Anda di halaman 1dari 17

A.

PENGANTAR KESEHATAN KELUARGA


Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama,
yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan kesehatan, dan (3)
pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma sehat dilakukan
dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya
promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan pelayanan
kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan,
optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan
continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan
JKN dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali
mutu dan biaya. Kesemuanya itu ditujukan kepada tercapainya keluarga-keluarga sehat
(Indonesia, 2016).
Kesehatan keluarga merupakan suatu pendekatan (approach system) dalam
sistem pelayanan kesehatan yang berkembang sejalan dengan perkembangan Ilmu
Kesehatan Masyarakat (IKM) itu sendiri. Sejalan dengan pemahaman istilah Kesehatan
Keluarga, masih terdapat istilah lain yang analog, , yaitu Kedokteran Keluarga. Ada
perbedaan dan persamaan yang mendasari kedua istilah tersebut.
Di samping adanya berbagai metode operasional dalam ilmu kesehatan
Masyarakat, akhirnya tidak terlepas timbul terminologi Kesehatan Keluarga sebagai
suatu pendekatan implementatif yang sampai saat ini belum banyak diplubikasikan.
Mengingat efek gandanya (multiplier effect) dapat menjadi titik masuk bagi
berbagai usaha kesehatan pokok (basic health services) dalam implementasi kegiatan
kesehatan masyarakat, maka tujuan kesehatan keluarga itu perlu didayagunakan
kembali sebagai salah satu variasi terhadap perbandingan pemahaman dari berbagai
pendekatan upaya-upaya kesehatan masyarakat yang sudah ada.
Kesehatan keluarga dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan implementatif bagi
usaha pelayanan kesehatan pokok masyarakat secara terpadu di lapangan melalui unit-
unit keluarga sebagai titik masuk (entry point) yang harapannya akan lebih efektif dan
efisien (Ryadi, 2016).
1. Struktur Keluarga
Struktur keluarga bermanfaat sebagai sumber informasi terhadap profil “kondisi
kebutuhan” kesehatan di dalam sebuah keluarga. Timbul pertanyaan, sejauh mana
pengetahuan struktur keluarga penting dalam implementasi kegiatan Kesehatan
Keluarga? Metode pelayanan manakah yang lebih selektif dan efisien bagi masing-
masing anggota keluarga bila diimplementasikan melalui titik masuk konsep Ilmu
Kesehatan Keluarga? Dikaitkan dengan data tentang struktur (komposisi) maupun
ukuran jumlah keluarga (population size) secara demografis, bisakah secara efektif
dicapai melalui konsep Kesehatan Keluarga? Bagi struktur keluarga majemuk
(extended family) yang heterogen masing-masing umur anggotanya melalui kesehatan
poko mana yang lebih cocok? (Ryadi, 2016).
Pada ectended family,tentu saja strukturnya sangat beragan dengan heterogenitas
latar belakang soalnya. Secara demografis, struktur keluarga dapat dibedakan dalam 3
kelompok besar, yaitu (Ryadi, 2016):
a. Kelompok “dependent ratio I”, dengan rata-rata umur 1-15 tahun, yang dari segi
palayaan kesehatanmasih perllu dibagi lagi dalam 3 subgrup:
 Subkelompok bayi dan balita, membutuhkan pelayanan untuk tumbuh kembang
terbaiknya melalui peningkatanprogram (KIA).
 Subkelompok anak usia sekolah (Schooll aged group), membutuhkan penanganan
melalui programUsaha Kesehatan solo
b. Kelompok dewasa dan usia produktif dapat lebih bebas memilih pendekatan sesuai
dengan waktu keinginannya.
c. Kelompok “dependent ratio II”, sesuai dengan kemampuan kegiatan Puskesmas dapat
ditangani oleh unit kesehatn lansia dan didukung oleh pengembangan kelompok Upaya
Kesehata Bersumber daya masyarakat (UKBM) yang dapat dibentuk dalam konsep
Desa Siaga.

2. Fungsi Pokok Kesehatan Keluarga


Dari definisi Kesehatan Keluarga dapat ditarik kesimpulan, bahwa sesungguhnya
ia memiliki tiga fungsi pokok, yakni (Ryadi, 2016):
a. Kesehatan Keluarga merupakan suatu pendekatan implementatif dari sistem pelayanan
kesehatan masyarakat dalam tugas melayani dan membina para anggota di unit-unit
keluarga.
b. Kesehatan Keluarga dapat dianggap sevagai suatu program utama yang sederajat
dengan berbagai program kesehatan yang ada dalam paket pelayanan kesehatan dasar
atau primer, seperti serumpun dengan:
 Kesehatan Ibu dan anak (KIA)
 Kesehatan lingkungan
 Kesehatan usia sekolah (usaha kesehatan sekolah/ UKS)
 Kesehatan jiwa
 Dan sebagainya
c. Kesehatan Keluarga dapat dianggap sebagai suatu sarana untuk menampung dan
memfungsikan berbagai usaha kesehatan pokok (basic health service) secara lebih
terpadu. Kesehatan Keluarga dipergunakan sebagai entry-point dalam upaya promosi
kesehatan secara implementatif berbagai pelayanan kesehtan pokok melalui unit-unit
keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat.
Konsep Ilmu Kesehatan Keluarga harus dioerkenalkan kembali (dipromosikan),
karena terdapat berbagai alasan strategis untuk menampilkan Kesehatan Keluarga
dalam pelayanan kesehatan poko melalui Puskesmas, antara lain (Ryadi, 2016):
a. Indonesia adalah negara yang berpenduduk majemuk, sehingga kebutuhan kesehatan
bagi kelompok “dependent ratio I” maupun “dependent ratio II” masih bergantung
pada pelayanan kesehatan dari pemerintah.
b. Filosofi Pancasila dan UUD 1945 mengingatkan kita aka idealisme tujuan bagi
tercapainya masyarakat adil, makmur dan sejahtera.
c. Perwujudan Pancasila dan UUD 1945 merupakan perintah moral untuk melaksanakan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk masyarakat “dependent ratio I”
maupun “dependent ratio II”.
d. Salah satu komponen kesejahteraan merupakan persyaratan utama untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan kesehatan dasar bagi setiap penduduk.
e. Demikian pula secara fundamental, hakiki kesehatan justru merupakan salah satu hak
dasar manusia secara universal.
f. Karenanya, perwujudan Kesehatan Keluarga bagi bangsa Indonesia yang berada dalam
lingkup kesejahteraan tersebut, justru merupakan realisasi terhadap pesan moral
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5 Pancasila).
3. Kesehatan Keluarga dalam Paket Pelayanan Kesehatan Dasar
Pesan ini berawal dari rekomendasi konferensi Internasional tentang pelayanan
kesehatan dasar/ primer yang diselenggarakan di Alma Ata, Ibu Kota Kazakstan tahun
1978, dimana delegasi Indonesia juga ikut menandatangani deklarasi Alma Ata ini.
Secara moral kita berkewajiban ikut merealisasikan pesan deklarasi tersebut (Ryadi,
2016).
Isi deklarasi tersebut antara lain:
a. Sehat merupakan hak dasar setiap manusia.
b. Untuk memperbaiki kesedatan masyarakat dengan efektif, perlu melibatkan
masyarakat itu sendiri melalui Organized Community Effort sebagaimana dinyatakan
dengan jelas dalam salah satu kaidah pengertian definisi Public Health WHO.
c. Kesejahteraan Keluarga dapat dicapai melalui peningkatan berbagai aspek sosial dan
ekonomi melalui peran serta masyarakat dirinya (salah satu titik masuk adalah melalui
Kesehatan Keluarga).
d. Masyarakat memiliki hak, namun sebaliknya juga dibebani dengan kewajiban dan
tanggung jawab untuk ikut diberdayakan, baik secara perorangan maupun kolektif
(melalui jejaring Usaha Kesehatan Bersumber daya Masyarakat).
e. Kesehatan Keluarga dalam tingkat pertama harus diarahkan agar dapat memiliki
kemampuan untuk memahami bagaimana memanfaatkan pelayanan kesehatan
dasarnya (dalam hal ini peran ibu dalam mengembangkan dirinya untuk maternal self
care).
f. Kesehatan Keluarga merupakan salah satu pijakan untuk ikut meningkatkan status
kesehatan masyarakat seterusnya (melalui maternal self care, peran Ibu sebagai kunci
utama/ kunci masuk).
g. Karenanya, pelayanan kesehatan dasar menggunakan kunci masuk unit-unit keluarga
sebagai strategi yang sederhana, muda dan dapat dikerjakan oleh setiap unit keluarga.

