Anda di halaman 1dari 78

PROPOSAL

HAL-HAL YANG ADA HUBUNGAN DENGAN


KESEMBUHAN PADA PENDERITA TUBERKULOSIS
DI BEBERAPA LOKASI DI WILAYAH INDONESIA
PERIODE TAHUN 2013 SAMPAI DENGANTAHUN 2021
(SYSTIMATIC REVIEW)

TEMA : PENYAKIT MENULAR

ZAKIAH RAHMA TAHRIM


4517111047

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BOSOWA
MAKASSSAR
2020
ii

PROPOSAL

Hal-Hal Yang Ada Hubungan Dengan Kesembuhan Pada


Penderita Tuberkulosis Di Beberapa Lokasi Di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 Sampai Dengan Tahun 2021

Disusun dan diajukan oleh


Zakiah Rahma Tahrim
4517111047

Menyetujui
Tim Pembimbing

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Dr. Siti Hardiyanti Nawir, M. Biomed


Tanggal: Tanggal:

Fakultas Kedokteran Universitas Bosowa


Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan

Dr. Ruth Norika Amin, Sp.PA, M.Kes Dr. Ilham Jaya Patellongi, M.Kes
Tanggal: Tanggal:
iii

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Muka i
Halaman Persetujuan ii
Daftar Isi iii
Daftar Tabel v
Daftar Gambar vii
Daftar Singkatan viii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Pertanyaan Penelitian 2
D. Tujuan Penelitian 3
1. Tujuan Umum 3
2. Tujuan Khusus 3
E. Manfaat Penelitian 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori 5
1. Tuberkulosis 5
a. Definisi 5
b. Etiologi 6
c. Epidemiologi 6
d. Faktor Risiko 9
e. Patofisiologi 11
f. Cara Penularan 12
g. Klasifikasi 14
h. Gejala Klinis 20
i. Diagnosis 23
j. Pengobatan 35
k. Komplikasi 39
2. Kesembuhan Tuberkulosis
3. Hal-hal yang Ada Hubungan dengan Kesembuhan
40
pada Penderita Tuberkulosis
a. Usia 40
b. Kepatuhan Berobat 41
c. Pengawasan Minum Obat (PMO) 42
d. Pengetahuan 43
e. Penyakit Lain 45
f. Sikap Pasien 46
B. Kerangka Teori 47
iv

Lanjutan daftar isi


Halaman
BAB III. KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI
OPERASIONAL
A. Kerangka Konsep 49
B. Definisi Operasional 50
C. Hipotesis 52
Halaman
BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Desain Penelitian 53
B. Tempat dan Waktu Penelitian 55
1. Tempat Penelitian 55
2. Waktu Penelitian 55
C. Populasi dan Sampel Penelitian 56
1. Populasi Penelitian 56
2. Sampel Penelitian 56
D. Kriteria Sampel Penelitian 56
1. Kriteria Inklusi 56
E. Cara Pengambilan Sampel 58
F. Alur Penelitian 59
G Prosedur Penelitian
60
.
H. Tehnik Pengambilan Data 62
I. Rencana Pengolahan Data dan Analisis Data 62
J. Dummy Table 63
K. Aspek Etika Penelitian 65

DAFTAR PUSTAKA

BAB V. LAMPIRAN
A. Lampiran 1. Jadwal Penelitian 66
B. Lampiran 2. Tim Peneliti dan Biodata Peneliti Utama 67
C. Lampiran 3. Rencana Biaya Penelitian Dan Sumber
69
Dana
v

DAFTAR TABEL
Tabel Judul Tabel Halaman
Tabel 1 Rekomendasi dosis obat Tuberkulosis 36
Tabel 2 Uji Kepekaan Obat 38
Tabel 3 Jurnal Penelitian tentang Penderita 57
tuberculosis paru di Berbagai Lokasi di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan
Tahun 2021, yang akan dijadikan Sumber Data
Penelitian
Tabel 4 Dummy Table 1. Hubungan Kepatuhan Berobat 63
dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada
Penderita di Berbagai Lokasi Di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan
Tahun 2021
Tabel 5 Dummy Table 2. Hubungan Pengawasan 63
Minum Obat dengan Kesembuhan
Tuberkulosis Paru pada Penderita di Berbagai
Lokasi Di Wilayah Indonesia Periode Tahun
2013 sampai dengan Tahun 2021
Tabel 6 Dummy Table 3. Hubungan Pengetahuan 63
dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada
Penderita di Berbagai Lokasi Di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan
Tahun 2021
Tabel 7 Dummy Table 4. Hubungan Penyakit Lain 64
dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada
Penderita di Berbagai Lokasi Di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan
Tahun 2021.
Tabel 8 Dummy Table 5. Hubungan Sikap Pasien 64
dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada
Penderita di Berbagai Lokasi Di Wilayah
Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan
vi

Tahun 2021

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Gambar Halaman


vii

Gambar 1. Estimasi jumlah kasus baru (incidence) TB


7
tahun 2016
Gambar 2. Angka notifikasi kasus/case notification rate
8
(CNR) tahun 2008-2017
Gambar 3. Survei prevalensi Tuberkulosis di Indonesia
8
tahun 2013-2014.
Gambar 4. Diagnosis Tuberkulosis 26
Gambar 5. Kerangka Teori 45
Gambar 6. Kerangka Konsep 49
Gambar 7. Desain penelitian 54
Gambar 8. Alur Penelitian 59

DAFTAR SINGKATAN

No Singkatan Arti dan Keterangan


1 TB Tuberkulosis
2 KEMENKES Kementrian Kesehatan
viii

3 WHO World Health Organization


4 BTA Bakteri Tahan Asam
5 MOTT Mycobacterium Other Than Tuberculosis
6 PCR Polymerase Chain Resisten
7 HIV Human Immunodefeciency Virus
8 MDG Millenium Development Goals
9 CNR Case Notification Rate
10 OAT Obat Anti Tuberkulosis
11 MDR Multidrug Resisten
12 XDR Extensive drug resistant
13 RR Rifampicin resistant
14 NTM Non-Tuberculous Mycobacteria
14 SL Second line
15 LPA Line probe assay
16 TCM Tes cepat molekuler
17 CSF Cerebro spinal fluid
18 FNAB Fine neddle aspirate biopsy
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ada beberapa spesies
Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis,
M. Leprae dll. Juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).
Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis
yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan disebut
MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
dapat mengganggu penegakan hukum Diagnosis dan pengobatan TB.
(Kemenkes RI, 2018).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih
permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di
dunia yang semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus
TB dan penderita TB yang belum berhasil disembuhkan, terutama di
22 negara dengan beban TB tertinggi tertinggi di dunia, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan di Global Laporan Tuberkulosis
2011 ada peningkatan yang signifikan dalam pengendalian TB dengan
penurunan penemuan kasus dan angka kematian akibat TB di dua
dekade terakhir ini. Insiden global TB dilaporkan menurun pada tingkat
2,2% pada tahun 2010-2011.
Maka dari itu saya melakukan penelitian ini, untuk mengetahui hal-
hal yang ada hubungan dengan kesembuhan penderita tuberculosis
paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode 2013 sampai
dengan periode 2021.
2

B. Rumusan Masalah

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang menyerang paru-paru


disebabkan oleh bakteri tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yang
ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat pasien TB batuk dan
percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat
bernafas.Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden
TB (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah : “hal-hal yang ada hubungan dengan kesembuhan penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode 2013
sampai dengan periode 2021?”

C. Pertanyaan Penelitian

1. Apakah ada hubungan antara kepatuhan berobat dengan kesembuhan


penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021?
2. Apakah ada hubungan antara pengawasan minum obat dengan
kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021?
3. Apakah ada hubungan antara pengetahuan dengan kesembuhan
penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021?
4. Apakah ada hubungan antara penyakit lain dengan kesembuhan
penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021.
3

5. Apakah ada hubungan antara sikap pasien dengan kesembuhan


penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hal-hal yang ada hubungan dengan kesembuhan


penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan antara kepatuhan berobat dengan


kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021.
b. Untuk mengetahui hubungan antara pengawasan minum obat dengan
kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan
kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021.
d. Untuk mengetahui hubungan antara penyakit lain dengan
kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021.
e. Untuk mengetahui hubungan antara sikap pasien dengan
kesembuhan penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah
Indonesia periode 2013 sampai dengan periode 2021.
4

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Petugas Kesehatan


Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pelayanan kesehatan untuk
memberikan edukasi sedini mungkin kepada masyarakat terkait hal-hal
yang dapat mempengaruhi kesembuhan tuberculosis paru.
2. Manfaat bagi Institusi Pendidikan Kesehatan dan Kedokteran
Sebagai bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya bagi civitas
akademika di Institut pendidikan dan kedokteran. Dan dapat menambah
pengetahuan mengenai hal-hal yang dapat mempengaruhi kesembuhan
tuberculosis paru pada setiap pembaca.
3. Manfaat bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit tuberculosis paru
agar kedepannya penyakit tuberculosis paru dapat dicegah sedini
mungkin. Dan dapat menjadi sarana pengembangan diri, mengasah daya
analisa, menambah pengalaman meneliti penulis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Tuberkulosis

a. Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Ada beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M.

Leprae dll. Juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok

bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang dapat

menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan disebut MOTT

(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang dapat

mengganggu penegakan hukum Diagnosis dan pengobatan TB.

(Kemenkes RI, 2018).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang menyerang paru-paru

disebabkan oleh bakteri tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis), yang

ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat pasien TB batuk dan

percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat

bernafas. (Dhina NN, 2015)


6

b. Etiologi Tuberkulosis

Penyebab infeksi tuberculosis adalah kompleks M. tuberculosis.

