Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pentingnya Konstitusi Bagi Suatu Negara

Dosen Pengampu : Drs. Rudito

Disusun Oleh :

1. Maya Safira (142012018021)


2. Miftahul khomsah (142012018023)
3. Mutahit (142012018024)
4. Nandika Pangestu (142012018025)

PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kehendak-
Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu yang berjudul “Pentingnya
Konstitusi Bagi Suatu Negara”.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Kewarganegaraan, dan kami mencoba untuk memaparkan apa yang telah kami tulis ke
dalam sebuah makalah ini.
Kami berharap setelah selesainya tugas makalah ini, bisa bermanfaat bagi semuanya, dan
berguna bagi proses pembelajaran dan kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun karena makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari kata kesempurnaan.
Dalam suatu perkataan "tiada gading yang tak retak" artinya dalam suatu karya tak akan
luput dari kesalahan dan kekurangan sehingga kami memohon maaf jika makalah yang kami
buat masih jauh dari kesempurnaan, serta kami ucapkan terima kasih kepada dosen mata
kuliah Kewarganegaraan yang telah memberikan tugas makalah ini kepada kami semoga hasil
karya kami bisa bermanfaat untuk semua.

Pringsewu, 24 September 2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau mengubah UUD 1945 karena
yang menjadi penyebab tragedi nasional mulai dari gagalnya suksesi kepemimpinan yang
berlanjut kepada krisis sosial politik, bobroknya manajemen negara yang mereproduksi
KKN, hancurnya nilai-nilai rasa keadilan rakyat dan tidak adanya kepastian hukum akibat
telah dikooptasi kekuasaan adalah UUD Republik Indonesia 1945. Itu terjadi karena
fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang
demokratis yang secara jelas dan tegas diatur dalam pasal-pasal dan juga terlalu
menyerahkan sepenuhnya jalannya proses pemerintahan kepada penyelenggara negara.
Akibatnya dalam penerapannya kemudian bergantung pada penafsiran siapa yang
berkuasalah yang lebih banyak untuk legitimasi dan kepentingan kekuasaannya. Dari dua
kali kepemimpinan nasional rezim orde lama (1959-1966) dan orde baru (1966-1998)
telah membuktikan hal itu, sehingga siapapun yang berkuasa dengan masih menggunakan
UUD yang all size itu akan berperilaku sama dengan penguasa sebelumnya.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini
telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penataan ulang terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai “kontrak sosial”
baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang
dituangkan dalam sebuah peraturan dasar (konstitusi).
Perubahan konstitusi ini menginginkan pula adanya perubahan sistem dan kondisi
negara yang otoritarian menuju ke arah sistem yang demokratis dengan relasi lembaga
negara yang seimbang. Dengan demikian perubahan konstititusi menjadi suatu agenda
yang tidak bisa diabaikan. Hal ini menjadi suatu keharusan dan amat menentukan bagi
jalannya demokratisasi suatu bangsa.
Realitas yang berkembang kemudian memang telah menunjukkan adanya
komitmen bersama dalam setiap elemen masyarakat untuk mengamandemen UUD 1945.
Bagaimana cara mewujudkan komitmen itu dan siapa yang berwenang melakukannya
serta dalam situasi seperti apa perubahan itu terjadi, menjadikan suatu bagian yang
menarik dan terpenting dari proses perubahan konstitusi itu. Karena dari sini akan dapat
terlihat apakah hasil dicapai telah merepresentasikan kehendak warga masyarakat, dan
apakah telah menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Wajah Indonesia
yang demokratis dan pluralistis, sesuai dengan nilai keadilan sosial, kesejahteraan rakyat,
dan kemanusiaan.
Dengan melihat kembali dari hasil-hasil perubahan itu, kita akan dapat dinilai
apakah rumusan-rumusan perubahan yang dihasilkan memang dapat dikatakan lebih baik
dan sempurna. Dalam artian, sampai sejauh mana rumusan perubahan itu telah
mencerminkan kehendak bersama. Perubahan yang menjadi kerangka dasar dan sangat
berarti bagi perubahan-perubahan selanjutnya. Sebab dapat dikatakan konstitusi menjadi
monumen sukses atas keberhasilan sebuah perubahan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa pengertian konstitusi ?
2. Apa tujuan konstitusi ?
3. Apa saja Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara?
4. Bagaimana Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat disimpulkan tujuan penulisannya
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian konstitusi
2. Untuk mengetahui tujuan konstitusi
3. Untuk mengetahui Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara
4. Untuk memahami Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari kata constitution (Bhs. Inggris) – constitutie (Bhs.
Belanda) – constituer (Bahasa Perancis), yang berarti membentuk, menyusun,
menyatakan. Dalam bahasa Indonesia, konstitusi diterjemahkan atau disamakan artinya
dengan UUD. Konstitusi menurut makna katanya berarti dasar susunan suatu badan
politik yang disebut negara. Konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan untuk membentuk,
mengatur, atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai
keputusan badan yang berwenang, dan ada yang tidak tertulis berupa konvensi.

Dalam perkembangannya, istilah konstitusi mempunyai dua pengertian, yaitu:


Dalam pengertian luas (dikemukakan oleh Bolingbroke), konstitusi berarti keseluruhan
dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar. Seperti halnya hukum pada umumnya,
hukum dasar tidak selalu merupakan dokumen tertulis atau tidak tertulis atau dapat pula
campuran dari dua unsur tersebut. Sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-undang
Dasar dan hukum dasar yang tidak tertulis / Konvensi. Dalam arti sempit (dikemukakan
oleh Lord Bryce), konstitusi berarti piagam dasar atau UUD, yaitu suatu dokumen
lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara.

B. Tujuan Konstitusi
Secara garis besar konstitusi bertujuan untuk membatasi tindakan sewenang-
wenangpemerintah, menjamin hak-hak pihak yang diperintah (rakyat) dan menetapkan
pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Sehingga pada hakekatnya tujuan konstitusi
merupakan perwujudan paham tentang konstitusionalisme yang berate pembatasan
terhadap kekuasaan pemerintah diastu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga Negara
maupun setiap penduduk dipihak lain.
Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wanang pemerintah dan
menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasan yang
berdaulat. Menurut Bagir Manan, hakekat dari konstitusi merupakan perwujudan paham
tentang konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun setiap
penduduk di pihak lain.
Sedangkan, menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck,
menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu:
1. Jaminan hak-hak manusia;
2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar;
3. Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3. Peradilan yang bebas dan mandiri.
4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat cakupan isi konstitusi di atas merupakan dasar utama dari suatu
pemerintah yang konstitusional. Namun demikian, indikator suatu negara atau
pemerintah disebut demokratis tidaklah tergantung pada konstitusinya. Sekalipun
konstitusinya telah menetapkan aturan dan prinsip-prinsip diatas, jika tidak
diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan tata pemerintahan, ia belum bisa
dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi demokrasi.
Tujuan-tujuan adanya konstitusi tersebut, secara ringkas dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tujuan, yaitu :
1. Konstitusi bertujuan untuk memberikan pembatasan pembatasan sekaligus
pengawasan terhadap kekuasaan politik;
2. Konstitusi bertujuan untuk melepaskan control kekuasaan dari penguasa sendiri;
3. Konstitusi berjuan memberikan batasan-batasan ketetapan bagi para penguasa
dalam menjalankan kekuasaannya.
C. Nilai Penting Konstitusi dalam Suatu Negara
Konstitusi adalah hukum tertinggi suatu negara, tanpa konstitusi negara tidak
mungkin terbentuk, dengan demikian konstitusi menempati posisi yang sangat vital
dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara. Sehingga dalam hierarki perundang-
undangan konstitusi menempati urutan teratas (gundnorm) dalam segitiga atau lebih
dikenal dengan teori Stufenbau des recht.
Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin
terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara, ibarat “perjalanan cinta Romeo dan Juliet yang setia dan
abadi”. Demikian halnya negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam desertasinya
berpendapat tentang pentingnya suatu konstitusi atau Undang-undang Dasar adalah
sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan
Negara harus dijalankan.
Sejalan dengan pemahaman diatas, Struycken dalam bukunya Het Staatscrecht
Van Het Koninkrijk der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-undang Dasar sebagai
konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa
hendak dipimpin.
Dari empat materi muatan yang tereduksi dalam konstitusi atau undang-undang
diatas, menunjukan arti pentingnya konstitusi bagi suatu negara. Karena konstitusi
menjadi barometer kehidupan bernegara dan berbangsa yang sarat dengan bukti sejarah
perjuangan para pendahulu, sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the founding
fathers, serta memberikan arahan kepada generasi penerus bangsa dalam mengemudikan
suatu negara yang mereka pimpin. Semua agenda penting kenegaraan ini telah terdapat
dalam konstitusi. Sehingga benarlah kalau konstitusi merupakan cabang yang utama
dalam Studi Ilmu Hukum Tata Negara.
Dari sisi lain, eksistensi suatu “Negara” yang diisyaratkan oleh A.G.
Pringgodigdo, baru riel ada kalau memenuhi unsur:
1. Memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat
2. Wilayah tertentu
3. Rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation)
4. Pengakuan dari Negara-negara lain.
Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu Negara ini belumlah cukup menjamin
terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang
mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah Konstitusi atau Undang-
undang.
Untuk memahami hukum dasar suatu negara, juga belum cukup kalau hanya
dilihat pada ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam Undang-undang Dasar atau
Konstitusi saja, tetapi harus dipahami pula aturan-aturan dasar yang muncul dan
terpelihara dalam praktik penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis, atau sering
dicontohkan dengan “konvensi” ketatanegaraan suatu bangsa. Sebab dengan pemahaman
yang demikian inilah “ketertiban” sebagai fungsi utama adanya hukum dapat
terealisasikan.
Prof. Mr. Djokosutono melihat pentingnya konstitusi dilihat dari dua segi :
1. Dari segi isi (naar the inhoud) karena konstitusi memuat dasar (grondslagen) dari
struktur (incrichting) dan memuat fungsi (administratie) Negara.
2. Dari segi bentuk (naar the maker) oleh karena yang memuat konstitusi bukan
sembarang orang atau lembaga. Mungkin bisa oleh seorang raja, raja dengan rakyat,
badan konstituante, atau lembaga diktator.

Pada sudut pandang yang kedua ini, K.C. Wheare mengaitkan pentingnya konstitusi
dengan pengertian hukum dalam arti sempit, dimana konstitusi dibuat oleh badan yang
mempunyai “wewenang hukum” yaitu sebuah badan yang diakui sah untuk memberikan
kekuatan hukum pada konstitusi. Tapi dalam kenyataannya tidak menutup kemungkinan
adanya konstitusi yang sama sekali hampa (tidak serat makna, kursif penulis), karena
tidak ada pertalian yang nyata antara pihak yang merumuskan dan membuat konstitusi
dengan pihak yang benar-benar menjalankan pemerintahan negara. Sehingga konstitusi
hanya menjadi dokumen historis semata atau justru menjadi tabir.
Antara perumus atau peletak dasar konstitusi dengan pemerintah pemegang
astafet berikutnya. Kondisi objektif semacam inilah yang menjadi salah satu penyebab
jatuh bangunnya suatu pemerintahan yang sering diikuti pula oleh perubahan konstitusi
negara tersebut. Seperti yang pernah terjadi di Filiphina, Kamboja, dan lain sebagainya.

Tidak heran, kalau dalam praktif ketatanegaraan suatu negara dijumpai suatu
konstitusi yang tertulis tidak berlaku secara sempurna, oleh karena salah satu dari
beberapa pasal didalamnya tidak berjalan atau tidak dijalankan lagi. Atau dapat juga
karena konstitusi yang berlaku itu tidak dijalankan , karena kepentingan suatu
golongan/kelompok atau kepentingan pribadi penguasa semata. Disamping itu, tentunya
masih banyak nilai-nilai dari konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang
tercantum didalamnya.

Pelaksanaan konstitusi yang berlaku disuatu negara memiliki beberapa


kemungkinan, yakni :

1. Konstitusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termuat didalamnya


2. Terdapat beberapa ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan konstitusi yang tidak dilaksanakan lagi meskipun secara resmi masih
berlaku
3. Konsitusi dilaksanakan tidak berdasar ketentuan yang termuat didalamnya melainkan
demi kepentingan sesuatu golongan atau pribadi tertentu.
Sehubungan dengan berbagai kemungkinan di atas, Karl Loewestein telah
melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian terhadap nilai konstitusi,
yaitu sebagai berikut :
a. Nilai normatif
Suatu konstitusi yang telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi
mereka konstitusi tersebut bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi
juga merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan
dan efektif. Dengan kata lain konstitusi itu dilaksanakan secara murni dan
konsekuen.
Apabila konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa. Maka konstitusi
bukan saja berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga merupakan suatu
kenyataan (reality) dalam arti sepenuhnya secara murni. Dengan demikian tugas
dan kewenangan lembaga-lembaga Negara, seperti ekseskutif, legislatif dan
yudikatif tercantum dalam konstitusi dan bernilai normatif.
b. Nilai nominal
Dalam konteks ini, konstitusi menurut hukum adalah berlaku tetapi
kenyataannya tidak sempurna karena ada pasal-pasal tertentu yang dalam
kenyataannya tidak berlaku (tidak dilaksanakan).
c. Nilai semantik
Konstitusi secara hukum tetap berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya
sekedar untuk memberi bentuk dari tempat yang telah ada dan untuk
melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk
mengatur, yang menjadi maksud substansial dan konstitusi diberikan demi
kepentingan pemegang kekuasaan yang sebenarnya. Dengan demikian, konstitusi
hanya sekedar istilah saja, sedangkan pelaksanaannya tergantung pada
kepentingan pihak penguasa. Konstitusi ini nilainya hanya semantik saja. Dalam
memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk
melaksanakan kekuasaan politik.
Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi terdapat dua aspek penting,
yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik
(das sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan
dipatuhi oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga
merupakan suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan
efektif, maka konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai
normatif. Namun bila suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya,
dalam kenyataannya tidak dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam
kenyataan. Dan tidak dipergunakan sebagai rujukan atau pedoman dalam
pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan kegiatan bernegara, maka dapat
dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal. Misalnya dalam konstitusi
menentukan A, namun dalam kenyataan dilapangan justru kenyataannya terbalik
yang digunakan adalah B. sehingga apa yang ditulis dalam konstitusi hanya
bernilai nominal saja. Dalam Praktiknya dapat pula terjadi percampuran antara
nilai nominal dan normatif. Hanya sebagian saja dari ketentuan undang-undang
dasar yang dilaksanakan, sedangkan sebagian lainnya tidak dilaksanakan dalam
praktik, sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian,
sedangkan sebagian lainnya hanya bernilai nominal. Suatu konstitusi disebut
konstitusi yang bernilai semantik jika norma-norma yang terkandung didalamnya
secara hukum tetap berlaku, namun dalam kenyataannya adalah sekedar untuk
memberikan bentuk untuk melaksanakan kekuasaan politik semata. Sehingga
banyak kalangan yang menilai konstitusi hanya sebagai “jargon” atau semboyan
pembenaran sebagai alat pelanggenagan kekuasaan saja.

D. Penerapan Nilai Konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945


Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting,
yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik (das
sein). Suatu konstitusi yang mengikat itu bila dipahami, diakui, diterima, dan dipatuhi
oleh masyarakat bukan hanya berlaku dalam arti hukum, akan tetapi juga merupakan
suatu kenyataan yang hidup dalam arti sepenuhnya diperlukan dan efektif, maka
konstitusi tersebut dinamakan konstitusi yang mempunyai nilai normatif. Namun bila
suatu konstitusi sebagian atau seluruh materi muatannya, dalam kenyataannya tidak
dipakai atau pemakaiannya kurang sempurna dalam kenyataan. Dan tidak dipergunakan
sebagai rujukan atau pedoman dalam pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan
kegiatan bernegara, maka dapat dikatakan konstitusi tersebut bernilai nominal.
Salah satu contoh penerapan nilai normatif dalam undang-undang dasar 1945
terdapat dalam pasal 7B. Pasal 7B mengatur mengenai pemberhatian presiden dan/atau
wakil presiden yang dapat diajukan oleh dewan perwakilan rakyat kepada majelis
permusyawaratan rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat dewan
perwakilan rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil
presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Berbicara konstitusi Indonesia tidak terlepas dari konstitusi tertulisnya yakni,
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki
kecenderungan bersifat konstitusi yang bernilai semantik. Contohnya UUD 1945 pada
zaman Orde baru dan Orde lama pada waktu itu berlaku secara hukum, tetapi dalam
praktiknya keberlakuan itu semata-mata hanya untuk kepentingan penguasa saja dengan
dalih untuk melaksanakan Undang-Undang dasar 1945. Kenyataan itu dapat kita lihat
dalam masa Orde Lama ikut campur penguasa dalam hal ini esekutif (Presiden) dalam
bidang peradilan, yang sebenarnya dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang dasar 1945
harus bebas dan tidak memihak, hal tersebut dapat terlihat dengan adanya Undang-
undang No. 19 tahun 1965.
Pada masa Orde Baru konstitusi pun menjadi arena pelanggengan kekuasaan hal
tersebut terlihat dengan rigidnya sifat konstitusi yang “sengaja” dibuat dengan membuat
peraturan atau prosedur perubahan demikian sulit, padahal Undang-Undang Dasar pada
saat itu dibentuk dengan tujuan sebagai Undang-Undang Dasar sementara, mengingat
kondisi negara yang pada waktu itu telah memproklamirkan kemerdekaan maka
diperlukanlah suatu Undang-Undang dasar sebagai dasar hukum tertinggi. Namun
dikarenakan konstitusi tersebut masih dimungkinkan untuk melanggengkan kekuasaan,
maka konstitusi tersebut dipertahankan. Maka timbulah adigium negatif “Konstitusi akan
dipertahankan sepanjang dapat melanggengkan kekuasaan”.
Pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-4, memberikan
nilai lain pada konstitusi kita. Dalam beberapa pasal konstitusi kita memiliki nilai
nominal, namun untuk beberapa pasal memiliki nilai normatif. Misal pada pasal 28 A-J
UUD 1945 tentang Hak Asasi manusia, namun pada kenyataan masih banyak
pelanggaran atas pemenuhan hak asasi tersebut, katakanlah dalam pasal 28B ayat (2),
yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kekeluargaan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (penebalan tulisan oleh
penulis). Walaupun dalam ayat tersebut terdapat hak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi namun kenyataannya masih banyak diskriminasi-diskriminasi penduduk
pribumi keturunan. Terlebih pada era orde baru. Kemudian pasal 29 ayat (2), yang
berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Perkataan Negara menjamin kemerdekaan menjadi sia-sia kalau agama yang diakui di
Indonesia hanya 5 dan 1 kepercayaan. Hal tersebut menjadi delematis dan tidak
konsekuen, bila memang kenyataan demikian, mengapa tidak dituliskan secara eksplisit
dalam ayat tersebut.
Hal lain adalah dalam pasal 31 ayat (2), yang berbunyi “ Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Kata-kata wajib
membiayainya seharusnya pemerintah membiayai seluruh pendidikan dasar tanpa
terdikotomi dengan apakah sekolah tersebut swasta atau negeri, karena kata wajib disana
tidak merujuk pada sekolah dasar negeri saja, seperti yang dilaksanakan pemerintah tahun
ini, tetapi seluruh sekolah dasar. Pasal selanjutnya adalah pasal 33 ayat (3), yang
berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Kata dipergunakan dalam ayat tersebut tampaknya masih jauh dari kenyataan, betapa
tidak banyak eskploitasi sumber daya alam bangsa ini yang dikuras habis oleh perusahaan
asing yang sebagian besar keuntungannya di bawa pulang ke negara asal mereka.
Kondisi demikian masih jauh dari tujuan pasal tersebut yakni kemakmuran rakyat
bukan kemakmuran investor. Selanjutnya pasal 34 ayat (1), yang berbunyi “ fakir miskin
dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Kata dipelihara disini bukan berarti
fakir miskin dan anak-anak terlantar dibiarkan “berpesta ngemis” atau bergelandang
tanpa dicari solusi dan menjamin jaminan sosial dimana sesuai dengan tujuan awal, yakni
kesemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Konstitusi dalam arti sempit, yaitu sebagai hukum dasar yang tertulis atau
undang-undang Dasar.
2. Konstitusi dalan arti luas, yaitu sebagai hukum dasar yang tertulis atau undang-
undang Dasar dan hukum dasar yang tidak tertulis / Konvensi
3. Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi
seluruh warga Negara.
4. Karl Loewestein telah melakukan penelitian dan menghasilkan tiga jenis penilaian
terhadap nilai konstitusi, yaitu normatif, nominal, dan semantik.
5. Menurut Karl Lowenstein setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting,
yaitu sifat idealnya sebagai teori (das sollen) dan sifat nyatanya sebagai praktik
(das sein).
B. Saran
Semoga dengan selesai dibuatnya makalah ini, dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan umumnya bagi pembaca. Dan apabila ada kekurangan dari makalah
ini, kami selaku penulis mengharapkan adanya koreksi terhadap kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul. 1999. Konstitusi dan kelembagaan Negara. Jakarta: CV. Novindo Pustaka
Mandiri.

Daud, Abu Busroh dan Abubakar Busro. 1983. Asas-asas Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Kusnardi, Moh. et.ai., 2000. Ilmu Negara. Jakarta:Gaya Media Pratama.

Lubis, M. Solly. 1982. Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.

Thaib, Dahlan,et.al. 2001. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ubaidillah, Ahmad, et.al. 2000. Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM
dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta Press.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

Budiardjo, Miriam, dkk. 2003. Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Efriza. 2013. Ilmu Politik Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.

Sukarja, Ahmad H. 2012. Hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara. Jakarta : sinar
grafika.

Thaib, Dahlan H, dkk. 2012. Teori Dan Hukum Konstitusi. Jakarta: Rajawali pers.

Anda mungkin juga menyukai