Pikirkan:
Kontrol Sumber
Mungkin de-
eskalasi?
Gambar 8.1 Flowchart menunjukan managemen infeksi pada pasien dengan sepsis
atau shok sepsis pada daerah dengan sumber daya terbatas
Sebuah studi retrospektif dari sebuah rumah sakit rujukan tersier di Turki menjelaskan
pathogen dan kemungkinan sumber-sumber infeksi dari semua kasus sepsis, termasuk
pasien dengan sepsis berat dan shock septik antara tahun 2002 dan 2003. Bakteri gram
negative, seperti Klebsiella spp, dan Escherichia coli merupakan organisme yang sering
ditemukan dalam kultur darah (27 dari 41 isolasi) dan E.coli dari kultur urin (14 dari 63
sampel). Sumber infeksi sepsis paling banyak ditemukan pada saluran pernapasan[9]. Hasil
yang sama juga dilaporkan pada penelitian prospektif dari sepsis berat dan shock sepsis
pada pasien ICU di Thailand antara tahun 2004 sampai 2006. Dari 390 pasien ditemukan
241 pasien mempunyai mikroorganisme terisolasi dari berbagai sumber dan 106 memiliki
kultur darah yang positif[14]. Pathogen utama adalah Klebsiella Pneumoniae (19,9%) dan
E.coli (14%). Saluran pernapasan adalah sumber tersering terjadinya infeksi. Pada ICU
bedah di China, terdapat 381 kasus sepsis berat dan shock septik di 10 unit yang tersebar
di 6 provinsi yang diteliti antara tahun 2004 sampai 2005. Sebagian besar (53,8%) dari
kasus disebabkan oleh bakteri gram negative, tapi pada proporsi yang signifikan pada kasus
(28,3%), jamur terisolasi. Di dalam seri, organisme yang paling umum diisolasi adalah
Acinetobacter baumanii dan Candida albicans, Bagian perut menjadi situs yang paling
sering infeksi [13].
Selain studi ini, beberapa penulis lain telah melaporkan penyebab bakteremia di pelayanan
dengan sumber daya terbatas. Organisme penyebab bervariasi menurut
lokasi dan lingkungan. Dibandingkan dengan pelayanan dengan sumber daya yang
memadai, organisme gram-negatif diidentifikasi sebagai penyebab penting dari
bakteremia dengan perbedaan geografis yang berbeda, misalnya, non-tifoid Salmonella di
sub-Sahara Afrika, salmonella typhi dan paratyphi di Asia Selatan dan Tenggara, dan
Burkholderia pseudomallei di Asia Tenggara [14-16]. Gram-positif Streptococcus suis
dilaporkan menjadi relatif umum penyebab sepsis di Asia Tenggara [17].
Sebuah meta-analisis dari infeksi aliran darah diperoleh masyarakat di seluruh Afrika yang
melibatkan 58.296 pasien menunjukkan bahwa infeksi aliran darah non-malaria,
isolat yang paling umum adalah Salmonella enterica (Spesies terutama non-tipoid),
meskipun di antara lima studi pada orang dewasa yang menggunakan teknik kultur
mikobakteri, Mycobacterium tuberculosis merupakan patogen paling umum terisolasi, di
33,8% dari isolate.
Adanya infeksi merupakan faktor yang penting dalam pelayanan dengan sumber daya
terbatas. Pada studi ini, prevalensi HIV sebanyak 24% dan dikaitkan dengan kemungkinan
peningkatan M.TBC atau non-tipoid Salmonella dalam aliran darah (OR 23,4 dan 8,2,
masing-masing)[15]. Predisposisi malaria pada individu yang terinfeksi bakteri invasif,
dan di daerah dengan angka kejadian malaria yang tinggi, merupakan faktor risiko yang
signifikan pada bakteremia. Dalam studi kasus-kontrol bakteremia pada anak di Kenya,
penyebab malaria adalah 62% kasus bakteremia [18]. Komplikasi dari infeksi bakteri
invasif sekunder yang umum terjadi adalah komplikasi tahap akhir leishmaniasis visceral,
tetapi juga terkait dengan variasi geografis. Dalam salah satu seri dari sepsis terkait dengan
leishmaniasis visceral di Ethiopia, 69% kasus karena Staphylococcus aureus yang berbeda
dengan di Afrika dimana bakteri Gram-negatif lebih sering dilaporkan [15. 19].
