Anda di halaman 1dari 16

Borang Portofolio (Kasus Kematian)

Nama Peserta : dr. St. Hardiyanti. S. Malik


Nama Wahana : RSUD Prof. Dr. dr. H. M. Anwar Makkatutu Bantaeng
Topik : Trauma Capitis Berat
Tanggal (kasus) : 18 Agustus 2017
Presenter : dr. St. Hardiyanti. S. Malik
Tanggal Presentasi : 11 Oktober 2017 Pendamping : dr. Rahmaniar
Tempat Presentasi : RSUD Prof. Dr. dr. H. M. Anwar Makkatutu Bantaeng
Obyektif Presentasi :
◊ Keilmuan ◊ Ketrampilan ◊ Penyegaran ◊ Tinjauan Pustaka
◊ Diagnostik ◊ Manajemen ◊ Masalah ◊ Istimewa
◊ Neonatus ◊ Bayi ◊ Anak ◊ Remaja ◊ Dewasa ◊ Lansia ◊ Bumil
◊ Deskripsi : Wanita, 62 tahun, BB 75 kg. masuk ke RS setelah mengalami KLL. Pasien
masuk dengan kesadaran menurun, mengorok dan muntah. Pasien didiagnosis menderita
trauma capitis berat dan mengalami kematian
◊ Tujuan : Mengetahui pentingnya ABC dalam penanganan pasien gawat darurat untuk life
saving
Mampu mengenali tanda-tanda kematian dan menentukan kapan seseorang dinyatakan mati

Bahan Bahasan : ◊ Tinjauan Pustaka ◊ Riset ◊ Kasus ◊ Audit


Cara Membahas : ◊ Diskusi ◊ Presentasi & Diskusi ◊ E-mail ◊ Pos
Data Pasien : ◊ Nama : Ny. R ◊ No.RM :
(62 Tahun)
Nama Klinik : IRD Telp. : - Terdaftar sejak :
Data Utama Untuk Bahasan Diskusi :
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Seorang wanita umur 62 tahun masuk UGD pada pukul 12.00.
Berdasarkan alloanamnesis dari cucu korban yang membonceng korban. Pasien
mengalami penurunan kesadaran >30 menit sebelum masuk ke RS pasca kecelakaan
lalu lintas antar motor dengan mobil. Kejadian berlangsung jam 11.00. Awal kejadian
pasien dibonceng oleh cucunya mengendarai motor tanpa memakai helm. Pasien
berangkat dari rumah dan kecelakaan terjadi dalam perjalanan menuju ke pasar. Motor
korban melaju kencang dan dari arah berlawanan tiba-tiba muncul mobil yang melaju
dengan kecepatan tinggi. Karena menghindar, motor pasien jatuh ke sisi kanan. Pasien
mengikut arah jatuh dengan posisi kepala kanan membentur trotoar terlebih dahulu,
lalu membentur aspal dengan posisi miring ke kanan di atas jalan. Pasien langsung
tidak sadarkan diri lalu pasien dan cucunya dibawa ke rumah sakit oleh masyarakat
sekitar. Pasien muntah saat pertama kali dibawa ke RS.
2. Riwayat pengobatan : berobat kencing manis sejak 3 tahun terakhir
3. Riwayat kesehatan/penyakit : pasien menderita kencing manis sejak 3 tahun, riwayat
hipertensi tidak ada
4. Riwayat keluarga : riwayat penyakit ayah (-), ibu (-)
5. Riwayat pekerjaan : ibu rumah tangga
6. Lain-lain :
Laboratorium : Tidak dilakukan
pemeriksaan
Daftar Pustaka :
1. Iskandar J. Cedera Kepala. Jakarta : PT.Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
2004
2. Japardi Iskandar . Anatomi Tulang Tengkorak. FK USU. [cited 2011 January 15]
Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1985/1/bedah-
iskandar54.pdf
3. Sjamsuhidat R. Trauma kepala .Wim de Jong. BUKU AJAR ILMU BEDAH. Edisi
2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003. Hal : 816-821.
4. Advanced Trauma Life Support. Cedera kepala . Edisi ketujuh , komisi trauma
IKABI. 2004 hal 167-86
Hasil Pembelajaran :
1. Melakukan penilaian kesadaran dengan menilai GCS untuk mengetahui beratnya
derajat trauma capitis
2. Mengetahui penanganan dalam rangka life saving pasien dengan trauma capitis
3. Mengenali tanda-tanda kematian dan menentukan kapan seseorang dinyatakan mati
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio :
1. Subyektif :
 Kesadaran menurun
 Mekanisme trauma didapat dari cucu pasien yang membonceng pasien
 Dialami setelah mengalami KLL > 30 menit SMRS.
 Pasien muntah saat pertama kali dibawa ke RS

2. Obyektif :
 Primary Survey
A : obstruksi parsial, terdapat snoring, Jejas daerah servikal (+)
B : Spontan, 32 kali/menit, simetris kiri=kanan, retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
C : TD 80/60 mmhg, nadi 106x/menit.
D : GCS 7 (E1M4V2), delirium, Pupil anisokor φ 3,5 mm, dan φ 2,5 mm, RC +/+
melambat
E: Afebris

 Secondary Survey

o Regio Frontal Dextra


I : terdapat vulnus excoriatum ukuran 3x2 cm disertai memar
P: Nyeri tekan sulit dinilai, krepitasi (-)

o Regio temporoparietal Dextra


I : terdapat vulnus laceratum ukuran 4 x 1 cm dan disekelilingnya terdapat
hematom, perdarahan aktif
P: teraba hematom dengan diameter 6 cm, konsistensi kenyal, Nyeri Tekan sulit
dinilai, krepitasi (+)

o Regio cervikal
I : terdapat vulnus excoriatum di atas clavicula ukuran 2x2 cm disertai memar
P: Nyeri tekan sulit dinilai, krepitasi (-)

o Regio humerus Dekstra


I : Vulnus exoriatum ukuran 3x4 cm, deformitas (-)
P: Nyeri tekan sulit dinilai, krepitasi (-)
o Regio Cruris Dekstra
I : Vulnus exoriatum ukuran 2x1 cm, deformitas (-)
P: Nyeri tekan sulit dinilai, krepitasi (-)

3. Assessment (penalaran klinis) :


Pasien dibawa ke UGD dengan kesadaran menurun yang dialami >30 menit sebelum
masuk ke RS pascakecelakaan lalu lintas antar motor dengan mobil. Kejadian. Awal
kejadian pasien dibonceng oleh cucunya mengendarai motor tanpa memakai helm.
Pasien berangkat dari rumah sedang dalam perjalanan menuju ke pasar. Motor korban
melaju kencang dan dari arah berlawanan tiba-tiba muncul mobil yang melaju dengan
kecepatan tinggi. Sehingga menhindar dan motor pasien jatuh ke sisikanan. Pasien
mengikut arah jatuh dengan posisi kepala kanan membentur trotoar terlebih dahulu,
lalu membentur aspal dengan posisi miring ke kanan di atas jalan.. Pasien langsung
tidak sadarkan diri. lalu pasien dan cucunya dibawa ke rumah sakit oleh masyarakat
sekitar. Pasien muntah saat pertama kali dibawa ke RS. Akibat dari benturan kepala
dan wajah tersebut, pelipis kanan pasien mengalami luka lecet. Di kepala daerah
belakang sebelah kanan ada luka yang mengeluarkan darah dan terdapat jg luka2 lecet
pada lengan atas kanan dan tungkai kiri Pada primary survey ditemukan masalah pada
airway yakni terdengar snoring yang berarti adanya sumbatan jalan napas sebagian.
Pada pemeriksaan fisis pada regio temporoparietal dextra ditemukan adanya vulnus
laceratum disertai hematom dan teraba krepitasi.
Trauma kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dan kecacatan di
Negara maju seperti Amerika Serikat. Setiap tahunnya, hampir seperempat juta orang
dirawat di rumah sakit karena cedera traumatis. Di Indonesia saat ini, seiring
dengan kemajuan teknologi dan pembangunan, frekuensi terjadinya trauma kepala
bukannya menurun malahan cenderung meningkat. Trauma kepala juga merupakan
salah satu penyebab kematian dikalangan usia produktif yaitu antara 15-44 tahun
( dengan usia rata-rata 30 tahun) khususnya di negara berkembang dan lebih
didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan, hal ini diakibatkan
karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk
menjaga keselamatan dijalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum
benar . Lebih dari 80 % penderita trauma yang datang ke ruang gawat darurat selalu
disertai dengan trauma kepala.
Cedera kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari lapisan
kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak,
sampai jaringan otaknya sendiri. Dengan memahami landasan biomekanisme
patofisiologi yang lebih rinci dari masing-masing prosedur penanganan cepat dan tepat,
diharapkan dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya.