B. KELUARGA MENGIKUTI PROGRAM KELUARGA BERENCANA


Program Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu kebijakan pemerintah
Indonesia yang dipandang paling efektif untuk mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk. Banyak masyarakat semakin menyadari bahwa kebutuhan hidup saat ini
semakin mahal, sehingga banyaknya anak akan menambah beban ekonomi tersendiri
dalam kehidupan mereka. Sementara kondisi perekonomian saat ini cukup menyulitkan
ditambah kebutuhan pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya sangat sulit
untuk tercukupi (Mulyani, 2017).
Pasal 1 ayat (8) Undang-undang Nomor 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga mendefinisikan Keluarga Berencana
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai dengan hak reproduksi
untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (Mulyani, 2017).
Di beberapa kalangan masyarakat masih beredar stereotip bahwa program
keluarga berencana hanya dilakukan oleh perempuan hendaknya harus dirubah, sebab
pengadaan program keluarga berencana itu sendiri pada dasarnya berbasis gender.
Berlaku kepada perempuan dan laki-laki dengan tujuan untuk mewujudkan keluarga
kecil bahagia dan sejahtera seperti yang digaungkan oleh pemerintah selama ini.
Keikutsertaan pria dalam ber-KB tak bisa ditunda-tunda lagi, karena akan memberikan
kontribusi sangat besar terhadap pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan
penanganan kesehatan reproduksi, termasuk penurunan angka kematian ibu melahirkan
dan angka kematian bayi. Tentu semua itu berpengaruh cukup besar dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Mulyani, 2017).
Perempuan sebagai akseptor KB salah satu pertimbangannya adalah faktor
umur dan kesehatan. Perempuan memiliki batasan umur untuk memiliki anak agar
kesehatan anak dan ibu terjamin. Segala proses reproduksi dari kehamilan, persalinan,
menyusui dan merawat anak lebih banyak melibatkan peran istri yang tentunya hal
tersebut tidak mudah. Ditambah lagi pandangan masyarakat yang lebih memposisikan
ibu lebih berperan dalam pendidikan anak tentunya semakin memperpanjang proses
yang terjadi sebagai dampak bertambahnya jumlah anak.

Salah satu bentuk implementasi dari Undang-Undang Nomor 52 tahun 2009


adalah dengan program safe motherhood. Safe motherhood merupakan upaya
pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu serta meningkatkan derajat
kesehatan ibu. Gerakan ini pertama kali dicanangkan pada International Conference on
Safe Motherhood, Nairobi,1987. Program ini sendiri mulai dilaksanakan di Indonesia
tahun 1988 dengan melibatkan secara aktif berbagai sektor pemerintah dan non-
pemerintah, masyarakat, serta dukungan dari berbagai badan internasional. Empat pilar
Safe Motherhood antara lain :
a. KB dapat menurunkan AKI karena dapat merencanakan waktu yang tepat untuk
hamil,mengatur jarak kehamilan, menentukan jumlah anak. Sehingga tidak ada
kehamilan yang tidak diinginkan, “4 terlalu”, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu
sering hamil, dan terlalu banyak anak.
b. Pelayanan antenatal, tujuan pelayanan antenatal adalah untuk mencegah adanya
komplikasi obstetri, mendeteksi komplikasi sedini mungkin dan penanganan secara
memadai dan profesional.
c. Persalinan yang bersih dan aman, memiliki tujuan memastikan setiap penolong
kelahiran/persalinan mempunyai kemampuan, ketrampilan, dan alat untuk memberikan
pertolongan yang bersih dan aman, serta memberikan pelayanan nifas pada ibu dan
bayi.
d. Pelayanan obstetri esensial, memastikan bahwa tempat pelayanan kesehatan dapat
memberikan pelayanan obstetri untuk risiko tinggi dan komplikasi tersedia bagi ibu
hamil yang membutuhkan.