Perbedaan antara infeksi komunitas dan kesehatan terkait, seperti yang diharapkan, juga
merupakan penentu penting dari organisme penyebab dalam penelitian dari Turki yang
dijelaskan di atas [9], Kultur darah terisolasi dari infeksi yang didapat dalam komunitas
mikroorganisme yang tersering didapatkan bakteri gram positif (56% kasus), sedangkan
bakteri Gram-negatif sebanyak 80% infeksi yang didapatkan dari rumah sakit. Dalam
sebuah studi dari infeksi aliran darah di Afrika Selatan [20], Non-fermentasi bakteri gram
negatif dan Enterobacteriaceae yang paling sering diisolasidari pada infeksi aliran darah
yang didapat di rumah sakit, sedangkan bakteri Gram-positif yang paling umum pada
infeksi yang didapatkan di masyarakat. Dalam lingkungan pelayann kesehatan, A.
baumanii hampir secara eksklusif terkait dengan infeksi di ICU, tapi S. aureus. E. coli, dan
K. pneumoniae dikaitkan dengan infeksi dari pengaturan kesehatan lainnya. Perbedaan
yang sama ditunjukkan dalam studi prospektif di Thailand dan China yang dijelaskan di
atas [13. 14].
8.2.2 Resistensi Antimikroba
Dari 83 penelitian yang meneliti resistensi antibiotic terhadap bakteri yang menyebabkan
infeksi di pedalaman Sahara Afrika dan Asia, penulis menyimpulkan bahwa hanya ada
beberapa data yang tersedia untuk memandu pengobatan antibiotic dengan pola resistensi
secara regional maupun local [21].
Dalam studi dari Afrika Selatan, yang dijelaskan di atas, semua masyarakat isolat
S.aureus yang sensitif cloxacillin hanya 52% dari rumah sakit isolat. Peningkatan resistensi
antibiotik juga dicatat di rumah sakit isolat Enterobacteriaceae dibandingkan dengan isolat
masyarakat. Demikian pula, dalam 98 pasien dengan S.aureus infeksi di Thailand, isolat
masyarakat ditemukan sensitif terhadap methicillin.Methicillin-resistant S. aureus
(MRSA) dikaitkan dengan rumah sakit terinfeksi, khususnya di ICU [22]. Namun, dalam
seri yang berbeda dari pasien ICU Thailand dengan sepsis berat dan syok septik akibat
infeksi pernapasan, 22% community acquired S. aureus infeksi yang ditemukan resisten
terhadap methicillin[14]. Di 55 ICU di 8 pelayanan dengan sumber daya yang memadai,
84% dari S. aureus intravaskular terkait Infeksi nosokomial adalah karena MRSA [23].
Dalam review S. aureus epidemiologi di Asia, tingkat MRSA didapat di rumah sakit dalam
sampel klinis umum yang dikumpulkan antara tahun 1993 dan 2011 didapatkan lebih dari
20% (Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, China) dan dalam beberapa kasus lebih dari
80% (India, Sri Lanka) [24]. Dalam sampel dari infeksi yang diperoleh dimasyarakat,
tingkat MRSA juga bervariasi, mulai dari 3,2% (Malaysia 2009) ke 39% (Sri Lanka 2004-
2006) [24]. Kebanyakan penelitian laboratorium studi berbasis surveilans mengatakan
kurangnya data klinis, dan banyak ditemukan pada masyarakat dengan isolat infeksi kulit
superfisial; dengan demikian, hubungan organisme menyebabkan sepsis dan syok septik
masih tidak jelas.
Tingkat resistensi bakteri Gram-negatif dalam pelayanan dengan sumber daya
terbatas lebih meningkat, terutama di Asia, berdasarkan pada variasi geografis yang
signifikan[25. 26]. Extended-spectrum beta-laktamase (ESBL) yang diproduksi oleh E.coli
didapatkan 9% dari E.coli yang terisolasi dari kultur darah di Laos pada tahun 2004 dan
2009[27]. Di kamboja antara tahun 2007 dan 2010, tingkat ESBL sebesar 49% pada
Enterobacteriaceae yang menyebabkan infeksi pada orang dewasa (sebagian besar E. coli)
[28]. Data 2008 menunjukkan tingkat bakteri ESBLyang menyebabkan infeksi abdominal
yang signifikan sebesar 2,9% di Malaysia dibandingkan dengan 59% dan 61% di Cina dan
India[25]. Baru-baru ini, tingkat ESBL nosokomial yang didapat di atas 80% di India dan
lebih dari 60% di Cina telah dilaporkan [29]. Antara 2011 dan 2012, 51,6% dari pasien
ICU dengan sepsis bakteri di Mongolia terinfeksi oleh setidaknya satu bakteri resisten,
mayoritas adalah organisme Gram-negatif [30].
Di Asia dan Timur Tengah, peningkatan penggunaan carbapenem karena tingkat
tinggi ESBL telah mengakibatkan munculnya resistensi carbapenem. Sementara data dari
masyarakat yang mendapat infeksi terbatas, data dari rumah sakit menunjukkan bahwa
resistensi carbapenem dan organisme penyebab infeksi nosokomial terus meningkat. Di
Asia resistensi K.pneumoniae carbapenemase (KPC) pertama kali dicatat di Cina di 2004.
New Delhi metallo-β-lactamase-1 (NDM-1) terkait resistensi pertama dilaporkan pada
tahun 2008 pada pasien di India [26]. Di India data menunjukkan bahwa 5-8% dari rumah
sakit terdapat infeksi Enterobacteriaceae dengan resistant carbapenem [31]. Dalam satu
unit perawatan intensif neonatal di Pakistan, tingkat resistensi imipenem K. pneumoniae
menyebakan sepsis onset akhir meningkat dari 0% sampai 72% dari isolat selama periode
2 tahun antara 2009 dan 2011 [32].
Situasi di Afrika telah dijelaskan dalam sistematik review terbaru [33]. Studi ini
menjelaskan munculnya resistensi terhadap carbapenem di seluruh wilayah, walaupun
dengan data terbatas. Yang terpenting bahkan di negara-negara tanpa penggunaan
carbapenems, resistensi masih muncul karena penggunaan antibiotik kelas lainnya, seperti
yang ditunjukkan oleh munculnya OXA-23 resitens carbapenemase A. baumanii di
Madagaskar [34].
Beberapa penulis meneliti faktor risiko resistensi antimikroba di pelayanan dengan
sumber daya terbatas. Sebuah studi pasien dengan infeksi Klebsiella spp. Dan E. coli
di India diidentifikasi penggunaan antibiotik sebelumnya dan transfer dari layanan
kesehatan lainnya sebagai faktor risiko untuk produksi ESBL [35]. Pada pasien dengan
febrile neutropenia di Lebanon, sebelumnya penggunaan spektrum luas antibiotik adalah
faktor risiko untuk bakteremia dengan organisme multidrug-resistant [36]. Sebelumnya
penggunaan carbapenems ditemukan menjadi faktor risiko tunggal untuk pasien dewasa
pada pasien resisten Pseudomonas aeruginosa di Brasil [37].
8.2.3 Ketepatan Pemilihan Antibiotik
Dua penelitian [6. 7] Menilai dampak yang tidak baik pada hasil dari penggunaan
antibiotic. Dalam sebuah studi single-center di Brazil [6], Ketepatan resep antibiotik
empiris dikaitkan dengan manfaat kelangsungan hidup (rasio odds (OR) untuk kematian =
0,536 (95%) interval kepercayaan [0,314-0,916]; p = 0,023). Dalam sebuah penelitian
infeksi nosokomial di Thailand membandingkan terapi kombinasi dan monoterapi, terapi
kombinasi dinilai lebih baik, karena meningkatkan kemungkinan bakteri sensitive
terhadap antibiotik [7].
8.2.4 Biaya
Sejak terapi antibiotik dibayar sendiri oleh pasien atau keluarga mereka, Biaya merupakan
faktor penting untuk pemiilihan antibiotik. Bagi bebereapa antibiotik, tersedia bentuk
generic produk ini tersedia dengan harga jauh lebih rendah; Namun, kualitas obat ini tidak
sebagus dengan obat paten[38]. Dalam sebuah penelitian di India di mana ciprofloxacin,
artesunat, dan rifampisin yang dibeli dari 100 outlet yang berbeda, 43% sampel
mengandung kurang dari 90% dari kandungan obat[39]. Sebuah tinjauan yang diterbitkan
dan dipublikasikan dari penelitian obat antimalarial di Asia Tenggara dan Afrika
menunjukkan 35% dari sampel gagal pada penelitian kimia analisis [40]. Dalam review
sistematis dari 66 studi tentang standar farmasi (terutama antibiotik) yang dilakukan di
Afrika dan Asia Tenggara, 91% studi menemukan produk dibawah standar, dan 44%
menunjukkan adanya pemalsuan [38].