I. ANATOMI DAN FISIOLOGI


II.1 Anatomi Kepala
a. Kulit kepala
Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan (S-C-A-L-P) yaitu : Skin (kulit) ,
Connective tissue (Jaringan subkutis), Aponeurosis Galea, Loose areolar tissue
(jaringan areolar longgar), Perikranium
b. Tulang tengkorak
Tengkorak dibentuk oleh tulang-tulang yang saling berhubungan satu sama lain
dengan perantaraan sutura. Tulang tengkorak terdiri dari tiga lapisan yaitu tabula
eksterna, diploe dan tabula interna. Tulang tengkorak dibagi menjadi dua bagian yaitu
pertama neurocranium (tulang-tulang yang membungkus otak ) yaitu : os. Frontale,
os.parietale, os. temporal, os sphenoidale, dan os. occipitalis . bagian kedua yaitu
viscerocranium (tulang-tualng yang membentuk wajah) antara lain : Os. Maksilare, Os.
Palatinum, Os. Nasale, Os. Lacrimale, Os. Zygomatikum, Os Concha Nasalis Inferior,
vomer, dan Os. Mandibulare.
c. Menings (Selaput Otak)
Otak dibungkus oleh tiga selaput atau membran yaitu :
1. Duramater.
Secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling luar, terdiri dari dua
lapisan, lapisan luar (lapisan periostel) langsung melekat pada endosteum tabula
interna. Pada beberapa tempat, lapisan sebelah dalam (lapisan meningeal) akan
memisah dari lapisan luar sehingga terbentuk ruang yang merupakan sinus-sinus vena
(misal : sinus sagitalis superior). Diperdarahi oleh arteri meningea anterior, media dan
posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri opthalmika untuk yang
anterior, arteri karotis eksterna untuk yang media, arteri vertebralis dan arteri
oksipitalis untuk yang posterior..
2. Arachnoid
Secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat dibawah duramater. Lapisan
ini merupakan jaringan avaskuler, mendapat nutrisi dari CSS (cairan serebrospinal) dan
jaringan saraf dibawahnya. Diantara duramater dan arachnoid disebut subdural, yang
merupakan ruang semu yang potensial. Ke arah dalam, lapisan ini mempunyai banyak
trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Trabekula ini memfiksasi
banyak penbuluh darah kortical yang berjalan diatas lapisan epipial. Ruang diantara
trabekula-trabeluka ini diisi oleh CSS, ruang ini disebut ruang subarachnoid.
3. Piamater
Secara embriologi dan histologi sama dengan arachnoid, hanya pada lapisan ini sel-
selnya tidak saling tumpang tindih. Piamater adalah membran vaskular yang diliputi
oleh sel-sel mesotelial yang gepeng. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi
gyrus-gyrus, dan turun hingga mencapai sulcus yang paling dalam. Lapisan ini meluas
keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri
cerebri masuk kedalam jaringan otak setelah dibungkus oleh pia mater.
d. Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar
terletak didalam ruangan yang tertutup yang disebut cranium atau tulang tengkorak,
yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa.
Otak terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan duramater dari sisi
inferior sinus sagitalis superior. Serebelum terletak dalam fossa posterior,
berhubungan dengan medulla spinalis, batang otak dan juga kedua hemisfer. Batang
otak terdiri dari mesensefalon, pons dan medula oblongata. Lesi yang kecil pada
batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.
e. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (terletak diatap
ventrikel). CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, melalui akuaduktus sylvii menuju ventrikel IV, selanjutnya CSS keluar
dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada
dipermukaan otak dan medulla spinalis. CSS akan direabsorbsi kedalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Rata-rata
cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35 ml/menit atau 500 ml/hari, sedangkan
total volume cairan serebrospinal berkisar 75-150 ml dalam sewaktu. Cairan
serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu proteksi untuk
melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau gangguan dari luar.
f. Tentorium serebeli
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
( terdiri dari fossa kranii anterior dan fossa crania media) dan ruang infratentorial
( berisi fossa kranii posterior). Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui
insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporal yang disebut unkus.
II.2 Aspek Fisiologis
a. Tekanan intrakranial ( Intracranial pressure )
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan
tekanan intrakranial (TIK). Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan
menyebabkan atau memperberat iskemia. TIK normal pada keadaan istirahat
sebesar 10 mmHg. TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap berhubungan
langsung dengan prognosis yang buruk.
b. Hukum Monroe-Keliie
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang
tidak elastik. Volume intrakranal (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume
komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak ( V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).
V ic = V br + V csf + V bl
c. Tekanan perfusi cerebral (Cerebral Perfusion Pressure )
Tekanan perfusi cerebral adalah tekanan selisih antara mean arterial Blood
pressure (MABP) dan intracranial pressure (ICP) . CPP normal + 70- 95 mmHg.
MABP = sistolik + 2 diastolik
3
Pada seseorang yang dalam kondisi normal, aliran darah otak akan bersifat konstan
selama MABP berkisar 50-150 mmHg. Hal ini dapat terjadi akibat adanya
autoregulasi dari arteriol yang akan mengalami vasokonstriksi atau vasodilatasi
dalam upaya menjaga agar aliran darah ke otak berlangsung konstan.
d. Aliran darah Otak (Cerebral Blood Flow)
Aliran darah ke otak pada orang dewasa antara 50-55 ml per 100 gram jaringan
otak per menit. Pada anak aliran darah otak bisa lebih besar bergantung pada
usianya. Penurunan aliran darah otak karena trauma akan mengakibatkan iskemi
dan infark otak.

II. PATOMEKANISME
Trauma kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar
(SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki
kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Cedera kepala terbagi atas :
1. Cedera jaringan lunak kepala
Trauma pada SCALP meliputi :
a. Abrasi (ekskoriasi), berupa luka yang terbatas pada lapisan Skin.
b. Laserasi, luka telah melebihi ketebalan skin, dapat mencapai tulang tanpa disertai
pemisahan lapisan SCALP.
c. Kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematom seperti subgaleal
hematom dan cephal hematom.
d. Avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai dengan pemisahan lapisan SCALP,
biasanya terjadi pada lapisan Loose areolar tissue.

2. Fraktur tulang tengkorak


Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang
tersebut untuk menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformitas) saat
benturan. Pada saat benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di
tempat benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan
tabula interna ini tidak hanya terbatas pada daerah kontak, tetapi meliputi seluruh
tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformitas tulang tengkorak,
terjadilah fraktur, oleh sebab itu tabula eksterna pada tulang tengkorak berawal dari
tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula eksterna.
3. Cedera otak
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada
kepala. Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yakni kompresi,
akselerasi, dan deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling
berperan. Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke semua arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi
kerusakan jaringan otak di tempat benturan, disebut “coup” atau di tempat yang
bersebrangan dengan datangnya benturan (contracoup).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih
cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(contrecoup).
Cedera otak dibedakan atas kerusakan primer dan kerusakan sekunder.
Kerusakan primer yaitu kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat
dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat
bersifat fokal maupun difus, sedangkan kerusakan sekunder adalah kerusakan otak
yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh
hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus,
dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat dikelompokkan atas dua
yaitu kerusakan hipoksik-iskemik menyeluruh (diffuse hypoxic-ischemic damage) dan
pembengkakan otak menyeluruh (diffuse brain swelling).
Pembagian Cedera Kepala
Trauma kepala diklasifikasikan berdasarkan :
a. Mekanisme  Trauma tumpul dan trauma tajam.
Trauma tumpul (blunt) berasal dari trauma benturan dengan kecepatan tinggi seperti
pada kecelakaan lalu lintas dan trauma benturan dengan kecepatan rendah misalnya
jatuh atau kasus penyerangan. Trauma tajam (penetrating) berasal dari tembakan
senjata api dan benda tajam lainnya. 2,3
b. Berat-ringannya  Berdasarkan Glassglow Coma Scale (GCS) trauma kepala
dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat. 3
Trauma kepala ringan (TKR)  GCS 14-15
Trauma kepala sedang (TKS)  GCS 9-13
Trauma kepala berat (TKB)  GCS 3-8

c. Morfologinya  Fraktur tulang kepala dan lesi intrakranial.