C. IBU MELAKUKAN PERSALINAN DI FASILITAS KESEHATAN


Angka Kematian Ibu sudah mengalami penurunan, namun masih jauh dari target
MDGs tahun 2015, meskipun jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
mengalami peningkatan. Kondisi ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh kualitas
pelayanan kesehatan ibu yang belum memadai, kondisi ibu hamil yang tidak sehat dan
faktor determinan lainnya. Penyebab utama kematian ibu adalah hipertensi dalam
kehamilan dan perdarahan post partum. Penyebab ini dapat diminimalkan apabila
kualitas antenatal care dilaksanakan dengan baik (Indonesia, 2016).
Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan kondisi ibu hamil tidak sehat antara
lain adalah penanganan komplikasi, anemia, ibu hamil yang menderita diabetes,
hipertensi, malaria, dan empat terlalu (terlalu muda <20 tahun, terlalu tua >35 tahun,
terlalu dekat jaraknya 2 tahun, dan terlalu banyak anaknya >3 orang). Sebanyak 54,2
per 1000 perempuan di bawah usia 20 tahun telah melahirkan, sementara perempuan
yang melahirkan pada usia di atas 40 tahun sebanyak 207 per 1000 kelahiran hidup.
Masalah ini diperberat dengan fakta masih adanya umur perkawinan pertama pada usia
yang amat muda (<20 tahun) sebanyak 46,7% dari semua perempuan yang telah kawin.
AKI di indonesia berdasarkan hasil Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2012 menunjukkan tingkat kematian yang lebih tinggi dibandingkan hasil
SDKI 2007. Tingkat kematian ibu di indonesia juga bervariasi antar daerah (Widodo et
al., 2017).
Upaya mencegah kematian ibu dan menurunkan AKI dilakukan melalui
pelayanan antenatal terpadu yang berkualitas, persalinan yang ditolong oleh petugas
kesehatan terampil, pemberian bantuan jaminan biaya persalinan, dan penyuluhan
kesehatan untuk perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat. Fakta
menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen kematian ibu di Indonesia terjadi di fasilitas
kesehatan dan merupakan kasus rujukan. Kondisi tersebut menunjukkan tingginya
perilaku persalinan tidak aman, yaitu persalinan di rumah dan ditolong oleh dukun.

D. MELAKUKAN IMUNISASI DASAR LENGKAP PADA BAYI


Data Rikesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan proposri
penyakit menular yang sifnifikan dibanding dengan periode tahun sebelumnya yaitu tahun
1995-2001. Beban pemerintah akan
peningkatan kesehatan menjadi ganda karena ancaman penyakit menular yang masih
tinggi disamping juga terjadinya peningkatan proporsi penyakit tidak menular
(Wigunantiningsih, 2010).
Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah melalui upaya pengebalan
(imunisasi). Tujuan utama imunisasi untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian
karena berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi adalah
pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Vaksin adalah suatu obat
yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk
menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin
tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit
yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak (Wigunantiningsih, 2010).
Untuk menilai status imunisasi bagi bayi, biasanya dilihat dari cakupan imunisasi
campak, karena imunisasi campak merupakan imunisasi terakhir yang diberikan pada bayi
dengan harapan imunisasi sebelumnya sudah diberikan dengan lengkap. Keberhasilan
program Imunisasi di Indonesia di pengaruhi oleh peran dan pengetahuan ibu.
Pengetahuan ibu tentang imunisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
pendidikan, informasi, social budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman dan usia.
Dimana tingkat pengetahuan ibu dipengaruhi oleh kepatuhan dalam pemberian imunisasi
dasar lengkap pada anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasi pada bayi.
Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindung dari
beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik, kakak dan teman-
teman disekitarnya. Imunisasi akan meningkatkan kekebalan tubuh bayi dan anak
sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut. Anak
yang telah diimunisasi bila terinfeksi oleh kuman tersebut maka tidak akan menularkan ke
adik, kakak, atau teman-teman di sekitarnya. Jadi, imunisasi selain bermanfaat untuk diri
sendiri juga bermanfaat untuk mencegah penyebaran ke adik, kakak dan anak-anak lain
disekitarnya. Sayangnya,kebanyakan masyarakat belum sadar akan hal tersebut (Kadir et
al., 2014).
Imunisasi dasar adalah imunisasi dengan program pemerintah, anak-anak wajib
mendapat imunisasi terhadap tujuh macam penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk rejan
(pertusis) polio, campak (Measles, morbili) dan hepatitis B. Kelengkapan dalam
memberikan imunisasi terhadap penyakit TBC, difteri, tetanus, batuk rejan (pertusis)
polio, campak (measles, morbili), dan hepatitis B dengan tidak ada kekurangannya.
Jenis vaksin yang digunakan dalam mencapai kelengkapan imunisasi adalah Vaksin
BCG, Vaksin DPT/HB, Vaksin Hepatitis B (Uniject-HB), Vaksin Polio, dan Vaksin
Campak. Pelayanan imunisasi dilaksanakan di unit-unit pelayanan kesehatan seperti
puskesmas, puskesmas pembantu, poskesdes, posyandu, RS, rumah bersalin dan dokter
praktek swasta/bidan praktek swasta.
Manfaat imunisasi dasar lengkap
Usia anak-anak merupakan masa rawan terserang penyakit karena daya tahan
tubuhnya belum kuat. Dengan pemberian imunisasi dasar secara lengkap terjadinya
penyakit terhadap bayi bisa dihindari, itulah salah satu manfaat dari imunisasi. Selain
itu ada beberapa manfaat imunisasi yang
lain yaitu :
a. Dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian.
b. Upaya pencegahan yang sangat efektif terhadap timbulnya penyakit.
c. Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada diri seseorang atau sekelompok
masyarakat.
d. Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan cacat atau
kematian.
e. Untuk memberikan kekebalan pada bayi mencegah penyakit dan kematian bayi.
f. Untuk meningkatkan derajat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal
untuk melanjutkan pembangunan negara.

