Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 16

Disusun oleh : Kelompok 8

Erniyanti Puspita Sari 04111001026

Laode Muhammad H 04111001029

Agien Tri Wijaya 04111001041

Obby Saleh 04111001046

Azizha Ros Lutfia 04111001063

Nyimas Inas Mellanisa 04111001067

Risha Meilinda M 04111001069

Kinanthi Sabilillah 04111001071

Desy Aryani 04111001085

Try Febriani Siregar 04111001086

Randina Dwi Megasari 04111001110

Ridhya Rahmayani 04111001111

Amelia Yunira Pratiwi 04111001115

Randa Deka Putra 04111001141

Tutor:

dr. Liniyanti D.Oswari.MSc

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial
ini dapat terselesaikan dengan baik.

Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari
skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini.

Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan
ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat
bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun,

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

SKENARIO B BLOK 16 1
I. Klarifikasi Istilah 2
II. Dentifikasi Masalah 3
III. Analisis Masalah 3
IV. Hipotesis 32
V. Learning Issue 32
VI. Sintesis 33
VII. Kerangka Konsep 76
VIII. Kesimpulan 77

DAFTAR PUSTAKA 78

iii
Skenario B Blok 16
Panji, 6 tahun, diantar ibunya ke klinik THT RSMH dengan keluhan sakit tenggorokan dan
demam sejak satu hari yang lalu panji sudah menderita batuk pilek. Keluhan nyeri dan keluar
cairan dari telinga disangkal oleh ibu penderita. Keluhan serupa dialami panji tiga bulan yang
lalu, sembuh setelah berobat di puskesmas.

Pemeriksaan fisik:
Tekanan darah normal, denyut nadi normal, frekuensi pernafasan normal, suhu 37,8oC.
Pemeriksaan status lokalis:
Otoskopi dalam batas normal
Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri:
Mukosa hiperemis
Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+
Secret kental berwarna putih
Orofaring:
Tonsil T3-T3, detritus (+), kripta melebar
Dinding faring hiperemis (+), granula (+)
Post nasal drip (+)
Pemeriksaan laboratorium:
Hb: 12,5 g%, WBC: 12.00/uL, Trombosit 250.000/uL

1
I. KLARIFIKASI ISTILAH
- Otoskopi : alat untuk memeriksa atau untuk mengauskultasi telinga.
- Rhinoskopi : pemeriksaan hidung dengan speculum baik melalui nares anterior atau
nasofaring.
- Batuk : ekspulsi udara yang tiba-tiba sambil mengeluarkan suara dari paru-paru.
- Pilek : Penyakit kataralis saluran napas atas, yang dapat disebabkan oleh virus, infeksi
campuran atau reaksi alergi dan ditandai oleh rhinitis akut, sedikit peningkatan suhu
tubuh dan rasa menggigil.
- Demam ; peningkatan temperature tubuh diatas normal (37o C).
- Mukosa : membran yang menghasilkan lendir bebas atau kelenjar.
- Hiperemis : kelebihan darah pada suatu bagian.
- Secret : produk dari sekresi atau proses selular penguraian dan pelepasan produk
spesifik.
- Edema : pengumpulan cairan secara abnormal dalam ruang jaringan interselular
tubuh.
- Konka inferior : tulang yang membentuk bagian bawah dinding lateral rongga nasal.
- Tonsil : massa jaringan yang bulat dan kecil, khususnya jaringan limfoid umumnya
digunakan tersendiri untuk menunjukan tonsil palatina.
- Detritus : merupakan bahan particulat yang dihasilkan dengan atau sisa pengausan
atau disintegrasi substansi atau jaringan.
- Kripta : celah yang dilapisi epitel pada tonsila palatina, tonsila lingualis dan tonsila
faringealis.
- Orofaring : bagian faring yang terletak antara palatum mole dan tepi atas epiglotis.
- Granula : Partikel kecil/butir.
- Post nasal drip : drainase sekret mucus atau mukopurulen yang berlebihan dari daerah
post nasal kedalam faring.

2
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Panji , 6 tahun mengeluh sakit tenggorokan dan demam sejak 1 hari yang lalu.
2. Sejak 3 hari yang lalu panji menderita batuk pilek, keluhan nyeri dan keluar cairan
dari telinga di sangkal oleh ibu.
3. 3 bulan yang lalu panji mengalami keluhan yang sama dan sembuh setelah berobat di
puskesmas.
4. Pemeriksaan fisik.
5. Pemeriksaan status lokalis.
6. Pemeriksaan laboratorium.

III. ANALISIS MASALAH


1. Panji , 6 tahun mengeluh sakit tenggorokan dan demam sejak 1 hari yang lalu
a. Apa penyebab sakit tenggorokan?
Penyebab sakit tenggorokan (pharyngitis) secara umum dapat dibagi menjadi :
1. Penyebab Umum
 Penyebab tersering adalah virus 40-60% (90% pada dewasa dan 60-
75% pada anak). Contohnya rhinovirus, adenovirus, parainfluenza
virus, RSV dll. Penyebab virus dapat juga diawali dengan flu yang
bertahan lama disertai dengan daya tahan tubuh yang menurun
sehingga menimbulkan kesempatan bagi virus menimbulkan Masalah
baru yaitu radang tenggorokan.
 Bakteri 5-40% : GABHS Contohnya S. pyogenes, N. gonorrhoeae, H.
influenza dll.
 Jamur : Candida bisa ditemukan pada orang dengan
imunnocompromised.

2. Penyebab yang Jarang


 Iritasi zat kimia
 GERD
 Post nasal drainage dari alergi kronik
 Neoplasma
 M. pneumonia
 C. pneumonia

Pada Panji, kita tidak dapat menetukan secara langsung apakah infeksi
disebabkan oleh bakteri atau virus. Harus dilakukan swab faring (tes apus

3
tenggorok) dan kultur untuk mengetahui pasti mo penyebab sakit tenggorokan.
Adapun perbedaan berdasarkan hasil klinis antara infeksi virus dan bakteri :

Faringitis Virus Faringitis Bakteri


Biasanya tidak ditemukan nanah di Sering ditemukan nanah di
tenggorokan tenggorokan
Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal atau Jumlah sel darah putih meningkat
agak meningkat ringan sampai sedang
Kelenjar getah bening normal atau Pembengkakan ringan sampai sedang
sedikit membesar pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan Tes apus tenggorokan memberikan
hasil negatif hasil positif untuk strep throat
Bakteri tumbuh pada biakan di
Pada biakan di laboratorium tidak laboratorium
tumbuh bakteri

Berdasarkan pemeriksaan fisik kemungkinan faringitis yang terjadi pada Panji


akibat infeksi bakteri.

b. Apa penyebab demam?


Demam dapat disebabkan oleh faktor infeksi ataupun faktor non
infeksi. Demam akibat infeksi bisa disebabkan oleh infeksi bakteri, virus,
jamur, ataupun parasit. Infeksi bakteri yang pada umumnya menimbulkan
demam pada anak-anak antara lain pneumonia, bronkitis, osteomyelitis,
appendisitis, tuberculosis, bakteremia, sepsis, bakterial gastroenteritis,
meningitis, ensefalitis, selulitis, otitis media, infeksi saluran kemih, dan lain-
lain (Graneto, 2010). Infeksi virus yang pada umumnya menimbulkan demam
antara lain viral pneumonia, influenza, demam berdarah dengue, demam
chikungunya, dan virus-virus umum seperti H1N1 (Davis, 2011). Infeksi
jamur yang pada umumnya menimbulkan demam antara lain coccidioides
imitis, criptococcosis, dan lain-lain (Davis, 2011). Infeksi parasit yang pada
umumnya menimbulkan demam antara lain malaria, toksoplasmosis, dan
helmintiasis (Jenson & Baltimore, 2007).
Demam akibat faktor non infeksi dapat disebabkan oleh beberapa hal
antara lain faktor keadaan tumbuh gigi, dll), penyakit autoimun (arthritis,

4
systemic lupus erythematosus, vaskulitis, dll), keganasan (Penyakit Hodgkin,
Limfoma non-hodgkin, leukemia, dll), dan pemakaian obat-obatan (antibiotik,
difenilhidantoin, dan antihistamin) (Kaneshiro & Zieve, 2010). Selain itu
anak-anak juga dapat mengalami demam sebagai akibat efek samping dari
pemberian imunisasi selama ±1-10 hari (Graneto, 2010). Hal lain yang juga
berperan sebagai faktor non infeksi penyebab demam adalah gangguan sistem
saraf pusat seperti perdarahan otak, status epileptikus, koma, cedera
hipotalamus, atau gangguan lainnya (Nelwan, 2009).

c. Bagaimana mekanisme sakit tenggorokan pada kasus ini?


Bakteri streptococcus menginfeksi sel epitel pharynx  respon imun  reaksi
inflamasi  pelepasan mediator inflamasi oleh sel-sel radang (makrofag,
neutrofil, dll), terutama bradikinin, prostaglandin  menstimulasi ujung saraf
nyeri (nosireseptor pada saraf sensorik) yang terdapat pada pharynx 
transmisi sinyal ke kornu dorsalis medulla spinalis dan dilanjutkan ke otak 
respon dari otak  sensasi nyeri

d. Bagaimana mekanisme demam pada kasus ini?


 Mikroorganisme masuk kedalam tubuh mengeluarkan pirogen eksogen,
tubuh juga memiliki pirogen endogen yang dihasilkan dari makrofag
seperti limfosit, basofil dan neutrofil. Tujuannya adalah untuk memfagosit
dan melisis mikroorganisme dan toksin yang masuk kedalam tubuh
 Saat fagositosis ada reaksi kimia yang terjadi, yang akan memicu
messenger untuk mengaktifkan sel-sel lain pada system imun kita.
Messenger yang bereaksi adalah Interleukin (IL), dan interferon. Yang
paling banyak adalah IL-1
 IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan suhu dan memicu
keluarnya fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid menjadi asam
arakidonat yang akan memicu keluarnya Prostaglandin (PG)
 Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di
hipotalamus. Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang
menyebabkan kenaikan suhu. Disinilah terjadinya demam.
 Demam dimaksudkan agar mikroorganisme atau virus tidak bias
bereplikasi

5
e. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin dengan keluhan?
Faringitis : terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin,
tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak.
Rhinitis : diperkirakan sekitar 20% – 30% populasi orang dewasa Amerika
dan lebih dari 40% anak-anak menderita penyakit ini.
Tonsiltis : sering terjadi pada anak-anak pada umur 5-10 tahun dan dewasa
mudaantara 15-25 tahun.
Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada
pada dewasa. Sekitar 15 – 30 % faringitis terjadi pada anak usia sekolah,
terutama usia 4 – 7 tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh dewasa. Faringitis
ini jarang terjadi pada anak usia <3 tahun. Radang faring pada anak hampir
selalu melibatkan organ disekitarnya sehingga infeksi pada faring biasanya
juga mengenai tonsil sehingga disebut tonsilofaringitis.
Tonsilofaringitis dapat mengenai semua umur, insiden meningkat
sesuai dengan beratambahnya usia, mencapai puncak pada umur 4-7 yahun,
dam berlanjut hingga dewasa. Tak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Insiden tonsilofaringitis streptokokus tertinggi pada usia 5-18
tahun, jarang di bawah usia 3 tahun dan sebanding antara laki-laki dengan
perempuan perbandingan antara laki-laki dengan perempuan yaitu 52% : 48%
Pada anak-anak, Group A streptococcus menyebabkan sekitar 30% kasus
tonsilofaringitis akut, sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar 5-10%.
Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh Group A streptococcus jarang
terjadi pada anak berusia 2 tahun ke bawah.

6
2. Sejak 3 hari yang lalu panji menderita batuk pilek, keluhan nyeri dan keluar cairan
dari telinga di sangkal oleh ibu
a. Apa penyebab batuk pilek?
Batuk
Iritan :
 Rokok
 Asa
 SO2
 Gas di tempat kerja
Mekanik :
 Retensi sekret bronkopulmoner
 Benda asing dalam saluran nafas
 Postnasal drip
 Aspirasi
Penyakit paru obstruktif :
 Bronkitis kronis
 Asma
 Emfisema
 Fibrosis kistik
 Bronkiektasis
Penyakit paru restriktif :
 Pnemokoniosis
 Penyakit kolagen
 Penyakit granulomatosa
Infeksi :
 Laringitis akut
 Bronkitis akut
 Pneumonia
 Pleuritis
 Perikarditis
Tumor :
 Tumor laring
 Tumor paru
Pilek
 Picornavirus (contohnya rhinovirus)

7
 Virus influenza
 Virus sinsisial pernafasan.
b. Bagaimana mekanisme batuk pilek pada kasus?
Mekanisme batuk
 Saluran pernafasan terdiri atas laring, trakea, dan bronkus dimana terdapat
jaringan epitel yang dilapisi mucus bersilia bersel goblet. Di jaringan epitel
tersebut terdapat reseptor batuk yang peka terhadap rangsangan.
 Saat benda asing masuk ke saluran pernafasan, akan menempel di mucus
saluran pernafasan. Selanjutnya akan terjadi iritasi pada reseptor batuk,
sehingga terjadi aktifasi pusat batuk. Fase ini disebut fase iritasi
 Reseptor batuk dan medulla spinalis dihubungkan oleh serat aferen non
myelin. Medula Spinalis akan memberikan perintah balik berupa kontraksi
otot abductor, kontraksi pada kartilago di laring seperti kartilago
aritenoidea yang akan menyebabkan kontraksi diafragma sehingga terjadi
kontraksi dan relaksasi intercosta pada abdominal.
 Hal ini akan menyebabkan glottis terbuka karena medulla spinalis juga
merespon terjadinya inspirasi sehingga akan terjadi inspirasi yang cepat
dan dalam. Fase ini disebut fase Inspirasi
 Saat bernafas paru memiliki daya kembang paru yang akan menyebabkan
glottis menutup selama 0,2 detik. Saat glottis menutup tekanan intratorak
naik sampai 300cmH20. Fase ini disebut fase kompresi
Mekanisme pilek
 Kuman patogen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit,
saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang
bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).
 Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut,
alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan
interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2
(II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk
berproliferasi menjadi sel plasthma dan membentuk IgE.
 IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam
jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh
karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk
IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk
IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.

8
 Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang
sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan
menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel
yang menurunkan kadar cAMP.
 Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam
proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator
yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam
sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil
Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),
trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah
obstruksi oleh histamin.
 Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler &
permeabilitas, sekresi mucus
 Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek

c. Bagaimana hubungan batuk pilek dengan keluhan utama?

Batuk pilek (selesma) lebih sering terjadi karena infeksi virus, namun
dapat pula disebabkan oleh bakteri sebagai komplikasi atau pun infeksi
campuran. Mo yang masuk ke daerah nasal akan menyebabkan terjadinya
proses peradangan. Permaebilitas kapiler akan meningkat, hidung juga akan
mensekresikan lendir yang bening untuk menggumpalkan kuman sehingga
melindungi hidung dan sinus akibatnya sehingga muncullah gejala pilek. Mo
yang telah masuk ke daerah faring akan menyebabkan munculnya mekanisme
pertahanan tubuh yaitu melalui batuk. Reseptor batuk akan terangsang dengan
irritan, sehingga akan terjadi penutupan glottis dan peningkatan tek. Rongga
dada. Aktivasi rec. batuk juga akan merangsang serabut afferent ke pusat
batuk dan diturunkan ke eferen untuk terjadinya reflex batuk.

Akibat batuk pilek dapat terjadi sekresi mucus yang berlebihan dan
menyebabkan iritasi di faring. Jika imun menurun, Mo yg berasal dari sumber
yg sama dengan batuk pilek atau mo baru seperti bakteri akan semakin mudah
masuk ke faring dan menyebabkan inflamasi. Akibatnya akan terjadi
peradangan di dinding posterior faring di lapisan mucosa hingga ke
submucosa yang akan merangasang rec. nyeri sensorik, maka timbulah sakit

9
tenggorokan. Akibat inflamasi ini juga akan dikeluarkan sitokin sitokin yang
dapat menginduksi terjadinya demam.

d. Bagaimana hubungan nyeri dan keluar cairan dari telinga dengan keluhan
panji?

Nyeri dan keluar cairan dari telinga menunjukkan adanya otitis


media.Pada kasus keluhan ini disangkal ibu pasien, yang menunjukkan bahwa
Panji tidak mengalami otitis media.Otitis media sering diawali dengan infeksi
pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke
telinga tengah lewat saluran Eustachius., itu sebabnya dokter perlu
menanyakan kondisi ini. Selain itu apabila ditemukan gejala nyeri dan keluar
cairan dari telinga maka dapat disimpulkan telah terjadi komplikasi akibat
infeksi pada faring dan tonsil.

e. Apa faktor risiko batuk pilek?


- Usia, anak-anak lebih rentan mengalami batuk pilek. Namun seiring
bertambahnya usia sistem imun makin berkembang sehingga resiko
terkena batuk pilek menurun.
- Alergi, batuk berkepanjangan, banyak lendir dan tanpa demam.
- Daya tahan tubuh menurun.
- Infeksi virus, gejalanya didahului oleh demam yang tidak begitu tinggi,
disertai bersin-bersin dan hidung tersumbat.
- Faktor Lingkungan, misalnya pencemaran udara akibat asap rokok dapat
merusak sistem pertahanan paru.
- Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian
yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama
pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti
kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya.
- Status gizi, penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan anak tidak
mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi.

10
3. 3 bulan yang lalu panji mengalami keluhan yang sama dan sembuh setelah berobat di
puskesmas
a. Adakah hubungan antar keluhan 3 bulan yang lalu dengan keluhan sekarang?
Jelaskan!

Ada atau tidak ada hubungan belum bisa dipastikan secara pasti pada
kasus ini. Hal ini harus dipastikan dengan pemeriksaan sputum, kultur bakteri,
dan swab tenggorokan. Akan tetapi, mungkin saja ada hubungan dengan
keluhan tiga bulan yang lalu berupa eksaserbasi akibat oleh imunitas yang
sedang menurun dan pengobatan yang tidak adekuat sehingga masih ada
patogen yang tersisa dalam tubuh walaupun tidak menimbulkan gejala yang
mengganggu pasien, sehingga dianggap sembuh. Namun, patogen aktif dan
berkembang biak kembali karena faktor yang sudah disebutkan di atas. Hal ini
menandakan terjadinya fase kronik. Bisa juga tidak ada hubungan karena
penyakit pasien yang tiga bulan lalu sudah benar-benar sembuh dan terjadi
infeksi oleh patogen baru, jadi pasien masih dalam fase infeksi akut.

b. Mengapa keluhan bisa timbul kembali?

Ada 2 kemungkinan. Pertama, penyakit pasien yang 3 bulan lalu sudah


benar-benar sembuh dan terjadi infeksi oleh patogen baru, jadi pasien masih
dalam fase infeksi akut. Kedua, keluhan yang muncul kembali akibat
exacerbasi dari keluhan yang dulu, hal ini bisa disebabkan oleh imunitas yang
sedang menurun dan pengobatan yang tidak adekuat sehingga masih ada
patogen yang tersisa dalam tubuh walaupun tidak menimbulkan gejala yang
mengganggu pasien,sehingga dianggap sembuh. Namun, patogen aktif dan
berkembang biak kembali karena faktor yang sudah disebutkan di atas. Hal ini
menandakan terjadinya fase kronik.

4. Pemeriksaan fisik
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan fisik?

Panji Normal Interpretasi

Tekanan Darah: 120/80 mmHg Normal


Normal

Denyut nadi: 60-95 x/menit Normal


Normal

11
Respiration Rate: 14-22 x/menit Normal
Normal

Suhu: 37,8oC 36,5-37,2oC Subfebris


- suhu 37,8C.

Mikroorganisme (MO) masuk kedalam tubuh  Proses infeksi  Reaksi


imun (antigen-antibodi)  Pirogen eksogen  Merangsang pirogen
endogen (leukosit)  Produksi sitokin (IL 1, IL-6,TNF)  Memacu
pelepasan asam arakidonat  ↑↑ sintesis prostaglandin E2  Mencapai
hipotamalus  ↑↑ set point pada termostat hipotalamus  Penyimpanan
panas tubuh dan ↑↑ pembentukan panas  Suhu meningkat  Demam
(sub febris)

5. Pemeriksaan status lokalis


a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan status lokalis?

Panji Normal Interpretasi

Otoskopi dalam batas


normal Normal

Rhinoskopi anterior
hidung kanan dan kiri:
 Mukosa Hiperemis
Peningkatan
Vaskularisasi
 Konka inferior
Peradangan pada
edema +/+
konka inferior dan
Hiperemis +/+
Peningkatan
Vaskularisasi

 Sekret kental
berwarna putih
Adanya sel PMN

Orofaring:
 Tonsil T3-T3, T3: 50-75% volume

12
detritus (+), kripta tonsil dibandingkan
melebar dengan volume orofaring

Detritus: terdiri atas


kumpulan leukosit
polimorfonuklear, bakteri
yang mati dan epitel
tonsil yang terlepas.

Kripta melebar adanya


perubahan dari jaringan
limfoid menjadi jaringan
parut

Hiperemis: adanya
peningkatan vaskularisasi
 Dinding faring pada dinding faring.
hiperemis (+),
Granula: Jaringan
limfoid pada dinding
faring menebal dan
membentuk granul-
 granula (+)
granul
 Rhinoskopi anterior hidung kanan dan kiri:
- Mukosa hiperemis
Hiperemis merupakan gambaran mukosa yang terlihat merah akibat
peningkatan vaskularisasi daerah terkait. Ketika terjadi infeksi di mukosa
hidung, missal akibat virus. Maka virus atau bakteri akan difagosit oleh
APC, melalui MHC II, epitop virus/bakteri akan dibawa ke permukaan dan
dideteksi oleh limfosit T. ketika difagosit APC akan menghasilkan
mediator yang membantu proses lisisnya virus/bakteri. CD 8 akan
membunuh sel yang terinfeksi dengan menyuntikan perforin, sementara
Th2 akan membantu pembentukan antibody. Akibat ada inflamasi maka
akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah sebagai mekanisme untuk
menarik sebanyak mungkin sel imun ke focus infeksi melalui mekanisme
kemotaksis. Dengan terjadinya vasodilatasi, arteriol yang sebelumnya
tidak terisi darah akan penuh dan pembuluh darah yang sebelumnya sudah
terisi darah akan semakin meningkat mendekati permukaan sel. Hal ini
akan memberikan gambaran hiperemis pada mukosa. Peranan sel mast
13
yang terdegranulasi dan menghasilkan histamine dan menyebabkan
vasodilatasi juga memainkan peran walaupun secara minor.
- Konka inferior edema +/+ hiperemis +/+
Akibat terjadinya inflamasi dan mekanisme kemotaksis dengan
pengeluaran sitokin dan mediator lain seperti histamine dan brakidinin,
maka akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Hal ini akan mengakibtkan
hubungan antar endotel menjadi menjauh dan dapat terjadi transudasi
cairan plasma ke intertistial dan mengakibatkan edema. Selain itu dengan
adanya pelepasan mediator radang akan memnbuat permeabilitas
pembuluh darah meningkat sehingga menyebabkan terjadinya transudasi
cairan sehingga timbulah edema pada konka nasalis inferior. Hiperemis
terjadi akibat vasodilatasi pembuluh darah.
- Sekret kental berwarna putih
Hal ini terjadi akibat sensitisasi kelenjar mucus sehingga terjadi
hipersekresi yang mengakibatkan adanya secret. Pada awal infeksi secret
yang terbentuk adalah mukoid akibat hipersekresi mucus, kemudian lama
kelamaan secret ini akan mengental dan berubah warna menjadi
kekuningan dan hijau akibat superinfeksi oleh bakteri dan akumulasi
PMN.

 Orofaring:

- Orofaring: T3-T3, detritus (+), kripta melebar

Radang berulang  epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis 


proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut 
jaringan mengkerut sehingga kripta melebar  kripta berisi detritus
(akumulasi epitel yang mati, leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi
kripte berupa eksudat berwarna kekuning-kuningan)  proses meluas
menembus kapsul  akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar
fossa tonsilaris.
- Orofaring: Dinding faring hiperemis (+), granula (+)

Infeksi  sel-sel inflamasi seperti makrofag, neutrofil, dll akan keluar


dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi  menstimulus
keluarnya mediator-mediator inflamasi (histamine, bradikinin) 
peningkatan permeabilitas vaskuler dan dilatasi pembuluh darah 

14
dinding faring tampak hiperemis dan jaringan limfoid pada dinding
belakang akan menebal  terbentuk granul-granul

Staging pembesaran tonsil

b. Bagaimana cara pemeriksaan rhinoskopi?


Penggunaan Rinoskopi
 Identifikasi penyebab dari gejala klinis seperti bersin, mimisan, stertor, dan
stridor (wheezing)
 Memperoleh sampel jaringan (biopsi) untuk evaluasi sitologis dan
histologis. Sampel akan dievaluasi untuk menentukan inflamasi, infeksi,
fibrosis, dan kanker.
 Memperoleh sampel untuk pemeriksaan kultur
 Mengobati gangguan pada nasal, sinus atau nasofaringeal, seperti
menghilangkan polip nasal, dan menghilangkan infeksi jamur.

Prosedur Rinoskopi

Pasien biasanya diperintahkan untuk berpuasa 12 jam sebelum


melakukan rinoskopi untuk mengurangi risiko aspirasi isi perut ke dalam paru
selama anestesi. Setelah dianestesi, pasien dalam keadaan berbaring dan
dimonitor denyut jantung, respiratory rate, tekanan darah, level karbon
dioksida dan saturasi oksigennya untuk mencegah dan meminimalisir
komplikasi pada anestesi.

Pada persiapan untuk melakukan rinoskopi, kavitas oral diperiksa jika


ada gangguan atau ketidaknormalan seperti hiperemi mukosa, penyakit dental,
dan bahan asing. Untuk Rinoskopi Anterior, ujung rinoskop dilubrikasi dan
secara perlahan dimasukkan ke dalam hidung melalui kavitas nasal. Untuk
Rinoskopi Posterior, ujung rinoskop dimasukkan melalui mulut ke dalam
bagian belakang mulut dan kavitas nasal. Selama endoskop dimasukkan,
permukaan kavitas diperiksa jika ada kelainan seperti inflamasi, ulser, plak,
15
bahan asing, dan massa. Sekresi nasal dan darah dapat dihilangkan dengan
saline steril untuk memperjelas visualisasi.

Rinoskopi pada umumnya menghabiskan waktu 20 menit hingga 1 jam


tergantung pada penemuan dalam kavitas dan banyaknya biopsi yang diambil.
Pada akhir prosedur, rinoskop dikeluarkan secara perlahan. Setelah
pemeriksaan rinoskopi berakhir, “cold pack” atau pendingin diberikan pada
hidung pasien untuk meminimalisir pendarahan dan pembengkakan.

Jenis Rinoskopi

Pemeriksaan rongga hidung dilakukan melalui lubang hidung yang


disebut dengan Rhinoskopi anterior dan yang melalui rongga mulut dengan
menggunakan cermin nasofaring yang disebut dengan Rhinoskopi posterior.

Rhinoskopi anterior
RA dilakukan dengan menggunakan speculum hidung yang
disesuaikan dengan besarnya lubang hidung. Spekulum hidung dipegang
dengan tangan yang dominant. Spekulum digenggam sedemikian rupa
sehingga tangkai bawahdapat digerakkan bebas dengan menggunakan jari
tengah, jari manis dan jarikelingking. Jari telunjuk digunakan sebagai fiksasi
disekitar hidung. Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam
keadaan tertutup ke dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah
speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum terlalu dalam atau
membuka lidah speculum terlalu lebar. Pada saat mengeluarkan lidah
speculum dari rongga hidung , lidah speculum dirapatkan tetapi tidak terlalu
rapat untuk menghindari terjepitnya bulu-bulu hidung.

Amati struktur yang terdapat di dalam rongga hidung mulai dari dasar
rongga hidung, konka-konka, meatus dan septum nasi. Perhatikan warna dan
permukaan mukosa rongga hidung, ada tidaknya massa , benda asing dan
sekret. Struktur yang terlihat pertama kali adalah konka inferior . Bila ingin
melihat konka medius dan superior pasien diminta untuk tengadahkan kepala.
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum Molle yaitu
pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk mengucapkan huruf
“ i “. Pada waktu melakukan penilaian fenomena palatum molle usahakan
agararah pandang mata sejajar dengan dasar rongga hidung bagian
belakang.Pandangan mata tertuju pada daerah nasofaring sambil mengamati
turun naiknya palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf “ i ” .
16
Fenomena Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga
nasofaringyang menghalangi pergerakan palatum molle, atau terdapat
kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.Bila rongga hidung sulit
diamati oleh adanya edema mukosa dapat digunakan tampon kapas efedrin
yang dicampur dengan lidokain yang dimasukkan kedalam rongga hidung
untuk mengurangi edema mukosa.

Rhinoskopi posterior
Pasien diminta untuk membuka mulut tanpa mengeluarkan lidah, 1/3
dorsallidah ditekan dengan menggunakan spatel lidah. Jangan melakukan
penekan yang terlalu keras pada lidah atau memasukkan spatel terlalu jauh
hingga mengenai dinding faring oleh karena hal ini dapat merangsang refleks
muntah. Cermin nasofaring yang sebelumnya telah dilidah apikan,
dimasukkan kebelakang rongga mulut dengan permukaan cermin menghadap
ke atas.Diusahakan agar cermin tidak menyentung dinding dorsal faring..
Perhatikan struktur rongga nasofaring yang terlihat pada cermin.Amati septum
nasi bagian belakang, ujung belakang konka inferior, medius dansuperior,
adenoid (pada anak), ada tidak secret yang mengalir melalui meatus.

Perhatikan pula struktur lateral rongga nasofaring : ostium tuba, torus


tubarius, fossa Rossenmulleri. Selama melakukan pemeriksaan pasien diminta
tenang dan tetap bernapas melalui hidung. Pada penderita yang sangat sensitif,
dapat disemprotkan anestesi lokal ke daerah faring sebelum dilakukan
pemeriksaan.

c. Bagaimana cara pemeriksaan otoskopi?

Otoskop adalah alat untuk memeriksa liang dan gendang telinga


dengan jelas. Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau
agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.

Untuk memeriksa kanalis auditorius eksternus dan membrana timpani,


kepala pasien sedikit dijauhkan dari pemeriksa.

1. Otoskop dipegang dengan satu tangan sementara aurikulus dipegang


dengan tangan lainnya dengan mantap dan ditarik ke atas, ke belakang dan

17
sedikit ke luar Cara ini akan membuat lurus kanal pada orang dewasa,
sehingga memungkinkan pemeriksa melihat lebih jelas membrana timpani.

2. Spekulum dimasukkan dengan lembut dan perlahan ke kanalis telinga,dan


mata didekatkan ke lensa pembesar otoskop untuk melihat kanalis dan
membrana timpani. Spekulum terbesar yang dapat dimasukkan ke telinga
(biasanya 5 mm pada orang dewasa) dipandu dengan lembut ke bawah ke
kanal dan agak ke depan. Karena bagian distal kanalis adalah tulang dan
ditutupi selapis epitel yang sensitif, maka tekanan harus benar-benar ringan
agar tidak menimbulkan nyeri.