1. Fraktur tulang tengkorak
Pada saat benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di tempat
benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan tabula
interna ini tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi seluruh
tengkorak. Jika peregangan ini melebihi kemampuan deformasi tulang tengkorak,
terjadilah fraktur. Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang
meliputi seluruh ketebalan tulang. Fraktur diastase yaitu fraktur yang terjadi pada
sutura sehingga terjadi pemisahan sutura kranial. Fraktur comminuted yaitu fraktur
dengan dua atau lebih fragmen fraktur. Fraktur depressed diartikan sebagai fraktur
dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur terletak di bawah level
anatomik normal dari tabula interna tulang tengkorak sekitarnya yang masih utuh.
Fraktur konveksitas yaitu fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak. Fraktur basis cranii yaitu fraktur yang terjadi pada
tulang yang membentuk dasar tengkorak.

2 Lesi intrakranial dapat bersifat fokal dan difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan
yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, tergantung kepada mekanisme
cedera yang terjadi (akan dibahas pada bab selanjutnya). Sedangkan kerusakan
menyeluruh (difus) diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma
(penderita yang tidak sadar sejak benturan pada kepala dan tidak mengalami suatu
interval lucid) tanpa gambaran SOL (Space Occupaying Lesion) pada CT-Scan atau
MRI. Kerusakan menyeluruh ini, berdasarkan gambaran patologi dibedakan atas:
- Diffuse Axonal Injury (DAI), yaitu :
 Adanya kerusakan axon yang difus dalam hemisfer cerebri, korpus
kallosum, batang otak dan serebelum (pedunkulus).
 Awalnya kekuatan renggang saat benturan melebihi level ketahanan
akson, sehingga terjadi sobekan atau fregmentasi aksolemma, dan
keteraturan susunan sitoskeleton akson menjadi rusak. Terjadi pada saat
benturan, tetapi ada yang member batas waktu dalam 60 menit sejak
kejadian.
 Berdasarkan luasnya kerusakan yang timbul. DAI dapat dikelompokkan
atas :
o Grade 1 : tanpa lesi fokal
o Grade 2 : dengan lesi fokal pada corpus callosum
o Grade 3 : yaitu grade 2 + lesi fokal pada kuadran dorsolateral
rostral batang otak.
 Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan
sekelilingnya dan tidak mampu member reaksi yang berarti terhadap
rangsangan dari luar.

- Diffuse Vaskular Injury (DVI)


 Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh
hemisfer, khususnya masa putih daerah frontal, temporal dan batang
otak, biasanya pasien segera meninggal dalam beberapa menit. Pada
DVI, terjadi perubahan struktur menyeluruh pada endotel
mikrovaskuler otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah merah.

III.PERDARAHAN INTRAKRANIAL PASCA TRAUMA KEPALA


Perdarahan intrakranial merupakan rupturnya pembuluh darah yang berada di
dalam rongga intrakranial. Hal ini disebabkan oleh penyebab fisik (trauma kepala) dan
Perdarahan intrakranial merupakan suatu kegawatdaruratan medik karena akumulasi darah
dapat meningkatkan tekanan intrakranial sehingga merusak jaringan otak dan mengurangi
asupan darah. Pada kasus yang berat tekanan intrakranial menyebabkan herniasi otak.
Perdarahan intrakranial mencakup perdarahan ekstradural dan intradural.
a. Perdarahan ekstradural ( hematom ekstradural), lebih lazim disebut epidural hematoma
( EDH), diartikan sebagai adanya penumpukan darah diantara duramater dan tabula
interna. Paling sering terletak pada daerah temporal dan frontal. Pada pemeriksaan CT-
Scan kepala akan terlihat sebagai massa hiperdens berbentuk bikonveks (gambar 6).
Sumber perdarahan biasanya dari laserasi cabang arteri meningea oleh fraktur
tulang, walaupun kadang-kadang dapat berasal dari vena atau diploe. Darah pada EDH
membeku (clotting) berbentuk bikonveks. Lucid interval tidak patognomomik untuk
EDH dan hanya terjadi pada sepertiga kasus. Disamping gejala diatas, juga ditemukan
hemiparesis dan dilatasi pupil. Jika terjadi pada fossa posterior, akan timbul sakit
kepala dan kaku kuduk. Pada keadaan ini harus kita curigai adanya massa infratentorial
jika penurunan kesadaran selama observasi tidak disertai dengan tanda-tanda fokal,
terutama jika disertai adanya jejas pada bagian oksipital.

b. Perdarahan intradural, mencakup perdarahan subdural, subarachnoid, intraserebral,


intraserebellar, dan intraventrikuler.
 Perdarahan subdural, lebih lazim dengan sebutan subdural hematom (SDH)
diartikan sebagai penumpukan darah diantara duramater dan aracnoid. Lesi ini
lebih sering ditemukan daripada EDH. Dengan mortalitas 60-70 persen. Terjadi
karena laserasi arteri/ vena kortikal pada saat berlangsung akselerasi dan deselerasi.
Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan oleh robekan ‘bridging vein’ yang
menghubungkan permukaan korteks dengan sinus vena. Gejala yang timbul antara
lain penurunan kesadaran, pupil anisokor, dan defisit neurologis, terutama
gangguan motorik. Lesi biasanya ipsilateral terhadap pupil yang dilatasi dan
kontralateral terhadap defisit motorik. Kadang-kadang disertai abnormalita nervus
III. Jika SDH terjadi pada fossa posterior, dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, sakit kepala, muntah, kelumpuhan saraf kranial, dan kaku kuduk. SDH
fossa posterior biasanya disebabkan oleh laserasi sinus vena, atau perdarahan dari
kontusio serebelli, dan robeknya ‘bridging vein’.

