Anda di halaman 1dari 33

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN

RUMAH DENGAN KEJADIAN TB PARU DI


WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS BORONG
KECAMATAN BORONG KABUPATEN

MANGGARAI TIMUR
PROPOSAL SKRIPSI
SEBAGAI SYARAT MEMPEROLEH GELAR
SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

OLEH :
AFRADIANA KURNIAWATI JUPIR
NIM 25000121183364

FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS
DIPONEGORO SEMARANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis haturkan kepada Tuhan yang Maha Esa

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 8
1. Tujuan Umum 8
2. Tujuan khusus 8
D. Manfaat Penelitian 8
1. Bagi Instansi terkait 8
2. Bagi Masyarakat 8
3. Bagi Peneliti Lain 9
4. Bagi Pembaca 9
E. Ruang Lingkup penelitian 9
1. Lingkup Keilmuan 9
2. Lingkup Masalah 9
3. Lingkup Sasaran 10
4. Lingkup Lokasi 10
5. Lingkup Waktu 10
6. Keaslian Penelitian 10
BAB II TINJAUAN TEORI 11
A. Tuberkulosis 11
1. Pengertian 11
2. Gejala 11
3. Penyebab 12
B. Rumah 13
1. Pengertian 13
2. Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal 13

C. PERSYARATAN KUALITAS UDARA DALAM RUANG RUMAH 15


1. Kualitas fisik 15
2. Kualitas kimia 15
3. Kualitas biologi 15
D. HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB 17
1. Suhu 17
2. Pencahayaan 17
3. Kelembaban 18
4. Ventilasi 18
5. Kepadatan Hunian 18
E. KERANGKA TEORI 18
BAB III METODE PENELITIAN 19
a. Kerangka Konsep 19
b. Hipotesis 20
c. Tempat Dan Waktu Penelitian 20
d. Desain Penelitian (Jenis dan Rancangan Penelitian) 20
e. Populasi dan Sampel 20
1) Populasi 20
2) Sampel 21
f. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, Pengukuran dan Skala Data 22
g. Prosedur Penelitian 22
h. Sumber Data Penelitian 22
i. Instrumen Penelitian 22
j. Tehnik pengumpulan Data 22
k. Pengolahan dan Analisis Data 22
1. Pengolahan Data 22
2. Analisis Data 22
l. Jadwal Penelitian 22
DAFTAR PUSTAKA 22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang merupakan


penyebab utama kesehatan yang buruk dan salah satu penyebab utama
kematian di seluruh dunia. Sampai pandemi virus corona (COVID-19), TB
adalah penyebab utama kematian dari agen infeksi tunggal, peringkat di
atas HIV/AIDS. TBC disebabkan oleh basil Mycobacterium Tuberculosis
yang menyebar ketika orang yang sakit TBC mengeluarkan bakteri ke
udara (misalnya melalui batuk). Penyakit ini biasanya mempengaruhi
paru-paru (Tb Paru) tetapi dapat mempengaruhi tempat lain. Sekitar 90 %
penyakit ini mengenai orang dewasa dan kasus lebih banyak terjadi pada
laki-laki dibandingkan wanita. Pandemi Covid-19 telah membalikkan
kemajuan selama bertahun-tahun dalam penyediaan layanan TB Esensial
dan mengurangi penyakit TB, target TB global masih jauh dari target yang
diharapkan, meskipun sudah ada beberapa negara dan regional yang
berhasil. Dampak yang paling mendasar adalah cakupan orang yang
terdiagnosa kasus baru semakin menurun dari 7,1 juta pada tahun 2019
menjadi 5,8 juta pada tahun 2020 , penurunan sebanyak 18 % ini kembali
seperti tahun 2012 lalu. Sekitar 10 juta orang yang melakukan pengobatan
TB pada tahun 2020, dan dari 16 negara yang menyumbang 93 %
pengurangan pengobatan TB , negara yang paling berdampak adalah India,
Indonesia dan Filipina. Berkurangnya akses pengobatan TB telah
mengakibatkan peningkatan Kematian TB. Pada Tahun 2020 sebanyak 1,3
juta juta kematian karena TB pada orang HIV-negatif (naik dari 1,2 juta
tahun 2019) dan naik 214.000 kasus pada orang HIV positif (naik dari
209.000 tahun 2019). (1)

Pada tahun 2020, kasus TB terbanyak berada di wilayah Asia


Tenggara(43%), Afrika 25 %,pasifik Barat 18 %, dan bagian yang lebih

5
kecil di Mediterania timur (8,3 %) amerika (3,0 %) dan eropa 2,3 %. 30
negara dengan kasus TB penyumbang tertinggi menyumbang 86 % dari
semua kasus di seluruh dunia, dan delapan dari negara tersebut adalah :
India 26 %, China 8,5 %, Indonesia 8,4 %,Filipina 6,0 %Nigeria 4,6 %,
Bangladesh 3,6 % dan Afrika selatan 3,3 %.(1)
Tujuan “End TB” dari Organisasi Kesehatan Dunia adalah untuk
menurunkan insiden global tuberkulosis (TB) menjadi 10 per 100.000
(populasi) pada tahun 2035. Namun, dengan diagnosis dan pengobatan
saat ini, tanpa adanya vaksin baru yang sangat efektif, hal itu akan menjadi
sangat sulit untuk mencapai tujuan ini karena tingkat rata-rata penurunan
kejadian TB hanya 1,5% per tahun secara global. Pergeseran fokus global
ke COVID-19 mengalihkan sumber daya dan membahayakan upaya
pengendalian TB global.1 Para ahli memperingatkan bahwa penguncian
COVID-19, dengan orang-orang yang berkerumun di rumah atau panti
jompo, dapat meningkatkan risiko penularan TB dalam ruangan. Selain
itu, layanan TB dapat kurang dimanfaatkan jika COVID-19 terus
membebani sistem perawatan medis, dengan persepsi bahaya infeksi
terkait pelayanan kesehatan. Di era co-circulation TB dan COVID-19,
solusi inovatif untuk mencapai tujuan “End TB” sangat dibutuhkan. (2)
Saat ini, sebagian besar ahli umumnya percaya bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi kejadian TB terutama meliputi aspek-aspek berikut
(1) faktor strain MTB, seperti mutasi gen strain MTB dan munculnya
MTB yang resisten terhadap obat; (2) faktor pejamu, termasuk genetik,
riwayat kontak dekat, infeksi ganda (seperti infeksi ganda TB dan
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)) dan malnutrisi; (3)
faktor lingkungan, seperti lingkungan alam (suhu, tekanan dan curah
hujan) dan lingkungan sosial (migrasi dan perpindahan penduduk, kondisi
sosial ekonomi, alokasi sumber daya kesehatan, dll) . namun dalam
beberapa tahun terakhir, beberapa ahli telah menyarankan bahwa polusi
udara dapat meningkatkan kejadian Tb, mereka percaya bahwa polutan
udara tertentu seperti partikulat 2,5 (PM 2,5) dan partikulat 10 (PM10),

6
So2,NO2,CO dan O3 membuat orang lebih rentan terhadap infeksi TB.
Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa polutan udara
meningkatkan resiko kematian dari pasien TB.(3)
Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan di udara. Di
lingkungan dalam ruangan, aerosol infeksius terakumulasi secara progresif
kecuali ada sirkulasi dan ventilasi udara segar yang tepat. Sebagian besar
pedoman pengendalian pencegahan TB merekomendasikan ventilasi yang
memadai, namun bukti konklusif masih kurang. Dengan ancaman
pemanasan global, kebijakan untuk menghemat konsumsi energi (untuk
mengurangi emisi karbon) telah menyebabkan rendahnya ventilasi dalam
ruangan di daerah perkotaan, dan secara tidak sengaja meningkatkan risiko
penularan TB. Studi ini menemukan bahwa peningkatan ventilasi, diukur
dengan tingkat CO2, apabila Co2 tinggi maka ventilasinya tidak memenuhi
syarat. pemantauan tingkat CO2 di gedung-gedung publik , maka ventilasi
dalam ruangan menjadi lebih baik dan akan mencegah sebagian besar
wabah TB terjadi. (2)
Pada penelitian di Wulumuqi perspektif epidemi TB dan menurut
hasil pemantauan, paling sering terjadi pada musim semi. Dari sudut
pandang penularan penyakit,orang akan mengurangi aktivitas di luar
ruangan dan berkumpul di dalam ruangan Ketika suhu di luar ruangan
rendah. Lingkungan ramai dalam ruangan meningkatkan resiko infeksi
Mycobacterium Tuberculosis .(4)
Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal. Rumah layak huni mendukung terciptanya rumah
yang sehat. Menurut BPS yang dipublikasikan melalui Indikator
Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2020, definisi rumah layak huni
memenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: 1. Kecukupan luas tempat tinggal
(sufficient living space) minimal 7,2 m2 per kapita, 2. Memiliki akses air
minum layak, 3. Memiliki akses sanitasi layak, 4. Ketahanan bangunan
(durable housing) yaitu atap terluas berupa beton, genteng, seng dan
kayu/sirap; dinding terluas berupa tembok, plesteran anyaman

7
bambu/kawat, anyaman bambu dan batang kayu; lantai terluas berupa
marmer/granit, keramik, parket/vinyl/karpet, ubin/tegel/teraso, kayu/papan
dan semen/bata merah.
Secara nasional persentase rumah tangga yang menempati rumah
layak huni sebesar 59,54%. Provinsi dengan persentase tertinggi rumah
tangga yang menempati rumah layak huni yaitu DI Yogyakarta (86,19%),
Bali (77,05%) dan Kalimantan Timur (70,80%). Sedangkan provinsi
dengan persentase terendah adalah Papua (28,56%), Kepulauan Bangka
Belitung (30,64%), dan DKI Jakarta (33,18%). Rumah tangga kumuh
(kategori rumah tidak layak huni) merupakan rumah yang tidak memenuhi
persyaratan keselamatan, bangunan, dan kecukupan minimum luas
bangunan serta memenuhi syarat bagi kesehatan penghuninya. Seperti
halnya indikator rumah layak huni, indikator penilaian rumah kumuh
merupakan indikator komposit. Indikator pembentuk rumah tangga kumuh
sama dengan indikator pembentukan rumah layak huni. persentase rumah
tangga kumuh menurut provinsi secara nasional pada tahun 2020 sebesar
10,04%. Terdapat 12 provinsi yang persentase rumah tangga kumuh lebih
tinggi dari angka nasional. Provinsi dengan persentase rumah tangga
kumuh terendah yaitu DI Yogyakarta (1,54%), Kalimantan Utara (3,37%),
dan Bali (3,87%). Sedangkan provinsi dengan rumah tangga kumuh
tertinggi yaitu Papua (40,27%), Nusa Tenggara Timur (31,18%), dan DKI
Jakarta (22,07%).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan pasal 1 ayat 1, Kesehatan adalah keadaan sejahtera
fisik, mental, spiritual, dan sosial yang utuh yang memungkinkan setiap
orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sanitasi lingkungan
yang buruk dapat menjadi salah satu cara penularan penyakit. Terjadinya
penyakit berbasis lingkungan disebabkan oleh interaksi antara manusia
dengan lingkungan, terutama bagi masyarakat yang banyak menghabiskan
waktu di rumah. Jika sanitasi lingkungan rumah tidak terjaga dengan baik,
berpotensi menimbulkan penyakit. Beberapa penyakit berbasis lingkungan

8
antara lain Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare, malaria,
Demam Berdarah Dengue (DBD), Tuberkulosis (TB), helminthiasis, dan
penyakit kulit. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang
erat kaitannya dengan lingkungan tempat tinggal.