3. Setiap adanya cairan, inflamasi, atau benda asing; dalam kanalis auditorius
eksternus dicatat.

4. Membrana, timpani sehat berwarna mutiara keabuan pada dasar kanalis.


Penanda harus dilihat mungkin pars tensa dan kerucut cahaya.umbo,
manubrium mallei, dan prosesus brevis.

5. Gerakan memutar lambat spekulum memungkinkan penglihat lebih jauh


pada lipatan malleus dan daerah perifer. dan warna membran begitu juga
tanda yang tak biasa dan deviasi kerucut cahaya dicatat. Adanya cairan,
gelembung udara, atau massa di telinga tengah harus dicatat.

6. Pemeriksaan otoskop kanalis auditorius eksternus membrana timpani yang


baik hanya dapat dilakukan bi kanalis tidak terisi serumen yang besar.
Serumen not nya terdapat di kanalis eksternus, dan bila jumla sedikit tidak
akan mengganggu pemeriksaan otoskop.

7. Bila serumen sangat lengket maka sedikit minyak mineral atau pelunak
serumen dapat diteteskan dalam kanalis telinga dan pasien diinstruksikan
kembali lagi.

6. Pemeriksaan laboratorium
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal pemeriksaan laboratorium?

Pemeriksaan Panji Kadar Normal Interpretasi

Hb 12,5 g% 11-14 g%, 11-16 Normal


gr/dl

18
WBC 12.000/µL 5000-10000/µL Infeksi
(peradangan)

Trombosis 250.000/µ 150.000- Normal


L 450.000)/µL

7. Diagnosis
a. Bagaimana cara menegakkan diagnosis?

Rhinitis: Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis. Dikatakan


rhinitis non alergika jika diketahui terdapat post nasal drip, ingus, atau hidung
tersumbat, sehingga tidak perlu dilakukan tes allergi (untuk allergic rhinitis).
Pada pemeriksaan fisik (biasanya dilakukan rhinoskopi): Findings are similar
in rhinitis allergic and NAR syndromes and include swollen and beefy red
nasal turbinates; and scant mucus.

Faringotonsilitis:Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan gejala klinis dan


pemeriksaan terhadap tenggorokan. Keluhan utama untuk faringotonsilitis
adalah sakit tenggorokan dan sulit menelan.Tanda-tanda inflamasi juga dapat
dilihat dari hasil pemeriksaan darah yang terkadang dilakukan, akan
ditemukan peningkatan jumlah sel sel darah putih.Tujuan dilakukannya
pemeriksaan adalah untuk membedakan etiologi, karena bakteri atau virus.

Langkah pemeriksaan yang utama yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.Pemeriksaan fisik yang utama yaitu pemeriksaan
tanda vital dan pemeriksaan THT.Pada pemeriksaan tenggorokan dapat
ditemukan eksudat dan kemerahan pada tonsil, pembesaran tonsil, bercak
kemerahan pada palatum molle.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah: kultur swab


tenggorokan (gold standar), tes infeksi jamur, tes monospot, ELISA, dll.
1. Anamnesis
a) Identitas
b) Keluhan utama : sakit tenggorokan dan demam.

1). Sakit tenggorokan

- sejak kapan?

19
- riwayat kontak dengan penderita yang sakit tenggorokan?

- riwayat paparan dengan lingkungan yang berpolusi?

- riwayat imunisasi DPT?

- nyeri saat menelan?

- apakah ada eksudat di tenggorkan (putih/kuning/abu-abu)?

- apakah juga disertai batuk?

- berdahak/tidak?  warna dahak?

- apakah juga disertai “pilek” (rhinitis)?

- apa juga disertai kesulitan bernapas/sesak napas?

- apakah disertai nyeri dada?

2) Demam

- sejak kapan?

- waktu timbul (pagi/siang/sore/malam)?

- menetap atau tidak?

- menggigil/tidak?

- apakah diberi obat antipiretik?  hasil?

- apakah demam disertai pengeluaran keringat yang banyak?


c. Keluhan lain :

- mual/muntah?

- nyeri otot (myalgia)

- nafsu makan berkurang?

- BB turun?

- pusing atau sakit kepala?

- diare?
d. Riwayat penyakit sebelumnya

- pernah mengalami gejala serupa sebelumnya?

- sudah pernah berobat?  diagnosisnya?

- diberi obat apa?  hasil?


e. Riwayat penyakit dalam keluarga
20
- Anggota keluarga / orang yang serumah yang mengalami gejala
serupa?

- Frekuensi kontak dengan penderita?


2. Pemeriksaan Fisik

General appearance:
i. Temp. : 37,8°C  demam yg tidak terlalu tinggi biasanya
bersumber dari pirogen eksogen (mediator inflamasi)

ENT examination :
ii. Nasal : rhinorrhea  menunjukkan adanya hipersekresi mucus
akibat respon terhadap antigen yang terdapat di nasal.
iii. Konka nasalis inferior : hiperemis, edematous  menunjukkan
adanya respon inflamasi berupa peningkatan permeabilitas vascular
sehingga choncha tampak bewarna merah, akhirnya debris dan
mucus akan mengumpul menbentuk keadaan seperti edematous.
iv. Throat : granular, hyperemic, tonsilitis T3-T3, detritus, kripta
melebar

Menandakan infeksi telah menginvasi ke pharyngeal, dan peningkatan


akumulasi sel radang berupa PMN sehingga juga ditemukan granular
hyperemic.
3. Pemeriksaan lab

Darah rutin : leukosit 12.000/μL menandakan keadaan agak meningkat


yg memperkuat indikasi infeksi bakteri.

ASTO untuk indikasi kecurigaan infeksi streptokokus.


4. Pemeriksaan lanjutan
a) Kultur bakteri
b) Uji resistensi

BAKU EMAS (GOLD STANDARD)

Rhinitis: Baku emasnya untuk pemeriksaan rhinitis adalah ditemukannya


virus penyebab rhinitis . Metode identifikasi virus dapat dilakukan meliputi
kultur virus, deteksi Ag, dan PCR.

Tonsilofaringitis: Baku emasnya adalah melalui pemeriksaan kultur apusan


tenggorok untuk mengidentifikasi adanya bakteri S. Pyogen

21
b. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?

Sulit untuk membedakan antara tonsilofaringitis bakteri dan virus


berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Baku emas penegakan diagnosis
tonsilofaringitis bakteri atau virus adalah melalui pemeriksaan kultur dari
apusan tenggorok. Apusan tenggorok yang adekuat pada area tonsil diperlukan
untuk menegakkan adanya bakteri ataupun virus. Untuk memaksimalkan
akurasi maka diambil apusan dari dinding faring posterior dan regio tonsil,
lalu diinokulasi pada media segar darah dan piringan basitrasin, kemuadian
ditunggu 24 jam.
 Hitung darah lengkap, pengukuran kadar elektrolit, dan kultur darah
 Tes monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan
tonsilitis dan bilateral cervical lymphadenophaty.
 Throat culture diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius.
Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan
efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
 Plain radiographs, pandangan jaringan lunak lateral dari nasopharynx dan
oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal.
 CT Scan, untuk mengetahui adanya kumpulan cairan hypodense di apex
tonsil yang terinfeksi.

c. Apa DD dari kasus ini?


Tonsilopharingitis Tonsillitis Rhinotonsilopharingiti
Kasus
difteri s

+ + +
Disfagia

+ + +
Odinofagia

+ - +
Batuk

- - +
Pilek

+ subfebris +
Demam

+ + +
Pem.kelenjar

+ - +
Pharynx
hiperemis

22
+ + +
Detritus (+)

+ + +
Tonsil T3/T3

- - +
Konka
Edema

Kasus AKUT KRONIS KRONIS


EKSASERBASI AKUT
Tonsil + + -
hiperemis
Tonsil edema + + +/-
Kriptus + + +
melebar
Destruitus + + +
Perlengketan - + +

d. Apa WD dari kasus ini?

Rhinitis akut dan tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut:


rhinotonsilofaringitis yang sudah lama dan kembali ke fase akut (muncul
gejala akut, recurren) sebagai tanda peningkatan keparahan dari suatu
penyakit dengan tanda :

1. tonsil hiperemis dan edema


2. Kripta melebar
3. Detritus +
4. perlengketan

e. Apa etiologi dari diagnosis ini?

Rhinitis: pemicu rhinitis nonallergic meliputi:

 iritasi lingkungan atau pekerjaan. Debu, asap, asap rokok atau bau yang
kuat, seperti parfum, dapat memicu rhinitis alergi. Uap kimia, seperti yang
Anda mungkin terpapar dalam pekerjaan tertentu, mungkin juga untuk
menyalahkan.
 Perubahan Cuaca. Perubahan suhu atau kelembaban dapat memicu
membran dalam hidung Anda membengkak dan menyebabkan hidung
berair atau tersumbat.

23
 Infeksi. Penyebab umum dari rhinitis nonallergic adalah infeksi virus -
pilek atau flu, misalnya. Jenis rhinitis nonallergic biasanya akan hilang
setelah beberapa minggu, tetapi dapat menyebabkan berlama-lama lendir
di tenggorokan (postnasal drip). Kadang-kadang, jenis rhinitis dapat
menjadi kronis, menyebabkan sedang berlangsung berubah warna hidung
debit, nyeri wajah dan tekanan (sinusitis).
 Makanan dan minuman. Rhinitis nonallergic mungkin terjadi saat Anda
makan, terutama ketika makan makanan panas atau pedas. Minum
minuman beralkohol juga dapat menyebabkan selaput dalam hidung Anda
membengkak, menyebabkan hidung tersumbat.
 Obat-obat tertentu. Beberapa obat dapat menyebabkan rhinitis alergi. Ini
termasuk aspirin, ibuprofen (Advil, Motrin IB, orang lain), dan tekanan
darah tinggi (hipertensi) obat-obatan seperti beta blockers. Rhinitis
nonallergic juga bisa dipicu pada beberapa orang dengan obat penenang,
antidepresan, kontrasepsi oral atau obat yang digunakan untuk mengobati
disfungsi ereksi. Terlalu sering menggunakan semprotan hidung
dekongestan dapat menyebabkan jenis rhinitis nonallergic disebut rhinitis
medicamentosa.
 Perubahan hormon. Perubahan hormon akibat kehamilan, menstruasi,
penggunaan kontrasepsi oral atau kondisi hormonal lainnya seperti
hipotiroidisme dapat menyebabkan rhinitis alergi.
• Stres. Stres emosional atau fisik dapat memicu rhinitis nonallergic pada
beberapa orang.

Faringotonsilitis:

 Virus (rhinoviruses, coronaviruses, influenza, adeno, herpes, EBV dan


lain-lain) adalah penyebab utama faringotonsilitis, hadir dalam 70-80%
kasus.
 faringotonsilitis bakteri agak jarang. Grup A streptokokus hemolitik beta
(s.pyogenes) adalah agen penyebab utama dalam kasus-kasus. Dalam
beberapa kasus yang jarang penyakit mungkin disebabkan oleh
staphylococcus atau gonococcus (yang menyebabkan gonore).

f. Apa epidemiologi dari diagnosis ini?

Dapat mengenai semua umur dengan insiden tertinggi pada anak-anak


usia 5-15 tahun. Pada anak-anak, Group A streptococcus menyebabkan sekitar
30% kasus tonsilofaringitis akut, sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar
5-10%. Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh Group A streptococcus
jarang terjadi pada anak berusia 2 tahun ke bawah.

Faringitis: terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin,
tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak

24
Rinitis: diperkirakan sekitar 20% – 30% populasi orang dewasa Amerika dan
lebih dari 40% anak-anak menderita penyakit ini.

Tonsilitis: sering terjadi pada anak-anak pada umur 5-10 tahun dan dewasa
mudaantara 15-25 tahun.

g. Apa faktor resiko dari diagnosis ini?

Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya


daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan
yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, gejala predormal dari
penyakit scarlet fever , dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang
menderita sakit tenggorokan atau demam.
 inhalasi droplet dan kontak lansung dengan mukosa yang terinfeksi.
 hygine mulut yang buruk pengaruh cuaca,perokok pasif.

h. Apa patogenesis dari diagnosis ini?

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak


langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau
dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan
yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring


yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus
menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian
besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan
penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang
menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil,
atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta
penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang
khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret
hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa
inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.

Setelah terjadi proses infeksi yang tidak ditangani dengan adekuat dan
atau sistem imun yang menurun, maka mo masih akan tetap berada di dalam
tubuh dan sebabkan peradangan. Saat terdapat faktor predisposisi/pencetus
maka proses peradangan akan terjadi kembali sehingga akan muncul tanda
infeksi akut pada proses peradangan yang sebelumnya telah terjadi.
25
i. Apa manifestasi klinis dari diagnosis ini?
Rhinitis: Signs and symptoms dari nonallergic rhinitis termasuk:
 Stuffy nose (hidung tersumbat)
 Runny nose (ingusan)
 Sneezing (bersin bersin)
 Mucus (phlegm) pada tenggorokan (postnasal drip)

Faringotonsilitis: Sign and symptoms pada faringotonsilitis adalah: demam,


hilang nafsu makan, nausea, sakit ketika menelan, sakit tenggorokan, muntah,
sakit kepala.

Yang sering muncul pada faringitis adalah:


 Nyeri tenggorok dan nyeri menelan
 Tonsil (amandel) membesar
 Mukosa yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan
tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan pus
(nanah).
 Demam, bisa mencapai 40ºC.
 Pembesaran kelenjar getah bening di leher.
 Setelah bakteri atau virus mencapai sistemik maka gejala-gejala sistemik
akan muncul,
 Lesu dan lemah, nyeri pada sendi-sendi otot, tidak nafsu makan dan nyeri
pada telinga.
 Peningkatan jumlah sel darah putih.
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi :
1. gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan
2. gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian
3. gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis folikularis
kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis),
tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior
hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Pada tonsilofaringitis streptokokus akan dijumpai gejala dan tanda berikut:

1. Obstruktive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

26
2. Faring hiperemis
3. Demam
4. Nyeri tenggorokan
5. Tonsil bengak dengan eksudasi
6. Kelenjar getah bening anterior bangkak dan nyeri
7. Uvula bengkak dan merah
8. Ekskoriasi hidung disertai lasi impetigo sekunder

9. Paetekie palatum molae


j. Apa tatalaksana dari diagnosis ini?

Kasus ini etiologinya belum jelas apakah virus atau bakteri. Untuk tahu
etiologi harus periksa kultur jaringan dan melihat hasil diff count darah.
Berdasarkan tanda klinis yang ditimbulkan kemungkinan pada kasus ini
etiologinya adalah bakteri. Tetapi karena jenis bakterinya belum bisa diketahui
karna kurangnya pemeriksaan maka diberi Antibiotik berupa broadspectrum
selama 5 hari. Setelah itu lihat kondisi pasien. Jika pasien tidak membaik
maka harus periksa kultur, tetapi jika pasien mengalami perbaikan maka
lanjutkan broadspectrum sampai hari ke 14. Tetapi jelaskan pasien bahwa
pemakaian antibiotic harus teratur.

Untuk gejala batuk dan pilek berikan obat simptomatik seperti Antihistamin ,
Antitusif.

Dalam kasus ini penyebab infeksi belum diketahui, maka dari itu diperlukan
kultur apusan tenggorok untuk menentukan tatalaksana yang tepat. Sebuah
kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya
dilakukan tonsilektomi.

Faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang


memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik selain
difteri.

Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan.
Istirahat cukup serta pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi yang
baik. Pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap) pada anak
yang cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat
demam atau nyeri berlebih, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen.

27
Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza karena
seringnya insiden sindrome Reye.
a. Terapi antibiotik
Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan gejala klinis dan hasil
kultur positif pada pemeriksaan apusan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat ini
masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis
akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi
faringitis akut streptokokus karena kekhawatiran pada salah satu
komplikasinya, yaitu demam reumatik.
Antibiotik pilihan pada terapi faringitisakut streptokokus grup A adalah
Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis selama 10 hari atau
Bnezatin Penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg)
dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai
pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama,
amoksisilin memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50
mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan Penisilin V
oral selama 10 hari.
Untuk anak dengan alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40
mg/kgBB/hari , eritomisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2, 3,
atau 4 kali sehari selama 10 hari. Atau makrolid generasi terbaru seperti
azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari berturut-turut.
Antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat memberikan efek
yang sama tapi jarang diberikan karena selain mahal, risiko resistensinya lebih
besar.
Kegagalan terapi adalah terdapatnya streptokokus persisten setelah terapi
selesai yang terjadi pada 5-20% populasi, dan lebih sering ditemukan pada
populasi dengan pengobatan penisilin oral dan bukannya suntik. Hal ini dapat
disebabkan oleh komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora
normla yang memproduksi β–laktamase.
Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko
tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi
berulang streptokokus. Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa
kepustakaan menyarankan terapi kedua, klindamisin 20-30 mg/kgBB/hari
selama 10 hari, amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis dalam
10 hari, atau injeksi Bnezathine Penisilin G IM dengan dosis 600.000 IU
(BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi

28
ketiga pasien tetap positif, kemungkinan pasien merupakan karier yang risiko
ringan terinfeksi demam reumatik.
b. Tonsilektomi
Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah dilakukan secara luas untuk
mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren walaupun dasar ilmiah tindakan ini
masih belum jelas. Terapi dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah
menurun dalam dua dasawarsa terakhir ini. Ukuran tonsil dan adenoid bukan
lah indikator yang tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tnsilofaringitis
berulang atau kronis.
Terdapat beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah
kriteria yang digunakan Children’s Hospital of Pittsburgh Study, yaitu tujuh
atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun
sebelumnya, lima atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan
antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih infeksi
tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 3 tahun
sebelumnya. American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery
mneetapkan terdapatnya tiga atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi
dalam setahun sebagai bukti yang cukup untuk dilakukan pembedahan.
Indikator klinis di atas tidak dapat diterapkan di Indonesia dan memerlukan
pemikiran lebih lanjut.
Keputusan tonsilektomi harus didasarkan pada tanda dan gejala yang terkait
secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil
dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak relatif lebih besar daripada orang
dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi tonsil. Tonsilektomi
sedapat mungkin dihindari pada anak usia di bawah 3 tahun. Bila ada infeksi
aktif, tonsilektomi harus ditunda selama 2-3 minggu.
Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis
media kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa adenoidektomi
dan miringotomi bilateral (tanpa timpanoplasti) memberikan keuntungan pada
anak berusia 4-8 tahun yang menderita otitis media kronis dengan efusi.
Indikasi lain tonsiloadeoidektomi adalah terjadinya obstructive sleep apnea
akibat pembesaran adenotonsil.

29
INDIKASI ABSOLUT:
1. Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan,
nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi
penyakit-penyakit kardiopulmonal.
2. Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang
mengakibatkan gangguan pertumbuhan wajah atau mulut yang
terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.
3. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.
4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan
gambaran patologis jaringan.

INDIKASI RELATIF:
1. Jika mengalami Tonsilitis 3 kali atau lebih dalam satu tahun dan tidak
menunjukkan respon sesuai harapan dengan pengobatan medikamentosa
yang memadai.
2. Bau mulut atau bau nafas tak sedap yang menetap pada Tonsilitis kronis
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan.
3. Tonsilitis kronis atau Tonsilitis berulang yang diduga sebagai carrier
kuman Streptokokus yang tidak menunjukkan repon positif terhadap
pengobatan dengan antibiotika.
4. Pembesaran tonsil di salah satu sisi (unilateral) yang dicurigai
berhubungan dengan keganasan (neoplastik).

KONTRAINDIKASI TONSILEKTOMI

Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi melakukan


pembedahan tonsil karena bila dikerjakan dapat terjadi komplikasi pada
penderita, bahkan mengancam kematian. Keadaan tersebut adalah kelainan
hematologik, kelainan alergi-imunologik dan infeksi akut. Kontraindikasi
pada kelainan hematologik adalah anemi, gangguan’ pada sistem hemostasis
dan lekemi. Pada kelainan alergi-imunologik seperti penyakit alergi pada
saluran pernapasan, sebaiknya tidak dilakukan tonsilektomi bila pengobatan
kurang dari 6 bulan kecuali bila terdapat gejala sumbatan karena pembesaran
tonsil. Pembedahan tonsil sebagai pencetus serangan asthma pernah
dilaporkan. Tonsilektomi juga tidak dikerjakan apabila terdapat infeksi akut
lokal, kecuali bila disertai sumbatan jalan napas atas. Tonsilektomi sebaiknya
30
baru dilakukan setelah minimal 23 minggu bebas dari infeksi akut. Di samping
itu tonsilektomi juga tidak dilakukan pada penyakit-penyakit sistemik yang
tidak terkontrol seperti diabetes atau penyakit jantung pulmonal

k. Apa prognosis dari diagnosis ini?

Prognosis dari faringitis ini biasanya baik, karena biasanya faringitis ini dapat
sembuh sendiri. Namun, jika faringitis ini berlangsung lebih dari satu minggu,
masih terdapat demam, pembesaran nodus limfa, atau muncul bintik
kemerahan, hal tersebut dapat berarti terjadi komplikasi dari faringitis, seperti
demam reumatik.

Ad Fungsionam,Ad Vitam Bonam


l. Apa pencegahan dari diagnosis ini?

 Primer:

a. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan

b. Cuci tangan setelah melakukan kontak dengan penderita

c. Pemberian imunisasi influensza

d. Meningkatkan imunitas tubuh dengan konsumsi makanan bergizi

e. Mengkonsumsi vitamin

 Sekunder:

a. Pengobatan yang adekuat


b. Meningkatkan imunitas
c. Istirahat yang cukup
d. Menghindari infeksi berulang
e. Menghindari factor resiko yang menyebabkan komplikasi

m. Apa komplikasi dari diagnosis ini?


Rhinitis: rhinitis alergi berpotensi untuk mengalami komplikasi, seperti
sinusitis, polip nasi, dan disfungsi tuba.
Faringitis:
- Rheumatic fever
- Scarlet fever
- Glomerulonefritis
- Abses peritonsilar

31
Tonsilitis:
- Otitis media akut
- Abses peritonsil
- Abses parafaring
- Sepsis
- Bronchitis
- Miokarditis
n. Apa KDU dari diagnosis ini?

Tingkat 4

Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan


pemeriksaanpemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter (misalnya:
pemeriksaan laboratorium sederhana atau X-ray). Dokter dapat memutuskan
dan mampu menangani problem itusecara mandiri hingga tuntas.

IV. HIPOTESIS
Panji, 6 tahun, menderita rhinotonsilofaringitis et causa infeksi virus

V. LEARNING ISSUE
a. Anatomi, histologi dan fisiologi THT
-. Telinga (4)
-. Hidung (1)
-. Tenggorokan(2)

b. infeksi saluran pernafasan atas

-. Rhinitis (3)

-. Faringitis (4)

-. Tonsillitis (1)

c. immunologi saluran pernafasan atas (1)

32
VI. SINTESIS
ANATOMI, HISTOLOGI, DAN FISIOLOGI THT

1. TELINGA

1.1. ANATOMI TELINGA

Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 1,2,3,5

1.1.1 Telinga Luar

Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani.
Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus)
berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga
bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat
= Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga.
Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh
kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah
mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang
berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan
yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan
mencegah infeksi.

33
Gambar 2.1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga 1,2,3

1.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah berbentuk kubus dengan :


 Batas luar : Membran timpani

 Batas depan : Tuba eustachius

 Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis)

 Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.

 Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak )

 Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis

horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap

bundar (round window) dan promontorium.

Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran
Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam
dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai
satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin
yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.
Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah yang
34
menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam
4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak
lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-
depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani.

Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar
kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling
berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat
pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan
persendian.

Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria
yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat
dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara.
maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat
daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam
telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar 2.2 : Membran Timpani 1,2,3

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba
auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan
makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang
baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba
auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga

35
menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran
tympani.

1.1.3 Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran
dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli.

Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap.

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani
sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli
disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti.

Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran
tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel
rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

36
1,2,3,5
Gambar 2.3 : Gambar labirin bagian membrane labirin bagian tulang, Telinga Dalam
Koklea

Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya
35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya.
Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam
koklea bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri
dari lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, lamina spiralis
membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian
atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat
ini dinamakan helicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani
berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea
kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan
kedua lamina ini, terbentuk saluran yang dibatasi oleh:
1. membrane reissner bagian atas
2. lamina spiralis membranasea bagian bawah
3. dinding luar koklea

Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi
endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, terdapat stria
vaskularis, tempat terbentuknya endolimf.

37
Gambar 2.4 : Koklea 2,3

Didalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana


basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari
basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan
frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh
dibagian atas (ujung) dari koklea.

GAMBAR 2.5 : Organ korti 2,3

Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria.
Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada
alat korti. Pada alat korti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang
mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf.

Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions.


Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan
penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.

Vestibulum

Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis yang juga berisi
perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan
dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam
vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus.

38
Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan
perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang
berakhir pada suatu lilpatan dari duramater, yang terletak pada bagian belakang os
piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu.

Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang
yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada
utrikulus, dinamakan macula utrikuli.

Kanalis semisirkularisanlis

Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak lurus satu
sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian membran yang terbenam dalam
perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan
tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).

Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan
tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis
semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung
yang tidak melebar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan
bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis.

Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea.


Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis
membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat
sel-sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.

Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya pada Krista ampularis
yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai
organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla
sehingga dapat menutup seluruh ampulla.

1.2 Fisiologi pendengaran 1,2,3,4,5

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut
menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah
diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga
perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris
39
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan
terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar 2.6 : Fisiologi Pendengaran 1,4

1.3 HISTOLOGI TELINGA


1.3.1 Telinga Luar
1. Auricula
 Dibungkus oleh perikondrium yang mengandung serat elastic
 Terdiri dari tulang rawan elastic
2. Meatus akustikus eksternus
 Sepertiga bagian luar berupa tulang rawan , dua pertiga bagian dalam bagian dari
tulang temporal
 Kulitnya dilapisi oleh perikondrium dan perioestium
 Sepertiga luar dilapisi oleh rambut kasar
 Meatus akustikus eksternus mengandung kelenjar sebasea dan kelenjar seruminosa
yang menyekresikan serumen.
 Lumen kelenjar besar dan epitel nya selapis gepeng

1.3.2 Telinga Tengah


1. Kavum Timpani
 Dilapisi sel gepeng di dekat muara tuba eustachius dan sel kuboid silia di tepian

40
2. Tulang pendengaran : dihubungkan oleh sendi diartrosis dan disokong oleh ligament
halus
3. Membran Timpani
 Semi transparan , lonjong dan seperti kerucut
 Terdiri dari dua lapisan berupa serat kolagen dan fibroblast serta jalinan tipis serat
elastic (bagian luar radial dan bagian dalam melingkar)
 Bagian luar membrane timpani dilapisi kulit tipis tanpa rambut / kelenjar, didalamnya
dilapisi mukosa dengan sel epitel gepeng, lamina propria tipis dan sedikit serat
kolagen dan kapiler
4. Tuba eustachius
 Sepertiga pertama disokong oleh tulang, di medial dilapisi oleh tulang rawan dan di
lateral dilapisi oleh jaringan ikat fibrosa
 Hampir seluruh tuba dilapisi oleh tulang rawan elastin, tetapi di dekat ujung faring
dilapisi tulang rawan hialin
 Bagian tulang tuba relative tipis, terdiri dari epitel kolumnar rendah bersilia, lamina
propria tipis
 Bagian tulang rawan , terdiri dari sel kolumnar tinggi , bersilia dan di lamina propria
banyak limfosit

1.3.3 Telinga Dalam


1. Labirin oseosa
2. Labirin membranosa:
a. Utrikulus
 Lapisan luar : lapisan fibrosa
 Lapisan tengah : jaringan ikat vascular halus
 Lapisan dalam : sel gepeng dan kuboid rendah
b. Sakulus
 Makula sakuli – duktus sakulus dan utrikulus menyatu menjadi duktus endolimfatikus
: dilapisi oleh epitel kuboid sampai gepeng , dekat ujung ada kolumnar tingga berupa
sel gelap dan sel terang.
c. Duktus semisirkularis (anterior, posterior dan lateral) , berisi cairan endolimfe
 Pada duktus semisirkularis mengalami pelebaran yang disebut ampula dan berisi
Krista ampula . Krista ampula mengandung epitel sensoris , terbagi dua : sel rambut
dan sel penyokong

3. Koklea
41
 Skala vestibuli : dinding dilapisi jaringan ikat tipis dengan epitel selapis gepeng
 Skala media : dibentuk oleh stria vascularis dengan epitel bertingkat dan mengandung
anyaman kapiler intraepitelial yang terbentuk dari pembuluh-pembuluh darah yang
mendarahi jaringan ikat di ligamentum spirale.
 Skala timpani : dilapisi jaringan ikat tipis dengan epitel selapis gepeng

HIDUNG

Hidung atau naso adalah saluran pernafasan yang pertama. Ketika proses pernafasan
berlangsung, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani tiga proses
yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Hidung terdiri atas
bagian- bagian sebagai berikut:
- Bagian luar dinding terdiri dari kulit.
- Lapisan tengah terdiri dari otot-otot dan tulang rawan.
- Lapisan dalam terdiri dari selaput lender yang berlipat-lipat yang
dinamakan karang hidung ( konka nasalis ), yang berjumlah 3 buah
yaitu: konka nasalis inferior, konka nasalis media, dan konka nasalis
superior.

Diantara konka nasalis terdapat 3 buah lekukan meatus, yaitu: meatus superior,
meatus inferior dan meatus media. Meatus-meatus ini yang dilewati oleh udara
pernafasan , sebelah dalam terdapat lubang yang berhubungan dengan tekak yang
disebut koana. Dasar rongga hidung dibentuk oleh rahang atas ke atas rongga hidung
berhubungan dengan rongga yang disebut sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris
pada rahang atas, sinus frontalis pada tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang
baji, dan sinus etmoidalis pada rongga tulang tapis.
Pada sinus etmoidalis keluar ujung-ujung saraf penciuman yang menuju ke konka
nasalis . Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman , sel tersebut terutama terdapat
pada di bagian atas. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut saraf atau reseptor
dari saraf penciuman ( nervus olfaktorius ).

Di sebelah konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu
lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran
tengah . Saluran ini disebut tuba auditiva eustachi yang menghubungkan telinga tengah
dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata atau tuba
lakrimalis.

42
Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung
vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-
sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke
nasofaring oleh gerakan silia.

Septum hidung terbuat dari tulang rawan hialin. Organ vomeronasal (s) pada kedua sisi
septum yang hadir di bagian ini, seperti juga beberapa bagian tulang hidung, ditutupi
dengan epitel penciuman. Dua jenis epitel yang hadir dalam rongga hidung, yaitu
adalah pernapasan epitel khas atau TRE, jenis lapisan epitel semu dari sebagian besar
saluran pernapasan. Yang kedua adalah epitel penciuman, jenis chemoreceptive hanya
ditemukan di hidung danorgan vomeronasal.

HISTOLOGI

Rongga Hidung

Vestibulum
Di dalam vestibulum, epitelnya tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel
respirasi. Epitel respirasi terdiri dari lima jenis sel. Sel silindris bersilia adalah sel yang
terbanyak. sel terbanyak kedua adalah sel goblet mukosa,selanjutnya adalah sel basal
dan jenis sel terakhir adalah sel granul kecil,yang mirip dengan sel basal kecuali pada
sel ini terdapat banyak granul.

Fosa Nasalis
Dari masing – masing dinding lateral keluar tiga tonjolan tulang mirip rak yang
disebut Konka yang tediri dari konka superior, konka media dan konka inferior. Konka
media dan konka inferior yang ditutupi oleh epitel respirasi, dan konka superior
ditutupi oleh epitel olfaktorius khusus. Celah – celah kecil yang terjadi akibat adanya
konkamemudahkan pengkondisian udara inspirasi.
Sinus Paranasal
Adalah rongga tertutup dalam tulang frontal, maksila,etmoid,dan sphenoid. Sinus –
sinus ini dilapisi oleh sel respirasi yang lebih tipis dan sedikit mengandung sel goblet.
Sinus pranasal berhubungan langsung dengan rongga hidung melalui lubang – lubang
kecil.

43
TENGGOROKAN

Tenggorokan merupakan bagian dari leher depan dan kolumna vertebra, terdiri dari
faring dan laring.Bagian terpenting dari tenggorokan adalah epiglottis, ini menutup jika
adamakanan dan minuman yang lewat dan menuju esophagus.

Rongga mulut dan faring dibagi menjadi beberapa bagian. Rongga mulut terletak
didepan batas bebas palatum mole, arkus faringeus anterior dan dasar lidah. Bibir dan pipi
terutama disusun oleh sebagian besar otot orbikularis oris yang dipersarafi oleh nervus
fasialis. Vermilion berwarna merah karena ditutupi lapisan sel skuamosa. Ruangan diantara
mukosa pipi bagian dalam dan gigi adalah vestibulum oris.

Palatum dibentuk oleh dua bagian: premaksila yang berisi gigi seri dan berasal
prosesus nasalis media, dan palatum posterior baik palatum durum dan palatum
mole,dibentuk oleh gabungan dari prosesus palatum, oleh karena itu, celah palatum terdapat
garistengah belakang tetapi dapat terjadi kearah maksila depan.

Lidah dibentuk dari beberapa tonjolan epitel didasar mulut. Lidah bagian depan
terutama berasal dari daerah brankial pertama dan dipersarafi oleh nervus lingualis dengan
cabang korda timpani dari saraf fasialis yang mempersarafi cita rasa dan sekresi kelenjar
submandibula. Saraf glosofaringeus mempersarafi rasa dari sepertiga lidah bagian
belakang.Otot lidah berasal dari miotom posbrankial yang bermigrasi sepanjang duktus
tiroglosus keleher. Kelenjar liur tumbuh sebagai kantong dari epitel mulut yang terletak dekat
sebelahdepan saraf-saraf penting. Duktus sub mandibularis dilalui oleh saraf lingualis. Saraf
fasialismelekat pada kelenjar parotis.

44
FARING

Faring merupakan bagian tubuh yang merupakan suatu traktus aerodigestivus dengan
struktur tubular iregular mulai dari dasar tengkorak sampai setinggi vertebra servikal VI,
berlanjut menjadi esophagus dan sebelah anteriornya laring berlanjut menjadi trakea.
Batas-batas faring :
Superior : Oksipital dan sinus sphenoid
Inferior : Berhubungan dengan esophagus setinggi m. Krikofaringeus
Anterior : Kavum nasi, kavum oris, dan laring
Posterior : kolumna vertebra servikal melalui jaringan areolar yang longgar.

Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal.Faring terbagi atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring

(hipofaring).

Vaskularisasi

Berasal dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.Yang utama berasal
dari cabang a. Karotis eksterna serta dari cabang a.maksilaris interna yakni cabang palatine
superior.

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang dari n.vagus, cabang dari n.glosofaringeus dan
serabut simpatis.Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang
ekstensif ini keluar untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaringeus yang dipersarafi langsung
oleh cabang n.glossofaringeus.

Kelenjar Getah Bening

45
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran yaitu superior,media
daninferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjargetah bening servikal dalam atas.Saluran limfe media mengalir ke kelenjar getah
beningjugulodigastrik dan kelenjar getah bening servikal dalam atas, sedangkan saluran
limfeinferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.

Berdasarkan letak, faring dibagi atas:

Nasofaring

Berhubungan erat dengan beberapa struktur penting misalnya adenoid, jaringan


limfoid

pada dinding lareral faring dengan resessus faring yang disebut fosa rosenmuller,
kantongrathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suaturefleksi mukosa faring diatas penonjolan kartilago tuba eustachius, konka
foramen jugulare,yang dilalui oleh nervus glosofaring, nervus vagus dan nervus asesorius
spinal saraf cranial dan vena jugularis interna bagian petrosus os.tempolaris dan foramen
laserum dan muara tubaeustachius.

Batas-batas nasofaring :
Superior : Basis Cranii
Inferior : Bidang datar yang melalui palatum molle
Anterior : Berhubungan dengan cavun nasi melalui choana
Posterior : Vertebra Servikalis
Lateral : Otot-otot konstriktor faring
Mukosa nasofaring sama seperti mukosa hidung dan sinus paranasalis yaitu terdiri dari
epitel pernafasan yang bersilia dan mengandung beberapa kelenjar mukus di bawah selaput
(membrana) mukosa terdapat jaringan fibrosa faring sebagai tempat melekatnya mukosa.
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai beberapa sturktur penting, yaitu :
Jaringan adenoid, suatu jaringan limfoid yang kadang disebut tonsila faringea atau tonsil
nasofaringeal, yang terletak di garis tengah dinding anterior basis sphenoid.
Torus tubarius atau tuba faringotimpanik, merupakan tonjolan berbentuk seperti koma di
dinding lateral nasofaring, tepat di atas perlekatan palatum molle dan satu sentimeter di
belakang tepi posterior konka inferior.
Resesus faringeus terletak posterosuperior torus tubarius, dikenal sebagai fossa Rosenmuler,
merupakan tempat predileksi karsinoma faring

46
Muara tuba eustachius atau orifisium tube, terletak di dinding lateral nasofaring, dan inferior
torus tubarius, setinggi palatum molle
Koana atau nares posterior

Orofaring

Disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawahnya

adalah tepi atas epiglotis kedepan adalah rongga mulut sedangkan kebelakang adalah
vertebra

servikal. Struktur yang terdapat dirongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil

palatina fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen

sekum.

a. Dinding Posterior Faring: Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut
terlibat pada radang akutatau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot
bagian tersebut. Gangguanotot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole
berhubungan dengan gangguann.vagus.

b. Fosa tonsil: Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalahm.konstriktor faring superior.Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper
pole) terdapatsuatu ruang kecil yang dinamakan fossa supratonsil.Fosa ini berisi jaringan ikat
jarang danbiasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil
diliputi

oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang
sebenarbenarnya

47
bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.

c. Tonsil: Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat

dengan kriptus didalamnya.

Terdapat macam tonsil yaitu tonsil faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsillingual
yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer.Tonsilpalatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.Pada kutub atas tonsilseringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang kedua.Kutub bawah
tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.

Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah


yangdisebut kriptus.Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi
kriptus.Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,
bakteridan sisa makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut
kapsultonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan
diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina ascendens,
cabang tonsil

a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis dorsal.

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting
bila

ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.

Infeksi dapat terjadi di antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat

meluas keatas pada dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.

Jaringan Limfoid pada Faring


Jaringan limfoid yang berkembang pada faring dengan baik dikenal dengan nama cincin
Waldeyer yang terdiri dari :
Tonsila Palatina (faucial)
Tonsila Faringeal (adenoid)
Tonsila Lingualis
Lateral Faringeal Band
48
Nodul-nodul soliter di belakang faring

Gambar. Cincin Waldeyer

Jaringan Limfoid Nasofaring


Adenoid atau bursa faringeal/faringeal tonsil merupakan massa limfoid yang berlobus dan
terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen
tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen dengan selah atau kantung diantaranya.
Penyakit Thornwaldt’s merupakan infeksi dari bursa faringeal ini.
Adenoid bertindak sebagai kelenjar limfe yang terletak di perifer, yang duktus eferennya
menuju kelenjar limfe leher yang terdekat. Dilapisi epitel selapis semu bersilia yang
merupakan kelanjutan epitel pernafasan dari dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring.
Adenoid mendapat suplai darah dari A. Karotis Interna dan sebagian kecil cabang palatina A.
Maksilaris. Darah vena dialirkan sepanjang pleksus faringeus ke dalam Vena Jugularis
Interna.

Gambar. Adenoid

49
Aliran limfe melalui kelenjar interfaringeal yang kemudian masuk ke dalam kelenjar
Jugularis. Persarafan sensoris melalui N. Nasofaringeal, cabang N IX serta N. Vagus.
Tubal tonsil dibentuk terutama oleh perluasan nodulus limfatikus faringeal tonsil ke arah
anterior mukosa dinding lateral nasofaring. Nodulus-nodulus tersebut terutama ditemukan
pada mukosa tuba eustachius dan fossa Rossenmuler. Jaringan limfoid ini disebut juga
Gerlach’s Tonsil.

Jaringan Limfoid Orofaring


Tonsila Lingualis
Merupakan kumpulan jaringan limfoid yang tidak berkapsul dan terdapat pada basis lidah
diantara kedua tonsil palatina, dan meluas ke arah anteroposterior dari papila sirkumvalata ke
epiglotis. Pada permukaannya terdapat kripta yang dangkal dengan jumlah yang sedikit. Sel-
sel limfoid ini sering mengalami degenerasi disertai deskuamasi sel-sel epitel dan bakteri,
yang akhirnya membentuk detritus.
Tonsila lingualis mendapat perdarahan dari A. Lingualis yang merupakan cabang dari A.
Karotis Eksterna. Darah vena dialirkan sepanjang V. Lingualis ke Vena Jugularis Interna.
Aliran limfe menuju ke kelenjar servikalis profunda. Persarafannya melalui cabang lingual N.
IX.

Laringofaring (hipofaring)

Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah


valekulaepiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
makananpada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian medial dan
lateralterdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan dibawah dasar
sinuspiriformis pada tiap sisi laringofaring.Sinus piriformis terletak di antara lipatan
ariepiglotikadan kartilago tiroid.Batas anteriornya adalah laring, batas inferior adalah
esofagus serta batasposterior adalah vertebra servikal.Lebih ke bawah lagi terdapat otot-otot
dari lamina krikoiddan di bawahnya terdapat muara esofagus.

Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak

langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur
pertama

yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupakan dua buah
cekungan

50
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum
glosoepiglotikalateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga 3 kantong pil´ ( pill pockets),
sebab pada beberapaorang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.

Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
danperkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentukomega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadidemikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung
tampak menutupi pita suara.Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis
ketikamenelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus
piriformisdan ke esofagus.2 Nervus laring superior berjalan dibawah dasar sinus piriformis
pada tiap sisilaringofaring.Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian anestesia lokal di
faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

LARING

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas yang bagian atas. Bentuk
laring seperti limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar dari bagian bawah.
Laring merupakan struktur kompleks yang telah berevolusi yang menyatukan trakea dan
bronkus dengan faring sebagai jalur aerodigestif umum.

Laring dibentuk oleh kartilago, ligamentum, otot dan membrana mukosa.Terletak di


sebelah ventral faring.Berada di sebelah kaudal dari os hyoideum dan lingua, berhubungan
langsung dengan trakea.Di bagian ventral ditutupi oleh kulit dan fasia, di kiri kanan linea
mediana terdapat otot-otot infra hyoideus.Posisi laring dipengaruhi oleh gerakan kepala,
deglutisi, dan fonasi.

Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis dan subglotis. Supraglotis
terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu)
dan ventrikel laringeal.Glotis terdiri dari pita suara atau plika vokalis.Daerah subglotik
memanjang dari permukaan bawah pita suara hingga kartilago krikoid.Ukuran, lokasi,
konfigurasi, dan konsistensi struktur laringeal, unik pada neonatus.

Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya adalah batas kaudal
kartilago krikoid.Laring membentang dari laryngoesophageal junction dan menghubungkan
faring (pharynx) dengan trachea.Laring terletak setinggi Vertebrae Cervical IV – VI.
Stuktur penyangga Laring
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yaitu tulang hyoid dan beberapa
tulang rawan.

51
 Tulang hyoid: Tulang hioid merupakan tulang yang berbentuk seperti huruf U. Terletak
di antara laring dan mandibula. Hioid berfungsi sebagai tempat melekatnya beberapa otot
mulut dan lidah. Jumlah tulang hioid hanya 1 pada setiap manusia.
 Tulang rawan (kartilago): Tulang rawan yang menyusun laring adalah : kartilago
epiglotis, kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea.Tulang rawan pada laring ada yang sepasang dan
ada yang tunggal. Yang sepasang antara lain kartilago aritenoid, kartilago kornikulata,
kartilago kuneiformis. Sedangkan yang hanya berjumlah satu buah yaitu kartilago epiglotis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid
 Epiglotis adalah tulang rawan yang berfungsi sebagai katup pada pita suara (laring) dan
tabung udara (trakea), yang akan menutup selama proses menelan berlangsung. Pada saat
menelan, epiglotis secara otomatis menutupi mulut laring yaitu menutup dan mengangkat
jakun keatas untuk mencegah masuknya makanan dan cairan, sehingga tidak mengganggu
pernapasan kita karena masuknya makanan atau cairan tersebut. Epiglotis akan terus terbuka
ketika kita bernapas.

Stuktur otot laring


 Otot-otot yang menyusun laring terdiri dari otot-otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik.
Otot atau muskulus ekstrinsik adalah otot yang berada diluar laring sedangkan otot intrinsik
adalah otot yang berada di dalam laring.
 Otot-otot ekstrinsik berfungsi menggerakkan laring, sedangkan otot-otot intrinsik
berfungsi membuka rima glotidis sehingga dapat dilalui oleh udara respirasi. Juga menutup
rima glotidis dan vestibulum laringis, mencegah bolus makanan masuk ke dalam laring
(trakea) pada waktu menelan. Selain itu, juga mengatur ketegangan (tension) plika vokalis
ketika berbicara. Kedua fungsi yang pertama diatur oleh medula oblongata secara otomatis,
sedangkan yang terakhir oleh korteks serebri secara volunter.

52
Cavitas Laryngis
 Merupakan suatu ruangan yang meluas dari pintu masuk larynx sampai setinggi tepi
bawa cartilago cricoidea untuk beralih kedalam lumen trachea.
 Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring, dibatasi oleh aditus
laringis dan rima vestibuli. Lalu ventrikulus laringis, yang dibatasi oleh rima vestibuli dan
rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa yang membasahi plika vokalis. Yang
ketiga adalah kavum laringis yang berada di sebelah ckudal dari plika vokalis dan
melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.
 Urutan bangunan yang ada di cavitas laryngis mulai dari atas ke bawah : Aditus
laryngis, Vestibulum laryngis, Rima vestibuli, Ventriculus laryngis, Rima glottidis, cavitas
infraglottica.
 Aditus laryngis.:Merupakan pintu masuk larynx yang menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laryngopharynx.

Aditus laryngis mempunyai batas-batas:

Ventral : pinggir atas epiglottis

Lateral : plica aryepiglottica.

Dorsocaudal : membrane mucosa antar cartilage arytenoidea


 Vestibulum laryngis merupakan cavitas laryngis yang terletak dibawah aditus laryngis
sampai tepat diatas plica vestibularis (pita suara palsu)
 Rima vestibuli adalah celah yang dibentuk oleh kedua plica vestibularis
 Ventriculus laryngis terletak dibawah rima vestibuli dan diatas rima glottidis.Ventriculus
bagian anterior dan lateralnya meluas ke ats sebagai kantong buntu yangmensekresi
lendir untuk lubrikasi plica vicalis. Kantong buntu ini disebut Sacculuslaryngis.
 Rima glottidis merupakan celah yang dibentuk oleh plica vocalis dexter et sinister. Plica
vocalis melekat pada cartilago Arytenoid dan pada facies posterior cartilago Thyroidea,
sehingga ada ahli berpendapat plica vocalis 40 % disusun cartilago Arytenoidea dan 60
% disusun tepi atas membrana cricothyroidea. Panjang plica vocalis menentukan tinggi
rendah nada suara manusia, pada pria yang plica vocalisnya panjang suara lebihrendah
(ngebass) sedang pada wanita plica vocalis pendek sehingga nada sua ratinggi.

Spintcher Larynx
Terdapat dua spintcher pada larynx yaitu pada Aditus laryngis dan Rima glottidis.

53
 Aditus laryngis: Spintcher pada aditus laryngis hanya berfungsi pada saat menelan. Ketika
bolus makanan dipindahkan ke belakang di antara lidah dan palatum durum, larynx
tertarik ke atas dibawah bagian lidah. Aditus laryngis menyempit akibat kontraksi m.
arytenoideus obliquus dan m. aryeepiglottica. Epiglottis didorong kebelakang oleh lidah
berfungsi sebagai sungkup di atas aditus laryngis. Bolus makanan atau cairan kemudian
masuk ke dalam oesophagus dengan berjalan di atas epiglotti atau turun ke bawah lewat
alur pada sisi-sisi aditus laryngis, yaitu melalui fossa piriformis.
 Rima glottidis: Ketika batuk atau bersin, rima glottidis berfungsi sebagai
sphincter. Setelah inspirasi, plica vocalis adductio, dan otot-otot ekspirasi berkontraksi
dengan kuat. Akibatnya tekanan dalam tekanan di dalam thorax meningkat, dan dalam
waktu yang bersamaan plica vocalis mendadak abduksi. Pelepasan mendadak dari udara
yang terkompresi sering mengeluarkan partikel asing atau mucus dari saluran pernapasan
dan selanjutnya masuk ke pharynx. Di sini, partikel-partikel ditelan atau dikeluarkan

Inervasi

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang n. vagus, yaitu n. Laringeus superior dan n.


Laringeus inferior.Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.

Vaskularisasi

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a. Laringis superior dan a. Laringis
inferior.

Pembuluh Limfe

Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali daerah lipatan vokal.Disini mukosanya tipis
dan melekat erat dengan ligamentum vokale.Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi
dalam golongan superior dan inferior.

Pembuluh eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan
a.laringis superior, kemudian ke atas dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam.Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan kebawah dengan
a.laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan beberapa diantaranya
menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.

Struktur Mikroskopis
54
Sebagian besar laring dilapisi oleh mukosa toraks bersilia yang dikenal sebagai epitel
respiratorius.Namun, bagian – bagian laring yang terpapar aliran udara yang terbesar,
misalnya permulaan lingua pada epiglottis, permukaan superior plika ariepiglotika, dan
permukaan superior serta tepi batas korda vokalis sejati, dilapisi epitel gepeng yang lebih
keras. Kelenjar penghasil mukus banyak ditemukan dalam epitel respiratorius
 Laring menghubungkan faring dan trakea. Bentuk laring tidak beraturan / irreguler.
stuktur mikroskopis pada laring yaitu berupa Epitel bertingkat torak bersilia bersel goblet
kecuali ujung plika vokalis yang mempunyai epitel berlapis gepeng. Pada dinding laring
stuktur mikroskopisnya berupa Tulang Rawan Hialin dan Tulang Rawan elastis, mengandung
jaringan ikat dan kelenjar campur. Otot pada musculus vokalis berupa otot skelet.
 Tulang rawan pada laring hialin dan tulang rawan elastin, yaitu tulang rawan Hialin
yang terdiri dari satu buah tulang rawan tiroid dan tulang rawan krikoid serta dua
buah tulang rawan aritenoid (pada ujung tulang rawan aritenoid merupakan tulang rawan
Elastis, sedangkan bagian lain dari tulang rawan ini merupakan tulang rawan Hialin).
Sedangkan tulang rawan Elastis yang terdiri dari satu buah tulang rawan epiglotis dan dua
buah tulang rawan masing-masing tulang rawan Kuneiformis dan Kornikulata
 Pada otot-otot laring terdiri dari muskulus ekstrinsik dan intrinsik. Muskulus intrinsik
adalah Otot yang menghubungkan kartilago dengan daerah sekelilingnya dan berperan untuk
fonasi. Sedangkan Muskulus ekstrinsik merupakan Otot yang menghubungkan Tulang rawan
satu dengan yang lainnya dan berperan untuk proses menelan
 Epiglotis: Rangka epiglotis berupa tulang rawan Elastis. Mempunyai dua permukaan
yaitu Pars lingual dan pars laringeal, dimana Pars lingual dari tebal semakin menipis dan
beralih menjadi pars laryngeal. Permukaan lingual yang menghadap ke lidah. Pada
permukaan ini dijumpai epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Permukaan ini
merupakan bagian anterior yang paling sering berkontak dengan akar lidah, pada waktu
proses menelan. Lapisan Lamina propria pada permukaan ini dibawahnya langsung melekat
pada perikondrium. Ada kelenjar campur dan jaringan limfoid. Permukaan laringeal yang
menghadap ke laring. Pada permukaan ini di jumpai Epitel berlapis gepeng yang tipis
dari permukaan lingual menjadi epitel. bertingkat torak bersilia bersel goblet,yang
akan melanjutkan ke trakea dan bronkus. Permukaan ini merupakan bagian posterior yang
sering berkontak dengan makanan. Lamina propria dibawahnya mempunyai kelenjar campur
( lebih banyak daripada permukaan lingual )

55
TULANG RAWAN HIALIN

TULANG RAWAN ELASTIN

Dibawah epiglotis terdapat dua lipatan mukosa yang menonjol ke lumen laring yaitu
plika ventrikularis dan plika vokalis.

Bagian atas disebut pita suara palsu / plika ventrikularis.Pada bagian ini mempunyai epitel
bertingkat torak bersilia bersel goblet.lapisan Lamina proprianya tipis, terdiri dari jaringan
penyambung jarang.

Bagian bawah disebut pita suara sejati / plika vokalis.Pada plika vokalis terdapat
epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk.Pada lamina propria terdapat serat-serat elastin
yang tersusun sejajar membentuk ligamentum vokalis, dimana sejajar dengan ligamentum
vokalis terdapat otot skelet yang disebut muskulus vokalis. Fungsi muskulus vokalis ini
adalah mengatur ketegangan pita suara dan ligamentum, sehingga udara yang melalui pita
suara dapat menimbulkan suara dengan nada yang berbeda-beda

Diantara dua plika vokalis terdapat daerah yang disebut rima vokalis / rima glotidis

Fisiologi Tenggorokan

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, waktu menelan, resonasi suara dan
untukartikulasi.

· Proses menelan

Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama gerakan makanan dari mulut ke

faring secara volunter. Tahap kedua, transport makanan melalui faring dan tahap ketiga,
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang
sebenarnyaadalah: pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah. Elevasi
lidah danpalatum mole mendorong bolus ke orofaring.Otot supra hiod berkontraksi, elevasi

56
tulanghioid dan laring intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk
mencegahaspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong
makanankebawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis
mediadan superior. Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor
faringisinferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh
gayaberat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke lambung.

· Proses Berbicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring.Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding belakang
faring.

Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula


m.salpingofaringdan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatine bersama-sama
m.konstriktor faringsuperior.Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini
menarik palatummole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang
tersisa inidiisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi
akibat 2macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring(bersama m,salpingofaring) oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkinkedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi,
tetapi

ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara
cepatbersamaan dengan gerakan palatum.

RHINITIS

RHINITIS
Rinitis atau dikenal juga sebagai common cold, coryza, cold, atau selesma adalah salah
satu dari penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) tersering pada anak-anak. Anak-
anak lebih sering mengalami rinitis daripada dewasa. Rata-rata mereka mengalami 6-8 kali
rinitis per tahun, sedangkan orang dewasa 2-4 kali per tahun. Selama tahun pertama
kehidupan, anak laki-laki lebih sering mengalami rinitis daripada anak perempuan. Penyakit
ini juga merupakan penyebab terbanyak yang menyebabkan anak tidak dapat pergi ke
sekolah. Diperlukan pemahaman yang lebih baik akan epidemiologi dan patofisiologi
penyakit tersebut sehingga dapat mengurangi kunjungan ke dokter dan tatalaksana yang tidak

57
perlu. Selain itu, diperlukan juga rasionalisasi penggunaan antibiotik dalam tatalaksana rinitis
untuk mengatasi keadaan tersebut.
Rinitis dapat terjadi sepanjang tahun, tetapi insidennya tergantung pada musim. Di
belahan bumi utara, insiden rinitis meningkat. Rinitis tetap tinggi selama musim dingin, dnan
menurun pada musim semi, sedangkan di daerah tropis, rinitis terutama terjadi pada musim
hujan.
Rinitis adalah infeksi virus akut yang sangat menular. Rinitis ditandai dengan pilek,
bersin, hidung tersumbat, dan iritasi tenggorokan, serta dapat disertai dengan atau tanpa
demam. Hampir semua rinitis disebabkan oleh virus, virus penyebab tersering adalah
Rhinovirus, sedangkan jenis virus lainnya adalah virus parainfluenza, Respiratory Syncitial
Virus (RSV), dan Coronavirus. Dengan demikian, antibiotik tidak diperlukan dalam
tatalaksana rinitis. Hanya dalam keadaan tertentu saja bakteri berperan dalam rinitis, yaitu
jika merupakan bagian dari faringitis seperti pada rinofaringitis (nasofaringitis).

Definisi Rinitis
Rinitis merupakan istilah konvensional untuk infeksi saluran pernapasan atas ringan
gejala utama hidung buntu, adanya sekret hidung, bersin, nyeri tenggorok, dan batuk. Infeksi
ini terjadi secara akut, dapat sembuh spontan, dan merupakan penyakit yang paling sering
diderita manusia. Di Amerika Serikat, lebih kurang 25 juta pasien per tahun datang ke dokter
karena infeksi saluran pernapasan atas tanpa komplikasi.
Rinitis merupakan penyakit akut yang sangat infeksius, dan biasanya disebabkan oleh
virus. Salah satu penyebab virus rinitis adalah virus Influenza, sehingga terdapat salah
pengertian penyebutan rinitis dengan flu, yang merupakan nama lain influenza. Pada
kenyataannya, ada banyak jumlah virus yang dapat menyebabkan rinitis, misalnya
Rhinovirus, Adenovirus, virus Parainfluenza, Respiratory Syncitial Virus (RSV), dan lain-
lain.
Kumpulan gejala yang terdapat pada penyakit ini adalah hidung tersumbat, bersin,
coryza (inflamasi mukosa hidung dan pengeluaran sekret), iritasi faring, serta dapat pula
dijumpai demam yag tidak terlalu tinggi. Melihat kumpulan gejala tersebut, maka terminologi
selesma lebih sesuai daripada rinitis, coryza, atau nasofaringitis(terminologi yang biasa
dipakai di literatur. Terminologi rinitis terlalu terfokus pada kelainan di hidung dan infeksi
pada faring, walaupun pada keadaan sebenarnya bukan hanya itu yang terjadi. Akan tetapi
beberapa literatus masih menggunakan nasofaringitis untuk membicarakan rinitis.

Etiologi

58
Beberapa virus telah teridentifikasi sebagai penyebab rinitis. Rhinovirus, RSV, virus
Influenza¸virus Parainfluenza, dan R \Adenovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada
anak usia prasekolah. Persentase virus-virus ini sebagai penyebab rinitis bervariasi antara
penelitian satu dengan yang lainnya. Hal ini mungkin dikarenakan perbedaan waktu
dilakukannya penelitian, metode pengambilan sampel dan pemeriksaan, serta usia subyek
penelitian. Meskipun demikian, Rhinovirus merupakan penyebab rinitis tersering pada semua
usia, apapun metode pemeriksaannya. Rhinovirus yang mempunyai lebih dari 100 serotipe
merupakan penyebab 30-50% rinitis per tahun, dan dapat mencapai 80% selama musim semi.

Tabel 2.1.1 Etiologi Rinitis Berdasarkan Kekerapannya


Kategori Mikroorganisme
Penyebab rinitis terbanyak Rhinovirus
Virus Parainfluenza
RSV
Coronavirus
Dapat menyebabkan rinitis Adenovirus
Enterovirus
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Reovirus
Mycoplasma pneumoniae
Jarang menyebabkan rinitis Coccidioidas immitis
Histoplasma capsulatum
Bordetella pertussis
Chlamydia psitacci
Coxiella burnetti

Sumber: Herendeen, E.N., Szilagy G.P. Infection of the upper respiratory tract dalam:
Behrman, E.R., Kliegmann, M.R., Jenson, H.B. Penyunting. Textbook of Pediatrics 16th ed,
Philadelphia dalam: Rahajoe, N.N., Supriyatno, B., Setyanto, D.B. 2010.

Meskipun jarang, rinitis dapat juga disebabkan oleh Enterovirus (Echovirus dan
Coxsakievirus) dan Coronavirus. Coronavirus ditemukan pada 17-18% orang dewasa dengan
onfeksi saluran pernapasan atas. Human metapneumovirus, virus yang relatif baru ditemukan,
selain diketahui menyebabkan pneumonia dan bronkiolitis, dapat juga menyebabkan infeksi

59
saluran pernapasan atas ringan. Pada sekitar 5% pasien dengan rinitis, ditemukan dua atau
lebih virus pada saat yang bersamaan; sedangkan 20-30% rinitis tidak diketahui
penyebabnya. Etiologi rinitis berdasarkan kekerapannya dapat dilihat pada Tabel 2.1.1

Patofisiologi
Penularan rinitis dapat terjadi melalui inhalasi aerosol yang mengandung partikel kecil,
deposisi droplet pada mukosa hidung atau konjungtiva, atau melalui kontak tangan dengan
sekret yang mengandung virus yang berasal dari penyandang atau dari lingkungan. Cara
penularan antara virus yang satu berbeda dengan yang lainnya. Virus Influenza terutama
ditularkan melalui inhalasi aerosol partikel kecil, sedangkan Rhinovirus ditularkan melalui
kontak tangan dengan sekret, yang diikuti dengan kontak tangan ke mukosa hidung atau
konjungtiva.
Patogenesis rinitis sama dengan patogenesis infeksi virus pada umumnya, yaitu
melibatkan interaksi antara replikasi virus dan respon inflamasi pejamu. Meskipun demikian,
patogenesis virus-virus saluran respiratori dapat sangat berbeda antara satu dengan yang
lainnya karena perbedaan lokasi primer tempat replikasi virus. Replikasi virus Influenza
terjadi di epitel trakeobronkial, sedangkan Rhinovirus terutama di epitel nasofaring.
Pemahaman patogenesis rinitis terutama didapat dari penelitian pada sukarelawan yang
diinfeksi dengan Rhinovirus. Infeksi dimulai dengan deporit virus di mukosa hidung anterior
atau di mata. Dari mata, virus menuju hidung melalui duktus lakrimalis, lalu berpindah ke
nasofaring posterior akibat gerakan mukosilier. Di daerah adenoid, virus memasuki sel epitel
dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik di epitel. Sekitar 90% virus Rhinovirus
menggunakan intercellular adhesion mollecule-1 (ICAM-1) sebagai reseptornya.
Setelah berada di dalam sel epitel, virus bereplikasi dengan cepat. Hasil replikasi virus
tersebut dapat dideteksi 8-10 jam setelah inokulasi virus intranasal. Dosis yang dibutuhkan
untuk terjadinya infeksi Rhinovirus adalah kecil, dan lebih dari 95% sukarelawan tanpa
antibodi spesifik terhadap serotipe virus akan terinfeksi setelah inokulasi intranasal.
Meskipun demikian, tidak semua infeksi menyebabkan timbulnya gejala klinis. Gejala klinis
hanya terjadi pada 75% orang yang terinfeksi.
Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas kapiler, sehingga timbul gejala klinis tersumbat dan sekret hidung yang
merupakan gejala utama rinitis. Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan sekresi
kelenjar mukosa dan bersin. Mekanisme pasti tentang bagaimana virus menyebabkan
perubahan di mukosa hidung belum diketahui dengan pasti. Dilaporkan bahwa gejala timbul
bersamaan dengan influks sel-sel polimorfonuklear (PMN) ke dalam mukosa dan sel epitel
hidung.

60
Derajat keparahan kerusakan mukosa hidung berbeda antar virus. Virus Influenza dan
Adenovirus menyebabkan kerusakan yang luas, sedangkan infeksi Rhinovirus tidak
menyebabkan perubahan histopatologik pada mukosa hidung. Tidak adanya kerusakan
mukosa pada infeksi Rhinovirus menimbulkan dugaan bahwa gejala klinis pada infeksi
Rhinovirus mungkin bukan disebabkan oleh efek sitopatik virus, melainkan karena respons
inflamasi pejamu. Beberapa mediator inflamasi yang berperan pada virus adalah kinin,
leukotrien, histamin, interleukin (IL) 1, 6, dan 8, tumor necrosis factor (TNF), dan regulated
by activation normal T-cell expressed and secreted (RANTESI). Kadar IL-6 dan IL-8
menentukan derajat keparahan rinitis.

Manifestasi Klinis
Gejala rinitis timbul setelah masa inkubasi yang sangat bervariasi antar virus. Gejala
klinis pada infeksi Rhinovirus terjadi 10-12 jam setelah inokulasi intranasal, sedangkan masa
inkubasi virus Influenza adalah 1-7 hari. Secara umum, keparahan gejala meningkat secara
cepat, mencapai puncak dalam 2-3 hari, dan setelah itu membaik. Rata-rata lama terjadi
rinitis adalah 7-14 hari, tetapi pada beberapa pasien gejala dapat menetap hingga 3 minggu.
Gejala pada anak sangat berbeda dengan dewasa. Adanya sekret hidung dan demam
merupakan gejala yang sering ditemukan selama tiga hari pertama. Sekret hidung yang
semula encer dan jernih akan berubah menjadi lebih kental dan purulen. Sekret yang purulen
tersebut tidak selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri, tetapi berhubungan dengan
peningkatan jumlah sel PMN. Sekret berwarna putih atau kuning berhubungan dengan
adanya sel PMN, sedangkan sekret berwarna kehijauan disebabkan oleh aktivitas enzim sel
PMN.
Gejala lain meliputi nyeri tenggorok, batuk, rewel, gangguan tidur, dan penurunan
nafsu makan. Pemeriksaan firik tidak menunjukkan tanda yang khas, tetapi dapat dijumpai
oedem dan eritema mukosa hidung serta limfadenopati servikalis anterior. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa efek rinitis tidak hanya terbatas pada kavum nasalis, tetapi
dapat juga terjadi di sinus paranasalis. Pemeriksaan CT-scan dan foto polos sinus yang dibuat
pada awal perjalanan penyakit pada orang dewasa dengan rinitis tanpa komplikasi
menunjukkan adanya kelainan bermakna pada sinus yang sembuh spontan tanpa pemberian
antibiotik. Hal ini menunjukkan bahwa kelainan sinus selama rinitis tidak selalu akibat
infeksi sekunder oleh bakteri, tetapi dapat merupakan bagian dari perjalanan penyakit normal.
Penelitian lain pada 65 anak menunjukkan bahwa 47% anak dengan rinitis mempunyai
kelainan sinus pada pemeriksaan CT-scan atau MRI kepala, yang secara bermakna
berhubungan dengan gejala rinitis yang terjadi dua minggu sebelumnya. Tidak diketahui
dengan jelas apakah kelainan ini disebabkan oleh kegagalan sistem drainase sinus atau karena

61
infeksi virus ke mukosa sinus. Kelainan pada telinga tengah juga sering terjadi pada penyakit
rinitis tanpa komplikasi. Dua pertiga anak berusia 2-12 tahun mempunyai tekanan telinga
tengah yang abnormal selama dua minggu sejak terjadinya onset rinitis. Tekanan yang
abormal ini hanya sementara selama terjadinya rinitis. Penyebabnya masih belum jelas, tapi
diperkirakan bahwa virus di nasofaring menyebabkan disfungsi tuba Eustachius, dan tekanan
telinga tengah menjadi abnormal. Dugaan lain adalah virus juga menginfeksi mukosa telinga
tengah atau mukosa tuba Eustachius.
Mekipun rinitis merupakan penyakit yang dapat sembuh spontan dengan durasi yang
pendek, komplikasi karena infeksi bakteri dapat juga dijumpai. Macam-macam komplikasi
yang dapat terjadi antara lain:
a. Otitis media.
Merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada anak. Penyakit ini terjadi pada sekitar
20% anak dengan infeksi saluran pernapasan atas karena virus. Komplikasi ini paling
sering terjadi pada hari ke-3 atau ke-4 setelah onset gejala infeksi saluran pernapasan
atas. Infeksi virus pada saluran pernapasan atas sering menyebabkan disfungsi tuba
Eustachius, yang dianggap sebagai faktor penting dalam patogenesis otitis media.
b. Rinosinusitis.
Infeksi sekunder bakteri pada sinus paranasalis perlu dipertimbangkan apabila gejala
nasal menetap hingga lebih dari 10-14 hari. Rinosinusitis bakterial diperkirakan terjadi
pada 6-13% anak dengan infeksi saluran pernapasan atas karena virus.
c. Infeksi saluran pernapasan bawah.
Pneumonia dapat terjadi karena infeksi sekunder oleh bakteri atau akibat penyebaran
virus ke jaringan paru. Penelitian menunjukkan bahwa campuran bakteri-virus
merupakan penyebab tersering pneumonia pada anak.
d. Eksaserbasi asma.
Penelitian menunjukkan bahwa infeksi Rhinovirus berperan pada terjadinya kurang lebih
50% eksaserbasi asma pada anak.
e. Lain-lain.
Komplikasi lain dapat berupa epistaksis, konjungtivitis, dan faringitis.

Diagnosis
Penegakan diagnosis rinitis sebenarnya relatif mudah, tetapi perlu diwaspadai beberapa
diagnosis banding yang memiliki gejala mirip untuk menghindari kesalahan terapi. Hal lain
yang patut diingat adalah penentuan apakah sudah terjadi komplikasi atau tidak.
Dignosis rinitis diperoleh berdasarkan gejala klinis dan perjalanan penyakit yang
diperoleh dari anamnesis yang baik. Perlu ditanyakan karakteristik rinorea, apakah bilateral

62
atau unilateral, dan apakah pasien memiliki riwayat alergi. Kebiasaan merokok pada orang
tua juga perlu ditanyakan, karena asap rokok yang terhirup dapat memperberat gejala rinitis.
Selian itu, perjalanan penyakit juga perlu ditanyakan untuk mengetahui apakah sudah terjadi
komplikasi atau belum pada pasien. Nyeri tenggorok kadang sulit dibedakan dengan gejala
faringitis karena streptokokus. Pembedanya adalah tidak ditemukannya hidung buntu dan
nasal discharge yang merupakan gejala utama rinitis pada faringitis akibat streptokokus.
Pemeriksaan fisik tidak menunjukkan gejala yang khas. Penegakan diagnosis rinitis
lebih mudah dilakukan pada orang dewasa, sedangkan pada anak agak sulit karena anak tidak
dapat menyampaikan keluhannya, apalgi pada bayi di mana demam merupakan gejala
pertama yang timbul pada awal infeksi. Sulit bagi klinisi untuk menentukan apakah demam
ini merupakan bagian dari infeksi virus yang ringan atau infeksi bakteri yang berat. Pada
pemeriksaan fisis, warna sekret hidung tidak dapat membedakan penyebab penyakit,
misalnya mukosa hidung pada pasien rinitis alergi biasanya oedem, tetapi tidak selalu
berwarna pucat. Beberapa gambaran klinis yang perlu dicari adalah keterlibatan otitis media,
nyeri pada wajah atau sinus, pembesaran kelenjar servikal, tanda-tanda gangguan pernapasan
(sesak, takipnea, wheezing, ronki, retraksi), juga tanda-tanda atopik. Pada setiap anak dengan
batuk pilek harus ditentukan apakah ada peningkatan laju pernapasan serta penarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam. Kedua tanda ini penting untuk deteksi dini pneumonia.
Ditemukannya virus penyebab rinitis merupakan baku emas diagnosis, tetapi hal ini
tidak dianjurkan dalam penatalaksanaan pasien sehari-hari. Metode identifikasi virus yang
dapat dilakukan meliputi kultur vitus, deteksi antigen, dan polymerase chain reaction (PCR).
Meskipun sensitivitas dan spesifitas masih diragukan, saat ini telah tersedia berbagai uji
deteksi antigen untuk mendeteksi virus Influenza, virus Parainfluenza, RSV, dan Adenovirus,
tetapi tidak digunakan untuk mendeteksi Rhinovirus karena banyaknya jumlah serotipe yang
dimiliki.

Tatalaksana
Hingga saat ini terapi rinitis yang efektif masih belum ditemukan karena bervariasinya
tipe virus penyebab dan mekanisme patogenesis yang mendasarinya.
a. Non medikamentosa.
Apabila gejala klinis pada anak tidak terlalu berat, dianjurkan untuk tidak menggunakan
terapi medikamentosa. Ada beberapa cara untuk mengatasi hidung tersumbat, misalnya
pada anak yang lebih besar dianjurkan untuk melakukan elevasi kepala saat tidur. Pada
bayi dan anak dianjurkan pemberian terapi suportif cairan yang adekuat, karena
pemberian minum dapat meredakan rasa nyeri dan gatal pada tenggorokan.
b. Medikamentosa.

63
Apabila gejala yang ditimbulkan terlalu mengganggu, pemberian obat dianjurkan untuk
mengurangi gejala. Gejala yang membuat anak tidak nyaman biasanya adalah demam,
malaise, rinorea, hidung tersumbat, dan batuk persisten.
Obat-obat simptomatis merupakan obat yang paling sering diberikan, terutama ditujukan
untuk menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu. Pada bayi dan anak, terapi
simptomatis yang direkomendasikan adalah asetaminofen (atau ibuprofen untuk anak
berusia lebih dari enam bulan) utnuk menghilangkan demam yang mungin terjadi pada
hari-hari pertama.
Pemberian tetes hidung saline yang diikuti dengan hisap lendir dapat mengurangi sekret
hidung pada bayi. Pada anak yang lebih besar dapat diberikan semprot hidung saline.
Dekongestan topikal tidak dianjurkan pada anak yang lebih kecil, karena penggunaan
berlebihan dapat menimbulkan rebound phenomena dan memperlama gejala yang
timbul. Penggunaan pada anak yang lebih besar dianjurkan satu kali sehari pada saat
malam sebelum tidur, maksimal selama tiga hari.
i. Antihistamin.
Penggunaan antihistamin pada rinitis tidak mengubah perjalanan penyakit. Efek
sampingnya bahkan dapat memperparah penyakit, yaitu mulut terasa kering,
hidung tersumbat, atau agitasi. Penelitian secara randomized controlled trial
antara anak dengan terapi kombinasi antihistamin dan plasebo tidak menunjukkan
perbedaan. Kombinasi obat ini juga tidak menunjukkan efek proteksi terhadap
komplikasi otitis media.
Selain sedasi, efek samping antihistamin yang lain adalah paradoxic excitability,
depresi napas, dan halusinasi. Karena berpotensi toksik dan tidak terbukti
bermanfaat, antihistamin hanya boleh diberikan pada anak berusia di atas 12
bulan, dengan harapan pada efek sedasi.
ii. Antitusif.
Pemberian pada anak dengan rinitis tidak bermanfaat. Pada anak dengan penyakit
reaktif saluran respiratori yang dipicu infeksi saluran pernapasan karena virus,
antitussif dapat menyebabkan mucous plugging dan memperburuk gejala. Baik
kodein maupun dekstrometorfan memiliki potensi toksisita termasuk distress
pernapasan. Karena itu penggunaan antitusif tidak disarankan pada anak.
iii. Dekongestan.
Dekongestan merupakan obat simptomatis yang menyebabkan vasokonstriksi
mukosa hidung. Dekongestan yang sering digunakan adalah pseudoephedrine
hydrochloride, phenylephrine hydrochloride, dan phenylpropanolamine
hydrochloride. Pada orang dewasa, obat-obat tersebut terbukti efektif

64
menghilangkan kongesti nasal dan meningkatkan patensi, tetapi tidak terbukti
efektivitasnya pada anak. Efek samping dekongestan meliputi takikardi,
peningkatan tekanan darah diastolik, dan palpitasi.
iv. Zinc.
Efektivitas zinc pada terapi rinitis masih belum jelas. Uji klinik acak buta ganda
pada 249 anak sekolah dasar (SD) tidak menunjukkan manfaat yang berarti.
Bahkan efek samping seperti nausea, iritasi tenggorok, dan diare lebih banyak
dialami pada anak-anak dengan perlakuan.
v. Echinacea.
Uji klinik acak buta ganda pada anak berusia 2-11 tahun tidak menunjukkan
perbedaan dalam lama dan berat gejala rinitis antara kelompok yang mendapat
echinacea dengan kelompok plasebo.
vi. Antibiotik.
Antibiotik banyak diberikan pada ISPA atas tanpa komplikasi walaupun tidak ada
bukti efektif peranannya dalam terapi rinitis. Antibiotik tidak dapat mencegah
terjadinya infeksi bakteri sekunder pada rinitis, bahkan meningkatkan efek
samping dan kejadian rsitensi. Pemberian antibiotik hanya direkomendasikan
pada kondisi yang jelas berhubungan dengan infeksi sekunder bakteri seperti
otitis media, rinosinusitis, dan penumonia.
Alasan pemberian antibiotik yang sering dilontarkan selama ini adalah adanya
sekret hidung yang mukopurulen dan lama sakit yang melebihi satu minggu.
Pengentalan sekret terjadi secara normal sejak hari ke-3 awitan akibat deskuamasi
sel epitel, peningkatan sel PMN, dan jumlah bakteri yang merupakan koloni
normal. Pemberian antibiotik tidak mempersingkat durasi penyakit dan tidak
mencegah timbulnya komplikasi.
vii. Antivirus.
Antivirus efektif pada influenza namun tidak pada ISPA atas lainnya seperti
rinitis. Kendalanya adalah membedakan kedua penyakit ini. Prediktor yang sering
digunakan adalah adanya demam tinggi dengan awitan mendadak, batuk serta
gejala-gejala rintis lainnya.
Antivirus yang dapat digunakan antara lain amantadin, oseltamivir, dan
zanamivir. Penggunaan rimantadin tidak dianjurkan karena resiko resistensi.
Penggunaan antivirus di Indonesia tidak umum, kemungkinan karena biaya tidak
murah bila dibandingkan dengan efek yang ditimbulkan, yaitu hanya mengurangi
penyakit selama 24 jam. Selain itu, antivirus juga hanya eektif dalam 36 jam
pertama flu.

65
Pencegahan

Cara terbaik untuk mencegah penularan adalah dengan mencuci tangan, khususnya setelah
kontak dengan sekret pasin baik secara langsung maupun tidak langsusng. Pemberian
imunisasi Influenza setahun sekali dapat mencegah infeksi Influenza dan komplikasinya.

FARINGITIS

Setiap tahunnya ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis.
Banyak anak-anak dan orang dewasa mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis. Secara global di dunia ini viral faringitis merupakan
penyebab utama seseorang absen bekerja atau sekolah.

National Ambulatory Medical Care Survey menunjukkan ±200 kunjungan ke dokter tiap
1000 populasi antara tahun 1980-1996 adalah karena viral faringitis. Faringitis merupakan
peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi maupun noninfeksi.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis.

Faktor risiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma dan toksin. Virus dan bakteri melakukan invasi ke
faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri grup A Streptococcus
hemolitikus banyak menyerang anak usia sekolah dan orang dewasa. Penularan infeksi
melalui sekret hidung dan ludah.

Faring merupakan sebuah bangunan berbentuk pipa yang menghubungkan bagian


belakang hidung dan rongga mulut dengan pintu masuk laring dan introitus-esofagus. Faring
dibagi menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Faringitis kronis
adalah kondisi inflamasi dalam waktu yang lama pada mukosa faring dan jaringan sekitarnya.
Faringitis kronis terbagi menjadi faringitis kronis hiperplastik (granular) dan faringitis kronis
atropi atau kataralis.

Etiologi

Faringitis kronis bisa disebabkan karena induksi yang berulang-ulang faringitis akut atau
karena iritasi faring akibat merokok berlebihan dan penyalahgunaan alkohol, sering konsumsi
minuman ataupun makanan yang panas, dan batuk kronis karena alergi. Faringitis kronis
akibat gangguan pencernaan pada lambung juga mungkin terjadi namun merupakan penyebab

66
yang jarang ditemukan. Penyebab lain yang tidak termasuk iritan adalah pemakaian suara
berlebihan misalnya pada orator, sinusitis, rhinitis, inhalasi akibat uap yang merangsang
mukosa faring, debu, serta kebiasaan bernafas melalui mulut karena hidung tersumbat.

Patogenesis

Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsungmenginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman
menginfiltrasi lapisanepitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial
bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada
stadium awal terdapathiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.

Eksudat mula-mula serosa tapi menjadimenebal dan kemudian cendrung menjadi kering
dan dapat melekat pada dinding faring. Denganhiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarnakuning, putih atau abu-abu terdapat dalam
folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikellimfoid dan bercak-bercak pada dinding
faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadimeradang dan membengkak. Virus-
virus seperti Rhinovirus dan Corona virusdapatmenyebabkan iritasi sekunder pada mukosa
faring akibat sekresi nasal. Infeksi streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi
lokal dan pelepasan extracellular toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang hebat karenafragmen M protein dari Group A streptococcus memiliki struktur
yang sama dengan sarkolema pada myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan
kerusakan katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena
fungsi glomerulus terganggu akibatterbentuknya kompleks antigen-antibodi.

Klasifikasi Faringitis

1. Faringitis akut

a. Faringitis viral

Disebabkan oleh rinovirus yang dapat menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian akan menimbulkan faringitis. Gejalanya berupa demam disertai rinorea, mual,
nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.

b.Faringitis bakterial

Infeksi grup A Streptokokus B hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada


orang dewasa (15%) dan pada anak (30%). Pasien mengalami nyeri kepala, muntah, kadang-
kadang demam dengan suhu yang tinggi. Pada pemeriksaan tampak tonsil memebesar, faring
dan tonsil hiperemis. Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri tekan.

Terdapat dua bentuk faringitis kronis yaitu :

67
1. Faringitis kronis hiperplastik

2. Faringitis kronis atrofi

a. Faringitis kronis hiperplastik

Faktor predisposisi :

- Rinitis kronis dan sinusitis

-Inflasi kronik yang dialami perokok dan peminum alkohol

- Inhalasi uap yang merangsang

-Infeksi

-Daerah berdebu

-Kebiasaan bernafas melalui mulut

Manifestasi klinis :

-Rasa gatal, kering dan berlendir yang sukar dikeluarkan dari tenggorokan

-Batuk serta perasaan mengganjal di tenggorokan

Pemeriksaan fisik :

-Penebalan mukosa di dinding posterior faring

-Hipertrofi kelenjar limfe di bawah mukosa

-Mukosa dinding faring posterior tidak rata (granuler)

-Lateral band menebal

Penatalaksanaan :

-Dicari dan diobati penyakit kronis di hidung dan sinus paranasal

-Local dapat dilakukan kaustik dengan zat kimia (nitras argenti, albothyl) atau dengan
listrik (elektrokauter)

-Sebagai simptomatik diberikan obat kumur atau isap, obat batuk (antitusif
atauekspektoran).

b. Faringitis kronis atrofi

Adalah faringitis yang timbul akibat rangsangan dan infeksi pada laring karena terjadi
rhinitis atrofi, sehingga udara pernafasan tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga
menimbulkan rangsangan infeksi pada faring.

Manifestasi klinis :

68
-Tenggorokan terasa kering dan tebal

-Mulut berbau

Pemeriksaan fisik :

Pada mukosa faring terdapat lendir yang melekat, dan bila lendir itu diangkat akantampak
mukosa dibawahnya kering.

Penatalaksanaan :

Terapi sama dengan rhinitis atrofi, ditambah obat kumur, obat simtomatik dan menjaga
hygiene mulut.

Gejala Klinis

Gejala umum yang sering ditemukan ialah:

- Gatal dan kering pada tenggorokkan

- Suhu tubuh naik sampai mencapai 40 0 C

- Rasa lesu dan nyeri disendi

- Tidak nafsu makan (anoreksia)

- Rasa nyeri ditelinga (otalgia)

- Bila laring terkena suara menjadi parau atau serak

- Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis,dan menjadi kering, gambaran seperti


kaca dan dilapisi oleh sekresi mukus.

- Jaringan limpoid biasanya tampak merah dan membengkak

Diagnosis :

Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari anamnesa yang cermat dan
dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung
danleher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang
membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.

Pemeriksaan Penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam penegakkan diagnosa antara
lain yaitu :

- pemeriksaan darah lengkap

-GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis akibat infeksi bakteri
streptococcusgroup A

69
-Throat culture

Namun pada umumnya peran diagnostik pada laboratorium dan radiologi terbatas.

Penatalaksanaan

Pada viral faringitis pasien dianjurkan untuk istirahat, minum yang cukup dan berkumur
dengan air yang hangat. Analgetika diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol
(isoprenosine)diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi
dalam 4-6kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak <5tahun diberikan
50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

Pada faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya streptococcus group
Adiberikan antibiotik yaitu Penicillin G Benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau
amoksisilin 50mg/kgBB dosis dibagi 3kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa
3x500mgselama 6-10 hari atau eritromisin 4x500mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan
kortikosteroid karena steroid telah menunjukan perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa deksametason 8-16mg/IM sekali dan pada
anak-anak 0,08-0,3mg/kgBB/IM sekali. dan pada pasien dengan faringitis akibat bakteri
dapat diberikan analgetik, antipiretik dan dianjurkan pasien untuk berkumur-kumur dengan
menggunakan air hangat atau antiseptik.

Pada faringitis kronik hiperplastik dilakukan terapi lokal dengan melakukan kaustik faring
dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter ).
Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur, jika diperlukan dapat diberikann obat batuk
antitusif atau ekspetoran. Penyakit pada hidung dan sinus paranasal harus diobati. Pada
faringitis kronik atrofi pengobatannya ditujukan pada rhinitis atrofi dan untuk faringitis
kronik atrofi hanyaditambahkan dengan obat kumur dan pasien disuruh menjaga kebersihan
mulut.

Prognosis

Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik. Pasien dengan faringitis
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

Komplikasi

Adapun komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis,
pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu juga dapat terjadi komplikasi
lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik akut. Hal ini terjadi
secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.

70
TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan amandel/mandel (tonsila palatina). Secara klinis


peradangan ini ada yang akut (baru), ditandai dengan nyeri menelan (odinofagi), dan
tidak jarang disertai demam. Sedangkan yang sudah kronis (lama) biasanya tidak nyeri
menelan, tapi jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan menyebabkan sesulitan
menelan (disfagia).

Tonsilitis ditandai dengan keadaan amandel yang merah dan membengkak.


Anda juga dapat melihat adanya bintik-bintik putih pada amandel.

Tanda-tanda dan gejala terjadinya tonsilitis lain adalah:

 Tenggorokan sakit
 Sulit atau sakit saat menelan
 Sakit kepala
 Demam dan kedinginan
 Pembesaran, pembengkakan kelenjar (kelenjar getah bening) disekitar
rahang dan leher.
 Kehilangan suara

Faktor risiko

Tonsilitis adalah kondisi yang sering terjadi, terutama pada anak-anak. Virus
dan bakteri cenderung untuk berkembang pada orang-orang yang berhubungan dekat
satu sama lain, seperti di sekolah atau di fasilitas penitipan anak.

1. TONSILITIS AKUT

Tonsilitis akut merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam,


lemah, nyeri tenggorokan dan gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat
yang radang akut. Sering kali peradangan juga mengenai dinding faring sehingga
disebut juga tonsilofaringitis akut.

ETIOLOGI

Tonsillitis akut ini lebih disebabkan oleh kuman grup A Streptokokus beta
hemolitikus, pneumokokus, Streptokokus viridian dan Streptokokus piogenes. Virus
terkadang juga menjadi penyebab penyakit ini. Tonsillitis ini seringkali terjadi
mendadak pada anak-anak dengan peningkatan suhu 1-4 derajat celcius.

PATOFISIOLOGI

71
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,
terjadi pembendunagn radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.

MANIFESTASI KLINIK

Tonsillitis Streotokokus grup A harus dibedakan dri difteri, faringitis non


bacterial, faringitis bakteri bentuk lain dan mononucleosis infeksiosa. Gejala dan
tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi suhu tubuh naik hingga
40o celcius, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas yang berbau, suara
akan menjadi serak, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di
persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga. Pada pemeriksaan juga akan
nampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna
akan tertutup oleh membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri
tekan.

KOMPLIKASI

Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring,


toksemia, septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.

PEMERIKSAAN

1) Tes Laboratorium

Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada
dalam tubuh pasien merupkan akteri gru A, karena grup ini disertai dengan demam
renmatik, glomerulnefritis, dan demam jengkering.

2) Pemeriksaan penunjang

Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.

3) Terapi

Dengan menggunakan antibiotic spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik,


dan obat kumur yang mengandung desinfektan.

PENGOBATAN/TERAPY

Tonsilitis akut.

Berikan antibiotik, analgesik, dan obat kumur.

Tonsilitis kronik eksaserbasi.

72
Penyembuhan radang, kemudian dilakukan tonsilektomi 2-6 minggu setelah
peradangan tenang.

Tonsilitis kronik

Bila tonsilitis kronik tidak mengganggu biarkan.

Pengobatan Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam


jumlah yang cukup, serta makan makanan yang bergizi namun tidak terlalu padat dan
merangsang tenggorokan. Analgetik diberikan untuk menurunkan demam dan
mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak beredar analgetik (parasetamol) yang
sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi untuk menyegarkan badan.

Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat
pilihan adalah penisilin. Kadang-kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis
antibiotik yang diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5
sampai 10 hari.

Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta
hemolitkus grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah
kemungkinan komplikasi nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang-kadang
dibutuhkan suntikan benzatin penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan
pengobatan orang tidak adekuat.

2. TONSILITIS KRONIS

DEFINISI

Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akutyang


terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutamaterjadi pada
anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.Tetapi tidak jarang
keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertaidengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekankeluar detritus.

ETIOLOGI

bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut , namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.

FAKTOR PREDISPOSISI

Mulut yang tidk hygiene, pengobatan rdang akut yang tidak adekuat,
rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.

PATOFISIOLOGI

73
Karena proses rang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut.
Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi
oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris.

MANIFESTASI KLINIS

Adanya keluhan pasien di tenggookan seperti ada penghalang, tenggorokan


terasa kering, pernapasan berbau. Sat pemeriksaan ditemukan tonsil membesar dengan
permukaan tidak rata, kriptus membesar dan terisi detritus.

KOMPLIKASI

Timbul rhinitis kronis, sinusitis atau optitis media secara perkontinuitatum,


endokarditis, arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus,
urtikaria, dan furunkulosis.

PEMERIKSAAN

1) Terapi

Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur
atau obat isap. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa tidak
berhasil.

2) Faktor penunjang

Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.

INDIKASI TONSILEKTOMI

1) Sumbatan

1.1) Hiperplasia tonsil dengan sumbatan jalan nafas

1.2) Gangguan menelan

1.3) Gangguan berbicara

2) Infeksi

2.1) Infeksi telinga tengah berulang

2.2) Rinitis dan sinusitis yang kronis

2.3) Peritonsiler abses

2.4) Tonsilitis kronis dengan gejala nyeri tenggorok yang menetap

74
3) Kecurigaan adanya tumor jinak atau ganas

IMMUNOLOGI SALURAN PERNAFASAN ATAS

Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose-associated lymphoid tissue (NALT),
larynx-associated lymphoid tissue (LALT), and the bronchus-associated lymphoid tissue
(BALT).1 BALT terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa germinal center terletak pada
dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi amnion
dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada fetus yang tidak terinfeksi.
Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini merupakan fenomena reaktif dan tidak
mempengaruhi prognosis. Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi
di epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang
dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport
antigen lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel
dendritik submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan
85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini merupakan
APC yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak
terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses inflamasi pada
keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas
atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap
antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui

proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat memulai proses imun
selanjutnya. Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan
kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke efektor
mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya
mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen adalah
efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi sitokin oleh Th1
atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan
akan membantu sel B untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.

75
VII. KERANGKA KONSEP

Panji 6 tahun , 3 bulan yang lalu


(gejala sama dengan sekarang)
sembuh setelah berobat ke
puskesmas

Faktor Resiko Infeksi berulang

Demam Rhinitis Tonsilofaringitis Kronik


Eksaserbasi Akut

Mukus

Nyeri Tenggorok

Batuk & Pilek

Obat Simtomatik AB (broadspectrum)

76
VIII. KESIMPULAN

Panji 6 tahun mengalami Rhinitis akut, faringotonsil kronik eksaserbasi akut


dengan gejala batuk pilek, demam dan sakit tenggorok.

77
DAFTAR PUSTAKA

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV , Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi. 7 nd ed , Vol. 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. 2003.Patofisiologi konsep klinis proses-proses


penyakit edisi 6 volume 2. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.

Guyton A.C, Hall. 2008. Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC

Baratawidjaja, Karnen G. 2010. Imunologi Dasar Edisi ke Sembilan. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI.

Kamus Kedokteran Dorland. 1998. Jakarta : EGC

Soepardi, Efiaty Arsyad, dkk. 1990. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung tenggorok
Kepala & Leher edisi keenam.1990.Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia

78

Anda mungkin juga menyukai