 Perdarahan subarakhnoid traumatika, paling sering ditemukan pada trauma kepala,


umumnya menyerupai lesi lain. Perdarahan terletak diantara arachnoid dan
piamater, mengisi ruang subarachnoid.
 Perdarahan intraserebral, atau lebih dikenal dengan intraserebral hematom (ICH),
diartikan sebagai hematoma yang berbentuk pada jaringan otak (parenkim) sebagai
akibat adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan lobus frontal dan
temporal (80-90 %), tetapi dapat juga melibatkan korpus kallosum, batang otak dan
ganglia basalis. Gejala dan tanda juga ditentukan oleh ukuran dan lokasi
hematoma. Pada CT-scan akan memberikan daerah hiperdens yang homogen dan
berbatas tegas. Jika massa hiperdens tersebut berdiameter kurang dari 2/3 diameter
lesi, maka keadaan ini disebut kontusio. Jika ICH ini disertai denga SDH dan
kontusio atau laserasi pada daerah yang sama, maka disebut ’burst lobe’ . paling
sering terjadi pada lobus frontal dan temporal. Berdasarkan hasil pemeriksaan CT-
scan, Fukamachi dkk, tahub 1985, membagi ICH atas :
 Tipe 1, hematoma sudah terlihat pada CT-Scan awal.
 Tipe 2, hematoma berukuran kecil sampai sedang pada CT-Scan awal,
kemudian membesar pada CT-Scan selanjutnya.
 Tipe 3, hematoma terbentuk pada daerah yang normal pada CT-Scan awal
 Tipe 4, hematoma berkembang pada daerah yang abnormal sejak awal (salt
and pepper)
 Perdarahan intraserebelar, umumnya merupakan perdarahan yang terjadi pada
serebellum. Lesi ini jarang terjadi pada trauma, umumnya merupakan perdarahan
spontan. Prinsipnya hampir sama dengan ICH pada supratentorial, tetapi secara
anatomis harus diingat bahwa kompartemen infratentorial lebih sempit dan ada
struktur penting didepannya, yaitu batang otak.
 Perdarahan intraventrikuler traumatika, diartikan sebagai adanya darah dalam
sistem ventrikel berasal dari trauma. Sumber perdarahan biasanya sulit ditemukan,
mungkin berasal dari robekan vena pada dinding ventrikel, robekan pada korpus
kallosum, septum pellusidum, forniks atau pada pleksus koroid. Pada sepertiga
kasus merupakan perluasan hematom yang ada pada lobus frontal, temporal dan
ganglia basalis. Mortalitas sangat tinggi. Perdarahan jenis ini lebih sering terjadi
pada bayi prematur atau bayi berat lahir rendah. Diduga hal ini disebabkan oleh
imaturitas dari sistem sirkulasi. Perdarahan intraventrikel dapat dibagi menjadi
empat tingkatan:
- Tingkat 1: perdarahan terjadi dalam matriks germinal
- Tingkat 2: perdarahan terjadi di dalam ventrikel
- Tingkat 2: pelebaran ventrikel akibat perdarahan
- Tingkat 4: perdarahan ke jaringan otak di sekitar ventrikel
Pada tingkat 3 atau 4 perdarahan dapat menyebabkan cedera otak berkepanjangan
dan hidrosefalus akibat bekuan darah yang menyumbat aliran cairan serebrospinal.
Selain pada bayi, perdarahan ini juga dapat terjadi pada orang dewasa akibat
trauma otak. Perburukan terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial dan
herniasi.
IV. DIAGNOSIS
V.1 Anamnesa
Kira –kira 80% penderita yang dibawa ke UGD dengan cedera kepala dikategorikan
sebagai cedera otak ringan, penderita-penderita tersebut sadar namun dapat
mengalami amnesia berkaitan dengan cedera yang dialaminya. Dapat dilakukan
anamnesis berkaitan dengan identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, ras dan
pekerjaan), mekanisme cedera, waktu cedera, tidak sadar segera setelah cedera,
amnesia ( retrograde, anterograde), dan sifat sakit kepalanya (ringan, sedang, berat).9
V.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap penderita cedera kepala
setelah resusitasi meliputi :
- Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran di nilai dengan GCS (Glasgow coma scale).
- Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf cranial
Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh saraf otonom, yaitu simpatis
dan parasimpatis.
- Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar
Rangsang nyeri yang diberikan antara lain : dengan mengunakan batangan
pensil, pulpen, gagang reflex hammer, atau benda tumpul yang lain, melakukan
penekanan pada kuku bagian proksimal, dengan melakukan penekanan tumpul
pada sternum, dan dengan melakukan penekanan tumpul pada supraorbita
ridge
- Reaksi motorik terbaik
Untuk gerakan bertujuan jelas, kekuatan gerakan harus dinilai dan penilaian
dibagi menjadi :
+5, jika kekuatan gerakan normal
+4, jika kekuatan gerakan mendekati normal
+3, jika hanya mampu melawan gaya grafitasi
+2, jika dapat bergeser namun belum dapat melawan gaya grafitasi
+1, tampak ada gerakan otot, tetapi belum mampu bergeser.
Penilaian kekuatan ini dilakukan pada masing-masing anggota gerak.
- Pola pernapasan

