Anda di halaman 1dari 21

Penanganan Infeksi Pasien Sepsis dan Shock Septik pada Pelayanan

Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas

C. Louise Thwaites, Ganbold Lundeg, Arjen M. Dondorp,


Neill K. J. Adhikari, Jane Nakibuuka, Randeep Jawa,
Mervyn Mer, Srinivas Murthy, Marcus J. Schultz,
Binh Nguyen Thien, and Arthur Kwizera

8.1 Pendahuluan dan Definisi


Meskipun data yang tersedia terbatas, penelitian menunjukan bahwa sepsis dan shock septik
pada pelayanan dengan sumber daya terbatas sama besarnya dengan yang ada di pelayanan
dengan sumber daya yang memadai. Terdapat beberapa perbedaan yang penting pada pathogen
penyebab sepsis dan shock septik pada pelayanan dengan sumber daya terbatas dan pelayanan
dengan sumber daya yang memadai. Staff, fasilitas diagnostic, pemilihan terapeutik, dan
berbagai faktor lainnya yang berbeda pada pelayanan kesehatan dengan sumber daya terbatas,
yang menyebabkan pedoman Surviving Sepsis Campaign (SSC) tentang management sepsis
pada pelayanan dengan sumber daya yang memadai tidak dapat secara merata di aplikasikan
langsung pada pelayanan dengan sumber daya terbatas[1]. Dalam bab ini SSC
merekomendasikan bahwa perlu dilakukan evaluasi tambahan yang dapat digunakan pada
pelayanan dengan sumber daya terbatas khususnya untuk mereview secara general ulasan yang
relevan pada pelayanan dengan sumber daya terbatas. Selama pelaksanaan nya European
Society of Intensive Care Medicine’s Consensus mempublikasikan definisi untuk Sepsis dan
Septik shock (Sepsis-3)[2]. Tujuan dari artikel ini adalah mempublikasikan studi yang telah
digunakan sebelumnya pada definisi dari Sepsis berat dan Shock septik untuk mengetahui
karakteristik dari pasien, kriteria ini telah ditinggalkan sejak adanya studi yang terbaru. Untuk
klasifikasi selanjutnya lebih disarankan merujuk kepada pedoman SSC dan dalam artikel ini
dibahas bagaimana mengenai pemeriksaan pada sepsis.[3,4]. Pelayanan dengan sumber daya
terbatas didefinisikan sebagai negara dengan penghasilan rendah sampai menengah menurut
Bank Dunia [5] atau dideskripsikan sebagai “sumber daya terbatas” atau “Negara berkembang”
oleh penulis dari studi yang direferensikan. Sebuah flowchart merangkum pendekatan untuk
pengelolaan pasien dengan sepsis atau septik shock dalam pelayanan dengan sumber daya
terbatas Gambar 8.1.
8.2 Faktor Yang Berperan Dalam Pemilihan Antibiotik Empirik Pada Sepsis Dan Shock
Sepsis Pada Pelayanan Dengan Sumber Daya Terbatas.
Rumah sakit dan khususnya ICU berkaitan dengan infeksi yang terutama disebabkan oleh
organisme multidtug resisten, dan pengunaan antibiotic yang terlalu dini merupakan faktor
resiko terjadinya resistensi antibiotic. Kesalahan terapi antibiotic berkaitan dengan hasil yang
tidak baik [6,7] data epidemiologi yang tidak memadai merupakan salah satu kekurangan pada
Pelayananan dengan sumber daya terbatas. Tujuan terapi antibiotic empiric untuk mengobati
pathogen penyebab pada pasien septik sebelum hasil definitive mikrobiologi tersedia.
Pedoman umum pada pemilihan terapi antibiotic empiric diaplikasikan pada keduanya yaitu
pelayanan dengan sumber daya terbatas dan memadai [8,9] dan harus diperhatikan pathogen
dan pola resistensi yang paling mungkin ditemui. Semua itu tergantung pada focus infeksi serta
pengaturan kesehatan dan lokasi geografis. Meningkatnya bukti pada pelayanan dengan
sumber daya memadai dan sumber daya terbatas bahwa terapi antibiotic awal yang tidak
memedai berkaitan dengan hasil akhir yang tidak baik [10].
Hal yang perlu diperhatikan pada pelayanan dengan sumber daya terbatas mencakup
perbedaan penyebab mikroorganisme pada Negara tropis, data epidemiologi yang terbatas
karena terbatasnya kapasitas laboratorium, resistensi antimikroba, pemberian layanan yang
buruk saat dirawat secara mandiri dirumah. Pada beberapa pelayanan kesehatan ketersedian
antibiotic mungkin terbatas, dan jika dibandingkan dengan pelayanan dengan sumber daya
yang memadai, tingginya harga perawatan merupakan salah satu hal penting dalam pemilihan
antibiotic empiric seperti antibiotic dengan harga yang mahal jika dibandingkan dengan terapi
lainnya[11].
Kami menemukan hanya tiga penelitian dari pelayanan dengan sumber daya terbatas yang
secara spesifik membahas mikroorganisme penyebab dari sepsis berat dan shock septik
(menggunakan definisi SCC yang sebelumnya[12]) [9,13,14]. Oleh karena itu kami
memasukan studi lainnya yang mendeskripsikan penyebab sepsis pada pelayanan dengan
sumber daya terbatas, yang dianggap mewakili pathogen potensial yang akan dihadapi. Bukti-
bukti yang dikumpulkan disajikan dibawah ini.
Curiga sepsis atau shok sepsis Kultur Mikrobiologi

