Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

Hematothorax

Oleh:
I Putu Gede Wisnu Artanugraha

0970121032

Franciscus Sanjaya

0970121033

Penguji:
dr. Made Dwi Yoga Bharata, Sp.B-KBD

STASE ILMU BEDAH


FKIK UNIVERSITAS WARMADEWA / RSUD SANJIWANI
GIANYAR
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Trauma toraks terjadi hampir 50% dari
seluruh kasus kecelakaan dan merupakan penyebab kematian terbesar (25%).
Data yang akurat mengenai trauma toraks di Indonesia belum pernah diteliti. Di
Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien
trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian
pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung. Di
Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya
trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan
trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat
meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69%. Umumnya pada trauma toraks,
trauma tumpul lebih sering terjadi dibandingkan
demikian hanya 15% dari

trauma tajam. Meskipun

seluruh trauma toraks yang memerlukan tindakan

bedah karena sebagian besar kasus (8085%) dapat ditatalaksana dengan tindakan
yang sederhana, seperti pemasangan chest tube. Trauma thorak dapat
menyebabkan kerusakan paru yang bermakna karena akan mempengaruhi
ventilasi dan menyebabkan rasa nyeri hebat. Bagaimanapun juga mengatasi nyeri
pada pasien dengan trauma toraks tidak hanya membantu meringankan keluhan
tetapi juga mengurangi serta mencegah komplikasi sekunder.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI RONGGA THORAKS
Dinding toraks (dada) secara anatomis tersusun dari kulit, fasia, otot dada,
neurovaskular pada dinding dada serta kerangka dada. Kerangka dada sendiri
terdiri dari sternum, 12 pasang tulang iga serta tulang rawan iga, dan vertebra
torakalis beserta diskus intervertebralis. Otot dada terdiri atas dua bagian, yaitu
otot intrinsik yang membentuk dinding dada yang sesungguhnya dan serta otot
ekstrinsik yang berperan pada gerakan dada, seperti otot ekstremitas superior, otot
dinding abdomen dan punggung. Otot intrinsik terdiri dari 3 lapisan yaitu lapisan
luar, tengah dan dalam. Lapisan luar tersusun atas m.interkostalis eksternus dan
m. Levatores kostarum, lapisan tengah hanya dibentuk oleh m.interkostalis
internus, sedangkan lapisan dalam disusun oleh m.interkostalis intimus, m
subkostalis dan m.transversus kostalis. Neurovaskular pada dinding dada terletak
pada sulkus kosta di antara m.interkostalis internus dan m. interkostalis intimus.
Rongga dada diatas dibatasi oleh thoracic inlet yaitu bidang yang dibatasi oleh
tulang belakag, iga I dan manubrium sternum, sedangkan dibawah rongga dada
dipisahkan dari rongga perut oleh diafragma. Fungsi dinding dada tidak hanya
melindungi
dada

isi

rongga

namun

juga

menyediakan

fungsi

mekanik pernafasan. Isi


rongga dada adalah organ
vital paru paru dan
jantung.1
Pernafasan
berlangsung

dengan

bantuan

dinding

dada.

gerak
Jaringan

paru

dibentuk oleh jutaan alveolus yang mengembang dan mengempis sesuai dengan
mengembang dan mengecilnya rongga dada. Inspirasi terjadi akibat adanya
kontraksi otot pernafasan, yaitu m. interkostalis dan diafragma, yang

menyebabkan rongga dada membesar dan paru mengembang sehingga udara


terhisap ke dalam alveolus melalui trakea dan bronkus. Sebaliknya, bila
m.interkostalis berelaksasi, dinding dada mengecil kembali sehingga udara
terdorong keluar. Sementara itu, karena tekanan intra abdomen, diafragma akan
naik ketika m.interkostalis tidak berkontraksi. Ketiga faktor ini, yaitu kelenturan
dinding dada, kekenyalan jaringan paru, dan tekanan intraabdomen, menyebabkan
ekspirasi jika m.interkostalis dan diafragma kendur sehingga keadaan inspirasi
tidak bertahan. Dengan demikian ekspirasi merupakan kegiatan yang pasif. 1
Jika terjadi gagal nafas karena otot pernafasan tidak bekerja, ventilasi
paru dapat dilakukan dengan tiupan udara yang cukup kuat agar paru
mengembang bersamaan dengan mengembangnya dada. Kekuatan tiupan harus
melebihi ketiga faktor diatas. Hal ini dilakukan pada ventilasi dengan respirator
atau pada resusitasi dengan nafas buatan dari mulut ke mulut. 2
Adanya lubang didinding dada atau pleura viseralis akan menyebabkan
udara masuk rongga pleura sehingga pleura viseralis terlepas dari pleura parietalis
dan paru tidak lagi mengikuti gerak nafas dinding dada dan diafragma. Hal ini
terjadi pada pneumotoraks. Jika dipasang WSD bertekanan negatif, udara akan
terisap sehingga paru dapat dikembangkan lagi. 2
TRAUMA THORAKS
Pada trauma dada, penyebab cedera harus ditentukan dahulu, kemudian baru
ditentukan macamya, entah cedera tumpul atau tajam. Trauma dada, yang
umumnya merupakan trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas. Trauma tajam terutama oleh tikaman dan tembakan. Cedera dada
sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. 1
Tindakan darurat yang diperlukan ialah pembebasan jalan nafas (airway),
pemberian nafas buatan dan ventilasi ( breathing ), dan pemantauan aktifitas
jantung serta peredaran darah (circulation). Cedera dada yang memerlukan tindak
darurat adalah obstruksi jalan nafas, hematotoraks besar, tamponade jantung,
tension pneumotoraks, flail chest, open pneumotoraks dan kebocoran udara trakea
bronkus. Semua kelainan ini menyebabkan gawat dada akut yang analog dengan

