Anda di halaman 1dari 81

ANALISIS KADAR C-REACTIVE PROTEIN PASIEN ADEKUASI

HEMODIALISIS DAN TIDAK ADEKUASI HEMODIALISIS PADA


PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
HEMODIALISA RUTIN DI RSUP DR.SARDJITO

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mendapatkan

Derajat/Spesialisasi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam

Diajukan Oleh
dr. Sutriono
14/374057/PKU/14874

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN
KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019

i
ii
KATA PENGANTAR

Segala Puji hanya kepada Allah SWT yang telah melimpahkan hidayah
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penyusunan
tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat spesialisasi di
bidang Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Penulisan tesis ini dapat terlaksana dengan baik atas bimbingan dan bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada yang terhormat :
1. dr. Iri Kuswadi, Sp.PD - KGH, selaku pembimbing I yang telah
memberikan arahan konsep, membimbing, dan mendorong dalam
penulisan ini.
2. dr. R. Heru Prasanto, SpPD - KGH, selaku pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan dorongan dalam penulisan karya tulis ini.
3. dr. Eko Aribowo, M.Kes, Sp.PD, KGer, yang telah membantu dalam
memberikan masukkan metode penelitian penulisan ini.
4. Dr. dr. I Dewa Putu Pramantara, Sp.PD, KGer, yang telah memberi
masukkan agar penelitian ini lebih baik lagi.
5. dr. Rizka Humardewayanti, Sp.PD, KPTI, yang telah memberikan
masukkan penulisan tesis ini dan persetujuan untuk mendapatkan ethical
Clearance dari komite etik.
6. Bu Tatik sebagai kepala ruangan hemodialisa RSUP Dr. Sardjito beserta
seluruf staf Nefrologi- Hipertensi yang telah membantu terlaksananya
penelitian ini.
7. Kepala bagian, Ketua program studi, seluruh kepala Sub Bagian beserta
staf pendidik Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada
Yogayakarta.
8. Seluruh staf pendukung di Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas
Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah
Mada Yogayakarta.

v
9. Pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani Hemodialisa rutin dan secara
sukarela membantu terlaksananya penelitian ini.
10. Kepada istriku, Ollin Nostalgia, SE, dan anak- anakku tersayang, Farrel
Pratama, Syifa Zhafira, Nadhif Azzam Pranaja, yang selalu memberikan
dukungan dan semangat sehingga penulis dapat menempuh dan
menyelesaikan karya tulis ini.
11. Kepada orang tua saya, Wagimin (alm), Suyani, Azwir Khan (alm) dan
Erlina yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan serta dorongan
selama menempuh pendidikan dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.
12. Kepada saudara- saudara ku Susiani, Joko Irwanto, Yusniarti SPd, Andri
Sahputra, SE, atas bantuan dan supportnya selama ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dan bekerjasama dengan baik selama pendidikan dan dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Akhirnya semoga Allah SWT selalu melimpahkan karunia dan rahmat-Nya,
serta memberi balasan yang lebih baik atas segala kebaikan yang penulis terima.

Yogyakarta, Agustus 2019


Penulis

Sutriono

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
LEMBAR PERSETUJUAN ii
PERNYATAAN iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR LAMPIRAN ix
DAFTAR DIAGRAM x
DAFTAR SINGKATAN xi
INTISARI xii
ABSTRACT xiii
BAB 1. PENDAHULUAN 14
A. Latar Belakang 14
B. Perumusan Masalah 20
C. Tujuan Penelitian 21
D. Manfaat Penelitian 21
E. Keaslian Penelitian 22
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 25
A. Gagal ginjal kronik 25
B. C-reactive protein, inflamasi serta hubungannya dengan
gagal ginjal kronik 28
C. CRP sebagai marker inflamasi dan pengaruhnya terhadap tubuh 32
D. Pengukuran Kadar CRP 34
E. Hemodialisis 35
F. Adekuasi hemodialisis 37

vii
G. Kerangka Teori 43
H. Kerangka Konsep 44
F. Hipotesis 44
BAB 3. METODE PENELITIAN 45
A. Jenis dan Rancangan Penelitian 45
B. Lokasi dan tempat penelitian 45
C. Subyek Penelitian 45
D. Variabel Penelitian 46
E. Definisi Operasional 46
F. Tempat dan Waktu Penelitian 50
G. Protokol Penelitian 50
H. Besar sampel 52
I. Tenik Pengambilan Sampel 53
J. Jenis dan Analisa Data 53
K. Pertimbangan Etik 54
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 55
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN 69
DAFTAR PUSTAKA 70
Lampiran 75

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Keaslian penelitian 23


26
Tabel 2. Distribusi jenis kelamin, usia dan status pasien hemodialisis tahun 2014

Tabel 3. Peluang bertahan hidup pasien yang dihemodialisis 26

Tabel 4. Stadium penyakit ginjal kronik 27

Tabel 5. Petanda inflamasi 29


Tabel 6. Peningkatan kadar C-Reactive protein pada beberapa penyakit 30
Tabel 7. Definisi operasional 46
Tabel 8. Karakteristik dasar Responden pasien yang menjalani hemodialisis 56
Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Adekuasi Hemodialisis dan Kadar C-reactive
protein 59

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan mengenai penelitian 75


Lampiran 2. Inform Consent 79

Lampiran 3. Lembar alat pengumpul data potensial pengganggu 80


Lampiran 4. Lembar alat pengumpul data adekuasi hemodialysis 81

x
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1. Proporsi Responden Menurut Kadar C- reactive protein 57


Diagram 2. Proporsi Responden Menurut Adekuasi Hemodialisis 58

xi
DAFTAR SINGKATAN

AHA : American Heart Association

CAPD : Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

CRRT : Continuous Renal Replacement Therapy

CRP : C-reative protein

ELISA : Enzyme- linked Immunosorbent Assay

ESRD : End Stage Renal Disease

HD : Hemodilisis

IL-6 : Interleukin – 6

IL-10 : Interleukin – 10

IRR : Indonesian Renal Registry

KDOQI : Kidney Disease Outcome Quality Initiative

Kt/V : Klirens urea dari dialiser

LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

NCDS : National Cooperative Dialysis Study

NKF : National kidney foundation

PERNEFRI : Perhimpunan nefrologi Indonesia

PGK : Penyakit Ginjal Kronik

Qd : Quick of Dialisate

SAA : Serum amyloid A

TKK : Tes Klirens Kreatinin

TNF-a : Tumor Necrosis Factor - alfa

URR : Urea Reduction Rate

WHO : World Health Organization

xii
Analisis Kadar C-Reactive Protein Pasien Adekuasi Hemodialisis Dan
Tidak Adekuasi Hemodialisis Pada Penderita Gagal Ginjal Kronik Yang
Menjalani Hemodialisis Rutin di RSUP Dr. Sardjito
Sutriono1, Iri Kuswadi2, R. Heru Prasanto2

1 PPDS Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan


Keperawatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2 Sub Bagian Nefrologi- Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas


Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas

INTI SARI

Latar Belakang. Peningkatan kadar C- Reactive Protein berkorelasi dengan


proses inflamasi. Pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis rutin menderita inflamasi kronik yang dihubungkan dengan
peningkatan kadar C- Reactive Protein dan kecukupan (adequacy) dialisis.
Kadar tinggi C- Reactive Protein dihubungkan dengan adekuasi hemodialisis.
Metode. Desain penelitian adalah studi potong lintang. Subyek penelitian ini
adalah penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis rutin di
ruangan Hemodialisa RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Hubungan antara kadar C- Reactive Protein dan Adekuasi
Hemodialisis dengan menggunakan fisher exact test. Analisa data dilakukan
secara komputerisasi. Perbedaan dianggap bermakna jika didapatkan P< 0,005
dengan interval kepercayaan 95%.
Hasil. Didapatkan 44 pasien gagal ginjal kronik, hasil pemeriksaan pasien
yang adekuat hemodialisis sebanyak 9 pasien dan yang tidak adekuat
hemodialisis 35 pasien. Jumlah pasien dengan kadar C- Reactive Protein
normal pada pasien yang adekuat hemodialisis sebanyak 6 orang pasien (25%)
dan yang tidak adekuat 18 orang pasien (75%).Jumlah pasien dengan kadar C-
Reactive Protein tinggi pada pasien yang adekuat hemodialisis sebanyak 3
orang pasien (15%) dan yang tidak adekuat 17 orang pasien (85%), dan tidak
bermakna secara statistik.
Kesimpulan . Kadar C- Reactive Protein pada penderita gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisis rutin tidak bermakna secara statistik dengan
adekuasi hemodialisis.

Kata Kunci: Kadar C- Reactive Protein- gagal ginjal kronik- adekuasi


hemodialisis

xiii
Analysis levels C- Reactive Protein of Patients Hemodialysis adequacy
and inadequacy Hemodialysis in Patients with end Stage Renal Disease
with Routine Hemodialysis At Dr. Sardjito Hospital

Sutriono1, Iri Kuswadi2, R. Heru Prasanto2

1 Students of Internal Medicine Departement, Dr. Sardjito Hospital, Faculty of


Medicine, Public Health and Nursing University of Gadjah Mada, Yogyakarta.

2 Subdivision of Nefrology- Hypertension, Internal Medicine Departement, Dr.


Sardjito Hospital, Faculty of Medicine, Public Health and Nursing University
of Gadjah Mada, Yogyakarta.

ABSTRACT

Background. Increased levels of C- reactive Protein correlated with


inflammation process. Patients with End Stage Renal Disease undergoing
routine hemodialysis with chronic inflammation is associated with an increased
levels C- Reactive Protein and adequacy hemodialysis. High levels C- Reactive
Protein is associated with adequacy hemodialysis.

Method. The study design was cross- sectional study. The subject of this study
were patients end stage renal disease undergoing routine hemodialysis in HD
units sardjito hospital who met the inclusion and exclusion criteria. The
relationship between levels of C- Reactive Protein and Adequacy hemodialysis
were analyzed using Fisher Exact test.analized of the data is computerized.
Differences were considered significant if the obtained p > 0,05 with 95%
confidence intervals.

Result. Obtained 44 patients end stage renal disease consisted of 9 patients


with adequacy hemodialysis and 35 patients with inadequacy hemodialysis.
Patients with normal levels CRP 6 patients (25%) in group adequacy
hemodialysis and 18 patients (75%) in group inadequacy hemodialysis.
Patients with high levels CRP 3 patients (15%) in group adequacy
hemodialysis and 17 patients (85%) in group inadequacy hemodialysis and
statistically not significant.

Conclusion. The levels of CRP in patients end stage renal disease undergoing
routine hemodialysis statistically not significant with adequacy hemodialysis.

Key words: The levels of CRP- End stage renal disease- adequacy
hemodialysis

xiv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal progresif, dan

pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah

suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang

ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang

tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2014).

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan diseluruh

dunia terkait dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan meningkatnya

biaya perawatan kesehatan. Berdasarkan World Health Organization (WHO),

Global Burder of Disease Project, penyakit ginjal dan saluran kemih

berkontribusi terhadap beban global yang mencapai 850.000 kematian dan

115.010.107 disabilitas setiap tahun. Penyakit ginjal kronik adalah penyebab

kematian no.12 dan penyebab disabilitas ke-17 didunia. (Abravkar et al, 2013).

Penyakit gagal ginjal kronik saat ini sudah menjadi epidemi global dan

prevalensinya sangat meningkat di seluruh dunia. Di Amerika Serikat prevalensi

PGK mencapai 17%, sedangkan di Indonesia mencapai 12,5% pada populasi

dewasa. Sebagian besar mengalami kematian akibat komplikasi kardiovaskular

(KV), hanya sebagian kecil yang mencapai terminal (PGK tahap 5) yang

memerlukan pengobatan pengganti ginjal.


2

Saat ini, diperkirakan terdapat 100.000 pasien yang memerlukan

pengobatan pengganti ginjal di Indonesia. Hal ini merupakan masalah besar

mengingat tingginya risiko komplikasi, morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler,

serta biaya pengobatan yang sangat tinggi (Suhardjono, 2014).

Jumlah penderita baru PGK di Indonesia terus meningkat dari tahun ke

tahun, sebagaimana data yang dikelola oleh IRR jumlah pasien baru dan aktif dari

tahun 2007 sampai tahun 2014 adalah untuk pasien baru pada tahun 2007

sebanyak 4.977 orang, dan pada tahun 2014 sebanyak 17.193 orang, sedangkan

pasien yang aktif untuk periode yang sama adalah pada tahun 2007 sebanyak

1.885 orang dan pada tahun 2014 sebanyak 11.689 orang. Sedangkan data Jumlah

penderita PGK di Jogja pada tahun 2014 untuk pasien baru adalah sebanyak 852

orang dan yang aktif adalah sebanyak 564 orang. Jumlah pasien baru terus

meningkat dari tahun ke tahun, tetapi pasien yang kemudian masih aktif pada

akhir tahunnya tidak bertambah sejalan pertambahan pasien baru (Indonesian

Renal Registry, 2014).

Pasien dengan gagal ginjal kronik menderita inflamasi kronik. Pada studi

sebelumnya, indikator untuk inflamasi kronik pada kondisi gagal ginjal kronik

adalah meningkatnya level sitokin pro inflamasi dan C-reative protein (CRP).

Pada kondisi uremik, peningkatan sitokin proinflamasi akan memicu onset dan

progresifitas dari aterosklerosis ( Borazan et al, 2004; Wong et al, 2007). Zadeh &

Kople (2006) menyebutkan bahwa sitokin proinflamasi akan meningkatkan trias

malnutrisi, inflamasi aterosklerosis, dan penyakit kardiovaskular yang

menyebabkan sekitar 50% kematian pertahun penderita gagal ginjal kronik


3

dengan dialisis. Peningkatan kadar stress oksidatif dan proses inflamasi adalah

dua kondisi umum yang terjadi pada penderita gagal ginjal kronik stadium akhir.

Proses inflamasi dan stress oksidatif berkaitan dengan banyak faktor penyebab,

termasuk tingginya kejadian infeksi yang berhubungan dengan akses dialisis,

kondisi uremia, peningkatan kadar sitokin proinflasi, dan aterosklerosis.