E. BERIKAN ASI EKSKLUSIF UNTUK BAYI


Dalam menunjang kesehatan serta menekan angka kematian anak, United Nation
Childrens Fund (UNICEF) dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan
sebaiknya anak hanya disusui air susu ibu (ASI) selama paling sedikit enam bulan.
Makanan padat seharusnya diberikan setelah bayi berumur enam bulan dan pemberian ASI
dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun. Data WHO tahun 2016, menunjukkan cakupan
ASI eksklusif pada bayi usia 0 - 6 bulan di seluruh dunia sebesar 39 %.
Untuk menunjang keberhasilan dalam menyusui adapun aturan dan UU yang
mengatur tentang ASI Eksklusif yaitu Undang – Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan pasal 128 ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu
Eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis; dan ayat 2
Selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah daerah dan masyarakat harus
mendukung ibu secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus. Peraturan
Pemerinatah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif mengatur
tentang peran pemerintah dalam meningkatkan pemberian ASI Eksklusif yang didalamnya
mencakup peran tenaga kesehatan dan layanan kesehatan. Dalam PP No. 33 Tahun 2012
juga menerangkan tetantang pemberian informasi atau promosi kesehatan kepada
masyarakat.
Praktek dalam IMD menyebutkan bahwa isapan pada puting susu ibu akan
merangsang dikeluarkannya hormon prolaktin dan hormon oksitosin. Hormon prolaktin
berfungsi memproduksi ASI, sedangkan hormon oksitosin merangsang untuk
mengeluarkan ASI. Usia ibu bukan menjadi alasan yang tepat untuk tidak memberikan
ASI. Beberapa masalah yang menyebabkan ibu tidak dapat menyusui antara lain : tidak
mempraktikan IMD, ibu atau bayi sakit, tidak percaya diri bahwa ibu mampu memberikan
ASI. Rendahnya pengetahuan ibu sangat beralasan yaitu karena kurangnya informasi yang
diterima ibu dari petugas kesehatan serta kurangnya kesadaran ibu dalam mencari informasi
tentang ASI Eksklusif sehingga menyebabkan ketidakberhasilan ibu dalam memberikan
ASI secara Eksklusif (Maramis et al., 2017).
Dukungan keluarga merupakan faktor pendukung yang pada prinsipnya adalah suatu
kegiatan baik bersifat emosional maupun psikologis yang diberikan kepada ibu dalam
memberikan ASI. Suami yang mengerti akan pentingnya ASI dalam menyusui adalah hal
paling baik bagi bayi dan merupakan dorongan yang baik bagi ibu dalam mendukung
keberhasilan menyusui (Maramis et al., 2017).
Dukungan keluarga merupakan faktor eksternal yang paling besar pengaruhnya
terhadap keberhasilan ASI eksklusif. Friedman (2010) mengemukakan bahwa dukungan
keluarga dapat diberikan dalam beberapa bentuk, yaitu: a) dukungan informasional, b)
dukungan penghargaan, c) dukungan instrumental, dan d) dukungan emosional (Oktalina et
al., 2015).

