Anda di halaman 1dari 25

Trauma Laring dan Trakea

Posted on 9 August 2012 by ArtikelBedah


Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah
kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan.
Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat
dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif.
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan
resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal sistem
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure/Environmental
control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas
utama penanganan adalah menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu,
trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan penanganan yang cepat dan
efektif

untuk

menghindari

akibat

yang

tidak

diinginkan.

Insiden trauma laringotrakea sangat jarang terjadi dan biasanya terjadi bersama
dengan kasus trauma dada seperti trauma penetrasi, tapi penyebab tersering adalah
trauma tumpul thorax atau leher. Kebocoran udara dari tempat trauma pada trauma
laringotrakea bisa menyebar kemediastinum dan terus kevena-vena besar.
Penyebabnya dapat diklasifikasikan menjadi trauma inhalasi, trauma intubasi,
trauma tajam, trauma tumpul dan penyebab lainnya, seperti iatrogenic injuries,
electrical injuries, caustic injuries dan lain-lain. Tujuan utama penanganan adalah
menjaga jalan napas tetap adekuat. Penatalaksanaan trauma laringotrakea dapat

secara konservatif maupun pembedahan. Morbiditas dan mortalitas akibat trauma


ini masih cukup tinggi, namun dengan diagnosis yang cepat dan tatalaksana yang
tepat akan memberikan hasil yang baik.
II.1. Anatomi
Laring di bawah bersambung dengan trakea, kerangka laring dibentuk oleh beberapa
tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis, tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan
oleh ligamentum dan digerakkan oleh otot.
Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus laringeus
internus cabang dari nervus laringeus superior sedangkan di bawah plika vokalis
disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot intrinsik laring
melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus yang dipersarafi
oleh nervus laringeus eksternus Pendarahan laring bagian atas dipasok oleh ramus
laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan
bagian bawah oleh ramus laringeus inferior dari a.tiroidea inferior.
Trakea adalah saluran napas kelanjutan dari laring yang panjangnya berkisar 11 cm,
dimulai dari batas bawah kartilago krikoid sampai karina. Trakea disusun oleh
kartilago yang berbentuk cincin C, berjumlah 18-22, kira-kira terdiri dari 2 cincin
tiap 1 cm.7 Sebagian besar trakea terletak di rongga torak. Pada posisi leher
hiperekstensi, setengah trakea akan nampak di daerah leher. Aliran darah trakea
dipasok dari banyak pembuluh arteri terminalis kecil. Trakea bagian atas

dipendarahi terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior, sedangkan bagian bawah
oleh cabang arteri bronkialis. Pembuluh-pembuluh darah tersebut memasuki trakea
melalui pedikel-pedikel lateral yang sangat halus dan sedikit kolateral. Bidang
pretrakeal dan bidang antara trakea dan esofagus adalah bidang yang avaskular.
Pada bagian anterior terdapat glandula tiroid, pembuluh darah arteri, vena, dan
otot-otot daerah anterior leher. Esofagus berada di posterior laringotrakea dan diapit
oleh vertebra servikalis. Struktur anatomi tersebut menjelaskan mekanisme trauma
tumpul laringotrakea sehingga laringotrakea terjepit diantara vertebra servikal dan
benda yang menyebabkan trauma. Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona
pada trauma penetrasi atau trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap
pembuluh darahnya.

Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea
dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri
subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus
torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini
berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis
interna, laring, hipofaring, nervus X,XI,XII, dan medula spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri

karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula
spinalis.
INSIDEN
Angka kejadian kasus trauma laringotrakea dilaporkan bervariasi namun cenderung
meningkat. Trauma laringotrakea merupakan kasus yang jarang dan 80% kasus
terjadi pada 2,5 cm diatas carina.
Dalam suatu studi population based oleh Jewett dkk, insiden trauma laringotrakea
adalah 1:137.000.11 Schaefer melaporkan insiden trauma laringotrakea (TLT) adalah
1 dari 30.000 kasus trauma tumpul yang datang ke UGD.3 Bent dkk melaporkan 1
kasus TLT dari 5000 kasus trauma tumpul dan tajam yang datang ke UGD. Gussack
dkk melaporkan insidennya < 1% dari semua kasus trauma. Sabina dkk melaporkan
23 kasus TLT selama 1992-1998, 12 kasus cedera laring, 8 kasus cedera trakea dan 3
kasus mengenai keduanya. Sembilanbelas dari 23 kasus akibat trauma tajam
(82,6%), 4 kasus akibat trauma tumpul.11 Hal ini sesuai dengan penemuan dari Lee
bahwa insiden trauma laringotrakea berkisar 2-4 kasus/tahun. Shelly dkk,
mendapatkan 65 kasus trauma laringotrakea dari 700 kasus trauma leher dalam
kurun waktu 27 tahun (1947-1974). Sebelas dari 65 kasus tersebut (1,6%) mengalami
trauma tumpul dan 54 sisanya (7,6%) mengalami trauma tembus. TLT lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada wanita. Symbas melaporkan perbandingannya
adalah 5:1, dan lebih sering ditemukan pada usia produktif (19-40 tahun).

Kemungkinan hal tersebut disebabkan karena laki-laki lebih tinggi mobilitasnya


dibandingkan dengan wanita.
PENYEBAB DAN MEKANISME TRAUMA
Trauma laringotrakea disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,
trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. TLT akibat trauma tumpul
semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman
kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin
meningkat sehingga persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin sering.3.
Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat
dibanding trauma tajam.

Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung
mencederai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran napas bawah.
Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang
menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.

Trauma Intubasi
Trauma akibat intubasi bisa disebabkan karena trauma langsung saat pemasangan
atau pun karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi

nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang
berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma
yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi. Trauma intubasi paling sering menyebabkan
sikatrik kronik dengan stenosis, juga dapat menimbulkan fistula trakeoesofageal,
erosi trakea oleh pipa trakeostomi, fistula trakea-arteri inominata, dan ruptur
bronchial (gambar 5). Jumlah pasien yang mengalami trauma laringeal akibat
intubasi sebenarnya masih belum jelas, namun sebuah studi prospektif oleh Kambic
dan Radsel melaporkan kira-kira 0.1 % pasien.

Penggunaan pipa endotrakea dengan cuff yang bertekanan tinggi merupakan etiologi
yang paling sering terjadi pada intubasi endotrakea. Penggunaan cuff dengan volume
tinggi tekanan rendah telah menurunkan insiden stenosis trakea pada tipe trauma
ini, namun trauma intubasi ini masih tetap terjadi dan menjadi indikasi untuk
reseksi trakea dan rekonstruksi. Selain faktor diatas ada beberapa faktor resiko yang
mempermudah terjadinya laserasi atau trauma intubasi. Tabel Faktor resiko
terjadinya trauma intubasi

Faktor resiko yang pasti


Wanita

Faktor resiko yang masih


mungkin
Penggunaan kortikosteroid

Dugaan, belum terbukti


sebagai faktor resiko
Trakeostomi perkutan

Trakeomalacia

Posisi yang salah dari tube

Kondisi medis yang buruk


Usia > 50 tahun

Tube dengan lumen ganda

Kesalahan penggunaan
mandrain
Perawakan pendek

Pengembangan balon / cuff Batuk yang terlalu keras dan


berlebihan
berlebihan
Obesitas.

Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan
oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan
pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laringotrakea yang kemudian
membentur kemudi, handle bars atau dash board (gambar 6). Trauma tumpul lebih
sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit di
antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan darikendaraan dan terhimpit di antara
kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring,
sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea
atau laringotrakea. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea
tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada

dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau bronkus,
biasanya 2,5 cm dari karina.