Individu yang beresiko berkembangnya hipertensi dan penyakit

kardiovaskular seringnya memberikan respon inflamasi sistemik, ditandai dengan

peningkatn CRP di dalam darah. Peningkatan kadar CRP dinilai sebagai salah satu

prediktor penting pada infark miokard, stroke, kematian vaskular dengan nilai

prognosis melebihi kolesterol LDL. Meskipun CRP sebenarnya di pertimbangkan

sebagai respon marker inflamasi, observasi terbaru dari beberapa kelompok

bahwa CRP secara langsung mempengaruhi proses artherosklerosis seperti

inflamasi endotel dengan menyebabkan aktivasi leukosit dan proliferasi otot polos

vaskular. C- reactive protein menfasilitasi apoptosis sel endotel dengan

mengaktivasi NF-KB dan mengurangi survival sel progenitor endotel ( Johnson et

al, 2003).

Hemodialisis (HD) masih merupakan terapi pengganti ginjal utama

disamping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar negara di

dunia. Menurut National Kidney and Urologic Disease Information

Clearinghouse, hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan pada

penderita gagal ginjal kronik. Terdapat lebih dari 2 juta pasien yang saat ini

menjalani HD di seluruh dunia. Hemodialisis terbanyak di lakukan di Amerika

Serikat yang mencapai sekitar 350.000 orang, Jepang 300.000 orang, sedangkan
4

di Indonesia mendekati 15.000 orang. Data yang dikeluarkan oleh lembaga resmi

Indonesian Renal Registry tentang jenis pelayanan pada renal unit di Indonesia

terbanyak adalah hemodialisis (82%), kemudian, transplantasi (2,6%), dan

continuous ambulatory peritoneal dialysis CAPD sebesar 12,8% serta continuous

renal replacement therapy (CRRT) sebesar 2,3%. Menurut data statistik yang

dihimpun oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), jumlah pasien

gagal ginjal di Indonesia mencapai 70.000 orang dan hanya sekitar 13.000 pasien

yang melakukan cuci darah atau hemodialisis (Roesli, 2005; Simatupang, 2006;

Suharjono 2010; Santoso, 2010)

Penyakit penyerta pasien hemodialisis di Indonesia pada tahun 2014 dapat

dilihat, hipertensi sebanyak 47% (sebanyak 2.822 pasien) masih merupakan

penyakit penyerta terbanyak, selain menjadi etiologi terbanyak pula di Indonesia

sebanyak 4.699 pasien (37%). Hal ini perlu evaluasi yang mendalam apakah

hipertensi pada kelompok ini merupakan etiologi atau penyakit penyerta, karena

bila sudah tercatat sebagai etiologi maka tidak seharusnya lagi dianggap penyakit

penyerta. Begitu pula dengan diabetes melitus dimana sebagai penyebab PGK

dikatakan sebesar 27% (3.401 pasien) dan sebagai penyerta penyakit PGK pada

pasien hemodialisis adalah 1.389 pasien (23%). Untuk wilayah D.I. Yogykarta

diketahui penyebab terbanyak PGK disebabkan karena hipertensi sebanyak 187

pasien dan disebabkan oleh diabetes melitus sebanyak 173 pasien. Sedangkan

sebagai penyakit penyerta pada PGK yang menjalani hemodialisis diketahui

hipertensi sebanyak 70 pasien, keganasan sebanyak 48 pasien, diabetes melitus 39

pasien dan kardiovaskuler 34 pasien. (Indonesian Renal Registry, 2014). Insidensi


5

hipertensi pada gagal ginjal terminal hal ini kontradiktif dengan salah satu

mekanisme hemodialisis di mana pada setiap tindakan hemodialisis dilakukan

penarikan cairan tubuh yang pada seharusnya menurunkan tekanan darah.

Penyebab kematian terbanyak pada pasien hemodialisis adalah

kardiovaskuler, yaitu sebanyak 59% (1.090 pasien), sepsis sebanyak 12% (257

pasien) dan masih cukup banyak penyebab kematian pasien tidak diketahui

sebanyak (388 pasien) karena pasien meninggal di luar rumah sakit. Untuk

wilayah Jogjakarta, jumlah kematian hemodialisa berdasarkan penyebabnya pada

tahun 2014 adalah kardiovaskuler sebanyak 12 pasien, sepsis sebanyak 5 pasien,

serebrovascular sebanyak 3 pasien, penyebab lainnya 1 pasien dan yang tidak

diketahui 14 pasien (Indonesian Renal Registry, 2014).

Sampai tahunn 1970-an para dokter spesialis dalam bidang ginjal

menentukan dosis HD atas dasar pertimbangan klinis saja, bahkan lebih

mempertimbangkan pengeluaran air dibandingkan usaha untuk mengeluarkan sisa

metabolisme (Suhardjono, 2014), Menurut Clinical Practice Guideline of

Hemodialysis, kecukupan dosis hemodialisis yang diberikan diukur dengan istilah

adekuasi hemodialisis (NKF-K/DOQI, 2000).

Terdapat hubungan yang kuat antara adekuasi hemodialisis dengan

morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal. Pourfarziani et al (2008)

menyatakan bahwa ketidak adekuatan hemodialisis yang dapat dinilai dari

bersihan urea yang tidak optimal akan mengakibatkan peningkatan progresivitas

kerusakan ginjal, sehingga morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal makin
6

meningkat. Hemodialisis yang tidak adekuat juga dapat mengakibatkan kerugian

material dan menurunnya produktivitas pasien hemodialisis.

Penilaian adekuasi hemodialisis harus dilakukan berkala, dimulai dari

sebelum hemodialisis dimana harus dibuat peresepan untuk merencanakan dosis

hemodialis, dan selanjutnya dibandingkan dengan hasil hemodialisis yang telah

dilakukan. Peresepan dosis hemodialisis bersifat individual dengan

mempertimbangkan berat badan, jenis kelamin, volume cairan dalam tubuh, jenis

dialiser, kecepatan aliran darah (Qb), kecepatan aliran dialisat (Qd), jenis dialisat,

lama waktu hemodialisis, dan ultrafiltrasi yang dilakukan (Gatot, 2003). Hasil

konsesus dialisis PERNEFRI (2003) menyatakan bahwa adekuasi hemodialisis

dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-12 jam per minggu.

Kecukupan (adecuacy) dialisis menjadi target dosis dialisis. Pada awalnya

kecukupan dialisis ditentukan atas dasar kriteria klinis, kemudian atas dasar

formula Kt/V, suatu formula yang didapatkan atas analisis penelitian National

Cooperative Dialysis Study (NCDS), seperti yang direkomendasikan Kidney

Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI). Pengertian K adalah klirens urea

dari dialiser, t lama dialisis, dan V adalah volume distribusi urea (Suhardjono,

2014). Konsensus Dialisis Pernefri (2003) adekuasi hemodialisis diukur secara

berkala setiap bulan sekali atau minimal setiap 6 bulan sekali. Adekuasi diukur

secara kuantitatif dengan menghitung Kt/V atau URR (Urea Reduction Rate).

Kt/V merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu hemodialisis dengan volume

distribusi urea dalam dalam cairan tubuh pasien, yang menunjukkan keefektifan

hemodialisis dalam membersihkan toksin-toksin sisa metabolisme. Sedangkan


7

URR adalah persentasi dari ureum yang dapat dibersihkan dalam sekali tindakan

hemodialisis (Eknoyan, 2000; Owen, 2000; Cronin, 2001; Jindal, 2006).

Pada hemodialisis yang dilaksanakan 3 kali 4 jam dalam seminggu

dianjurkan minimal mencapai Kt/V yang dilaksanakan (delivered Kt/V) adalah

1,2 dengan target 1,4. Kt/V yang lebih tinggi tidak menurunkan survival lebih

lanjut. Guna keperluan praktis saat ini dipakai juga URR (% urea reduction rate),

atau besarnya penurunan ureum dalam persen, URR = 100% x (1-(ureum

sebelum/Ureum sesudah dialisis). Dalam panduan dianjurkan pada hemodialisis 3

x seminggu target URR setiap kali HD adalah diatas 65% (Suhardjono, 2014).

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan bukti adekuasi

hemodialisa akan memberikan pengaruh terhadap kondisi dan kualitas hidup

pasien yang menjalani hemodialisis rutin dengan pemantauan adanya inflamasi

yang dalam hal ini berdasarkan hasil pemeriksaan kadar CRP. Dengan

mengetahui pengaruh tersebut kita dapat menjadikan penilaian adekuasi

hemodialisis perlu dilakukan secara berkala pada pasien yang menjalani

hemodialisis rutin menjadi target terapi agar dapat membantu dalam pemantauan

keberhasilan hemodialisis dan komplikasinya.

B. Perumusan Masalah

Dalam penatalaksanaan pasien hemodialisis, faktor penting yang harus

dinilai adalah penilaian adekuasi hemodialisis sehingga target terapi dapat

menjadi capaian yang akan membantu optimalisasi kondisi dan kualitas hidup

pasien. Ketidak adekuatan hemodialisis yang dapat dinilai dari bersihan urea yang

tidak optimal akan mengakibatkan peningkatan progresivitas kerusakan fungsi


8

ginjal, sehingga morbiditas dan mortalitas pasien gagal ginjal makin meningkat.

Adekuasi hemodialisa dapat dilihat melalui kontrol tekanan darah, nutrisi yang

baik, koreksi anemia, homeostasis cairan dan elektrolit, koreksi asidosis, dan lain

sebagainya. Dimana, kesemuanya ini juga akan meningkatkan insiden infeksi

pada pasien hemodialisis.

Belum diketahuinya peranan petanda inflamasi pada pasien hemodialis

rutin terutama di instalasi hemodialisis RSUP dr. Sardjito yang adekuat

hemodialisis karena tidak adanya pemantauan dan evaluasi terhadap tindakan

hemodialisis yang dilakukan, peneliti tertarik untuk mengetahui apakah petanda

inflamasi yaitu CRP berbeda diantara adekuasi hemodialisis dan tidak adekuasi

hemodialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin di Instalasi

hemodialisis RSUP dr. Sardjito.

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui perbedaan kadar CRP diantara adekuasi hemodialisis dan

tidak adekuasi hemodialisis pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi pasien: hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan untuk meningkatkan pelayanan hemodialisa.

2. Bagi klinisi: dapat melakukan penatalaksanaan yang lebih komprehensif

pada pasien gagal ginjal dengan hemodialisa.

3. Bagi peneliti: menambah pengetahuan bahwa adekuasi hemodialisis

dengan pemantauan kadar petanda inflamasi diperlukan pada pasien gagal ginjal

dengan hemodialisis rutin.


9

4. Bagi ilmu pengetahuan: penelitian ini diharapkan dapat menambah bukti

yang mendukung adekuasi hemodialisis dengan pemantauan petanda inflamasi

terhadap pasien gagal ginjal dengan hemodialisa rutin, dan diharapkan hasil

penelitian ini dapat menjadi acuan data untuk penelitian lebih lanjut.

5. Manfaat bagi institusi : Data dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran adekuasi hemodialisis yang sudah dilakukan selama ini

sehingga dapat menjadi acuan dan pertimbangan bagi pemegang kebijakan untuk

memperbaiki standar pelayanan dan penatalaksanaan yang lebih menyeluruh

dengan harapan tercapai kualitas hidup yang lebih baik dari pasien gagal ginjal

kronik dengan hemodialisa dimana komplikasinya dapat dihindari dengan

melakukan pemantauan yang lebih komprehensif.

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan peneliti, sudah ada laporan penelitian tentang

perbandingan CRP dan Kt/V di Pakistan yang mendapatkan hasil bahwa CRP

berkorelasi terbalik dengan Kt/V. Dengan pertimbangan bahwa adanya proses

hemodialisis akan terjadi pembuangan toksin metabolisme yang sangat

mempengaruhi kualitas hidup pasien yaitu suatu kondisi uremik, mempengaruhi

kondisi inflamasi pada pasien yang menjalani hemodialisis tetapi masih banyak

kejadian yang terjadi sebaliknya dimana kondisi inflamasi yang tetap tinggi.
10

Tabel 1. Keaslian penelitian

Peneliti / Judul penelitian Hasil Penelitian ini


Metode/ Tahun
Humayun et al Comparison of C- Pada hasil penelitian Perbedaan
Studi: reactive Protein ini menunjukkan penelitian terletak
Cross sectional Levels with bahwa CRP pada metode
2015 Delivered Dose of berkorelasi terbalik pengukuran CRP,
Kt/V in Patients dengan Kt / V pada penghitungan
with End-stage pasien yang menjalani Kt/V dan
Renal Diseaseon HD. Kt /V yang tidak Interdialytic time.
Maintenance adekuat, berhubungan
Hemodialysis dengan inflamasi
kronis dengan kadar
CRP yang tinggi.
Emad Allam Effects of High Flux Pada kelompok High Menilai pengaruh
Mohamed et al versus Low Flux on flux, protein C-reaktif kadar C- reactive
Studi: Serum C-Reactive menurun dibandingkan protein terhadap
Randomized Protein A as an dengan kelompok low adekuasi HD
control trial inflammatory flux, dan tidak berubah pada pasien yang
2015 Biomarker in setelah dialisis selama menjalani HD
Hemodialysis 6 bulan. High flux rutin di Instalasi
Patients lebih efektif HD RSUP dr.
menurunkan inflamasi Sardjito.
pada pasien
hemodialisis .
11

Erlinda. Hubungan Kadar Pengukuran hsCRP Menilai


Studi: Asam Urat Serum pada PGK berperan Hubungan kadar
analitik, cross Dengan Kadar High sebagai prediktor C- reactive
sectional. Sensitivity C- independent terhadap protein dgn
2014 Reactive Protein peningkatan risiko adekuasi HD
(HSCRP) Pasien penyakit dan kematian pada pasien yang
Hemodialisis RSUD kardiovaskular. Baik menjalani HD
DR. ZAINOEL inflamasi ataupun rutin di Instalasi
ABIDIN BANDA hiperuresemia terkait HD RSUP dr.
ACEH. dengan risiko dan Sardjito.
mortalitas
kardiovaskular
12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik merupakan penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan

mempengaruhi berbagai usia, ras, dan berbagai tingkat ekonomi. Prevalensi dan

insidensi dari penyakit ini sama dengan kondisi lainnya, seperti diabetes,

hipertensi dan obesitas (Porth, 2009). Pasien dengan PGK lebih cenderung

mengalami kematian daripada berkembang ke penyakit ginjal tahap akhir dan

sejumlah penyakit kardiovaskular yang menjadi penyebab kematian tersebut.

