
maintening terapi 2) dosis tinggi CYC (500-1000 mg/m2IV sebulan sekali dan
maintening terapi dengan MMF atau AZA (Skema Pengobatan 1)(Hahn et al, 2012).
Glukokortikoid IV (500-1000 mg metilprednisolon setiap hari untuk 3 dosis)
dapat dikombinasikan dengan terapi imunosupresif yang direkomendasikan task
force panel adalah glukokortikoid oral setiap hari (0,5-1 mg/kg/hari) dengan jumlah
minimal untuk mengontrol penyakit(Hahn et al, 2012).
Task Foce panel merekomendasikan pada pasien yang telah mendapatkan
pengobatan induksi selama 6 bulan dengan CYC atau MMF dapat dilanjutkan dengan
MMF atau AZA tetapi apabila kondisi pasien memburuk (50% atau lebih
memburuknya proteinuria atau serum kreatinin) selama mendapatkan pengobatan
induksi 3 bulan maka akan ada perubahan pengobatan seperti perubahan dosis
glokokortikoid atau penggantian pengobatan(Hahn et al, 2012).

3) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL kelas kelas IV


atau IV/ V dengan cellular crescents (sabit sellular)
Task force panel merekomendasikan terapi induksi untuk peningkatan pasien
dengan kelas IV atau IV/V ditambah adanya sellular crescents dengan menggunakan
CYC atau MMF dilanjutkan dengan pulse glukokortikoid IV dosis tinggi dan
permulaan glukokortikoid per oral dengan rentang dosis tinggi, 1 mg / kg / hari secara
oral(Hahn et al, 2012)

4) Rekomendasi terapi induksi untuk perbaikan pada pasien NL dengan kelas


V“pure membranous”
The Task Force Panel merekomendasikan bahwa pasien dengan murni kelas V
NL dan dengan nefrotik proteinuria dimulai pada prednison ( 0,5 mg / kg / hari )
ditambah MMF 2-3 gm dosis harian total (Hahn et al, 2012).

(Skema Pengobatan 2) Treatment of class V without proliferative changes and with


nephrotic range proteinuria (_3 gm/24 hours). Recommended background therapies
for most patients are discussed in section III in the text. MMF _mycophenolate
mofetil; AZA _ azathioprine; CYC _ cyclophosphamide; GC _ glucocorticoids (Hahn
et al, 2012).
5) Rekomendasi untuk Menjaga Peningkatan Pasien yang Menanggapi terapi
induksi
Task force panel merekomendasikan dalam menjaga peningkatan pasien yang
mendapatkan terapi induksi dengan menggunakan MMF 1-2 gm per hari atau AZA 2
mg/kg/hari. Setelah 3 tahun dari tindakan lanjut ini, MMF secara statistik menunjukan
hasil yang lebih baik dari pada AZA dalam hal kegagalan pengobatan (termasuk
kematian, stadium akhir penyakit ginjal, penggsndaan serum kreatinin dan gagal
ginjal), dan efek samping yang timbulkan lebih parah pasien yang menerima AZA
dari pada menerima MMF(Hahn et al, 2012).

6) Rekomendasi terapi pengganti pada pasien yang tidak berespon terhadap terapi
induksi.
Pasien yang tidak berepon pada treatmen yang direkomendasikan selam 6
bulan dengan glukokortikoid ditambak MMF atau CYC, maka akan
direkomendasikan beralih treatmen dari agen imunosupresif dari CYC ke MMF atau
MMF ke CYC dan disertai dengan IV glukokortikoid selam 3 hari(Skema
Pengobatan1). Task force panel juga merekomendasikan Rituximab untuk
meningkatkan atau memburuk setelah 6 bulan dari terapi induksi(Hahn et al, 2012).

7) Identifikasi Penyakit Vaskular pada Pasien Dengan SLE dan ginjal Kelainan
Beberapa jenis keterlibatan vaskular dapat terjadi pada jaringan ginjal dari
SLE, termasuk vaskulitis, nekrosis fibrinoid dengan penyempitan arteri kecil/arteriol
(vaskulopati), microangiopathy trombotik, dan ginjal vena trombosis bosis. Secara
umum, vaskulitis diperlakukan sama dengan bentuk yang lebih umum dari LN yang
dibahas di atas. Vaskulopati sangat berhubungan dengan hipertensi; tidak jelas yang
datang pertama , SLE atau hipertensi . Trombotik microangiopathy berhubungan
dengan kejadian trombotik trombositopenia. Task force panel direkomendasikan
diperbaiki bahwa microangiopathy trombotik diperlakukan terutama dengan terapi
pertukaran plasma (Kaplan AA, George JN, 2011).

