Anda di halaman 1dari 11

SKRINING FITOKIMIA SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

Oleh

Kelompok 7 /Kelas B :

1. Ni Made Sherly Pradnyandari (151078)

2. Ni Komang Ayu Trisna Asih (151079)

3. Ni Putu Arsani Angandari (151080)

4. Ni Made Mega Meliawati (151081)

5. Komang Erry Sedhana Atmaja (151082)

6. Yasa Karyada (151083)

2016/2017
I. Tujuan Praktikum

Memahami metode dan mampu melakukan analisis golongan senyawa kimia dalam
tumbuhan secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

II. Dasar Teori

Rosella (Hibiscus sabdriffa L)


Tanaman rosella merupakan tanaman yang serbaguna. Hampir seluruh bagian
tanaman rosella mulai dari buah, kelopak dan daun dapat dimakan. Tanaman ini juga
dimanfaatkan sebagai bahan minuman, sari buah, salad, sirup, pudding dan asinan.
Minuman dari kelopak rosella, selain punya rasa yang enak juga berkhasiat sebagai obat
batuk dan lainlain. Sebagai obat tradisional, secara empiris rosella berkhasiat sebagai
antiseptic, diuretic, pelarut, sedative, dan tonik (Maryani dan Kristina, 2005)

Kandungan Senyawa Kimia dalam Rosella


Salah satu kandungan yang ada dalam kelopak rosella adalah flavonoid yaitu
antosianin. Flavonoid adalah salah satu senyawa metabolitb sekunder yang biasanya ada
di akar, batang, daun, kelopak, biji dan lain-lain. Antosianin adalah pigmen daun bunga
yang berwarna merah sampai biru. Flavonoid yang ada sebagai metabolit sekunder
mempunyai efek berbagai macam, seperti dapat bekerja sebagai inhibitor kuat pernafasan,
sebagi antioksidan juga bermanfaat sebagai pengobatan gangguan fungsi hati dan
mengurangi pembekuan darah (Robinson, 1991)
Kandungan kimia pada rosella tersebar diseluruh bagian tanaman ini. Berdasarkan
penelitian, pada ekstrak kelopak bunga Rosella (Hibiscus sabdriffa L.) mengandung
flavonoid, polisakarida dan asam asam organic yang berperan dalam member efek
farmakologis tertentu. Flavonoid pada Rosella terdiri dari flavanol dan pigmen antosianin
yang berada pada kelopak Rosella dalam bentuk glukosida yang terdiri cyanidin-3-
sambubioside, delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-sambubioside. Sementara itu
flavonol terdiri dari gossypetin, hibiscetin, quercetia (mardiah, dkk. 2009).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan metode yang paling sederhana dari
banyak metode kromatografi lainnya. Dengan teknik optimasi, tersedianya bahan dan
instrumen maka pemisahan yang sangat efisien dan kuantifikasi akurat dan tepat dapat
tercapai (Sherma dan Fried, 2005). Prinsip umum KLT yaitu pemisahan campuran karena
adanya pergerakan solven melewati permukaan datar, komponen–komponen tersebut
akan bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda–beda tergantung dari kelarutannya,
adsorpsi, ukuran molekul, muatan dan elusi (Fifield dan Kealey, 2000).
Fase diam yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika gel dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi-desorpsi (suatu mekanisme perpindahan solut dari
fase diam ke fase gerak atau sebaliknya) yang utama pada Kromatografi Lapis Tipis
adalah partisi dan adsorbsi (Rohman, 2009). Jarak migrasi senyawa pada plat silika gel
tergantung pada polaritasnya. Senyawa yang paling polar bergerak naik dengan jarak
paling dekat dari titik awal penotolan, sedangkan senyawa dengan polaritas paling kecil
bergerak paling jauh dari titik awal penotolan tersebut. Silika gel merupakan fase diam
polar yang paling sering digunakan, meskipun demikian silika gel juga banyak dijumpai
dalam bentuk yang termodifikasi (Watson, 2009).
Fase gerak pada KLT dipilih dari pustaka, sistem yang paling sederhana adalah
dengan menggunakan campuran 2 pelarut organik sehingga pemisahan dapat terjadi
secara optimal. Pada saat pemilihan fase gerak, fase gerak harus mempunyai kemurnian
yang sangat tinggi karena Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan teknik pemisahan
yang sangat sensitif. Daya elusi dari fase gerak yang dipilih harus dapat memberikan
harga Rf analit diantara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. Polaritas fase gerak
untuk menentukan nilai Rf analit pada pemisahan menggunakan KLT (Rohman, 2009).
Pengembangan pelarut biasanya dilakukan dengan cara menaik (ascending), yang
mana ujung lempeng dicelupkan ke dalam pelarut pengembang. Untuk menghasilkan
reprodusibilitas kromatografi yang baik, wadah fase gerak harus dijenuhkan dengan uap
fase gerak (Rohman, 2009). Plat dicelupkan dalam fase gerak kira – kira 0,5 cm. Untuk
meyakinkan bahwa bejana kromatografi telah jenuh, maka dinding dalam bejana dapat
dilapisi dengan lembaran kertas saring yang ujungnya direndam dalam fase gerak
(Sastrohamidjojo, 1985).
Reprodusibilitas Rf puncak-puncak kromatogram dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti plat KLT yang digunakan, kadar analit yang ditotolkan, jarak
pengembangan, derajat kejenuhan chamber, suhu lingkungan, dan senyawa ikutan pada
ekstraksi (coextracting substance). Metode KLT merupakan metode analisis yang praktis,
sederhana, efektif, cepat, tervalidasi dan sensitif (Sastrohamidjojo, 1985).
III. Pelaksanaan
Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok, tiap kelompok terdiri dari 5-6
orang. Setiap kelompok melakukan analisis golongan senyawa kimia secara KLT
dari simplisia yang diberikan.

Bahan dan Alat :

a. Bahan yang digunakan :


 Larutan etanol 80%
 Aquades
 Serbuk simplisia (buah lada hitam, daun teh, rimpang kunyit, rosella merah)
 Larutan NH4OH
 Larutan kloroform-metanol (9 : 1)
 Pereaksi Dragendorf
 Larutan butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5)
 Larutan H2SO4 10 %
 Pereaksi Lieberman Burchard
 Pereaksi FeCl3
 Larutan n-heksan-etil asetat (3:7)
 Larutan KOH 10% dalam metanol

b. Alat yang digunakan :


 Timbangan
 Erlenmeyer
 Batang pengaduk
 Kertas saring
 Aluminium foil
 Cawan penguap
 Rotary evaporator
 Oven
 Plat KLT silika gel 60 F254
 Pipa kapiler
 Lampu UV
 Kertas whatman no. 1
Prosedur :

1. Pembuatan ekstrak
 Sebanyak 5 gram serbuk simplisia dimasukkan ke dalam erlenmeyer,
ditambah 25 ml etanol 80%, kemudian ditempatkan pada alat ultrasonik.
 Setiap 3 menit ekstrak diaduk, kemudian diultrasonik kembali, diulangi
sebanyak tiga kali dan disaring untuk mendapatkan filtratnya.
 Proses maserasi diulangi tiga kali kemudian ekstrak dari ketiga proses
maserasi dicampur.
 Setelah proses maserasi, selanjutnya ekstrak dipekatkan dengan
menggunakan rotary evaporator, sehingga didapatkan ekstrak kental.
 Ekstrak kental tersebut diuapkan dalam oven dengan suhu 40°C sampai
diperoleh akstrak kering.

2. Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid secara KLT


Sejumlah kecil ekstrak dimasukkan ke dalam cawan penguap,
ditambahkan HCl 2N sebanyak 5 ml kemudian dipanaskan di atas penangas
air sambil sesekali diaduk selama kurang lebih 5 menit. Setelah dingin
disaring, filtrat ditambah tetes demi tetes NH4OH sampai menjadi basa (pH
9-10). Kemudian larutan diekstraksi (3x) menggunakan kloroform dengan
volume yang sama. Fase kloroform dikumpulkan, kemudian diuapkan.
Residu ditambah beberapa tetes metanol, kemudian ditotolkan pada pelat
KLT. Uji kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : kloroform-metanol (9 : 1)
Penampang noda : Pereaksi Dragendorf
Adanya senyawa golongan alkaloid ditunjukkan dengan timbulnya noda
berwarna jingga. Nilai Rf ditentukan.

3. Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid secara KLT


Ekstrak dilarutkan dalam metanol kemudian ditotolkan pada pelat KLT. Uji
kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5), gunakan
lapisan atas
Penampang noda : Larutan H2SO4 10 %, dipanaskan 5 menit pada
110°C
Adanya senyawa golongan flavonoid ditunjukkan dengan timbulnya noda
berwarna kuning. Nilai Rf ditentukan.

4. Identifikasi Senyawa Golongan Triterpenoid/Steroid secara KLT


Ekstrak dilarutkan dalam metanol kemudian ditotolkan pada pelat KLT. Uji
kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : kloroform-metanol (9 : 1)
Penampang noda : Pereaksi Lieberman Burchard
Adanya senyawa golongan Triterpenoid/Steroid ditunjukkan dengan
timbulnya noda berwarna ungu/merah ungu (Triterpenoid) dan hijau biru
(Steroid). Nilai Rf ditentukan.

5. Identifikasi Senyawa Golongan Tanin secara KLT


Ekstrak dilarutkan dalam metanol kemudian ditotolkan pada pelat KLT. Uji
kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5), gunakan
lapisan atas
Penampang noda : pereaksi FeCl3
Adanya senyawa golongan tanin ditunjukkan dengan timbulnya noda
berwarna hitam. Nilai Rf ditentukan.

6. Identifikasi Senyawa Golongan Antrakuinon secara KLT


Ekstrak dilarutkan dalam metanol kemudian ditotolkan pada pelat KLT. Uji
kromatografi lapis tipis ini menggunakan :
Fase diam : Silika gel 60 F254
Fase gerak : n-heksan-etil asetat (3:7)
Penampang noda : larutan KOH 10% dalam metanol
Adanya senyawa golongan antrakuinon ditunjukkan dengan timbulnya noda
berwarna kuning, kuning coklat, merah ungu atau hijau ungu. Nilai Rf
ditentukan.

IV. Hasil Pengamatan


a. Kromatogram alkaloid : b. Kromatogram flovonoid:

c. Kromatogram triterpenoid/steroid: d. Kromatrogram tannin :

Kromatogram antrakuinon:
V. Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu tentang KLT. KLT / Kromatografi lapis
tipis merupakan salah satu analisis kualitatif dari suatu sampel yang ingin
dideteksi dengan memisahkan komponen-komponen sampel berdasarkan
perbedaan kepolaran. Sampel yang kami gunakan yaitu Bunga Rosella merah
(Hibiscus sabdriffa L.)
Prinsip kerja dari KLT yaitu berdasarkan adsorpsi dan partisi, dimana
sampel akan berpisah berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel
dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari
bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin
dipisahkan. Semakin dekat kepolaran antara sampel dengan eluen maka sampel
akan semakin terbawa oleh fase gerak tersebut. Pada praktikum ini menggunakan
fase diam plat KLT silika gel yang sudah siap digunakan sedangkan fase
geraknya menggunakan larutan dengan perbandingan yang sesuai dengan
pentunjuk praktikum.
Prinsip pemisahan noda adalah berdasarkan kepolarannya sehingga
menghasilkan kecepatan yang berbeda-beda saat terpartisi dan terjadilah
pemisahan. Untuk memisahkan noda dengan sebaik-baiknya maka digunakan
kombinasi eluen non polar dengan polar. Apabila noda yang diperoleh terlalu
tinggi, maka kecepatannya dapat dikurangi dengan mengurangi kepolaran.Namun
apabila nodanya lambat bergerak atau hanya ditempat, maka kepolaran dapat
ditambah.
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh
ausokrom yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom
yang dapat menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan
rangkap tak jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur
molekul dengan ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-
seling dengan ikatan tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi
emisi yang dipancarkan pada saat kembali ke energi dasar inilah yang
menyebabkan perbedaan flouresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda.
Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan H2SO4 10% disebabkan
karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan ikatan rangkap
sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat dilihat pada
cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH
yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini
dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah
panjang gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4
yang digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat
merusak lempeng namun jika konsentrasinya terlalu rendah maka kemampuan
pemutusan ikatannya tidak maksimal. Proses pemanasan pada pemanas listrik
dimaksudkan untuk membantu proses pemutusan ikatan pada H2SO4. Sinar UV
yang digunakan adalah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm karena
berdasarkan literatur, bahwa banyak senyawa organik yang dapat berflouresensi
jika disinari UV 254 nm. Pada lampu UV 254 nm noda yang tampak berwarna
gelap (ungu) karena yang berflouresensi adalah lempengnya yang mengandung
indikator sedangkan sampelnya tidak. Pada lampu UV 366 nm warna noda yang
tampak adalah terang atau tampak jelas karena lempengnya tidak berflouresensi
tetapi sampelnya.
Berdasarkan literatur bunga Rosella mengandung flavonoid, polisakarida
dan asam asam organic yang berperan dalam member efek farmakologis tertentu.
Flavonoid pada Rosella terdiri dari flavanol dan pigmen antosianin yang berada
pada kelopak Rosella dalam bentuk glukosida yang terdiri cyanidin-3-
sambubioside, delphinidin-3-glucose, dan delphinidin-3-
sambubioside. Sementara itu flavonol terdiri dari gossypetin, hibiscetin,
quercetia (mardiah, dkk. 2009). Tetapi yang kami dapatkan pada praktikum ini
rosella positif mengandung alkaloid karena pada pengujian identifikasi alkaloid
rosella menghasikan noda. Jarak noda dari penotolan yaitu 4,8 sedangkan jarak
pelarut dari penotolan yaitu 6 sehingga didapatkan nilai RF nya yaitu 0,8.
VI. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa, pada
praktikum skrining secara KLT dengan beberapa pengujian identifikasi senyawa
yang kami lakukan ternyata bunga rosella merah positif mengandung alkaloid
dengan nilai RF yaitu 0,8.
VII. Daftar Pustaka

Mardiah, Sawarni, H.,R.W. Ashadi., Rahayu.2009.Budi Daya dan Pengolaha


Rosella Si Merah Segudang Manfaat.Jakarta: Agromedia Pustaka.

Maryani. H. dan. Kristiana. L. 2005. Khasiat dan Manfaat Rosella. Agro Media
Pustaka, Jakarta.

Robinson, T., 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Obat Tinggi, Diterjemahkan


oleh Kokasih Padmawinata, 191-193, ITB, Bandung.

Fifield, F.W and D. Kealey. (2000). Principles and Practice of Anlytical


Chemistry, Fifth Edition, Blackwell Science Ltd, Germany.

Gandjar, I.G., dan Rohman, A. (2009). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar: hal. 220-255

Fried, B. & Sherma, J., 1994, Thin Layer Chromatography Techniques and
Applications, 3rd Ed., 157, Marcel Dekker Inc., New York.

David, G., dan Watson. (2009). Analisis Farmasi, Edisi 2, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Sastrohamidjojo, H. 1985. Kromatografi. Edisi I. Cetakan I. Yogyakarta :


Liberty.

Anda mungkin juga menyukai