Peningkatan mortalitas kardiovaskular muncul hampir pada spektrum disfungsi

ginjal, bahkan pada tahap awal PGK dan akan lebih berat pada pasien end stage

renal disease (ESRD). Semua bukti yang ada menunjukkan bahwa inflamasi

kronis pada pasien hemodialisa berkontribusi secara signifikan terhadap

perkembangan dan progresifitas penyakit kardiovaskular. Angka mortalitas

tahunan pasien ESRD pada dialisis diperkirakan antara 14- 26 % di Eropah dan

24% di AS dengan lebih 50% kematian akibat komplikasi kardiovaskular dan

tingkat kematian kardiovaskular 10- 20 kali lebih tinggi daripada populasi umum.

( Filiopoulos , 2008 )

Lama hidup pasien yang menjalani dialisis di Jepang paling panjang dan

mortalitas karena kardiovaskular rendah, sedangkan di Indonesia mortalitas

karena kardiovaskular masih sangat tinggi (Suhardjono, 2014). Indonesian Renal

Registry mencoba untuk melihat ketahanan hidup pasien baru yang terdata selama
13

tahun 2014. Setelah melalui proses pemilihan data didapatkan 3907 data yang

dapat dianalisis dengan hasil distribusi jenis kelamin, usia dan status serta menilai

peluang hidup 1 tahun dapat dilihat pada tabel 1 dan 2 berikut ini (Indonesian

Renal Registry, 2014).

Tabel 2. Distribusi jenis kelamin, usia dan status pasien hemodialisis tahun 2014

No Variabel Jumlah %
1. Jenis Kelamin
 Laki- laki 2.179 55,77
 Perempuan 1.728 44,23
2. Umur (tahun)
 < 50 Tahun 1.875 47,99
 > 50 Tahun 2.032 52,01
3. Status
 Sensor 2.585 66,16
 Event 1.322 33,84
(sumber: Indonesian renal registry)

Ket: Event : Pasien meninggal dan drop out

Sensor: Pasien yang hidup sampai tanggal 31 Desember 2014

Tabel 3. Peluang bertahan hidup pasien yang dihemodialisis

Bulan Keseluruhan

% Survival CI 95 %

1 87,3 86,3- 88,4

3 80,2 78,9- 81,5

6 72,3 70,8- 73,7

9 64,6 62,9- 66,3

12 46,7 42,8- 50,6

(sumber: Indonesian renal registry)


14

Pada tahun 2002, the kidney disease outcome quality intitiative (K/DOQI)

of the national kidney foundation (NKF) mempublikasikan panduan untuk

penyakit gagal ginjal kronik (tabel. 3) yang berfungsi untuk menetapkan status

dan mengklasifikasikan stadium penyakit ginjal, mengevaluasi hasil laboratorium

yang dipakai untuk menilai penyakit ginjal, dan menghubungkan derajat fungsi

ginjal dengan komplikasi dari gagal ginjal kronik (Porth, 2009)

Tabel 4. Stadium penyakit ginjal kronik

Description GFR (ml/min/1,73 m2)

Kidney damage with normal or increased GFR ≥ 90


Kidney damage with mild decreased in GFR 60 – 89
Moderate decreased in GFR 30 – 59
Severe decreased in GFR 15 – 29
Kidney failure < 15 (or dialysis)

Penyakit ginjal kronik (chronic Kidney Disease) didefinisikan sebagai

kerusakan ginjal atau GFR kurang dari 60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau

lebih. Kondisi ini bisa disebabkan oleh permanent loss of nephron, meliputi

diabetes melitus, systemic lupus erimathosus, dan policystic kidney disease. NKF

guidelines mendefinisikan gagal ginjal sebagai :

1. GFR kurang dari 15 mL/min/1,73 m2, biasanya disertai dengan tanda dan

gejala uremia, atau

2. Keadaan dimana kebutuhan untuk melakukan penggantian ginjal (dialisis

atau transplantasi).
15

Tanda dan gejala dari penyakit ginjal kronik terjadi secara bertahap dan

tidak nyata hingga penyakit ini berlanjut ke tahap yang lebih parah. Hal ini terjadi

karena mekanisme kompensasi dari ginjal. Saat struktur ginjal terdestruksi, nefron

masih baik akan menjadi hipertrofi secara struktural dan fungsional, dan masing-

masing meningkatkan fungsinya sebagai mekanisme kompensasi untuk nefron

yang rusak (Porth, 2009).

B. C- reavtive protein, Inflamasi serta hubungannya dengan gagal ginjal kronik.

C- reactive protein adalah suatu protein yang diproduksi oleh hati yang

akan meningkat pada kondisi inflamasi dan juga meningkat pada keadaan infeksi

atau injury, seperti arthritis rematoid dan penyakit pembuluh darah. Peningkatan

CRP dalam jangka waktu lama mengindikasikan terjadinya suatu proses

peradangan kronik (Koenig , 2003).

C- reactive protein merupakan protein fase akut yang disintesis di hepar dan

diregulasi oleh berbagai sitokin. Kadar serum pada kondisi penyakit aktif rendah,

tetapi akan meningkat 1000 kali lipat jika pasien mengalami proses inflamasi.

Disamping sebagai marker inflamasi, CRP sendiri mungkin memiliki zat yang

proinflamasi karena CRP sendiri bisa mengaktifkan sistem komplemen (Borazan

et al, 2004).

Protein fase akut didefinisikan sebagai protein yang mengalami

peningkatan kadar dalam plasma secara cepat (protein fase akut positif) atau

menurun (protein fase akut negatif) selama proses inflamasi. Protein fase akut

positif yang utama adalah CRP dan serum amyloid A (SAA) (Fluchart, 2003 &

podrid, 2004). berperan dalam sistem imun, karena CRP sebagai molekul
16

pengenal yang bergerak cepat dan mampu mengaktivasi komplemen untuk respon

inflamasi (DU-Clos, 2000).

Tabel 5. Petanda inflamasi

Marker inflamasi global - C-reactive Protein


- Serum amyloid A
- Albumin
- Fibrinogen
- Angka lekosit

Sitokin pro-inflamasi - IL-6 - TNF-a


- IL-10

Sitokin anti-inflamasi IL-4


Soluble cytokines receptor dan Soluble IL-6 receptor
antagonisnya Soluble TNF receptor
Soluble IL-1 receptor antagonists
Molekul adhesi seluler Solible intercellular adhesion molecule-1
Soluble vascular adhesi molecule-1 Soluble E-
selectin, P-selectin
Enzim degradasi matriks Matrix metalloproteinases 3,9
(Sumber : Fruchart, 2003)

C-Reactive Protein bersama dengan LDL merupakan prediktor yang kuat

terhadap risiko penyakit kardiovaskuler. Peningkatan kadar hsCRP dan kadar

kolesterol LDL akan meningkatkan risiko terjadinya stroke dikemudian hari,

terutama apabila kedua- duanya meningkat. CRP akan menyebabkan

terbentuknya aterosklerosis bersama dengan peningkatan kolesterol LDL,

hipertensi, diabetes, dan merokok. (Koenig , 2003).

Pada individu sehat, rerata kadar CRP adalah 0,8 mg/L. C -reactive protein

terutama diproduksi oleh sel hepatosit atas pengaruh IL-6 yang dilepas oleh lokal

inflamasi. Apabila ada stimulasi akut, kadarnya dapat meningkat dengan cepat

dan mencapai kadar puncak dalam 48 jam dan setelah itu, kadarnya perlahan akan
17

menurun. Pada penderita gagal hati dapat dijumpai gangguan produksi CRP

(Hirschfield & Pepys, 2003).

Tabel 6. Peningkatan kadar C-Reactive protein pada beberapa penyakit

Infeksi Bakteri, jamur, mikobakterium, atau virus

Reaksi hipersensitivitas akibat Demam rematik dan eritema nodosum


infeksi

Penyakit inflamasi didapat dan Artritis reumatoid, artritis kronik pada anak-anak,
bawaan spondilitis ankilosis, artritis psoriasis, vaskulitis
sistemik, reumatika polimialgia, penyakit reiter,
penyakit crohn dan Familial mediterranean fever

Nekrosis jaringan Infark miokard, emboli tumor Dan


pankreatitis akut

Trauma Pembedahan, luka bakar atau fraktur

Keganasan Limfoma, karsinoma atau sarkoma

(Sumber : Hirschfield & Pepys, 2003)

Pada pasien yang menjalani hemodialisis, peningkatan kadar plasma CRP

disebabkan oleh pengeluaran IL-1, IL-6 dan TNF-a (Descamp et al, 1991).

Peningkatan CRP pada pasien gagal ginjal kronik tanpa terapi dialisis mungkin

disebabkan oleh aktivitas inflamasi dari penyakit ginjal yang mendasari ataupun

karena status uremia itu sendiri. Nilai CRP akan meningkat setelah inisiasi terapi

hemodialisis kronik, kemungkinan sebagai hasil dari aktivitas sementara dari

respon fase akut selama proses dialisis. Ditemukan juga adanya peningkatan

sekitar 50% dari nilai CRP setelah inisiasi dari terapi hemodialisis kronik ketika

dilakukan terhadap pasien yang sama. Dalam penelitian ini, didapatkan

peningkatan CRP dengan tindakan hemodialisis tunggal dengan cuprophan


18

dialyzer. Ditemukan bahwa lebih dari setengah pasien dengan hemodialisis

memiliki kadar CRP yang meningkat secara patologis (Marion et al, 1996).

Pada penelitian Borazan et al, (2004), diamati kadar serum CRP dan

secara signifikan meningkat pada subjek yang menjalani hemodialis dan

peritoneal dialisis. Uremia kronik dianggap sebagai status proinflamasi dan

berhubungan dengan tingginya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Kadar

CRP meningkat pada gagal ginjal kronik dan memperlihatkan bahwa mungkin

CRP merupakan faktor independen yang bisa menyebabkan aterosklerosis

progresif Pada kasus dialisis, kadar serum CRP dan protein fase akut ditemukan

berkorelasi dengan peningkatan tunika intima dan media arteri karotis, dan

reaktan fase akut lainnya seperti albumin, fibrinogen, dan Apo A-1. Kadar serum

Amyloid A berkorelasi dengan CRP dan beberapa protein ini mungkin menjadi

prediktor tambahan pada faktor risiko kardiovaskular baik untuk pasien yang

menjalani hemodialisa maupun pada pasien yang menjalani peritoneal

hemodialisis. Pada penelitian ini juga didapatkan variabilitas yang luas terhadap

CRP, TNF-a, IL-6 dan IL-10, walaupun tidak terdapat tanda-tanda infeksi pada

pasien yang menjalani hemodialisis dan peritoneal dialisis.

C – reactive protein merupakan prediktor mortalitas pada pasien yang

menjalani hemodialisis (Vincenzo et al, 2001). Selama hemodialisis (HD), kontak

antara darah dengan membran dialisis mencetuskan respon inflamasi. Terdapat

bukti bahwa interaksi antara darah dan membran dialisis menginduksi beberapa

sitokin dari sel mononuklear darah perifer. Sitokin ini mungkin akan relevan

dengan kondisi patologis dan klinis dari pasien gagal ginjal kronik yag menjalani
19

hemodialisis. Produksi sitokin yang berlebihan kemungkinan berelasi dengan

mortalitas dan morbiditas dari pasien yang menjalani dialisis (Wong et al, 2007).

C. C- reactive protein sebagai marker inflamasi dan pengaruhnya terhadap

tubuh

Pengaruh inflamasi lebih menonjol pada pasien hemodialisis yang

disebabkan sumber inflamasi tambahan, kemungkinan karena biokompabilitas

membran yang mengaktivasi kaskade komplemen, dialisat yang tidak steril

dengan jumlah kecil endotoksin dan penggunaan graft arterivena prostetik atau

kateter transkutaneus dan proses dialiser reuse (Memoli, 2000, Tielemans, 1996).

Sekitar 30-50% prevalensi pasien yang menjalani hemodialisis memiliki

kadar serum marker inflamasi yang meningkat. Pada beberapa pasien,

peningkatan ini kronik. Pada beberapa kasus, hemodialisis memicu inflamasi dan

tidak bisa diidentifikasi dengan marker yang konvensional. Marker inflamasi

merupakan faktor prediktor kuat mortalitas setelah mengenali faktor risiko.

Inflamasi juga berespon terhadap risiko mortalitas, seperti anemia, malnutrisi,

penyakit vaskular, dan hipertrofi ventrikel kiri ( Jofre et al, 2006).

Penderita hemodialisis sering dihubungkan dengan penurunan imunitas

dan tingginya insidensi infeksi. Inflamasi kronik merupakan faktor yang

menentukan dialysis syndrome, dikarakteristikkan dengan malnutrisi, Cachexia,

dan vasculopati, serta bertanggungjawab pada tingginya morbiditas dan mortalitas

penderita hemodialisis. Kondisi uremia dan kontak berulang alat hemodialisis

adalah faktor penting mendatangkan respon sistem imun dalam inflamasi.

Kejadian inflamasi kronik dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin pro-


20

inflamasi atau protein fase akut seperti hs-CRP yang tinggi pada penderita

hemodialisis (Johanna et al, 2004).

Pada individu dewasa sehat, median konsentrasi hs-CRP adalah 0,8

mg/dL. Peningkatan konsentrasi hs-CRP tidak spesifik dan dapat terjadi pada

berbagai stimulasi, penyakit atau injury. Nilai dapat meningkat kurang dari 50

mg/dL sampai lebih dari 500 mg/dL. C – reactive protein plasma dihasilkan oleh

sel hepatosit relatif rendah dan selanjutnya disimpan dalam reticulum

endoplasmicum sampai disekresi. Jalur utama produksi CRP oleh hepatosit

melalui stimulasi oleh IL-6. Secara de Novo, sintesis hepar dimulai sangat cepat

setelah rangsangan tunggal, konsentrasi serum meningkat diatas 5 mg/dL. Sekitar

6 jam dan memuncak sekitar 48 jam dengan waktu paruh CRP plasma sekitar 19

jam (Tsirpanlis, 2005). Pada orang sehat kadar CRP dibawah 5 mg/dl ( Dati et al,

2001).

