Anda di halaman 1dari 16

Peripheral Arterial Disease dan Penatalaksanaannya

Amira Yasmine* 102015060


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510

Pendahuluan
Penyakit arteri perifer atau peripheral artery disease (PAD) merupakan suatu kondisi
adanya lesi yang menyebabkan aliran darah dalam arteri yang mensuplai darah ke ekstremitas
menjadi terbatas. Arteri yang paling sering terlibat adalah femoralis dan popliteal pada
ekstremitas bawah, dan brakiocephalica atau subclavia pada ekstremitas bawah. Stenosis
arteri atau sumbatan karena aterosklerosis, thromboembolism dan vaskulitis dapat menjadi
penyebab PAD. Aterosklerosis menjadi penyebab paling banyak dengan kejadiannya
mencapai 4% populasi usia diatas 40 tahun, bahkan 15-20% pada usia lebih dari 70. Kondisi
aterosklerosis tersebut terjadi sebagaimana pada kasus penyakit arteri coroner begitu juga
dengan factor resiko mayor seperti merokok, diabetes mellitus, dyslipidemia, dan hipertensi

Skenario
Seorang laki – laki 71 tahun, pensiunan, datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri
pada tungkai yang semakin memburuk 1 minggu yang lalu.

Pembahasan

Anamnesis

Anamnesis terbagi menjadi 2, yaitu auto-anamnesis dan allo-anamnesis. Pada


umumnya, anamnesis dilakukan secara auto-anamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan
secara langsung terhadap pasiennya dan pasiennya sendirilah yang menjawab dan
menceritakan keluhannya kepada dokter. Inilah cara yang terbaik untuk melakukan
anamnesis karena pasien bisa secara langsung menjelaskan apa yang sesungguhnya ia
rasakan.
Tetapi ada kalanya dimana dilakukan allo-anamnesis, seperti pada pasien yang tidak
sadar, lemah, atau sangat kesakitan, pasien anak-anak, dan manula, maka perlu orang lain
untuk menceritakan keluhan atau permasalahan pasien kepada dokter. Tidak jarang juga
dalam praktek, auto dan allo-anamnesis dilakukan secara bersama-sama.
Tujuan utama anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang
berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Kemudian dapat
dibuat penilaian keadaan pasien. Prioritasnya adalah memberitahukan nama, jenis kelamin,
dan usia pasien, menjelaskan secara rinci keluhan utama, menjelaskan riwayat penyakit
dahulu yang signifikan, riwayat keluarga, pengobatan dan alergi, temuan positif yang relevan
dengan penyelidikan fungsional, dan menempatkan keadaan sekarang dalam konteksi situasi
sosial pasien. Presentasi anamnesis harus mengarah pada keluhan atau masalah. Saat
melakukan anamnesis, hindari penggunaan kata-kata medis yang tidak dimengerti oleh
pasien.1
Anamnesis yang dilakukan pada kasus ini, yaitu:
 Identitas pasien: Laki-laki, 71 tahun
Apakah gejala bertambah buruk saat bekerja dan bertambah baik saat
beristirahat?
 Keluhan utama: nyeri pada tungkai yang semakin memburuk 1 minggu yang
lalu.
 Riwayat penyakit sekarang: nyeri dirasakan pada kedua tungkai, terutama
tungkai kanan, durasi nyeri : 20 – 30 menit. Onset nyeri sejak 3 bulan yang
lalu. Memburuk saat berjalan kaki dalam jarak yang jauh dan membaik saat
istirahat.
 Obat-obatan: obat-obatan apa yang sedang dikonsumsi pasien? adakah baru-
baru ini terdapat perubahan pemakaian obat?
 Riwayat penyakit dahulu: apakah pasien pernah mengalami hal yang sama
sebelumnya?
 Riwayat keluarga: adakah riwayat DM, Hipertensi, penyakit jantung, dan
stroke?
 Riwayat personal dan sosial terkait: gaya hidup, pola makan, keadaan
lingkungan sekitar, dan lain sebagainya. Apakah pasien mengkonsumsi
alkohol?
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik juga penting untuk mengarahkan evaluasi selanjutnya. Sebelumnya,


kita juga harus melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV). Terdapat 2 modus dasarnya,
yaitu:

 Keadaan umum dan TTV dapat dilakukan secara selintas pandang dengan menilai
keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu dinilai secara umum tentang keadaan
pasien (compos mentis, apatis, somnolen, sopor, atau koma).
 Inspeksi yang membutuhkan penggunaan mata pemeriksa secara kritis, dimulai dengan
pengamatan umum selama wawancara medik (anamnesis) dan merupakan modus utama
pemeriksaan fisik.
 palpasi yaitu mode meraba dan merasakan, dimana palpasi ringan digunakan untuk
menilai kulit dan struktur permukaan, variasi dari suhu permukaan, kelembaban, serta
kekeringan.
a. Interaksi Dokter-Pasien

Sebelum melakukan pemeriksaan maupun tindakan kepada pasien diharuskan membina


sambung rasa yang baik dengan pasien. Jelaskan dan informasikan prosedur yang akan
dikerjakan kepada pasien. Jelaskan sesuai dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien.
Tidak terkesan menakut-nakuti tetapi juga tidak terkesan menutup-nutupi. Jelaskan prosedur,
indikasi, tujuan, efek samping dan kemungkinan komplikasi dari pemeriksaan atau tindakan
yang akan dilakukan. Setelah itu mintalah persetujuan terhadap pemeriksaan atau tindakan
yang akan dilakukan. Selain untuk etikomedikolegal, hal ini juga berguna agar pasien
menjadi kooperatif dan siap dengan pemeriksaan atau tindakan yang akan kita lakukan.

b. Persiapan
Dalam pemeriksaan Sirkulasi perifer, CRT, tidak banyak peralatan yang diperlukan.
Cukup pasien, meja & kursi serta bed periksa, stetoskop, tensimeter, alat tulis serta
penerangan/senter secukupnya. Namun dalam hal ini diperlukan keterampilan pemeriksa
untuk melakukan pemeriksaan Pastikan semua peralatan tersebut sudah tersedia dan siap
pakai di ruang periksa. Selain persiapan alat, persiapan diri penolong juga harus dilakukan
dengan mencuci tangan menurut WHO dengan menggunakan sabun dan air mengalir
sebelum dan sesudah pemeriksaan.
c. Pemeriksaan Arteri dan Vena Perifer

Lakukanlah Inspeksi secara menyeluruh terhadap system sirkulasi pada darah tepi.
Amati dengan seksama bentuk, ukuran, simetrisitas, ada tidak bendungan atau pembengkakan
pada pembuluh darah vena di bawah kulit. Prioritaskan pada ke empat ekstrimitas superior
dan posterior. Jangan lupa memperhatikan warna kulit, tekstur kulit serta kuku. Gangguan
perfusi jaringan yanglama akan tampak perbedaan pada ujung-ujung ekstrimitas. Tampak
lebih gelap dan tekstur kasar misal pada kaki penderita Dibetes Mellitus (DM) akibat
vaskulopathy. Pada kuku pemeriksa amati warna, bentuk serta kelainan jika ada pada kuku
tersebut. Warnanya apakah pucat atau bahkan sianosis (kebiruan). Terjadinya clubbing finger
(jari tabuh) dimana jika kedua kuku bersesuaian kedua tangan yang berbeda di tempelkan
menghilangnya celah kuku dan terbentuk sudut di distal ujung kuku akibat jari regio distal
phalank dan kuku menggelembung (rounded and bulbous). seperti ujung stik drum pada
penderita hipoksia yang lama/kronis.

d. Palpasi Arteri Radialis

Untuk mempalpasi arteri radialis gunakanlah permukaan jari 2 dan jari 3 diletakkan
pada bagian flexor, lateral lengan (pergelangan tangan sebelah luar). Rabalah kedua tangan
kanan dan kiri secara bersamaan. Bandingkan apakah denyut nadi sama/serentak. Jika sama
baru mulailah menilai nadi tangan sebelah kanan/ kiri bergantian. hitunglah denyut nadi per
menit, teratur tidaknya, kuat lemahnya/ isi dan tegangan cukup. Nilailah apakah kondisi nadi
tersebut dalam keadaan normal untuk masing-masing sisi.

e. Palpasi arteri poplitea

Mintalah pasien menkuk lutut (posisi fleksi). Bisa dilakukan dengan pasien posisi
supine ataupronasi. Letakkan permukaan jari2-4 kedua belah tangan di fossa poplitea, tekan
dalam. Rasakanpulsasi terutama di jari tengah dan telunjuk. Kemudian hitunglah jumlah
denyut, teratur atau tidak,keras atau pelan. Lakukan secara bergantian pada kedua sisi.

f. Palpasi arteri dorsalis pedis


Gunakan permukaan volar jari 2 dan jari 3, diletakkan pada dorsum kaki, lateral dari
tendonekstensor ibu jari kaki. Hitunglah jumlah denyut, keteraturan, keras lemahnya
denyutan arteri.Bandingkan untuk kedua sisi.

g. Capillary Refill Time (CRT)

CRT dilakukan untuk menilai perfusi jaringan. Mulailah dengan meletakkan tangan
lebihtinggi dari jantung. Tekan kuku pasien dengan menggunakan telunjuk dan ujung kuku
ibu jari tangandominan pemeriksa. Tekanlah selama 5 detik (sampai berwarna putih)
kemudian lepaskan. Amatidan hitung waktu sampai kuku berubah seperti semula. Evaluasi
hasil.bandingkanlah untuk tangansebelahnya. Normalnya, CRT < 2 detik. Jika terjadi
pemanjangan CRT menunjukkan gangguan padaperfusi jaringan misalnya pada pasien syok.

Pemeriksaan Penunjang

A. Ankle Brachial Indeks (ABI)


Pemeriksaan ABI adalah uji noninvasif yang cukup akurat untuk mendeteksi adanya
PAD dan untuk menentukan derajat penyakit ini. ABI merupakan pengukuran non-invasif
ABI didefinisikan sebagai rasio antara tekanan darah sistolik pada kaki dengan tekanan
darah sitolik padalengan. Kriteria diagnostik PAD berdasarkan ABI diinterpretasikan sebagai
berikut:1
B. Toe-Brachial Index (TBI)
TBI juga merupakan suatu pemeriksaan noninvasif yang dilakukan pada pasien
diabetes dengan PAD khususnya pada pasien yang mengalami kalsifikasi pada pembuluh
darah ekstremitas bawah yang menyebabkan arteri tidak dapat tertekan dengan menggunakan
teknik tradisional (ABI, indeks ABI > 1,30) sehingga pemeriksaan ini lebih terpercaya
sebagai indikator PAD dibandingkan ABI. Nilai TBI yang ≥ 0,75 dikatakan normal atau tidak
terdapat stenosis arteri.1

C. Segmental Pressure dan Pulse Volume Recordings (PVR)

Pulse volume recording (PVR) yang juga disebut plethysmography merupakan suatu
tes yang mengukur aliran darah arteri pada ekstremitas bawah dimana pulsasi yang mewakili
aliran darah pada arteri diperlihatkan oleh monitor dalam bentuk gelombang. PVR juga dapat
digunakan pada pasien PAD yang mengalami kalsifikasi pada arteri bagian medial (ABI >
1,30) yang biasa ditemukan pada pasien usia tua, pasien yang menderita diabetes cukup lama
atau pasien yang menderita penyakit ginjal kronik. Pada pasien dengan PAD berat, PVR juga
dapat memprediksi apakah kaki yang terkena PAD ini memiliki cukup aliran darah atau tidak
untuk bertahan atau jika akan dilakukan amputasi pada kaki tersebut. Interpretasi dari tes ini
dapat menyediakan informasi mengenai derajat obstruksi PAD secara spesifik. Pada arteri
yang masih sehat, gelombang pulsasi akan terlihat tinggi dengan puncak yang tajam yang
menunjukkan aliran darah mengalir dengan lancar. Namun jika arteri tersebut mengalami
penyempitan atau obstruksi maka akan terlihat gelombang yang pendek dan memiliki puncak
yang kecil dan datar. Tingkat keakuratan pemeriksaan ini untuk menegakkan diagnosis PAD
berkisar antara 90-95%.

D. Ultrasonografi dupleks
Ultrasonografi dupleks memiliki beberapa keuntungan dalam menilai sistem arteri
perifer. Pemeriksaan yang noninvasif ini tidak memerlukan bahan kontras yang nefrotoksik
sehingga alat skrining ini digunakan untuk mengurangi kebutuhan akan penggunaan
angiografi dengan kontras (Elgzyri, 2008). Modalitas diagnostik ini juga dapat digunakan
sebagai alat pencitraan tunggal sebelum dilakukan intervensi pada sekitar 90% pasien dengan
PAD dimana sensitivitas dan spesifisitas untuk mendeteksi dan menentukan derajat stenosis
pada PAD berkisar antara 70% dan 90% (Favaretto et al, 2007) Dupleks ultrasonografi juga
dapat menggambarkan karakteristik dinding arteri sehingga dapat menentukan apakah
pembuluh darah tersebut dapat diterapi dengan distal bypass atau tidak. Selain itu, alat ini
juga dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu plak pada arteri tersebut merupakan
suatu resiko tinggi terjadinya embolisasi pada bagian distal pembuluh darah pada saat
dilakukan intervensi endovascular.

E. Computed Tomographic Angiography (CTA)


Penggunaan CTA untuk mengevaluasi sistem arteri perifer telah berkembang seiring
perkembangan multidetector scanner (16- atau 64-slice).Sensitivitas dan spesifisitas alat ini
untuk mendeteksi suatu stenosis 50% atau oklusi adalah sekitar 95-99%. Seperti halnya
ultrasonografi dupleks, CTA juga menyediakan gambaran dinding arteri dan jaringan
sekitarnya termasuk mendeteksi adanya aneurisma arteri perifer, karakteristik plak,
kalsifikasi, ulserasi, trombus atau plak yang lunak, hiperplasia tunika intima, in-stent
restenosis dan fraktur stent. CTA tetap memiliki keterbatasan dalam hal penggunaannya pada
pasien dengan insufisiensi renal sedang-berat yang belum menjalani dialysis.1

F. Magnetic Resonance Angiography (MRA)


MRA merupakan pemeriksaan noninvasif yang memiliki resiko rendah terhadap
kejadian gagal ginjal. Pemeriksaan yang memiliki rekomendasi dari ACC/AHA (Class I
Level of Evidence A)ini dapat memberikan gambaran pembuluh darah yang hampir sama
dengan gambaran pembuluh darah pada pemeriksaan angiografi (Hirsch et al, 2006).
Modalitas pemeriksaan ini tidak menggunakan radiasi dan media kontras yang digunakan
(gadolinium-based contrast) tidak terlalu nefrotoksik dibandingkan dengan kontras yang
digunakan pada CTA maupun angiografi kontras. Sensitivitas dan spesifisitas alat ini untuk
mendeteksi stenosis arteri dibandingkan dengan angiografi kontras adalah sekitar 80-90%.

G. Contrast Angiography
Walaupun MRA merupakan modalitas pemeriksaan yang cukup aman dan merupakan
teknologi yang cukup menjanjikan namun pemeriksaan yang masih merupakan standar baku
emas untuk mendiagnosis PAD adalah angiografi kontras.
Pemeriksaan ini menyediakan informasi rinci mengenai anatomi arteri dan
direkomendasikan oleh ACC/AHA (Class I, Level of Evidence A) untuk pasien PAD
khususnya yang akan menjalani tindakan revaskularisasi. Seperti halnya pemeriksaan yang
menggunakan media kontras, prosedur angiografi kontras juga memerlukan perhatian khusus
mengenai resiko terjadinya nefropati kontras. Pasien dengan insufisiensi ginjal sebaiknya
mendapatkan hidrasi yang cukup sebelum tindakan. Pemberian n-acetylcysteinesebelum dan
setelah tindakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal (serum kreatinin lebih dari 2,0 mg/dl)
dapat dilakukan sebagai tindakan pencegahan perburukan fungsi ginjal. Selain itu pasien
diabetes yang menggunakan obat metformin memiliki resiko menderita asidosis laktat setelah
angiografi. Metformin sebaiknya dihentikan sehari sebelum tindakan dan 2 hari setelah
tindakan untuk menurunkan resiko asidosis laktat. Insulin dan obat hipoglikemik oral
sebaiknya dihentikan penggunaannya pada pagi hari menjelang tindakan. Evaluasi klinis
termasuk pemeriksaan fisik dan pengukuran fungsi ginjal direkomendasikan untuk dilakukan
dua minggu setelah prosedur angiografi untuk mendeteksi adanya efek samping lanjut seperti
perburukan fungsi ginjal atau adanya cedera pada daerah akses kateter pembuluh darah

H. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dievaluasi kondisi hidrasi, kadar oksigen darah, fungsi
ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Hematokrit untuk melihat polisitemia, Analisa
urine untuk melihat protein dan pigmen untuk melihat mioglobin di urine. Creatinine
phosphokinase untuk menilai nekrosis.
Hal lain yang juga penting untuk menunjang diagnose PAD diperiksa foto toraks
untuk melihat kardiomegali, Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta
abdominal. Serta arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan
penyempitan.

