2. Obyektif :
Primary Survey
A : obstruksi parsial, terdapat snoring, Jejas daerah servikal (+)
B : Spontan, 32 kali/menit, simetris kiri=kanan, retraksi (-), Rh -/-, Wh -/-
C : TD 80/60 mmhg, nadi 106x/menit.
D : GCS 7 (E1M4V2), delirium, Pupil anisokor φ 3,5 mm, dan φ 2,5 mm, RC +/+
melambat
E: Afebris
Secondary Survey
o Regio cervikal
I : terdapat vulnus excoriatum di atas clavicula ukuran 2x2 cm disertai memar
P: Nyeri tekan sulit dinilai, krepitasi (-)
II. PATOMEKANISME
Trauma kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai dari bagian terluar
(SCALP) hingga bagian terdalam (intrakranial). Setiap komponen yang terlibat memiliki
kaitan yang erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Cedera kepala terbagi atas :
1. Cedera jaringan lunak kepala
Trauma pada SCALP meliputi :
a. Abrasi (ekskoriasi), berupa luka yang terbatas pada lapisan Skin.
b. Laserasi, luka telah melebihi ketebalan skin, dapat mencapai tulang tanpa disertai
pemisahan lapisan SCALP.
c. Kontusio, berupa memar pada SCALP, bisa disertai hematom seperti subgaleal
hematom dan cephal hematom.
d. Avulsi, yaitu luka pada SCALP yang disertai dengan pemisahan lapisan SCALP,
biasanya terjadi pada lapisan Loose areolar tissue.
2 Lesi intrakranial dapat bersifat fokal dan difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan
yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, tergantung kepada mekanisme
cedera yang terjadi (akan dibahas pada bab selanjutnya). Sedangkan kerusakan
menyeluruh (difus) diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma
(penderita yang tidak sadar sejak benturan pada kepala dan tidak mengalami suatu
interval lucid) tanpa gambaran SOL (Space Occupaying Lesion) pada CT-Scan atau
MRI. Kerusakan menyeluruh ini, berdasarkan gambaran patologi dibedakan atas:
- Diffuse Axonal Injury (DAI), yaitu :
Adanya kerusakan axon yang difus dalam hemisfer cerebri, korpus
kallosum, batang otak dan serebelum (pedunkulus).
Awalnya kekuatan renggang saat benturan melebihi level ketahanan
akson, sehingga terjadi sobekan atau fregmentasi aksolemma, dan
keteraturan susunan sitoskeleton akson menjadi rusak. Terjadi pada saat
benturan, tetapi ada yang member batas waktu dalam 60 menit sejak
kejadian.
Berdasarkan luasnya kerusakan yang timbul. DAI dapat dikelompokkan
atas :
o Grade 1 : tanpa lesi fokal
o Grade 2 : dengan lesi fokal pada corpus callosum
o Grade 3 : yaitu grade 2 + lesi fokal pada kuadran dorsolateral
rostral batang otak.
Gambaran klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu
keadaan dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan
sekelilingnya dan tidak mampu member reaksi yang berarti terhadap
rangsangan dari luar.
2. Foto servikal
Pemasangan foto servikal harus didahului dengan pemasangan servikal
kollar. Pemeriksaan ini dengan indikasi antara lain :
a. Pada penderita yang tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.
b. Pada penderita yang sadar dan mengeluh adanya nyeri pada leher.
c. Adanya jejas dia tas klavikula, sehubungan dengan mekanisme cedera yang
dialami.
d. Setiap penderita dengan adanya kecurigaan trauma servikal.
Perhatikan apakah terdapat fraktur, dislokasi, subluksasi, atau pelebaran
ruang diantara prosessus spinosus. Jika pada pemeriksaan foto servikal tidak
ditemukan kelainan, sedangkan klinis menunjukkan adanya trauma servikal, maka
dapat dilakukan pemeriksaan CT-Scan servikal untuk pembuktiannya.
3. CT-Scan
Indikasi pemeriksaan CT-Scan pada penderita cedera kepala:
a. GCS < 15 atau terdapat penurunan kesadaran > 1 point selama observasi.
b. Cedera kepala ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak.
c. Adanya tanda klinis fraktur basis cranii.
d. Disertai dengan kejang
e. Adanya tanda neurologis fokal.
f. Sakit kepala yang menetap.
