Disusun oleh:
Ahmad Fathoni
20184010091
Diajukan kepada:
Disusun oleh :
Ahmad Fathoni
20184010091
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
4
yang (+) dan tes allergen yang (+). Sedangkan yang alergik murni mempunyai
skin tes yang (+) dan allergen yang jelas. Berdasarkan epidemiologinya, kurang
lebih 58 juta penduduk amerika menderita rinitis alergika, 19 juta menderita rinitis
non-alergika dan 26 juta menderita rinitis tipe campuran (Adams, 2012).
5
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. M
Usia : 58 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Purwosari, Gunung Kidul
Status Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SD
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Masuk Rumah Sakit : 29 Juli 2019
No. RM : 65-13-65
II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 26 Juni 2019.
Keluhan Utama
Hidung kanan dan kiri tersumbat.
6
kali namun belum mengalami perbaikan dan pasien mengatakan tidak
mengingat apa saja obat yang sudah dikonsumsi.
Anamnesis Sistem
Sistem serebrospinal : Demam (-), mual (-), nyeri kepala (-)
Sistem respiratorius : Sesak napas (-), batuk (+), pilek (+)
Sistem kardiovaskuler : Sesak (-), nyeri dada (-), sianosis (-)
Sistem gastrointestinal : Tidak ada keluhan
Sistem genitalia : Tidak ada keluhan
Sistem muskuloskeletal : Kelemahan anggota gerak (-)
Sistem integumentum : Tidak ada keluhan
7
III. PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
1. Keadaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Berat Badan : 49 kg
Tinggi Badan : 150 cm
Status Gizi : Normal (BMI = 21.8 kg/m2)
2. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 84x/ menit
Napas : 20x/ menit
Suhu : Afebris
VAS nyeri :2
3. Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum nasi (-), nyeri tekan (-)
Telinga : Simetris, nyeri tekan aurikula (-/-), otorrhea (-/-)
Mulut : Bibir lembab, mukosa bukal lembab, tonsil T1-T1
Sinus frontalis : Nyeri tekan/ ketok (-)
Sinus maksilaris : Nyeri tekan/ketok (-)
4. Leher
Kelenjar Getah bening : Teraba membesar (-/-), nyeri tekan (-/-)
5. Thoraks
a. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di SIC V 1 jari medial garis
midklavikula sinistra
Perkusi : Batas kanan atas jantung di SIC II garis parasternal
dekstra
8
: Batas kiri atas jantung di SIC II garis parasternal
sinistra
: Batas kanan bawah jantung di SIC IV
midklavikula sinistra
: Batas kiri bawah jantung di SIC V midklavikula
sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 reguler
b. Paru-paru
Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi
intrakostal dan substernal (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : Sonor (+/+)
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi : Supel, warna kulit normal
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
7. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time <2 detik, edema (-)
STATUS LOKALIS
1. Telinga
Pars Flacid
D S
Proc. AD AS
Brevis
malleus
Umbo
Pars Tensa
9
Cone of Light
Bagian Telinga Telinga Kanan Telinga Kiri
Deformitas (-), hiperemis Deformitas (-), hiperemis
Aurikula
(-), edema (-) (-), edema (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Preaurikula
nyeri tekan tragus (-) nyeri tekan tragus (-)
Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
Retroaurikula
nyeri tekan (-) nyeri tekan (-)
Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (-),
Meatus akustikus eksternus
edema (-) edema (-)
Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
Membran timpani perforasi (-), cone of light perforasi (-), cone of light
(+) arah jam 5 (+) arah jam 7
Kesan : Pemeriksaan telinga dalam batas normal.