F. BALITA MENDAPATKAN PEMANTAUAN PERTUMBUHAN


Pengetahuan ibu merupakan faktor penting dalam kesehatan balita, hal ini karena ibu
berpengaruh terhadap proses pendidikan anak sejak dini. Orang tua, terutama ibu perlu
membiasakan anak balitanya untuk menjaga kebersihan mulut dengan menggosok gigi
secara teratur. karena umumnya anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama ibu.
Umumnya, anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama ibu sehingga ibu dianggap
dapat melakukan pendekatan yang tepat untuk membiasakan anak memelihara kesehatan
gigi dan mulut (Solikin, 2013).
Kesehatan gigi susu seringkali diabaikan oleh orangtua karena dianggap hanya
bersifat sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap. Pada kenyataannya, gigi susu
berperan penting dalam kemampuan berbicara sekaligus proses pengunyahan yang
berdampak pada nutrisi dan tumbuh kembang anak. Selain itu, gigi susu juga berfungsi
sebagai paduan bagi pertumbuhan gigi tetap. Pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung
terjadi sejak awal usia janin,dilanjutkan setelah bayi lahir, anak bertambah besar, dan
memasuki periode remaja dan dewasa. Seiring dengan pertmubuhan tubuh secaraumum,
terjadi pergantian periode gigi sulung menjadi gigi permanen. Proses tumbuh kembang
dipengaruhi oleh berbagai eksternal dan internal. Secara biologis,aspek internal mencakup
faktor genetik, penyakit infeksi dan hormonal, aspek eksternal berupagizi, dan
sosiodemografi. Penyimpangan dan gangguan pada berbagai aspek tersebut
akanmengakibatkan kelainan/anomali tumbuh kembang tubuh baik secara umum dan gigi
secara khusus.
Karies gigi pada anak merupakan masalah serius dalam kesehatan gigi dan mulut di
indonesia dengan prevalensi hingga 90,05% . Menurut data Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2013 dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan
sebanyak 25,9% penduduk Indonesia mengalami masalah kesehatan gigi dan mulut, dan
10,4 % diantaranya balita. Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) adalah tempat
dan/atau ruang terbuka yang memadukan kegiatan dan aktivitas warga dengan
mengimplementasikan 10 (sepuluh) program Pokok Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga untuk mengintegrasikan dengan program Kota Layak Anak. Tujuan RPTRA
dibangun antara lain untuk menyediakan ruang terbuka untuk memenuhi hak anak agar
anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, menyediakan prasarana dan sarana kemitraan antara
Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam memenuhi hak anak dan menyediakan prasarana
dan sarana kota sebagai Kota Layak Anak (Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Provinsi
DKI Jakarta, 2015)
RPTRA Harapan Mulia berlokasi di Kemayoran, Jakarta Pusat dan diresmikan pada
tahun 2016. RPTRA ini memiliki luas 3446 meter persegi dan dilengkapi dengan ruang
sera guna, perpustakaan, lapangan basket, futsal, kolam gizi, tanaman obat keluarga, area
bermain anak, ruang laktasi serta toilet untuk difabel. RPTRA in memiliki beberapa fungsi,
salah satu diantaranya ialah sebagai prasarana dan sarana kegiatan social termasuk
didalamnya untuk pengembangan pengetahuan dan keterampilan.
Secara fisik, kondisi RPTRA Harapan Mulia saat ini sudah sangat baik karena
dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang masih terpelihara dengan baik.Nilai keunggulan
dari RPTRA Harapan Mulia ialah banyaknya kegiatan yang dilakukan di RPTRA tersebut
dalam dalam penyuluhan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
warga. Salah satu kegiatan RPTRA ialah diadakannya pelatihan dan penyuluhan dalam
rangka pengembangan pengetahuan dan keterampilan. Meskipun sudah beberapa kali
diadakan penyuluhan dan pelatihan yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, namun
belum pernah ada topik mengenai kesehatan gigi dan mulut balita. Karies gigi merupakan
penyakit yang banyak menyerang anak-anak maupun dewasa.Data dari Persatuan Dokter
Gigi Indonesia menyebutkan bahwa sedikitnya 89% penderita karies adalah
anakanak.RISKESDAS menyebutkan prevalensi nasional masalah gigi dan mulut dijumpai
sebesar 25.9%.Provinsi DKI Jakarta memiliki prevalensi masalah gigi dan mulut diatas
angka nasional yaitu 29.1%(Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan, 2013).
Kesehatan gigi susu seringkali diabaikan oleh orangtua karena dianggap hanya bersifat
sementara dan akan digantikan oleh gigi tetap. Pada kenyataannya, gigi susu berperan
penting dalam kemampuan berbiara sekaligus proses pengunyahan yang berdampak pada
nutrisi dan tumbuh kembang anak. Selain itu, gigi susu juga berfungsi sebagai paduan bagi
pertumbuhan gigi tetap.
Pengetahuan seorang ibu merupakan hal penting dalam menjaga kesehatan
balitanya karena ibu berpengaruh terhadap proses pendidikan anak sejak dini. Orang tua,
terutama ibu perlu membiasakan anak balitanya untuk menjaga kebersihan mulut dengan
menggosok gigi secara teratur, karena umumnya anak lebih banyak menghabiskan
waktunya bersama ibu. Ibu dianggap lebih mengerti keadaan anak-anaknya, sehingga dapat
melakukan pendekatan yang tepat untuk membiasakan anak mememihara kesehatan gigi
dan mulut.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh kembang manusia dan
menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode selanjutnya.
Masa ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, sehingga
sering disebut golden age atau masa keemasan (Ayuningtiyas, 2013).
Pertumbuhan dan perkembangan gigi sulung terjadi sejak awal usia
janin,dilanjutkan setelah bayi lahir, anak bertambah besar, dan memasuki periode remaja
dan dewasa. Seiring dengan pertmubuhan tubuh secaraumum, terjadi pergantian periode
gigi sulung menjadi gigi permanen. Pada saat bayi berusia 6-9 bulan, dua gigi seri rahang
bawah akan erupsi/tumbuh yang diikuti dengan gigi seri rahang atas. Pada usia 7-10 bulan
tumbuh dua gigi seri depan kedua rahang atas maupun rahang bawah. Kadang gigi seri
kedua di rahang bawah tumbuh lebih dulu sebelum rahang atas. Kemudian satu gigi
geraham depan tumbuh pada usia 16-20 bulan. Gigi taring juga mulai muncul pada usia
yang sama. Gigi geraham kedua tumbuh pada usia 23-30 bulan. Rata-rata anak akan
mempunyai gigi susu lengkap (20) pada usia 3 tahun (Anonim, 2017)
Membersihkan gigi anak dapat dilakukan dengan penyikatan gigi yang bertujuan
untuk menghilangkan plak. Anak diatas 2 tahun sudah dapat mulai diajarkan cara menyikat
gigi dengan memberikan contoh secara berulang- ulang agar anak teratur mengikutinya.
Metode yang bisa diajarkan pada usia ini adalah metode Schrobm karenasangat mudah dan
sederhana untuk diajarkan kepada anak. Caranya ialah menyikat gigi bagian atas dan bawah
dengan arah kesamping kanan dan kiri, kemudian seluruh gigi bagian samping dan seluruh
gigi bagian belakang disikat, lalu anak berkumur dengan air bersih beberapa kali.7Waktu
menyikat gigi sebaiknya dilakukan teratur minimal 2 kali sehari yaitu pagi setelah sarapan
dan malam sebelum tidur. Untuk menyikat gigi yang benar sebaiknya dilakukan selama
lebih dari 2 menit, walau demikian, yang terpenting bukan lamanya waktu dalam menyikat
gigi, tetapi pembersihan gigi itu sendiri dari plak (Santrock, 2007). Pemilihan sikat gigi
pada anak balita sebaiknya dipilih sikat gigi yang ukurannya kecil dengan tangkai yang
mudah digenggam.Pilihlah bulu sikat yang halus dengan bagian kepala sikat menyempit
agar mudah menjangkau bagian dalam rongga mulut. Anak usia 1-5 tahun bisa memakai
sikat dengan 3 deret bulu. American Dental Association menganjurkan ukuran maksimal
kepala sikat gigi balita adalah 18x7 mm. Apabila bulu sikat gigi sudah tidak beraturan atau
mekar maka harus segera diganti karena dapat melukai gusi (Budiman, 1996).
Pola makan dan kebiasaan membersihkan gigi menentukan status kesehatan gigi
dan mulutnya. Anak yang terbiasa mengkonsumsi makanan manis diluar jam makan akan
meningkatkan resiko karies. Makanan dan minuman manis yang tinggi gula seperti biskuit,
coklat, permen, kue, susu dan cemilancemilan dapat berbahaya bagi kesehatan gigi.
Frekuensi pemberian makanan manis yang sering atau diluar jam makan ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya karies pada anak. Keadaan ini diperburuk dengan anak
yang malas untuk menyikat gigi(Varseo, 1999).
Sebelum dilakukan pelatihan keterampilan cara menyikat gigi peserta diberi
pengetahuan tentang cara menyikat gigi yang benar, pemilihan pasta gigi dan sikat gigi.
Peningkatan pengetahuan tentang menyikat gigi ini penting untuk meningkatkan
keterampilan kader dalam menyikat gigi yang benar. Menyikat gigi merupakan cara
pemeliharan kesehatan gigi dan mulut yang paling efektif. Akan tetapi ada beberapa hal
yang harus menjadi perhatian yaitu teknik menyikat gigi, waktu menyikat gigi, serta
pemilihan sikat dan pasta gigi yang benar.Pelatihan dibuat dengan sederhana yaitu
menggunakan manekin gigi dan sikat gigi. Para peserta diminta memperagakan cara
menyikat gigi dengan teknik yang benar. Target pada pelatihan ini adalah 70% peserta
lulus uji keterampilan. Hasilnya seluruh peserta (100%) peserta lulus uji keterampilan.
Salah satu keterbatasan pada sesi keterampilan ini adalah waktu yang terbatas sehingga
pelatihan keterampilan dilakukan sedikit terburu-buru. Untuk itu masih diperlukan
pelatihan keterampilan kembali oleh kader kesehatan di RPTRA Harapan Mulia dan
pembuatan video edukasi agar para ibu tetap bisa melakukan keterampilan cara menyikat
gigi dengan benar.
Para ibu sangat antusias saat pemberian materi, hal ini diketahui dari banyaknya
pertanyaan yang diajukan mengenai pemeliharan kesehatan gigi dan mulut balita. Evaluasi
peningkatan pengetahuan tentang isi buku panduan dilakukan dengan membandingkan nilai
pre dan post test. Hasil pretest rata-rata nilai 45. Hasil postest rata-rata 75. Targetnya
adalah peningkatan pengetahuan pada 70% peserta. Hasil evaluasi semua peserta
mengalami peningkatan nilai postest (100%). Diharapkan dengan peningkatan pengetahuan
ini dapat menjadi bekal yang baik untuk meningkatkan keterampilan kader poskestren
dalam penanganan kedaruratan gigi. Teori Lawrence W. Green mengatakan bahwa
pengetahuan merupakan faktor pemicu dalam perubahan perilaku. Pada dasarnya perilaku
seseorang dipengaruhi oleh pengetahuannya akan sesuatu hal. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.Apabila
suatu tindakan didasari oleh pengetahuan maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng
(long lasting), sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak didasari oleh pengetahuan dan
kesadaran maka perilaku tidak akan berlangsung lama (Notoadmodjo, 2003)