gawat perut akut, dalam arti diagnosis harus ditentukan secepat mungkin dan
penanganan dilakukan segera untuk mempertahankan pernafasan, ventilasi paru
dan pendarahan. Sering kali tindakan yang diperlukan untuk menyelamatkan
pasien bukan merupakan tindakan operatif seperti pembebasan jalan nafas,
aspirasi rongga perikard dan penutupan sementara luka dada. Tindakan darurat
juga mancakup pungsi rongga dada pada tension pneumotoraks, aspirasi
homotoraks massif dan aspirasi perikard jika hematoperikard menyebabkan
tamponade jantung. Akan tetapi, kadang diperlukan torakotomi darurat. Luka
tembus dada harus segera ditutup dengan jahitan kedap udara. 1
Selanjutnya harus
cepat

dicari

diagnosis,

kelainan yang sering terjadi


pada trauma thoraks adalah
Tension

Pneumothoraks,

Simple

Pneumotoraks,

Hemotoraks,
Contusio,
Dimana

Pulmonary

Kolaps

Paru.

kelainan

dapat

dibedakan berdasarkan tabel.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Pemeriksaan


Rontgen dan USG FAST. Pemeriksaan Rontgen merupakan pemeriksaan yang
cepat, mudah, dan dengan biaya yang murah untuk mendiagnosis kelainan rongga
thoraks. Pada saat ini USG FAST (Focussed Assesment in Sonography on
Trauma) harus menjadi pilihan pertama di Unit Gawat Darurat, karena lebih cepat
dan non invasif. Rontgen toraks pada sikap penderita duduk dengan arah sinar
mendatar agar permukaan cairan, jika ada, akan tampak. Bila keadaan umum tidak
memungkinkan penderita duduk, ia dibaringkan pada sisi kanan atau kiri.
Antibiotik diberikan pada luka tembus. 1
Pada penanganan trauma dada, penanganan operatif merupakan indikasi
jika didapati trauma tembus, dan eksplorasi rongga dada hendaknya dilakukan
jika ada dugaan penetrasi ke rongga pleura. Sumber perdarahan harus didiagnosis
seakurat mungkin, seperti trauma pada dinding rongga dada, trauma pada paru,

mediastinum, dan diafragma, serta sumber perdarahan lainnya. Eksplorasi rongga


dada juga sangat berguna dalam penanganan hematotoraks dan kebocoran udara
yang persisten, karena jika keadaan tersebut tidak ditangani dengan baik, angka
kematian, waktu tinggal di rumah sakit dan sekuele akan meningkat. Selain
torakotomi konvensional, video-assisted thoracic surgery (VATS) dapat
digunakan untuk mendiagnosis dan mengoreksi keadaan diatas. 1
Setelah keadaan stabil, perlu dilakukan secondary survey untuk mencari
kelainan lain yang mnyertai seperti fraktur iga, flail chest, kontusio paru, simple
pneumotoraks, simple hemotoraks. Dapat Dilakukan pemeriksaan penunjang
untuk mencari kelainan lain seperti CT scan Thoraks, Bronkoscopy, Angiogram,
Oesophagoscopy . 3
Torakotomi dilakukan dengan beberapa indikasi, diantaranya indikasi
utama, indikasi relatif dan kontraindikasi. Indikasi utama adalah trauma tajam
dengan saksi mata cardiac arrest, hipotensi (BP<70mmHg) dan trauma tumpul
hipotensi ( BP<70mmHg) dan pengeluaran yang cepat dari WSD ( >1500ml).
Indikasi Relatif adalah trauma tajam tanpa saksi mata traumatic arrest, trauma
tajam bukan didada tapi menyebabkan traumatic arrest, Trauma tumpul dengan
traumatic arrest. Kontraindikasi trauma tumpul tanpa traumatic arrest, trauma
tumpul multiple, cedera kepal berat. 3
Epidemiologi
Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan
kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data yang akurat mengenai trauma toraks di
Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun
1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika
didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena
trauma toraks langsung. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga
toraks. Dengan adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas
pada pasien dengan trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail
chest dapat meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69%. 1
Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma
tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan
kendaraan bermotor (63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan
terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat
yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab
trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat
energinya

yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi

sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan
trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan
kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh
karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah
atau pneumotoraks (seperti pada scuba). 1
Gangguan Anatomi Dan Fisiologi Akibat Trauma Toraks
Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat
menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi
terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika
jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit
yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan
anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar
kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan
berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan
anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi,
pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat
menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada
jantung. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat
menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.
Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat
tergantung

kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa

gangguan fungsi

ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat

pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan
faal jantung dan pembuluh darah. 1
PATAH TULANG IGA
Tulang iga umumnya patah di daerah terjadinya benturan atau di daerah yang
struktur tulangnya lemah, biasanya di sudut posterior. Tulang iga ke4 sampai ke
9 adalah yang paling sering terjadi fraktur. Fraktur iga dapat terjadi akibat
penetrasi yang menyebabkan hematopneumotoraks dan darah yang dihasilkan
oleh setiap patahan tulang iga dapat mencapai 100150mL. Fraktur iga ke1 dan
ke2 dapat terjadi akibat benturan dengan yang besar karena kedua tulang iga
tersebut dilindungi oleh otototot yang cukup tebal. Tempat yang paling sering
terjadi fraktur pada iga ke1 adalah di daerah sulkus subklavia dan di bagian
posterior. Morbiditas dan mortalitas fraktur iga berhubungan dengan penyebab
cedera dan jumlah tulang iga yang patah dan rerata komplikasi akan meningkat
seiring dengan jumlah tulang iga yang patah. Posisi fraktur iga di dalam rongga
toraks juga menentukan penyebab terjadinya cedera, seperti fraktur iga bawah
lebih banyak menyebabkan gangguan pada organ abdomen dibandingkan
parenkim paru. Fraktur iga bawah kiri dapat merusak limpa (risiko 2228%),
fraktur iga bawah kanan dapat merusak hati (risiko 1956%) dan fraktur iga ke11
dan ke12 dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Fraktur iga merupakan
masalah besar pada paru dengan insidens 8494% yang berupa hematothorax,
pneumotoraks, dan kontusio paru. 2
Komorbiditas mendapatkan fraktur iga meningkat sesuai dengan
pertambahan umur, seperti pada orang tua dengan umur lebih dari 65 tahun risiko
mortalitinya mencapai 5 kali dan juga meningkatkan insidens terjadinya
pneumonia. Mortalitas dan risiko pneumonia berhubungan dengan jumlah tulang
iga yang patah karena setiap penambahan tulang iga yang patah akan
meningkatkan mortalitas dan pneumonia sekitar 20%. Orang tua dengan fraktur
iga yang disertai penyakit kardiopulmoner akan mudah mendapatkan komplikasi
yang berakibatpada meningkatnya lama masa rawat dan masuk rumah sakit
kembali. Insidens fraktur iga pada anakanak lebih rendah karena tulang iga