Kompleks ini meliputi: M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal

dari manusia dan M. Bovis berasal dari sapi. Mikobakteri lain biasanya

menyebabkan gejala klinis sulit dibedakan dengan tuberkulosis. Etimologi

penyakit dapat identifikasi dengan tes kultur. Analisis genetic sequence

menggunakan Teknik PCR sangat membantu dalam mengidentifikasi non-

kultur (Kunoli, 2013).

c. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih

permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di

dunia yang semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB

dan penderita TB yang belum berhasil disembuhkan, terutama di 22

negara dengan beban TB tertinggi tertinggi di dunia, Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan di Global Laporan Tuberkulosis

2011 ada peningkatan yang signifikan dalam pengendalian TB dengan

penurunan penemuan kasus dan angka kematian akibat TB di dua dekade

terakhir ini. Insiden global TB dilaporkan menurun pada tingkat 2,2% pada

tahun 2010-2011. Terlepas dari kemajuan yang signifikan ini, beban global

TB tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011 kejadian Kasus TB

mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi HIV) dan 990 ribu

orang meninggal karena TBC. Secara global, perkiraan kejadian TB yang


7

resistan terhadap obat adalah adalah 3,7% kasus baru dan 20% kasus

dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% Kasus TB dan 98% kematian TB

di dunia terjadi di negara berkembang. (Kemenkes RI, 2013)

Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati

urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan.Indonesia merupakan

negara dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil

mencapai target Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan

kasus TB di atas 70% dan angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.

(Kemenkes RI, 2018)

Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab

morbiditas dan kematian, dan juga biaya kesehatan yang tinggi setiap

tahun diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya

meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak-

anak usia <15 tahun. Dari semua kasus anak dengan TB, 75% ditemukan

di dua puluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden countries).

Dilaporkan dari berbagai negara, persentase semua kasus TB pada anak

berkisar antara 3% sampai >25%. (Cissy B. Kartasasmita, 2009).

Gambar 1. Estimasi jumlah kasus baru (incidence) TB tahun 2016.

Sumber: Kemenkes RI (2018)


8

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB (CI

8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk.

Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China,

Philipina, dan Pakistan. (Kemenkes RI, 2018)

Gambar 2. Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) tahun

2008-2017.

Sumber: Kemenkes RI (2018)

Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah

semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk

yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila dikumpulkan serial, akan

menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya

penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. (Kemenkes RI,

2018)

Gambar 3. Survei prevalensi Tuberkulosis di Indonesia tahun 2013-2014.

Sumber: Kemenkes RI (2018)


9

Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014,

prevalensi TB dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759

per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TB BTA

positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.

Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,

prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TB dan

durasi paparan TB lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya.

Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang

menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi

TB. (Kemenkes RI, 2018)

d. Faktor Resiko Tuberkulosis

Menurut Leni Lestari 2020 timbulnya penyakit Tuberkulosis diduga

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

1) Sosial Ekonomi

Faktor sosial ekonomi seperti kondisi rumah, kepadatan hunian,

lingkungan rumah, serta lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang buruk.

Semua faktor tersebut dapat memudahkan penularan tuberkulosis,

pendapatan keluarga juga sangat erat dengan penularan tuberkulosis

karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak,

yang memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2) Status Gizi
10

Malnutrisi atau kekurangan gizi akan mempengaruhi daya tahan

tubuh seseorang, sehingga rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk

tuberkulosis paru baik pada orang dewasa maupun anak-anak.

3) Umur

Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-

anak dan pada usia remaja. Kejadian infeksi tuberkulosis pada anak

dibawah 5 tahun mempunyai resiko 5 kali dibandingkan usia 5-14 tahun.

Indonesia perkirakan 75% penderita tuberkulosis paru adalah kelompok

usia produktif yaitu 15-55 tahun.

4) Jenis Kelamin

Pada laki-laki, penyakit ini lebih tinggi, karena rokok dan minuman

alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Sehingga wajar

apabila perokok dan peminum beralkohol sering disebut sebagai agen dari

penyakit tuberkulosis paru.

Menurut Kemenkes tahun 2019 terdapat beberapa kelompok orang

yang memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit TB, kelompok

tersebut adalah:

1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain

2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka

waktu panjang

3. Perokok

4. Konsumsi alkohol tinggi

5. Anak usia <5 tahun dan lansia


11

6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang

infeksius

7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis

(contoh: lembaga permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka

panjang)

8. Petugas kesehatan

e. Patofisiologi Tuberkulosis

Setelah inhalasi, nukleus percik renik terbawa menuju percabangan

trakea-bronkial dan dideposit di dalam bronkiolus respiratorik atau

alveolus, di mana nukleus percik renik tersebut akan dicerna oleh

makrofag alveolus yang kemudian akan memproduksi sebuah respon

nonspesifik terhadap basilus. Infeksi bergantung pada kapasitas virulensi

bakteri dan kemampuan bakterisid makrofag alveolus yang mencernanya.

Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme pertahanan awal ini,

basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag. Tuberkel bakteri akan

tumbuh perlahan dan membelah setiap 23- 32 jam sekali di dalam

makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun eksotoksin,

sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.

(Kemenkes RI, 2019)

Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2-12 minggu dan

jumlahnya akan mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup

untuk menimbulkan sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi


12

dalam reaksi pada uji tuberkulin skin test. Bakteri kemudian akan merusak

makrofag dan mengeluarkan produk berupa tuberkel basilus dan kemokin

yang kemudian akan menstimulasi respon imun. Sebelum imunitas seluler

berkembang, tuberkel basili akan menyebar melalui sistem limfatik menuju

nodus limfe hilus, masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke organ

lain. Beberapa organ dan jaringan diketahui memiliki resistensi terhadap

replikasi basili ini. Sumsum tulang, hepar dan limpa ditemukan hampir

selalu mudah terinfeksi oleh Mycobacteria. Organisme akan dideposit di

bagian atas (apeks) paru, ginjal, tulang, dan otak, di mana kondisi organ-

organ tersebut sangat menunjang pertumbuhan bakteri Mycobacteria.

Pada beberapa kasus, bakteri dapat berkembang dengan cepat sebelum

terbentuknya respon imun seluler spesifik yang dapat membatasi

multiplikasinya. (Kemenkes RI, 2019)

f. Cara Penularan Tuberkulosis

Penularan penyakit tuberculosis disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium Tuberculosis ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat

pasien tuberculosis batuk atau bersin sehingga mengakibatkan adanya

percikan ludah yang mengandung bakteri ini terhirup oleh orang lain saat

bernapas. Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Masa inkubasi 3-6 bulan.

Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu sumber atau tempat

bagi penularan penyakit menular seperti penyakit tuberculosis. Menurut


13

Azwar (1990), peranan faktor lingkungan sebagai predisposing artinya

berperan dalam menunjang terjadinya penyakit pada manusia, misalnya

sebuah keluarga yang berdiam dalam satu rumah yang lembab dalam

keadaan endemis terhadap penyakit tuberkulosis. Risiko tertular

tergantung dari panjanan dan percikan dahak. Pasien dengan tuberkulosis

dengan BTA memberikan risiko yang lebih besar daripada pasien dengan

BTA negative (Depkes 2015). Menurut Nona Asrini Agustin 2017 cara

penularan penyakit tuberkulosis yaitu :

1) Pada saat batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei).

2) Penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak pasien

mengenai orang lain dalam waktu yang lama. Ventilasi yang baik dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari dapat

langsung membunuh kuman.

3) Daya penularan seorang pasien Tuberkulosis ditentukan oleh

banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat

kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien

tuberkulosis tersebut.

4) Faktor yang memungkinan seseorang terpajan kuman tuberkulosis

ditentukan oleh konsistensi percikan dalam udara dan lamanya

menghirup udara tersebut. Risiko tertular tuberkulosis tergantung dari

tingkat pajanan dan percikan dahak.


14

5) Pasien tuberkulosis paru dengan BTA positif merupakan risiko terbesar

dalam penularan tuberkulosis daripada pasien dengan BTA negatif.

Pasien tuberkulosis dengan BTA positif dapat menularkan kepada 10-

15 orang lain setiap tahunnya.

g. Klasifikasi Tuberkulosis

Sampai saat ini belum ada kesepakatan diantara para ahli klinik, ahli

radiologi, mikrobiologi, dan ahli kesehatan masyarakat tentang

keseragaman klasifikasi TB. (Siti S, 2015)

Dari sistem lama terdapat beberapa klasifikasi. Pembagian secara

patologis :

1) Tuberkulosis primer (Childhood tuberculosis)

Infeksi primer terjadi pada paparan pertama terhadap tuberkel basili.