Kualitas udara di dalam rumah berkaitan dengan masalah ventilasi


dan aktivitas penghuni di dalamnya, meningkatnya jumlah penduduk
menyebabkan kepadatan bangunan dan sulitnya ventilasi, bahkan ada
rumah yang tidak memiliki jendela, tidak ada ventilasi, dan tidak ada sinar
matahari yang masuk, udara di dalam rumah terasa pengap. Perjalanan
kuman Tuberkulosis setelah batuk akan terhirup oleh orang-orang yang
ada di sekitarnya ke paru-paru, sehingga ventilasi yang baik akan
menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi.
Konsentrasi droplet per volume udara dan lamanya waktu menghirup
udara memungkinkan seseorang terinfeksi tuberkulosis. Selain itu lantai
dan kepadatan hunian juga mempengaruhi terjadinya penyebaran
Tuberkulosis.(5)

Peningkatan jumlah ventilasi dapat mengurangi jumlah CO2


menjadi < 1000 ppm dan ini sangat efektif dalam mengendalikan kasus TB
yang terjadi dalam ruangan yang berventilasi buruk. Intervensi untuk
mempertahankan ventilasi yang memadai dalam ruangan sangatlah
diperlukan untuk mengurangi penularan TB melalui udara.(6)

Berdasarkan Data Profil Kesehatan Indonesia Pada tahun 2020


jumlah kasus tuberkulosis yang ditemukan sebanyak 351.936 kasus,
menurun bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan
pada tahun 2019 yaitu sebesar 568.987 kasus. Jumlah kasus tertinggi
dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga
provinsi tersebut hampir mencapai setengah dari jumlah seluruh kasus
tuberkulosis di Indonesia (46%). Jika dibandingkan dari jenis kelamin,
jumlah kasus

9
laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan secara nasional maupun
pada setiap provinsi. Bahkan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara
kasus pada laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan perempuan. kasus
TB terbanyak ditemukan pada kelompok umur 45 – 54 tahun yaitu sebesar
17,3%, diikuti kelompok umur 25 – 34 tahun sebesar 16,8% dan 15 – 24
tahun 16,7%, bahkan TC (Treatment Coverage) kasus tuberkulosis pada
tahun 2020 sebesar 41,7% yang relatif menurun jika dibandingkan dengan
tiga tahun sebelumnya. TC pada tahun 2020 di Indonesia belum mencapai
target TC yang diharapkan yaitu 80%, dan masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan TC secara global yaitu 71% pada tahun 2019 , Case
Notification Rate (CNR) adalah jumlah semua kasus tuberkulosis yang
diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu
wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan (tren) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah. Gambar 6.4
menunjukkan angka notifikasi semua kasus tuberkulosis per 100.000
penduduk dari tahun 2010-2020 yang secara nasional memperlihatkan
kecenderungan peningkatan CNR sampai tahun 2018 dan menurun pada
tahun 2019 dan 2020. kasus TB menurut provinsi tahun 2020 bervariasi
antara 244 per 100.000 penduduk pada Provinsi Papua dan 65 per 100.000
penduduk pada Provinsi Bali. Angka keberhasilan pengobatan (Success
Rate) merupakan indikator yang digunakan untuk mengevaluasi
pengobatan tuberkulosis. Angka keberhasilan pengobatan yaitu jumlah
semua kasus tuberkulosis yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara
semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan. Jika merujuk pada target
yang ditetapkan renstra Kementerian Kesehatan untuk indikator ini pada
tahun 2020 yaitu sebesar 90%, maka secara nasional angka keberhasilan
pengobatan tuberkulosis belum tercapai (82,7%). Provinsi yang mencapai
angka keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis minimal 90%
pada tahun 2020 sebanyak 10 provinsi, yaitu Lampung (96,7%), Sumatera
Selatan (94,5%), Sulawesi Barat (93,6%), Sulawesi Tengah (93,1%), Riau

10
(92,0%), Jambi (90,7%), Kalimantan Timur (90,5%), Kep. Bangka
Belitung (90,2%), Nusa Tenggara Barat (90,1%) dan Sumatera Utara
(90,0%).(7)
Data Profil UPTD Puskesmas Borong kecamatan Borong
Kabupaten Manggarai Tahun 2021 mencatat Angka penemuan kasus BTA
Positif sebanyak 34 kasus, dan 7 dari 34 kasus ini adalah pasien dari luar
wilayah kerja Puskesmas Borong, kasus TB berdasarkan hasil rontgen
sebanyak 2 kasus, dan kasus TB Ekstra Paru sebanyak 3, 1 diantaranya
berasal dari luar wilayah kerja dan berdasarkan wawancara awal dengan
pengelola TB Puskesmas Borong bahwa penemuan kasus TB positif ini
diperoleh dari hasil penjaringan serta usaha keras petugas Kesehatan
dalam membujuk masyarakat agar mau memeriksakan kesehatannya
apabila mengalami tanda dan gejala TB, melihat situasi ini peneliti ingin
mengkaji kondisi fisik lingkungan rumah pada penderita TB yang ada di
wilayah kerja UPTD puskesmas Borong.