Pada penelitian sebelumnya didapatkan korelasi antara peningkatan kadar IL-6

selama inflamasi dengan peningkatan kadar CRP, IL-6 menginduksi gen CRP.

Namun, sebagian besar penelitian gagal untuk menunjukkan bahwa peningkatan

kadar CRP hanya dipengaruhi oleh IL-6 saja. Meskipun IL-6 diperlukan untuk

menginduksi gen CRP, namun tidak hanya karena faktor IL-6 saja ( Weinhold et

al, 1997).

Obesitas adalah salah satu factor resiko yang dapat memodulasi respon

inflamasi dan mempengaruhi kadar CRP dan secara langsung berhubungan

dengan peningkatan kadar CRP. Penelitian menunjukan adanya hubungan antara

adipositas dengan CRP pada perempuan sehat usia pertengahan (Hak et al., 1999).
21

Sel adipose memproduksi Tumor Necrosis Factor (TNF- α ), yang

kemudian menginduksi produksi IL-6, sebagai stimulan utama pada sintesis CRP.

Hipotesis ini didukung oleh observasi bahwa pengurangan berat badan dapat

menurunkan ekspresi mRNA TNF- dan kadar TNF- pada penderita diabetes.

Selain itu, respon inflamasi dapat menunjukan suatu mekanisme dimana diet dan

penurunan berat badan akan mengurangi resiko PJK (Ziet et al., 2003).

Data Framingham menunjukan bahwa obesitas menjadi factor independen

untuk PJK baik pada wanita dan pria. Secara tradisional wanita dikatakan obese

jika ia mempunyai indeks massa tubuh > 27 kg/m2 (Nguyen & Mc Laughlin,

2002).

D. Pengukuran Kadar CRP

C – reactive protein adalah suatu reaktan fase akut yang merupakan protein

pentraxin yang disintesis dalam hati ( Abravkar PN, 2013). C – reactive protein

merupakan metode yang dikembangkan sebagai alat ukur terpercaya terhadap

protein fase akut yang dikenal baik sebagai indikator marker sensitif yang

mendasari suatu inflamasi. Pengukuran kadar C – reactive protein dapat diukur

menggunakan uji imunokimiawi untuk penentuan kuantitatif protein C-reaktif

(CRP) dalam darah lengkap, serum, dan plasma. NycoCard CRP adalah pengujian

imunometrik fase solid dengan format sandwich. Dalam sumur uji perangkat ada

selaput yang dilapisi dengan antibodi monoklonal spesifik CRP. Sampel yang

encer dimasukkan ke perangkat uji. Ketika sampel mengalir melalui membran,

protein C-reaktif ditangkap oleh antibodi. CRP yang terperangkap pada membran

kemudian akan mengikat konjugat gold antibodi yang ditambahkan, dalam reaksi
22

tipe sandwich. Konjugat yang tidak terikat dihilangkan dari membran dengan

larutan pencuci. Lapisan kertas di bawah membran menyerap cairan yang

berlebih. Kadar CRP dalam sampel dilihat pada membran dengan tampak warna

merah-coklat dan intensitas warnanya sebanding dengan konsentrasi CRP sampel.

Intensitas warna diukur secara kuantitatif.

E. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan proses difusi melintasi membran semipermeabel

untuk menyingkirkan substansi yang tidak diinginkan dari darah dan

menambahkan komponen yang diinginkan. Aliran konstan darah dari satu sisi

membran dan larutan dialisis pembersih di sisi lain menyebabkan penyingkiran

produk buangan dalam cara serupa dengan filtrasi glomerulus (Suwitra, 2014).

Hemodialisis perlu dilakukan untuk mengganti fungsi ekskresi ginjal

sehingga tidak terjadi gejala uremia yang lebih berat. Pada pasien dengan fungsi

ginjal yang minimal, hemodialisis dilakukan untuk mencegah komplikasi yang

membahayakan yang dapat menyebabkan kematian (PERNEFRI, 2003).

Indikasi hemodialisis berdasarkan konsensus dialisis PERNEFRI (2003)

menyebutkan bahwa indikasi dilakukan tindakan dialisis adalah pasien gagal

ginjal dengan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) <15 mK/menit, pasien dengan tes

Klirens Kreatinin (TKK)/LFG<10 mL/menit dengan gejala uremia, atau

TKK/LFG <5 mL/menit walaupun tanpa gejala. Pada TKK/LFG <5 mL/menit,

fungsi ekskresi ginjal sudah minimal sehingga mengakibatkan akumulasi zat

toksik dalam darah dan komplikasi yang membahayakan bila tidak dilakukan

tindakan dialisis segera.


23

Adapun komponen hemodialisis adalah sebagai berikut :

1. Mesin hemodialisis, merupakan mesin yang dibuat dengan sistem

komputerisasi yang berfungsi untuk pengaturan dan monitoring yang penting

untuk mencapai adekuasi hemodialisis,

2. Dialiser, merupakan komponen penting yang merupakan unit funsional

dan memiliki fungsi seperti nefron ginjal. Bentuk seperti tabung yang terdiri dari

2 ruang yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat yang dipisahkan oleh

membran semi permeabel. Di dalam dialiser cairan dan molekul dapat berpindah

dengan cara difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi. Dialiser yang mempunyai

permeabialitas yang baik mempunyai kemampuan yang tinggi dalam membuang

kelebihan cairan, sehingga akan menghasilkan bersihan yang lebih optimal

(Black, 2005)

3. Dialisat, merupakan cairan yang komposisinya seperti plasma normal dan

terdiri dari air dan elektrolit, yang dialirkan ke dalam dialiser. Dialisat digunakan

untuk membuat perbedaan konsentrasi yang mendukung difusi dalam proses

hemodialisis. Dialisat merupakan campuran antara larutan elektrolit, bicarbonat,

dan air yang berperan untuk mencegah asam dan basa. Untuk mengalirkan dialisat

menuju dan keluar dari dialiser memerlukan kecepatan aliran dialisat yang disebut

Quick of Dialisate (Qd). Untuk mencapai hemodialisis yang adekuat Qd yang

disarankan adalah 400-800 mL/menit (Daugirdas, 2007).

4. Akses vaskular; merupakan jalan untuk memudahkan pengeluaran darah dalam

proses hemodialisis untuk kemudian dimasukkan lagi ke dalam tubuh pasien.

Akses yang adekuat akan memudahkan dalam melakukan penusukan dan


24

memungkinkan aliran darah sebanyak 200-300 mL/menit untuk mendapatkan

hasil yang optimal. Akses vascular dapat berupa kanula atau kateter yang

dimasukkan ke dalam lumen pembuluh darah seperti sub clavia, jugularis, atau

femoralis. Akses juga dapat berupa pembuluh darah buatan yang menyambungkan

vena dengan arteri yang disebut Arterio Venousus Fistula/Cimino (Pernefri, 2003;

Daugirdas, 2007).

5. Quick of blood, adalah banyaknya darah yang dapat dialirkan dalam satuan

menit dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi bersihan ureum.

Peningkatan Qb akan mengakibatkan peningkatan jumlah ureum yang dikeluarkan

sehingga bersihan ureum juga meningkat. Dasar pengaturan kecepatan aliran (Qb)

rata-rata adalah 4 kali berat badan pasien. Qb yang disarankan untuk pasien yang

menjalani hemodialisis selama 4 jam adalah 250-400 mL/menit. Ketidaktepatan

dalam pengaturan dan pemantauan Qb akan menyebabkan tindakan hemodialisis

yang dilakukan menjadi kurang efektif (Daugirdas, 2007; Gatot,2003).

F . Adekuasi hemodialisis

Adekuasi hemodialisis merupakan kecukupan dosis hemodialisis yang

direkomendasikan untuk mendapat hasil yang adekuat pada pasien gagal ginjal

yang menjalani hemodialisis (NKF-K/DOKI, 2000). Pencapaian adekuasi

hemodialisis diperlukan untuk menilai efektivitas tindakan hemodialisis yang

dilakukan. Hemodialisis yang adekuat akan memberikan manfaat yang besar dan

memungkinkan pasien gagal ginjal tetap bisa menjalani aktivitasnya seperti biasa.

Terdapat hubungan yang kuat antara adekuasi hemodialisis dengan morbiditas dan

mortalitas pasien gagal ginjal. Pourfarziani et al (2008) telah meneliti adekuasi


25

338 pasien hemodialisis di Iran, dan dari hasil penelitian disimpulkan bahwa

bersihan urea yang tidak optimal pada hemodialisis yang tidak adekuat akan

meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien hemodialisis. Hemodialisis yang

tidak adekuat juga dapat mengakibatkan kerugian material dan menurunnya

produktivitas pasien hemodialisis.

Hemodialisis yang tidak adekuat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

seperti bersihan ureum yang tidak optimal, waktu dialisis yang kurang, dan

kesalahan dalam pemeriksaan labooratorium (ureum darah). Fink (2001)

mengemukakan bahwa adekuasi dipengaruhhi oleh tipe akses vaskular, blood flow

(Qb), dialyzer urea cllearance, dan waktu dialisis. Li (2000) mengemukakan hasil

penelitiannya bahwa adekuasi hemodialisis diengaruhi oleh tipe akses vascular,

jenis membran dialisis, blood flow (Qb), dan dialyzer clereance. Dewi (2010)

dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara Quick of blood (Qb) dengan adekuasi hemodialisis (p = 0,225).

Penelitian ini menyebutkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia, jenis

kelamin, dan pendidikan terhadap adekuasi hemodialisis.

Untuk mencapai adekuasi hemodialisis, maka besarnya dosis yang

diberikan harus memperhatikan hal-hal berikut (Roesli, 2004; Pernefri, 2003;

Daugirdas, 2007)

1. Time of Dialysis, adalah lama waktu pelaksanaan hemodialisis yang

idealnya 10-12 jam perminggu. Bila hemodialisis dilakukan 2 kali/minggu maka

lama waktu tiap kali hemodialisis adalah 5-6 jam, sedangkan bila dilakukan 3
26

kali/minggu maka waktu tiap kali hemodialisis adalah 4-5 jam. Lama waktu

hemodialisis sangat penting dalam usaha untuk mencapai adekuasi hemodialisis.

2. Interdialytic Time, adalah waktu interval atau frekuensi pelaksanaan

hemodialisis yang berkisar antara 2 kali/minggu atau 3 kali/minggu. Idealnya

hemodialisis dilakukan 3 kali/minggu dengan durasi 4-5 jam setiap sesi, akan

tetapi di Indonesia dilakukan 2 kali/minggu dengan durasi 4-5- jam, dengan

pertimbangan bahwa PT ASKES hanya mampu menanggung biaya hemodialisis 2

kali/minggu (Gatot, 2003)

3. Quick of Blood (Blood flow), adalah besarnya aliran darah yang dialirkan

ke dalam dialiser yang besarnya antara 200-600 mL/menit dengan cara

mengaturnya pada mesin dialisis. Pengaturan Qb 200ml/menit akan

mempengaruhi besaran ureum 150 ml/menit, dan peningkatan Qb sampai 400

ml/menit akan meningkatkan bersihan ureum 200 ml/menit.

Kecepatan aliran darah (Qb) rata-rata 4 kali berat badan pasien, ditingkatkan

secara bertahap selama hemodialisis dan dimonitor setiap jam.

4. Quick of Dialysate (Dialysate flow), adalah besarnya aliran dialisat yang

menuju dan keluar dari dialiser yang dapat mempengaruhi tingkat bersihan yang

dicapai, sehingga perlu diatur sebesar 400-800 ml/menit dan biasanya sudah

diselesaikan dengan jenis atau merk mesin. Daugirdas (2007) menyebutkan bahwa

pencapaian bersihan ureum yang optimal dapat dipengaruhi oleh kecepatan aliran

darah (Qb), kecepatan aliran dialisat (Qd), dan koefisien luas permukaan dialiser.

5. Clearance of dialyzer, dimana klirens menggambarkan kemampuan

dialiser untuk membersihkan darah cairan dan zat terlarut, dan besarnya klirens
27

dipengaruhi oleh bahan, tebal, dan luasnya membran. Luas membran berkisar

antara 0,8-2,2 m2. KoA merupakan koefisien luas permukaan transfer yang

menunjukkan kemampuan untuk penjernihan ureum. Untuk mencapai adekuasi

diperlukan KoA yang tinggi diimbangi dengan Qb yang tinggi pula antara 300-

400 ml/menit (Hoenick, 2003).

6. Tipe akses vascular, yaitu akses vaskular cimino (Arterio Venousa Shunt)

merupakan akses yang paling direkomendasikan bagi pasien hemodialisis. Akses

vaskular cimino yang berfungsi dengan baik akan berpengaruh pada adekuasi

dialisis. Wasse (2007) menyatakan adanya hubungan antara akses vaskular

dengan adekuasi hemodialisis dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien

hemodialisis.

7. Trans membrane pressure, adalah besarnya perbedaan tekanan hidrostatik

antara kompartemen dialisis (Pd) dan kompartemen darah (Pb) yang diperlukan

agar terjadi proses ultrafiltrasi. Nilainya tidak boleh kurang dari 50 dan Pb harus

lebih besar daripada Pd serta dapat dihitung secara manual dengan rumus :

TMP = (Pb – Pd) mmHg

Hemodialisis dinilai adekuat bila mencapai hasil sesuai dosis yang

direncanakan. Untuk itu, sebelum melakukan hemodialisis dilaksanakan harus

dibuat suatu peresepan untuk merencanakan dosis hemodialisis, dan selanjutnya

dibandingkan dengan hasil hemodialisis yang telah dilakukan untuk menilai

keadekuatannya. Adekuasi hemodialisis diukur secara kuantitatif dengan

menghitung Kt/V yang merupakan rasio dari bersihan urea dan waktu
28

hemodialisis dengan volume distribusi urea dalam cairan tubuh pasien (Eknoyan,

2000; Owen, 2000; Cronin, 2001; Jindal, 2006).