Diagnosis
Working Diagnosis

Pheriperal Arterial Disease

PAD (Perifer Arterial Disease) adalah penyumbatan pada arteri perifer yang
dihasilkan dari proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan lumen
menyempit (stenosis), atau dari pembentukan trombus (biasanya terkait dengan faktor resiko
yang menjadi dasar timbulnya atherosklerosis). Ketika kondisi ini muncul maka akan terjadi
peningkatan resistensi pembuluh darah yang dapat menimbulkan penurunan tekanan perfusi
ke area distal dan laju darah. Studi menunjukkan bahwa kondisi atherosklerosis kronik pada
tungkai bawah yang menghasilkan lesi stenosis. Mekanisme dan proses hemodinamik yng
terjadi pada PAD sangat mirip dengan yang terjadi pada penyakit arteri koroner. Tempat
tersering terjadinya PAD adalah daerah tungkai bawah. Sirkulasi pada tungkai bawah berasal
dari arteri femoralis yang merupakan lanjutan dari arteri eksternal iliaka. Pecabangan utama
dari arteri femoralis adalah arteri femoralis distal (yang biasanya dimaksudkan sebagai arteri
femoralis superfisial) yang berlanjut ke bagian bawah tungkai dan menjadi arteri popliteal
tepat diatas lutut. Dua arteri utama pada akhir popliteal arteri adalah arteri posterior dan
anterior tibial yang menyuplai darah kebagian bawah tungkai dan kaki.1-2

Differential Diagnosis

Thromboangitis obliterans ( burger’s disease)

Penyakit Thromboangitis obliterans ( burger’s disease ) suatu kondisi inflamasi oklusif


segmental dari arteri dan vena dengan thrombosis dan rekalanisasi pada pembuluh darah
tersebut. Penyakit ini merupakan penyakit inflamasi non-aterosklerosis yang berpengaruh
pada arteri ukuran kecil dan sedang serta vena pada ekstremitas atas maupun bawah. Penyakit
thromboangitis obliterans ( burger’s disease ) ditandai dengan tidak adanya atau hanya sedikit
ateroma dengan inflamasi vaskuler segmental adanya fenomena vasooklusif dan keterlibatan
dari arteriola dan venula dari ekstremitas atas dan bawah.
Tingkat kejadian Thromboplebitis obliterans lebih besar di Asia dibandingkan di
Amerika atau di Eropa utara dan Afrika. Sering terjadi pada orang yang merokok. Banyak
pasien dengan penyakit burger’s disease adalah perokok berat, tetapi beberapa kasus terjadi
pada pasien perokok sedang. Disebutkan bahwa penyakit ini merupakan reaksi autoimun
yang dipacu oleh bahan di dalam rokok.2

Insufisiensi Vena Kronik


Penyakit vena kronik atau chronic venous disease (CVD) didefinisikan sebagai
abnormalitas fungsi sistem vena akibat inkompetensi katup vena dengan atau tanpa disertai
obstruksi aliran vena, yang mempengaruhi sistem vena superfi-sial, sistem vena profunda,
atau keduanya. Bisa juga diartikan sebagai kondisi medis yang ditandai dengan nyeri dan
pembengkakan pada tungkai akibat kerusakan pada katup vena dan gumpalan darah yang
menyebabkan darah terakumulasi di dalam vena.
Penyebab dari insufisiensi vena kronik ini diakibatkan karena kerusakan pada katup
dalam pembuluh darah, pembentukan gumpalan darah di salah satu pembuluh darah dalam
utama kaki, sindrom post-flebitis yang terjadi akibat komplikasi DVT, suatu kondisi yang
ditandai dengan terbentuknya gumpalan darah pada vena – vena dalam.

Thrombophlebitis Superficial
Trombopheblitis adalah peradangan dan pembekuan dalam pembuluh darah.
Tromboflebitis berarti bahwa gumpalan darah telah terbentuk dalam vena dekat dengan kulit.
Mungkin juga ada infeksi pada pembuluh darah. Trombopheblitis biasanya terdapat di vena
kaki atau lengan. Trombopheblitis paling sering mempengaruhi vena superfisial di kaki,
tetapi dapat juga mempengaruhi vena superfisial di paha.Sering kali, trombopheblitis terjadi
pada orang dengan varises tetapi tidak semua penderita varises menderita trombopheblitis.
Trombopheblitis superfisialis menyebabkan reaksi peradangan akut yang menyebabkan
trombus melekat dengan kuat ke dinding vena dan jarang pecah dan terlepas.
Trombopheblitis dapat disebabkan oleh infeksi atau cedera vena. Penyebab lainnya
mungkin tidak bergerak cukup cepat setelah pembedahan atau beristirahat di tempat tidur
untuk waktu yang lama, mungkin mengenakan gips, merokok, minum pil KB, obat-obatan
mungkin melukai dinding pembuluh darah dan menyebabkan tromboflebitis. Penyebab
lainnya mungkin varises, kehamilan, atau iritasi dari infus di pembuluh darah/menggunakan
intravena (IV) line, atau setelah trauma pada vena.Ini melibatkan respons peradangan
berhubungan dengan gumpalan di pembuluh darah.2

Deep Vein Thrombosis (DVT)


