Oleh
Kelompok 7 /Kelas B :
2016/2017
I. Tujuan Praktikum
Memahami metode dan mampu melakukan analisis golongan senyawa kimia dalam
tumbuhan secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT).
1. Pembuatan ekstrak
Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam erlenmeyer,
ditambah 25 ml etanol 80%, kemudian ditempatkan pada alat ultrasonik.
Setiap 3 menit ekstrak diaduk, kemudian diultrasonik kembali, diulangi
sebanyak tiga kali dan disaring untuk mendapatkan filtratnya.
Proses maserasi diulangi tiga kali kemudian ekstrak dari ketiga proses
maserasi dicampur.
Setelah proses maserasi, selanjutnya ekstrak dipekatkan dengan
menggunakan rotary evaporator, sehingga didapatkan ekstrak kental.
Ekstrak kental tersebut diuapkan dalam oven dengan suhu 40°C sampai
diperoleh akstrak kering.
Kromatogram antrakuinon:
V. Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu tentang KLT. KLT / Kromatografi lapis
tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin
dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran. Sampel yang kami gunakan yaitu Bunga Rosella merah
(Hibiscus sabdriffa L.)
Prinsip kerja dari KLT yaitu berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana
sampel akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel
dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari
bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin
dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel
akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Pada praktikum ini menggunakan
fase diam plat KLT silika gel yang sudah siap digunakan sedangkan fase
geraknya menggunakan larutan dengan perbandingan yang sesuai dengan
pentunjuk praktikum.
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga
menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah
pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan
kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu
tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran.Namun
apabila nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat
ditambah.
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh
ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom
yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan
rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur
molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-
seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi
emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang
menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.
Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan
karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap
sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada
cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH
yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini
dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah
panjang gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4
yang digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat
merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan
pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik
dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV
yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena
berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi
jika disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna
gelap (ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung
indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang
tampak adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi
tetapi sampelnya.
Berdasarkan literatur bunga Rosella mengandung flavonoid, polisakarida
dan asam asam organic yang berperan dalam member efek farmakologis tertentu.
Flavonoid pada Rosella terdiri dari flavanol dan pigmen antosianin yang berada
pada kelopak Rosella dalam bentuk glukosida yang terdiri cyanidin-3-
sambubioside, delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-
sambubioside. Sementara itu flavonol terdiri dari gossypetin, hibiscetin,
quercetia (mardiah, dkk. 2009). Tetapi yang kami dapatkan pada praktikum ini
rosella positif mengandung alkaloid karena pada pengujian identifikasi alkaloid
rosella menghasikan noda. Jarak noda dari penotolan yaitu 4,8 sedangkan jarak
pelarut dari penotolan yaitu 6 sehingga didapatkan nilai RF nya yaitu 0,8.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, pada
praktikum skrining secara KLT dengan beberapa pengujian identifikasi senyawa
yang kami lakukan ternyata bunga rosella merah positif mengandung alkaloid
dengan nilai RF yaitu 0,8.
VII. Daftar Pustaka
Maryani. H. dan. Kristiana. L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. Agro Media
Pustaka, Jakarta.
Fried, B. & Sherma, J., 1994, Thin Layer Chromatography Techniques and
Applications, 3rd Ed., 157, Marcel Dekker Inc., New York.
David, G., dan Watson. (2009). Analisis Farmasi, Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.