Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


TRAUMA DADA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Stase Keperawatan Gawat Darurat

DISUSUN OLEH:
Arip Rahmanudin
Angga Nugraha Sadeli
Muhamad Aji Nurdin

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS TAHAP PROFESI
CIMAHI
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
TRAUMA DADA

1. DEFINISI
Trauma adalah cedera/rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland,2002). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguanemosional yang hebat (Brooker, 2001). Trauma dada adalah trauma tajam atau
tembus thoraks yang dapat menyebabkan tamponade jantung, perdarahan, pneumothoraks,
hematothoraks, hematompneumothoraks (FKUI, 1995). Trauma thorax adalah semua ruda
paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul,
(Hudak, 1999).

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan
oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan pada
dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru-paru, diafragma ataupun isi
mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan
sistem pernafasan. Trauma dada adalah masalah utama yang paling sering terjadi pada
bagian emergency.

Klasifikasi trauma dada dapat dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu trauma tembus dan
tumpul.

1. Trauma tembus atau tajam


• Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma.
• Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru.
• Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi. 2. Trauma tumpul.

• Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.


• Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush ataublast injuries.
• Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru.
• Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
2. Trauma Tumpul
Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus, kira-kira lebih dari
90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul :
1) Transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ thoraks dan
2) Deselerasi deferensial, yang dialami oleh organ thoraks ketika terjadinya impak.
Benturan yang secara direk yang mengenai dinding torak dapat menyebabkan luka
robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera
thoraks dengan tekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intratorakal sehingga menyebabkan ruptur dari organ - organ yang berisi cairan
atau gas.
3. Trauma Tembus
Trauma tembus biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara
direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau misalnya, akan
menyebabkan kerusakan jaringan dengan ‘stretching dan crushing´ dan cedera
biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada
jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ yang
telah terkena dan seberapa vital organ tersebut. Derajat cidera tergantung pada
mekanisme dari penetrasi dan temasuk, diantara faktor lain, adalah efisiensi dari
energi yang dipindahkan dari obyek ke jaringan tubuh yang terpenetrasi.
Faktor -faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik dari senjata, seperti
kecepatan, size dari permukaan impak, serta densitas dari jaringan tubuh yang
terpenetrasi. Pisau biasanya menyebabkan cidera yang lebih kecil karena termasuk
proyektil dengan kecepatan rendah. Luka tusuk yang disebabkan oleh pisau sebatas
dengan daerah yang terjadi penetrasi. Luka disebabkan tusukan pisau biasanya dapat
ditoleransi, walaupun tusukan tersebut pada daerah jantung, biasanya dapat
diselamatkan dengan penanganan medis yang maksimal. Peluru termasuk proyektil
dengan kecepatan tinggi, dengan biasanya bisa mencapai kecepatan lebih dari 1800-
2000 kali per detik. Proyektil dengan kecepatan yang tinggi dapat menyebabkan
dapat menyebabkan berat cidera yang sama dengan seperti penetrasi pisau, namun
tidak seperti pisau, cidera yang disebabkan oleh penetrasi peluru dapat merusakkan
struktur yang berdekatan dengan laluan peluru. Ini karena disebabkan oleh
terbentuknya kavitas jaringan dan dengan menghasilkan gelombang syok jaringan
yang bisa bertambah luas. Tempat keluar peluru mempunyai diameter 20-30 kali dari
diameter peluru.

2. ETIOLOGI
 Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya
berupa trauma tumpul dinding thorax
 Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax

3. ANATOMI
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari
sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen
tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari
sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum
menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas
organ dalam abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor
dan minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi,
trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus
posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk
lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak
dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis
dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap
melalui trakea dan bronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana
terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler.
Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan
mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax
dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi
dengan ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada. Diafragma bagian
muskular perifer berasal dari bagian bawah iga keenam kartilago kosta, dari vertebra
lumbalis, dan dari lengkung lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo
sentral. Nervus frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi
sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru –
paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
4. PATHWAY

5. MANIFESTASI KLINIK/ TANDA DAN GEJALA :

1. Ada jejas pada thorak.


2. Nyeri pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi.
3. Pembengkakan lokal dan krepitasi pada saat palpasi.
4. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
5. Dispnea, hemoptisis, batuk dan emfisema subkutan.
6. Penurunan tekanan darah.
7. Peningkatan tekanan vena sentral yang ditunjukkan oleh distensi vena leher.
8. Bunyi muffle pada jantung.
9. Perfusi jaringan tidak adekuat.
10. Pulsus paradoksus ( tekanan darah sistolik turun dan berfluktuasi dengan pernapasan )
dapat terjadi dini pada tamponade jantung.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi : X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral).
2. Gas darah arteri (GDA), mungkin normal atau menurun.
3. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa.
4. Hemoglobin : mungkin menurun.
5. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
6. Pa O2 normal / menurun.
7. Saturasi O2 menurun (biasanya).
8. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan.
9. Bila pneumotoraks < 30% atau hematothorax ringan (300cc) terapi simtomatik,
observasi.
10. Bila pneumotoraks > 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura
dengan WSD, dianjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
11. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan
thorakotomi.
12. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc
segera thorakotomi.