Perhitungan Kt/V dapat dilakukan dengan menggunakan rumus Daugirdas

sebagai berikut :

Kt/V = -ln (R-0,008t) + (4-3,5R) x (BB pre dialisis – BB post dilisis)

BB post dialisis

Keterangan :

K : Klirens dialiser yaitu darah yang melewati membran dialiser dalam mL/menit

Ln: Logaritma natural

R : Ureum post dialisis : Ureum pre dialisis

t : lama dialisis (jam)

V : Volume cairan tubuh dalam liter (laki-laki 65% BB/berat badan dan wanita

55% BB/berat badan)

Selain rumus Kt/V, adekuasi HD dapat dihitung dengan rumus URR. URR

mengukur jumlah reduksi ureum pasien HD dari pre HD sampai post HD, dengan

persamaan yaitu (Kallenbach et al, 2005) :

URR = 100 x (1 - Ct/Co)

Keterangan : Ct : Ureum post HD . Co : Ureum pre HD

Konsensus dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa di Indonesia

adekuasi hemodialisis dapat dicapai dengan jumlah dosis hemodialisis 10-12 jam

perminggu yang diberikan 2-3 kali perminggu dengan lama HD antara 4-5 jam

perkali HD. Target Kt/V yang ideal pada pasien yang menjalani hemodialisis 3
29

kali/minggu diberi target Kt/V 1,2 (URR 65%) sedangkan pasien yang menjalani

hemodialisis 2 kali/minggu di beri target Kt/V 1,8. K/DOQI (2006)

merekomendasikan bahwa Kt/V untuk setiap pelaksanaan hemodialisis adalah

minimal 1,2 (URR 65%) dengan target adekuasi 1,4 (URR 70%).

Konsensus dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa adekuasi

hemodialisis diukur secara berkala setiap bulan sekali atau minimal setiap 6 bulan

sekali. Secara klinis hemodialisis dikatakan adekuat bila tidak ada manifestasi

uremia dan usia hidup pasien semakin panjang.


30

G. Kerangka Teori

PGK

- Inflamasi - Homeostasis Cairan


- Asidosis dan Uremik - Infeksi

- Adekuasi
hemodialisis
(adekuasi: tipe
CRP akses vascular,
waktu dialisis, jarak
interdialisis, Quick
of blood, Quick of
dialyzer, klirens
dialiser, jenis
membran)
Outcome pasien - Karakteristik pasien
(Usia, jenis
Hospitalisasi events
kelamin, lama
Morbiditas menjalani terapi,
konsumsi obat)
Rehabilisasi
Mortalitas - Status kesehatan
(Anemia)
Kualitas Hidup

Saling mempengaruhi PGK= Penyakit Ginjal Kronik

Mempengaruhi CRP = C- Reactive Protein


31

H. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Adekuasi hemodialisis
Kadar CRP < 5

Kt/V= > 1,8

Variabel Perancu

- Lama menjalani hemodialisis

- Usia

- Jenis kelamin

- Kadar Hb

- Quick of blood

- Tipe Akses vaskular

- Durasi hemodialisis

I. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Hipotesis : ada perbedaan kadar marker inflamasi (C- reactive protein) antara

pasien adekuat hemodialisis dan tidak adekuat hemodilisis


32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik-observasional dengan

rancangan studi potong lintang pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

Tujuan akhir studi adalah Mengetahui pengaruh marker inflamasi dengan

mengukur kadar CRP terhadap adekuasi hemodialisis pada pasien gagal ginjal

kronik dengan hemodialisis rutin di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta.

B. Lokasi dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Instalasi Dialisis RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

Waktu penelitian bulan April sampai dengan Juli 2019

C. Subyek Penelitian

Subyek yang mengikuti penelitian ini adalah penderita gagal ginjal kronik

stabil yang menjalani hemodialisis rutin di Instalasi dialisis RSUP dr. Sardjito

Yogyakarta.

Kriteria inklusi adalah pasien berusia 18 sampai 60 tahun, pasien

gagal ginjal kronik yang rutin menjalani hemodialisis 2 kali per minggu dan

minimal telah menjalani selama tiga bulan, kesadaran kompos mentis, mampu

membaca dan menulis serta bersedia menjadi subyek penelitian.

Kriteria ekslusinya memiliki riwayat keganasan, adanya infeksi, tidak

menepati jadwal terapi hemodialisis reguler yang telah ditetapkan, mengalami


33

penurunan kesadaran, Riwayat rawat inap dalam 3 bulan terakhir, riwayat

penyakit kardiovaskular, BMI < 20 kg/m2 dan > 30 kg/m2, Hb< 7 mg/ml serta

menolak menjadi subyek penelitian.

D. Variabel Penelitian

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain, dalam

penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah adekuasi hemodialisis. Variabel

terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, dalam penelitian ini

yang menjadi variabel terikat adalah kadar CRP (kontrol infeksi dan kontrol

inflamasi).

E. Definisi Operasional

Tabel 7. Definisi operasional

Variabel Definisi Alat ukur dan Hasil ukur Skala


cara ukur
Operasional
Variabel Independen
Adekuasi Keberhasilan Lembar data Nilai hasil Nominal
Hemodialisis tindakan adekuasi perhitungan
hemodialisis hemodialisis Kt/V
yang dinilai Cara ukur: 0 0 = tidak
dari hasil Menghitung adekuat
perhitungan adekuasi dengan (Kt/V<1,8 )
Kt/V dengan rumus Kt/V = - 1 = adekuat
menggunakan ln(R-0,008t) + (4-
rumus (Kt/V ≥1,8 )
3,5R) x (BB pre-
HD – BB post-
HD) / BB post-
HD ( Imelda,2017)
34

C-reactive Kadar CRP pasien Alat ukur: Lembar Dikatakan Nominal


protein saat dilakukan pengumpulan data mengalami
(CRP) hemodialisis hasil Lab. kadar inflamasi kronik
CRP. pada pasien gagal
Cara ukur: ginjal kronik

Mencatat data apabila kadar CRP


> 5 mg/L
hasil pemeriksaan
Tidak Inflamasi
lab. kadar CRP
apabila kadar
CRP < 5 mg/L.
(Dati et al,2001)

Faktor Perancu

Tipe jenis akses Alat ukur : Lembar 0=Bukan cinimo Nominal


akses vascular yang pengumpulan data 1=Cimino
vascular digunakan oleh responden
pasien saat Cara ukur:
hemodialisa, Mengobservasi
yaitu dgn akses vaskular
penggunaan responden
AV shunt atau
tidak
Quick of Besarnya aliran Alat ukur : Lembar Dinyatakan Rasio

Blood darah yang pengumpulan data 200-250 ml/mnt

(Qb): dialirkan kedalam responden 250-300 ml/mnt


dialiser yang Cara ukur: >300 ml/mnt
tertera pada Mengobservasi Qb
mesin responden yang
hemodialisis tertera pada mesin
Dialisis

( Imelda,2017)
35

Durasi merupakan lama Alat ukur : Lembar ≤ 240 mnt Rasio


Hemodialisis waktu dalam 1 pengumpul data 241-299 mnt
sesi hemodialisis responden Cara ≥ 300
yang dijalani oleh ukur:
responden saat Mengobservasi
dilakukan durasi
penelitian hemodialisis
responden dari
mulai sampai
selesai

( Imelda,2017)

Usia usia hidup Alat ukur: Lembar < 40 tahub Rasio


responden dalam pengumpul data 40 – 49 tahun
tahun yang karakteristik >50 tahun
dihitung sejak responden
lahhir sampai Cara ukur:
penelitian ini Menanyakan tahun
dilakukan kelahiran
responden
kemudian dihitung
selisihnya
dengan tahun
pelaksanaan
penelitian
( Imelda,2017)
36

Jenis Identitas seksual Alat ukur : Lembar 0=Perempuan Nominal


kelamin responden sejak pengumpulan data 1=laki-laki
lahir karakteristik
responden
Cara ukur:
Menanyakan dan
Mengobservasi jenis
kelamin responden

Kadar Kadar hemoglobin Alat ukur : Lembar 0= Anemia Nominal


hemoglobin (Hb) pasien saat pengumpulan data (Hb <11 gr/dl)
dilakukan kadar Hb
1=Tidak
penelitian Cara ukur :
anemia
Mencatat hasil
(Hb ≥11 gr/dl)
pemeriksaan
laboratorium
(Pernefri,2011)
hemoglobin

Lama Lama responden Alat ukur : Lembar Dinyatakan Rasio


menjalani menjalani pengumpulan Cara dalam bulan
terapi hemodialisis ukur: Menanyakan < 12 bulan

dalam bulan sejak bulan pertama kali 12-59 bulan

pertama kali responden 60-119 bulan

menjalani menjalani >120 bulan

hemodialisis hemodialisis dan

sampai penelitian atau melihat data

ini pada status rekam

dilakukan. (Rasio) medik pasien dan di


hitung selisihnya
dengan bulan
pelaksanaan
penelitian ( Imelda,2017)
37

E. Tempat dan waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di instalasi hemodialisa RSUP Dr. Sardjito,

Yogyakarta. Waktu penelitian bulan April- Juli 2019.

G. Protokol Penelitian

1. Pasien yang menjadi subyek penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik

yang menjalani hemodialisis rutin.

2. Peneliti memberikan informasi mengenai penelitian yang akan dilakukan

3. Bila pasien bersedia menjadi subjek penelitan, pasien menandatangai

lembar informed concent untuk mengikuti penelitian

4. Subjek penelitian dilakukan pemeriksaan lengkap anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya yang berkaitan dengan faktor prediksi

yang akan diteliti.

5. Subjek penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang

dikelompokkan ke dalam 2 kelompok yaitu adekuat dan tidak adekuat

hemodialisis.

6. Kedua kelompok tersebut dilakukan analisis kadar CRP.

7. Data dari kedua kelompok tersebut kemudian di analisis.


38

Protokol Penelitian

Pasien Hemodialisa rutin di RSUP dr. Sardjito

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi


Peneliti memberikan informasi penelitian

meng
Inform consent

Bila bersedia menjadi subjek penelitian, pasien


menandatangani lembar inform consent

Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang terkait


dengan faktor prediksi yang akan diteliti

Adekuasi HD Tidak adekuasi HD

Cek CRP Cek CRP

Analisis
39

H. Besar Sampel

Untuk menetukan jumlah sampel yang diambil dapat dilakukan dengan

menggunakan rumus estimasi 2 proporsi (Sudigdo, 2014) :

n
Z1 / 2 2 P1 P   Z1  P11 P1 P21 P22
P1  P 22
Keterangan :

- n = besar sampel

- P1 = Proporsi pasien hemodialisis tidak adekuasi terapi

- P2 = Proporsi pasien hemodialisis dengan adekuasi terapi

- α = kesalahan tipe satu, ditetapkan 0,05

- Zα = nilai standar alpha 5%, yaitu 1,96

- ß = kesalahan tipe dua, ditetapkan 0,20

- Zß = nilai standar beta 20 %, yaitu 0,84

- P1-P2 = selisih proporsi adekuasi hemodialisa yang dianggap bermakna

ditetapkan sebesar 0,2

Proporsi pasien hemodialisis dengan adekuasi terapi sebesar 42,6%

(Septiwi, 2010) dan P1-P2 adalah 20%, maka jumlah sampel dalam penelitian ini

adalah :

N = 49
40

I. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode purpusive sampling, yaitu

teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan

penelitian.

J. Jenis dan Analisa Data

a Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data, yaitu

dengan pengisian kuesioner oleh responden yang dilakukan secara langsung oleh

peneliti terhadap sampel penelitian.

b Analisa Data

Analisa univariat dilakukan untuk mendiskripsikan masing-masing

variabel penelitian:

Variabel independen yaitu Adekuasi hemodialisis. Analiasis datanya

dilakukan dengan menentukan frekuensi dan prosentasenya. Data disajikan

dengan menggunakan diagram dan interprestasi berdasarkan hasil yang diperoleh.

Variabel dependen yaitu marker inflamasi akut (CRP). Analisis datanya

dilakukan dengan menentukan frekuensi dan prosentasenya. Data disajikan

dengan menggunakan diagram dan interprestasi berdasarkan hasil yang diperoleh.

Variabel kofonding yaitu tipe akses vaskular dan durasi hemodialisis.

Analisis datanya dilakukan dengan menentukan frekuensi dan prosentasenya,

sedangkan Qb, usia dan lama menjalani hemodialisis dianalisis dengan


41

menentukan nilai mean, standar deviasi, nilai minimal maksimal, dan Confidence

interval.

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen (adekuasi hemodialisa) dengan variabel dependen (kadar CRP). Nilai

Cofidence interval adalah 95% dengan tingkat kemaknaan 5% (α = 0,05). Jika

nilai p ≤ α maka hipotesis diterima/gagal ditolak, yang artinya tidak ada hubungan

antara kedua variabel (Hastono, 2007). Analisis bivariat yang digunakann dalam

penelitian ini adalah Chi-Square dan Fisher Exact test jika ada sel kurang dari 5.

K. Pertimbangan Etik

Penelitian ini menggunakan persetujuan dari komisi etika penelitian

biomedis Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta referensi

no.: KE/FK/ 0760/ EC/ 2019 serta ijin dari Direktur RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta.
42

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan studi potong lintang (Cross Sectional Study)

untuk mengukur dan menganalisa ureum pre dan post hemodialisis dan kadar C –

reactive protein pada pasien Gagal Ginjal Kronik yang menjalani hemodialisis

rutin. Subyek penelitian sebesar 49 orang penderita gagal ginjal kronik di RSUP

Dr. Sardjito. Dari hasil pemeriksaan didapatkan dua kelompok penelitian, yaitu

kelompok adekuasi hemodialisis dan kelompok tidak adekuasi hemodialisis terdiri

dari 9 orang pasien yang terperiksa adekuat hemodialisis dan 35 pasien yang

terperiksa tidak adekuat hemodialisis..