B. Perumusan Masalah

Kondisi Fisik lingkungan rumah yang tidak sesuai standar


Kesehatan dapat menjadi salah satu sumber penularan penyakit.
Terjadinya penyakit berbasis lingkungan disebabkan oleh interaksi antara
manusia dengan lingkungan, terutama bagi masyarakat yang banyak
menghabiskan waktu di rumah. Jika Kondisi Fisik lingkungan rumah
seperti suhu, ventilasi, kelembaban,pencahayaan serta padat hunian tidak
terjaga dengan baik, berpotensi menimbulkan penyakit. Tuberkulosis
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama. Penyakit ini
sering dikaitkan dengan lingkungan kumuh. Faktor lingkungan rumah
yang dapat mempengaruhi kejadian TB Paru antara lain ventilasi ,
kelembaban, suhu, pencahayaan, dan kepadatan hunian. Berdasarkan hal
tersebut, maka didapatkan pertanyaan penelitian dalam penelitian ini
adalah “

11
Apakah ada Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Rumah dengan
kejadian penyakit TB Paru di wilayah kerja UPTD Puskesmas Borong?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui kondisi Lingkungan Fisik Rumah penderita Tbc di


Wilayah kerja UPTD Puskesmas Borong

2. Tujuan khusus

a) Menganalisis Pengaruh suhu rumah penderita terhadap kejadian


Tb di wilayah Kerja UPTD Puskesmas Borong
b) Menganalisis Pengaruh pencahayaan rumah penderita terhadap
kejadian Tb di wilayah Kerja UPTD Puskesmas Borong
c) Menganalisis Pengaruh kelembaban terhadap kejadian Tb di
wilayah Kerja UPTD Puskesmas Borong
d) Menganalisis Pengaruh ventilasi terhadap kejadian Tb di
wilayah Kerja UPTD Puskesmas Borong
e) Menganalisis Pengaruh padat hunian terhadap kejadian Tb di
wilayah Kerja UPTD Puskesmas Borong

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Bagi Instansi terkait

Sebagai masukan dan informasi serta bahan pertimbangan dalam


mengevaluasi dan merencanakan kebijakan pada program yang
berkaitan dengan penyakit tbc

12
2. Bagi Masyarakat

Sebagai informasi tentang faktor risiko kesehatan lingkungan


tentang kondisi fisik lingkungan rumah terhadap kejadian Tbc ,
dengan harapan masyarakat dapat menekan kesakitan Tbc dengan
melihat kondisi fisik lingkungan rumah.

3. Bagi Peneliti Lain

a. Sebagai referensi bagi peneliti lain yang selanjutnya ingin


melakukan penelitian maupun riset terkait kejadian Tbc di
Indonesia

b. Sebagai informasi yang dapat meningkatkan wawasan serta


pengetahuan bagi peneliti selanjutnya dalam menganalisis
kejadian Tbc di Indonesia

4. Bagi Pembaca

Sebagai sumber untuk memperoleh informasi tentang hubungan


kondisi fisik lingkungan rumah yang menyebabkan kejadian Tbc di
masyarakat serta pengetahuan lainnya di bidang Kesehatan
Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat.

E. Ruang Lingkup penelitian

1. Lingkup Keilmuan

Ruang lingkup keilmuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah


Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan berfokus pada bidang kesehatan
lingkungan

13
2. Lingkup Masalah

Permasalahan dalam penelitian ini dilakukan dengan batasan pada


kondisi lingkungan fisik rumah yang dihubungkan dengan angka
kejadian TB Paru

3. Lingkup Sasaran

Sasaran pada penelitian ini adalah wilayah kerja UPTD Puskesmas


Borong.

4. Lingkup Lokasi

Penelitian ini dilakukan di wilayah tempat penderita TB paru berada.

5. Lingkup Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli s/d Agustus 2022

6. Keaslian Penelitian

14
BAB II
TINJAUAN
TEORI

A. Tuberkulosis

1. Pengertian
Tuberkulosis yang selanjutnya disebut TBC adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh mycobacterium htberan losds, yang dapat menyerang paru dan
organ lainnya. (8)
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa
spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M.
bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam
(BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium
tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal
sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. (9)

2. Gejala
Gejala utama pasien TBC paru yaitu batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif,
batuk sering kali bukan merupakan gejala TBC yang khas, sehingga gejala
batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih . (9)
Dari kelompok
yang bukan pengidap HIV namun kemudian terinfeksi Tuberkulosis, 5-
10% diantaranya menunjukkan perkembangan penyakit aktif selama masa
hidup mereka. Sebaliknya, dari kelompok yang terinfeksi HIV dan juga
terinfeksi Tuberkulosis, ada 30% yang menunjukkan perkembangan
penyakit aktif. Tuberkulosis dapat menginfeksi bagian tubuh mana saja,

15
tapi paling sering menginfeksi paru-paru (dikenal sebagai Tuberkulosis
paru). Bila Tuberkulosis berkembang di luar paru paru, maka disebut TB
ekstra paru. TB ekstra paru juga bisa timbul bersamaan dengan TB paru.
Tanda dan gejala umumnya antara lain demam, menggigil, berkeringat di
malam hari, hilangnya nafsu makan, berat badan turun, dan lesu. Dapat
pula terjadi jari tabuh yang signifikan.(10)