8) Pengobatan LN pada Pasien Siapa Hamil


Task force panel merekomendasikan beberapa pendekatan dalam manajemen
wanita hamil dengan NL (Skema Pengobatan 3). Pada pasien dengan NL terlebih
dahulu, tetapi tanpa sistemik atau aktivitas penyakit ginjal, tidak membutuhkan
medikasi nepritis. Pasien dengan aktivitas sistemic ringan mungkin diobati dengan
HCQ; ini mungkin dapat mengurangi aktivitas dari SLE selama kehamilan (Clowse
ME, Magder L, Witter F, Petri M, 2006). Jika nefritis aktif terjadi, atau terdapat
aktivitas penyakit substansial ekstrarenal, dokter mungkin meresepkan glukokortikoid
untuk mengontrol aktifitas penyakit, dan dapat ditambahkan AZA (Gordon C, 2004).
Untuk pasien dengan aktifitas nepritis terus menerus atau dicurigai pada kelas III atau
IV dengan crescent, pertimbangan setelah 28 minggu untuk janin yang layak
direkomendasikan(Hahn et al, 2012).

(Skema pengobatan 3) Treatment of class III, IV, and V in patients who are pregnant.
LN _ lupus nephritis; SLE _ systemic lupus erythematosus; GC _glucocorticoids; AZA
_ azathioprine (Hahn et al, 2012)

9) Pengelolaan pada Pasien Nepritis Lupus.


Berdasarkankan rekomendasi oleh perhimpunan reumatologi Indonesia 2011
pengelolaan pasien dengan NL, sebagai berikut :
a) Pasien yang mengalami NL seharusnya dilakukan biopsi ginjal bila tidak terdapat
kontraindikasi (trombositopenia berat, reaksi penolakan terhadap komponen
darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan juga tersedia dokter ahli
dibidang biopsi ginjal (oleh karena hasil histopatologi berbeda pada setiap
kelasnya). Pengulangan biopsi ginjal dilakukan apabila pasien mengalami
perubahan gambaran klinis yang akan memerlukan terapi tambahan yang agresif.
b) Pemantauan aktifitas ginjal diperlukan pemeriksaan urin rutin terutama sedimen,
kadar kretinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA,
protenuria, dan bersihan kreatinin. Pada penyakit rapidly progressive
glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan kreatinin harian, sedangkan parameter
lain 1 -2 minggu.
c) Pasien dengan hipertensi diberikan obat antihipertensi yang sering digunakan
adalah ACE (Angiotensin Converting Enzim) inhibitor terutama pada pasien
dengan proteinuria menetap, target tekanan darah pada pasien dengan riwayat
glomerulonefritis adalah ≤ 120 mmHg. Diet rendah garam juga direkomendasikan
pada pasien NL dengan hipertensi. Loop diuretik diperlukan untuk mengurangi
edema dan mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.
d) Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi resiko prematur
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemah harus
dikurangi jika terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut
Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol serum <180
mg/dl, risiko gangguan kardiovaskuler pada SLE masih meningkat bila kolesterol
serum 200 mg / dl. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap diobati
dengan obat penurun lemah seperti HMG Co-A reductase inhibitors.
e) Monitor tanda-tanda infeksi dan terapi secara agresif bila pasien lupus dengan
infeksi. Infeksi merupakan penyebab 20 % kematian pada pasien SLE.
f) Pasien lupus yang mendapatkan kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis lebih
dari 7,5 mg/hari diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan). Suplemen
vitamin D, latihan pembebenan yang ditoleransi, obat-obatan seperti calcitonin
bila terdapat gangguan ginjal, bisfoffonat (kecuali terdapat kontraindikasi) atau
rekombinan PTH perlu diberikan.
g) Monitot toksisitas kortikosteroid dan agen sitotoksik dengan parameter berikut:
tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula darah,
kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan densitas
massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana dapat
diperkirakan dampak buruk dari kortikosteroid.
h) Pasien dianjurkan untuk menghindari obat antiinflamasi non steroid, karena dapat
mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta meningkatkan
risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi dengan kortikosteroid
dan obat imunosupresan lainya). Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengan
dosis rendah dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
i) Kehamilan pada pasien NL aktif harus ditunda mengingat risiko morbiditas dan
mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal juga meningkat.
H. Komplikasi
1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik (manifestasi rendah kadar bikarbonate vena). Asidosis
metabolik berhubungan dengan meningkatnya dengan katabolisme protein, penurunan
sintesis protein dan demineralisasi tulang. Asidosis metabolik akan sangat progresif
pada gagal ginjal.
Pengobatan asidosis metabolik dengan oral alkali, kebanyakan secara
umumnya menggunakan sodium bikarbonat. Dosis yang diberikan antara 500 mg- 1
g, 3 atau 4x dalam sehari. Obat ini bisa memperbaiki asidosis metabolik dan penilaian
dari dimeneralisasi dan degredasi protein. Potensi kerugian yang termasuk dalam
pengisian sodium, mungkin akan menimbulkan hipertensi dan kelebihan cairan. Pada
penilaian pengobatan asidosis metabolik dengan sodium bikarbonat sebanyak 4,5 gr/
hari selama 6 bulan, dapat memperbaiki bikarbonat vena dan meningkatkan serum
albumin. Interpretasi ini dapat memperbaiki status nutrisi.