Dari 49 orang penderita gagal ginjal kronik yang memenuhi kriteria untuk

dilakukan pemeriksaan ureum pre dan post hemodialisis serta pemeriksaan kadar

C- Reactive Protein, 5 orang penderita tidak terperiksa, 2 orang penderita

menolak diperiksa, 2 orang penderita tidak datang dan 1 orang penderita rawat

inap. Waktu penelitian dimulai dari April 2019 sampai Juli 2019.

Dalam bab ini peneliti juga akan menguraikan hasil penelitian yang telah

dilakukan meliputi analisis univariat dan bivariat yang meliputi analisis variabel

independen (adekuasi hemodialisis), variabel dependen (kadar C- reactive

protein), dan potensial konfonder yang terdiri dari karakteristik responden jenis

kelamin, usia, status pekerjaan, tingkat pendidikan, hipertensi, BMI, anemia dan

tipe akses vascular.


43

IV.1. Karakteristik dasar

Jenis kelamin, Usia, pendidikan, pekerjaan, pendidikan, hipertensi, BMI, anemia

dan tipe akses vaskular

Tabel. 8. Karakteristik dasar Responden pasien yang menjalani hemodialisis di RSUP

DR. Sardjito, Yogyakarta bulan April – Juli 2019 (n = 44)

Karakteristik n (%)
Jenis Kelamin Laki- laki 28 (63,8)
Perempuan 16 (36,4)
Usia < 40 Tahun 8 (18,2)
40-49 tahun 6 (13,6)
≥ 50 tahun 30 (68,2)
Pekerjaan PNS 4 (9,1)
Wiraswasta 11 (25,0)
Tidak Bekerja 17 (38,6)
Pensiunan 11 (25,0)
Petani 1 (2,3)
Pendidikan Dasar 12 (27,3)
Menengah 13 (29,5)
Tinggi 19 (43,2)
Hipertensi Tidak 21 (47,7)
Ya 23 (52,3)
BMI Overweight 15 (34,1)
Normal 29 (65,9)
Anemia Tidak 6 (13,6)
Ya 38 (86,4)
Akses Vascular Cimino 43 (97,7)
Non Cimino 1 (2,3)

Tabel 8. menunjukkan bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki jumlahnya

lebih banyak (63,6%) dibandingkan dengan responden perempuan (36,4%).

Sebagian besar pasien berusia ≥ 50 tahun (68,2%).

Berdasarkan tingkat pendidikan, responden berpendidikan tinggi (Diploma-S2)

sebesar 43,2%, dan yang berpendidikan dasar (SD dan SMP) sebesar 27,3%.
44

Responden yang masih aktif bekerja sebesar 61,4% dan yang tidak bekerja

sebesar 38,6%. Sebagian kecil responden menjalani hemodialisis dengan durasi

4,5 jam (54,5%) dan 4 jam (20,5%). Lebih dari separuh pasien tidak hipertensi

(52,3%). Sebagian besar pasien memiliki BMI normal (65,9%). Sebesar 86,4%

responden anemia dan sebagian kecil yang tidak anemia (13,6%). Sebagian besar

reponden sudah terpasang cimino (97,7%) dan 2,3% yang belum menggunakan

cimino.

IV. 2. Analisa Univariat

IV.2.1 Kadar C- reactive protein

Hasil pengukuran Kadar C- reactive protein menunjukkan bahwa 54,5%

responden mempunyai kadar C- reactive protein normal, dan 45,5% mempunyai

kadar C- reactive protein tinggi.

45.50%

54.50%

CRP Tinggi CRP Normal

Diagram. 1. Proporsi Responden Menurut Kadar C- reactive protein di RS DR. Sardjito

Yogyakarta Bulan April- Juli 2019 (n = 44)


45

IV.2. 2. Adekuasi Hemodialisis

Hasil pengukuran adekuasi hemodialisis menunjukkan bahwa sebagian

besar 79,5% responden tidak adekuat hemodialisis dan sisanya 20,5% dapat

mencapai adekuasi hemodialisis.

20.50%

79.50%

Adekuat Hemodialisis Tidak Adekuat Hemodialisis

Diagram. 2. Proporsi Responden Menurut Adekuasi Hemodialisis di RS DR. Sardjito,

Yogyakarta, bulan April - Juli 2019 ( n = 44 )

IV.2. 3. Analisa Bivariat

4.3.3.1. Adekuasi Hemodialisis dengan Kadar C- reactive protein

Tabel. 9. Distribusi Responden Menurut Adekuasi Hemodialisis dan Kadar C-reactive

protein di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Bulan April - Juli 2019 (n = 44)

CRP
Normal<5 Tinggi≥5 p OR (CI 95%)
n (%) n (%)
Adekuasi Adekuat (>1,8) 6 (66.7) 3 (33.3) 0,477 1,89 (0,41-8,78)
Tidak adekuat <1,8 18 (51.4) 17 (48.6)
Fisher exact test
46

Hasil analisis hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kadar C-

reactive protein diperoleh bahwa sebanyak 6 orang (66,7%) responden yang

mencapai adekuasi hemodialisis dengan kadar C- reactive protein normal (<5 ),

dan 3 orang (33,3%) responden yang mencapai adekuasi hemodialisis dengan

kadar C- reactive protein tinggi (≥ 5) .

Analisis lebih lanjut pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara adekuasi hemodialisis dan kadar C – reactive protein

(p=0,477,α=0,05). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,89 yang artinya bahwa

responden yang mencapai adekuasi mempunyai peluang sebesar 1,89 kali dengan

kadar C- reactive protein normal (<5 ) dibandingkan reponden yang tidak

mencapai adekuasi .

IV.B. PEMBAHASAN

Pada bagian ini penulis akan membahas mengenai hasil penelitian yang

meliputi hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kadar C- reactive protein,

serta faktor konfonding yang mempengaruhi hubungan antara adekuasi

hemodialisis dengan kadar C- reactive protein. Disamping itu dibahas juga

mengenai implikasi hasil penelitian terhadap pelayanan hemodialisis serta

keterbatasan penelitian.

Pada penelitian ini prevalensi peningkatan C- reactive protein pada pasien

yang tidak adekuat hemodialisis sebesar 48,6%. Borazan (2004) mendapatkan

peningkatan C- reactive protein 48% pada semua pasien yang menjalani


47

hemodialisis. Prevalensi inflamasi kronis sangat tinggi pada pasien yang

menjalani hemodialisis, bervariasi antara 35% sampai 65% ( Corresh, 2005).

Patogenesis inflamasi kronis pada pasien yang menjalani hemodialisis belum

jelas, tetapi dari penelitian sebelumnya disebutkan bahwa toksin dari ureum,

sitokin pro inflamasi, stress oksidatif, infeksi terutama dari akses dialisis, faktor

komorbid dan sistem imun serta overload cairan. Inflamasi kronis di nilai dari

peningkatan kadar C- reactive protein > 5 mg/dl di hubungkan dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas (Romao, 2006).

Hasil analisis hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kadar C-

reactive protein diperoleh bahwa sebanyak 6 orang (25,0%) responden yang

mencapai adekuasi hemodialisis dengan kadar C- reactive protein yang normal

(rendah) dan 18 orang (75,0%) responden yang tidak mencapai adekuasi

hemodialisis dengan kadar C- reactive protein yang rendah. Sedangkan hubungan

antara adekuasi hemodialisis dengan kadar C- reactive protein diperoleh bahwa

sebanyak 3 orang (15,0%) responden yang mencapai adekuasi hemodialisis

dengan kadar C- reactive protein yang tinggi dan 17 orang (85,0%) responden

yang tidak mencapai adekuasi hemodialisis dengan kadar C- reactive protein

tinggi. Analisis lebih lanjut pada alpha 5% terdapat hubungan yang tidak

bermakna antara adekuasi hemodialisis dan kadar C- reactive protein

(p=0,477,α=0,05). Nilai OR yang diperoleh adalah 1,89 yang artinya bahwa

responden yang telah mencapai adekuasi mempunyai peluang sebesar 1,89 kali

dengan kadar C- reactive protein yang normal dibandingkan responden yang tidak

mencapai adekuasi (95% CI: 0,41- 8,78).


48

Hasil penelitian Rashid (2011), dari 100 responden yang di lakukan

penelitian Cross Sectional didapatkan korelasi bahwa kadar C –Reactive Protein

lebih tinggi pada kelompok dengan Kt/V ≥ 3,6 dibandingkan dengan kelompok

Kt/V ≤ 3,6 (r= - 0,212 p= 0,032). Selain itu dilaporkan beberapa penelitian

sebelumnya didapatkan angka kejadian inflamasi tinggi pada pasien yang

menjalani hemodialisis rutin dalam jangka waktu yang lama, tetapi tidak ada

hubungan antara peningkatan C- reactive protein dengan lamanya menjalani

hemodialisis. Borazan (2004) juga melaporkan tidak ada korelasi antara C-

reactive protein dan Kt/V pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis rutin ( r =-0,436., P<0,05). Namun jika penderita mendapatkan

hemodialisis yang adekuat, inflamasi kronis tidak ditemukan. Hal ini dapat

dijelaskan, yang pertama adekuat hemodialisis dapat mengeluarkan toksin dari

ureum dan sitokin pro inflamasi, dan yang kedua menjaga volume cairan di dalam

tubuh agar tidak overload yang berkontribusi pada inflamasi kronis, serta yang

ketiga menghindari kontaminasi bakteri jika didapatkan overload cairan akibat

hemodialisis yang tidak adekuat.

Penggunaan membran high flux telah digunakan pada semua pasien dalam

penelitian ini. Penggunaan membran high flux saat dialisis dapat meningkatkan

bersihan molekul yang berukuran sedang antara 10.000-15.000 Dalton, termasuk

protein inflamasi, β2 mikroglobulin (β2M), dan lipoprotein. Hal ini mungkin dapat

menerangkan kadar C- reactive protein penelitian ini tidak bermakna jika

dihubungkan dengan adekuasi hemodialisis. Suatu studi melaporkan bahwa rerata

bersihan β2M selama periode pemantauan lebih besar pada high flux
49

dibandingkan low flux yaitu secara berturut-turut sebesar 33,8 (SB 11,4) ml/menit

dan 3,4 (SB 7,2) ml/menit (Cheung, 2003).

High flux dialyzer adalah suatu metode dialisis yang efisien dan merupakan

metode hemodialisis konvensional dengan menggunakan membran volume darah

berdaya hisap tinggi pada mesin hemodialisis. Tidak seperti low flux dialiyzer,

yang hanya menyaring toksin melalui dispersi, high flux dialyzer dapat menyaring

zat terlarut melalui 3 cara: dispersi, konveksi, dan adsorpsi. Dialyzer high flux

dengan daya saring difusi yang tinggi dan adanya membran polimer dengan

permeabilitas hidrolik dapat menghilangkan zat terlarut dalam ukuran medium

dan molekul besar serta partikel- partikel terlarut kecil ( Karkar et al,2015).

Hemodialisis konvensional tidak dapat memperbaiki mikro inflamasi pasien PGK

yang menjalani hemodialisis, terutama disebabkan berat molekul marker

inflamasi yang berukuran sangat besar sehingga tidak dapat disaring oleh dialyzer

low flux konvensional karena batas ukuran pori membran. High flux dialyzer juga

memiliki keunggulan biokompatibilitas yang baik dibandingkan dialyzer low flux

( Abe et al, 2017). Pemakaian dialyzer high flux dapat mengurangi aktivasi

komplemen dan reaksi inflamasi pasien, pada saat yang sama juga, dapat

meningkatkan fungsi hematopoietik dari sumsum tulang. Dialyzer high flux

menurunkan kadar toksin molekul sedang dan besar, sedang secara in vivo dapat

menghilangkan marker inflamasi, meningkatkan kualitas hidup pasien dialisis

dengan memperbaiki marker mikro inflamasi dan malnutrisi kronis, dan

selanjutnya mengurangi kejadian kematian kardiovaskular dan serebrovaskular.

Mekanismenya adalah sebagai berikut: (1) meningkatkan resistensi insulin,


50

menghambat ekspresi tinggi IL-6 dan TNF-α, dan menurunkan sintesis CRP; (2)

langsung menghilangkan IL-6, TNF-α, CRP dan toksin molekul besar dan

menengah lainnya; (3) membran dialisis dengan biokompatibilitas yang baik

dapat menurunkan aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi serta menurunkan

back ultrafiltration endotoksin; (4) mengatur gangguan metabolisme lipid,

meningkatkan metabolisme kalsium dan fosfor, dan menurunkan kadar hormon

paratiroid serum.

Penelitian Emad et al, 2017 dalam suatu penelitian random terhadap 60

responden yang dibagi dalam 2 kelompok yang menjalani hemodialisis dengan

menggunakan dialyzer High flux dan dialyzer low flux selama 6 bulan terhadap

efek CRP. Awal penelitian kadar CRP pada kelompok perlakuan lebih tinggi

dibandingkan kelompok kontrol. Setelah 6 bulan didapatkan pada kelompok

dialyzer High flux kadar CRP lebih rendah dibandingkan kelompok dialyzer low

flux dan kelompok kontrol.

Dialisis yang dilakukan dengan menggunakan biokompatibel sintetis dialyzer

High flux meningkatkan bersihan sitokin proinflamasi, sehingga mengurangi

peran komplemen dan aktivasi leukosit. Sebagian besar membran sintetis dapat

mengadsorbsi endotoksin dan mencegah masuk ke pembuluh darah, dengan

demikian menurunkan kondisi inflamasi pasien ginjal kronis (Henrie et al,2008).

Penelitian oleh Merello et al tahun 2001, juga menjelaskan penurunan

marker inflamasi (CRP) selama 6 bulan yang diteliti setelah efek pergantian

dialyzer low flux ke high flux pada pasien yang dirawat di 39 pusat hemodialisis

di Spanyol. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien PGK yang
51

menjalani hemodialisis rutin dengan dialyzer low flux selama setidaknya enam

bulan sebelum beralih ke dialyzer high flux. Dari 1.543 pasien yang terdaftar

dalam penelitian ini antara tahun 2000 dan 2001, 1.046 pasien dianalisis.