Beberapa keuntungan pemeriksaan CT-Scan kepala pada trauma kepala antara
lain :
a. Merupakan pemeriksaan noninvasif dan cepat.
b. Memberikan gambaran lesi akut dengan baik (hematom, kontusio, edema).
c. Dapat memberikan gambaran perubahan struktur anatomis dan hidrocefalus
akibat trauma.
d. Dapat memberikan informasi lokasi anatomis lesi secara akurat.
e. Dapat memperlihatkan fraktur dan perubahan pada sinus dan jaringan lunak.
f. Lebih baik dalam pencitraan fraktur depressed dibandingkan dengan foto polos
kepala kecuali untuk fraktur depressed di verteks.
g. Dapat memperlihatkan pneumosefalus minimal yang tidak terlihat pada foto
polos kepala.
h. Lebih baik dalam penentuan lokasi anatomis benda asing dibandingkan
dengan foto polos kepala.
Walaupun banyak keuntungan yang diberikan melalui pemeriksaan CT-Scan kepala
dibandingkan dengan pemeriksaan lain, tetapi ada beberapa kelemahan dari
pemeriksaan ini antara lain :
a. Fraktur depressed pada verteks dapat terlewatkan.
b. Fraktur depressed dapat disalahartikan dengan lesi epidural hematoma, jika
tidak dilakukan pemeriksaan bone window.
c. Kurang mampu menilai lesi vaskuler, jika tidak menggunakan kontras.
d. Lesi aneurisma intrakranial traumatika sering terlewatkan.
e. Pada potongan dengan ketebalan > 5 mm. Lesi-lesi kecil dapat terlewatkan.
f. Gerakan penderita dapat mengganggu hasil pemeriksaan (megurangi kualitas
gambar).
g. Adanya artefak dapat mengganggu interpretasi gambar.
V. PENANGANAN
A. 1. Primary Survey
Penatalaksanaan penderita trauma kepala dilakukan secara terpadu sesuai
ATLS (Advanced Trauma Life Support). Dimulai dengan primery survey, resusitasi dan
penatalaksanaan , dan secondary survey. . Resusitasi dapat dilakukan secara simultan
pada saat primary survey. Primary survey ini meliputi : 4,9
a. Airway (Jalan napas)
Yaitu membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang
servikal kollar untuk immobilisasi servikal, sampai terbukti tidak ada cedera
servikal. Bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda asing, darah, gigi yang
patah , dll. Terutama pada pasien yang tidak sadar dengan lidah jatuh ke belakang.
Jika penderita sadar dan dapat berbicara airway dinilai baik tetapi tetap perlu
reevaluasi. Lakukan intubasi (orotracheal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma
Scale) < 8, jika saturasi oksigen tidak mencapai 90 persen, atau ada bahaya aspirasi
akibat perdarahan dari fraktur maksilofasialis yang hebat. Jika tidak
memungkinkan intubasi, dapat dilakukan cricothyroidotomy. Ini tidak dianjurkan
pada anak karena sering menimbulkan subglotis stenosis. Sedangkan tracheostomy
tidak bijaksana, jika diperlukan untuk membebaskan jalan napas dengan segera.
b. Breathing
Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi, perkusi
untuk menentukan adanya darah atau udara dalam rongga pleura, auskultasi untuk
memastikan masuknya udara kedalam paru.
c. Circulation
Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan
cardiac output walaupun stroke volume menurun. Selanjutnya akan diikuti dengan
penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik- tekanan diastolik). Hal ini mencerminkan
vasokonstriksi pada berbagai jaringan tubuh sebagai usaha untuk mempertahankan
aliran darah ke organ vital. Jika aliran darah ke organ vital sudah tidaj dapat di
pertahankan lagi, maka timbullah hipotansi. Dengan memakai konsep dasar
tersebut, maka tanda vital yang didapat akan menentukan tindakan dan evaluasi
terhadap penderita.
d. Disability (Neurologic evaluation)
Dengan pemeriksaan mini neurologis, hal ini meliputi pemeriksaan:
GCS setelah resusitasi
Bentuk, ukuran, dan refleks cahaya pupil. Bandingkan pula kedua pupil,
isokor atau tidak. Hati-hati, cedera langsung juga dapat menimbulkan
dilatasi pada pupil yang bersangkutan.