I. Prognosis
Pemeriksaan patologis yang dilakukan pada pasien dengan NL memiliki
hubungan antara respon klinis dan hasil akhir. Pada kelas IV (Difus proliferative
glomerulonefritis) mempunyai prognosis yang buruk, 11-48% pasin akan menderita gagal
ginjal dalam 5 tahun (Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D, 2009).
Pada prognosis NL, terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi hasil akhir
antara lain adalah RAS hitam, azotemia, anemia, sindrom antiphospholipid, gagal
terhadap terapi imunosepresan awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang memburuk
(Kasjmir, Yoga I, Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo,
Zuljasri Albar, et al. 2011).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA LUPUS NEFRITIS

Menurut Priscilla LeMone dan Karen Burke, 2008, Asuhan keperawatan pada pasien
dengan lupus nefritis atau gangguan pada glomerolus lebih ke suportif (mempertahankan)
dan edukasi (penyuluhan kesehatan). Memonitor fungsi ginjal dan status volume cairan
merupakan komponen kunci dalam asuhan keperawatan, memproteksi klien dari infeksi.
Kedua manifestasi dari ganguan glomerolus dan treatmennya bisa mempengaruhi
kemampuan klien dalam memelihara peran dan tanggung jawabnya. Berikut ini diagnosa dan
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami gangguan glomerolus:

A. Pengakajian
 Riwayat kesehatan: keluhan pada wajah atau daerah periperalnya mengalami edema
berat badan bertambah, lemah, mual dan muntah, sakit kepala, malaise, nyeri perut
atau panggul, batuk atau nafas pendek, terjadi perubahan (jumlah, warna, karakter)
dari urine (berbusa), riwayat SLE, dan riwayat konsumsi obat.
 Pemeriksaan fisik: keadaan umum, tanda-tanda vital, terdapat edema pada area
periorbital, wajah, dan peripheral, kulit lesi atau adanya infeksi, specimen urin
(warna, bau, karakter)

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada lupus nepritis:
1. Kelebihan Volume Cairan b. d. kehilangan protein melalui urin
2. Kelelahan b. d. kehilangan protein melalui urin / kondisi tubuh yang buruk
3. Ketidakefektifan Perlindungan b. d. Terpapar dengan agen infeksi / resiko infeksi
meningkat
4. Ketidakefektifan performa peran b. d. manifestasi dan efek dari pengobatan /
kelemahan otot.
Diagnosa keperawatan pada komplikasi lupus nepritis (gagal ginjal dan asidosis
metabolic) :
1. Kelebihan volume cairan b. d. tidak adequatenya ginjal mengeluarkan urine
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. anoreksia, dan mual.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada lupus nepritis:
1. Kelebihan Volume Cairan b. d. kehilangan protein melalui urin
Kelebihan volume cairan dan edema merupakan manifestasi yang umum
terjadi pada gangguan glomerolus. Ketika kehilahan protein melalui urin, maka
tekanan osmotic plasma akan menurun, dan perubahan cairan di ruangan interstinal
(jaringan). Respon tubuh terhadap perubahan cairan dengan menahan sodium
(Natrium) dan air untuk mempertahankan volume intravaskuler, dengan perubahan
ini akan mengakibatkan kelebihan volume cairan.
Alert Practice:
Pantau berat badan harian, (hari dan skala). Keakuratan berat badan
merupakan indicator yang baik dalam pendekatan keseimbangan cairan.
Monitor dan atur infuse IV secara hati-hati; termasuk cairan obat lewat IV
yang masuk. Penting untuk mengetahui intake cairan yang tidak terduga ini dapat
terjadi oleh pengobatan intravena (IV).