V.3 Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan Radiologik
1. Foto Polos Kepala
Foto polos kepala masih memiliki peranan yang penting untuk ‘triage’ penderita
dengan trauma kepala ringan. Walaupun demikian, harus diingat bahwa, jika
indikasi CT-Scan sudah jelas, maka pemeriksaan foto polos kepala tidak diperlukan
lagi karena beberapa alasan berikut :
 Akan memperpanjang waktu pemeriksaan
 Tidak memberikan informasi tambahan sehubungan dengan
penatalaksanaan penderita karena sudah tercakup dalam CT-Scan.
 Pemborosan biaya pemeriksaan.
Foto polos kepala pada penderita trauma kepala di rumah sakit yang
memiliki fasilitas CT-Scan sebaiknya hanya dilakukan pada trauma kepala ringan
yang disertai dengan :
a. Riwayat pingsan atau amnesia.
b. Adanya gejala neurologis seperti diplopia, vertigo, muntah, atau sakit kepala.
c. Adanya tanda neurologis seperti hemiparese.
d. Adanya otorrehea atau rhinorrhea.
e. Adanya kecurigaan luka tembus kepala.
f. Adanya kecurigaan intoksikasi obat atau alkohol.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam interpretasi foto polos kepala, antara
lain :
a. Fraktur ditandai oleh garis kehitaman berbatas tegas (tajam). Garis
tersebut biasanya tidak bercabang, cenderung membentuk garis lurus dan
berhenti pada sutura, dan dapat disertai diastase pada sutura.
b. Fraktur depressed ditandai oleh daerah dengan densitas meningkat karena
terdapat tulang yang saling tumpang tindih, dibarengi oleh daerah dengan
densitas menurun kerena adanya fragmen tulang yang bergeser.
c. Perhatikan adanya ‘air-fluid level’ pada sinus para nasal, merupakan
suatu tanda perdarahan intra sinus akibat fraktur maksilofasial.
d. Perhatikan adanya udara intrakranial (pneumosefalus) yang menunjukkan
adanya fraktur terbuka, terutama fraktur basis cranii.
e. Perhatikan adanya air fluid level pada sinus spenoid merupakan tanda
fraktur basis cranii. Garis fraktur basis sendiri sulit terlihat, kecuali
dengan CT-Scan.

2. Foto servikal
Pemasangan foto servikal harus didahului dengan pemasangan servikal
kollar. Pemeriksaan ini dengan indikasi antara lain :
a. Pada penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
b. Pada penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher.
c. Adanya jejas dia tas klavikula, sehubungan dengan mekanisme cedera yang
dialami.
d. Setiap penderita dengan adanya kecurigaan trauma servikal.
Perhatikan apakah terdapat fraktur, dislokasi, subluksasi, atau pelebaran
ruang diantara prosessus spinosus. Jika pada pemeriksaan foto servikal tidak
ditemukan kelainan, sedangkan klinis menunjukkan adanya trauma servikal, maka
dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan servikal untuk pembuktiannya.
3. CT-Scan
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita cedera kepala:
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama observasi.
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak.
c. Adanya tanda klinis fraktur basis cranii.
d. Disertai dengan kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal.
f. Sakit kepala yang menetap.
Beberapa keuntungan pemeriksaan CT-Scan kepala pada trauma kepala antara
lain :
a. Merupakan pemeriksaan noninvasif dan cepat.
b. Memberikan gambaran lesi akut dengan baik (hematom, kontusio, edema).
c. Dapat memberikan gambaran perubahan struktur anatomis dan hidrocefalus
akibat trauma.
d. Dapat memberikan informasi lokasi anatomis lesi secara akurat.
e. Dapat memperlihatkan fraktur dan perubahan pada sinus dan jaringan lunak.
f. Lebih baik dalam pencitraan fraktur depressed dibandingkan dengan foto polos
kepala kecuali untuk fraktur depressed di verteks.
g. Dapat memperlihatkan pneumosefalus minimal yang tidak terlihat pada foto
polos kepala.
h. Lebih baik dalam penentuan lokasi anatomis benda asing dibandingkan
dengan foto polos kepala.
Walaupun banyak keuntungan yang diberikan melalui pemeriksaan CT-Scan kepala
dibandingkan dengan pemeriksaan lain, tetapi ada beberapa kelemahan dari
pemeriksaan ini antara lain :
a. Fraktur depressed pada verteks dapat terlewatkan.
b. Fraktur depressed dapat disalahartikan dengan lesi epidural hematoma, jika
tidak dilakukan pemeriksaan bone window.
c. Kurang mampu menilai lesi vaskuler, jika tidak menggunakan kontras.
d. Lesi aneurisma intrakranial traumatika sering terlewatkan.
e. Pada potongan dengan ketebalan > 5 mm. Lesi-lesi kecil dapat terlewatkan.
f. Gerakan penderita dapat mengganggu hasil pemeriksaan (megurangi kualitas
gambar).
g. Adanya artefak dapat mengganggu interpretasi gambar.

4. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Beberapa keuntungan MRI dibandingkan CT-Scan untuk pencitraan pada trauma
kepala antara alain :
a. Lebih baik dlam menilai cedera subakut, termasuk kontusio, dan SDH.
b. Lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma
secara lebih akurat karena mampu melakukan pencitran dari beberpa posisi.
c. Pada kasus dengan SDH subakut yang kecil (minimal), mampu
membedakannya dari tulang kepala.
d. Lebih baik dalam pencitraan batang otak.
e. Mampu memperlihatkan aneurisma intrakranial traumatika walau tanpa
kontras, demikian juga lesi vaskuler lainnya seperti CCF ( carotid cavernosus
fistula).
Sedangkan kerugian MRI dibanding CT-Scan antara lain :
a. Membutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama sehingga membutuhkan alat
monitoring khusus pada pasien trauma kepala berat atau multiple injury.
b. Kurang sensitif menilai perdarahan akut.
c. Kurang baik dalam penilaian fraktur.
d. Perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat terlewatkan.
e. Pada keadaan tertentu MRI menjadi kontraindikasi, antara lain :
 Penderita dengan alat pacu jantung, neurostimulator yang ditanamkan, dan
‘cohhlear implants’ karena dapat menyebabkan gangguan fungsi sementara
atau permanen.
 Penderita dengan klips aneurysma ferromagnetic sangat berbahaya,
semakin besar sifat ferromagnetic bahan dasar klips akan menyebabkan
beberapa hal jika dilakukan pemeriksaan MRI.
 Benda asing atau logam yang ditanamkan dan mengandung unsur besi dan
kobalt yang dapa bergeser , terdorong dan bahkan logam tersebut menjadi
panas.
 Tidak dianjurkan pada wanita hamil, terutama trimester 1 (<12 minggu),
karena efeknya belum jelas dan pada trimester 1 ini berlangsung
organogenesis yang aktif.

Gambaran lesi intrakranial cedera kepala dengan pemeriksaan radiologik antara


lain :
Hematoma traumatika akut akan terlihat sebagai lesi hiperdens pad CT-Scan.
Untuk hematoma intraparenkimal, beberapa hal yang dapat diperhatikan untuk
membedakannya dengan perdarahan spontan, pada gambaran CT-Scan, antara lain :
 Bentuk lesi irreguler
 Batas tidak tegas
 Biasanya multiple
 Tersebar pada berbagai tempat
 Likasinya superfisial, biasanya berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya
( misal fraktur).

V. PENANGANAN
A. 1. Primary Survey
Penatalaksanaan penderita trauma kepala dilakukan secara terpadu sesuai
ATLS (Advanced Trauma Life Support). Dimulai dengan primery survey, resusitasi dan
penatalaksanaan , dan secondary survey. . Resusitasi dapat dilakukan secara simultan
pada saat primary survey. Primary survey ini meliputi : 4,9
a. Airway (Jalan napas)
Yaitu membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal kollar untuk immobilisasi servikal, sampai terbukti tidak ada cedera
servikal. Bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah, gigi yang
patah , dll. Terutama pada pasien yang tidak sadar dengan lidah jatuh ke belakang.
Jika penderita sadar dan dapat berbicara airway dinilai baik tetapi tetap perlu
reevaluasi. Lakukan intubasi (orotracheal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma
Scale) < 8, jika saturasi oksigen tidak mencapai 90 persen, atau ada bahaya aspirasi
akibat perdarahan dari fraktur maksilofasialis yang hebat. Jika tidak
memungkinkan intubasi, dapat dilakukan cricothyroidotomy. Ini tidak dianjurkan
pada anak karena sering menimbulkan subglotis stenosis. Sedangkan tracheostomy
tidak bijaksana, jika diperlukan untuk membebaskan jalan napas dengan segera.
b. Breathing
Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi
untuk menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk
memastikan masuknya udara kedalam paru.
c. Circulation
Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan
cardiac output walaupun stroke volume menurun. Selanjutnya akan diikuti dengan
penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik- tekanan diastolik). Hal ini mencerminkan
vasokonstriksi pada berbagai jaringan tubuh sebagai usaha untuk mempertahankan
aliran darah ke organ vital. Jika aliran darah ke organ vital sudah tidaj dapat di
pertahankan lagi, maka timbullah hipotansi. Dengan memakai konsep dasar
tersebut, maka tanda vital yang didapat akan menentukan tindakan dan evaluasi
terhadap penderita.
d. Disability (Neurologic evaluation)
Dengan pemeriksaan mini neurologis, hal ini meliputi pemeriksaan:
 GCS setelah resusitasi
 Bentuk, ukuran, dan refleks cahaya pupil. Bandingkan pula kedua pupil,
isokor atau tidak. Hati-hati, cedera langsung juga dapat menimbulkan
dilatasi pada pupil yang bersangkutan.
 Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan, apakah ada parese atau tidak. Hasil
pemeriksaan ini diimplementasikan untuk EDH. Sebab harapan
keberhasilan untuk EDH murni sangat baik, mendekati 100 persen jika
ditangani dengan cepat dan tepat.
 Walaupun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma
kepala, penurunan keadaan kadang-kadang terjadi dengan cepat.
Diperlukan evaluasi ulang yang berulangkali, untuk mengenal adanya
perubahan neurologis.
e. Exposure
Exposure dengan menghindarkan hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas/dibuka agar tidak ada cedera yang terlewatkan selama
pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara ‘log-rolling’.
Harus dihindari terjadinya hipotermia terutama pada penderita yang di resusitasi
dengan cairan kristaloid dalam jumlah besar dan cepat. Hipotermia dapat memicu
terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung. Yang penting adalah suhu
tubuh penderita bukan rasa nyaman petugas kesehatan.

2. Secondary Survey 4,9


Secondary survey baru dilakukan setelah primary survey selesai, resusitasi
dilakukan dan ABC-ya penderita dipastikan membaik. Survei sekunder adalah
pemeriksaan yang dilakukan dari kepala sampai kaki (head to toe examination).