Hal ini biasanya terjadi pada masa anak, oleh karenanya sering diartikan

sebagai TB anak. Namun, infeksi ini dapat terjadi pada usia berapapun

pada individu yang belum pernah terpapar Mycobacterium tuberkulosis

sebelumnya. Percik renik yang mengandung basili yang terhirup dan

menempati alveolus terminal pada paru, biasanya terletak di bagian

bawah lobus superior atau bagian atas lobus inferior paru. Basili kemudian

mengalami terfagosistosis oleh makrofag; produk mikobakterial mampu

menghambat kemampuan bakterisid yang dimiliki makrofag alveolus,

sehingga bakteri dapat melakukan replikasi di dalam makrofag. Makrofag

dan monosit lain bereaksi terhadap kemokin yang dihasilkan dan


15

bermigrasi menuju fokus infeksi dan memproduksi respon imun. Area

inflamasi ini kemudian disebut sebagai Ghon focus. Basili dan antigen

kemudian bermigrasi keluar dari Ghon focus melalui jalur limfatik menuju

Limfe nodus hilus dan membentuk kompleks (Ghon) primer. (Kemenkes

RI, 2019)

Respon inflamasinya menghasilkan gambaran tipikal nekrosis

kaseosa. Di dalam nodus limfe, limfosit T akan membentuk suatu respon

imun spesifik dan mengaktivasi makrofag untuk menghambat

pertumbuhan basili yang terfagositosis. Fokus primer ini mengandung

1,000–10,000 basili yang kemudian terus melakukan replikasi. Area

inflamasi di dalam fokus primer akan digantikan dengan jaringan fibrotik

dan kalsifikasi, yang didalamnya terdapat makrofag yang mengandung

basili terisolasi yang akan mati jika sistem imun host adekuat. Beberapa

basili tetap dorman di dalam fokus primer untuk beberapa bulan atau

tahun, hal ini dikenal dengan “kuman laten”. Infeksi primer biasanya

bersifat asimtomatik dan akan menunjukkan hasil tuberkulin positif dalam

4-6 minggu setelah infeksi. Dalam beberapa kasus, respon imun tidak

cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan bakteri dan basili akan

menyebar dari sistem limfatik ke aliran darah dan menyebar ke seluruh

tubuh, menyebabkan penyakit TB aktif dalam beberapa bulan. TB primer

progresif pada parenkim paru menyebabkan membesarnya fokus primer,

sehingga dapat ditemukan banyak area menunjukkan gambaran nekrosis


16

kaseosa dan dapat ditemukan kavitas, menghasilkan gambaran klinis

yang serupa dengan TB post primer. (Kemenkes RI, 2019)

2) Tuberkulosis sekunder/pasca primer (Adult tuber-culosis)

TB pasca primer merupakan pola penyakit yang terjadi pada host yang

sebelumnya pernah tersensitisasi bakteri TB. Terjadi setelah periode laten

yang memakan waktu bulanan hingga tahunan setelah infeksi primer. Hal

ini dapat dikarenakan reaktivasi kuman laten atau karena reinfeksi.

Reaktivasi terjadi ketika basili dorman yang menetap di jaringan selama

beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi primer, mulai kembali

bermultiplikasi. Hal ini mungkin merupakan respon dari melemahnya

sistem imun host oleh karena infeksi HIV. (Kemenkes RI, 2019)

Reinfeksi terjadi ketika seorang yang pernah mengalami infeksi primer

terpapar kembali oleh kontak dengan orang yang terinfeksi penyakit TB

aktif. Dalam sebagian kecil kasus, hal ini merupakan bagian dari proses

infeksi primer. Setelah terjadinya infeksi primer, perkembangan cepat

menjadi penyakit intra-torakal lebih sering terjadi pada anak dibanding

pada orang dewasa. Foto toraks mungkin dapat memperlihatkan

gambaran limfadenopati intratorakal dan infiltrat pada lapang paru. TB

post-primer biasanya mempengaruhi parenkim paru namun dapat juga

melibatkan organ tubuh lain. Karakteristik dari dari TB post primer adalah

ditemukannya kavitas pada lobus superior paru dan kerusakan paru yang

luas. Pemeriksaan sputum biasanya menunjukkan hasil yang positif dan

biasanya tidak ditemukan limfadenopati intratorakal. (Kemenkes RI, 2019)


17

Menurut Kemenkes RI 2019 diagnosis TB dengan konfirmasi

bakteriologis atau klinis dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis

a) TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau

trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena

terdapat lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstra

paru harus diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.

b) TB ekstra paru adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar

parenkim paru seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen,

saluran genitorurinaria, kulit, sendi dan tulang, selaput otak. Kasus

TB ekstra paru dapat ditegakkan secara klinis atau histologis

setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan konfirmasi

bakteriologis.

2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan

a) Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT

sebelumnya atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan (<

dari 28 dosis bila memakai obat program).

b) Kasus dengan riwayat pengobatan adalah pasien yang pernah

mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat

program).

c) Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah

mendapatkan OAT dan dinyatakan sembuh atau pengobatan

lengkap pada akhir pengobatan dan saat ini ditegakkan diagnosis


18

TB episode kembali (karena reaktivasi atau episode baru yang

disebabkan reinfeksi).

d) Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya

pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir

pengobatan.

e) Kasus setelah loss to follow up adalah pasien yang pernah

menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama

lebih dari 2 bulan berturut-turut dan dinyatakan loss to follow up

sebagai hasil pengobatan.

f) Kasus lain-lain adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan

OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak

didokumentasikan.

g) Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui adalah pasien

yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga

tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Berdasarkan hasil uji kepekaan, klasifikasi TB terdiri dari:

a) Monoresisten: resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini

pertama.

b) Poliresisten: resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini

pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

c) Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid

(H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.


19

d) Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu

dari OAT lini kedua jenis suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan

amikasin).

e) Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap Rifampisin

baik menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip

(konvensional), dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain

yang terdeteksi. Termasuk dalam kelompok TB RR adalah semua

bentuk TB MR, TB PR, TB MDR dan TB XDR yang terbukti resistan

terhadap rifampisin.

4) Klasifikasi berdasarkan status HIV

a) Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB terkonfirmasi

bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki

hasil tes HIV-positif, baik yang dilakukan pada saat penegakan

diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di register

HIV (register pra ART atau register ART).

b) Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB terkonfirmasi

bakteriologis atau terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki

hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat ditegakkan

diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari

harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

c) Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB

terkonfirmasi bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak


20

memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki bukti dokumentasi telah

terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui HIV positif

dikemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.

Menentukan dan menuliskan status HIV sangat penting dilakukan

untuk mengambil keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai

kinerja program. Dalam kartu berobat dan register TB, WHO

mencantumkan tanggal pemeriksaan HIV, kapan dimulainya terapi

profilaksis kotrimoksazol, dan kapan dimulainya terapi antiretroviral.

h. Gejala Klinis Tuberkulosis

Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam atau

malah banyak ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam

pemeriksaan kesehatannya. (Siti S, 2015)

Adapun keluhan secara umum seperti :

1) Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-41°C. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, kemudian dapat timbul kembali.

Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam seperti influenza ini

sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam.

Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan

berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.

2) Malaise
21

Penyakit TB bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering

ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, sakit kepalan,

meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama

makin berat dan terjadi hilang timbulsecara tidak teratur.

3) Berat badan turun

Biasanya pasien tidak merasakan berat badannya turun. Sebaiknya

kita tanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu sebelum

pasien sakit. Pada pasien anak-anak biasanya berat badanya sulit naik

terutama dalam 2-3 bulan terakhir atau status gizinya kurang.

4) Rasa lelah

Keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak dirasakannya.

(Siti S, 2015)

Keluhan pada pernapasan yang dapat dirasakan pasien :

1) Batuk/batuk berdarah

Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar dari saluran napas bawah. Karena terlibatnya bronkus pada

setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah

penyakit TB berkembang dalam jaringan paru yakni setelah

berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat

batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul

peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan dahak).

Keadaan lebih lanjut dapat berupa batuk darah karena terdapat


22

pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB

terjadi pada kavitas, tetapi dapat jugs terjadi ulkus dinding bronkus.

Batuk ini sering sulit dibedakan dengan batuk karena sakit:

pneumonia, asma, bronchitis, alergi, Penyakit Paru Obstruksi Kronik

dll. (Siti S, 2015)

2) Sesak nafas

Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan

adanya sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit TB

paru yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah meliputisetengah

bagian paru-paru. (Siti S, 2015)

3) Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau

melepaskan nafasnya. (Siti S, 2015)

4) Sering terserang flu

Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi karena

daya tahan tubuh pasien yang rendah sehingga mudah terserang

infeksi virus seperti influenza. (Siti S, 2015)

i. Diagnosis Tuberkuosis

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis

untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk

pada pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen


23

lain), pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode

diagnostik cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO. (Kemenkes RI,

2019)

Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui

sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan

berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen.

Pada daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka

definisi kasus TB BTA positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen

dengan BTA positif. (Kemenkes RI, 2019)

Menurut Kemenkes RI tahun 2019, WHO merekomendasikan

pemeriksaan biakan dan uji kepekaan minimal terhadap rifampisin dan

isoniazid pada kelompok pasien berikut:

1) Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT. Hal ini dikarenakan

TB resistan obat banyak ditemukan terutama pada pasien yang

memiliki riwayat gagal pengobatan sebelumnya.

2) Semua pasien dengan HIV yang didiagnosis TB aktif. Khususnya

mereka yang tinggal di daerah dengan prevalensi TB resistan obat

yang tinggi.

3) Pasien dengan TB aktif yang terpajan dengan pasien TB resistan obat.

4) Semua pasien baru di daerah dengan kasus TB resistan obat primer

>3%.
24

5) Pasien baru atau riwayat OAT dengan sputum BTA tetap positif pada

akhir fase intensif. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan sputum BTA

pada bulan berikutnya.

Pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan dengan 2 metode :

1) Metode konvensional uji kepekaan obat Pemeriksaan biakan M.TB

dapat dilakukan menggunakan 2 macam medium padat (Lowenstein

Jensen /LJ atau Ogawa) dan media cair MGIT (Mycobacterium growth

indicator tube). Biakan M.TB pada media cair memerlukan waktu yang

singkat minimal 2 minggu, lebih cepat dibandingkan biakan pada

medium padat yang memerlukan waktu 28-42 hari. (Kemenkes RI,

2019)

2) Metode cepat uji kepekaan obat (uji diagnostik molekular cepat)

Pemeriksaan molekular untuk mendeteksi DNA M.TB saat ini

merupakan metode pemeriksaan tercepat yang sudah dapat dilakukan

di Indonesia. Metode molekuler dapat mendeteksi M.TB dan

membedakannya dengan Non-Tuberculous Mycobacteria (NTM).

Selain itu metode molekuler dapat mendeteksi mutasi pada gen yang

berperan dalam mekanisme kerja obat antituberkulosis lini 1 dan lini 2.

WHO merekomendasikan penggunaan Xpert MTB/RIF untuk deteksi

resistan rifampisin. Resistan obat antituberkulosis lini 2

direkomendasikan untuk menggunakan second line line probe assay

(SL-LPA) yang dapat mendeteksi resistensi terhadap obat

antituberkulosis injeksi dan obat antituberkulosis golongan


25

fluorokuinolon. Pemeriksaan molekuler untuk mendeteksi gen

pengkode resistensi OAT lainnya saat ini dapat dilakukan dengan

metode sekuensing, yang tidak dapat diterapkan secara rutin karena

memerlukan peralatan mahal dan keahlian khusus dalam

menganalisisnya. WHO telah merekomendasi pemeriksaan molekular

line probe assay (LPA) dan TCM, langsung pada spesimen sputum.

(Kemenkes RI, 2019)

Pemeriksaan dengan TCM dapat mendeteksi M. tuberculosis dan gen

pengkode resistan rifampisin (rpoB) pada sputum kurang lebih dalam

waktu 2 (dua) jam. Konfirmasi hasil uji kepekaan OAT menggunakan

metode konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold

standard). Penggunaan TCM tidak dapat menyingkirkan metode biakan

dan uji kepekaan konvensional yang diperlukan untuk menegakkan

diagnosis definitif TB, terutama pada pasien dengan pemeriksaan

mikroskopis apusan BTA negatif, dan uji kepekaan OAT untuk mengetahui

resistensi OAT selain rifampisin. Pada kondisi tidak berhasil mendapatkan

sputum secara ekspektorasi spontan maka dapat dilakukan tindakan

induksi sputum atau prosedur invasif seperti bronkoskopi atau

torakoskopi. Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang

terkonfirmasi bakteriologis maupun terdiagnosis klinis adalah pemeriksaan

HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya

fungsi hati, fungsi ginjal, dan lain-lain. (Kemenkes RI, 2019)


26

Gambar 4. Alur Terduga TB (Kemenkes RI, 2019)

Keterangan alur:

1) Prinsip penegakan diagnosis TB:

a) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih

dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan

bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, tes

cepat molekuler TB dan biakan. (Kemenkes RI, 2019)


27

b) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,

sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan

dengan pemeriksaan mikroskopis. (Kemenkes RI, 2019)

c) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga dapat

menyebabkan terjadi over diagnosis ataupun under diagnosis.

(Kemenkes RI, 2019)

d) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

(Kemenkes RI, 2019)

2) Fasyankes yang mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB:

a) Fasyankes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan

diagnosis TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan

TCM. Pada kondisi dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan

(misalnya alat TCM melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM

mengalami kerusakan, dll.), penegakan diagnosis TB dilakukan

dengan pemeriksaan mikroskopis. (Kemenkes RI, 2019)

b) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan terduga TB

dengan HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan

penegakan diagnosis TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan

rujukan ke layanan tes cepat molekuler terdekat, baik dengan cara

rujukan pasien atau rujukan contoh uji. (Kemenkes RI, 2019)


28

c) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM

sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji

untuk diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara

dan akan diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil

indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB yang bukan

kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif Resistan untuk selanjutnya

dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk pemeriksaan uji

kepekaan lini-2 dengan metode cepat). (Kemenkes RI, 2019)

d) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri

atas cairan serebrospinal (cerebro spinal fluid/CSF), jaringan

biopsi, bilasan lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan

lambung (gastric aspirate). (Kemenkes RI, 2019)

e) Pasien dengan hasil M.tb resistan rifampisin tetapi bukan berasal

dari kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM

ulang. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM

yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya. (Kemenkes

RI, 2019)

f) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang.

Jika hasil tetap sama, berikan pengobatan TB lini 1, lakukan biakan

dan uji kepekaan. (Kemenkes RI, 2019)

g) Pengobatan standar TB-MDR segera diberikan kepada semua

pasien TB-RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan

OAT lini 1 dan lini 2 keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR,
29

lanjutkan pengobatan TB MDR. Bila ada tambahan resistensi

terhadap OAT lainnya, pengobatan harus disesuaikan dengan hasil

uji kepekaan OAT. (Kemenkes RI, 2019)

h) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (line probe

assay) lini-2 atau dengan metode konvensional. (Kemenkes RI,

2019)

i) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar

TB pre XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.

(Kemenkes RI, 2019)

j) Pasien dengan hasil TCM M.TB negatif, lakukan pemeriksaan foto

toraks. Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas

pertimbangan dokter, pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB

terkonfirmasi klinis. Jika gambaran foto toraks tidak mendukung TB

kemungkinan bukan TB, dicari kemungkinan penyebab lain.

(Kemenkes RI, 2019)

3) Fasyankes yang tidak mempunyai alat tes cepat molukuler (TCM) TB.

(Kemenkes RI, 2019)

a) Fasyankes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan

mengakses TCM, penegakan diagnosis TB tetap menggunakan

mikroskop.

b) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2

(dua) dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari

dahak sewaktu-sewaktu atau sewaktu-pagi.


30

c) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak

menunjukkan hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang

menunjukkan hasil BTA (+) pada pemeriksaan dahak pertama,

pasien dapat segera ditegakkan sebagai pasien dengan BTA (+).

d) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA

negatif. Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif,

maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-

tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh

dokter.

e) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak

memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan

pemberian terapi antibiotika spektrum luas (NonOAT dan Non-

kuinolon) terlebih dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada

perbaikan klinis setelah pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji

faktor risiko TB. Pasien dengan faktor risiko TB tinggi maka pasien

dapat didiagnosis sebagai TB Klinis. Faktor risiko TB yang

dimaksud antara lain: 1) Terbukti ada kontak dengan pasien TB 2)

Ada penyakit komorbid: HIV, DM 3) Tinggal di wilayah berisiko TB:

Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, dll.

4) Diagnosis TB ekstra paru

a) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya

kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura


31

(Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis

TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB

dan lain-lainnya. (Kemenkes RI, 2019)

b) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan

pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari

contoh uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena. (Kemenkes

RI, 2019)

c) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk memastikan

kemungkinan TB Paru. (Kemenkes RI, 2019)

d) Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB ekstra paru

dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal (cerebro spinal

fluid/CSF) pada kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah

bening melalui pemeriksaan biopsi aspirasi jarum halus/BAJAH

(fine neddle aspirate biopsy/FNAB) pada pasien dengan kecurigaan

TB kelenjar, dan contoh uji jaringan pada pasien dengan

kecurigaan TB jaringan lainnya. (Kemenkes RI, 2019)

5) Diagnosis TB resistan obat

Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO juga diawali

dengan penemuan pasien terduga TB-RO Terduga TB-RO adalah

pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap OAT. (Kemenkes

RI, 2019) Pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat

satu atau lebih di bawah ini:

a) Pasien TB gagal pengobatan kategori 2.


32

b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3

bulan pengobatan.

c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak

standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua

paling sedikit selama 1 bulan.

d) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

e) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2

bulan pengobatan.

f) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT

kategori 1 dan kategori 2.

g) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai

berobat/default).

h) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien

TB- RO, termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di

lapas/rutan, hunian padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.

i) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis

maupun klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan

diagnosis awal tidak menggunakan TCM TB).

Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada

kasus TB baru, sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan

penegakan diagnosis dengan TCM yang saat ini sudah tersedia.

Kriteria terduga TB-MDR menurut program manajemen TB resistan

obat di Indonesia. (Kemenkes RI, 2019)


33

a) Pasien TB gagal pengobatan kategori 2 Pasien TB dengan hasil

pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir

pengobatan.

b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3

bulan pengobatan Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak

positif setelah pengobatan tahap awal.

c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak

standar serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua

minimalis selama 1 bulan Pasien TB yang memiliki riwayat

pengobatan TB tidak sesuai dengan paduan OAT standar, dan atau

menggunakan kuinolon serta obat injeksi lini kedua paling sedikit

selama 1 bulan.

d) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal Pasien TB dengan

hasil pemeriksaan dahak positif pada bulan ke-5 atau pada akhir

pengobatan.

e) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tetap positif setelah 3 bulan

pengobatan (yang tidak konversi) Pasien TB dengan hasil

pemeriksaan dahak tetap positif setelah pengobatan tahap awal.

f) Pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan 2 Pasien TB yang

pernah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini

diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau

klinis.
34

g) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow up (lalai

berobat/default Pasien TB yang pernah diobati dan dinyatakan

putus berobat selama dua bulan berturut-turut atau lebih.

h) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien

TB-MDR Terduga TB yang pernah memiliki riwayat atau masih

kontak erat dengan pasien TB-RO.

i) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara klinis maupun

bakteriologis terhadap pemberian OAT (bila penegakan diagnosis

awal tidak menggunakan TCM Pasien ko-infeksi TB-HIV dalam

penggunaan OAT selama dua minggu tidak memperlihatkan

perbaikan klinis.