Sebanyak 497 pasien dikeluarkan karena tidak ter follow up. Hasil penelitian

menunjukkan adanya penurunan beta-2 microglobulin dan penurunan marker

inflamasi (CRP).

Penelitian oleh Hadim A et al. tahun 2013 mengamati hemodialisis

dialyzer high flux, terhadap marker inflamasi dan profil lipid pada pasien

hemodialisis. Penggunaan membran polisulphone low flux dan high flux memiliki

efek yang sama yaitu penurunan marker inflamasi ( CRP). Penelitian El-Wakil et

al. mengamati efek hemodialisis High flux dan low flux terhadap β₂

mikroglobulin serum, protein oksidasi dan protein karbonil. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa high flux berhasil menurunkan ß₂ microglobulin dan

protein karbonil.

Penelitian dari MINOXIS (Modulation of INflammation and OXidative

stress by high-flux hemodialysIS) tahun 2012, suatu penelitian prospektif, kontrol

trial ingin membuktikan dializer high-flux dapat memperbaiki anemia renal dan

anemia yang berhubungan dengan marker inflamasi, stres oksidatif dan status

nutrisi. Hasil penelitian menunjukkan setelah 1 tahun, dializer high-flux tidak

lebih superior dilihat dari kadar hemoglobin, marker inflamasi, stres oksidatif,

dan status gizi. Data ini tidak mendukung hipotesis bahwa peningkatan

pembuangan toksin secara konvektif dengan dializer high-flux akan

meningkatkan kualitas hidup responden (Schneider, et al 2012).


52

Penelitian dari Chu et al, 2008 menjelaskan bahwa responden yang menjalani

hemodialisis, menggunakan dializer high-flux dengan membran polisulfon

sintetik tidak memberikan hasil lebih baik untuk efek anti inflamasi atau anti

oksidan dibandingkan dializer low-flux. Namun, dializer high-flux dapat

meningkatkan resistensi insulin. Hasil ini menjelaskan bahwa dializer high-flux

memberikan proteksi kardiovaskular yang lebih baik daripada dializer low-flux.

Dializer low-flux dapat dipertimbangkan untuk pasien yang hanya membutuhkan

terapi hemodialisis jangka pendek, sedangkan untuk hemodialisis rutin jangka

panjang, dializer high-flux menjadi pilihannya.

Sejak 1 Januari 2019 instalasi dialisis RSUP Dr. Sardjito menggunakan dialyzer

high flux. Hal ini mungkin dapat menerangkan bahwa hasil pemeriksaan CRP

pada masing- masing kelompok adekuat dan tidak adekuat menunjukkan

perbedaan yang tidak bermakna. Pada penelitian ini juga sudah menggunakan

dialyzer high flux single use yang menurunkan risiko infeksi dan penggunaannya

lebih mudah karena tidak perlu pemrosesan sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang tidak

mencapai adekuasi hemodialisis (79,5%) dibandingkan yang adekuat (20,5%).

Konsensus Dialisis Pernefri (2003) menyatakan bahwa pencapaian target Kt/V

untuk pasien yang menjalani hemodialisis 2 kali/minggu adalah 1,8 dan 1,2 untuk

yang menjalani hemodialisis 3 kali/minggu. K/DOQI merekomendasikan bahwa

setiap sesi pelaksanaan hemodialisis diharapkan dapat mencapai adekuasi minimal

dengan Kt/V 1,2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 20,5%

responden yang dapat mencapai adekuasi minimal dengan Kt/V≥1,2 sesuai yang
53

direkomendasikan oleh K/DOQI, akan tetapi belum dapat mencapai target yang

ditetapkan oleh Pernefri. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Dewi

(2010) yang mengemukakan bahwa rata-rata adekuasi hemodialisis yang dicapai

oleh pasien yang menjalani hemodialisis 2 kali/minggu di RSUD Tabanan Bali

adalah 1,22.

Proses hemodialisis yang tidak adekuat akan memberikan dampak tidak

hanya perburukan dari simptom azotemia tetapi juga peningkatan morbiditas dan

mortalitas. Hal ini sesuai dengan penelitian Ahmad dan Cole yang secara

retrospektif membandingkan pasien dengan Kt/V 0,98 ± 0,04 angka hospitalisasi

berkisar 1,93 hari per tahun dibandingkan dengan Kt/V 1,29 ± 0,12 tanpa

hospitalisasi.

Faktor Quick of blood dan akses vaskular juga memegang peranan penting

dalam pencapaian adekuasi hemodialisis. Cimino/AV Shunt merupakan akses

yang optimal untuk meningkatkan kelancaran laju aliran darah (Qb) sehingga

bersihan ureum dalam darah juga makin optimal. Responden dalam penelitian ini

hanya 97,7% yang sudah dipasang Cimino dan Qb responden berkisar antara 200-

300 mL/menit. Pengaturan Qb belum menggunakan pertimbangan berat badan

sebagai pedoman dengan rumus Qb = 4 x BB. Berat badan responden penelitian

ini berkisar antara 42 kg – 85,5 kg, sehingga Qb yang diberikan seharusnya

berkisar antara 168 mL/menit sampai dengan 340 mL/menit Pengaturan dan

pemantauan Qb merupakan salah satu faktor penting dalam pencapaian adekuasi

hemodialisis, dimana Qb menunjukkan besarnya aliran darah yang dialirkan ke


54

dalam dialiser melalui akses vaskular yang berkisar antara 200-600 ml/menit yang

akan menghasilkan bersihan ureum 150-200 ml/menit (Gatot,2003).

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

a.Pemilihan sampel

Pemilihan sampel dalam penelitian ini hanya berdasarkan frekuensi rutin

responden yaitu 2 kali/minggu,belum mempertimbangkan faktor individual dalam

peresepan dosis hemodialisis yang kemungkinan mempengaruhi pencapaian

adekuasi hemodialisis.

b.Penggunaan dialiser

Peneliti hanya mengobservasi bahwa semua responden menggunakan

dialiser high flux tanpa membedakan jenis membran dan hanya 1 jenis koefisien

ultrafiltrasi 1,3 (Kuf). Peneliti juga mengabaikan nilai koefisien luas permukaan

transfer yang seharusnya berbeda penggunaannya sesuai dengan berat badan

pasien.

Implikasi Terhadap Pelayanan dan Penelitian Medis

a.Pelayanan Medis

Hasil penelitian ini telah menganalisis adekuasi hemodialisis dengan kadar C-

Reactive Protein pasien hemodialisis, sehingga dapat dijadikan dasar bagi dokter

yang bertugas di bagian hemodialisis untuk membantu pasien hemodialisis

mencapai adekuasi hemodialisis. Hemodialisis yang adekuat secara fisik akan

membuat pasien menjadi lebih nyaman, meminimalkan terjadinya sindrom


55

uremia, mengurangi angka hospitalisasi. Melihat pentingnya pencapaian adekuasi

hemodialisis terhadap pasien hemodialisis, untuk itu dokter spesialis harus

memperhatikan semua faktor yang dapat mempengaruhi tercapainya adekuasi

hemodialisis seperti pentingnya pengaturan Qb sesuai dengan berat badan pasien,

kepatenan akses vascular,dan pengaturan durasi hemodialisis sesuai dengan

jumlah dosis hemodialisis. Diharapkan semua pasien hemodialisis dapat mencapai

adekuasi, dimana hal itu merupakan cerminan kualitas unit hemodialisis dan mutu

pelayanan yang diberikan. Penelitian ini juga telah mengidentifikasi durasi

hemodialsis merupakan variabel pengganggu adekuasi hemodialisis.

Perkembangan Ilmu Kedokteran

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi pengembangan intervensi

kedokteran yang berfokus pada CRP dan pencapaian adekuasi hemodialisis untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien hemodialisis .

Riset Penelitian

Hasil penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya yang

terkait dengan adekuasi hemodialisis.


56

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

V.1. SIMPULAN

Simpulan yang didapatkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan adalah

tidak ada perbedaan yang bermakna antara adekuasi hemodialisis dengan kadar C-

reactive protein pasien hemodialisis di RSUP Dr. Sardjito

V. 2. SARAN

Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui kadar C-Reactive

Protein pada responden yang menjalani hemodialisis rutin sesuai dengan sample

size, populasi yang lebih homogen, dan mengevaluasi kontrol volume, status

hemodinamik serta durasi hemodialisis yang sesuai dengan kaidah PERNEFRI

(10-15 jam/minggu).
57

DAFTAR PUSTAKA

Abe M, Hamano T, Wada A. Effect of dialyzer membrane materials on survival


in chronic hemodialysis patients: results from the annual survey of the
Japanese Nationwide Dialysis Registry. Plos One 2017; 12: 018442
Abravkar PN, Avikar JS, Shilpa B. Study of serum uric acid and C- reactive
protein levels in patients with renal disease., International Journal Biology
Medical Research. 2013;4 (1): 2758-61.
Black, J.M, Hawks, J.H. 2005. Medical Surgical Nursing Clinical Management
for Possitive Outcome 7th edition. Philadelphia : W.B Saunders Company.
Borazan A, Hasan Ustun, Yucel Ustundag, Selim Aydemir, Taner
Bayraktaroglu, Mehmet Sert, Ahmet Yilmaz, 2004. The effects of Peritoneal
Dialysis and Hemodialysis on serum tumor necrosis factor Alpha,
Interleukin -6, Interleukin -10 and C-reactive protein Levels. Mediator of
Inflammation, 13 (3) : 201-204.
Borazan A, Selim Aydemir, Mehmet Sert, Ahmet Yilmaz, 2004. The effects of
Hemodialysis and Peritoneal Dialysis on serum homocysreine and Creactive
protein Levels. Mediator of Inflammation, 13 (5/6) : 361-364.
Cheung AK, Nathan WL, Greene T, Agodoa L, Bailey J, Beck G.2003. Effects of
high flux hemodialysis on clinical outcomes: Results of the HEMO study. J
Am Soc Nephrol;14(12):3251-63.
Chu PL, Chiu YL, Lin JW, Chen SI, Wu KD, 2008: Effects of low- and high-flux
dialyzers on oxidative stress and insulin resistance. Blood Purif, 26: 213–
220.
C.K. Wong, C.C. Szeto, M.H.M. Chan, C.B. Leung, P.K.T. Li, C.W.K. Lam,
2007. Elevation of Protein Inflammatory Cytokines, C-Reactive Protein and
Cardiac Troponin T in Chronic Renal Failure Patients on Dialysis.
Immunological Investigations, 36 : 47-57.
Coresh J, Byrd-Holt D, Astor BC, 2005. Chronic kidney disease awareness,
prevalence, and trends among U.S. adults, 1999 to 2000. J AmSoc
Nephrol;16:180-8
Cronin, R.E., Henrich, W.L. 2010. Kt/V and The Adequacy of Hemodialysis.
http://www.nbci.nlm.nih.gov/pubmed/9807323
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysys 4th edition.
Philadelphia: Lippincott.
Dati F, Myron Johnson A, Whicher JT 2001. The Existing Interim Consensus
Reference Ranges and the Future Approach. Clin Chem Lab Med;
39(11):1134-1136.
Descamps, Latscha B., Goldford, B., Nguyen, A. T., 1991. Esthablishing the
relationship betwen complement activation and stimulation of fagocyte
oxitative metabolism in hemodialysed patients: a randomized
prospectivestudy. Nephron, 59:279-285.
Dewi, I.G.A.P.A. 2010. Hubungan antara Quick of Blood/Qb dengan Adekuasi
Hemodialisis di Ruang HD BRSU Daerah Tabanan Bali. Tesis. Tidak
dipublikasikan.
58

DU-Clos, T.W., 2000. Function of C-Reactive Protein, Annual Medicine 32 : 274-


278.
Eknoyan, G., Levin, N.W., Eschbach, J.W. 2000. KDOQI Clinical Practice
Guidelines. http://www.asnjournals.org
El-Wakil HS, Abou-Zeid AA, El-Gohary IE, Abou El-Seoud NA, Abou El-
Yazeed MA, El-Leithy MA., 2011. Effect of high flux versus low flux
hemodialysis on serum beta-2 microglobulin, advanced oxidation protein
products and protein carbonyl. Alexandria JMed.;47(1):37–42.
Emad A.,M, Magdy Elsayed Mohamed, Haytham Sabry Abdelhamid,
Mohammed Al-Arabi Mohammed., 2017. Effects of High Flux versus Low
Flux on Serum C-Reactive ProteinA as an Inflammatory Biomarker in
Hemodialysis Patients., The Egyptian Journal of Hospital Medicine Vol.67
(2), Page 645-655
Erlinda, 2014. Hubungan Kadar Asam Urat Serum Dengan Kadar High
Sensitivity C-Reactive Protein (HSCRP) Pasien Hemodialisis Rumah Sakit
Umum Daerah DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH. Tesis. Tidak
Dipublikasikan.
Filiopoulos V, Hadjiyannakos D, Metaxaki P., 2008. Inflammation and oxidative
stress in patients on hemodiafiltration. American Journal of Nephrology.
28(6):949– 957.
Fink, J.C. 2001. Spesific faktor on Varians in Dialysis Adequacy. Journal of the
American Society of Nephrology, 12 : 164-169.
Fluchart, J.C., 2003. Atherosclerosis: an Inflammatory Disease?, International
Task Force for Prevention of Coronary Heart disease. Task Force
Symposium.
Gatot, D. 2003. Rasio Reduksi Ureum dalam Dialisis.
http://library.usu.ac.id/download/fk/penyakitdalam-dairot%20gatot.pdf.
Hadim Akoglu., Fatih Dede., Serhan Piskinpasa., Mesude Y. Falay., Ali Riza
Odabas., 2013. Impact of Low- or High-Flux Haemodialysis and Online
Haemodiafiltration on Inflammatory Markers and Lipid Profile in Chronic
Haemodialysis Patients, Ankara Numune Research and Education Hospital,
Ankara , Turkey, Blood Purif 2013;35:258–264.
Hak AE., Stehouwer C, Bots Moche., Polderman K, Schalkwijk C, Westerndorp I
et al., 1999, Associations of C Reactive Protein With Measure of Obesity,
Insulin Resistance and SubClinical Atherosclerosis in Healthy, Midlle Aged
Woman, Atherosclerosis Thrombosis Vascular Biol., 19: 1986-91.
Hastono, P.S. 2007. Analisa Data Kesehatan. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Buku tidak dipublikasikan.
Henrie Met al.(2008).In vitro assessment of dialysis membranes as an endotoxin
transfer barrier: geometry, morphology and permeability. Artif Organs, 32,
pp. 701–710
Hirschfield, G.M., Pepys,M.B., 2003. C-Reactive Protein and Cardiovascular
Disease: New Insight From an Old Molecule, Quarterly Journal of
Medicine. 96:793-807.
Imelda Fitri, Endang Susalit, M Bonar M Marbun, Cleopas Martin Rumende,
2017., Gambaran Klinis dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Ginjal Tahap
59