anakanak masih cukup lentur dan mekanikme benturan dengan tenaga besar
yang dapat menyebabkan fraktur iga pada anakanak. 1
Fraktur iga umumya terjadi akibat kompresi pada rongga toraks. Fraktur
seringkali terjadi pada putaran 60 derajat dari sternum karena di daerah ini
merupakan lokasi yang lemah dibandingkan lokasi lainnya. Fraktur iga dapat
terjadi segmental dengan salah satu patahan pada posisi 60 derajat dan lainnya di
bagian posterior. 1
Diagnosis patah tulang iga ditentukan berdasarkan gejala dan tanda nyeri
lokal; nyeri lokal yang timbul berupa nyeri kompresi kiri-kanan, muka-belakang
dan nyeri pada gerak nafas. 1
Patah tulang iga dapat berupa patah fraktur tunggal atau multiple. Jika
multiple, bentuk dan gerak dada mungkin masih memadai namun mungkin pula
tidak, contohnya pernafasan paradoksal pada flail chest. Pada patah tulang iga
multiple, dinding dada biasanya masih stabil. Akan tetapi jika beberapa iga patah
di dua tempat, suatu segmen dinding dada akan terlepas dari kesatuannya. Patah
tulang iga segmental ini menimbulkan flail chest. 1
Biasanya penatalaksanaan fraktur iga seperti stabilisasi dengan
pembedahan, tidak langsung pada frakturnya karena fraktur iga cenderung
sembuh dengan hasil yang baik dalam 10
sampai 14 hari. Terapi ditujukan kepada
pencegahan terjadinya masalah gangguan
respirasi. Kerusakan paru dapat terjadi akibat
rasa nyeri yang mengganggu pulmonary
toilet serta kontusio paru atau kombinasi
keduanya. Terapi inisial yang diberikan
berupa mengatasi rasa nyeri yang timbul,
fisioterapi dada dan mobilisasi. Modaliti
untuk mengatasi rasa nyeri berupa terapi
sistemik dengan memberikan narkotik, obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS) dan terapi
Dua jenis fiksasi untuk fraktur iga . a.Judet
Plates b.Sanchez Plates

regional seperti blok tulang iga setempat,


pemasangan

chest

tube

dan

analgesia

epidural. Rasa nyeri juga dapat diatasi dengan pemberian narkotik intravena,
tetapi dapat menyebabkan sedasi, penekanan batuk dan depresi pernapasan yang
mempengaruhi pulmonary toilet. Hal ini sebaiknya dihindari pemakaiannya pada
orang tua karena dapat menyebabkan pneumonia obstruksi. Analgesia epidural
banyak digunakan sebagai terapi regional untuk mengatasi rasa nyeri pada dinding
dada. Meskipun invasif tindakan ini lebih efektif dalam memperbaiki pulmonary
toilet. Modalitas regional lain untuk mengatasi rasa nyeri regional adalah dengan
blok nervus interkostal, analgesia intrapleura melalui chest tube dan blok
paravertebral toraks. 3
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal
napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan
fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat
inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang
berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan
berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi sputum,
atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. 1
Pemeriksaan foto toraks harus dilakukan, bukan hanya untuk
mengidentifikasi jumlah dan beratnya fraktur iga, tetapi juga untuk menilai
apakah ada pneumotoraks, hematothorax ataupun efusi pleura. Analgesia yang
adekuat dan fisioterapi merupakan hal yang penting dalam mencegah komplikasi1.
Berkurangnya rasa nyeri akan memperbaiki pola pernapasan dan
efektifitas batuk. Jika batuk tidak adekuat maka dapat dibantu dengan aspirasi
kateter atau bronchial toilet dengan bronkoskopi dan jika diperlukan dapat
dilakukan intubasi. 1
Penanganan fraktur iga pada dasarnya masuk dalam penatalaksanaan
trauma toraks. Tahap penilainan keadaan pasien dimulai dari primary survey,
tindakan resusitasi, secondary survey, pemeriksaan penunjang (darah dan foto
toraks) dan penilaian skor trauma. Setelah itu dilakukan penilaian status trauma
toraks, mulai dari pengkajian (saturasi O2, pulse oximetry, endtidal CO2, foto
toraks, FAST ultrasound, gas darah arteri), primary survey (obstruksi jalan napas,
pneumotoraks tension, pneumotoraks terbuka, hematothorax, flail chest,

tamponade jantung), secondary survey (fraktur iga, kontusio paru, kerusakan


trakeobronkial, esofagus, diafragma, aorta dan jantung). 3
HEMATOTHORAX
Hematothorax tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding
dada. Luka dipleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Didalam
rongga dada, dapat terkumpul banyak darah tanpa gejala yang menonjol. Kadang,
gejala dan tanda anemia atau syok hipovolemik menjadi keluhan dan gejala yang
pertama muncul. 1
Diagnosis