6) Diagnosis TB pada anak

Tanda dan gejala klinis Gejala klinis berupa gejala sistemik/umum atau

sesuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena

gejala serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

(Kemenkes RI, 2019)

Gejala khas TB sebagai berikut:

a) Batuk ≥ 2 minggu

b) Demam ≥ 2 minggu

c) BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya

d) d. Lesu atau malaise ≥ 2 minggu

e) Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang

adekuat.
35

j. Pengobatan Tuberkulosis

1) Prinsip Pengobatan TB :

Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya

paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri

penyebab TB. (Kemenkes RI, 2019)

Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:

a) Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat

mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya

resistensi

b) Diberikan dalam dosis yang tepat

c) Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO

(pengawas menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.

d) Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi

dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah

kekambuhan.

2) Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :

a) Tahap awal Pengobatan diberikan setiap hari.

Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk

secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh

pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman

yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien


36

mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua

pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya

dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,

daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan

selama 2 minggu pertama. (Kemenkes RI, 2019)

b) Tahap lanjutan Pengobatan tahap lanjutan bertujuan

membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh,

khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan

mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan

selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan

setiap hari. (Kemenkes RI, 2019)

Dosis rekomendasi

harian 3 kali per minggu

Dosis Dosis

(mm/kgBB Maksimu (mg/kgBB Maksimu

) m (mg) ) m (mg)

Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900

Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600

Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -

Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -

Streptomisin

* 15 (12-18) - 15 (12-18) -
37

*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih

dari 500-700 mg perhari, beberapa pedoman merekomendasikan

dosis 10 mg/kg BB pada pasien kelompok usia ini. Pasien

dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi

dosis lebih dari 500-750 mg perhari.

3) Paduan obat standar untuk pasien dengan kasus baru

Menurut Kemenkes RI tahun 2019 pasien dengan kasus baru

diasumsikan peka terhadap OAT kecuali:

a) Pasien tinggal di daerah dengan prevalensi tinggi resisten

isoniazid ATAU

b) Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat.

Pasien kasus baru seperti ini cenderung memiliki pola resistensi

obat yang sama dengan kasus sumber. Pada kasus ini

sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan

dan sementara menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan

obat yang berdasarkan uji kepekaan obat kasus sumber

sebaiknya dimulai.

Fase intensif Fase lanjutan

RHZE 2 bulan RH 4 bulan

Berdasarkan hasil penelitian meta analisis WHO

merekomendasikan paduan standar untuk TB paru kasus baru

adalah 2RHZE/4RH. (Kemenkes RI, 2019)


38

Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai

paduan 2RHZE/4R3H3 dengan syarat harus disertai

pengawasan yang lebih ketat secara langsung untuk setiap

dosis obat. (Kemenkes RI, 2019)

Pada akhir fase intensif, bila hasil apusan dahak tetap positif

maka fase sisipan tidak lagi direkomendasikan namun

dievaluasi untuk TB-RO (uji kepekaan), sementara pengobatan

diteruskan sebagai fase lanjutan. (Kemenkes RI, 2019)

Pasien TB paru sebaiknya mendapatkan paduan obat :

2RHZE/4HR, selama 6 bulan. Untuk TB ekstra paru biasanya

diperlukan durasi pengobatan yang lebih dari 6 bulan.

(Kemenkes RI, 2019)

Semua pemberi layanan harus memastikan pemantauan

pengobatan dan dukungan untuk semua pasien TB agar dapat

menjalankan pengobatan hingga selesai. (Kemenkes RI, 2019)

Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus

diperiksa uji kepekaan OAT pada awal pengobatan. Uji

kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau rapid test

(TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode

padat (LJ), atau metode cair (MGIT) . Bila terdapat laboratorium

yang dapat melakukan uji kepekaan obat berdasarkan uji

molekular cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka


39

hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT pasien.

(Kemenkes RI, 2019)

Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat

konvensional dengan media cair atau padat yang baru dapat

menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka

daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori

I sambil menunggu hasil uji kepekaan obat. Pada daerah tanpa

fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan

diberikan OAT kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan

untuk biakan dan uji kepekaan. (Kemenkes RI, 2019)

k. Komplikasi Tuberkulosis

Penyakit Tb paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. (Siti S, 2015)

Komplikasi dibagi atas :

 Komplikasi dini : Pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus,

Poncet”s arthropathy.

 Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan nafas (sindrom obstruksi pasca TB),

kerusakan parenki berat (fibrosis paru), kor-pulmonal, amyloidosis

paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB milier, jamur paru

(aspergilosis) dan kavitas.

2. Kesembuhan Tuberkulosis
40

Kesembuhan Tuberkulosis merupakan indikator pencapaian utama

pengendalian program TB di Pelayanan Kesehatan. Angka keberhasilan

pengobatan pada target nasional yaitu 85%. Seseorang pasien dikatakan

berhasil atau sembuh yaitu jika pasien tersebut melakukan pengobatan

lengkap dan dinyatakan sembuh. Pengobatan lengkap adalah pasien TB

paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, tapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Sedangkan sembuh adalah

pasien TB paru yang menyelesaikan pengobatannya secara lengkap

dengan pemeriksaan ulang dahak pada akhir pengobatan dan

pemerikasaan ulang dahak sebelumnya menghasilkan negatif. Oleh

karena itu, jika pasien tersebut dinyatakan sembuh dan lengkap maka

pasien tersebut masuk kedalam pencatatan angka keberhasilan

pengobatan Treatment Success Rate (TSR).

3. Hal-hal yang Ada Hubungan dengan Kesembuhan pada Penderita

Tuberkulosis

a. Usia

Kemenkes RI (2014) menyatakan bahwa sekitar 15,49% pasien TB

paru adalah kelompok usia yang termasuk usia produktif secara

ekonomis, yaitu 15-24 tahun (Kemenkes RI, 2014). Usia produktif

merupakan masa yang berperan penting dimana mereka cenderung

sering keluar rumah dan memudahkan proses penularan TB paru. Namun

jika dibandingkan dengan hasil dari penelitian diatas, usia bukanlah


41

satusatunya alasan atau faktor seseorang terkena penyakit tuberkulosis,

juga bukan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada

keberhasilan pengobatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berapapun

usia pasien, tetap mempunyai kesempatan untuk sembuh jika didukung

oleh kepatuhan minum obat dan menjalani pengobatan. (Maulidya Y.N,

dkk 2016)

b. Kepatuhan Berobat

Saccett 1976 mendefinisikan kepatuhan pasien sejauh mana perilaku

pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional

kesehatan. Angka kepatuhan pasien pada pengobatan jangka pendek lebih

tinggi (sekitar 75%) dari pada pengobatan jangka panjang (<25% yang

menyelesaikan regimen antibiotik). Kepatuhan pasien juga dipengaruhi oleh

kepercayaan pasien pada dokter saat hubungan dengan dokter terjalin.

Dokter dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dengan menanyakan

secara khusus tentang kebiasaan dan diperkuat oleh anggota keluarga.

(Kholifah N, 2009)

Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa

pengobatan selesai. Hal ini terjadi karena penderita belum memahami

bahwa obat harus di telan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan.

Petugas kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus

berobat tersebut kembali ke unit Unit Pelayanan Kesehatan (UPK).

Pengobatan yang di berikan tergantung pada tipe penderita, lamanya


42

pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat, dan bagaimana hasil

pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat. (Kholifah N, 2009)

Kepatuhan pengguna obat/pasien terhadap cara menelan obat

merupakan bagian paling penting untuk mengoptimalkan khasiat dan

kegunan obat dalam proses penyembuhan. Kepatuhan menelan obat

merupakan perilaku pengguna obat atau pasien dalam menaati segala

bentuk nasihat dan petunjuk oleh tenaga medis mengenai segala sesuatu

yang harus dilakukan oleh Pengguna obat untuk mendapatkan hasil

pengobatan yang optimal. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muniroh

2013, menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kepatuhan berobat

dengan status kesembuhan pasien tuberkulosis paru. (Masyudi, dkk 2018)

c. Pengawasan Minum Obat (PMO)

Salah satu dari komponen kesembuhan tuberkulosis adalah

pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung.

Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

(Kholifah N, 2009)

Keefektifan PMO menurut penelitian Salim (2002) menyatakan bahwa

presepsi penderita TB paru terhadap pelaksanaan tugas-tugas pengawas

menelan obat selama penderita menjalani pengobatan dari awal sampai

akhir (mengawasi penderita setiap kali menenelan obat, mendorong

penderita agar berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa

dahak ulang, memberi penyuluhan kepada penderita tentang penyakit

TBC paru. Selain itu menurut penelitian Rachmat Ichlas (2011) yang
43

menyatakan bahwa ada hubungan antara peran Pengawas Minum Obat

(PMO) dengan kesembuhan penderita TB. (Muniroh N, 2013)

Peran PMO yang sudah baik maka akan berpengaruh terhadap

meningkatnya kepatuhan berobat sehingga penderita akan cenderung

mengkonsumsi obat secara teratur sehingga mendorong kesembuhan

penderita TBC paru. (Muniroh N, 2013)

d. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng

dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. (Kholifah N,

2009)

Di Indonesia penyakit TB paru masih merupakan masalah kesehatan

utama. Namun banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang

penyakit TB paru (gejala-gejalanya) sehingga tidak dilakukan tindak lanjut

atau pemeriksaan lebih lanjut. Dengan kurangnya pengetahuan

masyarakat tentang TB, sehingga mereka menganggap gejala-gejala

yang dialami adalah suatu penyakit biasa yang bisa sembuh dengan obat

bebas. (Kholifah N, 2009)

Penyuluhan kesehatan sebagai rangkaian kegiatan yang

berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai suatu keadaan

dimana individu, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan dapat


44

hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan meningkatkan

kesehatannya. Dalam program penanggulangan TB, penyuluhan langsung

perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan

pengobatan. Penyuluhan ditujukan kepada suspek, penderita, dan

keluarganya. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran,

kemauan dan peran serta masyarakat dalam penganggulangan TB paru.

Penyuluhan TB perlu dilakukan kerena masalah TB banyak berkaitan

dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. (Kholifah N,

2009)

Menurut Mukhsin, dkk (2006) dikutip dari Perdana1 pendidikan

berkaitan dengan pengetahuan penderita, hal ini menunjukkan bahwa

pendidikan mempengaruhi keuntasan atau kesuksesan pengobatan

penderita. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin

baik penerimaan informasi tentang pengobatan dan penyakitnya sehingga

akan semakin tuntas proses pengobatan dan penyembuhannya.

Pada penelitian Zubaidah T 2013, menyebutkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara pengetahuan individu tentang penularan

TB terhadap kesembuhan TB di Poliklinik Paru Rumah Sakit Pasar Rebo

Jakarta. Pengetahuan tentang kesehatan mencakup apa yang diketahui

oleh seseorang terhadap cara-cara memelihara kesehatan seperti

pengetahuan tentang penyakit menular, pengetahuan tentang faktor-faktor

yang terkait dan atau mempengaruhi kesehatan dan pengetahuan tentang

fasilitas pelayanan kesehatan.


45

e. Penyakit Lain

Penyakit TB paru adalah penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri

Mycobakterium Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat

di Indonesia. Prevalensi TB paru masih selalu tinggi, ditahun 2002 sekitar

0,32%. Mycobakterium Tuberkulosis sering menyerang paru-paru, tetapi

dapat pula menginfeksi organ tubuh diluar paru dan menimbulkan

penyakit TB-Extra paru. (Kholifah N, 2009)

Komplikasi penyakit lain yang paling sering terjadi pada responden

penelitian ini adalah Diabetes Mellitus (DM), penyakit TB memiliki

hubungan yang erat dengan DM, hasil penelitian menunjukkan risiko

terjadinya TB diantara DM adalah 2,2-2,52 kali dikarenakan

ketergantungan insulin yang terjadi pada penderita DM sehingga

mengakibatkan meningkatnya risiko TB. Masniari, Priyanti, & Aditama

(2014) menyampaikan bahwa penyakit DM adalah salah satu keadaan

yang dapat memudahkan reaktivasi infeksi TB Paru dengan risiko relatif

bagi perkembangan TB paru bakteriologik positif sebesar lima kali lebih

tinggi. Pasien TB dengan DM memiliki konsentrasi plasma OAT yang

rendah terutama untuk jenis Rifampisin dan memiliki rerata AUC

Rifampisin 53% lebih rendah dibandingkan pasien TB tanpa DM.

Penyebab hal ini belum diketahui pasti, namun diduga disebabkan oleh

beratnya hiperglikemia yang terjadi dan berkurangnya sekresi asam


46

hidroklorida lambung pada pasien DM, sehingga berpengaruh pada

pengobatan TB pada pasien dengan DM. (Panggayuh P.L, dkk 2019)

f. Sikap pasien

Sikap adalah respon seseorang yang masih tertutup dan belum dapat

diamati secara langsung. Sikap pasien terhadap kesembuhan TB paru

meliputi sikap terhadap penyakit TB paru, pencegahan TB, pengobatan

TB paru dan tindak lanjut. (Kholifah N, 2009)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Maulidya Y.N yang menyatakan

bahwa penderita TB paru yang mempunyai sikap cukup dan baik (97,4%

responden) berhasil menjalani pengobatan hingga dinyatakan sembuh.

Sedangkan responden yang mempunyai sikap kurang baik selama

menjalani pengobatan memiliki resiko 11,483 kali untuk tidak sembuh

dibandingkan responden yang mempunyai sikap cukup dan baik selama

menjalani pengobatan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh M.

Hariwijaya, dkk (2007) dalam Kholifah (2009), penyakit tuberkulosis pada

dasarnya dapat disembuhkan secara tuntas apabila pasien/penderita

selalu mengikuti anjuran dan arahan dari tenaga kesehatan untuk minum

obat secara teratur dan rutin sesuai dengan dosis yang dianjurkan, serta

mengonsumsi makanan yang bergizi cukup untuk meningkatkan daya

tahan tubuh pasien.


B. Kerangka Teori

Gambar 5. Kerangka Teori


DAFTAR PUSTAKA

1. Kementrian Kesehatan RI. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/755/2019 Tentang

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana

Tuberkulosis. Diakses tanggal 14-05-2020. Dari :

fileunduhan_1610422577_801904.pdf

2. Niviasari, D. N., Saraswati, L. D., & Martini, M. (2017). FAKTOR-

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS

KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU. Jurnal

Kesehatan Masyarakat (Undip), 3(3), 141-151.

3. Rachmad Indarto, Y., Purwaningsih, W., & RBU, D. R. (2020).

UPAYA MENINGKATKAN EFIKASI DIRI PADA PASIEN

TUBERKULOSIS REGULER DAN TUBERKULOSIS MULTIDRUG

RESISTANT (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS'AISYIYAH

SURAKARTA).

4. Wikurendra, E. A. (2019). Faktor Faktor Yang Mempengaruhi

Kejadian Tb Paru Dan Upaya Penanggulangannya.

5. Kartasasmita, C. B. (2016). Epidemiologi tuberkulosis. Sari Pediatri,

11(2), 124-9.

6. Datin, I. (2018). Pusat Data dan Informasi Tuberkulosis.

7. Lestari, L. (2020). GAMBARAN INDEKS ERITROSIT PADA

PENDERITA TUBERKULOSIS (TB) PARU.


47

8. Agustin, N. A. (2017). HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN

DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS (Di Wilayah Kerja

Puskesmas Gayam Kecamatan Gayam Kabupaten Bojonegoro)

(Doctoral dissertation, STIKES Insan Cendekia Medika Jombang).

9. InternsPublishing. 2015. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat :

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

10. Murni, D. C. Gambaran keberhasilan pengobatan pada pasien TB

Paru BTA (+) di wilayah Kecamatan Ciputat Tahun 2015

(Bachelor's thesis, FKIK UIN JAKARTA).

11. Maulidya, Y. N., Redjeki, E. S., & Fanani, E. (2017). Faktor yang

Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis (TB) Paru

pada Pasien Pasca Pengobatan di Puskesmas Dinoyo Kota

Malang. Preventia: The Indonesian Journal of Public Health, 2(1),

44-57.

12. Kholifah, N. (2009). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan

Kesembuhan Penderita TB Paru.

13. Masyudi, M., Syafriyana, R., Yulidar, Y., Husna, H., & Syam, B.

(2019, December). ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KESEMBUHAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH

SAKIT TINGKAT II ISKANDAR MUDA BANDA ACEH TAHUN

2018. In Prosiding Seminar Nasional USM (Vol. 2, No. 1, pp. 172-

182).
48

14. Muniroh, N., & Aisah, S. (2013). Faktor-faktor yang berhubungan

dengan kesembuhan penyakit tuberculosis (TBC) paru di wilayah

kerja puskesmas Mangkang Semarang Barat. Jurnal keperawatan

komunitas, 1(1).

15. Widianingrum, T. R. (2018). Hubungan Pengetahuan dan Motivasi

Dengan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien TB

di Wilayah Kerja Puskesmas Perak Timur Surabaya (Doctoral

dissertation, Universitas Airlangga).

16. Panggayuh, P. L., Winarno, M. E., & Tama, T. D. (2019). Faktor

Yang Berhubungan dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis

Paru di Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu. Sport Science

and Health, 1(1), 28-38.

17. Zubaidah, T., Setyaningrum, R., Banjarbaru, P. U., Ani, F. N., &

Banjarbaru, P. U. (2019). Faktor yang mempengaruhi penurunan

angka kesembuhan TB di Kabupaten Banjar tahun 2013.


BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN


HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Kebutuhan
Berobat

PMO
Tuberkulosis Paru

Pengetahuan

Penyakit Lain

Sikap Pasien

Gambar 6. Kerangka Konsep


50

B. Defenisi Operasional

1. Penderita

Penderita pada penelitian ini adalah penderita di beberapa lokasi di


wilayah Indonesia periode tahun 2013 sampai dengan tahun 2021, yang
tercatat pada jurnal sumber data.

Kriteria obyektif penderita:

a. Kasus: bila pada jurnal sumber data penderita didiagnose menderita


tuberculosis paru.
b. Kontrol: bila pada jurnal sumber data penderita tidak didiagnose
menderita tuberculosis paru.

2. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan berobat pada penelitian ini adalah kepatuhan berobat

penderita tuberculosis paru di beberapa wilayah di Indonesia tahun

2013 sampai dengan 2021 yang tercatat pada jurnal sumber data.

a. Berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita patuh

dalam melakukan pengobatan.

b. Tidak berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita

tidak patuh dalam melakukan pengobatan.

3. Pewangasan minum obat

Pewangasan minum obat pada penelitian ini adalah pengawasan

oleh orang yang dikenal atau dipercaya penderita baik keluarga, kerabat

maupun petugas kesehatan yang ikut mengawasi penderita meminum


51

obatnya yang tercatat pda jurnal sumber data di beberapa wilayah di

Indonesia tahun 2013 sampai dengan 2021.

a. Beresiko : bila pada jurnal sumber data tercatat orang yang dikenal

atau dipercaya penderita baik keluarga, kerabat maupun petugas

kesehatan melakukan pengawasan terhadap minum obat penderita .

b. Tidak beresiko : bila pada jurnal sumber data tercatat orang yang

dikenal atau dipercaya penderita baik keluarga, kerabat maupun

petugas kesehatan tidak melakukan pengawasan terhadap minum

obat penderita.