Intervensinya:
Tindakan mandiri:
1) Monitor TTV (TD, RR, N, S) setidaknya setiap 4 jam. Laporkan apabila ada
perubahan yang signifikan. Kelebihan cairan meningkatkan kerja pengisian
jantung dan tekanan darah, takikardi mungkin muncul, keseimbangan elektrolit
bisa dihubungkan penyebab disaritmia, peningkatan tekanan vaskularisasi
pulmunal bisa menyebabkan edema pulmunal, takipnea, dispnea, dan crakles
(rales) di paru-paru.
2) Catat intake dan output setiap 4 -8 jam, or more frequently as indicate. Ketepatan
mencatat intake dan output membantu dalam menentukan status volume cairan.
3) Monitor serum elektrolit, hemoglobin, hematokrit, BUN, dan kreatinin. Gangguan
glomerolus mempengaruhi keseimbangan cairan dan keseimbangan elektrolit,
berpontensi terjadi komplikasi pada cardiac disaritmia. Meningkatnya volume
intravascular dapat mengakibatkan nilai hematokrit dan hemoglobin menurun.
BUN dan creatinin memberikan informasi tentang fungsi ginjal.
4) Pertahankan batasan cairan yang masuk. Anjurkan potongan ice (dibatasi dan
diperhitungkan jumlahnya) dan sering perawatan mulut untuk mengurangi
kehausan. Serta kembangkan jadwal cairan yang masuk ke pasien. Cairan yang
dibatasi dapat mengurangi kelebihan cairan, edema, dan hipertensi. Potongan ice
dan sering perawatan pada mulut membasahi membrane mukosa dan membantu
mengurangi rasa haus yang menjaga integritas jaringan oral. Klien dilibatkan
dalam rencana intake cairan guna meningkatkan pengontrolan dan pemahaman
dalam regimen pengobatan.
5) Konsultasikan makanan yang mengandung sodium atau protein ke ahli gizi
mengenai asupan yang dibatasi. Klien dilibatkan dalam perencanaan diet.
Gangguan glomerolus dapat mengurangi nafsu makan dan mempengaruhi
pengobatan.
6) Monitor keadaan pasien selama terapi dilakukan.Terapi diuretikmembantu
mengurangivolume cairanberlebih; Namun, gangguan
glomerulardapatmempengaruhi responklienterhadap pengobatan. Selain itu,
diuretik dapatmemperburukketidakseimbangan elektrolitdankelemahan ototsering
dikaitkandengan gangguanglomerulus.
7) Atur posisi pasien secara berkala dan berikan perawatan kulit yang baik. Perfusi
yang baik dapat mengurangi edema jaringan dan menurunkan resiko kerusakan
integritas kulit.

Tindakan kolaboratif
8) Kolaborasi pemberian obat ACE inhibitor sesuai indikasi. ACE inhibitor.Dapat
mengurangi gejala proteinuria sekitar 30 % dan secara signifikan terjadi dua kali
penundaan terhadap kadar serum kreatinin dan perkembangan stadium akhir
penyakit ginjal.
9) Kolaborasi pemberian terapi imunosupresan (Glukokortikoid, Cyclophosphamide,
atau Azathioprine) sesuai indikasi. Terapi imunosupresan untuk mengurangi raksi
inflamasi yang terjadi diginjal dan dapat mengurangi resiko gagal ginjal dan
penykit ginjal stadium akhir.
10) Kolaborasi pemberian agen diuretik sesuai indikasi. Diuretik digunakan dalam
mempertahankan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis.
2. Kelelahan b. d. kehilangan protein melalui urin / kondisi tubuh yang buruk
Kelelahanadalah manifestasiumum darigangguanglomerulus. Anemia,
kehilangan proteinplasma, sakit kepala, anoreksia, dan mualyang mengakibatkan
kelelahan.Kemampuan dalam mempertahankanfisikdan aktivitas mentalmungkin
terganggu.

Intervensinya:
1) Kaji tingkatan energi klien. Memperbaiki fungsi glomerolus dapat mengatasi
kelelahan dan meningkatkan produksi energi.
2) Buat jadwal kegiatandan proseduruntuk memberikanistirahat yang
cukupdankonservasi energi. Cegahkelelahan pada klien. Istirahat yang cukup
dankonservasi energidapatmengurangi kelelahan dan meningkatkankemampuan
klien.
3) Bantu klien dalam ADLs sesuai kebutuhan. Tujuannya adalah untuk membantu
klien dalam menggunakan energi.
4) Diskusikan kepada klien dan keluargahubungan antarakelelahan dan
prosespenyakit.Memahamisifatpenyakitdan kelelahanterkait
untukmembantukliendan keluarga dalam mempertahankan energi.
5) Anjurkan klien dalam penghematan energi dengan melakukan aktifitas ringan dan
sedikit makan tapi sering. Batasi pengunjung. Melakukan aktifitas ringan dapat
mengurangi energy yang dikeluarkan. Membatasi pengunjung dapat membantu
dalam menghemat energi.

3. Ketidakefektifan Perlindungan b. d. Terpapar dengan agen infeksi / resiko infeksi


meningkat
Efekdari keduagangguanglomerulusdanpengobatan dengan obatanti-inflamasi
dan sitotoksikdapat menekansistem kekebalan tubuh, meningkatkan risikoinfeksi.
Efekanti-inflamasi kortikosteroidjuga dapat mencegah manifestasiawal infeksi.
Alert Practice:
Pantau tanda-tanda vital, suhu, dan status mental setiap 4 jam. Suhu tinggi dapat
menunjukkan infeksi; namun obat anti-inflamasi dapat moderat responini.Takikardia,
peningkatan latergi, kebingunganmungkintanda-tandaawal infeksi.

Intervensinya:
1) Kaji tanda-tanda lain dari infeksi seperti adanya purulen pada luka, produksi
batuk, suara nafas tambahan, dan lesi merah atau meradang . Pantau manifestasi
ISK, seperti disuria , frekuensi dan urgensi , dan berawan , urin yang berbau
busuk. mengidentifikasi dini dan pengobatan infeksi adalah penting untuk
mencegah komplikasi sistemik pada klien.
2) Pantau CBC , berfokus pada WBC dan diferensial. Peningkatan WBC dan leukosit
yang belum matang dalam darah dapat menjadi indikator awal infeksi .
3) Gunakan teknik mencuci tangan yang baik. Proteksi dari infeksi silang dengan
menyediakan ruang pribadi dan membatasi pengunjung sakit. Klien dengan
penurunan resistensi terhadap infeksi membutuhkan peningkatan perlindungan.
4) Hindari atau minimalkan prosedur invasif. Mempertahankan penghalang kulit pro
protektif sangat penting bagi klien dengan status kekebalan yang berubah.
5) Jika kateterisasi diperlukan, Gunakan kateterisasi steril dengan intermiten lurus
atau mempertahankan sistem drainase tertutup untuk kateter. Mencegah refluks
urin dari sistem drainase ke kandung kemih atau kandung kemih ke ginjal
memastikan tetap paten karena sistem aliran gravitasi. Saluran kemih merupakan
entry point sering untuk infeksi , terutama dalam klien hospitaslisasi.
Mempertahankan asepsik ketat selama kateterisasi sangat penting. Kateterisasi
intermiten dikaitkan dengan rendahnya risiko ISK.
6) Anjurkan diet sehat bergizi dengan protein lengkap. Keseimbangan diet gizi yang
sehat penting untuk mempertahankan status gizi dan mendukung fungsi kekebalan
tubuh.
7) Ajarkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi. Perawatan di rumah sering
dilakukan, memuntut klien dan keluarga untuk menggunakan tindakan
pengendalian infeksi yang tepat.

4. Ketidakefektifan performa peran b. d. manifestasi dan efek dari pengobatan /


kelemahan otot.
Manifestasi dan pengobatan gangguan glomerular dapat berpengaruh terhadap
kemampuan untuk mempertahankan peran dan kegiatan biasa. Kelelahan dan
kelemahan otot dapat membatasi aktivitas fisik dan sosial. Istirahat atau pembatasan
aktivitas dianjurkan untuk meminimalkan derajat proteinuria. Jika azotemia hadir,
malaise, mual, dan perubahan status mental dapat mengganggu fungsi peran. Edema
wajah dan periorbital mempengaruhi klien harga diri dan bisa mengakibatkan isolasi.

Intrvensinya:
1) Bina hubungan terapeutik yang kuat. Hal ini penting untuk mendapatkan
kepercayaan klien dan keyakinan.
2) Dorong perawatan diri dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Peningkatan
otonomi membantu mengembalikan rasa percaya diri dan mengurangi
ketidakberdayaan.
3) Dorong klien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Waktu yang memadai
dan mendengarkan secara aktif mendorong ekspresi keprihatinan dan efek dari
penyakit atau pengobatan dalam kehidupan sehari-hari. Ini membantu klien
menerima penyakit, pengobatan, dan kerugian yang terkait.
4) Dukung keterampilan klien dalam mekanisme koping yang adaptif. Dukungan ini
membantu kepercayaan diri klien dalam mengidentifikasi kekuatan diri.
5) Jika memungkinkan, minta dukungan dari keluarga, dan teman-teman klien.
Orang-orang ini dapat memberikan dukungan fisik, psikologis, emosional, dan
sosial.
6) Bantu klien dan keluarga mengembangkan rencana alternatif untuk perilaku dan
hubungan, anjurkan klien untuk mempertahankan peran yang biasa sejauh
mungkin. Mengembangkan rencana dapat membantu mengurangi ketegangan
perubahan peran dan mempertahankan harga diri.
7) Berikan informasi yang akurat dan optimis tentang gangguan dan efek jangka
pendek dan panjangnya. Klien dan keluarga membutuhkan informasi yang akurat
untuk merencanakan masa depan.
8) Evaluasi kebutuhan untuk dukungan tambahan dan layanan sosial bagi klien dan
keluarga.Hubungan klien dan keluarga, tingkat keparahan gangguan, dan
pengobatan dan prognosis, layanan dukungan sosial yang sedang berlangsung
mungkin diperlukan untuk memfasilitasi penanggulangan dan adaptasi.
Intervensi keperawatan pada komplikasi lupus nepritis (gagal ginjal dan asidosis
metabolic.
1. Kelebihan volume cairan b. d. tidak adequatenya ginjal mengeluarkan urine
Pada gagal ginjal, ginjal tidak adequate mengeluarkan urine dalam
mempertahankan keseimbangan cairan ektraselular yang normal. Retensi cairan lebih
besar terjadi pada gagal ginjal oliguria dari pada gagal non oliguria. Penambahan
berat badan yang cepat dan edema mengindikasikan retensi cairan. Pada gagal ginjal
mungkin dapat mengakibatkan gagal jantung dan edema paru-paru.
Practice Alert:
Kaji secara berkala pernafasan dan suara jantung, distensi vena jugularis, edema pada
ekstremitas catat dan laporkan temuan abnormal. Suara tambahan (crackles), suara
jantung tambahan seperti S3 atau S4 gallop, distensi vena jugularis, dan edema
peripheral mungkin menindikasikan hipervolemia, gagal jantung, atau edema paru-
paru.
Intervensi:
1) Pertahankan setiap jam catatan intake dan output. Catatan intake dan output yang
tepat membantu dalam pengobatan, khususnya pada pembatasan cairan.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, berikan posisi semi fowler. Meningkatkan fungsi
dari jantung dan pernapasan.
3) Catat dan laporkan nilai serum elektrolit yang abnormal dan manifestasi dari
ketidakseimbangan elektrolit.
a. Hiperkalemia: ekskresi potassium yang lemah. Manifestasi; irritabilitas, mual,
diare, disaritmia kardiak, kram abdominal, dan perubahan EKG.
b. Hyponatremia: retensi cairan. Manifestasi; mual, muntah, dan sakit kepala,
kemungkinan dengan latergi merupakan manifestasi system saraf pusat (SSP),
confusion (bingung), kejang, dan coma.
c. Hiperphosphatemia: menurunnya ekskresi fosfat. Manifestasi; hiperrefleksia,
paresthesias dan mungkin tetany.
Gagal ginjal dapat mengakibatkan gangguan ekskresi elektrolit dan air.
4) Atur pengobatan dengan makanan. Pemberian pengobatan oral dengan makanan
dapat memperkecil proses pencernaan dari kelebihan cairan.
5) Sediakan perawatan kulit dengan baik secara berkala. Edema menurunkan perfusi
jaringan dan meningkatkan resiko kerusakan kulit. Khususnya pada lansia.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d. anoreksia, dan mual.