G. PENDERITA TB PARU MENDAPAT PENGOBATAN SESUAI STANDART


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mycobacterium
tuberculosis. Terdapat beberapa spesies mycobacterium, antara lain: mycobacterium
tuberculosis, mycobacterium africanum, mycobacterium bovis, mycobacterium leprae, dsb
yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman tuberkulosis
menyerang paru tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini menyebar
dan di tularkan melalui udara ketika orang yang terinfeksi tuberkulosis paru batuk, bersin,
berbicara atau meludah. Millennium Development Goals (MDG’s) menjadikan penyakit
tuberkulosis paru sebagai salah satu penyakit yang menjadi target untuk diturunkan, selain
Malaria dan HIV/AIDS (Kemenkes, 2014).
Alasan utama gagalnya pengobatan adalah pasien tidak mau minum obatnya secara
teratur dalam waktu yang diharuskan. Pasien biasanya bosan harus minum banyak obat
setiap hari selama beberapa bulan, karena itu pada pasien cenderung menghentikan
pengobatan secara sepihak. Perilaku penderita untuk menjalani pengobatan secara teratur
dipengaruhi beberapa faktor, perilaku dipengaruhi oleh tiga factor pokok, yakni faktor
predisposisi (predisposing factors), faktor yang mendukung (enabling factors) dan faktor
yang memperkuat atau mendorong atau penguat (reinforcing factors) (Notoatmodjo, 2014).
Banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk sembuh dari penyakitnya.
Secara umum dapat dibagi menjadi tiga faktor yaitu : 1) Faktor dari dalam individu, 2)
Faktor dari luar individu, dan 3) Faktor religiusitas. Faktor dari dalam individu dapat
berasal dari keinginan seseorang untuk sembuh karena adanya dorongan untuk melepaskan
diri dari rasa sakit yang dideritanya (Notoatmodjo, 2010).
Dukungan keluarga berpengaruh pada kepatuhan minum obat pada pasien
tuberkulosis dalam fase intensif. Kecenderungan penderita untuk bosan dan putus berobat
saat pengobatan karena sudah memakan waktu yang lama merupakan salah satu faktor
ketidakpatuhan itu sendiri. Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial.
Individu yang termasuk dalam memberikan dukungan sosial meliputi pasangan
(suami/istri), orang tua, anak dan sanak keluarga. Secara fungsional dukungan sosial
mencakup dukungan emosional dengan mendorong adanya ungkapan perasaan, memberi
nasihat atau informasi dan pemberi bantuan material. Peneliti ingin meneliti apakah
keluarga benar-benar mendukung proses pengobatan penderita baik yang sedang dalam fase
intensif maupun fase lanjutan sehingga tidak hanya keberadaan keluarga yang dilihat
namun dukungan serta kepedulian keluarga akan menjadi salah satu pertimbangan saat
penderita akan memulai rencana pengobatan.
Petugas kesehatan dapat memantau terjadinya efek samping dengan cara
mengajarkan kepada pasien unuk mengenal keluhan dan gejala umum efek samping serta
menganjurkan mereka segera melaporkan kondisinya kepada petugas kesehatan. Selain
daripada hal tersebut, petugas kesehatan harus selalu melakukan pemeriksaan dan aktif
menanyakan keluhan pasien pada saat mereka datang ke fasyankes untuk mengambil obat.
Seorang petugas kesehatan harus memberikan dorongan motivasi kepada penderita
tuberkulosis paru untuk teratur berobat (Kemenkes, 2014).
Penelitian terkait yaitu penelitian Maulidia (2014) menunjukan bahwa dukungan
keluarga sangat berpengaruh dalam tingkat kepatuhan berobat penderita yang terlihat dari
data mencapai 60,9% dari 69 responden. Penelitian lainnya yaitu penelitian Sormin (2014)
yang menyatakan bahwa petugas kesehatan mempunyai peran terhadap kepatuhan berobat
penderita tuberkulosis paru di Kelurahan Gambir.
Dukungan keluarga pada penderita tuberkulosis paru sangat di butuhkan karena
tugas keluarga adalah memberikan dorongan kepada penderita agar mau berobat secara
teratur dan mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah
ditentukan. Dengan dukungan keluarga yang baik, penderita tuberkulosis paru lebih
termotivasi untuk patuh berobat secara teratur. Jenis dukungan keluarga ada empat yaitu
pertama adalah dukungan instrumental yaitu keluarga merupakan sumber pertolongan
praktis dan konkrit. Pemberian dukungan instrumental meliputi penyediaan pertolongan
finansial maupun penyedian barang atau jasa lainnya (Prasetyawati, 2011). Teori tersebut
sejalan dengan hasil penelitian yang dbuktikan dengan salah satu pertanyaan dalam
kueisoner tentang apakah selama pengobatan keluarga pernah memberikan bantuan
finansial. Hasil penelitian membuktikan sebagian besar responden (82,9%) menyatakan
bahwa keluarga penderita tuberkulosis pernah memberikan bantuan finansial berupa uang
kepada penderita tuberkulosis untuk meringankan beban penderita selama masa
pengobatan. Selama masa pengobatan, sebagian besar penderita tetap menjalankan aktivitas
seperti melakukan pekerjaan seharihari, namun sebagian besar penderita tidak dapat bekerja
dengan maksimal karena efek samping dari OAT (Obat Anti Tuberkulosis) yang
dikonsumsi penderita selama masa pengobatan. Efek samping yang dirasakan penderita
seperti badan terasa lemas, sakit kepala, cepat merasa lelah, kurang nafsu makan, dsb. Hal
tersebut secara tidak langsung mempengaruhi keadaan finansial penderita, bahkan ada
beberapa penderita yang berjenis kelamin perempuan, sudah tidak bekerja lagi. Sebagian
besar penderita mengatakan bahwa bantuan finansial dari keluarga dipakai untuk
meringankan biaya hidup sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan penderita
tuberkulosis paru, (17,1%) penderita yang menyatakan bahwa keluarga tidak pernah
memberikan dukungan finansial kepada penderita penyebabnya adalah karena keterbatasan
finansial dari keluarga terdekat penderita, sehingga tidak memungkinkan memberikan
bantuan.
Dukungan keluarga yang kedua adalah dukungan informasional yaitu keluarga
berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator (Prasetyawati, 2011). Aspekaspek
dalam dukungan ini adalah memberikan nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian
informasi. Menurut Friedman (dalam Sudiharto, 2012) masalah-masalah kesehatan dalam
keluarga saling berkaitan. Apabila salah satu anggota keluarga memiliki masalah kesehatan,
anggota keluarga lainnya akan berpengaruh.