Pemeriksaan Fungsi
Telinga Kanan Telinga Kiri
Telinga
Pendengaran
Rinne (+) (+)
Weber Tidak ada lateralisasi
Schwabach BC pasien = BC pemeriksa BC pasien = BC pemeriksa
Audiometri Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tuba
Valsava Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toynbee Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kesan : Pada kedua telinga tidak didapatkan kelainan fungsi
D S
Rhinoskopi Anterior
Concha nasimedius
Concha nasimedius
10
nyeri tekan (-), deformitas (-)
2. Sinus Paranasalis Nyeri ketok (-), nyeri tekan (-)
3. Rhinoskopi Anterior
Mukosa Edema (+), Hiperemis (+) Edema (+), Hiperemis (+)
Sekret - -
Krusta - -
Edema (+), mukosa Edema (+), mukosa
Konkha inferior
hiperemis (+) hiperemis (+)
Polip tumor - -
Licin, deviasi (-), Licin, deviasi (-),
Septum nasi
perdarahan (-) perdarahan (-)
Pasase udara + +
4. Transluminasi
Sinus frontalis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sinus maksilaris Tidak dilakukan Tidak dilakukan
11
5. Pemeriksaan Mukosa Hiperemis Hiperemis
Rhinoskopi Sekret - -
Posterior Choana Sulit dilihat Sulit dilihat
Fossa Rossenmuller Sulit dilihat Sulit dilihat
Massa/ tumor - -
Muara tuba
eustachius Sulit dilihat Sulit dilihat
S
D
3. Tenggorok
BAGIAN KETERANGAN
Gigi Geligi Nyeri ketuk (-), caries (+) M2 sinistra superior dan M1
sinistra inferior
Uvula Merah muda, ditengah
Tonsil:
• Mukosa Merah muda
• Ukuran T1-T1
• Kripta Normal
• Detritus -/-
• Gambar
Faring
• Mukosa Merah muda
• Post nasal drip -
Laring
• Epiglotis Sulit dilihat
• Kartilago arytenoid Sulit dilihat
• Kartilago Sulit dilihat
aryepiglotika Sulit dilihat
• Plika vestibularis Sulit dilihat
• Plika vokalis Sulit dilihat
• Rima glotis Sulit dilihat
• Trakea
13
Gambar
1.Epiglotis
K
e
2.Kartilago arytenoid
K
3.Kartilago
e
aryepiglotika
s
4.Plika
a vestibularis
n
5.Plika vokalis
K
6.Rima glotis
e
7.Trakea
s
a
Kesan : Pada pemeriksaan status lokalis cavum oris dan tenggorok
terdapat caries dentis dan tonsil normal
V. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Rinitis vasomotor
Rinosinusitis kronis
Medikamentosa
14
R/ Cetirizine tab 10mg No. XV
S 1 dd tab 1 an
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Nasal
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah (Elise,
2014).
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung ( nares anterior )
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior, tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang
yang disebut vibrise. Sedangkan nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai
empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior
(Elise, 2014).
Anatomi Hidung
16
Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os
etmoid, 2) vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine.
Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan
2) kolumela (Elise, 2014).
17
konka media dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus
frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior
yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid (Elise, 2014).
Konka nasi
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari
os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung
dibentuk oleh os sphenoid (Elise, 2014).
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional
dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar
berlapis yang mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan
normal warna mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi
oleh palut lendir. Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak
sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan,
radang, sekret kental, dan obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap
rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa
18
dilapisi oleh epitel pseudostratified columnar tidak bersilia. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan (Elise, 2014).
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.
splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n.
splenopalatina. Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis.
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a.
etmoidalis anterior, a. palatina mayor, dan a. labialis superior yang
membentuk Pleksus Kiesselbach yang mudah cedera oleh trauma sehingga
sering menjadi sumber epistaksis anterior. Bagian depan dan atas rongga
hidung mendapat persarafan sensoris dari n. etmoidalis anterior yang
merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal dari n. ophtalmicus.
Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari n.
maksilaris melalui ganglion spenopalatina. Ganglion spenopalatina selain
memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut sensoris dari n.
maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus superfisialis mayor
dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda (Elise, 2014).
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung (Elise,
2014).
B. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional.
Fungsi hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur
kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi
penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk
menampung stimulus penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi
19
suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui
konduksi tulang, 4) fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma, dan pelindung panas, 5) refleks nasal (Elise,
2014).
C. RINITIS ALERGI
a. Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh
reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi
dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia
ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (Irawati
dkk, 2007).
b. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction
atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlansung sejak konntak
alergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau
Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan
puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48
jam (Irawati dkk, 2007).
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi,
makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II
membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 9IL 1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2.
Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL
20
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga
sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Ig E. Ig E di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di permukaan
sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen
spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan
basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2
(PGD2), Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, Platelet Activating
Factor, dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi
fase cepat (RAFC) (Irawati dkk, 2007).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1) (Irawati dkk,
2007).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul
kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respon ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada
RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung
serta serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte
Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada
21
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase
(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor
non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati
dkk, 2007).
Berdasarkan cara masuknya alargen dibagi atas :
Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau, debu rumah, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan serta jamur.
Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan
dan minuman, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, dan
kacang-kacangan.
Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
c. Klasifikasi Rinitis Alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya yaitu :
Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di
indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim.
Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit
intermitten atau terus-menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat
ditemukan sepanjang tahun. Penyebab paling sering ialah alergen
inhalan dan alergen ingestan.
Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
22
on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi :
Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu.
Persisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi
dibagi menjadi :
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal hal lain yang
mengganggu.
Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.
d. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada
RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata (lakrimasi).
Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak.
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan
23
utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan pasien (Irawati dkk,
2007).
Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak.
Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu,
tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal dengan
punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,
yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung
langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring
tampak granuler dan edema (cobblestone appearance) serta dinding
lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue) (Irawati dkk, 2007).
Pemeriksaan penunjang
Hidung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau
meningkat. Demikian pula pemeriksaan Ig E total seringkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari 1 macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi pasien
juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini
berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak
kecil. Lebih bermakna adalah pemeriksaan Ig E spesifik
menggunakan RAST (Radioimmuno Sorbent Test) atau ELISA.
Pemeriksaan sitologi hidung berguna sebagai pemeriksaan
24
pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan (Irawati dkk, 2007).
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes
cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri
(Skin End-point Titration/SET). Untuk alergi makanan, uji kulit
yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus
Provocative Dilutional Food Test. Skin test merupakan salah satu
dari dua macam pengujian reaksi alergi yang dianggap valid dan
sudah diterapkan selama bertahun-tahun. Skin test adalah suatu
pengujian yang dilakukan pada kulit untuk mengidentifikasi
substansi alergi (alergen) yang menjadi pemicu timbulnya reaksi
alergi. Alasan mengapa skin test merupakan pengujian yang sering
dan harus dilakukan terhadap pasien di rumah sakit maupun klinik
adalah bahwa setiap individu memiliki sensitivitas yang berbeda-
beda terhadap berbagai macam bahan maupun obat. Selain itu, skin
test relatif mudah dilakukan, nyaman bagi pasien, tidak mahal, dan
hasil pemeriksaan bisa didapatkan hanya dalam waktu 15-20 menit.
Prosedur skin test sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang
memiliki reaksi alergi tinggi dan pada pasien dengan eksema yang
meluas. Pada situasi seperti ini, digunakan pengujian reaksi alergi
lain, yaitu RAST (Radio-allergo-sorbent Test). Kelemahan dari
pengujian ini adalah hasil pemeriksaan tidak dapat langsung dapat,
dan biaya lebih mahal (Lena, 2018)
25
e. Tata Laksana
26
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral (Irawati dkk, 2007).
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa
kombinasi dengan antihistamin. Namun pemakaian secara topikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama
sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi
dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran potein
sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit, mencegah
bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon
fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal
bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium)
sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat,
obat ini juga menghambat proses ini juga menghambat aktifasi sel
netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis (Irawati dkk, 2007).
Preparat antikolinergik topikal adalah ipatropium bromida,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi
reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. Pengobatan baru
lainnya rinitis alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.
Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka
inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior hipertrofi
berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
27
Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan
gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan
pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode yaitu intradermal dan
sublingual (Irawati dkk, 2007).
f. Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah polip hidung,
otitis media efusi dan sinusitis paranasal.
D. RINITIS VASOMOTOR
a. Definisi
Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis
tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal
(kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral,
antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung
dekongestan). Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya
alergi/alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE
spesifik serum). Kelainan ini disebut juga vasomotor catarrh,
vasomotor rinorhea, nasal vasomotor instability, atau juga non-allergic
perennial rhinitis (Nina dkk, 2007).
b. Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa
hipotesis telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rinitis
vasomotor :
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)
Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th
1-2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian
kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmitter, noradrenalin
dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriisi dan
28
penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi
sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan
rongga hidung yang bergantian setiap 2-4 jam Keadaan ini disebut
siklus nasi. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan mampu untuk
dapat bernapas dengan tetap normal melalui rongga hidung yang
berubah-ubah luasnya (Nina dkk, 2007).
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior
menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n. vidianus,
kemudia menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokris. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter
asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi
kongesti hidung. Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja
belumlah diketahui dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus
bertindak sebagai pusat penerima impuls eferan, termasuk rangsal
emosional dari pusat yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung
normal, persarafan simpatis lebih dominan. Rinitis vasomotor
diduga sebagai akibat dari ketidakseimbangan impuls saraaf
otonom di mukosa hidung yang berupa bertambahnya aktivitas
sistem parasimpatis.
2. Neuropeptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan
oleh meningkatnya rangsangan saraf sensoris serabut C di hidung.
Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan
peningkatan pelepasan neuropeptida seperti substansi P dan
calcitonis generelated protein yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiperreaktifitas
hidung.
3. Nitrik Oksida
29
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan
epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau
nekrosis epitel, sehingga rangsangan non spesifik berinteraksi
langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan
reaktifitas serabut trigeminal dan recruitment refleks vaskular dan
kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang
dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan atau
neuropeptida (Nina dkk, 2007).
c. Gejala Klinik
Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai
rangsangan non-spesifik, seperti asap rokok, bau yang menyengat,
parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin
dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar,
kelelahan dan stres.emosi. pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. Kelainan ini
mempunyai gejala yang mirip denggan rinitis alergi, namun gejala yang
dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid
atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata (Nina dkk,
2007).
Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya.
Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3
golongan, yaitu :
a. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon
yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid
topikal
30
b. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan pemberian
anti kolinergik topikal
c. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokontriktor oral.
d. Diagnosis
Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu
menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan
akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi
timbulnya gejala. pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak
gambaran yang khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna
merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu
dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau
berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret
mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang
ditemukan ialah serosa dan banyak jumlahnya.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada
sekret hidung, akan tetapi jumlah sedikit. Test cukit kulit biasanya
negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat (Nina dkk, 2007).
31
- Gatal dimata Sering dijumpai Jarang dijumpai
Laboratorium
Test kulit Positif Negatif
Sitologi hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat atau
meningkat sedikit
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Normal
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus
e. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada rinitis vasomotor bervariasi, tergantung
faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar dibagi
dalam :
1. Non medikamentosa
Pada prinsipnya terapi disini memperhatikan dan menghindari
atau mengurangi faktor predisposisi. Penderita dianjurkan banyak
berolahraga dan dianjurkan untuk mengubah pola makan yang
lebih sehat, seperti perbanyak sayur dan buah. Hindari makan
makanan pedas dan minum minuman dingin (Huriyati, 2016).
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk
mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :
Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta
Phenylephrine dan Oxymetazoline ( semprot hidung ).
Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore. Misalnya
cetirizine, loratadine, dll.
Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat,
rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi
lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Bisaanya
digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum
32
dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone.
Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore
sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium
bromide (nasal spray)
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) :
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3
25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun
secara elektrik ( electrical cautery ).
Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy
of the inferior turbinate ).
Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate
resection).
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ).
Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan
melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara
diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan
pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini
sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi
dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi (Irawati dkk,
2007).
33
Algoritme tatalaksana Rhinitis Vasomotor (Patricia dkk, 2005).
f. Prognosis
Progonisis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada
golongan rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip denngan
rinitis alergi, perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya.
34
g. Komplikasi
35
BAB IV
PEMBAHASAN
36
Untuk rinitis alergi biasanya ditemukan mukosa edema, basah,
berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak, dan
untuk rinitis yang persisten disertai mukosa inferior tampak hipertrofi.