Anoreksia dan mual berhubungan dengan gagal ginjal sering mengganggu intake
makanan dan nutrisi. Proses penyakit gagal ginjal mungkin memperbesar peningkatan
kebutuhan nutrisi untuk penyembuhan dan berkurang intake makanan.
Practice Alert
Penyelesaian dengan intravena line dan parenteral nutrisi dapat meningkatkan risiko
infeksi. Monitor secara hati-hati tanda-tanda infeksi dan inflamasi.
Intervesi:
1) Monitor dan catat intake makanan,termasuk jumlah dan jenis dari makanan yang
dikonsumsi. Catatan intake makanan yang detail membantu panduan keputusan
dalam status nutisi dan kebutuhan supplement.
2) Pantau berat badan harian. Perubahan berat badan sewaktu (hari ke
minggu)menggambarkan status nutrisi, sedangakan perubahan berat badan
secara cepat menggambarkan status volume cairan.
3) Konsultasikan kepada ahli nutrisi tentang perencanaan batasan makanan yang
mempertimbangkan pilihan makanan klien. Pembatasan diet protein, garam, dan
potassium dapat mumbuat klien tidak enak makan; intake dan nafsu dapat
bertambah ketika memakan makan yang disukai
4) Libatkan anggota keluarga dalam menyiapkan makanan dalam pembatasan diet.
Dorong anggota keluarga makan bersama klien. Dukungan interaksi social dalam
makanan dapat meningkatkan kenyaman ketika klien makan.
5) Sediakan makan ringan. Ini meningkatkan ukuran intake makanan pada klien
yang fatigue atau anoreksia
Tindakan kolaboratif
6) Kolaborasi pemberian antiemetic dan berikan perawatan mulut. Mual dan rasa
metalik di mulut, umumnya manifestasi dari uremia, dapat menurunkan intake
makanan.
7) Kolaborasi pemberian diet melalui parenteral sesuai anjuran, jika klien tidak
mampu makan atau toleran nutrisi enteral. Mencegah atau menghambat
katabolisme jaringan penting untuk klien dengan gagal ginjal.

Keperawatan komunitas
Gangguan pada glomerulus mungkin berkembang secara progresif. Gangguan ini
terjadi sangat lama, bisa terjadi dari bulan ke tahun. Jadi manajemen sendiri pasien
sangat dibutuhkan. Berikut ini hal-hal yang perlu diintruksikan kepada klien dan
keluarga:
 Informasi tentang penyakit dan prognosisnya.
 Resep pengobatan, termasuk pembatansan aktivitas dan diet; efek dari pengobatan
(manfaat dan efek samping) dari semua pengobatan
 Resiko, tanda dan gejala, pencegahan, dan manajemen dari komplikasi seperti
edema atau infeksi.
 Tanda, gejala, dan implikasi dari perbaikan atau penurunan fungsi ginjal
 Tindakan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang ebih lanjut, seperti
obat nephorotoxic yang harus dihindari
 Sumber komunitas, seperti penyedian home care dan group support.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nepritis Lupus merupakan salah satu komplikasi dari SLE (Sistemik Lupus
Eritematosius) yang mengganggu atau merusak fungsi ginjal pada glomerulus, sehingga
dapat menyebabkan terdapatnya proteinurua, hematuria, eritrosit.Nepritis lupus terbagi
atas 6 kelas yang ditetapkan oleh ISN (Internasional Society of Nephrology) dan oleh
WHO (World Health Organization).Terdapat perbedaan dalam penentukan kelas oleh ISN
dan WHO, perbedaan itu terlihat pada kelas III dan IV, perberdaan ini disebakan oleh ISN
melihat dari glomerolusnya.Pada penentuan kelas ini, dilakukan biopsy ginjal dengan
menggunakan mkroskopik electron, cahaya dan immunoflurensce.
Pengobatan pada pasien Nephritis Lupus bertujuan dalam mengoptimalkan dan
mencegah terjadinya kerusakan ginjal.Pengobatan nephritis lupus ini berdasarkan kelas,
untuk kelas I dan II tidak mendapatkan pengobatan, tetapi kelas III-VI mendapatkan
pengobatan berupa obat imunosepresan.Peran perawat dalam memanajemen pasien
nephritis lupus lebih ke memonitoring kondisi pasien yang mengalami perubahan oleh
prognosis dan efek dari pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Appel GB, Contreras G, Dooley MA, Ginzler EM, Isenberg D, Jayne D, et al. Mycophenolate
mofetil versus cyclophosphamide for induction treatment of lupus nephritis. J Am Soc
Nephrol 2009;20:1103–12.
Appel GB, Silva FG, Pirani CL. Renal involvement in systemic lupus erythematosus (SLE): a
study of 56 patients emphasizing histologic clasification. Medicine1978;75:371-410.
Austin III HA, Boumpas DT, Waughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe
lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 1994; 45:544-
550.
Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS. Nefritis Lupus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed 4. Jakarta: Pusat penerbitan Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK-UI. 2006. h. 548-553.
Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematosus : pathogenesis, clinical
manifestation and diagnosis. In Eular Compendium on Rheumatic Diseases.BMJ
Publishing Group and European League Against Rheumatism 1st ed : 2009; 257-68.
Clowse ME, Magder L, Witter F, Petri M. Hydroxychloroquine in lupus pregnancy. Arthritis
Rheum 2006; 54:3640–7.
Dhaimeizar. Diagnostik Nefritis Lupus. Dalam : Naskah Lengkap The 5th JakartaNephrology
& Hypertension Course. Jakarta. 2005. H: 33-36.
Dooley MA, Hogan S, Jennette C, Falk R, for the Glomerular Disease Collaborative
Network. Cyclophosphamide therapyfor lupus nephritis: poor renal survival in black
Americans. Kidney Int 1997;51:1188–95.
Gordon C. Pregnancy and autoimmune diseases. Best Pract Res Clin Rheumatol 2004;
18:359–79.
Hahn et al. American College of Rheumatology Guidelines for Screening, Treatment, and
Management of Lupus Nephritis. Arthritis Care & Research 2012; 64:797-808.
Isenberg D, Appel GB, Contreras G, Dooley MA, Ginzler EM,Jayne D, et al. Influence of
race/ethnicity on response to lupusnephritis treatment: the ALMS study.
Rheumatology (Oxford)2010;49:128–40.
Kaplan AA, George JN. Treatment of thrombotic thrombocytopenic purpura - hemolytic
uremic syndrome in adults. 2011.
URL:http://www.uptodate.com/contents/treatmentof-thrombotic-thrombocytopenic-
purpura-hemolytic-uremicsyndrome-in-adults.
Kasjmir, Yoga I, Kusworini Handono, Linda Kurniaty Wijaya, Laniyati Hamijoyo, Zuljasri
Albar, et al. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
Mansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, Ed:, jilid pertama. Jakarta: Media
AesculapiusFakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Price, Sylvia A., Lorainne M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed-4. Jakarta : EGC.
Ouma Z, Gladman DD, Urowitz MB, Beyene J, Uleryk EM, Shah PS. Mycophenolate
mofetil for induction treatment of lupus nephritis: a systematic review and
metaanalysis. J Rheumatol 2011;38:69–78.
Simadibrata, Marcellus, dkk. 2001. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Schmajuk G, Yazdany J. Drug monitoring in systemic lupus erythematosus: a systematic
review. Semin Arthritis Rheum 2011;40:559–75.
Ramadhani Pane, Meivina. 2011. Gambaran Klinis Nefritis Lupus. Sumatra Utara: Reading
Assignment Devisi Nefrologi Hipertensi.
Rosenson RS.ATP III guidelines for treatment of high blood cholesterol. 2011. URL:
http://www.uptodate.com/contents/atp-iii-guidelines-for-treatment-of-high-blood-
cholesterol.
Weening, et al. The Klasifikasi Glomerulonefritis in Systemic Lupus Erythematosus
Revisited. International Society of Nephrology and Renal Pathology Journal of The
American Society of Nephrology. 2004; 15 (3):835-6.
Weng MY, Weng CT, Liu MF.The efficacy of low-dose mycophenolate mofetil for treatment
of lupus nephritis in Taiwanese patients with systemic lupus erythematosus. Clin
Rheumatol 2010;29:771–5.

Anda mungkin juga menyukai