7. KOMPLIKASI:
1. Iga : fraktur multiple dapat menyebabkan kelumpuhan rongga dada.
2. Pleura, paru-paru, bronkhi : hemo/hemopneumothoraks-emfisema.
3. Jantung : tamponade jantung ; ruptur jantung ; ruptur otot papilar ; ruptur klep jantung.
4. Pembuluh darah besar : hematothoraks
5. Esofagus : mediastinitis

8. PENATALAKSANAAN
1. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
2. Mempertahankan ventilasi optimal
3. Menurunkan tekanan pada rongga dada
4. Mengatasi nyeri dan mencegah infeksi
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Pengkajian Primer

a. Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan


sekret akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada

obstruksi maka lakukan :

- Chin lift / jaw trust


- Suction / hisap
- Guedel airway•
- ntubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit
dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/
ngorok, ekspansi dinding dada.

c. Circulation

TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut

d. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau
sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup
jelasa dan cepat adalah:

Awake : A Respon bicara :V Respon nyeri :P Tidak ada respon :U

e. Eksposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang mungkin
ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in line
harus dikerjakan.

2. Pengkajian Sekunder

Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat


meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post illnes, Last meal, dan Event/
Environment yang berhubungan dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala
hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.

Pengkajian sekunder dilakukan dengan menggunakan metode SAMPLE, yaitu sebagai


berikut :

S : Sign and Symptom.

Tanda gejala terjadinya tension pneumothoraks, yaitu Ada jejas pada thorak, Nyeri
pada tempat trauma, bertambah saat inspirasi, Pembengkakan lokal dan krepitasi pada
saat palpasi, Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek, Dispnea, hemoptisis,
batuk dan emfisema subkutan, Penurunan tekanan darah

A : Allergies

Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-obatan ataupun
kebutuhan akan makan/minum.

M : Medications

(Anticoagulants, insulin and cardiovascular medications especially). Pengobatan yang


diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak
menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat
pengobatan klien.

P : Previous medical/surgical history.

Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya.

L :Last meal (Time)

Waktu klien terakhir makan atau minum.

E :Events /Environment surrounding the injury; ie. Exactly what happened

Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang
kemudian digolongkan dalam SAMPLE.

1. Sistem Pernapasan
Frekuensi nafas, nafas cepat dan dangkal . bunyi nafas wheezing, apa terdapat
secret pada jalan nafas, bentuk dada simetri
2. Sistem Cardiovaskuler
TD, nadi, Konjungkiva, tidak terdapat sianosis, akral.
3. Sistem Pencernaan
Mual, muntah , nyeri tekan pada epigastrium
4. Sistem Muskuloskeletal
Kekuatan otot , kebutuhan ADL, odeme,
5. Sistem Perkemihan
BAK / sehari, retensi urin
6. Sistem Endokrin
pembesaran kekenjar tiroid, pembesaran kelenjar getah bening
7. Sistem Integumen
Warna kulit, lesi, tekstur kulit kasar, turgor kulit, bekas gigitan
8. Sistem Persyarafan
Tingkat kesadaran

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak
maksimal karena akumulasi udara/cairan
2. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek
spasme otot sekunder
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan
inotropik.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN

DIAGNOSA TUJUAN DAN KRITERIA


NO INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL (SMART)
1 1) Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Asuhan
pernapasan Keperawatan selama 1x6 Jam 1. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan 1. Meningkatkan inspirasi
berhubungan dengan diharapkan Pola pernapasan peninggian kepala tempat tidur. Balik ke sisi maksimal,
ekspansi paru yang efektive dengan kriteria hasil: yang sakit. Dorong klien untuk duduk meningkatkan ekspansi
tidak maksimal  Memperlihatkan sebanyak mungkin paru dan ventilasi pada
karena trauma. frekuensi pernapasan sisi yang tidak sakit.
yang efektive 2. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi 2. / Distress pernapasan
 Mengalami pernapasan, dispnea atau perubahan tanda- dan perubahan pada
perbaikan pertukaran
tanda vital tanda vital dapat terjadi
gas-gas pada paru
 Adaptive mengatasi sebgai akibat stress
faktor-faktor fifiologi dan nyeri atau
penyebab dapat menunjukkan
terjadinya syock
sehubungan dengan

hipoksia
3. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut
3. Pengetahuan apa yang
dilakukan untuk menjamin keamanan
diharapkan dapat
mengurangi ansietas
dan mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik
4. Pengetahuan apa yang
4. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor diharapkan dapat
pencetus adanya sesak atau kolaps paruparu mengembangkan
kepatuhan klien
terhadap rencana
teraupetik

5. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien 5. Membantu klien


untuk kontrol diri dengan menggunakan mengalami efek
pernapasan lebih lambat dan dalam fisiologi hipoksia, yang
dapat dimanifestasikan
sebagai
ketakutan/ansietas

