Anda di halaman 1dari 5

SECRET 1: KANKER

Dari sekian kasus penyakit, semua organ tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepada kita tak
lepas dari suatu momok penyakit: kanker. Di balik kisah seorang dokter muda menempuh
perjalanannya menjadi seorang dokter, ada hal sederhana yang sering luput dari pemikiran kami:
perasaan pasien. Bagaimana ya perasaan pasien yang ketika itu sedang sakit kanker? Bagaimana
ya perasaan pasien yang ketika itu dilanda rasa nyeri tak terperi? Apakah hal-hal sederhana yang
kecil yang justru mampu memberikan kebahagiaan bagi mereka sudah cukup kita berikan? Oh,
kuberi tahu sesuatu, meskipun aku belum pernah kanker, tetapi, melihat pasien-pasien kanker,
aku menjadi sangat yakin bahwa jaringan tubuh yang terkena kanker itu sangatlah sakiiiit.
Kini saya adalah seorang dokter muda. Perlu jangka waktu 6 tahun untuk mencapai gelar
dokter. Setelah 4 tahun menempuh S1 sebagai mahasiswa kedokteran, kini saya magang di
rumah sakit dengan judul “dokter muda” alias koass. Dokter muda adalah suatu peralihan dari
sarjana kedokteran menuju dokter. Bagaimana bisa kami menceramahi pasien dengan segudang
ilmu yang telah kami dapatkan selama kuliah di kedokteran apabila pasien dalam posisi hati yang
putus asa setelah didiagnosis kanker? Oke, tadi saya menyebutkan tentang segudang ilmu,
mungkin memang kanker adalah salah satu penyakit yang belum ditemukan obatnya, mengingat
perjalanannya yang kadang tidak diketahui sampai benar-benar gawat dan menimbulkan gejala.
Kanker sebenarnya adalah pertumbuhan sel tubuh kita sendiri yang terlampau lebay, dengan
metabolism yang tinggi, dan mengacaukan sistem pengerusakan sel, sehingga pertumbuhannya
tidak dapat dikendalikan, serta mengambil jatah nutrisi dari sel-sel sehat lain. Parahnya lagi, sel-
sel sehat yang tadinya normal dipengaruhi dengan mudah sehingga berubah menjadi sel kanker
juga.
Respon pasien terhadap vonis penyakit kanker itu berbeda-beda. Sejauh pengamatan saya,
ada 2: yang pertama, pasien menggebu minta obat-obatan, vitamin, dan lain-lain asalkan dia bisa
sembuh, yang kedua, pasien benar-benar menolak semua pengobatan, menolak dibawa ke rumah
sakit sampai akhirnya keluarganya membawa ketika kondisinya sudah tak sadarkan diri akibat
penjalaran penyakit kankernya.
Ada pula yang paling menyedihkan ketika diri ini menjadi saksi dari pedihnya hidup
seorang ibu. Kisah penolakan dari pasangan hidup yang dia pilih. Seorang ibu muda, 30 tahun,
datang dengan kondisi kurus kering, diagnosisnya tak jauh-jauh dari penyakit yang juga
menyakitkan: kanker ovarium. Tak tega ketika harus melakukan pemeriksaan fisik kepadanya.
Bagaimana tidak, balutan kulit yang menyelimuti tulang dengan wajah menahan sakit membuat
hati ini semakin teriris.
Terkesima juga melihat perjuangan hidupnya. Antre berobat sejak pagi di poli ginekologi
Kariadi tempatku menempuh ilmu. Berobat demi mendapatkan kenikmatan hidup yang
setidaknya lebih baik meskipun sedikit. Mirisnya lagi, untuk berobat pun, ibu muda ini perlu
memohon iuran dari warga-warga kampungnya. Sedih. Berjalan pun sudah tak mampu. Ibu
muda ini diantar oleh ayah dan ibunya sendiri. Ayahnya menggendongnya dari rumah,
menempuh perjalanan dengan kendaraan umum, lalu sampai di RS Kariadi, masih dengan
digendong di punggung ayahnya, ibu muda ini mencapai poliklinik. Ketika ditanya, sudah
menikah? Jawabannya sudah. Ketika lanjut ditanya, suaminya mana? Suaminya menceraikannya
karena tidak tahan dengan istri yang sakit-sakitannya. Pernikahannya baru terjadi 2 tahun yang
lalu. Ketika itu, ibu muda ini masih seat dan cantik. Ya, raut wajah berparas ayu itu masih
tergurat padanya.
Setengah tahun terakhir, ibu muda ini terkapar sakit. Kondisinya semakin memburuk,
suaminya menceraikannya. Kini ibu muda ini ada di hadapan saya sekarang. Di dalam kisah
hidupnya, seorang dokter tak hanya melihat tubuh pasien yang sakit, tetapi menilik juga
perjalanan hidupnya yang pahit. Entah sesakit apa, saya memberikan obat antinyeri suppositoria
yang dimasukkan langsung ke duburnya agar nyerinya setidaknya mereda.
Sakit fisik dapat diredakan, tetapi sakit hati dan perih kehidupan hanya Tuhan Yang Maha
Membolak-balikkan Hati yang tahu kapan kepedihan itu dapat berakhir. Tuhan pula pemilik
kehidupan. Ketika pada akhirnya diri ini tak berdaya lagi, jangan kaget terjadi penolakan oleh
teman, bahkan orang yang kita percaya untuk menemani kita seumur hidup. Di balik itu, Tuhan
hendak mengingatkan kita: ternyata masih ada orangtua, keluarga, yang senantiasa menerima
kita dengan tangan terbuka, tetapi sering kita lupakan.
Kanker ovarium merupakan kanker pembunuh ketiga terbanyak untuk wanita. Di puncak
pertama terdapat kanker payudara, disusul dengan kanker mulut rahim atau kanker serviks, lalu
diikuti kanker ovarium. Kanker ovarium sering disebut sebagai silent lady killer mengingat
perjalanannya yang cepat dan diam, tiba-tiba menumbangkan tubuh tanpa ampun. Tetapi kita
harus tetap percaya Allah: “Penyakit yang diturunkan telah sepaket dengan obatnya.”***
Hmm, terkadang aku tidak bisa melepaskan pengalaman pribadi dengan keseharian yang
kudapatkan dari pasien. Sudah 2 serial korea aku tonton. Kisah di serial korea itu, bukan tidak
mungkin terjadi di kehidupan nyata. Aku pun pernah. Ya. Mengalaminya. Kisah seorang gadis
biasa yang dicintai oleh pria tampan kaya pewaris tahta. Dan ya, kembali lagi seperti kisah korea
yang dramatis, tidak berakhir bahagia. Pria itu pergi jauh. Leukimia merenggutnya :') Leukimia
adalah kasus lain dari kanker. Leukimia adalah bentuk kanker atau keganasan dari sel darah
putih. Kini, aku hanya bisa mengenangnya.
Malam ini. Terimakasih kenangan ini, salah satu motivasiku menjadi dokter. Tapi sudahlah,
anggaplah itu angin lalu. Tidak ada yang hilang di sini. Tidak ada yang hilang dari sebuah
kenangan. Leukimia, penyakit keganasan sel darah putih. Sel darah putih memperbanyak diri
melebihi normal, tanpa ada fungsinya. Normalnya darah putih dalam tubuh manusia dewasa
berjumlah 4.000 - 11.000 sel/mm3, tetapi pada leukimia, jumlah sel darah putih dapat mencapai
jutaan/mm3. Fungsi normal sel darah putih adalah untuk perlawanan tubuh terhadap infeksi.
Ketika leukimia, tak satu sel pun berfungsi sebagaimana seharusnya. Akibatnya, tubuh menjadi
lebih mudah terserang infeksi, lebih lemah, dan sel darah putih yang ganas pun memakan sel-sel
darah yang lain, hmm, dapat berakhir dengan kematian. Ya, masih teringat ketika mimisan itu
tak kunjung berhenti, gusi yang tiba-tiba berdarah, tubuh yang tiba-tiba pingsan dengan warna
muka pucat. Manusia macam apa yang dapat bertahan hidup ketika itu. Leukimia merenggut
kebahagiaannya. Ketika dilahirkan di keluarga yang mampu membayar semahal apapun operasi
dan pengobatan penyakit apapun, namun kali ini, leukimia belum dapat disembuhkan.
Pengobatan terbaik adalah cangkok/transplantasi sumsum tulang. Tak ada sumsum yang cocok,
maka pilihan satu2nya: cuci darah. Cuci darah? Itu pun hanya memperpanjang usia, bukan
mengobati. Ketika tubuh tak lagi berkompromi, maka waktu kita di dunia telah habis. Lantas
perbuatan apa yang telah kita lakukan di dunia? Melakukan yang terbaik di sisa waktu hidup
yang diberikan. Itulah dia. Meskipun awalnya tidak ada semangat hidup sama sekali, bahkan
hobinya pun harus ditinggalkan: basket. Kegiatan yang membawanya populer, membawanya
melampiaskan kepenatan, harus ditinggalkan. Fisiknya tak lagi sama. Mengapa harus terjadi
padanya, Tuhan? Kejadian itu, masih membekas di hatiku. Memberikan suatu bentuk motivasi
dalam kehidupan ini: menjadi dokter.***
Sepanjang penghayatan sebagai seorang dokter muda, hal yang juga menyayat hati adalah
air mata keluarga pasien. Namun, dari kisah ini saya belajar apa arti kehidupan.
Ketika itu jam 6 pagi. Saya baru selesai jaga bangsal anak di RS. Seperti biasa, tugas dokter
muda adalah memeriksa kondisi pasien di bangsal. Menyenangkan, karena dgn begitu, kita dapat
menyapa pasien setiap hari. Seorang adik cantik, putih, berambut ikal sudah 1 minggu dirawat di
ruang isolasi. Seminggu bukanlah waktu yang singkat bila kita sakit, tak khayal pula kami
menjadi akrab.
Ruang isolasi? Jangan berpikir bahwa penyakit adik ini menular, tidak. Justru adik cantik ini
diisolasi agar tidak tertular penyakit pasien-pasien lainnya. Kondisi tubuhnya memang lemah,
bahkan acap kali merasa kesakitan. Penyakit kanker ganas menggerogoti darahnya sehingga
kondisinya semakin memburuk. Kulitnya yang putih timbul bintik-bintik merah sebagai bentuk
perdarahan pada kapiler di bawah kulit. Jangan berpikir dalam kesakitannya adik ini mengeluh.
Tidak. Hanya raut mukanya yg menggambarkan kesakitan itu. Dia, sosok yang kuat, seorang
anak, tuna rungu dan tuna wicara. Namun ibunya tetap bertahan di sampingnya, sesekali
mengelap darah mimisan yang keluar dari hidungnya, atau gusi berdarah yang terjadi begitu saja.
Sampai pagi itu, suasana ini memenuhi ruang isolasi. Ibunya hanya duduk di pojok ruangan,
menangis, sementara tekanan darah anak ini semakin turun, suhu tubuhnya tak kunjung turun
dari angka 40oC, nafas semakin melemah. Obat-obatan dimasukkan melalui selang infusnya,
berbagai cara dilakukan. Nafas semakin lemah, tekanan darah semakin turun. Ketika paramedik
memberikan resusitasi jantung paru, sang ibu bercerita, entah kisah penyesalan, atau hanya untuk
mengenang. Dulu pernah, 1x, adik cantik ini menjalani kemoterapi untuk kanker darahnya.
Tetapi rambutnya rontok, kulitnya kering, anak menjadi semakin lemah. Sang ibu tak kuasa
melihat derita itu. Bagai pedang bermata dua, kemo yang bertujuan memusnahkan sel kanker,
sebenarnya juga memusnahkan sel sehat di dalam tubuh. Akhirnya pengobatan kemo dihentikan,
dan ini bukan keputusan medis melainkan keputusan sang ibu. Efeknya, pertumbuhan kanker
kian ganas. Sampai akhirnya, pagi itu, adik cantik ini menghembuskan nafas terakhirnya. Pagi
itu terasa berbeda. Sang ibu menangis tersedu-sedu di samping bednya, memanggil-manggil
nama anaknya, yang pergi untuk selama-lamanya. Namun, setidaknya sang ibu sudah memiliki
tabungan amal: anak yg berbakti, ketika di Surga nanti.

Pita-pita warna untuk menghormati kanker

Anda mungkin juga menyukai