Anda di halaman 1dari 6

PEMERIKSAAN FISIK PERSARAFAN

Oleh:

Asiandi

PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
NOVEMBER 2007
PEMERIKSAAN FISIK PERSARAFAN

Tujuan pemeriksaan
• Pemeriksaan skrining (screening examination), bertujuan untuk melengkapi
pemeriksaan fisik dan riwayat medis klien yang sudah dilakukan pengkajian umum
yang memilki keluhan atau pun tidak.
• Pemeriksaan lanjut (extended examination), merupakan kelanjutan dari
pemeriksaan skrining di mana pemeriksa mengikuti arahan dari gejala-gejala atau
hasil abnormal tertentu.

Peran perawat selama pemeriksaan


Selama pemeriksaan fisik persarafan, peran perawat adalah: Memberikan dukungan
kepada klien dengan memberikan penjelasan ringkas, dukungan emosional, dan
dukungan fisik serta bantuan sesuai kebutuhan.

Perlengkapan pemeriksaan
Perlengkapan yang diperlukan untuk pemeriksaan fisik persarafan, sebagai berikut:
• Stetoskop
• Reflex hammer
• Tongue spatel
• Penlight
• Pita ukur
• Snellen chart

Pemeriksaan rangsang selaput otak (iritasi meningeal)

1. Kaku kuduk (nuchal [neck] rigidity)

Pemeriksaan:
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala klien yang seng berbaring. Kemudian
kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekanan
perhatikan adanya tekanan.

Hasil pemeriksaan:
Bila terdapat kaku kuduk pemeriksa merasakan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
Pada kaku kuduk berat, kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke
belakang.

Kelainan:
Radang selaput otak (meningitis), miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau artritis
di servikal.
2. Tanda Lasegue

Pemeriksaan:
Klien berbaring lurus, kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada
persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu dalam keadaan lurus. Pada
keadaan normal dapat dicapai 70 derajat sebelum timbul rasa sakit dan tahanan.

Hasil pemeriksaan:
Bila timbul rasa sakit dan tahanan sebelum mencapai 70 derajat, maka disebut tanda
Lasegue positif. Pada klien lansia patokannya adalah 60 derajat.

Kelainan:
Lasegue positif ditemukan pada kelainan rangsang selaput otak, isialgia, dan iritasi
pleksus lumbosakral (misalnya hernia nukleus pulposus—HNP).

Gambar 1. Tes Lasegue (Lumbantobing, 1998).

3. Tanda Kernig

Pemeriksaan:
Klien yang berbaring lurus difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
memnuat sudut 90 setelah itu tunkai bawah diekstensikan pada persendian lutut,
biasanya hingga 135 antara tungkai bawah dan tungkai atas.

Hasil pemeriksaan:
Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135, maka dikatakan tanda
Kernig positif.

Kelainan:
Sebagaimana halnya dengan tanda Lasegue, maka tanda Kernig positif terjadi pada
kelainan rangsang selaput otak, dan iritasi akar lumbosakral atau pleksusnya (misalnya
HNP-lumbal). Pada meningitis tandanya positif bilateral, sedangkan HNP lumbal dapat
unilateral.
Gambar 1. Tes Kernig (Lumbantobing, 1998).

4. Tanda Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)

Pemeriksaan:
Tangan ditempatkan di bawah kepala klien yang sedang berbaring, tekukkan kepala
klien sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya
ditempatkan di dada klien untuk mencegah diangkatnya badan.

Hasil pemeriksaan:
Tanda Brudzinski positif apabila kedua tungkai fleksi. Sebelumnya perlu diperhatikan
apakah tunkainya tidak lumpuh, sebab kalau lumpuh tentu tungkai tidak adak
difleksikan.

Gambar 1. Tes Brudzinski I (Lumbantobing, 1998).

5. Tanda Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)

Pemeriksaan:
Klien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persendian panggul,
sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan lurus.

Hasil pemeriksaan:
Bila yang lurus ikut pula trefleksi, maka disebut tanda Brudzinski II positif, seperti pada
pemeriksaan Brudzinski I, perlu diperhatikan terlebih dahulu apakah terdapat
kelumpuhan pada tungkai.

Gambar 1. Tes Brudzinzki II (Lumbantobing, 1998).


PEMERIKSAAN GLASGOW’S COMA SCALE (GCS)

PENGERTIAN Memeriksa tingkat kesadaran klien dengan menggunakan Skala Koma


Glasgow.
TUJUAN Mendapatkan data objektif.
KEBIJAKAN 1. Pasien baru.
2. Evaluasi perkembangan kondisi pasien.
PERALATAN Alat tulis.

PROSEDUR A. Tahap Pra Interaksi


PELAKSANAAN 1. Melakukan verifikasi data sebelumnya bila ada.
2. Mencuci tangan.
3. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.

B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam sebagai pendekatan terapeutik.
2. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada keluarga/klien.
3. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.

C. Tahap Kerja
1. Mengatur posisi pasien: supinasi.
2. Menempatkan diri di sebelah kanan pasien, bila mungkin.
3. Memeriksa refleks membuka mata (E) dengan benar.
4. Memeriksa refleks verbal (V)dengan benar.
5. Memeriksa refleks motorik (M) dengan benar.
6. Memenilai hasil pemeriksaan (memberikan skor E, M, V).
D. Tahap Evaluasi
1. Melakukan evaluasi tindakan.
2. Melakukan kontrak untuk kegiatan selanjutnya.
3. Berpamitan dengan klien.
4. Membereskan alat-alat.
5. Mencuci tangan.
6. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan keperawatan.

SUMBER AIP D III Keperawatan Jawa Tengah. (2006). Standar operasional prosedur
keperawatan. Semarang: Asosiasi Institusi Pendidikan D III Keperawatan
Jawa Tengah.
Skala Koma Glasgow:

Membuka Mata (E)


Spontan 4
Dengan perintah / panggilan 3
Dengan rangsang nyeri 2
Tidak berespon 1

Respon Verbal (V)


Berorientasi 5
Bicara membingungkan 4
Kata-kata tidak tepat (menggerutu) 3
Suara tidak dapat dimengerti 2
Tidak berespon 1

Respon Motorik (M)


Dengan perintah / mematuhi perintah 6
Melokalisasi nyeri 5
Menarik/menjauhi area yang nyeri (fleksi jika nyeri pada anak-anak) 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak berespons 1

Skor Total : (E = ... V = ... M = ...) ...

Referensi

Hickey, J. V. (1997). The clinical practice of neurologica and neurosurgical nursing (4th
ed.). Philadelphia/New York: Lippincott.

Lumbantobing, S. M. (1998). Neurologi klinik: Pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Anda mungkin juga menyukai