H. PENDERITA HIPERTENSI MELAKUKAN PENGOBATAN SECARA TERATUR


Hipertensi adalah keadaan meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140
mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan
selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang (Kemenkes, 2010). Satu
dari tiga orang dewasa di seluruh dunia teridentifikasi mengalami peningkatan tekanan
darah suatu kondisi yang menyebabkan sekitar setengah dari semua kematian akibat stroke
dan penyakit jantung (WHO, Health Statistic Report, 2012). Secara global, prevalensi
keseluruhan naiknya tekanan darah pada orang dewasa berusia 25 tahun ke atas adalah
sekitar 40% pada tahun 2008. Pada tahun 2011, hipertensi telah menyumbangkan kematian
sebesar 38% dari seluruh kematian yang terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu,
di Indonesia prevalensi hipertensi adalah sebesar 30,9% pada tahun 2008 (WHO, 2013).
Penanganan pada pasien hipertensi diantaranya terapi pengobatan dan pengaturan
makanan serta gaya hidup (Yayasan Jantung Indonesia, 2006). Keefektifan penanganan
berkelanjutan atau terapi ditentukan oleh kepatuhan. Berbagai studi mengungkapkan bahwa
tingkat kepatuhan minum obat pada penderita hipertensi hanya berkisar antara 50-60%
(Almas A. dkk, 2006). Rendahnya tingkat kepatuhan pasien pada terapi penyakit hipertensi
ini dapat memberikan efek negatif yang sangat besar (Kemenkes, 2010).
Dalam melakukan terapi, keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam program pengobatan tekanan darah. Bimbingan penyuluh dan dorongan secara terus-
menerus biasanya diperlukan agar penderita hipertensi tersebut mampu melaksanakan
rencana yang dapat diterima untuk bertahan hidup dengan hipertensi dan mematuhi aturan
terapinya (Smetzer, 2001). Pada penelitian ini dibahas mengenai hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan pada pasien hipertensi, dimana kepatuhan tersebut meliputi
kepatuhan minum obat, diet, berolahraga dan mengelola stress. Sehingga variabel pada
penelitian ini akan dibahas secara mendetail.
Menurut Osamor (2015), penyakit kronis seperti hipertensi membutuhkan
pengobatan seumur hidup. Hal ini merupakan tantangan bagi pasien dan keluarga agar
dapat mempertahankan motivasi untuk mematuhi pengobatan selama bertahun-tahun. Salah
satu cara untuk meningkatkan motivasi adalah melalui dukungan keluarga.
Menurut Wilson dan Ampey-Thornhill (2001), dukungan keluarga adalah bantuan
atau pertolongan yang diberikan oleh anggota keluarga. Ketika keluarga berbagi
masalahnya dengan sitem dukungan sosial maka saran dan bimbinggan akan diberikan
kepada klien. Menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang, mengarahkan dan
menemukan sumber perawatan serta memberikan bantuan finansial merupakan bentuk
umum dari dukungan keluarga. Menurut Osamor (2015), dukungan sosial akan
meningkatkan kesadaran untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang merupakan salah
satu komponen penting dari kepatuhan.
Penatalaksanaan penyakit kronik seperti hipertensi membutuhkan dukungan
keluarga yang adekuat. Memperluas dukungan keluarga tidak hanya terbatas pada pasangan
atau anggota keluarga yang lainnya tetapi juga melibatkan keluarga nuklir (jaringan sosial
keluarga) sangat dibutuhkan (Wilson & Ampey-Thornhill, 2001). Menurut Osamor (2015),
perawat dapat membantu keluarga dalam mengeksplorasi penggunaan jaringan keluarga.
Dukungan keluarga memungkinkan keluarga berfungsi dengan penuh kompetensi sehingga
dapat meningkatkan adaptasi dan kesehatan keluarga.
Menurut WHO (2013) dukungan keluarga merupakan salah satu intervensi untuk
meningkatkan kepatuhan pada pasien hipertensi. Sayangnya hasil penelitian pada tabel 2
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil responden yang memiliki dukungan keluarga
tinggi (12%), sementara lebih dari sebagian (54%) menunjukkan kepatuhan sedang, malah
masih ada yang memiliki kepatuhan rendah (34%). Menurut Wilson dan Ampey-Thornhill
(2001), dukungan sosial yang rendah akan memberikan pemecahan masalah yang sangat
tidak memuaskan dalam keluarga.