2.1 Kepala dan Leher


Dilakukan evaluasi terhadap adanya tanda-tanda trauma eksternal seperti
kontusio jaringan, eccymosis, laserasi, atau pembengkakan jaringan lunak.
Palpasi dilakukan secara sistematis dan simultan terhadap tulang-tulang wajah
pada kedua sisi.
2.2 Thoraks
Inspeksi, perhatikan ada tidaknya luka, bentuk dan pergerakan dinding thoraks
saat bernapas. Palpasi , perhatikan ada tidaknya emfisema subkutis, periksa
juga tanda deviasi trakea, dan nyeri tekan. Auskultasi, menilai bunyi napas
kedua sisi dan bandingkan.
2.3 Abdomen
Evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan trauma tumpul abdomen lebih
kompleks..
2.4 Ekstremitas
Perkirakan kehilangan darah pada beberapa fraktur tertutup tulang ekstremitas
dan pelvis. Pada sindroma kompartemen, jika berlangsung > 6 jam akan
memberikan gejala sisa.

B. 1. Medical Treatment
Observasi terutama ditujukan untuk menilai adanya perubahan yang menandakan
adanya suatu hematom intrakranial yang berkembang. Observasi dilakukan pada
24 jam pertama sejak trauma atau sampai GCS mencapai 15.
Untuk pencegahan peninggian tekanan intrakranial dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu :
 Menghindari terjadinya hiperkapnea dimana PaCO2 harus
dipertahankan dibawah 40 mmHg
 Hindarkan pemberian cairan yang berlebih
 Diuretic osmosis dalam hal ini yang paling banyak digunakan adala
manitol
 Menuver lain yaitu head up 30- 450
 berikan sedasi jika pasien gaduh gelisah. Penggunaan sedasi dilakukan
secara intermitten agar evaluasi neurologis dapat dilakukan secara
terus-menerus. Dapat diberikan morfin intravena 0,1 mg/kgBB setiap 1-
3 jam.
Anti kejang post trauma seperti phenitoin
Dosis dewasa :
Dosis loading 18 mg/kgBB secara iv perlahan-lahan
Dosis maintenance 200-500 mg perhari dalam dosis terbagi.
Dosis anak :
Dosis loading 20 mg/kgBB diberikan secara perlahan
Dosis maintenance 4-7 mg/kgBB /hari diberikan dua kali sehari.
Obat pencegah ulkus ventrikuli dan ulkus duodeni seperti antagonist H-2
reseptor maupun proton pump inhibitor (PPI) seperti simetidin, ranitidine, dan
omeprazol.
Obat antiemetik terdapat beberapa pilihan antara lain : metoklopramid,
dimenhidrinate, dan difenhidramin
Obat-obat yang bersifat inotropik seperti dopamine, dobutamin dan epinefrin.
Penggunaan antibiotika, secara umum penggunaan antibiotika untuk trauma
kepala mencakup dua tujuan yaitu untuk pengobatan terhadap infeksi dan
profilaksis. Sebaiknya menggunakan antibiotika yang berspektrum luas.
Penggunaan analgetik, analgetik yang digunakan yaitu :
Kodein dewasa : 30-60 mg peroral dapat diberikan tiap 3 jam, anak : 0,5- 1
mg/kgBB dapat diberikan tiap 4-6 jam.

2. Surgical Treatment
Prinsip dasar pembedahan :
- Evakuasi pembedahan harus dilakukan tepat waktu
- Prosedur pembedahan harus adekuat
- Kerusakan otak sekunder harus dihindari selama pembedahan.

VI. KOMPLIKASI TRAUMA KEPALA


a. Kejang post traumatika , dibagi atas :
- kejang post traumatika dini, timbul dalam 24 jam pertama setelah trauma
kepala
- kejang post traumatika awal terjadi antara hari 1 hingga hari ke 7 setelah
trauma kepala
- kejang post traumatika lanjut, timbul lebig dari 1 minggu setelah trauma
kepala.
- Post traumatik epilepsi, timbul secara berulang-ulang dan bukan disebabkan
oleh penyebab lain kecuali trauma kepala.
b. Infeksi
Infeksi pada trauma kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal yang
berada dikulit (Scalp) . penggunaan antibiotik harus disesuaikan dengan dugaan
empiris kuman penyebab.
c. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
- SIADH (Schwartz- Bartter syndrome) disebabkan oleh pelepasan ADH tanpa
adanya rangsangan fisiologis, ditandai dengan hiponatremia dan osmolaritas urine
yang tinggi.
- CSW (Cerebral salt Wasting) pengeluaran natrium yang berlebihan melalui
urin yang disebabkan oleh gangguan intrakranial.
- Diabetes insipidus (DI) disebabkan oleh rendahnya kadar ADH ditandai dengan
produksi urin berlebihan.
d. Gangguan Gastrointestinal
Pada trauma kepala berat akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan
saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi simpatik yang mengakibatkan
gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi.

VII. PROGNOSIS
Prognosis setelah trauma kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan trauma berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau
vegetatif hanya 5 – 10%.
4. Plan :
Diagnosis :
Trauma Capitis Berat GCS 7 E1M4V2
Pengobatan :
 O2 10 liter per menit via sungkup
 IVFD RL 2 liter (2 line) cor
 Injeksi piracetam 1 amp/8j/iv
 Monitoring urine/ jam  balans cairan, pasang kateter
 Kontrol tanda vital
Fo Folllow up
26 Juli 2013
13.20 pasien apnue, TD tidak terukur, nadi teraba cepat dan halus, pupil midriasis..
Dilakukan Resusitasi Jantung Paru selama ±10 menit
13.25 pasien apnue, TD tidak terukur, nadi tidak teraba, pupil midriasis maksimal, Rc -/-,
EKG flat. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan petugas

Pendidikan : (-)
Konsultasi : (-)
Rujukan : (-)
Kontrol : (-)

Mengetahui,

Dokter Internsip Dokter Pendamping

dr. St. Hardiyanti. S. Malik dr. Rahmaniar

Anda mungkin juga menyukai