Trauma tumpul pada kecelakaan rumah tangga biasanya akibat tangkai pompa air
dragon yang terlepas dari pegangan dan membalik menghantam leher bagian depan.
Kirsk dan Orringer serta beberapa penulis lain menyatakan bahwa trauma langsung
pada leher bagian depan dapat mengakibatkan rusaknya cincin trakea maupun
laring. Berkowitz melaporkan trauma tumpul langsung pada daerah leher dapat
menyebabkan ruptur trakea pars membranosa. Hal ini terjadi akibat tekanan
intraluminer yang mendadak tinggi pada posisi glotis yang tertutup akan menyobek
bagian trakea yang terlemah (trakea pars membranosa). Mekanisme lain yang cukup
berperan adalah trauma tumpul akan menekan kartilago trakea yang berbentuk U ke
tulang vertebrae, hal ini menjelaskan kenapa laserasi yang terjadi cenderung sesuai
level dari trumanya.
Trauma tumpul laringotrakea pada anak jarang dijumpai dan bila dijumpai biasanya
jarang menimbulkan kerusakan/fraktur kartilago, kecuali trauma yang didapat
cukup keras. Hal tersebut disebabkan karena rawan pada laringotrakea anak-anak
masih sangat elastis dibandingkan dengan orang dewasa. Namun kerusakan jaringan
lunak (edema dan hematom) yang terjadi pada anak-anak dengan trauma tumpul
laringotrakea jauh lebih hebat dibanding pada dewasa, hal ini disebabkan karena

struktur fibroa yang jarang dan lemahnya perlekatan jaringan submukosa dengan
perikondrium.
Penyebab yang lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada
trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan
tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada
bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang
bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan diantara cincin
trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang mendadak.
Pada trauma tumpul dan tembak semua kerusakan berbentuk stelata, seperti
dikatakan oleh Boyd dkk., bahwa trauma tembak akan mengakibatkan kerusakan
yang besar karena energi kinetik yang disebabkan oleh peluru. Demikian juga halnya
dengan trauma tumpul. Energi yang diterima permukaan tubuh akan dihantarkan ke
sekitarnya sehingga dapat merusak jaringan sekitarnya. Berbeda dengan trauma
tajam, permukaan tubuh yang menerima energi lebih kecil. Selain itu energi yang
diterima hanya diteruskan ke satu arah saja.
Mekanisme cedera laringotrakea akibat trauma tumpul dapat disimpulkan menjadi
empat yaitu: penurunan diameter anteroposterior rongga thoraks, deselerasi yang
cepat, peningkatan mendadak tekanan intraluminal laringotrakea pada glotis yang
tertutup dan trauma benturan langsung.
Trauma Tajam

Trauma laringotrakea sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk. Crowded urban
menurut beberapa penulis memang merupakan penyumbang terbanyak pada trauma
laringotrakea selain jalan bebas hambatan. Para penulis menyimpulkan bahwa
trauma tembus tajam dan trauma tembus tembak cenderung semakin meningkat
terutama karena kejahatan.
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas,
trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka
tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas
bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian
pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan oleh trauma
vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.
Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laringotrakea adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Selain penyebab di atas,
pernah dilaporkan adanya trauma laringotrakea akibat : iatrogenik injuries

(mediastinoskopi, transtracheal oxygen therapy, mechanical ventilation), pisau


cukur, strangulasi, electrical injury, luka bakar, dan caustic injury.
PATOLOGI PADA SALURAN NAPAS ATAS
Cairan edema dapat cepat terkumpul di submukosa supraglotis dan subglotis.
Pembengkakan daerah endolaring subglotis cenderung melingkar sehingga akan
menimbulkan obstruksi saluran napas. Masuknya udara ke dalam ruang submukosa
akan lebih mengurangi diameter laring dan trakea. Udara di dalam jaringan lunak
(emfisema) akan menyebabkan emfisema epiglotis dan penyempitan saluran napas
supraglotis.
Edema submukosa dan pembentukan hematom terjadi dalam beberapa jam setelah
trauma. Oleh karena itu tidak mungkin obstruksi jalan napas baru terjadi setelah 6
jam pasca trauma. Banyak faktor yang mempengaruhi tipe / jenis cedera yang terjadi
pada saluran napas seperti arah dan kekuatan gaya, posisi leher, umur, konsistensi
kartilago laringotrakea dan jaringan lunaknya. Cedera yang terjadi dapat berupa
kontusio laringotrakea, edema, hematom, avulsi, fraktur dan dislokasi kartilago
tiroid, krikoid serta trakea.
CEDERA IKUTAN
Cedera yang menimbulkan kerusakan berat pada daerah laringotrakea dapat dengan
mudah menimbulkan kerusakan pada cervical spine, esofagus dan struktur
pembuluh darah. Sedikitnya 10%-50% pasien dengan cedera tumpul saluran napas

mengalami cedera cervical spine. Oleh karena itu cedera cervical spine harus
dicurigai terjadi sampai terbukti tidak ditemukan.
Pasien dengan trauma tumpul laringotrakea juga sering disertai cedera kepala
tertutup dan cedera maxillofacial, sehingga terkadang ada dugaan yang salah bahwa
obstruksi jalan napas yang terjadi disebabkan oleh cedera kepalanya.
Grewal dkk menemukan bahwa 86% pasien dengan trauma tajam jalan napas
disertai dengan trauma toraks, esofagus, struktur vaskuler maupun saraf. Lebih
lanjut, Jewwet menemukan cedera tumpul laringotrakea disertai trauma kepala
(17%), trauma medula spinalis servikal (13%), trauma toraks (13%) dan trauma
faringoesofageal (3%). Trauma terhadap nervus laringeus rekuren lebih sering
terjadi pada trauma cricotracheal separation. Trauma esofagus terjadi pada 25%
pasien dengan trauma tajam saluran napas namun sering telat didiagnosis. Oleh
karena itu, pada evaluasi awal harus diperhatikan ada tidaknya cedera pada vertebra
cervikal, faring, esofagus maupun cedera kepala. Seperti disebutkan diatas, pasien
dengan trauma tajam/tembus laringotrakea sering disertai trauma vaskuler,
esofagus dan trauma toraks.
DIAGNOSIS
Trauma jalan napas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung
mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis
trauma laringotrakea adalah mekanisme cedera dan harus waspada terhadap tanda

seperti kontusio lokal, emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor


inspirasi / hoarseness), distress pernapasan dan hemoptisis.
Pada trauma laringotrakea, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah
sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada),
sianosis, gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke
perlukaan jalan nafas.
Tanda yang sudah pasti yaitu adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada
tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di
tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang
mengembang pada saat batuk.1 Namun ada juga yang melaporkan bahwa 25%
pasien dengan trauma laringotrakea yang memerlukan tindakan pembedahan
ternyata tidak menunjukkan gejala dan tanda hingga 24-48 jam pasca trauma.
Diagnosis trauma laringotrakea biasanya tidak terlambat jika intubasi emergensi
segera dilakukan.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman
benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan
penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid,
krepitasi/diskontinuitas/nyeri tekan pada daerah laringotrakea, emfisema subkutis
maupun emfisema mediastinum jika cedera lebih ke distal.
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cedera yang menentukan indikasi

operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun
ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dibagi 5 grup
oleh Fuhrman dkk. sebagai berikut1 :
Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur
Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose
tulang rawan, fraktur nondisplaced.
Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.
Fraktur displaced pada CT Scan.
Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.
Grup V : Terputusnya laringotrakeal komplit.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan foto toraks dan servikal harus dikerjakan setelah kegawatan terkendali.
Angood dkk melaporkan bahwa pemeriksaan radiologis sendiri cukup untuk
mendiagnosis trauma jalan napas di daerah servikal pada 60% kasus. Pemeriksaan
radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher yang
mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul ataupun
yang sudah terpasang ETT. Pada foto dapat terlihat adanya bayangan udara
terperangkap di prevertebra dan leher bagian dalam atau peninggian/elevasi tulang
hyoid pada kasus separasi krikotrakea.

Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak


luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna
menjamin jalan napas (gambar 8). Esofagoskopi disarankan oleh Lee terutama pada
trauma tembus. Noyes dkk. menyarankan dilakukan tindakan panendoscopy dan
arteriografi pada trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan
tersebut di atas selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari
eksplorasi yang berlebihan.

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras, computed


tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah berperan
banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan angka
eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT
diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya menunjukkan satu
gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced yang
minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat
menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan
fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan
seperti pada kartilago yang expose atau fraktur dispalced dengan laserasi mukosa
diatasnya.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah pemeriksaan penunjang tidak boleh
menghambat manajemen jalan napas definitif karena walaupun pada pasien dengan
jalan napas yang terlihat stabil dapat dengan cepat mengalami obstruksi.

PENATALAKSANAAN
Kewaspadaan terhadap trauma laringotrakea pada trauma leher oleh tenaga medis/
paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma
laringotrakea, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan
seksama. Penatalaksanaan trauma sesuai urutan sistemasi dalam ATLS (Advance
Trauma Life Support) yang dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan napas agar
tetap adekuat.
Manajemen Jalan Napas
Kebanyakan pasien dengan trauma jalan napas atas dapat ditolong dengan
manajemen jalan napas yang sederhana.4 Pada studi retrospektif trauma jalan napas
atas oleh Cicala dkk didapatkan pasien (35 dari 46 pasien) tidak mengalami
masalah manajemen jalan napas dan hanya diobservasi tanpa memerlukan
endotracheal intubation.
Pengamanan jalan napas bisa dilakukan dengan pemasangan guedel,
krikotiroidotomi, trakeostomi, pemasangan orotracheal tube dan endotracheal tube
(ETT). Seperti disebutkan diatas, tidak semua trauma trakea memerlukan

trakeostomi, krikotiroidotomi, ataupun pengaman jalan nafas lain. Tindakan


tersebut di atas kadang dapat memperburuk kondisi pasien atau mempersulit
tindakan perbaikan laringotrakea yang cedera terutama pada pasien dengan trauma
tumpul.
Tindakan pengamanan jalan napas yang lebih sukai pada trauma tumpul
laringotrakea adalah trakeostomi dibanding dengan orotracheal tube maupun
krikotiroidotomi. Penulis lain menyatakan bahwa trakeostomi hanya dikerjakan
apabila tindakan intubasi endotrakea gagal. Pada trauma tajam, tindakan intubasi
orotrakea cukup aman. Grewal dkk melaporkan angka keberhasilan intubasi
orotrakea pada trauma tajam jalan napas mencapai 40% sedangkan Vassiliu
melaporkan hanya 29%.
Beberapa penulis mengatakan bahwa tindakan trakeostomi, bronkoskopi,
orotracheal tube, laringoskopi, dan tindakan lain pengaman jalan nafas pada trauma
laringotrakea harus dikerjakan oleh orang yang berpengalaman dan dengan indikasi
yang tepat serta pengawasan yang ketat.
Pada trauma tumpul laring, pasien dibagi dalam tiga kategori distress pernafasan
yang akan menentukan tindakan selanjutnya. Secara umum pada pasien harus
dipastikan jalan napas adekuat, kemudian pemberian oksigen dan langkah
selanjutnya adalah penentuan apakah perlu pemeriksaan penunjang atau langsung
dilakukan tindakan eksplorasi dengan pembedahan.

Manajemen Terapi Definitif


Pada trauma laring, penatalaksanaan berdasarkan derajat berat traumanya. Grup I
dan II digolongkan ringan dan tidak memerlukan tindakan operasi. Grup III
digolongkan sedang dan grup IV serta V masuk kategori berat. Grup III ke atas
memerlukan tindakan operasi. Semua pasien sebelum dioperasi dilakukan
pemasangan NGT selain untuk mencegah aspirasi juga untuk melihat ada tidaknya
trauma esofagus saat eksplorasi. Disarankan pemakaian bronkoskopi seperti telah
disebutkan di atas bila mengalami kesulitan pemasangan ETT.
Seperti disebutkan diatas, manajemen terapi dapat dibagi dalam terapi nonpembedahan dan pembedahan. Terapi non-pembedahan dilakukan pada pasien
dengan jalan napas yang adekuat, terproteksi oleh refleks dari pasien sendiri atau
dengan endotracheal tube, seperti pada pasien dengan laserasi mukosa laring
minimal, hematom plika vokalis tanpa adanya penonjolan tulang ke luar. Observasi
ketat di ICU dan pemeriksaan bronkoskopi serial merupakan bagian dari terapi nonpembedahan.
Terapi anti histamin juga diperlukan untuk mencegah iritasi lebih lanjut mukosa
laring dari asam lambung. Intubasi dengan tube kecil dapat dilakukan pada pasien
yang meragukan dapat mengontrol jalan napasnya dengan baik. Pada kondisi ini
pemeriksaan bronkoskopi berkala diperlukan untuk melihat resolusi edema dan
inflamasi akut serta untuk menentukan apakah sudah dapat dilakukan ekstubasi.

Evaluasi ulang setelah 10-14 hari harus dikerjakan untuk melihat adakah disfungsi
sendi cricoarytenoid setelah edema menghilang sama sekali.
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus
diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Jika edema jalan napas
cukup berat, dapat diberikan dosis 1-20mg/kg BB. Kepustakaan lain menyebutkan
pemberian kortikosteroid dexametason 10-12 mg IV bolus yang diulang 12 jam
kemudian. Pemberian kortikosteroid mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi
kemungkinan timbulnya edema laring pada fase akut. Sekali edema sudah timbul,
maka efektivitas kortikosteroid dipertanyakan.
Pada pasien-pasien di RSUPNCM semua diberikan kortikosteroid perioperatif tanpa
melihat fase akut sudah terlewati atau belum. Dasar dari pemberian tersebut adalah
mengurangi/ mencegah penambahan edema yang terjadi akibat manipulasi saat
operasi. Kortikosteroid tersebut diberikan dengan cara dosis tunggal 1mm/kgBB
bolus intravena.
Seperi halnya steroid, penggunaan antibiotik profilaksis juga masih kontroversial.
Penggunaan antibiotik dapat mengurangi pembentukan granulasi dan penicillin
masih lebih disukai.
Indikasi eksplorasi pembedahan pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan
napas yang memerlukan trakeostomi, emfisema subkutis yang tidak terkontrol,
laserasi mukosa luas dengan penampakan kartilago pada pemeriksaan bronkoskopi

atau laringoskopi, paralisis pita suara, deformitaas yang jelas / multipel / displaced
fraktur laring, kartilago tiroid atau krikoid. Terdapatnya cedera lain seperti trauma
esofagus, expanding hematom dan lainnya juga merupakan indikasi dilakukannya
eksplorasi. Jewwet dkk melaporkan bahwa 25% kasus trauma tumpul laringotrakea
memerlukan pembedahan sedangkan pada trauma tajam lebih tinggi lagi.
Pada terapi pembedahan, posisi kepala dibuat hiperekstensi untuk memudahkan
eksplorasi. Sebelum membuat posisi harus diyakini sebelumnya tidak ada trauma
pada vertebra servikalis. Posisi ini diubah ke posisi normal pada saat menjahit trakea
agar tidak terdapat regangan yang berlebihan terutama pada anastomosis trakea
yang direseksi.
Beberapa macam insisi dikemukakan oleh Lee, tetapi umumnya insisi collar yang
dipakai seperti pada operasi tiroid. Otot-otot yang terdapat pada leher sebaiknya
dipisahkan di garis tengah dan jangan dipotong karena otot-otot tersebut dapat
dipakai sebagai penyokong atau pembungkus trakea atau laring yang telah
diperbaiki.
Setelah dilakukan debridement, cincin trakea dijahit dengan benang absorbable lama
braided, jarum tapper atraumatic nomor 3-0 (vicryl) secara interrupted. Material
yang terbaik untuk penjahitan trakea menurut beberapa penulis adalah benang
absorbable lama braided atau non absorbable monofilament nomor 3-0 dengan
jarum tapper atraumatic. Simpul dibuat di luar lumen, penjahitan tidak all layer

pada kartilago (perimukosal) serta memakai material tersebut di atas dapat


mengurangi risiko timbulnya jaringan granulasi pada mukosa. Cara menjahit ruptur
trakea total dapat dilihat pada gambar di bawah ini (gambar 10).
Setelah diperbaiki, sebaiknya ditutup dengan salah satu otot atau bisa juga dengan
pericardium yang berguna untuk memperkecil kemungkinan timbulnya komplikasi
berupa fistel (lihat gambar 11). Fistel tersebut dapat juga disebabkan karena
pendarahan trakea yang rusak baik karena traumanya sendiri dan atau manipulasi
trakea pada saat operasi sehingga trakea nekrosis bila tidak disokong oleh otot leher.
Indikasi operasi pada trauma laring lebih terbatas dibandingkan trauma trakea yaitu
obstruksi jalan nafas yang memerlukan trakeostomi, emfisema subkutis yang tak
terkendali dan grup III ke atas.
Kerusakan pada tulang rawan bagian laring sebaiknya diproksimasi/dijahit baik
dengan kawat, benang nonabsorbable ataupun dengan miniplate nonabsorbable.
Pada fraktur os hyoid disarankan konservatif atau dibuang bila perlu. Kerusakan
pada aritenoid harus diperbaiki dengan baik karena akan mengakibatkan aspirasi
makanan pada posisi glotis yang tidak menutup sempurna saat menelan. Menurut
Chagnon dkk., penjahitan langsung rawan tiroid dengan benang ataupun kawat
halus dimasukkan ke dalam lubang tersebut dan diikat. Untuk rawan krikoid
disarankan melakukan aproksimasi dengan satu jahitan kawat halus atau benang
Tipe kerusakan laringotrakea yang terbanyak didapat adalah robekan/ ruptur kurang

dari setengah lumen dan lebih dari setengah lumen. Esofagus, vertebra servikalis
dan pembuluh darah besar leher paling sering mengalami cedera pada trauma leher
terutama trauma tembus.
Selain teknik pembedahan dengan anastomosis langsung, penggunaan laryngeal
stents juga cukup membantu dalam penatalaksanaan trauma laringotrakea.
Laryngeal stents terutama digunakan pada kasus fraktur tiroid kominutif atau kasus
lain dimana arsitektur laring tidak dapat dijaga dengan fiksasi terbuka. Laryngeal
stents diindikasikan pada trauma mukosa laring yang luas, fraktur kominutif,
disrupsi komisura anterior dan untuk menambah kekuatan teknik fiksasi sehingga
menjaga patensi lumen laring. Namun, penggunaan laryngeal stents dapat
menyebabkan perburukan perfusi mukosa karena meningkatkan tekanan pada
mukosa. Oleh karena itu, stents harus diangkat secepatnya, dan sebagian besar dapat
aman dilepaskan pada 10-14 hari pasca pembedahan dengan menggunakan teknik
endoskopi.
Cedera laringotrakea dengan robekan-robekan ruptur lebih dari setengah lingkaran
akibat trauma tembus tajam atau tembak harus dieksplorasi dengan cermat
kemungkinan adanya cedera esofagus. Esofagus yang cedera diperbaiki/ dijahit
(dengan penuntun NGT) lebih dahulu sebelum memperbaiki cedera laringotrakea.
Pemasangan/ penutupan oleh salah satu otot leher antara esofagus dan trakea dapat
mengurangi resiko terjadinya fistel trakeoesofagus. Pada ruptur trakea torakal,

setelah rekonstruksi dapat ditutup menggunakan flap muskulus interkostalis.


Pada akhir operasi selalu dipasang drain untuk mencegah terjadinya hematoma yang
mengakibatkan infeksi. Bila perlu dapat dipasang pengaman lain berupa jahitan
dagu ke dada untuk mengurangi tegangan leher. Tetapi pada perkembangan terakhir
pengaman tersebut tidak dipasang lagi kecuali pada kasus yang dilakukan reseksi
laringotrakea dan dipasang minimal 7 hari.
Pasien harus diusahakan bernapas spontan tanpa bantuan ventilator kecuali bila
perlu sekali. ETT dapat langsung dilepas bila diyakini benar tidak ada edema yang
mengganggu jalan nafas. Antibiotika selalu diberikan pada waktu induksi dan
diteruskan pasca operasi sampai hari ke-5. Antibiotika dapat diteruskan bila
diperlukan untuk mencegah dan mengatasi infeksi yang dapat menimbulkan stenosis
karena adanya jaringan granulasi atau fibrosis.
Bila terjadi stenosis karena fibrosis dianjurkan untuk melakukan trakeoplasti atau
laringotrakeoplasti dengan mereseksi bagian yang fibrosis. Bila stenosis tersebut
karena jaringan granulasi dianjurkan untuk lebih konservatif. Pilihan dari tindakan
konservatif tersebut dapat berupa pemberian kortikosteroid sistemik atau intralesi.
Tetapi saat ini para ahli menyukai tindakan insisi radier dengan sinar laser.

MORBIDITAS DAN MORTALITAS


Pasien yang mengalami cedera berat laringotrakea biasanya akan mengalami

gangguan menetap jalan napas dan gangguan bersuara serta kesulitan memproteksi
aspirasi isi faring. Komplikasi ini terjadi karena kontraktur dari skar atau granulasi
yang hebat / berlebihan. Pasien dengan trauma tumpul leher cenderung mengalami
komplikasi lambat yang banyak seperti kesulitan fonasi dibanding pada trauma
tajam. Komplikasi lambat lebih sering ditemukan bila terapi definitif baru dilakukan
setelah >24 jam pasca trauma.
Lebih dari 75% trauma tumpul laringotrakea meninggal di tempat kejadian atau
pada saat menuju rumah sakit, dan setelah tindakan operatif-pun angka
mortalitasnya masih mencapai 14-25% akibat cedera lain yang menyertai. Penulis
lain melaporkan bahwa 21% pasien dengan trauma tumpul jalan napas meninggal
pada 2 jam pertama setelah kedatangannya di UGD. Mortalitas pasien dengan
trauma jalan napas dilaporkan berkisar 15-30% dan biasanya disebabkan karena
syok yang irreversibel, aspirasi masif darah, cedera vaskuler di daerah servikotorakal
dan cedera organ ikutan. Namun Lee dan Chagnon menyatakan bahwa penyebab
kematian tersering pada trauma laringotrakea adalah obstruksi jalan nafas akibat
aspirasi darah. Mortalitas pada trauma tumpul lebih besar dibanding pada trauma
tajam, dilaporkan pada trauma tumpul 40% sedangkan pada trauma tajam hanya
20%.
PENUTUP
Trauma laringotrakea jarang ditemukan namuncenderung meningkat dengan

penderita terbanyak adalah laki-laki dewasa usia produktif. Diagnosis relatif mudah
ditegakkan dan merupakan keadaan akut yang memerlukan tindakan segera.
Mortalitas dan insiden komplikasi lambat masih tinggi dan berhubungan dengan
diagnosis dan tatalaksanan definitif yang terlambat.

Anda mungkin juga menyukai