I. PENGGALAKAN PHBS (PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT)


Pembangunan kesehatan di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
bersih dan sehat bagi seluruh masyarakat. Terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang
optimal dapat dicapai, salah satunya melalui program PHBS. PHBS adalah sekumpulan
perilaku yang dipraktekan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang
menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri (mandiri) dibidang kesehatan dan berperan aktif dalam mampu mewujudkan
kesehatan masyarakat.
Tujuan umum PHBS adalah meningkatnya rumah tangga sehat di desa di seluruh
Indonesia. Sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. meningkatnya pengetahuan, kemauan, dan kemampuan anggota rumah tangga untuk
melaksanakan PHBS; dan
b. berperan aktif dalam gerakan PHBS di masyarakat. Setiap rumah tangga dianjurkan untuk
melaksanakan PHBS di rumah tangga yaitu upaya untuk memberdayakan anggota rumah
tangga agar tahu, mau dan mampu melaksanakan PHBS serta berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat (Kemenkes, 2011).
PHBS merupakan cerminan pola hidup keluarga yang senantiasa memperhatikan dan
menjaga kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga
dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam
kegiatan-kegiatan kesehatan. Tidak hanya memfokuskan pada sumber makanan sehat
namun juga terkait dengan kebiasaan sehat dalam menjalani kehidupan serta tidak kalah
pentingnya adalah kepemilikan pola pikir positif. Manusia yang memandang kehidupan
dengan lebih optimis diyakini sangat memengaruhi kondisi kejiwaan yang pada akhirnya
membebaskan diri dari beban pikiran yang mungkin dialaminya sehingga mampu
menghindarkan penyakit (Proverawati, 2012).
Terdapat 10 indikator PHBS yaitu:
1) persalinan oleh tenaga kesehatan,
2) memberikan bayi ASI Eksklusif,
3) menimbang berat badan teratur,
4) ketersediaan air bersih,
5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun,
6) ketersediaan jamban sehat,
7) rumah bebas jentik,
8) tidak merokok di dalam rumah,
9) melakukan aktivitas fisik/ olah raga setiap hari, dan
10) makan sayur dan buah setiap hari (Kemenkes, 2012).
Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari perorangan dan keluarga atau rumah tangga
terutama dari ibu. Banyak ibu yang beranggapan bahwa PHBS merupakan hal yang tidak
perlu dilakukan dalam kehidupan keluarga, karena mereka belum banyak yang menyadari
bahwa jika tidak melaksanakan PHBS akan timbul berbagai masalah kesehatan pada
anggota keluarga dalam jangka waktu pendek atau panjang. Oleh karena itu, ibu
mempunyai peran utama yang dapat membangun kesehatan dalam keluarga. (Proverawati,
2012). Ibu yang mempunyai pengetahuan dalam kesehatan dapat menerapkan PHBS
tatanan rumah tangga serta aktif dalam meningkatkan status kesehatan keluarga.
Menurut Romauli & Vindari (2009) peran ibu adalah serangkaian perilaku yang
diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan kepada ibu. Peran menerangkan pada
apa yang harus dilakukan seorang ibu dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi
harapan mereka sendiri dan harapan orang lain. Secara sosial, ibu selalu memiliki peran
baik dalam keluarga, di masyarakat dan organisasi kemasyarakatan. Adapun macammacam
peran ibu dalam keluarga yaitu: Sebagai istri dan pendamping suami, Sebagai ibu dan
pendidik bagi anak-anak, Sebagai patner seks, Sebagai pengatur/ pengelola rumah tangga.

J. MENGGUNAKAN PELAYANAN KESEHATAN


Tersedianya pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi masyarakat menjadi hal yang
harus mendapat perhatian dari pemerintah sebagai salah satu upaya dalam pembangunan di
bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat bertujuan membentuk
masyarakat yang sehat. Puskesmas merupakan kesatuan organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dapat
diterima dan terjangkau oleh masyarakat dengan peran serta aktif masyarakat dan
menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan
biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat luas guna mencapai derajat
kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan (Depkes,
2009). Kedudukan puskesmas sebagai ujung tombak dalam sistem pelayanan kesehatan.
Karena puskesmas merupakan lembaga kesehatan yang pertama berhadapan langsung
dengan pasien.
Puskesmas memiliki tanggung jawab terhadap wilayah kerja yaitu suatu kecamatan.
Puskesmas memiliki visi yaitu tercapainya kecamatan yang sehat. Kecamatan sehat
mencakup 4 indikator utama, yaitu hubungan yang sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan
kesehatan yang bermutu, dan derajat kesehatan penduduk. Untuk mencapai visi tersebut
puskesmas perlu ditunjang dengan pelayanan kesehatan yang bermutu.
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,
kelompok dan atupun masyarakat Depkes RI (2009).
Kepuasan pasien merupakan indikator utama keberhasilan pemberian pelayanan
kesehatan. Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai
akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkan
dengan apa yang dirasakan. Pasien akan merasa puas apabila kinerja layanan kesehatan
yang diperoleh sama atau melebihi harapan (Pohan, 2006). Ada 5 (lima) dimensi yang
mewakili persepsi konsumen terhadap suatu kualitas pelayanan jasa, yaitu: keandalan,
ketanggapan, jaminan, empati dan berwujud Keandalan (reliability) adalah dimensi yang
mengukur keandalan suatu pelayanan jasa kepada konsumen. Keandalan didefinisikan
sebagai kemampuan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan secara
akurat dan terpercaya.
Ketanggapan (responsiveness) adalah kemampuan untuk membantu konsumen dan
memberikan pelayanan dengan cepat kepada konsumen. Dimensi ketanggapan merupakan
dimensi yang bersifat paling dinamis. Hal ini dipengaruhi oleh faktor perkembangan
teknologi. Salah satu contoh aspek ketanggapan dalam pelayanan adalah kecepatan.
Jaminan (assurance) adalah dimensi kualitas pelayanan yang berhubungan dengan
kemampuan dalam menanamkan kepercayaan dan keyakinan kepada konsumen.
Dimensi jaminan meliputi kemampuan tenaga kerja atas pengetahuan terhadap produk
meliputi kemampuan karyawan dan kesopanan dalam memberi pelayanan, ketrampilan
dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan
kemampuan di dalam menanamkan kepercayaan konsumen terhadap jasa yang ditawarkan.
Empati (emphaty) adalah kesediaan untuk peduli dan memberikan perhatian yang tulus dan
bersifat pribadi kepada konsumen (pengguna jasa).
Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk menciptakan
pelayanan yang ―surprise‖ yaitu sesuatu yang tidak diharapkanpengguna jasa tetapi
ternyata diberikan oleh penyedia jasa. Berwujud (tangible) didefinisikan sebagai
penampilan fasilitas peralatan dan petugas yang memberikan pelayanan jasa karena suatu
service jasa tidak dapat dilihat, dicium, diraba atau didengar maka aspek berwujud menjadi
sangat penting sebagai ukuran terhadap pelayanan jasa. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pemberian pelayanan kesehatan khususnya di puskesmas perlu melakukan
pengukuran tingkat kepuasan pasien (pelanggan).

Anda mungkin juga menyukai