8.2.5 Ketersediaan, Kelayakan, Keterjangkauan, dan Keamanan
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam organisme patogen pada pelayanan dengan
sumber daya terbatas dan pelayanan dengan sumber daya yang memadai tetapi juga
tingginya tingkat variasi di antara kedua pelayanan dengan sumber daya yang berbeda.
Rumah sakit dan khususnya ICU meningkatkan kemungkinan penyebab terjadunta
organisme multidrug resisten dan penggunaan antibiotik sebelumnya merupakan faktor
risiko yang signifikan pengobatan dengan hasil yang tidak baik.
Data epidemiologis idealnya digunakan ketika memilih terapi empiris berdasarkan
variasi dari tiap wilayah. Pembentukan yang dipilih situs sentinel untuk pemantauan
patogen yang berlaku dan pola resistensi. Pilihan pengobatan empiris tergantung pada
patogen umum penyebab dan pola resistensi dari daerah atau rumah sakit. Contoh untuk
infeksi yang diperoleh masyarakat Thailand Timur, di mana 20% dari sepsis disebabkan
oleh B. pseudomallei, dan karena itu ceftazidime atau carbapenem harus dimasukkan. Di
daerah di Asia di mana typhus penyebab umum demam parah dan sepsis, doxycycline
harus ditambahkan ke regimen antibiotik empiris. Pola resistensi harus menginformasikan
apakah di daerah dengan insiden yang tinggi S. typhi, fluoroquinolones masih dapat
digunakan. Untuk infeksi yang didapat di rumah sakit, contoh termasuk penyebaran
carbapenemase di luar India dari bakteri gram negatif. Aturan yang digunakan di beberapa
rumah sakit menghindari carbapenems sebagai pengobatan empiris ketika prevalensi
meningkat di atas 20% dari bakteri Gram-negatif. Namun, di sebagian besar pelayanan
dengan sumber daya terbatas, keterbatasan data mikrobiologi untuk memandu terapi, dan
kapasitas laboratorium mikrobiologi pada pelayanan dengan sumber daya terbatas yang
tidak memungkinkan.
Berdasarkan penelitian, rekomendasi yang digunakan terkait dengan hasil yang
tidak baik pada pemberian terapi antibiotic yang tidak tepat. Penulis menyarankan bahwa
terapi antibiotik empiris harus mencakup semua patogen yang diharapkan dan
pola kemungkinan resistensi (1C) berdasarkan data epidemiologi yang diperoleh secara
lokal, seperti variasi regional terbesar (tidak ditingkatkan mutunya). Kami menyadari
bahwa dalam pelayanan dengan sumber daya terbatas cakupan antibiotic, ini merupakan
suatu tantangan. Kami menyarankan sebaiknya kelompok-kelompok penelitian bekerja
sama dengan para penyedia data mikrobiologi dari situs sentinel seluruh pelayanan dengan
sumber daya terbatas untuk memandu pengobatan antibiotik empiris (Tabel 8.1).
Tabel 8.1 Rekomendasi dan saran pada kontrol infeksi pada pasien dengan sepsi atau
shok sepsis pada daerah dengan sumber daya terbatas
1. pemilihan terapi empiris sebagai hasil luaran yang buruk dihubungkan dengan terapi
antibiotic yang tidak tepat, terapi empiris seharusnya bertujuan untuk mencakup
seluruh pathogen yang mungkin dan mungkin terjadi pola resistensi. Kami
menyarankan untuk kelompok penelitian berkolaborasi dengan stakeholder untuk
memberikan data mikrobiologi dari tempat penjagaan hingga LMIC untuk memandu
terapi antibiotic empiris (tidak dijaga)
2. pemilihan waktu antibiotik Kami merekomendasikan bahwa antibiotik
harus diberikan dalam satu jam pertama pada
sepsis berat dan shok sepsis
3. pengambilan kultur darah Kami merekomendasikan bahwa kultur darah
harus dilakukan sebelum diberkannya
antibiotic. Perlu disadari bahwa banyak
rumah sakit di negara dengan sumber daya
terbatas, kultur darah pada sepsis tidaklah
layak
4. kontrol sumber Kami menyarankan kontrol sumber dilakukan
dalam 12 jam setelah perawatan di rumah
sakit kecuali pada kasus spesifik nekrosis
pancreas (tidak dijaga). Radiografi dan USG
merupakan teknik pencitraan yang baik untuk
pilihan pertama. Jika dicurigai terdapat alat
intravascular, maka harus dikeluarkan (tidak
dijaga)
5. antibiotik kombinasi Dimana memungkinkan mikroorganisme
untuk terjadi resistensi multi obat yang tinggi,
kami menyarankan kombinasi antibiotik harus
digunakan. Pada daerah dengan fasilitas untuk
kultur darah dan pemeriksaan resistensi
antibiotic, terapi antimikroba harus di de-
eskalasi ketika hasil kultur ada (tidak dijaga).