Trombosis vena Deep-(DVT) adalah suatu kondisi medis umum, tetapi di bawah-
didiagnosis yang terjadi ketika (bekuan darah) trombus terbentuk di salah satu pembuluh
darah besar, biasanya di tungkai bawah, mengarah ke sirkulasi baik sebagian atau seluruhnya
diblokir. Sebuah trombus vena dalam-(bekuan darah) adalah setoran intravaskular yang
terdiri dari fibrin dan sel darah merah dengan trombosit variabel dan komponen leukosit.
Deep-vein thrombosis terjadi ketika sebuah bentuk trombus (biasanya di daerah aliran
darah lambat atau terganggu) di salah satu pembuluh darah besar, biasanya di tungkai bawah,
mengarah ke baik sebagian atau seluruhnya diblokir sirkulasi. Orang dengan DVT mungkin
melihat rasa sakit dan bengkak di kaki di mana bekuan telah terbentuk, meskipun gumpalan
yang lebih kecil mungkin tidak menimbulkan gejala apapun. Masalah utama terjadi ketika
bagian dari bekuan darah terlepas dan mengalir ke paru-paru. Kondisi ini, disebut embolus
paru (PE), dapat menyebabkan cedera parah atau kematian.

Etiologi

Penyebab dari pheriperal arterial disease adalah danya stenosis (penyempitan) pada
arteri yang dapat disebabkan oleh reaksi atherosklerosis atau reaksi inflamasi pembuluh darah
yang menyebabkan lumen menyempit.

Faktor resiko dari penyakit peripheral arterial disease adalah :


1. Merokok
2. Diet tinggi lemak atau kolesterol
3. Stress
4. Riwayat penyakit jantung, serangan jantung, atau stroke
5. Obesitas
6. Diabetes
7. Rheumatoid arthritis

Epidemiologi

Penyebab terbanyak penyakit arteri perifer pada usia diatas 40 tahun adalah
atherosklerosis. Insiden tertinggi timbul pada dekade ke enam dan tujuh. Prevalensi penyakit
atherosclerosis perifer meningkat pada kasus dengan diabetes mellitus, hiperkolesterolemia,
hipertensi, hiperhomosisteinemia dan perokok.
Diperkirakan pada tahun 2020 akan ada tujuh juta pasien Diabetes Mellitus yang harus
dikelola di seluruh Indonesia. Antisipasi ke arah tersebut harus dimulai dari saat ini, karena
kalau tidak dikerjakan dengan baik penyulit kronik akibat DM akan merupakan beban yang
sangat berat untuk ditanggulangi.3-4

Patofisiologi
Diabetes dan Inflamasi Vaskuler Inflamasi telah menjadi petanda resiko bahkan faktor
resiko penyakit aterotrombosis termasuk PAD. Diabetes mellitus meningkatkan proses
pembentukan ateroma. Terdapat peningkatan kadar histamin pada plasma dan sel pada pasien
diabetes dengan PAD sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas endotel.
Akibatnya, migrasi limfosit T ke dalam tunika intima serta sekresi dan aktivasi sitokin
meningkat. Monosit/makrofag menelan molekullow-density lipoprotein (LDL) yang
teroksidasi yang kemudian berubah menjadi sel busa dimana akumulasi dari sel ini akan
membentuk fatty streakyang merupakan prekursor dari ateroma. Plak ateroma akan menjadi
tidak stabil oleh karena sel endotel pada pasien diabetes ini mengeluarkan sitokin yang
menghambat produksi kolagen oleh sel otot polos pembuluh darah. Selain itu
metalloproteinase juga dikeluarkan oleh sel-sel inflamasi ini dimana zat ini dapat
menghancurkan kolagenfibrous cap plak ateroma sehingga meningkatkan kecenderungan
untuk terjadinya ruptur plak dan pembentukan trombus.
Kelainan fungsi sel endotel dan otot polos pembuluh darah serta adanya kecenderungan
terjadinya trombosis memberikan dampak terhadap kejadian aterosklerosis dan
komplikasinya. Oleh karena posisi anatomis yang strategis antara dinding pembuluh darah
dengan aliran darah, sel endotel dapat mengatur fungsi dan struktur pembuluh darah. Pada
keadaan normal, banyak zat aktif disintesis dan dilepaskan oleh sel endotel untuk
mempertahankan homeostasis pembuluh darah sehingga dapat mempertahankan aliran darah
serta nutrisi ke jaringan sekaligus mencegah terjadinya trombosis dan diapedesis leukosit.

Gejala Klinis
Gejala utama adalah nyeri pada area yang mengalami penyempitan pembuluh darah.
Tanda gejala awal adalah nyeri (klaudikasi) dan sensasi lelah pada otot yang terpengaruh.
Karena pada umumnya penyakit ini terjadi pada kaki maka sensasi terasa saat berjalan.
Gejala mungkin menghilang saat beristirahat. Saat penyakit bertambah buruk gejala mungkin
terjadi saat aktivitas fisik ringan bahkan setiap saat meskipun beristirahat.

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan PAD adalah untuk mengurangi gejala klinis seperti klaudikasio,
meningkatkan kualitas hidup, mencegah terjadinya komplikasi, serangan penyakit jantung,
stroke dan amputasi . pengobatan dilakukan berdasarkan gejala klinis yang ditemukan, faktor
resiko dan dari hasil pemeriksaan klinis dan penunjang.
Terapi Non-farmakologi
1. Perubahan pola hidup
 Berhenti merokok
 Menurunkan berat badan pada penderita obesitas (diet dan olahraga)
 Menurunkan tekanan darah
 Menurunkan kadar kolesterol dalam darah
 Menurunkan kadar gula darah jika beresiko diabetes
 Olahraga teratur

2. Terapi suportif
 Perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan
krim pelembab.
 Memakai sandal dan sepatu yang ukurannya pasa dari bahan sintetis yang berventilasi
 Hindari penggunaan bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke kulit
 Latihan fisik (exercise) berupa jalan-jalan kaki kira-kira selama 30-40 menit

Terapi farmakologis
Terapi Farmakologi Dapat diberikan untuk menurunkan faktor resiko yang ada seperti
menurukan tekanan darah, kadar kolesterol dan untuk mengobati diabetes. Selain itu, terapi
farmakologis juga diberikan untuk mencegah terjadinya thrombus pada arteri yang dapat
menyebabkan serangan jantung, stroke, serta untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien ketika
berjalan.5
 Anti cholesterol
Terapi penurun lipid mengurangi risiko baru atau memburuknya gejala klaudikasio
intermiten. Statin menjadi terapi penurun lipid lini pertama. HMG-Co A reductase
inhibitor (Simvastatin) secara signifikan mengurangi tingkat kejadian kardiovaskular
iskemik sebesar 23%. Beberapa laporan telah menunjukkan bahwa statin juga
meningkatkan jarak berjalan bebas rasa sakit dan aktivitas rawat jalan

 Anti hipertensi
Pemilihan obat antihipertensi harus individual. Diuretik thiazide, beta blocker,
angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEIs), angiotensin receptor blocker (ARB),
dan calcium channel blockers semua efektif. Penggunaan beta blockers aman dan
efektif; mengurangi kejadian koroner baru sebesar 53% pada mereka dengan MI
sebelumnya dan gejala PAD yang bersamaan.

 Anti platelet
Telah terbukti manfaatnya dalam menurunkan resiko terjadinya MI, stroke dan
kematian vascular pada pasien PAD. ACC/AHA guidelines telah merekomendasikan
penggunaan antiplatelet (aspirin [ASA], 75 to 325 mg daily, or clopidogrel, 75 mg dail)
pada pasien PAD dengan aterosklerosis pada ekstrimitas bawah.
Cilostazol (Pletal), adalah reversible phosphodiesterase inhibitor yang menghambat
agregasi platelet, pembentukan thrombin dan proliferasi otot polos pembuluh darah,
memicu vasodilatasi dan meningkatkan HDL dan menurunkan kadar TG. Pedoman
ACC / AHA telah memberikan cilostazol sebagai rekomendasi grade IA kelas untuk
pasien dengan klaudikasio intermiten dengan dosis 100 mg dua kali sehari (diminum
pada saat perut kosong setidaknya ½ jam sebelum atau 2 jam setelah sarapan dan
makan malam). Efek samping yang umum dari cilostazol termasuk sakit kepala (30%
pasien), diare dan gangguan lambung (15%), dan palpitasi (9%). Efek samping hanya
berjangka pendek dan jarang dilakukan penghentian obat. Kontraindikasi obat ini
adalah pasien dengan gagal jantung.
 Pentoxyfylline
Pentoxyfylline merupakan turunan methylxanthine yang telah disetujui oleh FDA pada
tahun 1984, sebelum cilostazol. Ini adalah pengubah reologi dan mengurangi viskositas
darah dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, penurunan kadar fibrinogen dan
menghambat agregasi platelet. Pentoxifylline juga mengurangi perkembangan
aterosklerosis (80). Sementara beberapa penelitian telah menunjukkan manfaat marjinal
dalam jarak berjalan kaki (43,80-83), secara acak, percobaan terkontrol yang
membandingkan pentoxyfylline dengan plasebo dan cilostazol tidak menemukan
perbedaan bebas rasa sakit atau maksimal berjalan jarak antara plasebo dan pengobatan
pentoxifylline kelompok, sedangkan cilostazol ditingkatkan baik bebas rasa sakit dan
maksimal berjalan jarak (76). Pentoxifylline ditoleransi umumnya sangat baik, dengan
insiden rendah efek samping. Hal ini, bagaimanapun, tidak dianjurkan pada pasien
dengan perdarahan otak atau retina baru-baru ini, atau dengan riwayat kepekaan
terhadap methylxanthines, seperti kafein, teofilin dan theobromine. Meskipun
pentoxifylline dianjurkan untuk pengobatan IC, respon yang berarti terlihat hanya pada
sebagian kecil pasien.
ACC / AHA saat ini merekomendasikan bahwa pentoxyfylline (400 mg tiga kali per
hari) dianggap sebagai agen lini kedua untuk cilostazol untuk meningkatkan jarak
berjalan kaki, sedangkan Ketujuh American College of Chest Physicians Konsensus
Konferensi tidak merekomendasikan penggunaan pentoxyfylline (84).5

Terapi Operatif
1. Angioplasti
Tujuannya untuk melebarkan arteri yang mulai menyempit atau membuka sumbatan
dengan cara mendorong plak ke dinding arteri.

2. Operasi By-pass
Bila keluhan semakin memburuk dan sumbatan arteri tidak dapat diatasi dengan
angioplasti. Bagi yang sudah menjalani operasi ini biasanya bebas dari gejala dan tidak
mengalami komplikasi apapun sesudahnya

Komplikasi
Pada tahap yang parah kaki dan tungkai akan menjadi dingin dan kebas. Kulit akan
menjadi kering dan bersisik bahkan saat terkena luka kecil dapat terjadi ulcer karena tanpa
suplai darah yang baik maka proses penyembuhan luka tidak akan berjalan dengan baik. Pada
fase yang paling parah saat pembuluh darah tersumbat akan dapat terbentuk gangren pada
area yang kekurangan suplai darah.
Pada beberapa kasus penyakit vaskular perifer terjadi secara mendadak hal ini terjadi
saat ada emboli yang menyumbat pembuluh darah. Pasien akan mengalami nyeri yang tajam
diikuti hilangnya sensari di area yang kekurangan suplai darah. Tungkai akan menjadi dingin
dan kebas serta terjadi perubahan warna menjadi kebiruan.

Pencegahan
ada beberapa pencegahan yang dapat di lakukan diantaranya : Berhenti merokok, Jika
memiliki diabetes jaga gula darah dalam kontrol yang baik, berolahraga secara teratur selama
30 menit setidaknya tiga kali seminggu, menurunkan kolesterol dan tingkat tekanan darah,
makan makanan yang rendah lemak jenuh, dan mempertahankan berat badan yang sehat

Prognosis

Semua pasien yang menderita pheriperal arterial disease akan mengalami banyak
masalah seperti klaudikasio intermiten, critical limb ischemia (CLI), ulserasi iskemik, rawat
inap berulang, revaskularisasi, dan amputasi anggota tubuh, sehingga menyebabkan
pasiennya depresi. Pasien dengan Pheriperal Arterial Disease kemungkinan lebih besar
mengalami infark miokard (MI), stroke, dan kematian akibat penyakit jantung

Kesimpulan

PAD (Perifer Arterial Disease) adalah penyumbatan pada arteri perifer yang dihasilkan
dari proses atherosklerosis atau proses inflamasi yang menyebabkan lumen menyempit
(stenosis), atau dari pembentukan trombus (biasanya terkait dengan faktor resiko yang
menjadi dasar timbulnya atherosklerosis). Perlu dilakukan diagnosis dan pengobatan yang
cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya komplikasi dan menurunkan angka kematian
akibat Pheriperal Arterial Disease.

Daftar Pustaka
1. National institute for health and clinical excellence. Lower limb peripheral arterial
disease : diagnosis and management. UK: 2012
2. Sanon S, Lenilia DJ, Mouhayar E. Peripheral arterial ischemic events in cancer patients.
Vascular medicine.2010: 16(2): 119-30.
3. Lipe B, Ornstein DL. Deficiencies of natural anticoagulants, protein C, protein S, and
antithrombin. Circulation 2011; 124:e365-e368
4. American Heart Association. Management of patients with perhiperal artery disease.
Dallas:. 2011.
5. Kabo P. Atherosclerosis dan atherotrombosis. In: Bagaimana menggunakan obat-obat
kardiovaskular secara rasional. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;.
2012 h. 38-59

Anda mungkin juga menyukai