4. Penyakit lain

Penyakit lain pada penelitian ini adalah penyakit lain yang dimiliki

penderita tuberculosis paru di beberapa wilayah di Indonesia tahun

2013 sampai dengan 2021 yang tercatat pada jurnal sumber data.

c. Berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita tidak

memiliki riwayat penyakit lain.

d. Tidak berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita

memiliki riwayat penyakit lain.

5. Sikap Pasien

Sikap pasien pada penelitian ini adalah sikap yang dimiliki

penderita tuberculosis paru selama menjalani pengobatan yang tercatat

pada jurnal sumber data di beberapa wilayah di Indonesia tahun 2013

sampai dengan 2021.


52

e. Berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita

memiliki sikap yang baik.

f. Tidak berisiko : bila pada jurnal sumber data tercatat penderita

memiliki sikap yang kurang baik.

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara kebutuhan berobat dengan kesembuhan


penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021.
2. Ada hubungan antara pengawasan minum obat dengan kesembuhan
penderita tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia
periode 2013 sampai dengan periode 2021.
3. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kesembuhan penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode
2013 sampai dengan periode 2021.
4. Ada hubungan antara penyakit lain dengan kesembuhan penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode
2013 sampai dengan periode 2021.
5. Ada hubungan antara sikap pasien dengan kesembuhan penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode
2013 sampai dengan periode 2021.
BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian dan Desain Penelitian

1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode


jurnal review, menggunakan jurnal penelitian tentang penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode 2013
sampai dengan periode 2021, yang bertujuan untuk mengetahui hal-hal
yang ada hubungan dengan kesembuhan tuberculosis paru.

2. Desain Penelitian

Kasus
Faktor Kesembuhan (+) Penyakit Tuberculosis
Paru
3. (+)
Faktor Kesembuhan (-)

4.
Kontrol
Penyakit Tuberculosis
Faktor Kesembuhan (+) Paru
(-)

5.
Faktor Kesembuhan (-)

Gambar 7. Desain Penelitian


55

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat penelitian disesuaikan dengan tempat penelitian jurnal sumber


data penelitian. Tempat penelitian dari 8 jurnal sumber data penelitian
adalah pada periode tahun 2013 sampai dengan 2021:

a. Puskesmas Dinoyo Kota Malang


b. Puskesmas Mangkang Sumatera Barat
c. Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu
d. Puskesmas Pragaan
e. Rumah Sakit Tingkat II Iskandar Muda Banda Aceh
f. Puskesmas Mauk Kabupaten Tangerang
g. Puskesmas Tamako, Puskesmas Manganitu, Puskesmas Tahuna
Timur Kabupaten Kepulauan Sangihe
h. Puskesmas Piru

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian disesuaikan dengan waktu penelitian jurnal sumber


data penelitian. Waktu penelitian dari 8 jurnal sumber data penelitian
adalah pada periode tahun 2013 sampai dengan 2021:

a. Puskesmas Dinoyo Kota Malang Tahun 2016


b. Puskesmas Mangkang Sumatera Barat Tahun 2013
c. Rumah Sakit Umum Karsa Husada Batu Tahun 2019
d. Puskesmas Pragaan Tahun 2016
e. Rumah Sakit Tingkat Ii Iskandar Muda Banda Aceh Tahun 2018
f. Puskesmas Mauk Kabupaten Tangerang Tahun 2018
g. Puskesmas Tamako, Puskesmas Manganitu, Puskesmas Tahuna
Timur Kabupaten Kepulauan Sangihe 2013
56

h. Puskesmas Piru Tahun 2021

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh jurnal tentang penderita


tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode tahun
2013 sampai dengan tahun 2021.

2. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh jurnal tentang penderita


tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode tahun
2013 sampai dengan tahun 2021, yang memenuhi kriteria penelitian.

D. Kriteria Sampel Penelitian

Kriteria Inklusi Jurnal Penelitian

a. Jurnal penelitian tentang penderita tuberculosis paru di beberapa


lokasi di wilayah Indonesia periode tahun 2013 sampai dengan tahun
2021.
b. Jurnal penelitian memuat minimal dua variabel berupa kebutuhan
berobat, pengawasan minum obat, pendidikan, penghasilan, penyakit
lain dan sikap pasien.
c. Penelitian menggunakan metode analitik dengan pendekatan case
control.

Berdasarkan kriteria penelitian tersebut di atas tersaring sebelas jurnal


sumber data penelitian seperti di bawah ini.
57

Tabel 3. Jurnal Penelitian tentang Penderita tuberculosis paru di


Berbagai Lokasi di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013 sampai
dengan Tahun 2021, yang akan dijadikan Sumber Data Penelitian

Peneliti Judul Penelitian Tempat Jumlah Desain


Penelitian Sampel
Faktor Yang
Mempengaruhi
Keberhasilan
Pengobatan
Di Puskesmas
Yulinda Nur Tuberkulosis (Tb) 44 Case
Dinoyo Kota
Mauidya, dkk Paru Pada Pasien orang control
Malang
Pasca Pengobatan
Di Puskesmas
Dinoyo Kota Malang
2016
Faktor-Faktor Yang
Berhubungan
Dhina Nurlita Dengan Status Di Kota
72 Case
niviasari, dkk Kesembuhan Semarang
orang control
Penderita
Tuberkulosis Paru
Faktor yang
Berhubungan
Dengan
Pascahana
Keberhasilan RSU Karsa 63 Case
Lintang
Pengobatan Husada Batu orang control
Panggayuh, dkk
Tuberkulosis Paru di
RSU Karsa Husada
Batu Tahun 2019
Faktor-faktor yang
Berhubungan
dengan Kesembuhan
Penyakit
Nuha Muniroh, Puskesmas 30 Case
Tuberculosis (TBC)
dkk Mangkang orang control
Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas
Mangkang Semarang
Selatan
Masyudi, dkk Analisis Faktor Yang Rumah Sakit 54 Case
Mempengaruhi Tingkat II orang control
Kesembuhan Iskandar Muda
Penderita Banda Aceh
Tuberkulosis Paru Di
58

Rumah Sakit Tingkat


II Iskandar Muda
Banda Aceh Tahun
2018
: Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi
Puskesmas
Rina Puspita Kesembuhan Pasien
Mauk 85 Case
Sari & Abdul Tuberkulosa Paru Di
Kabupaten orang control
Azis Puskesmas Mauk
Tangerang
Kabupaten
Tangerang 2018
Faktor-faktor yang
Di Puskesmas
Berhubungan
Tamako,
dengan Status
Puskesmas
Kesembuhan Pasien
Manganitu,
Refinia Tuberkulosis Paru di
dan 70 Case
Anastasya Wilayah Puskesmas
Puskesmas orang control
Saharieng, dkk Tamako, Puskesmas
Tahuna Timur
Manganitu, dan
di Kabupaten
Puskesmas Tahuna
Kepulauan
Timur di Kabupaten
Sangihe
Kepulauan Sangihe
Faktor-faktor yang
Berhubungan
Puskesmas 33 Case
Wiwi Rumaolat dengan Kesembuhan
Piru orang control
Penderita TB Paru di
Puskesma Piru

E. Cara pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yang diterapkan pada penelitian ini


disesuaikan dnegan cara pengambilan data pada jurnal sumber data
penelitian di berbagai tempat yaitu Total Sampling.
59

F. Alur Penelitian

Penelusuran jurnal penelitian analitik tentang penyakit tuberkulosis paru pada


penderita di beberapa lokasi penelitian di wilayah Indonesia

Terkumpul jurnal penelitian analitik tentang penyakit tuberkulosis paru pada


penderita di beberapa lokasi penelitian di wilayah Indonesia

Memenuhi Kriteria
Inklusi

Terpilih 10 jurnal penelitian analitik tentang penyakit tuberkulosis paru


dibebeapa lokasi di wilayah Indonesia periode tahun 2015 sampai dengan tahun
2020

Membuat tabel rangkuman data dari jurnal sumber data

Melakukan pengambilan data kasus dan kontrol dari jurnal sumber data yang
terdiri dari:
1. Nama Peneliti dan tahun terbit; 2. Judul Penelitian; 3. Tempat dan Waktu
Penelitian; 4. Kepatuhan berobat; 5. PMO; 6. Pengetahuan ; 7. Penghasilan ;
8. Penyakit lain; 9. Sikap pasien.