Kami menyarankan bahwa pilihan untuk
terapi kombinasi harus di pandu oleh
epidemiologi setempat dan diketahui
kombinasi yang efektif (tidak dijaga)
6. biomarker Penggunaan biomarker seperti prokalsitonin
dan C-reactive protein untuk de-eskalasi
terapi antimikroba butuh dilakukan penelitian
lebih lanjut di tempat dengan sumber daya
terbatas sebelum diberikan rekomendasi
Meninjau literatur, kami mengidentifikasi dua studi yang melibatkan pasien dari pelayanan
campuran dan tiga studi dari pelayanan dengan sumber daya terbatas. Sebuah penelitian
retrospektif pasien dari kedua negara tinggi dan menengah (Total 17.990 pasien, dengan sekitar
12% dari ICU Amerika Selatan) dan meneliti waktu dari sepsis terdiagnosis sampai pemberian
antibiotik pada pasien dengan sepsis berat dan septic syok [44]. Setelah penyesuaian terhadap
keparahan sepsis, lokasi geografis, dan sumber infeksi sepsis, keterlambatan pemberian
antibiotik pada interval per jam hingga 6 jam dikaitkan dengan peningkatan mortalitas sepsis
berat dan syok septik.
Sebuah survei dari resusitasi SSC dan manajemen kepatuhan di 150 ICU di Asia (sekitar
56% pasien dari pelayanan dengan sumber daya terbatas) melaporkan bahwa administrasi
antibiotic <1 jam (atau <3 jam dari kedatangan departemen darurat) dikaitkandengan manfaat
kelangsungan hidup yang signifikan (OR kematian 0,76 [0,58-0,99];p = 0,02) [45].
Penelitian lain yang membandingkan hasil dan waktu terapi antibiotik di Brazil [6].
Penelitian retrospektif dari 1279 pasien dengan sepsis berat dansyok septik, di mana berarti
waktu untuk antibiotik adalah 2,5 jam, menunjukkan administrasi antibiotik spektrum luas
dalam 1 jam tidak berhubungan dengan peningkatan hasil dibandingkan untuk > 1 jam dalam
analisis multivariat (OR kematian 0,77 [0,59-1,01]; p = 0,06). Di 58 pasien dengan kultur darah
positif, terapi antibiotik yang tepat penyebab tersendiri dari kematian, dan tidak berhubungan
dengan pemberian antibiotik <1 jam.
Sebuah studi kohort prospektif dari 145 pasien dengan sepsis di Iran dievaluasi efeknya
pada hasil dari waktu kedatangan di departemen darurat untuk administrasi antibiotik dan
menunjukkan hubungan yang signifikan antara mortalitas dan jam keterlambatan administrasi
antibiotik hingga> 2 jam. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa ini hubungan terkuat
pada pasien dengan skor APACHE II> 20 [46].
Dalam sebuah studi dari 104 pasien tipoid dengan perforasi ileum di Tanzania, terapi
antibiotik yang tidak memadai sebelum masuk dikaitkan dengan peningkatan mortalitas (OR
Terdapat data yang terbatas dari limited randomized controlled trial mengenai hasil dari
terapi de-eskalasi dari terapi empiris antibiotik. Terdapat lebih banyak bukti pada penggunaak
biomarker untuk de-eskalasi atau menghentikan terapi antibiotic pada severe sepsis dan shok
sepsis, akan tetapi hasil ini ada dari penelitian di tempat banyak terdapat sumber daya seperti
Eropa. Penelitian tentang biomarker yang paling banyak dibahas adalah PCT dan CRP. PCT
biasanya lebih spesifik terhadap sepsis bakteri tapi lebih mahal dibandingkan CRP. Hasil dari
beberapa meta analisis yang melibatkan hingga tujuh randomized controlled trial (total 1075
pasien) telah menunjukan PCT dapat digunakan secara aman untuk mengurangi lama durasi terapi
antibiotic dan mungkin lebih terjangkau.