Pada pemeriksaan fisik hidung pada pasien ini hanya didapatkan mukosa
edema sedangkan untuk warnanya hiperemis bukan livid atau pucat.
Begitu juga dengan konka inferior yang edema namun hiperemis. Pada
saat pemeriksaan dilakukan tidak ditemukan cairan. Namun hal ini belum
bisa menyingkirkan diagnosis rinitis alergi, masih diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa tes alergi. Mukosa yang hiperemis bisa
mengarang ke diagnosis rinitis vasomotor. Namun harus dilakukan
eksklusi rinitis yang lain terlebih dahulu untuk mendiagnosis rinitis
vasomotor.
Penatalaksanaan pada pasien ini kita nasehati untuk menghindari
atau mengurangi faktor presdiposisi. Penderita juga dianjurkan banyak
berolahraga dan dianjukan mengubah pola makan yang lebih sehat,
seperti perbanyak buah dan sayur. Selain itu pasien juga diberikan
kortikosteroid topikal dan anti histamin, tatalaksana ini sesuai dengan
algoritma tatalaksana rinitis alergi persisten sedang/berat menurut WHO
Initiative ARIA 2001. Pasien diberikan kortikosteroid topikal yaitu
budesonid nasal spray 2 semprotan pada tiap hidung 2 kali sehari
ditambahkan dengan antihistamin berupa cetirizine 1 x 10 mg/hari.
37
BAB V
KESIMPULAN
Adams G., Boies L., Higler P., 2012. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2008. ARIA
Guidelines.http://www.whiar.org/docs/ARIA_PG_08_View_WM.pdf.25 Mei
2014 (14:00).
Ariza, M. F. (2018). Hubungan Rinitis Alergi Terhadap Kualitas Tidur Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2015.
Becker, K.J., Baxter, A.B., Cohen, W.A., Bybee, H.M., Tirschwell, D.L., Newell,
D.W, et al., 2017. Withdrawal of support in intracerebral hemorrhage may lead
to selffulfilling prophecies. Neurology, 56, p. 766-772.
Bousquet, J. et al., 2008. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2008
Update (In collaboration with the WHO). In : Journal allergy 63. (Suppl 86 ) : 8
– 160.
Dhingra. P.L. and Dhingra, S., 2013. Diseases of ear, nose & throat. 5 th ed. India:
Elsevier, pp.69-70.
Elise Kasakeyan. Rinitis Vasomotor. Dalam : Soepardi EA, Nurbaiti Iskandar, Ed.
Buku Ajar Ilmu Penyakit THT. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 2014.
h. 135 – 6.
Huriyati, E., & Hafiz, A. (2016). Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial.
Irawati N et al. Rhinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Ed 6. Jakarta : balai penerbit FK UI; 2007.:128-34
Lena, A. (2018). Perbedaan Jenis Alergen pada Pasien Rinitis Alergi dengan dan
Tanpa Asma Berdasarkan Pemeriksaan Skin Prick Test di RSUP. H. Adam
Malik Medan..
Nina et al. Rhinitis Vasomotor. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan
Leher. Ed 6. Jakarta : balai penerbit FK UI; 2007.:135.
Patricia WW, Stephen FW. Vasomotor rhinitis. Am fam physician. university of
louisville school of medicine, louisville, Kentucky. 2005. p:1057-1062.
Available from : http://www.aafp.org/afp/2005/0915/p1057.html
Rafi, M., Adnan, A., & Masdar, H. (2015). Gambaran Rinitis Alergi pada Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014. Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 2(1), 1-11.
Sanico A, Togias A. Noninfectious, nonallergic rhinitis (NINAR). Dalam: Lalwani
KA,Ed. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery second edition. New York: Lange McGrawHill Comp, 2007.p. 112-
117.
Schwinghammer, T.L., 2012, dalam Wells, B.G., Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L.,
DiPiro, C.V., Pharmacotherapy Handbook, 8th edition, 356-413, McGraw-Hill,
New York.
40