3. Penyebab

Penyebab utama penyakit TB adalah Mycobacterium tuberculosis, yaitu


sejenis basil aerobik kecil yang non-motil. Berbagai karakter klinis unik
patogen ini disebabkan oleh tingginya kandungan lemak/lipid yang
dimilikinya. Sel-selnya membelah setiap 16 –20 jam. Kecepatan
pembelahan ini termasuk lambat bila dibandingkan dengan jenis bakteri
lain yang umumnya membelah setiap kurang dari satu jam. Mikobakteria
memiliki lapisan ganda membran luar lipid. Bila dilakukan uji pewarnaan
Gram, maka MTB akan menunjukkan pewarnaan "Gram-positif" yang
lemah atau tidak menunjukkan warna sama sekali karena kandungan lemak
dan asam mikolat yang tinggi pada dinding selnya. MTB bisa tahan
terhadap berbagai desinfektan lemah dan dapat bertahan hidup dalam
kondisi kering selama berminggu-minggu. Di alam, bakteri hanya dapat
berkembang dalam sel inang organisme tertentu, tetapi M. tuberculosis
bisa dikultur di laboratorium. Dengan menggunakan pewarnaan histologis

16
pada sampel dahak peneliti dapat mengidentifikasi MTB melalui
mikroskop (dengan pencahayaan) biasa. (Dahak juga disebut "sputum").
MTB mempertahankan warna meskipun sudah diberi perlakukan larutan
asam, sehingga dapat digolongkan sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

B. Rumah

1. Pengertian
Menurut Kemenkes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 Rumah adalah
salah satu kebutuhan dasar manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal
atau hunian yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan
makhluk hidup lainnya, serta tempat pengembangan kehidupan keluarga.
Oleh karena itu keberadaan rumah yang sehat, aman, serasi dan teratur
sangat diperlukan agar fungsi dan kegunaan rumah dapat terpenuhi dengan
baik.

2. Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal


a. Bahan Bangunan
1) Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepas zat-zat yang dapat
membahayakan kesehatan, antara lain sebagai berikut :
Debu Total tidak lebih dari 150 µg/m3
Asbes bebas tidak melebihi 0,5 fiber/m3/ 4 jam
Timah hitam tidak melebihi 300 Mg/kg
2) Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan
berkembangnya mikroorganisme patogen
b. Komponen dan penataan Ruang Rumah
Komponen rumah harus memenuhi persyaratan fisik dan biologis
sebagai berikut:
1) Lantai kedap air, dan mudah dibersihkan
2) Dinding :
Di ruang tidur , ruang keluarga dilengkapi dengan sarana
ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara

17
Di kamar mandi dan tempat cuci harus kedap air, dan
mudah dibersihkan
3) Langit-langit harus mudah dibersihkan dan tidak rawan
kecelakaan
4) Bubungan rumah yang memiliki tinggi 10 meter atau lebih harus
dilengkapi penangkal petir
5) Ruang di dalam rumah harus ditata agar berfungsi sebagai ruang
tamu, ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, ruang dapur,
ruang mandi dan ruang bermain anak
6) Ruang dapur harus dilengkapi sarana pembuangan asap
a) Pencahayaan
Pencahayaan alam dan / atau buatan yang langsung maupun
tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal
intensitasnya 60 Lux, dan tidak menyilaukan
b) Kualitas udara
Kualitas udara dalam rumah tidak melebihi ketentuan sebagai
berikut :
✔ Suhu udara nyaman berkisar 180- 300 C
✔ Kelembaban udara berkisar antara 40%-70 %
✔ Konsentrasi gas So2 tidak melebihi 0,10 ppm/24 jam
✔ Pertukaran udara (Air Exchange Rate) 5 kaki kubik per
menit per penghuni
✔ Konsentrasi gas CO tidak melebihi 100 ppm/ 8 jam
✔ Konsentrasi gas Formaldehid tidak melebihi 120 Mg/m3
c) Ventilasi
Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen
minimal 10 % dari luas lantai
d) Binatang penular penyakit
Tidak ada tikus bersarang di dalam rumah
e) Air

18
✔ Tersedianya sarana air bersih dengan kapasitas minimal
60 liter/hari/orang
✔ Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air
bersih dan / atau air minum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
f) Tersedianya sarana penyimpanan makanan yang aman
g) Limbah
✔ Limbah cair yang berasal dari rumah tidak mencemari
sumber air, tidak menimbulkan bau, dan tidak mencemari
permukaan tanah
✔ Limbah padat harus dikelola agar tidak menimbulkan
bau, pencemaran terhadap permukaan tanah serta air
tanah
h) Kepadatan Hunian Rumah tidur
Luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan lebih
dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak
dibawah umur 5 tahun.

C. PERSYARATAN KUALITAS UDARA DALAM RUANG RUMAH


Persyaratan kualitas udara dalam ruang rumah meliputi :

1. Kualitas fisik
Terdiri dari parameter: partikulat (Particulate Matter/PM 2,5 dan PM10),
suhu udara, Pencahayaan, kelembaban, serta pengaturan dan pertukaran
udara (laju ventilasi);

2. Kualitas kimia
Terdiri dari parameter: Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2),
Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Timbal (Plumbum=Pb),
asap rokok (Environmental Tobacco Smoke /ETS), Asbes, Formaldehid
(HCHO), Volatile Organic Compound (VOC)

19
3. Kualitas biologi
Terdiri dari parameter: bakteri dan jamur.

1. Persyaratan Fisik

2. Persyaratan Kimia

3. Persyaratan Biologis

20
Parameter kontaminan biologi dalam rumah adalah parameter yang
mengindikasikan kondisi kualitas biologi udara dalam rumah seperti bakteri,
dan jamur.

Catatan :
▪ CFU= Colony Form Unit
▪ Bakteri patogen yang harus diperiksa : Legionella, Streptococcus aureus,
Clostridium dan bakteri patogen lain bila diperlukan.

D. HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DENGAN KEJADIAN TB

1. Suhu
Suhu dalam ruang rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan
gangguan kesehatan hingga hipotermia, sedangkan suhu yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan dehidrasi sampai dengan heat stroke
Perubahan suhu udara dalam rumah dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain:
a. Penggunaan bahan bakar biomassa
b. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat
c. Kepadatan hunian
d. Bahan dan struktur bangunan
e. Kondisi Geografis
f. Kondisi Topografi(11)

2. Pencahayaan
Pencahayan terdiri atas :

21
a) Pencahayaan Alami
Letak dan orientasi rumah harus dipertimbangkan terhadap arah
mata angin, dimana daerah servis (pelayanan) diletakan pada arah
timur – barat, daerah hunian diletakan pada arah utara selatan.
Hindari sisi bangunan yang paling luas untuk tidak menghadap barat.
Posisi rumah yang ideal adalah sesuai dengan orientasi peredaran
matahari, dan sesuai dengan arah angin, di mana distribusi matahari
harus merata, sepanjang jam penyinaran yaitu antara jam 8.00 –
16.00. Usahakan menempatkan ruang tidur pada posisi menghadap
matahari pagi, dan jendela sebaiknya tembus pandang agar sinar
matahari pagi dapat masuk ke dalam ruangan sampai dengan jam
10.00. Bila ruang berada pada posisi menghadap arah matahari sore,
sebaiknya di depan ruang ditanami pohon pelindung agar radiasi
panas dari cahaya matahari secara langsung dapat dihindari. Jadi
cahaya yang masuk ke dalam ruangan hanya cahaya langit saja (12)
b) Pencahayaan Buatan
Penggunaan kap lampu harus memungkinkan sudut cahaya 300 dari
langit-langit. Kebutuhan penerangan minimal ruangan adalah
sebagai berikut:
▪ Ruang tamu luas 9 m2 : 60 watt
▪ Ruang makan luas 6 m2 : 40 watt
▪ Kamar tidur luas 9 m2 : 40 watt
▪ Lampu tidur : 10 watt
▪ Dapur luas 4 m2 : 40 watt
▪ Kamar mandi/wc luas 3 m2 : 25 watt

Untuk penerangan malam hari dalam ruangan terutama untuk


ruang baca dan kerja, penerangan minimum adalah 150 lux atau
sama dengan 10 watt lampu TL, atau 40 watt lampu pijar. Seluruh
aktivitas keluarga harus berada pada daerah terang, untuk menjaga
kesehatan mata serta menjamin keselamatan kerja sesuai
kecukupan penerangan yang dibutuhkan.(13) Nilai pencahayaan

22
(Lux) yang terlalu rendah akan berpengaruh terhadap proses
akomodasi mata yang terlalu tinggi, sehingga akan berakibat
terhadap kerusakan retina pada mata. Cahaya yang terlalu tinggi
akan mengakibatkan kenaikan suhu pada ruangan.(11)

3. Kelembaban
Kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme. Konstruksi rumah yang tidak baik
seperti atap yang bocor, lantai, dan dinding rumah yang tidak kedap air,
serta kurangnya pencahayaan baik buatan maupun alami (11)

4. Ventilasi
Ventilasi adalah bukaan yang dibuat pada bidang dinding, dan atau atap
rumah, dengan maksud agar dimungkinkan masuknya cahaya dan udara
alami yang dibutuhkan untuk kesehatan dan kenyamanan penghuni rumah,
melalui penggantian udara yang mengandung karbon (CO2) yang
dikeluarkan oleh manusia, dengan udara segar yang baru dan mengandung
oksigen (O2) untuk dihisap oleh manusia secara berkesinambungan.
Bukaan ventilasi paling baik adalah searah dengan tiupan angin. Pada
ruang luar tempat udara bersih dialirkan ke dalam bangunan harus
diupayakan dalam kondisi tidak tercemar oleh gangguan/polusi udara
seperti debu dan bau. Ventilasi berfungsi sebagai pengatur udara di dalam
ruang rumah. Lubang ventilasi minimal 1/9 luas lantai ruangan, yang
berfungsi untuk memasukan udara bersih yang mengandung oksigen (O2)
dari ruang luar dan mengeluarkan udara kotor yang mengandung karbon
(CO2) dari ruang dalam, untuk itu posisi ventilasi harus dibuat
bersilangan. Bentuk ventilasi bisa berupa pintu, jendela, dan lubang angin.
(13)
Pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan
suburnya pertumbuhan mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan
terhadap kesehatan manusia. (11)
Bakteri mikobakterium Tuberkulosis ini
sangat tahan di udara. Dengan melakukan pengukuran kadar CO2 dalam

23
ruangan dapat mengetahui bahwa ventilasi tersebut memenuhi standar atau
tidak. ventilasi yang baik itu dapat dilihat dari ambang batas kadar CO 2
dalam ruangan, jika CO2 tinggi maka ventilasinya tidak memenuhi syarat.
(2)
ventilasi alami yang dibuat dengan membuka jendela dan pintu
memberikan pertukaran udara yang tinggi(14) peningkatan jumlah ventilasi
tidak saja sebagai pencegahan penularan TB namun dapat menurunkan
penyakit pernapasan. (15)

5. Kepadatan Hunian
Luas ruang tidur minimal 8 meter, dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang
tidur dalam satu ruang tidur, kecuali anak dibawah umur 5 tahun. (11)

E. KERANGKA TEORI

24
BAB III
METODE PENELITIAN

a. Kerangka Konsep

Gambar 3. 1 Kerangka Konsep

Keterangan :

*: Variabel yang tidak diukur

b. Hipotesis

1. Ada pengaruh antara Suhu terhadap kejadian TB Paru.


2. Ada pengaruh antara Pencahayaan dengan kejadian Tb Paru.
3. Ada pengaruh antara Kelembaban dengan kejadian Tb Paru.

25
4. Ada pengaruh antara Ventilasi dengan kejadian Tb Paru.
5. Ada pengaruh antara Padat hunian dengan kejadian Tb Paru.

c. Tempat Dan Waktu Penelitian


1. Waktu
Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Juli s/d Agustus 2022
2. Tempat Penelitian.
Penelitian ini akan dilakukan di wilayah kerja UPTD Puskesmas
Borong

d. Desain Penelitian (Jenis dan Rancangan Penelitian)

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat survey analitik yaitu


untuk mengetahui hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan
kejadian TB Paru di Wilayah kerja UPTD Puskesmas Borong , dengan
rancangan penelitian Case Control, yaitu suatu penelitian yang
menyangkut bagaimana faktor risiko dipelajari dengan menggunakan
pendekatan Retrospektif, efek penyakit atau status kesehatan
diidentifikasi pada saat sekarang sedangkan faktor risiko diidentifikasi
adanya atau terjadinya pada waktu yang lalu.

e. Populasi dan Sampel

1) Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti .


Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB Paru yang
berjumlah 34 responden ada di Wilayah kerja UPTD Puskesmas
Borong.

2) Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh


populasi. Dalam mengambil sampel penelitian ini digunakan cara atau

26
Teknik-teknik tertentu, sehingga sampel tersebut sedapat mungkin
mewakili populasinya.

𝑍₁−α/₂ 2𝑃(1−𝑃)+𝑍₁−ᵦ. 𝑃1(1−𝑃)+𝑃2(1−𝑃2)²


𝑛 (𝑃1−𝑃2)
Keterangan :
Nn : Besar Sampel
P1 : Proporsi Kasus
P2 : Proporsi Kontrol
P : Rata-rata P1 dan P2 (P1+P2)/2
𝑍₁ − α/₂
: Tingkat kepercayaan 95% : 1,96
𝑍₁ − ᵦ
: Power 80 %

f. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, Pengukuran dan Skala Data


1. Variabel Penelitian
a) Variabel bebas ;
Adalah variabel yang mempengaruhi atau dengan kata lain variabel
resiko atau variabel sebab
Variabel bebas pada penelitian ini adalah Kejadian TB Paru di wilayah
kerja UPTD Puskesmas Borong Kecamatan Borong Kabupaten
Manggarai Timur
b) Variabel Terikat
Adalah variabel yang terpengaruh atau dipengaruhi oleh variabel bebas
Variabel terikat pada penelitian ini adalah Suhu, Pencahayaan,
kelembaban, ventilasi dan Padat Hunian
c) Variabel pengganggu
Adalah variabel yang mengganggu variabel bebas dan variabel terikat
Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah Umur, Jenis
Kelamin, Pendidikan, Merokok ,Status Gizi,Faktor Ekonomi, Jenis
lantai, Pengetahuan, Perilaku, Polusi Udara dalam Ruangan
2. Definisi Operasional

27
Definisi operasional dalam penelitian ini meliputi Kejadian TB Paru,
Suhu, Pencahayaan, kelembaban, ventilasi dan Padat Hunian, Umur,
Jenis Kelamin, Pendidikan, Merokok ,Status Gizi,Faktor Ekonomi,
Jenis lantai, Pengetahuan, Perilaku, Polusi Udara dalam Ruangan

Skala dan
No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur
Satuan

A. Variabel Terikat

1. Kejadian Tb Responden yang menderita Wawancara Skala:


TB Paru BTA Positif dan Kuesioner Nominal
negatif berdasarkan hasil uji
Laboratorium
Kriteria:
1 = Ya
2 = Tidak

B. Variabel Bebas

Pencahayaan Angka yang menunjukan hasil Lux Meter Skala:


pengukuran pencahayaan Nominal
alami
Kriteria: Satuan:
1 = ≤ 60 Lux Lux
2 = ≥ 60 Lux
Kelembaban Angka hasil pengukuran Hygro Skala:
banyaknya uap air yang Thermometer Nominal
terkandung dalam ruangan
Kriteria: Satuan:
1 = 40-60 %
2 = > 60

28
Suhu Angka yang menunjukan
hasil pengukuran temperatur Hygro Skala:
udara dalam ruangan Thermometer Nominal
Kriteria:
1 = ≤ 60 Lux Satuan:
2 = ≥ 60 Lux 0
C
Laju Ventilasi Angka hasil perhitungan Anemometer Skala:
laju pertukaran udara
melalui ventilasi Nominal
Kriteria:
1 = 0,15 – 0,25 Satuan:
2 = > 0,25 m/detik

Padat Hunian Luas ruang tidur minimal 8 Meteran Skala:


meter, dan tidak dianjurkan Nominal
lebih dari 2 orang tidur
dalam satu ruang tidur, Satuan:
kecuali anak dibawah umur Meter
5 tahun
Kriteria:
1= <8m
2= ≥8m

g. Prosedur Penelitian

h. Sumber Data Penelitian


1. Data Primer
Sumber data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung, dari hasil
pengukuran yaitu Pancahayaan, suhu, kelembaban, ventilasi dan padat
hunian yang digunakan dengan berbagi alat pengukuran sesuai
kebutuhannya. Selain itu data dari kuisioner dari respon tentang Umur,
Merokok, Status Gizi, Faktor Ekonomi, Jenis lantai, Perilaku pada
penderita TB Paru di wilayah kerja UPTD Puskesmas Borong
2. Data Sekunder

29
Data sekunder berupa data pendukung selama penelitian yang diperoleh
dari instansi yang berkaitan dengan penelitian yaitu UPTD Puskesmas
Borong

i. Instrumen Penelitian
Alat ukur atau instrumen merupakan alat yang digunakan oleh peneliti
untuk melakukan pengukuran terhadap variabel-variabel penelitian agar
didapatkan data yang obyektif. Instrumen yang digunakan peneliti untuk
memperoleh data yaitu sebagai berikut:
1. Kuesioner
Kuesioner berisi pertanyaan yang akan diajukan kepada responden untuk
mendapatkan data-data yang disesuaikan dengan variabel yang diteliti.
Kuesioner digunakan melalui proses wawancara kemudian pewawancara
atau peneliti mencatat dan mencocokan jawaban responden dengan
jawaban pada kuesioner.
2. Lux meter
Adalah alat yang digunakan untuk mengukur pencahayaan pada rumah
responden
3. Hygro Thermometer
Adalah alat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban pada
rumah responden
4. Anemometer
Adalah alat yang digunakan untuk mengukur laju pertukaran udara di
ventilasi pada rumah responden
5. Meter
Adalah alat yang digunakan untuk mengukur luas lantai kamar pada rumah
responden

30
j. Teknik pengumpulan Data

k. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

2. Analisis Data

l. Jadwal Penelitian

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Jeremiah C, Petersen E, Nantanda R, Mungai BN, Migliori GB, Amanullah


F, et al. The WHO Global Tuberculosis 2021 Report – not so good news
and turning the tide back to End TB. Int J Infect Dis. 2022;
2. Chan PC, Fang CT. The role of ventilation in tuberculosis control. J
Formos Med Assoc. 2021;120(6):1293–5.
3. Li Z, Liu Q, Zhan M, Tao B, Wang J, Lu W. Meteorological factors
contribute to the risk of pulmonary tuberculosis: A multicenter study in
eastern China. Sci Total Environ [Internet]. 2021;793:148621. Available
from: https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2021.148621
4. Yang J, Zhang M, Chen Y, Ma L, Yadier R, Lu Y, et al. A study on the
relationship between air pollution and pulmonary tuberculosis based on the
general additive model in Wulumuqi, China. Int J Infect Dis. 2020;96:42–
7.
5. Siregar RJ, Yusuf SF, Fernaldy D. The Relationship between Physical
Conditions of the House and the Incidence of Tuberculosis. Int J Public
Heal Excel. 2022;1(1):01–5.
6. Du CR, Wang SC, Yu MC, Chiu TF, Wang JY, Chuang PC, et al. Effect of
ventilation improvement during a tuberculosis outbreak in under ventilated
university buildings. Vol. 30, Indoor Air. 2020. p. 422–32.
7. Ministry of Health of Republic Indonesia. Indonesia Health Profile 2018.
Profil Kesehatan indonesia. 2020.
8. Kemenkes RI. Peraturan Presiden Nomor 67 tahun 2021 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
2021;67(069394):107.
9. Kemenkes RI. Tuberkulosis ( TB ). Tuberkulosis [Internet].
2018;1(april):2018. Available from: www.kemenkes.go.id
10. Phthisis S. Tuberculosis ( TB ) is an infectious disease usually caused by
the bacterium. Tuberculosis. 2016;(2017):1–43.
11. Kesehatan M, Indonesia R. Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia No
1077/Menkes/PER/2011. 2011;
32
12. Sabaruddin.CES IA, Ir.Hartini M, Yuri Hermawan, ST M. MODUL
RUMAH SEHAT. bANDUNG;
13. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dasar-Dasar
Rumah Sehat. Dasar-Dasar Rumah Sehat [Internet]. 2017;0–26. Available
from: https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&c
ad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwinx4Kg1d7tAhVl9XMBHRakDtQQFjABe
gQIBBAC&url=http%3A%2F%2Fciptakarya.pu.go.id%2Fbangkim%2Fsi
mpp%2Fportal%2Fassets%2Fpublic%2F01_Dasar-Dasar_Rumah_Sehat_2
017.pdf&usg=AOv
14. Dinata MTS, Subkhan M, Ghufron M. Hubungan Luas Ventilasi dan
Pencahayaan Alami Rumah terhadap Tingkat Kepositifan Sputum BTA
pada Penderita TB Paru di Puskesmas Tlogosadang. MAGNA MEDICA
Berk Ilmu Kedokt dan Kesehatan. 2020;7(1):23.
15. Richardson ET, Morrow CD, Kalil DB, Bekker LG, Wood R. Shared air: A
renewed focus on ventilation for the prevention of tuberculosis
transmission. PLoS One. 2014;9(5):1–7.

33

Anda mungkin juga menyukai