banding

hematothorax

adalah

semua

kelainan

yang

menyebabkan perdarahan dari sumber nontrauma dirongga dada. 1


Hematothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari
15% dari foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus.
Hematothorax sedang, yaitu yang tampak sebagai bayangan yang menutup 15
35 % pada foto Rontgen, ditangani dengan pungsi dan tranfusi darah. Pada
pungsi, sedapat mungkin semua cairan dikeluarkan. Jika ternyata terjadi
kambuhan, dipasang WSD. Hematothorax besar ( >35%), ditangani dengan WSD
dan tranfusi. WSD dipasang serendah mungkin pada dasar rongga toraks untuk
mengosongkan rongga pleura dan memantau perdarahan. 1
Penanganan
Torakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di
daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis,
kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah
atau udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini
dikerjakan

untuk

menangani

kasus-kasus

pasien

dengan

efusi

pleura,

hematotoraks, pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema,


mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien trauma oleh
karena pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh karena efusi
pleura, 2% oleh karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab3.
Pada pemasangan chest tube dapat timbul komplikasi. Komplikasi yang
tersering berupa perdarahan dan hematothorax yang bersumber dari robeknya
arteri interkostal, perforasi organ viseral (seperti: paru-paru, jantung, diafragma,

atau organ intra abdomen), perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta
atau vena subklavia, neuralgia interkostal oleh karena trauma pada neurovaskuler,
subkutaneus

empisema, reekspansi oedem pulmonary, infeksi luka insisi,

pneumonia dan empiema. Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang pada
chest tube oleh karena bekuan darah, pus atau debris, atau posisi tube yang tidak
benar sehingga fungsi drainase tidak efektif. 1
Thorakotomi pada hemotoraks dikerjakan apabila terjadi hemotoraks
massive, inisial WSD lebih dari 1000 cc atau perdarahan berlanjut dengan 200 cc
tiap 2 jam. 1
FRAKTUR
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak
dibagian tulang yang patah, deformitas ( angulasi, rotasi, diskrepansi ), nyeri
tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya
kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskular. Apabila gejala klasik tersebut
ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasi
frakturnya belum dapat ditentukan. 4
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan jenis dan kedudukan
fragmen fraktur. Foto Rontgen harus memeiliki beberapa syarat, yaitu letak patah
tulang harus diletakkan di bagian pertengahan foto dan sinar harus menembus
tempat ini secara tegak lurus. Bila sinar menembus miring, gambar menjadi
samar, kurang jelas dan berbeda dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar
foto Rontgen dengan arah yang saling tegak lurus. Persendian proksimal maupun
distal harus tercakup dalam satu foto.bila ada kesangsian atas adanya patah tulang,
sebaiknya dibuat foto yang sama dari ekstremitas kontralateral yang sehat untuk
perbandingan. Bila tidak didapatkan kepastian tentang adanya kelainan seperti
fissura sebaiknya foto diulang seminggu setelahnya. Retak akan menjadi nyata
karena hiperemia setempat disekitar tulang yang retak akan tampak sebagai
dekalsifikasi. Osteoporosis pasca trauma merupakan tanda Rontgennologik
normal pasca trauma yang disebabkan oleh hiperemia lokal proses penyembuhan.
Pemeriksaan CT Scan dan MRI kadang diperlukan pada kasus fraktur
vertebra yang disertai gejala neurologis. 5

FRAKTUR KLAVIKULA
Fraktur klavikula sering terjadi pada orang dewasa maupun anak. Fraktur ini
paling sering terjadi akibat jatuh dengan bertumpu pada tangan. Gaya disalurkan
ke lengan, sendi bahu dan selanjutnya ke sendi akromioklavikular. Karena sendi
sternoklavikular terfiksasi, gaya ini mematahkan tulang klavikula - biasanya pada
di tengah klavikula. Setelah terjadi fraktur klavikula, otot sternocleidomastoid
akan meng elevasi bagian medial dari tulang. Otot trapezius tidak dapat menahan
bagian lateral oleh karena berat dari ekstremitas atas dan akan terjadi shoulder
drop. Selain itu, bagian lateral dari klavikula akan ditarik ke medial oleh otot
pectoralis mayor. Tumpang tindih bagian tulang akan mengakibatkan klavikula
yang memendek. 1
Pada
anak,

dewasa

fraktur

biasanya

dan

klavikula

ditangani

secara

konservatif tanpa reposisi yaitu


dengan

pemasangan

Reposisi
apalagi

tidak
pada

malunion

mitela.

diperlukan

anak,

karena

klavikula

jarang

menyebabkan gangguan fungsi


maupun kekuatan bahu. Kalus
yang menonjol kadang secar
akosmetik

menganggu

meskipun lama kelamaan


akan hilang dengan sendirinya.
Yang penting pada penggunaan
mitela adalah letak tangan
lebih tinggi daripada siku. Pemberian analgetik disertai latihan gerak jari dan
tangan langsung dilakukan pada hari pertama diikuti dengan latihan gerak bahu
setelah beberapa hari. Apabila terjadi non-union dilakukan ORIF. 1

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1.

3.2.

Identitas Pasien
Nama
Usia
Jenis kelamin
Alamat
Pekerjaan
Suku
Bangsa
Status
No. Rekam medis
Tanggal MRS

: Ny. IM
: 19 tahun
: Perempuan
: Jalan Kartini
:
:
: Indonesia
: Belum Menikah
: 139604
: 11 April 2016

Anamnesis
Keluhan Utama
: luka tusuk pada punggung kanan
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang sadar diantar oleh temannya ke UGD RSUD Mimika
dengan keluhan luka tusuk pada punggung kanan setelah ditusuk dengan
badik 1 jam SMRS. Pasien mengeluh sesak dan nyeri dada sebelah
kanan saat bernafas. Riwayat pingsan dan muntah tidak ada.
MOI
:
Tusukan langsung punggung kanan dengan badik.
Riwayat penyakit dahulu
:
Pasien tidak pernah memiliki keluhan seperti yang dirasakan saat ini.
Pasien juga tidak ada mempunyai keluhan sesak napas sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik disangkal pasien seperti DM dan hipertensi.
Riwayat pengobatan
:Riwayat sosial
:Pasien merupakan seorang remaja yang kesehariannya lebih banyak
berkumpul dengan teman temannya terkadang sambil mengkonsumsi
minuman keras.

3.3.

Pemeriksaan fisik
Primary Survey:
A: clear (pasien dapat berbicara)
B: spontan, respirasi rate: 28 x/menit, SpO2: 97% udara ruangan
Status lokalis regio thorax:
- I : simetris, jejas (+) regio thorax posterior dextra medial setinggi
ICS 5 , edema (-), perdarahan aktif (-), deformitas (-)
- P : nyeri tekan (+), vocal fremitus /N, edema (-), krepitasi (-)
- P : redup (setinggi ICS 5), hipersonor (ICS 1-5) / sonor
- A : pulmo: suara pernafasan kanan menurun, vesikuler (-/-),

rhonki (-/-), wheezing (-/-)


cor: s1 s2 tunggal reguler murmur (-)
Assessment: Vulnus ictum regio thorax posterior dekstra
Hematopneumothorax dekstra
Penatalaksanaan:
- Chest tube dengan inisial produksi 500 cc
- Rawat luka, jahit luka
Evaluasi thorax:
Respirasi rate: 28x/menit SpO2: 97% dengan O2 liter permenit via NC
Status lokalis regio thorax:
- I: simetris, jejas (+) regio thorax posterior dextra medial setinggi
ICS 5 , edema (-), perdarahan aktif (-), deformitas (-), terpasang
WSD 500 cc
- P: nyeri tekan (+), vocal fremitus (perbaikan)/N, edema (-), krepitasi
(-)
- P: redup (setinggi ICS 6), sonor / sonor
- A : pulmo: suara pernafasan kanan membaik, vesikuler (-/-),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
cor: s1 s2 tunggal reguler murmur (-)
Assessment: Vulnus ictum regio thorax posterior dekstra
Hematopneumothorax dekstra post chest tube
C: Tekanan darah : 81/50 mmHg
Nadi: 115 x/menit
Assessment: syok hipovolemik
Penatalaksanaan: medical resusitasi loading RL 1500 liter
Evaluasi: Tekanan darah: 100/70 mmHg
Nadi: 112x/menit
Assessment: syok hipovolemik rapid response
D: Alert
Secondary Survey:
VAS : 6
GCS: E4V5M6
Status general:
Kepala
: normochepaly
Mata
: an -/-, reflek pupil +/+ isokor diameter 2,5mm
THT
: dalam batas normal
Leher
: dalam batas normal
Thorax
: ~ status lokalis
Abdomen : dist (-), jejas (-), hematome (-), bising usus (+)N, defans (-)
Ekstremitas : hangat, CRT < 2 detik
Status lokalis
Regio thorax posterior dekstra
- L : luka tusuk (+) 4x2,5x5cm, perdarahan aktif (-), deformitas
(-), edema (-),
- F : nyeri tekan (+), krepitasi (-), edema (-)

3.4.

Assessment
Vulnus ictum regio thorax posterior dekstra
Hematopneumothorax dekstra post chest tube

3.5.

Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu: foto thorax AP
(sebelum & sesudah chest tube), pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis,
DDR, Golongan darah.

Foto Thorax AP (sebelum chest tube)

Kesan:
- Air fluid level setinggi ICS 5 hemithoraks dekstra
- Gambaran hiperlusen dengan gambaran corakan bronkovaskuler hilang
-

setinggi ICS 1-5


Sinus kostofrenikus dan hemidiafragma dekstra terselubung

Foto Thorax AP (post chet tube)

Kesan:
-

Terpasang chest tube pada hemithorax dekstra ujung setinggi ICS 5


Corakan bronkovaskuler hemithoraks dekstra
Sinus kostofrenikus dan hemidiafragma dekstra terselubung

Pemeriksaan Laboratorium
DL

Jenis Pemeriksaan

Hasil

Keterangan

Satuan

Nilai Normal

WBC

8,45

Normal

103/L

5,0 - 10,0

LYM

2,52

Normal

103/L

0,9 - 5,2

NEU

4,76

Normal

103/L

1,8 - 8

MONO

0,88

Normal

103/L

0,16 - 1

EOS

0,27

Normal

103/L

0,045 - 0,44

BASO

0,02

Normal

103/L

0-1

LYM%

29,8

Normal

20 - 40

NEU

56,4

Normal

50 - 70

MONO

10,4

High

2-8

EOS

3,2

High

1-3

BASO

0,2

Normal

0-1

RBC

4,25

Normal

106/L

4,0 - 5,5

HGB

10,0

Low

g/dL

11,5 - 16,5

HCT

31,7

Low

36 - 47

MCV

74,6

Low

fL

80 - 97

MCH

23,5

Low

Pg

28 38

MCHC

31,5

Low

g/dL

32 36

PLT

369

Normal

103/L

150 450

DDR : (-) negatif


Golongan darah O
3.6.

Diagnosis
Vulnus ictum regio thorax posterior dekstra
Hematopneumothorax dekstra post chest tube
Syok hipovolemik rapid response

3.7.

Penatalaksanaan
O2 2 lpm via NC
IVFD RL 2000 cc/24 jam
Inj. Antrain 1 gr/8 jam /IV
Inj. Asam Traneksamat 1 gr/8 jam/IV
Inj. Ceftriaxon 1gr/8 jam/IV

3.8.