Nilai kekuatan motorik kiri dan kanan, apakah ada parese atau tidak. Hasil
pemeriksaan ini diimplementasikan untuk EDH. Sebab harapan
keberhasilan untuk EDH murni sangat baik, mendekati 100 persen jika
ditangani dengan cepat dan tepat.
Walaupun sudah dilakukan segala usaha pada penderita dengan trauma
kepala, penurunan keadaan kadang-kadang terjadi dengan cepat.
Diperlukan evaluasi ulang yang berulangkali, untuk mengenal adanya
perubahan neurologis.
e. Exposure
Exposure dengan menghindarkan hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas/dibuka agar tidak ada cedera yang terlewatkan selama
pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara ‘log-rolling’.
Harus dihindari terjadinya hipotermia terutama pada penderita yang di resusitasi
dengan cairan kristaloid dalam jumlah besar dan cepat. Hipotermia dapat memicu
terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung. Yang penting adalah suhu
tubuh penderita bukan rasa nyaman petugas kesehatan.
B. 1. Medical Treatment
Observasi terutama ditujukan untuk menilai adanya perubahan yang menandakan
adanya suatu hematom intrakranial yang berkembang. Observasi dilakukan pada
24 jam pertama sejak trauma atau sampai GCS mencapai 15.
Untuk pencegahan peninggian tekanan intrakranial dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu :
Menghindari terjadinya hiperkapnea dimana PaCO2 harus
dipertahankan dibawah 40 mmHg
Hindarkan pemberian cairan yang berlebih
Diuretic osmosis dalam hal ini yang paling banyak digunakan adala
manitol
Menuver lain yaitu head up 30- 450
berikan sedasi jika pasien gaduh gelisah. Penggunaan sedasi dilakukan
secara intermitten agar evaluasi neurologis dapat dilakukan secara
terus-menerus. Dapat diberikan morfin intravena 0,1 mg/kgBB setiap 1-
3 jam.
Anti kejang post trauma seperti phenitoin
Dosis dewasa :
Dosis loading 18 mg/kgBB secara iv perlahan-lahan
Dosis maintenance 200-500 mg perhari dalam dosis terbagi.
Dosis anak :
Dosis loading 20 mg/kgBB diberikan secara perlahan
Dosis maintenance 4-7 mg/kgBB /hari diberikan dua kali sehari.
Obat pencegah ulkus ventrikuli dan ulkus duodeni seperti antagonist H-2
reseptor maupun proton pump inhibitor (PPI) seperti simetidin, ranitidine, dan
omeprazol.
Obat antiemetik terdapat beberapa pilihan antara lain : metoklopramid,
dimenhidrinate, dan difenhidramin
Obat-obat yang bersifat inotropik seperti dopamine, dobutamin dan epinefrin.
Penggunaan antibiotika, secara umum penggunaan antibiotika untuk trauma
kepala mencakup dua tujuan yaitu untuk pengobatan terhadap infeksi dan
profilaksis. Sebaiknya menggunakan antibiotika yang berspektrum luas.
Penggunaan analgetik, analgetik yang digunakan yaitu :
Kodein dewasa : 30-60 mg peroral dapat diberikan tiap 3 jam, anak : 0,5- 1
mg/kgBB dapat diberikan tiap 4-6 jam.
2. Surgical Treatment
Prinsip dasar pembedahan :
- Evakuasi pembedahan harus dilakukan tepat waktu
- Prosedur pembedahan harus adekuat
- Kerusakan otak sekunder harus dihindari selama pembedahan.
VII. PROGNOSIS
Prognosis setelah trauma kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan trauma berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi
vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau
vegetatif hanya 5 – 10%.
4. Plan :
Diagnosis :
Trauma Capitis Berat GCS 7 E1M4V2
Pengobatan :
O2 10 liter per menit via sungkup
IVFD RL 2 liter (2 line) cor
Injeksi piracetam 1 amp/8j/iv
Monitoring urine/ jam balans cairan, pasang kateter
Kontrol tanda vital
Fo Folllow up
26 Juli 2013
13.20 pasien apnue, TD tidak terukur, nadi teraba cepat dan halus, pupil midriasis..
Dilakukan Resusitasi Jantung Paru selama ±10 menit
13.25 pasien apnue, TD tidak terukur, nadi tidak teraba, pupil midriasis maksimal, Rc -/-,
EKG flat. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan petugas
Pendidikan : (-)
Konsultasi : (-)
Rujukan : (-)
Kontrol : (-)
Mengetahui,