Pada negara dengan sumber daya terbatas dengan tingkatan resistensi antimikroba yang
tinggi, strategi untuk mengurangi penggunaan agen spektrum luas sangatlah penting. Akan tetapi
kami secara spesifik mencari bukti untuk biomarker pada keadaan keterbatasan sumber daya, kami
juga menyertakan studi dari keadaan yang memiliki sumber daya cukup yang mencakup biomarker
lainnya yang dapat berpotensi berguna pada keadaan keterbatasan sumber daya.
Kami mengidentifikasi dua penelitian dari negara dengan keterbatasan sumber daya dan
juga menyertakan satu penelitian terkini dari negara bersumberdaya cukup pada prokalsitonin dan
satu pada perjalanan demam dan hitung jenis sel darah putih untuk memandu terapi antibiotik.
Delapan puluh satu pasien dengan infeksi bakteri dan sepsis, severe sepsis atau shok sepsis
dirawat di sebuah ICU di Brazil diacak untuk penggunaan terapi terpandu PCT atau terapi normal.
Pada 51 pasien dilakukan analisis protocol, durasi median dari terapi antibiotic secara signifikan
lebih rendah pada kelompok PCT, yang mana tidak mengorbankan hasil terapi yang buruk. Akan
tetapi, analisa intention-to-treat menunjukan tidak terdapat perbedaan. Pengurangan biaya
antibiotic mengarah pada penghematan biaya yang signifikan pada kelompok PCT, mengimbangi
peningkatan biaya pemeriksaan. Kadar CRP juga diperiksa pada kelompok PCT, akan tetapi
kadarnya masih meningkat hingga akhir terapi antibiotik.
Sebuah randomized clinical trial di Cina meneliti penggunaan inisiasi PCT terpandu dan
terminasi terapi antibiotic pada 35 pasien dengan pankreatitis akut berat dibandingkan dengan 36
pasien yang menerima profilaksis antibiotik selama 14 hari. Durasi rerata penggunaan antibiotic,
lamanya rawat inap dan biaya rawat inap lebih rendah pada kelompok PCT terpandu.
Pada penelitian randomized clinical trial multicentre terikini di Belanda pada 1575 pasien
kritis menunjukan bahwa aturan penghentian antibiotic berdasarkan pada pengurangan kadar
plasma prokalsitonin >80% dari nilai puncaknya (atau pengurangan absolut dibawah 0,5µg/L)
menghasilkan pengurangan durasi terapi antibiotic dan berhubungan dengan penurunan angka
mortalitas yang signifikan.
Pada penelitian multicentre randomized clnical trial pada 518 pasien dengan sepsis
abdominal komplikata dan sumber daya yang cukup di Amerika Serikat, pasien dipilih secara acak
untuk penghitungan sel darah putih/penghentian demam terpandu antibiotic atau selama 4 hari.
Pada kelompok hitung sel darah putih/penghentian demam terpandu, durasi penggunaan antibiotic
secara signifikan lebih panjang. Tidak terdapat perbedaan hasil luaran.
Berdasarkan ini kami menyimpulkan bahwa penggunaan biomarker, khususnya PCT dan
CRP untuk de-eskalasi terapi antimikroba butuh penelitian lebih lanjut pada keadaan keterbatasan
sumber daya sebelum rekomendasi dapat diberikan.
Pengurangan durasi dari penggunaan antibiotik dapat mengurangi efek samping, biaya
terapi dan resistensi antimikroba. Penelitian pada keadaan dengan sumber daya yang cukup
menunjukan bahwa secara umum penggunaan antibiotik dengan durasi yang lebih singkat tidak
menunjukan bahaya dan berhubungan dengan penurunan angka resistensi antimikroba. Akan
tetapi beberapa berargumen bahwa durasi terapi yang lebih lama mungkin dibutukan pada kasus
defisiensi imun, kontrol sumber yang kurang, infeksi MDR dan XDR, penetrasi jaringan yang
kurang dari obat, adanya material asing atau antibiotic awal yang tidak adekwat. Meskipun
penurunan durasi terapi antibiotic dapat secara menarik pada daerah dengan sumber daya terbatas,
namun masih tetap tidak jelas akankah ini dapat di adopsi secara aman pada tempat dimana
diagnosis mikrobiologi secara definitif merupakan tantangan tersendiri dan saat terdapat
prevalensi yang tinggi pada bakteri Gram negatif non fermentasi.