Rencana transfusi PRC 1 unit


Observast TTV dan produksi WSD

Follow up
Tanggal

SOA

Planning

12/8/2014 S: nyeri dada (+), nyeri saat napas - O2 8 lpm (sungkup)


- IVFD RL 28 tpm
(+),
- Morphin 1mcg/jam
- Cefotaxime 3x1gr IV
O: vital sign
- Paracetamol 4x1gr
TD: 115/84 mmHg
IV
RR: 22 x/menit
- Kalnex 3x1gr IV
SpO2: 99 %
- Vit k 3x2amp IV
Nadi: 92 x/menit
0
- Ketorolac 3x30mg
T ax: 36,1 C
IV
- Tranfusi PRC 3 kolf
Status general :

Kepala
:
normocephali

Mata : an -/-, ikt -/-, CM:


Rp +/+ isokor

THT : dalam batas


normal

Thoraks : ~ status
lokalis
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N,
H/L ttb

Extremitas : akral
hangat (+),sianosis(-)
Status lokalis :
Regio shoulder dekstra
- L: deformitas (+), edema (+), jejas
(-), pin point (-)
- F: nyeri tekan (+), krepitasi (+),
edema (+)
- M: Regio thorax
- I: simetris, jejas (-), edema (-),
hematom (-), deformitas (-),
terpasang WSD
- P: nyeri tekan (+), vokal fremitus
N/N, edema (-)
- P: sonor / sonor
- A: cor: s1 s2 tunggal reguler
murmur (-)

- 1900cc
CK:
- 180cc
Prod. WSD: 50cc

pulmo: bronkial(+/-), rhonki (+/-),


wheezing (-/-)

A : CF costa 1,2,3,4,6,7 lateral

dekstra
Hematothorax dekstra post WSD
CF klavikula 1/3 lateral
13/8/2014 S: nyeri dada (+), nyeri saat napas - O2 8 lpm (sungkup)
- IVFD RL 28 tpm
(+),
- Morphin 1mcg/jam
- Cefotaxime 3x1gr IV
O: vital sign
- Paracetamol 4x1gr
TD: 123/84 mmHg
IV
RR: 22 x/menit
Kalnex 3x1gr IV
SpO2: 97 %
- Vit k 3x2amp IV
Nadi: 90 x/menit
0
- Ketorolac 3x30mg
T ax: 36,1 C
IV
Status general :

Kepala
:
CM:
normocephali

Mata : an -/-, ikt -/-,


- 1800cc
Rp +/+ isokor
CK:

THT : dalam batas


normal
- 1500cc

Thoraks : ~ status Prod. WSD: 50cc


lokalis
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N, Pdx/
H/L ttb
DL:

Extremitas : akral WBC: 11,7


hangat (+),sianosis(-)
Gran%: 81,3
Status lokalis :
HB: 10,3
Regio shoulder dekstra
PLT: 93
- L: deformitas (+), edema (+), jejas HCT: 31,1
(-), pin point (-)
- F: nyeri tekan (+), krepitasi (+),
edema (+)
- M: Regio thorax
- I: simetris, jejas (-), edema (-),
hematom (-), deformitas (-),
terpasang WSD
- P: nyeri tekan (+), vokal fremitus
N/N, edema (-)
- P: sonor / sonor

- A: cor: s1 s2 tunggal reguler


murmur (-)
pulmo: bronkial(+/-), rhonki (+/-),
wheezing (-/-)

A : CF costa 1,2,3,4,6,7 lateral

dekstra
Hematothorax dekstra post WSD
CF klavikula 1/3 lateral
14/8/2014 S: nyeri dada (+), nyeri saat napas - O2 8 lpm (sungkup)
- IVFD RL 28 tpm
(+),
- Morphin 1mcg/jam
- Cefotaxime 3x1gr IV
O: vital sign
- Paracetamol 4x1gr
TD: 130/80 mmHg
IV
RR: 22 x/menit
Kalnex 3x1gr IV
SpO2: 99 %
- Vit k 3x2amp IV
Nadi: 84 x/menit
- Ketorolac 3x30mg
T ax: 36,40C
IV
- Adona 3x1 amp
Status general :

Kepala
:
normocephali

Mata : an -/-, ikt -/-, CM:


Rp +/+ isokor
- 1500cc

THT : dalam batas


CK:
normal

Thoraks : ~ status - 16500cc


lokalis
Prod. WSD: Abdomen : Distensi (-), BU (+) N,
H/L ttb

Extremitas : akral
hangat (+),sianosis(-)
Status lokalis :
Regio shoulder dekstra
- L: deformitas (+), edema (+), jejas
(-), pin point (-)
- F: nyeri tekan (+), krepitasi (+),
edema (+)
- M: Regio thorax
- I: simetris, jejas (-), edema (-),
hematom (-), deformitas (-),
terpasang WSD
- P: nyeri tekan (+), vokal fremitus

N/N, edema (-)


- P: sonor / sonor
- A: cor: s1 s2 tunggal reguler
murmur (-)
pulmo: bronkial(+/-), rhonki (+/-),
wheezing (-/-)

A : CF costa 1,2,3,4,6,7 lateral

dekstra
Hematothorax dekstra post WSD
CF klavikula 1/3 lateral
15/8/2014 S: nyeri dada (+), nyeri saat napas - O2 8 lpm (sungkup)
- IVFD RL 28 tpm
(+),
- Morphin 1mcg/jam
- Cefotaxime 3x1gr IV
O: vital sign
- Paracetamol 4x1gr
TD: 132/78 mmHg
IV
RR: 18 x/menit
- Kalnex 3x1gr IV
SpO2: 99 %
- Vit k 3x2amp IV
Nadi: 84 x/menit
0
- Ketorolac 3x30mg
T ax: 36,4 C
IV
- Adona 3x1 amp
Status general :

Kepala
:
normocephali

Mata : an -/-, ikt -/-, CM:


Rp +/+ isokor

THT : dalam batas


normal

Thoraks : ~ status
lokalis
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N,
H/L ttb

Extremitas : akral
hangat (+),sianosis(-)
Status lokalis :
Regio shoulder dekstra
- L: deformitas (+), edema (+), jejas
(-), pin point (-)
- F: nyeri tekan (+), krepitasi (+),
edema (+)
- M: Regio thorax
- I: simetris, jejas (-), edema (-),
hematom (-), deformitas (-),

- 1700cc
CK:
- 1500cc
Prod. WSD: -

terpasang WSD
- P: nyeri tekan (+), vokal fremitus
N/N, edema (-)
- P: sonor / sonor
- A: cor: s1 s2 tunggal reguler
murmur (-)
pulmo: bronkial(+/-), rhonki
(+/-), wheezing (-/-)

A : CF costa 1,2,3,4,6,7 lateral

dekstra
Hematothorax dekstra post WSD
CF klavikula 1/3 lateral
16/8/2014 S: nyeri dada (+), nyeri saat napas - O2 8 lpm (sungkup)
- IVFD RL 28 tpm
(+),
- Morphin 1mcg/jam
- Cefotaxime 3x1gr IV
O: vital sign
- Paracetamol 4x1gr
TD: 126/69 mmHg
IV
RR: 18 x/menit
- Kalnex 3x1gr IV
SpO2: 99 %
- Vit k 3x2amp IV
Nadi: 76 x/menit
0
- Ketorolac 3x30mg
T ax: 36,5 C
IV
- Adona 3x1 amp
Status general :

Kepala
:
normocephali

Mata : an -/-, ikt -/-, CM:


Rp +/+ isokor

THT : dalam batas


normal

Thoraks : ~ status
lokalis
Abdomen : Distensi (-), BU (+) N,
H/L ttb

Extremitas : akral
hangat (+),sianosis(-)
Status lokalis :
Regio shoulder dekstra
- L: deformitas (+), edema (+), jejas
(-), pin point (-)
- F: nyeri tekan (+), krepitasi (+),
edema (+)
- M: Regio thorax

- 1750cc
CK:
- 1550cc
Prod. WSD: Pdx/
DL:
WBC: 11,7
Gran%: 81,3
HB: 10,3
PLT: 93
HCT: 31,1

- I: simetris, jejas (-), edema (-),


hematom (-), deformitas (-),
terpasang WSD
- P: nyeri tekan (+), vokal fremitus
N/N, edema (-)
- P: sonor / sonor
- A: cor: s1 s2 tunggal reguler
murmur (-)
pulmo: bronkial(+/-), rhonki
(+/-), wheezing (-/-)

A : CF costa 1,2,3,4,6,7 lateral

dekstra
Hematothorax dekstra post WSD
CF klavikula 1/3 lateral

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada trauma dada, penyebab cedera harus ditentukan dahulu, kemudian baru
ditentukan macamnya, entah cedera tumpul atau tajam. Trauma dada, yang
umumnya merupakan trauma tumpul, kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas. Trauma tajam terutama oleh tikaman dan tembakan. Cedera dada
sering disertai dengan cedera perut, kepala dan ekstremitas sehingga merupakan
cedera majemuk. Pada kasus trauma yang dialami maka penatalaksanaan yang
harus diberikan adalah sebagai berikut: Penatalaksanaan awal pasien di ruang
resusitasi pada umumnya sesuai dengan tata cara penanganan pasien trauma yaitu
mulai dari tahapan primary survey, resusitasi, secondary survey dan pemeriksaan
penunjang. Pasien dalam keadaan cukup stabil (tanda vital). Pemeriksaan foto
toraks menunjukkan ada fraktur iga multipel, dan hematothoraks. Pasien
dilakukan pemasangan chest tube kanan dan pasca tindakan dirawat di ruang
observasi intensif. Setelah beberapa hari dirawat di ICU diputuskan untuk
dilakukan pemasangan fiksasi interna.
Masalah yang pertama kali dihadapi (primary survey) adalah (1) peningkatan
respirasi rate (2) syok hipovolemik, (3) hematotoraks kanan, (4) fraktur iga
multipel kanan dan (5) fraktur klavikula. Tindakan yang dilakukan pada saat
pertama kali pasien diterima di instalasi gawat darurat belum sesuai penanganan
pasien trauma, dimana saat melakukan primary survey pasien terlihat sesak,
respirasi rate meningkat dan dievaluasi apa yang menyebabkan pasien sesak.
Disana terlihat pergerakan dada yang asimetris yaitu dada kanan tertinggal saat
inspirasi, suara napas pada paru kanan melemah. Seharusnya pasien dievaluasi
terlebih dahulu pada bagian primary survey (breathing) namun pada kasus,
langsung ke tahapan berikutnya yaitu circulation. Pada circulation, juga
ditemukan penurunan tekanan darah yaitu 90/70 mmHg dengan nadi yang
meningkat 104x/menit. Pada saat ditemukan hal ini, langsung dilakukan medical
resuscitation dengan jalan pemberian cairan sebanyak 2 liter RL dan berespon
pada peningkatan tekanan darah menjadi 112/80 mmHg dan nadi turun menjadi
88x/menit. Oleh karena itu berarti pasien terjadi syok hipovolemik dan
kemungkinan terjadi perdarahan akut pada pasien yang tidak terlihat. Setelah

circulation teratasi pasien dilakukan foto thorax AP dan ditemukan bahwa pasien
mengalami fraktur iga multiple disertai perselubungan hemithorax dekstra.
Setelah diketahui hal tersebut pasien dilakukan thorakosentesis untuk mengetahui
cairan apa yang terdapat pada paru kanan pasien. Pada thorakosentesis dengan
menggunakan spuit 5 cc didapatkan cairan berwarna kemerahan (darah). Pasien
dilakukan pemasangan thorax drain (WSD) dan setelah itu dirawat di ruang
intensif.
Sesuai dengan teori seharusnya tindakan yang dilakukan pada saat pertama
kali adalah tangani primary survey sesuai dengan urutannya airway, breathing,
circulation dan disability. Seperti pada airway pemberian O2 untuk oksigenasi.
Breathing dengan pemasangan chest tube untuk mengevakuasi cairan di rongga
pleura sehingga masalah restriksi dapat dikurangi. Circulation pemberian cairan
dan transfusi darah untuk mengatasi syok dan anemia, dan dapat diberi tambahan
pemberian morfin untuk mengatasi rasa nyeri. Setelah tindakan resusitasi
dilakukan maka masuk tahapan secondary survey guna menentukan diagnosis
pasti dengan melakukan pemeriksaan fisis yang menyeluruh diikuti dengan
pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Seharusnya pemeriksaan foto thorax
dilakukan setelah seluruh pemeriksaan fisis dikerjakan. Pada pasien ini
pemeriksaan foto thorax dilakukan lebih awal kemungkinan untuk menentukan
masalah (diagnosis) sesungguhnya secepat mungkin sehingga komplikasi yang
mungkin terjadi dapat segera dicegah. Foto toraks diperlukan karena sebagian
besar pasien dengan trauma dada merupakan cedera multipel sehingga
pemeriksaan fisis kadangkala menjadi sulit dilakukan. Seringkali dijumpai kasus
trauma toraks dengan pneumotoraks atau hemotoraks yang tidak terdiagnosis pada
saat penilaian awal. Pemeriksaan foto toraks pada pasien dengan fraktur iga
dilakukan dalam 10 menit setelah pasien pertama kali datang tanpa menghambat
pertolongan pada pasien. Interpretasi yang cepat dan akurat hasil foto toraks
diperlukan untuk menghindari hilangnya petunjuk yang dapat menyelamatkan
nyawa pasien. Sensitifitas foto toraks dalam mendeteksi fraktur iga berkisar 20
50%. Pemeriksaan foto toraks yang harus dilakukan adalah dari posisi lateral dan
frontal. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan foto toraks lateral sehingga
diagnosis hanya fraktur iga multiple saja dan kemungkinan terjadinya fraktur iga
segmental masih belum dapat disingkirkan. Pemeriksaan laboratorium memang

dilakukan setelah secondary survey dikerjakan termasuk pemeriksaan analisis gas


darah. Analisis gas darah diperlukan untuk menetukan apakah pasien dengan
trauma toraks harus dilakukan intubasi atau tidak. Pasien dilakukan tindakan
bedah berupa pemasangan fiksasi interna tulang iga yang patah. Tindakan bedah
harus dilakukan karena sudah terjadi cedera toraks, kontusio paru dan gangguan
respirasi. Waktu yang tepat kapan seharusnya dilakukan fiksasi fraktur pada
trauma dada sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Fiksasi yang dilakukan
pada saat awal menurunkan kejadian inflamasi di daerah cedera, menurunkan rasa
nyeri dan penggunaan opiat. Penelitian menunjukkan bahwa fiksasi akan
mengurangi komplikasi paru dan mempercepat mobilisasi. Tetapi morbiditi dan
mortaliti tetap tinggi jika trauma dada disertai dengan trauma di organ lain, seperti
kepala, akibat keluarnya sumsum tulang yang mempengaruhi sistem pulmoner
dan susunan saraf pusat. Fiksasi hanya dapat dilakukan jika semua proses
resusitasi telah dilaksanakan dengan baik. Hasil pemeriksaan foto toraks juga
didapatkan ada fraktur klavikula kanan. Fraktur klavikula umumnya terjadi akibat
kecelakaan lalu lintas terutama para pengguna kendaraan roda dua. Fraktur
klavikula pada umumnya akan sembuh sendiri dengan penanganan konservatif
dengan pemasangan collarandcuff sling dan hanya sedikit yang memerlukan
tindakan bedah.
Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hematothoraks dan seberapa cepat
penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera maka kondisi
pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi darah di rongga
thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan mendorong mediastinum serta
trakea ke sisi yang sehat.

BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang didapat pada kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Trauma thoraks terjadi hampir 50% dari seluruh kasus kecelakaan dan
merupakan penyebab kematian terbesar (25%).
2. Diagnosis dan penatalaksanaan pada kasus hematothorax harus dilakukan
secara dini agar tidak meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas.
3. Tujuan utama terapi dari hemothoraks adalah untuk menstabilkan
hemodinamik pasien, menghentikan perdarahan dan mengeluarkan darah
serta udara dari rongga pleura. Langkah

pertama untuk menstabilkan

hemodinamik adalah dengan resusitasi seperti diberikan oksigenasi, cairan


infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan antibiotik.
4. Prognosis berdasarkan pada penyebab dari hematothoraks dan seberapa
cepat penanganan diberikan. Apabila penanganan tidak dilakukan segera
maka kondisi pasien dapat bertambah buruk karena akan terjadi akumulasi
darah di rongga thoraks yang menyebabkan paru-paru kolaps dan
mendorong mediastinum serta trakea ke sisi yang sehat.

TINJAUAN PUSTAKA
1. Jong, De, Sjamsuhidayat. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed 3.2002. Jakarta :
EGC
2. Ahmed Hesham. Thoracic trauma.ppt. Robert Wood Johnson Medical
School. Assesed on 05 Aug 2014
3. Moore, Keith. Agus, Anne. Essential Clinical Anatomy 3rd Ed. 2007.
Lippincot Wiliams & Wilkins

4. Roben, Johannes et all. Color Atlas of Antomy. 2010. Lippincot


Wiliams & Wilkins
5. Prasenohadi, Sunartomo, Tommy. Penatalaksanaan Pasien Trauma
dengan Fraktur Iga Multiple.2010.

Anda mungkin juga menyukai