6. Mempertahankan tekanan negatif intrapleural 6. Perhatikan alat bullow

sesuai yang diberikan, yang meningkatkan drainase berfungsi baik,

ekspansi paru optimum/drainase cairan cek setiap 1 - 2 jam :

7. Periksa batas cairan pada botol penghisap,


7. Periksa pengontrol
pertahankan pada batas yang ditentukan
penghisap untuk jumlah
8. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
hisapan yang benar
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi
8. Mengevaluasi perbaikan
Pemberian antibiotika
kondisi klien atas
Pemberian analgetika
pengembangan parunya.
Fisioterapi dada
Konsul photo toraks

2 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri 1. Memberikan rasa


nyaman : nyeri keperawatan selama 1 x 6 jam Observasi kenyamanan bagi klien.
berhubungan dengan diaharapakan nyeri hilang 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, 2. Untuk mengetahui
gejala penyakit dengan kriteria hasil kualitas, intensitas nyeri. perkembangan dan
DS: 1. Kesejahtraan fisik 2. Identifikasi skala nyeri keadaan klien.
- Mengeluh tidak meningkat 3. Identifikasi respon nyeri non verbal 3. Teknik relaksasi akan
nyaman 2. Kesejahtraan 4. Identifikasi faktor yang memperberat dan menghambat reseptor
- Mengeluh sulit psikologis meningkat meringankan nyeri. nyeri di dorsal horn
tidur 3. Keluhan tidak nyaman 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang sehingga nyeri
DO: menurun nyeri. berkurang.
- Gelisah 4. Keluhan sulit tidur 6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon 4. Distraksi bekerja di
- Tampak merintih menurun nyeri. corteks cerebri dengan
- Pola eiminasi 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup cara mengalihkan
berubah 8. Monitor keberhasilan terpai komplementer yang perhatian persepsi nyeri
sudah diberikan kepada persepsi dengar.
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik
5. Dengan memberi-kan
Teurapeutik
obat analgetik, efek
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi
obat akan menekan
rasa nyeri (mis. TENS, kompres hangat atau
reseptor nyeri di dorsal
dingin)
horn.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
6. Dengan mengkaji
( suhu ruangan, kebisingan)
tingkat nyeri klien,
3. Fasilitasi istirahat tidur
dapat diketahui dan
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam ditentukan langkah
pemilihan strategi meredakan nyeri. selanjutnya.
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Annjurkan menggunakan analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik non farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik
Pemberian Analgesik
Observasi
1. Identifikasi karakteristik nyeri (mis. Pencetus,
pereda, kualitas, lokasi, intensitas, frekuensi,
durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik dengan
tingkat keparahan nyeri
4. Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgetic
5. Monitor efektifitas analgetic
Terapeutik
1. Diskusikan jenis analgetic yang disukai untuk
mencapai analgesic optimal, jika perlu
2. Pertimbangkan penggunaan infus continue, atau
bolus opioid untuk mempertahankan kadar dalam
serum
3. Tetapkan target efektifitas analgesic untuk
mengoptimalkan respon pasien
4. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesic
dan efek yang diinginkan
Edukasi
1. Jelaskan efek terapi dan efek samping obat
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesic
sesuai indikasi (keterolac 30 mg IV 3x1)
3 Penurunan curah Setelah dilakukan Asuhan Perawatan Jantung
jantung berhubungan Keperawatan selama 1x6 Jam Observasi 1. mengetahui tanda dan
dengan Perubahan diharapkan tidak ada 1) Identifikasi tanda/ gejala primer penurunan curah gejala yang terjadi
kontraktilitas perubahan frekuensi jantung, jantung (dyspnea, kelelahan, edema) 2. untuk memonitoring
miokardial/perubahan curah jantung meningkat 2) Monitor tekanan darah kondisi pasien
inotropik. dengan kriteria hasil: 3) Monitor intake dan output cairan 3. melihat adanya kelainan
dibuktikan dengan:  Kekuatan nadi perifer 4) Monitor EKG yang tergambar dalam
 Pengisian kapiler >3 meningkat Terapeutik pemeriksaan EKG
detik  Palpitasi, bradikardia, Posisikan klien semi fowler/ fowler atau posisi nyaman 4. mengatahui jumlah
 Nadi perifer menurun takikardia, Lelah, edema, Edukasi intake output cairan harian
atau tidak teraba dipsneu, sianosis menurun Ajarkan klien dan keluarga mengukur intake dan 5. mengurangi keluhan
 Akral teraba dingin  Murmur jantung menurun output cairan harian aritmia pada kelainan
 Warna kulit pucat  Pulmonary vascular Kolaborasi jantung
 Turgor kulit menurun resistance munurun Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 CRT membaik
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 1999. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta :
EGC
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth volume 2. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007.Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta:
EGC
Boedihartono, 1994, Proses Keperawatan di Rumah Sakit. EGC : Jakarta.
Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. EGC : Jakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Edisi I.
Jakarta : PPNI
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Edisi I.
Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai