Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya. Kesemuanya itu ditujukan kepada tercapainya keluarga-keluarga sehat (Indonesia, 2016). Kesehatan keluarga merupakan suatu pendekatan (approach system) dalam sistem pelayanan kesehatan yang berkembang sejalan dengan perkembangan Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) itu sendiri. Sejalan dengan pemahaman istilah Kesehatan Keluarga, masih terdapat istilah lain yang analog, , yaitu Kedokteran Keluarga. Ada perbedaan dan persamaan yang mendasari kedua istilah tersebut. Di samping adanya berbagai metode operasional dalam ilmu kesehatan Masyarakat, akhirnya tidak terlepas timbul terminologi Kesehatan Keluarga sebagai suatu pendekatan implementatif yang sampai saat ini belum banyak diplubikasikan. Mengingat efek gandanya (multiplier effect) dapat menjadi titik masuk bagi berbagai usaha kesehatan pokok (basic health services) dalam implementasi kegiatan kesehatan masyarakat, maka tujuan kesehatan keluarga itu perlu didayagunakan kembali sebagai salah satu variasi terhadap perbandingan pemahaman dari berbagai pendekatan upaya-upaya kesehatan masyarakat yang sudah ada. Kesehatan keluarga dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan implementatif bagi usaha pelayanan kesehatan pokok masyarakat secara terpadu di lapangan melalui unit- unit keluarga sebagai titik masuk (entry point) yang harapannya akan lebih efektif dan efisien (Ryadi, 2016). 1. Struktur Keluarga Struktur keluarga bermanfaat sebagai sumber informasi terhadap profil “kondisi kebutuhan” kesehatan di dalam sebuah keluarga. Timbul pertanyaan, sejauh mana pengetahuan struktur keluarga penting dalam implementasi kegiatan Kesehatan Keluarga? Metode pelayanan manakah yang lebih selektif dan efisien bagi masing- masing anggota keluarga bila diimplementasikan melalui titik masuk konsep Ilmu Kesehatan Keluarga? Dikaitkan dengan data tentang struktur (komposisi) maupun ukuran jumlah keluarga (population size) secara demografis, bisakah secara efektif dicapai melalui konsep Kesehatan Keluarga? Bagi struktur keluarga majemuk (extended family) yang heterogen masing-masing umur anggotanya melalui kesehatan poko mana yang lebih cocok? (Ryadi, 2016). Pada ectended family,tentu saja strukturnya sangat beragan dengan heterogenitas latar belakang soalnya. Secara demografis, struktur keluarga dapat dibedakan dalam 3 kelompok besar, yaitu (Ryadi, 2016): a. Kelompok “dependent ratio I”, dengan rata-rata umur 1-15 tahun, yang dari segi palayaan kesehatanmasih perllu dibagi lagi dalam 3 subgrup: Subkelompok bayi dan balita, membutuhkan pelayanan untuk tumbuh kembang terbaiknya melalui peningkatanprogram (KIA). Subkelompok anak usia sekolah (Schooll aged group), membutuhkan penanganan melalui programUsaha Kesehatan solo b. Kelompok dewasa dan usia produktif dapat lebih bebas memilih pendekatan sesuai dengan waktu keinginannya. c. Kelompok “dependent ratio II”, sesuai dengan kemampuan kegiatan Puskesmas dapat ditangani oleh unit kesehatn lansia dan didukung oleh pengembangan kelompok Upaya Kesehata Bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dapat dibentuk dalam konsep Desa Siaga.
2. Fungsi Pokok Kesehatan Keluarga
Dari definisi Kesehatan Keluarga dapat ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya ia memiliki tiga fungsi pokok, yakni (Ryadi, 2016): a. Kesehatan Keluarga merupakan suatu pendekatan implementatif dari sistem pelayanan kesehatan masyarakat dalam tugas melayani dan membina para anggota di unit-unit keluarga. b. Kesehatan Keluarga dapat dianggap sevagai suatu program utama yang sederajat dengan berbagai program kesehatan yang ada dalam paket pelayanan kesehatan dasar atau primer, seperti serumpun dengan: Kesehatan Ibu dan anak (KIA) Kesehatan lingkungan Kesehatan usia sekolah (usaha kesehatan sekolah/ UKS) Kesehatan jiwa Dan sebagainya c. Kesehatan Keluarga dapat dianggap sebagai suatu sarana untuk menampung dan memfungsikan berbagai usaha kesehatan pokok (basic health service) secara lebih terpadu. Kesehatan Keluarga dipergunakan sebagai entry-point dalam upaya promosi kesehatan secara implementatif berbagai pelayanan kesehtan pokok melalui unit-unit keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Konsep Ilmu Kesehatan Keluarga harus dioerkenalkan kembali (dipromosikan), karena terdapat berbagai alasan strategis untuk menampilkan Kesehatan Keluarga dalam pelayanan kesehatan poko melalui Puskesmas, antara lain (Ryadi, 2016): a. Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, sehingga kebutuhan kesehatan bagi kelompok “dependent ratio I” maupun “dependent ratio II” masih bergantung pada pelayanan kesehatan dari pemerintah. b. Filosofi Pancasila dan UUD 1945 mengingatkan kita aka idealisme tujuan bagi tercapainya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. c. Perwujudan Pancasila dan UUD 1945 merupakan perintah moral untuk melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat “dependent ratio I” maupun “dependent ratio II”. d. Salah satu komponen kesejahteraan merupakan persyaratan utama untuk dapat terpenuhinya kebutuhan kesehatan dasar bagi setiap penduduk. e. Demikian pula secara fundamental, hakiki kesehatan justru merupakan salah satu hak dasar manusia secara universal. f. Karenanya, perwujudan Kesehatan Keluarga bagi bangsa Indonesia yang berada dalam lingkup kesejahteraan tersebut, justru merupakan realisasi terhadap pesan moral keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 Pancasila). 3. Kesehatan Keluarga dalam Paket Pelayanan Kesehatan Dasar Pesan ini berawal dari rekomendasi konferensi Internasional tentang pelayanan kesehatan dasar/ primer yang diselenggarakan di Alma Ata, Ibu Kota Kazakstan tahun 1978, dimana delegasi Indonesia juga ikut menandatangani deklarasi Alma Ata ini. Secara moral kita berkewajiban ikut merealisasikan pesan deklarasi tersebut (Ryadi, 2016). Isi deklarasi tersebut antara lain: a. Sehat merupakan hak dasar setiap manusia. b. Untuk memperbaiki kesedatan masyarakat dengan efektif, perlu melibatkan masyarakat itu sendiri melalui Organized Community Effort sebagaimana dinyatakan dengan jelas dalam salah satu kaidah pengertian definisi Public Health WHO. c. Kesejahteraan Keluarga dapat dicapai melalui peningkatan berbagai aspek sosial dan ekonomi melalui peran serta masyarakat dirinya (salah satu titik masuk adalah melalui Kesehatan Keluarga). d. Masyarakat memiliki hak, namun sebaliknya juga dibebani dengan kewajiban dan tanggung jawab untuk ikut diberdayakan, baik secara perorangan maupun kolektif (melalui jejaring Usaha Kesehatan Bersumber daya Masyarakat). e. Kesehatan Keluarga dalam tingkat pertama harus diarahkan agar dapat memiliki kemampuan untuk memahami bagaimana memanfaatkan pelayanan kesehatan dasarnya (dalam hal ini peran ibu dalam mengembangkan dirinya untuk maternal self care). f. Kesehatan Keluarga merupakan salah satu pijakan untuk ikut meningkatkan status kesehatan masyarakat seterusnya (melalui maternal self care, peran Ibu sebagai kunci utama/ kunci masuk). g. Karenanya, pelayanan kesehatan dasar menggunakan kunci masuk unit-unit keluarga sebagai strategi yang sederhana, muda dan dapat dikerjakan oleh setiap unit keluarga.
B. KELUARGA MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA
Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu kebijakan pemerintah Indonesia yang dipandang paling efektif untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Banyak masyarakat semakin menyadari bahwa kebutuhan hidup saat ini semakin mahal, sehingga banyaknya anak akan menambah beban ekonomi tersendiri dalam kehidupan mereka. Sementara kondisi perekonomian saat ini cukup menyulitkan ditambah kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya sangat sulit untuk tercukupi (Mulyani, 2017). Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mendefinisikan Keluarga Berencana adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (Mulyani, 2017). Di beberapa kalangan masyarakat masih beredar stereotip bahwa program keluarga berencana hanya dilakukan oleh perempuan hendaknya harus dirubah, sebab pengadaan program keluarga berencana itu sendiri pada dasarnya berbasis gender. Berlaku kepada perempuan dan laki-laki dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera seperti yang digaungkan oleh pemerintah selama ini. Keikutsertaan pria dalam ber-KB tak bisa ditunda-tunda lagi, karena akan memberikan kontribusi sangat besar terhadap pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan penanganan kesehatan reproduksi, termasuk penurunan angka kematian ibu melahirkan dan angka kematian bayi. Tentu semua itu berpengaruh cukup besar dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Mulyani, 2017). Perempuan sebagai akseptor KB salah satu pertimbangannya adalah faktor umur dan kesehatan. Perempuan memiliki batasan umur untuk memiliki anak agar kesehatan anak dan ibu terjamin. Segala proses reproduksi dari kehamilan, persalinan, menyusui dan merawat anak lebih banyak melibatkan peran istri yang tentunya hal tersebut tidak mudah. Ditambah lagi pandangan masyarakat yang lebih memposisikan ibu lebih berperan dalam pendidikan anak tentunya semakin memperpanjang proses yang terjadi sebagai dampak bertambahnya jumlah anak.
Salah satu bentuk implementasi dari Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009
adalah dengan program safe motherhood. Safe motherhood merupakan upaya pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu serta meningkatkan derajat kesehatan ibu. Gerakan ini pertama kali dicanangkan pada International Conference on Safe Motherhood, Nairobi,1987. Program ini sendiri mulai dilaksanakan di Indonesia tahun 1988 dengan melibatkan secara aktif berbagai sektor pemerintah dan non- pemerintah, masyarakat, serta dukungan dari berbagai badan internasional. Empat pilar Safe Motherhood antara lain : a. KB dapat menurunkan AKI karena dapat merencanakan waktu yang tepat untuk hamil,mengatur jarak kehamilan, menentukan jumlah anak. Sehingga tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan, “4 terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering hamil, dan terlalu banyak anak. b. Pelayanan antenatal, tujuan pelayanan antenatal adalah untuk mencegah adanya komplikasi obstetri, mendeteksi komplikasi sedini mungkin dan penanganan secara memadai dan profesional. c. Persalinan yang bersih dan aman, memiliki tujuan memastikan setiap penolong kelahiran/persalinan mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan alat untuk memberikan pertolongan yang bersih dan aman, serta memberikan pelayanan nifas pada ibu dan bayi. d. Pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa tempat pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan obstetri untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkan.
C. IBU MELAKUKAN PERSALINAN DI FASILITAS KESEHATAN
Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan mengalami peningkatan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh kualitas pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan faktor determinan lainnya. Penyebab utama kematian ibu adalah hipertensi dalam kehamilan dan perdarahan post partum. Penyebab ini dapat diminimalkan apabila kualitas antenatal care dilaksanakan dengan baik (Indonesia, 2016). Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat antara lain adalah penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita diabetes, hipertensi, malaria, dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu tua >35 tahun, terlalu dekat jaraknya 2 tahun, dan terlalu banyak anaknya >3 orang). Sebanyak 54,2 per 1000 perempuan di bawah usia 20 tahun telah melahirkan, sementara perempuan yang melahirkan pada usia di atas 40 tahun sebanyak 207 per 1000 kelahiran hidup. Masalah ini diperberat dengan fakta masih adanya umur perkawinan pertama pada usia yang amat muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari semua perempuan yang telah kawin. AKI di indonesia berdasarkan hasil Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan hasil SDKI 2007. Tingkat kematian ibu di indonesia juga bervariasi antar daerah (Widodo et al., 2017). Upaya mencegah kematian ibu dan menurunkan AKI dilakukan melalui pelayanan antenatal terpadu yang berkualitas, persalinan yang ditolong oleh petugas kesehatan terampil, pemberian bantuan jaminan biaya persalinan, dan penyuluhan kesehatan untuk perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat. Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen kematian ibu di Indonesia terjadi di fasilitas kesehatan dan merupakan kasus rujukan. Kondisi tersebut menunjukkan tingginya perilaku persalinan tidak aman, yaitu persalinan di rumah dan ditolong oleh dukun.
D. MELAKUKAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI
Data Rikesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan proposri penyakit menular yang sifnifikan dibanding dengan periode tahun sebelumnya yaitu tahun 1995-2001. Beban pemerintah akan peningkatan kesehatan menjadi ganda karena ancaman penyakit menular yang masih tinggi disamping juga terjadinya peningkatan proporsi penyakit tidak menular (Wigunantiningsih, 2010). Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah melalui upaya pengebalan (imunisasi). Tujuan utama imunisasi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak (Wigunantiningsih, 2010). Untuk menilai status imunisasi bagi bayi, biasanya dilihat dari cakupan imunisasi campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi terakhir yang diberikan pada bayi dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap. Keberhasilan program Imunisasi di Indonesia di pengaruhi oleh peran dan pengetahuan ibu. Pengetahuan ibu tentang imunisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pendidikan, informasi, social budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia. Dimana tingkat pengetahuan ibu dipengaruhi oleh kepatuhan dalam pemberian imunisasi dasar lengkap pada anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasi pada bayi. Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak dan teman- teman disekitarnya. Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan anak sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut. Anak yang telah diimunisasi bila terinfeksi oleh kuman tersebut maka tidak akan menularkan ke adik, kakak, atau teman-teman di sekitarnya. Jadi, imunisasi selain bermanfaat untuk diri sendiri juga bermanfaat untuk mencegah penyebaran ke adik, kakak dan anak-anak lain disekitarnya. Sayangnya,kebanyakan masyarakat belum sadar akan hal tersebut (Kadir et al., 2014). Imunisasi dasar adalah imunisasi dengan program pemerintah, anak-anak wajib mendapat imunisasi terhadap tujuh macam penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis) polio, campak (Measles, morbili) dan hepatitis B. Kelengkapan dalam memberikan imunisasi terhadap penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis) polio, campak (measles, morbili), dan hepatitis B dengan tidak ada kekurangannya. Jenis vaksin yang digunakan dalam mencapai kelengkapan imunisasi adalah Vaksin BCG, Vaksin DPT/HB, Vaksin Hepatitis B (Uniject-HB), Vaksin Polio, dan Vaksin Campak. Pelayanan imunisasi dilaksanakan di unit-unit pelayanan kesehatan seperti puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, posyandu, RS, rumah bersalin dan dokter praktek swasta/bidan praktek swasta. Manfaat imunisasi dasar lengkap Usia anak-anak merupakan masa rawan terserang penyakit karena daya tahan tubuhnya belum kuat. Dengan pemberian imunisasi dasar secara lengkap terjadinya penyakit terhadap bayi bisa dihindari, itulah salah satu manfaat dari imunisasi. Selain itu ada beberapa manfaat imunisasi yang lain yaitu : a. Dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. b. Upaya pencegahan yang sangat efektif terhadap timbulnya penyakit. c. Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada diri seseorang atau sekelompok masyarakat. d. Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau kematian. e. Untuk memberikan kekebalan pada bayi mencegah penyakit dan kematian bayi. f. Untuk meningkatkan derajat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara.
E. BERIKAN ASI EKSKLUSIF UNTUK BAYI
Dalam menunjang kesehatan serta menekan angka kematian anak, United Nation Childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui air susu ibu (ASI) selama paling sedikit enam bulan. Makanan padat seharusnya diberikan setelah bayi berumur enam bulan dan pemberian ASI dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun. Data WHO tahun 2016, menunjukkan cakupan ASI eksklusif pada bayi usia 0 - 6 bulan di seluruh dunia sebesar 39 %. Untuk menunjang keberhasilan dalam menyusui adapun aturan dan UU yang mengatur tentang ASI Eksklusif yaitu Undang – Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis; dan ayat 2 Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah daerah dan masyarakat harus mendukung ibu secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Peraturan Pemerinatah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif mengatur tentang peran pemerintah dalam meningkatkan pemberian ASI Eksklusif yang didalamnya mencakup peran tenaga kesehatan dan layanan kesehatan. Dalam PP No. 33 Tahun 2012 juga menerangkan tetantang pemberian informasi atau promosi kesehatan kepada masyarakat. Praktek dalam IMD menyebutkan bahwa isapan pada puting susu ibu akan merangsang dikeluarkannya hormon prolaktin dan hormon oksitosin. Hormon prolaktin berfungsi memproduksi ASI, sedangkan hormon oksitosin merangsang untuk mengeluarkan ASI. Usia ibu bukan menjadi alasan yang tepat untuk tidak memberikan ASI. Beberapa masalah yang menyebabkan ibu tidak dapat menyusui antara lain : tidak mempraktikan IMD, ibu atau bayi sakit, tidak percaya diri bahwa ibu mampu memberikan ASI. Rendahnya pengetahuan ibu sangat beralasan yaitu karena kurangnya informasi yang diterima ibu dari petugas kesehatan serta kurangnya kesadaran ibu dalam mencari informasi tentang ASI Eksklusif sehingga menyebabkan ketidakberhasilan ibu dalam memberikan ASI secara Eksklusif (Maramis et al., 2017). Dukungan keluarga merupakan faktor pendukung yang pada prinsipnya adalah suatu kegiatan baik bersifat emosional maupun psikologis yang diberikan kepada ibu dalam memberikan ASI. Suami yang mengerti akan pentingnya ASI dalam menyusui adalah hal paling baik bagi bayi dan merupakan dorongan yang baik bagi ibu dalam mendukung keberhasilan menyusui (Maramis et al., 2017). Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Friedman (2010) mengemukakan bahwa dukungan keluarga dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu: a) dukungan informasional, b) dukungan penghargaan, c) dukungan instrumental, dan d) dukungan emosional (Oktalina et al., 2015).
F. BALITA MENDAPATKAN PEMANTAUAN PERTUMBUHAN
Pengetahuan ibu merupakan faktor penting dalam kesehatan balita, hal ini karena ibu berpengaruh terhadap proses pendidikan anak sejak dini. Orang tua, terutama ibu perlu membiasakan anak balitanya untuk menjaga kebersihan mulut dengan menggosok gigi secara teratur. karena umumnya anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama ibu. Umumnya, anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama ibu sehingga ibu dianggap dapat melakukan pendekatan yang tepat untuk membiasakan anak memelihara kesehatan gigi dan mulut (Solikin, 2013). Kesehatan gigi susu seringkali diabaikan oleh orangtua karena dianggap hanya bersifat sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap. Pada kenyataannya, gigi susu berperan penting dalam kemampuan berbicara sekaligus proses pengunyahan yang berdampak pada nutrisi dan tumbuh kembang anak. Selain itu, gigi susu juga berfungsi sebagai paduan bagi pertumbuhan gigi tetap. Pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung terjadi sejak awal usia janin,dilanjutkan setelah bayi lahir, anak bertambah besar, dan memasuki periode remaja dan dewasa. Seiring dengan pertmubuhan tubuh secaraumum, terjadi pergantian periode gigi sulung menjadi gigi permanen. Proses tumbuh kembang dipengaruhi oleh berbagai eksternal dan internal. Secara biologis,aspek internal mencakup faktor genetik, penyakit infeksi dan hormonal, aspek eksternal berupagizi, dan sosiodemografi. Penyimpangan dan gangguan pada berbagai aspek tersebut akanmengakibatkan kelainan/anomali tumbuh kembang tubuh baik secara umum dan gigi secara khusus. Karies gigi pada anak merupakan masalah serius dalam kesehatan gigi dan mulut di indonesia dengan prevalensi hingga 90,05% . Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan sebanyak 25,9% penduduk Indonesia mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, dan 10,4 % diantaranya balita. Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) adalah tempat dan/atau ruang terbuka yang memadukan kegiatan dan aktivitas warga dengan mengimplementasikan 10 (sepuluh) program Pokok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga untuk mengintegrasikan dengan program Kota Layak Anak. Tujuan RPTRA dibangun antara lain untuk menyediakan ruang terbuka untuk memenuhi hak anak agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, menyediakan prasarana dan sarana kemitraan antara Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam memenuhi hak anak dan menyediakan prasarana dan sarana kota sebagai Kota Layak Anak (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Provinsi DKI Jakarta, 2015) RPTRA Harapan Mulia berlokasi di Kemayoran, Jakarta Pusat dan diresmikan pada tahun 2016. RPTRA ini memiliki luas 3446 meter persegi dan dilengkapi dengan ruang sera guna, perpustakaan, lapangan basket, futsal, kolam gizi, tanaman obat keluarga, area bermain anak, ruang laktasi serta toilet untuk difabel. RPTRA in memiliki beberapa fungsi, salah satu diantaranya ialah sebagai prasarana dan sarana kegiatan social termasuk didalamnya untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Secara fisik, kondisi RPTRA Harapan Mulia saat ini sudah sangat baik karena dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang masih terpelihara dengan baik.Nilai keunggulan dari RPTRA Harapan Mulia ialah banyaknya kegiatan yang dilakukan di RPTRA tersebut dalam dalam penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan warga. Salah satu kegiatan RPTRA ialah diadakannya pelatihan dan penyuluhan dalam rangka pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Meskipun sudah beberapa kali diadakan penyuluhan dan pelatihan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, namun belum pernah ada topik mengenai kesehatan gigi dan mulut balita. Karies gigi merupakan penyakit yang banyak menyerang anak-anak maupun dewasa.Data dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia menyebutkan bahwa sedikitnya 89% penderita karies adalah anakanak.RISKESDAS menyebutkan prevalensi nasional masalah gigi dan mulut dijumpai sebesar 25.9%.Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi masalah gigi dan mulut diatas angka nasional yaitu 29.1%(Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan, 2013). Kesehatan gigi susu seringkali diabaikan oleh orangtua karena dianggap hanya bersifat sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap. Pada kenyataannya, gigi susu berperan penting dalam kemampuan berbiara sekaligus proses pengunyahan yang berdampak pada nutrisi dan tumbuh kembang anak. Selain itu, gigi susu juga berfungsi sebagai paduan bagi pertumbuhan gigi tetap. Pengetahuan seorang ibu merupakan hal penting dalam menjaga kesehatan balitanya karena ibu berpengaruh terhadap proses pendidikan anak sejak dini. Orang tua, terutama ibu perlu membiasakan anak balitanya untuk menjaga kebersihan mulut dengan menggosok gigi secara teratur, karena umumnya anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama ibu. Ibu dianggap lebih mengerti keadaan anak-anaknya, sehingga dapat melakukan pendekatan yang tepat untuk membiasakan anak mememihara kesehatan gigi dan mulut. Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia dan menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya. Masa ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, sehingga sering disebut golden age atau masa keemasan (Ayuningtiyas, 2013). Pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung terjadi sejak awal usia janin,dilanjutkan setelah bayi lahir, anak bertambah besar, dan memasuki periode remaja dan dewasa. Seiring dengan pertmubuhan tubuh secaraumum, terjadi pergantian periode gigi sulung menjadi gigi permanen. Pada saat bayi berusia 6-9 bulan, dua gigi seri rahang bawah akan erupsi/tumbuh yang diikuti dengan gigi seri rahang atas. Pada usia 7-10 bulan tumbuh dua gigi seri depan kedua rahang atas maupun rahang bawah. Kadang gigi seri kedua di rahang bawah tumbuh lebih dulu sebelum rahang atas. Kemudian satu gigi geraham depan tumbuh pada usia 16-20 bulan. Gigi taring juga mulai muncul pada usia yang sama. Gigi geraham kedua tumbuh pada usia 23-30 bulan. Rata-rata anak akan mempunyai gigi susu lengkap (20) pada usia 3 tahun (Anonim, 2017) Membersihkan gigi anak dapat dilakukan dengan penyikatan gigi yang bertujuan untuk menghilangkan plak. Anak diatas 2 tahun sudah dapat mulai diajarkan cara menyikat gigi dengan memberikan contoh secara berulang- ulang agar anak teratur mengikutinya. Metode yang bisa diajarkan pada usia ini adalah metode Schrobm karenasangat mudah dan sederhana untuk diajarkan kepada anak. Caranya ialah menyikat gigi bagian atas dan bawah dengan arah kesamping kanan dan kiri, kemudian seluruh gigi bagian samping dan seluruh gigi bagian belakang disikat, lalu anak berkumur dengan air bersih beberapa kali.7Waktu menyikat gigi sebaiknya dilakukan teratur minimal 2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan dan malam sebelum tidur. Untuk menyikat gigi yang benar sebaiknya dilakukan selama lebih dari 2 menit, walau demikian, yang terpenting bukan lamanya waktu dalam menyikat gigi, tetapi pembersihan gigi itu sendiri dari plak (Santrock, 2007). Pemilihan sikat gigi pada anak balita sebaiknya dipilih sikat gigi yang ukurannya kecil dengan tangkai yang mudah digenggam.Pilihlah bulu sikat yang halus dengan bagian kepala sikat menyempit agar mudah menjangkau bagian dalam rongga mulut. Anak usia 1-5 tahun bisa memakai sikat dengan 3 deret bulu. American Dental Association menganjurkan ukuran maksimal kepala sikat gigi balita adalah 18x7 mm. Apabila bulu sikat gigi sudah tidak beraturan atau mekar maka harus segera diganti karena dapat melukai gusi (Budiman, 1996). Pola makan dan kebiasaan membersihkan gigi menentukan status kesehatan gigi dan mulutnya. Anak yang terbiasa mengkonsumsi makanan manis diluar jam makan akan meningkatkan resiko karies. Makanan dan minuman manis yang tinggi gula seperti biskuit, coklat, permen, kue, susu dan cemilancemilan dapat berbahaya bagi kesehatan gigi. Frekuensi pemberian makanan manis yang sering atau diluar jam makan ini dapat meningkatkan resiko terjadinya karies pada anak. Keadaan ini diperburuk dengan anak yang malas untuk menyikat gigi(Varseo, 1999). Sebelum dilakukan pelatihan keterampilan cara menyikat gigi peserta diberi pengetahuan tentang cara menyikat gigi yang benar, pemilihan pasta gigi dan sikat gigi. Peningkatan pengetahuan tentang menyikat gigi ini penting untuk meningkatkan keterampilan kader dalam menyikat gigi yang benar. Menyikat gigi merupakan cara pemeliharan kesehatan gigi dan mulut yang paling efektif. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian yaitu teknik menyikat gigi, waktu menyikat gigi, serta pemilihan sikat dan pasta gigi yang benar.Pelatihan dibuat dengan sederhana yaitu menggunakan manekin gigi dan sikat gigi. Para peserta diminta memperagakan cara menyikat gigi dengan teknik yang benar. Target pada pelatihan ini adalah 70% peserta lulus uji keterampilan. Hasilnya seluruh peserta (100%) peserta lulus uji keterampilan. Salah satu keterbatasan pada sesi keterampilan ini adalah waktu yang terbatas sehingga pelatihan keterampilan dilakukan sedikit terburu-buru. Untuk itu masih diperlukan pelatihan keterampilan kembali oleh kader kesehatan di RPTRA Harapan Mulia dan pembuatan video edukasi agar para ibu tetap bisa melakukan keterampilan cara menyikat gigi dengan benar. Para ibu sangat antusias saat pemberian materi, hal ini diketahui dari banyaknya pertanyaan yang diajukan mengenai pemeliharan kesehatan gigi dan mulut balita. Evaluasi peningkatan pengetahuan tentang isi buku panduan dilakukan dengan membandingkan nilai pre dan post test. Hasil pretest rata-rata nilai 45. Hasil postest rata-rata 75. Targetnya adalah peningkatan pengetahuan pada 70% peserta. Hasil evaluasi semua peserta mengalami peningkatan nilai postest (100%). Diharapkan dengan peningkatan pengetahuan ini dapat menjadi bekal yang baik untuk meningkatkan keterampilan kader poskestren dalam penanganan kedaruratan gigi. Teori Lawrence W. Green mengatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor pemicu dalam perubahan perilaku. Pada dasarnya perilaku seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya akan sesuatu hal. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.Apabila suatu tindakan didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting), sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka perilaku tidak akan berlangsung lama (Notoadmodjo, 2003)
G. PENDERITA TB PARU MENDAPAT PENGOBATAN SESUAI STANDART
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies mycobacterium, antara lain: mycobacterium tuberculosis, mycobacterium africanum, mycobacterium bovis, mycobacterium leprae, dsb yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman tuberkulosis menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar dan di tularkan melalui udara ketika orang yang terinfeksi tuberkulosis paru batuk, bersin, berbicara atau meludah. Millennium Development Goals (MDG’s) menjadikan penyakit tuberkulosis paru sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan, selain Malaria dan HIV/AIDS (Kemenkes, 2014). Alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak mau minum obatnya secara teratur dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pada pasien cenderung menghentikan pengobatan secara sepihak. Perilaku penderita untuk menjalani pengobatan secara teratur dipengaruhi beberapa faktor, perilaku dipengaruhi oleh tiga factor pokok, yakni faktor predisposisi (predisposing factors), faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor yang memperkuat atau mendorong atau penguat (reinforcing factors) (Notoatmodjo, 2014). Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk sembuh dari penyakitnya. Secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor yaitu : 1) Faktor dari dalam individu, 2) Faktor dari luar individu, dan 3) Faktor religiusitas. Faktor dari dalam individu dapat berasal dari keinginan seseorang untuk sembuh karena adanya dorongan untuk melepaskan diri dari rasa sakit yang dideritanya (Notoatmodjo, 2010). Dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien tuberkulosis dalam fase intensif. Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus berobat saat pengobatan karena sudah memakan waktu yang lama merupakan salah satu faktor ketidakpatuhan itu sendiri. Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial. Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan (suami/istri), orang tua, anak dan sanak keluarga. Secara fungsional dukungan sosial mencakup dukungan emosional dengan mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi nasihat atau informasi dan pemberi bantuan material. Peneliti ingin meneliti apakah keluarga benar-benar mendukung proses pengobatan penderita baik yang sedang dalam fase intensif maupun fase lanjutan sehingga tidak hanya keberadaan keluarga yang dilihat namun dukungan serta kepedulian keluarga akan menjadi salah satu pertimbangan saat penderita akan memulai rencana pengobatan. Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat. Seorang petugas kesehatan harus memberikan dorongan motivasi kepada penderita tuberkulosis paru untuk teratur berobat (Kemenkes, 2014). Penelitian terkait yaitu penelitian Maulidia (2014) menunjukan bahwa dukungan keluarga sangat berpengaruh dalam tingkat kepatuhan berobat penderita yang terlihat dari data mencapai 60,9% dari 69 responden. Penelitian lainnya yaitu penelitian Sormin (2014) yang menyatakan bahwa petugas kesehatan mempunyai peran terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di Kelurahan Gambir. Dukungan keluarga pada penderita tuberkulosis paru sangat di butuhkan karena tugas keluarga adalah memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur dan mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. Dengan dukungan keluarga yang baik, penderita tuberkulosis paru lebih termotivasi untuk patuh berobat secara teratur. Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu pertama adalah dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit. Pemberian dukungan instrumental meliputi penyediaan pertolongan finansial maupun penyedian barang atau jasa lainnya (Prasetyawati, 2011). Teori tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dbuktikan dengan salah satu pertanyaan dalam kueisoner tentang apakah selama pengobatan keluarga pernah memberikan bantuan finansial. Hasil penelitian membuktikan sebagian besar responden (82,9%) menyatakan bahwa keluarga penderita tuberkulosis pernah memberikan bantuan finansial berupa uang kepada penderita tuberkulosis untuk meringankan beban penderita selama masa pengobatan. Selama masa pengobatan, sebagian besar penderita tetap menjalankan aktivitas seperti melakukan pekerjaan seharihari, namun sebagian besar penderita tidak dapat bekerja dengan maksimal karena efek samping dari OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang dikonsumsi penderita selama masa pengobatan. Efek samping yang dirasakan penderita seperti badan terasa lemas, sakit kepala, cepat merasa lelah, kurang nafsu makan, dsb. Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi keadaan finansial penderita, bahkan ada beberapa penderita yang berjenis kelamin perempuan, sudah tidak bekerja lagi. Sebagian besar penderita mengatakan bahwa bantuan finansial dari keluarga dipakai untuk meringankan biaya hidup sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita tuberkulosis paru, (17,1%) penderita yang menyatakan bahwa keluarga tidak pernah memberikan dukungan finansial kepada penderita penyebabnya adalah karena keterbatasan finansial dari keluarga terdekat penderita, sehingga tidak memungkinkan memberikan bantuan. Dukungan keluarga yang kedua adalah dukungan informasional yaitu keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (Prasetyawati, 2011). Aspekaspek dalam dukungan ini adalah memberikan nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi. Menurut Friedman (dalam Sudiharto, 2012) masalah-masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan, anggota keluarga lainnya akan berpengaruh.
H. PENDERITA HIPERTENSI MELAKUKAN PENGOBATAN SECARA TERATUR
Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang (Kemenkes, 2010). Satu dari tiga orang dewasa di seluruh dunia teridentifikasi mengalami peningkatan tekanan darah suatu kondisi yang menyebabkan sekitar setengah dari semua kematian akibat stroke dan penyakit jantung (WHO, Health Statistic Report, 2012). Secara global, prevalensi keseluruhan naiknya tekanan darah pada orang dewasa berusia 25 tahun ke atas adalah sekitar 40% pada tahun 2008. Pada tahun 2011, hipertensi telah menyumbangkan kematian sebesar 38% dari seluruh kematian yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu, di Indonesia prevalensi hipertensi adalah sebesar 30,9% pada tahun 2008 (WHO, 2013). Penanganan pada pasien hipertensi diantaranya terapi pengobatan dan pengaturan makanan serta gaya hidup (Yayasan Jantung Indonesia, 2006). Keefektifan penanganan berkelanjutan atau terapi ditentukan oleh kepatuhan. Berbagai studi mengungkapkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi hanya berkisar antara 50-60% (Almas A. dkk, 2006). Rendahnya tingkat kepatuhan pasien pada terapi penyakit hipertensi ini dapat memberikan efek negatif yang sangat besar (Kemenkes, 2010). Dalam melakukan terapi, keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam program pengobatan tekanan darah. Bimbingan penyuluh dan dorongan secara terus- menerus biasanya diperlukan agar penderita hipertensi tersebut mampu melaksanakan rencana yang dapat diterima untuk bertahan hidup dengan hipertensi dan mematuhi aturan terapinya (Smetzer, 2001). Pada penelitian ini dibahas mengenai hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan pada pasien hipertensi, dimana kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan minum obat, diet, berolahraga dan mengelola stress. Sehingga variabel pada penelitian ini akan dibahas secara mendetail. Menurut Osamor (2015), penyakit kronis seperti hipertensi membutuhkan pengobatan seumur hidup. Hal ini merupakan tantangan bagi pasien dan keluarga agar dapat mempertahankan motivasi untuk mematuhi pengobatan selama bertahun-tahun. Salah satu cara untuk meningkatkan motivasi adalah melalui dukungan keluarga. Menurut Wilson dan Ampey-Thornhill (2001), dukungan keluarga adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh anggota keluarga. Ketika keluarga berbagi masalahnya dengan sitem dukungan sosial maka saran dan bimbinggan akan diberikan kepada klien. Menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang, mengarahkan dan menemukan sumber perawatan serta memberikan bantuan finansial merupakan bentuk umum dari dukungan keluarga. Menurut Osamor (2015), dukungan sosial akan meningkatkan kesadaran untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang merupakan salah satu komponen penting dari kepatuhan. Penatalaksanaan penyakit kronik seperti hipertensi membutuhkan dukungan keluarga yang adekuat. Memperluas dukungan keluarga tidak hanya terbatas pada pasangan atau anggota keluarga yang lainnya tetapi juga melibatkan keluarga nuklir (jaringan sosial keluarga) sangat dibutuhkan (Wilson & Ampey-Thornhill, 2001). Menurut Osamor (2015), perawat dapat membantu keluarga dalam mengeksplorasi penggunaan jaringan keluarga. Dukungan keluarga memungkinkan keluarga berfungsi dengan penuh kompetensi sehingga dapat meningkatkan adaptasi dan kesehatan keluarga. Menurut WHO (2013) dukungan keluarga merupakan salah satu intervensi untuk meningkatkan kepatuhan pada pasien hipertensi. Sayangnya hasil penelitian pada tabel 2 menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang memiliki dukungan keluarga tinggi (12%), sementara lebih dari sebagian (54%) menunjukkan kepatuhan sedang, malah masih ada yang memiliki kepatuhan rendah (34%). Menurut Wilson dan Ampey-Thornhill (2001), dukungan sosial yang rendah akan memberikan pemecahan masalah yang sangat tidak memuaskan dalam keluarga.
I. PENGGALAKAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT)
Pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup bersih dan sehat bagi seluruh masyarakat. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat dicapai, salah satunya melalui program PHBS. PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktekan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mampu mewujudkan kesehatan masyarakat. Tujuan umum PHBS adalah meningkatnya rumah tangga sehat di desa di seluruh Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah: a. meningkatnya pengetahuan, kemauan, dan kemampuan anggota rumah tangga untuk melaksanakan PHBS; dan b. berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat. Setiap rumah tangga dianjurkan untuk melaksanakan PHBS di rumah tangga yaitu upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Kemenkes, 2011). PHBS merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan. Tidak hanya memfokuskan pada sumber makanan sehat namun juga terkait dengan kebiasaan sehat dalam menjalani kehidupan serta tidak kalah pentingnya adalah kepemilikan pola pikir positif. Manusia yang memandang kehidupan dengan lebih optimis diyakini sangat memengaruhi kondisi kejiwaan yang pada akhirnya membebaskan diri dari beban pikiran yang mungkin dialaminya sehingga mampu menghindarkan penyakit (Proverawati, 2012). Terdapat 10 indikator PHBS yaitu: 1) persalinan oleh tenaga kesehatan, 2) memberikan bayi ASI Eksklusif, 3) menimbang berat badan teratur, 4) ketersediaan air bersih, 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, 6) ketersediaan jamban sehat, 7) rumah bebas jentik, 8) tidak merokok di dalam rumah, 9) melakukan aktivitas fisik/ olah raga setiap hari, dan 10) makan sayur dan buah setiap hari (Kemenkes, 2012). Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari perorangan dan keluarga atau rumah tangga terutama dari ibu. Banyak ibu yang beranggapan bahwa PHBS merupakan hal yang tidak perlu dilakukan dalam kehidupan keluarga, karena mereka belum banyak yang menyadari bahwa jika tidak melaksanakan PHBS akan timbul berbagai masalah kesehatan pada anggota keluarga dalam jangka waktu pendek atau panjang. Oleh karena itu, ibu mempunyai peran utama yang dapat membangun kesehatan dalam keluarga. (Proverawati, 2012). Ibu yang mempunyai pengetahuan dalam kesehatan dapat menerapkan PHBS tatanan rumah tangga serta aktif dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Menurut Romauli & Vindari (2009) peran ibu adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan kepada ibu. Peran menerangkan pada apa yang harus dilakukan seorang ibu dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain. Secara sosial, ibu selalu memiliki peran baik dalam keluarga, di masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Adapun macammacam peran ibu dalam keluarga yaitu: Sebagai istri dan pendamping suami, Sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anak, Sebagai patner seks, Sebagai pengatur/ pengelola rumah tangga.
J. MENGGUNAKAN PELAYANAN KESEHATAN
Tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat menjadi hal yang harus mendapat perhatian dari pemerintah sebagai salah satu upaya dalam pembangunan di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat bertujuan membentuk masyarakat yang sehat. Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes, 2009). Kedudukan puskesmas sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan. Karena puskesmas merupakan lembaga kesehatan yang pertama berhadapan langsung dengan pasien. Puskesmas memiliki tanggung jawab terhadap wilayah kerja yaitu suatu kecamatan. Puskesmas memiliki visi yaitu tercapainya kecamatan yang sehat. Kecamatan sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu hubungan yang sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan derajat kesehatan penduduk. Untuk mencapai visi tersebut puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan atupun masyarakat Depkes RI (2009). Kepuasan pasien merupakan indikator utama keberhasilan pemberian pelayanan kesehatan. Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkan dengan apa yang dirasakan. Pasien akan merasa puas apabila kinerja layanan kesehatan yang diperoleh sama atau melebihi harapan (Pohan, 2006). Ada 5 (lima) dimensi yang mewakili persepsi konsumen terhadap suatu kualitas pelayanan jasa, yaitu: keandalan, ketanggapan, jaminan, empati dan berwujud Keandalan (reliability) adalah dimensi yang mengukur keandalan suatu pelayanan jasa kepada konsumen. Keandalan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Ketanggapan (responsiveness) adalah kemampuan untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan dengan cepat kepada konsumen. Dimensi ketanggapan merupakan dimensi yang bersifat paling dinamis. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perkembangan teknologi. Salah satu contoh aspek ketanggapan dalam pelayanan adalah kecepatan. Jaminan (assurance) adalah dimensi kualitas pelayanan yang berhubungan dengan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan dan keyakinan kepada konsumen. Dimensi jaminan meliputi kemampuan tenaga kerja atas pengetahuan terhadap produk meliputi kemampuan karyawan dan kesopanan dalam memberi pelayanan, ketrampilan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan kemampuan di dalam menanamkan kepercayaan konsumen terhadap jasa yang ditawarkan. Empati (emphaty) adalah kesediaan untuk peduli dan memberikan perhatian yang tulus dan bersifat pribadi kepada konsumen (pengguna jasa). Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk menciptakan pelayanan yang ―surprise‖ yaitu sesuatu yang tidak diharapkanpengguna jasa tetapi ternyata diberikan oleh penyedia jasa. Berwujud (tangible) didefinisikan sebagai penampilan fasilitas peralatan dan petugas yang memberikan pelayanan jasa karena suatu service jasa tidak dapat dilihat, dicium, diraba atau didengar maka aspek berwujud menjadi sangat penting sebagai ukuran terhadap pelayanan jasa. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan pemberian pelayanan kesehatan khususnya di puskesmas perlu melakukan pengukuran tingkat kepuasan pasien (pelanggan).