Akhir yang Menjalani Hemodialisis Dua Kali Dibandingkan Tiga Kali


Seminggu., Jurnal Penyakit Dalam., Vol.4., no.3., September 2017.
Indonesian renal registry. 2014. 7th Report Of Indonesian Renal Registry.
Jindal, K., Chan, C.T. 2006. Hemodialysis adequacy in Adult. Journal of The
American Society of Nephrology. 2006: 17:4-7.
Johanna, C.K., Jeannette, G., Van Manem, Friedo, W.D., Dirk, R.D.W., Elisabeth,
W.B., Raymond, T.K., 2004. Effect of increase in C-reactive Protein level
during a Hemodalysis session on Mortality. J Am Soc Nephrol 15 : 2916-
2922.
Johnson RJ, Herrera-Acosta J, Schreiner GF, Rodriguez-Iturbe B. 2002. Subtle
acquired renal injury as a mechanism of salt-sensitive hypertension. N Engl
J Med. 346:913–923.
K/DOQI. 2006. Clinical practice guidelines for hemodialysis adequacy. Maret 2,
2010. http://www.kidney.org/Professionals/kdoqi.
Karkar A, Abdelrahman M, Locatelli F., 2015. A randomized trial on health-
related patient satisfaction level with high-efficiency online
hemodiafiltration versus high-flux dialysis. Blood Purif; 40: 84-91.
Koenig W, Lowel H, Baumert J, Meisinger C, 2004. C-reactive protein modulates
risk prediction based on the Framingham Score: implications for future risk
assessment: results from a large cohort study in southern Germany.
Circulation, American Heart Association.;109:1349-53.
Li, F.K., Lai, K.N. 2000. Current Issues in the Chronic Renal failure : Dialysis.
Havas Media.
Marion Haubitz, Reinhard Brukhorst, Eike Wrenger, Peter Froese, Matthias
Schulze, Karl-Martin Koch., 1996. Chronic Induction of C-Reactive Protein
by Hemodialysis, but not by Peritoneal dialysis therapy. Journal of The
International Society for Peritoneal Dialysis. 16 : 158-162.
Memoli B. Postiglione L, Cianciaruso B., 2000. Role of different dialysis
membran in the release of interleukin- 6 – Soluble receptor in uremic
patiens. International Society of Nephrology. 58(1): 417-24.
Merello Godino JI, Rentero R, Orlandini G, Marcelli D, Ronco C., 2002.:Results
from EuCliD (European Clinical Dialysis Database):Impact of shifting
treatment modality.Int J Artif Organs25: 1049–1060.
Munshi R, Ahmad S., 2014. Comparison of urea clearance in low efficiency low
flux vs. high efficiency high‐ flux dialyzer membrane with reduced blood
and dialysate flow: An in vitro analysis. Hemodial Int.;18:172-4. doi:
10.1111/hdi.12054.
National Kidney Foundation. 2001. Guidelines for Hemodialysis adequacy.
http//www.kidney.org/Professionals/kdoqi/

Nguyen, D. Van-Hong., and McLaughlin M,A., 2002, Coronary Artery Disease in


Women: A Review of Emerging Cardiovascular Risk factor, The Mount
Sinai Journal of Medicine, Vol 69 no 5: 338-47.
Owen, W.F. 2000. Hemodialysis Adequacy. http://www.oxfordjournals.org.
Pearson T, Blair S, Daniels S, Stephen R Daniels., Robert H Eckel., Joan M Fair.,
Stephen P. Portmann., et al., 2002. AHA guidelines for primary prevention
60

of cardiovascular disease and stroke: 2002 update: Consensus panel guide to


comprehensive risk reduction for adult patients without coronary or other
atherosclerotic vascular diseases. Circulation. American Heart Association.
106:388–391.
Pernefri. 2003. Konsensus Dialisis Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Jakarta.
Podrid, P., 2004. C-Reactive Protein in Cardiovascular Disease-I, in: B.D Rose
(editor), UptoDate 12.2 edition, Up to Date, Wellesley, M.A.
Porth, M.C., Mattfin, G., 2009. Pathophysiology Concepts of altered Health
States. 8th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Pourfarzianu, V., Ghanbarpour, F., Nemati, E., Taheri, S., Einollahi, B. 2008.
Laboratory variables and Treatment Adequacy in Hemodialysis Patient in
Iran. Saudi Journal of Nursing Scholarship Volume42.Issue 3. Pages
242249.
Rashid, H., Haq R.ul, Rehman-ur., 2011. Comparison of C- Reactive protein
levels with Delivered Dose of Kt/V in Patients with End- stage Renal
Disease on Maintenance Hemodialysis. Saudi J Kidney Dis Transpl
2015;26(4):692-696.
Roesli,R.2005.Bila ginjal Aus http:www.solusi.kesehatan.com/penyakitginjal/
bila-ginjall-aus.html.
Romão JE Jr, Haiashi AR, Elias RM, Luders C, Ferraboli R, Castro M C., et
al.,2006. Positive acute-phase inflammatory markers indifferent stages of
chronic kidney disease. Am JNephrol;26:59-66.
Santoso. 2010. Gagal Ginjal Kronik. http//.antiloans.org
Schneider A, Drechsler C, Krane V, Krieter DH, Scharnagl H, Schneider MP, et
al.,2012. The effect of high-flux hemodialysis on hemoglobin
concentrations in patients with CKD: results of the MINOXIS study. Clin J
Am Soc Nephrol.;7:52-9. doi: 10.1371/journal.pone.0128079.
Septiwi. C., 2010. Hubungan antara adekuasi hemodialisis dengan kualitas hidup
pasien hemodialisis di unit hemodialisis RS. Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Tesis. Tidak dipublikasikan.
Simatupang, T. 2006. Gangguan cardiovascular pada penderita Ginjal.
http://litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/ginjal 250406.htm
Sudigdo S. 2014. Dasar- dasar Metodologi Penelitian klinis . Edisi ke-5 . Sagung
Seto hal 352- 387.
Suhardjono. 2014. Gagal Ginjal Kronik dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam.
edisi ke-4. Jilid I. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia.
Suharjono., 2010. Penderita gagal Ginjal di Indonesia.
222.ikcc.or.id/content.php?c=1&id=275

Suwitra, Ketut. 2014. Gagal Ginjal Kronik dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam.
edisi ke-4. Jilid I. Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia.
Tielemans C, Husson C, schurmans T., 1996. Effect of Ultrapure and non- steril
dialysate on the inflammatory respon during in vitro hemodialysis.
International Society of Nephrology.; 49 (1):236-43.
61

Tsirpanlis, G., 2005. The pattern of inflamatio and a potential new clinical
meaning and usefullness of C-reactive protein in end stage renal failure
patients. Kidney blood Press Res 28 : 55-61.
Vincenzo Panichi, M.D., Massimilliano Migliori, M.D., Stefano De Pietro, M.D.,
Daniele Taccola, M.D., Maria Rita Matelli Ph.D., Luca Giovannini, M.D., et
al., 2001. C-Reactive Protein in Patient With Chronic Renal disease. Renal
Failure, London: Informa Healthcare, 23 (3&4) : 551-562.
Wasse. 2007. Association of initial hemodialysis vascular Acces with Quality of
Life. http://cjasn.asnjournals.org.
Weihong W., Zhengcong D., Longqian Li., Jie Li., Xueqin Jin.,2016. Association
of hyper-sensitive C-reactive protein with arterial stiffness and endothelial
function in patients with hyperlipidemia., Xinjiang China; School of
Medicine, Jianghan University, Wuhan 430056, Hubei, China., Int J Clin
Exp Med., ;9(12):23416-2342.
Weinhold B, Bader A, Valeria POLI, Rütehr U., 1997. Interleukin-6 is necessary,
but not sufficient, for induction of the human C-reactive protein gene in
vivo. Biochem J 325(3):617–21. doi:10.1042/bj3250617.
Zadeh, K., & Kople, J.D., 2006. Inflammation in Renal Insufficiency. Up to Date
14.3.
Zietz., B., Herfarth, H., Paul, G., 2003, Adiponectin Represents as Independent
Cardiovascular Risk Factor Predicting Serum HDL Cholesterol Level in
Type 2 Diabetes, FEBS Lett: 545: 103-4.
62

LAMPIRAN

LAMPIRAN 1

PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN

Saya, Sutriono dari Program Studi Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada akan melakukan penelitian yang berjudul

ANALISIS KADAR C-REACTIVE PROTEIN TERHADAP ADEKUASI

HEMODIALISIS DAN TIDAK ADEKUASI HEMODIALISIS PADA

PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI

HEMODIALISA RUTIN DI RSUP DR.SARDJITO

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis marker inflamasi dengan menilai

kadar CRP pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis

rutin di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.

Saya mengajak Anda untuk ikut serta dalam penelitian ini. Penelitian ini

membutuhkan sekitar 76 subyek penelitian, dengan jangka waktu keikutsertaan

masing-masing subyek sekitar 1 hari.

A. Kesukarelaan untuk ikut penelitian

Anda bebas memilih keikutsertaan anda dalam penelitian ini tanpa paksaan. Bila

Anda sudah memutuskan mengikuti penelitian ini, Anda juga bebas meminta

untuk mengundurkan diri / berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda

ataupun sanksi apapun.


63

B. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi hemodialisis RSUP dr.Sardjito Yogyakarta.

Responden penelitian adalah penderita gagal ginjal kronik yang menjalani

hemodialisis rutin yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi. Apabila Anda

bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, Anda diminta menandatangani

lembar persetujuan yang mengetahui Orang tua/wali. Prosedur selanjutnya adalah:

1. Anda akan diminta peneliti untuk pengambilan data penelitian yang

dilakukan pada hari pelaksanaan dimana peserta terjadwal menjalani hemodialisa.

2. Anda akan diwawancarai / diminta oleh peneliti untuk mengisi data.

3. Anda akan dilakukan pemeriksaan dengan pengukuran tekanan darah,

tinggi badan dan berat badan

4. Anda akan dilakukan pengambilan sampel darah sebagaimana tujuan dari

penelitian ini.

C. Kewajiban subyek penelitian

Sebagai subyek penelitian, Anda berkewajiban mengikuti penelitian seperti yang

tertulis di atas. Bila ada yang belum jelas, Anda bisa bertanya lebih lanjut kepada

peneliti.

D. Manfaat

Bagi bidang pendidikan, penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu sumber

informasi untuk penyelenggaraan penelitian lainnya dengan metode yang baik dan

benar. Bidang pelayanan masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi


64

sumber informasi yang benar untuk masyarakat tentang hubungan inflamasi

kronik pada pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin. Bidang

penelitian, hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai data dasar

untuk penelitian lebih lanjut tentang adekuasi hemodialisis dan peningkatan

kualitas hidup pasien dengan hemodialisis rutin dan pengembangannya untuk

penelitian selanjutnya.

E. Kerahasiaan

Semua informasi yang berkaitan dengan identitas subyek penelitian akan

dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian akan

dipublikasikan tanpa identitas subyek penelitian.

G. Pembiayaan

Semua biaya yang terkait penelitian akan ditanggung oleh peneliti tanpa ada pihak

sponsor tertentu.

H. Kompensasi

Subjek penelitian akan mendapatkan penyuluhan kesehatan mengenai pengaruh

marker inflamasi yang akan mempengaruhi kualitas hidup.

I. Informasi tambahan

Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas

sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu membutuhkan penjelasan

lebih lanjut, Anda dapat menghubungi Sutriono melalui email


65

sutriono@mail.ugm.ac.id di Program Studi Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Anda juga dapat menanyakan

tentang penelitian kepada Komite Etik Penelitian Kedokteran dan Kesehatan

Fakultas Kedokteran UGM (Telp. 9017225 dari lingkungan UGM) atau 0274-

7134955 dari luar, atau email : mhrec_fmugm@ugm.ac.id

Yogyakarta, 2019

Peneliti

(Sutriono)
66

LAMPIRAN 2
INFORMED CONSENT

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama :

Umur :

Menyatakan bahwa :

1. Saya telah mendapat penjelasan segala sesuatu mengenai Penelitian :


ANALISIS KADAR C-REACTIVE PROTEIN TERHADAP ADEKUASI
HEMODIALISIS DAN TIDAK ADEKUASI HEMODIALISIS PADA
PENDERITA GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI
HEMODIALISA RUTIN DI RSUP DR. SARDJITO

2. Setelah saya memahami penjelasan tersebut, dengan penuh kesadaran dan tanpa
paksaan dari siapapun bersedia ikut serta dalam penelitian ini dengan kondisi :
a. Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya dan hanya
digunakan untuk kepentingan ilmiah
b. Apabila saya inginkan, saya boleh memutuskan untuk keluar/tidak berpartisipasi
lagi dalam penelitian ini tanpa menyampaikan alasan apapun.
Yogyakarta, Juli 2019

Responden/Wali Yang membuat pernyataan,

(…………………………..) (……………………………….)
67

Lampiran 3

LEMBAR ALAT PENGUMPUL DATA

POTENSIAL PENGGANGGU

No. Tipe Durasi Usia Jenis Pendi Peker Lama Hb Status

Resp akses kel dikan jaan Bulan (gr%)


68

Lampiran 4

LEMBAR ALAT PENGUMPUL DATA

ADEKUASI HEMODIALISIS

No.Res Berat BB pre dan Ureum Ureum Kt/V

Badan post HD/

BB post

HD

Pre Post Pre HD Post HD

HD HD

Anda mungkin juga menyukai