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis Data

Penulisan Hasil

Penyajian Hasil Penelitian

Gambar 8. Alur Penelitian


60

G. Prosedur Penelitian

1. Peneliti telah melakukan penelusuran jurnal-jurnal penelitian tentang


penderita tuberculosis paru di berbagai tempat seperti: Google
Schoolar, Clinicalkey, situs web Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia (PNRI), situs repository setiap universitas di Indonesia.
2. Akan dilakukan pengumpulan jurnal penelitian tentang tuberculosis
paru pada penderita di beberapa lokasi di wilayah Indoneisa.
3. Jurnal penelitian kemudian akan dipilah berdasarkan kriteria jurnal
penelitian.
4. Akan dilakukan pengumpulan 8 jurnal penelitian tentang penderita
tuberculosis paru di beberapa lokasi di wilayah Indoneisa periode
tahun 2013 sampai dengan tahun 2021, yang memenuhi kriteria
penelitian.
5. Semua data akan dikumpulkan dengan meng-input ke dalam komputer
dengan menggunakan program microsoft excel.
6. Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil penelitian
masing-masing jurnal menyangkut kepatuhan berobat, PMO,
pengetahuan, penghasiln, penyakit lain, sikap pasien.
7. Data dari sebelas jurnal sumber data penelitian tersebut akan
dituangkan dalam tabel rangkuman data hasil penelitian tentang
penderita tuberculosis paru.
8. Akan dilakukan pengambilan data dari jurnal penelitian sumber data
yang terdiri dari:
a. Nama Peneliti dan Tahun Terbit
b. Judul Penelitian
c. Tempat dan Waktu Penelitian
d. Kepatuhan berobat penderita : akan diambil riwayat kepatuhan
berobat penderita dari jurnal terkait kemudian dikelompokkan dalam
kelompok yang memiliki kepatuhan dalam melakukan pengobatan jika
pada jurnal sumber data penelitian memiliki riwayat patuh dalam
61

berobat, atau dalam jurnal sumber data tidak patuh dalam melakukan
pengobatan.
e. Pengawasan minum obat penderita : akan diambil pengawasan
minum obat penderita dari jurnal terkait kemudian dikelompokkan
menjadi kelompok penderita dengan pengawasan yang berisiko yaitu
apabila tercatat orang yang dikenal atau dipercaya penderita baik
keluarga, kerabat maupun petugas kesehatan melakukan
pengawasan terhadap minum obat penderita, atau penderita dengan
pengawasna minum obat yang tidak berisiko apabila tercatat orang
yang dikenal atau dipercaya penderita baik keluarga, kerabat maupun
petugas kesehatan tidak melakukan pengawasan terhadap minum
obat penderita.
f. Pengetahuan penderita : akan diambil pengetahuan penderita dari
jurnal terkait kemudian dikelompokkan menjadi kelompok
pengetahuan berisiko bila pada jurnal sumber data penelitian tercatat
penderita memiliki pengetahuan yang cukup baik, atau dikelompokkan
dalam kelompok tidak berisiko bila pada jurnal sumber data penelitian
tercatat penderita memiliki pengetahuan yang kurang baik.
g. Penyakit lain penderita : akan diambil riwayat penyakit lain penderita
dari jurnal terkait kemudian dikelompokkan menjadi kelompok
beresiko jika pada jurnal sumber data penderita tercatat tidak memiliki
riwayat penyakit lain, dan dikelompokkan dalam kelompomtidak
beresiko jika pada jrunal sumber data tercatat penderita memiliki
riwayat penyakit lain.
h. Sikap pasien/penderita : akan diambil data mengenai sikap pasien
selama menjalani pengobatan dan dikelompokkan kedalam kelompok
beresiko jika pada jurnal sumber data tercatat penderita memiliki sikap
yang baik, dan dikelompokkan kedalam kelompok tidak berisiko jika
pada jurnal sumber data tercatat penderita memiliki sikap yang kurang
baik.
62

9. Akan dilakukan pengolahan dan analisis data lebih lanjut dengan


mengunakan program Microsoft Excel.
10. Setelah analisis data selesai, peneliti akan melakukan penulisan hasil
penelitian sebagai laporan tertulis dalam bentuk skripsi.
11. Selesai penulisan hasil, peneliti akan menyajikan hasil penelitian
dalam bentuk lisan dan tulisan

H. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data pada penelitian dengan memasukkan semua data


mengenai hal-hal yang ada hubungan dengan kesembuhan tuberculosis
paru di beberapa lokasi di wilayah Indonesia periode tahun 2015 sampai
dengan tahun 2020 yang diperoleh dari berbagai literature ke dalam
computer dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.

I. Rencana Pengolahan Data dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan bantuan komputer.


Data-data yang diperoleh dari jurnal sumber data penelitian dikumpulkan
masing-masing dalam satu tabel menggunakan program Microsoft Excel.

2. Analisis Data

Data dikumpulkan dari jurnal sumber data penelitian tentang kebutuhan


berobat, PMO, pengetahuan, penyakit lain, dan sikap pasien, penderita
yang dianalisis dengan menggunakan SPSS kemudian dibuat dalam
bentuk tabel hasil telaah literatur berdasarkan masing-masing variabel
lalu diolah menggunakan perangkat lunak komputer program Microsoft
Excel.
63

J. Dummy Table

Tabel 4. Dummy Table 1. Hubungan Kepatuhan Berobat


dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada Penderita di
Berbagai Lokasi Di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013
sampai dengan Tahun 2021.

Kepatuhan Case Control


No P
Berobat N % N %
1. Beresiko
Tidak
2.
Beresiko
Total

Tabel 5. Dummy Table 2. Hubungan Pengawasan Minum Obat


dengan Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada Penderita di
Berbagai Lokasi Di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013
sampai dengan Tahun 2021.

Case Control
No PMO P
N % N %
1. Beresiko
Tidak
2.
Beresiko
Total
64

Tabel 6. Dummy Table 3. Hubungan Pengetahuan dengan


Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada Penderita di Berbagai
Lokasi Di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013 sampai
dengan Tahun 2021.

Case Control
No Pengetahuan P
N % N %
1. Beresiko
Tidak
2.
Beresiko
Total

Tabel 7. Dummy Table 4. Hubungan Penyakit Lain dengan


Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada Penderita di Berbagai Lokasi
Di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013 sampai dengan Tahun
2021.

Case Control
No Penyakit Lain P
N % N %
1. Beresiko
Tidak
2.
Beresiko
Total
65

Tabel 8. Dummy Table 5. Hubungan Sikap Pasien dengan


Kesembuhan Tuberkulosis Paru pada Penderita di Berbagai
Lokasi Di Wilayah Indonesia Periode Tahun 2013 sampai
dengan Tahun 2021.
Riwayat Case Control
No P
Keluarga N % N %
1. Beresiko
Tidak
2.
K. Beresiko
Total

Aspek Etika Penelitian

Penelitian ini tidak mempunyai masalah yang dapat melanggar etik

penelitian karena :

1. Peneliti akan mencantumkan nama keluarga penulis atau editor buku


dan tahun terbit jurnal yang menjadi literatur.
2. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak yang tekait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah
disebutkan sebelumnya.
BAB V

LAMPIRAN

A. Lampiran 1. Jadwal Penelitian

Kegiatan
No. Tahun 2019 2020 2021
Bulan 3-7 8 9-12 1-2 3-6 7 8-12 1-5 6 7 10 11 12
I Persiapan
1. Pembuatan proposal
2. Seminar Draft Proposal
3. Ujian Proposal
4. Perbaikan Proposal
5. Pengurusan rekomendasi etik
II Pelaksanaan
1. Pengambilan data
2. Membuat Rangkuman Data
3. Pemasukan data
4. Analisa data
5. Penulisan laporan
III Pelaporan
1. Seminar hasil
2. Perbaikan laporan
3. Ujian skripsi
B. Lampiran 2. Tim Peneliti dan Biodata Peneliti Utama

KEDUDUKAN
No NAMA DALAM KEAHLIAN
PENELITIAN

Peneliti
1. Zakiah Rahma Tahrim Belum ada
Utama

Dokter,
Dr. Siti Hardiyanti Nawir, M. Rekan
2. Magister
Biomed Peneliti 1
Biomedik

Rekan
3. Minarni, S.Psi Psikolog
Peneliti 2

1. Biodata Peneliti Utama


a. Data Pribadi
Nama : Zakiah Rahma Tahrim
Tempat, Tanggal Lahir : Kendari, 24 Agustus 2000
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat :Kompleks Paropo Indah, Blok K, No.14
Kel.Paropo, Kec. Panakukang, Kota
Makassar, Sulawesi Selatan.
Nomor Telepon/Hp : 082347939438
E-mail : zakiahrahmatahrim1@gmail.com
Status : Mahasiswa
68

b. Riwayat Keluarga
Nama Ayah : Drs. Tahrim Hodi, M.M
Nama Ibu : Suriyani, S.Pd
Saudara : Mufhtiah Dian Auliya Tahrim
Ahmad Fharid Tahrim
Ummul Nur Khair

c. Riwayat Pendidikan
Tahun 2005-2011 : SDN 1 Lasusua, Kec. Lasusua, Kab.
Kolaka Utara
Tahun 2011-2014 : SMPN 1 Lasusua, Kec. Lasusua, Kab.
Kolaka Utara
Tahun 2014-2017 : SMAN 1 Lasusua, Kec. Lasusua, Kab.
Kolaka Utara
Tahun 2017-sekarang :Program Studi Pendidikan Dokter,
Fakultas Kedokteran Universitas
Bosowa.

d. Pengalaman Organisasi
Staff of Membership and Development AMSA UNIBOS
Staff Pengembangan Sumber Daya Manusia BEM FK UNIBOS

e. Pengalaman Meneliti
Belum ada
69

C. Lampiran 3. Rencana Biaya Penelitian Dan Sumber Dana

NO ANGGARAN JUMLAH SUMBER


. DANA

1. Biaya Administrasi Rp.250.000,-


Rekomendasi Etik

2. Biaya Administrasi Tes Rp. 200.000,-


Turnitin
3. Biaya Penggandaan dan Rp. 1.400.000,-
Mandiri
Penjilidan Proiposal dan
Skripsi
4. Biaya Pulsa Rp. 500.000
5. Biaya ATK Rp. 100.000,-
5. Lain-lain Rp. 250.000,-

TOTAL BIAYA Rp. 2.600.000,-

Anda mungkin juga menyukai