Pikirkan:

8.1 Sumber infeksi yang paling Antibiotik empiris <1 jam


mungkin
8.2 Data epidemiologi local  Mencakup seluruh organisme yang Sumber
8.3 Infeksi komunitas dan rumah memungkinkan diketahui?
sakit  Pikirkan kemungkinan resistensi
8.4 Koinfeksi antibiotik
8.5 Faktor risiko untuk resistensi
multidrug
8.6 Monoterapi/kombinasi

Kontrol Sumber

Mungkin de-
eskalasi?

Terapi antibiotik spektrum sempit yang sesuai

Gambar 8.1 Flowchart menunjukan managemen infeksi pada pasien dengan sepsis
atau shok sepsis pada daerah dengan sumber daya terbatas

8.2.1 Bakteri Patogen

Sebuah studi retrospektif dari sebuah rumah sakit rujukan tersier di Turki menjelaskan
pathogen dan kemungkinan sumber-sumber infeksi dari semua kasus sepsis, termasuk
pasien dengan sepsis berat dan shock septik antara tahun 2002 dan 2003. Bakteri gram
negative, seperti Klebsiella spp, dan Escherichia coli merupakan organisme yang sering
ditemukan dalam kultur darah (27 dari 41 isolasi) dan E.coli dari kultur urin (14 dari 63
sampel). Sumber infeksi sepsis paling banyak ditemukan pada saluran pernapasan[9]. Hasil
yang sama juga dilaporkan pada penelitian prospektif dari sepsis berat dan shock sepsis
pada pasien ICU di Thailand antara tahun 2004 sampai 2006. Dari 390 pasien ditemukan
241 pasien mempunyai mikroorganisme terisolasi dari berbagai sumber dan 106 memiliki
kultur darah yang positif[14]. Pathogen utama adalah Klebsiella Pneumoniae (19,9%) dan
E.coli (14%). Saluran pernapasan adalah sumber tersering terjadinya infeksi. Pada ICU
bedah di China, terdapat 381 kasus sepsis berat dan shock septik di 10 unit yang tersebar
di 6 provinsi yang diteliti antara tahun 2004 sampai 2005. Sebagian besar (53,8%) dari
kasus disebabkan oleh bakteri gram negative, tapi pada proporsi yang signifikan pada kasus
(28,3%), jamur terisolasi. Di dalam seri, organisme yang paling umum diisolasi adalah
Acinetobacter baumanii dan Candida albicans, Bagian perut menjadi situs yang paling
sering infeksi [13].
Selain studi ini, beberapa penulis lain telah melaporkan penyebab bakteremia di pelayanan
dengan sumber daya terbatas. Organisme penyebab bervariasi menurut
lokasi dan lingkungan. Dibandingkan dengan pelayanan dengan sumber daya yang
memadai, organisme gram-negatif diidentifikasi sebagai penyebab penting dari
bakteremia dengan perbedaan geografis yang berbeda, misalnya, non-tifoid Salmonella di
sub-Sahara Afrika, salmonella typhi dan paratyphi di Asia Selatan dan Tenggara, dan
Burkholderia pseudomallei di Asia Tenggara [14-16]. Gram-positif Streptococcus suis
dilaporkan menjadi relatif umum penyebab sepsis di Asia Tenggara [17].
Sebuah meta-analisis dari infeksi aliran darah diperoleh masyarakat di seluruh Afrika yang
melibatkan 58.296 pasien menunjukkan bahwa infeksi aliran darah non-malaria,
isolat yang paling umum adalah Salmonella enterica (Spesies terutama non-tipoid),
meskipun di antara lima studi pada orang dewasa yang menggunakan teknik kultur
mikobakteri, Mycobacterium tuberculosis merupakan patogen paling umum terisolasi, di
33,8% dari isolate.
Adanya infeksi merupakan faktor yang penting dalam pelayanan dengan sumber daya
terbatas. Pada studi ini, prevalensi HIV sebanyak 24% dan dikaitkan dengan kemungkinan
peningkatan M.TBC atau non-tipoid Salmonella dalam aliran darah (OR 23,4 dan 8,2,
masing-masing)[15]. Predisposisi malaria pada individu yang terinfeksi bakteri invasif,
dan di daerah dengan angka kejadian malaria yang tinggi, merupakan faktor risiko yang
signifikan pada bakteremia. Dalam studi kasus-kontrol bakteremia pada anak di Kenya,
penyebab malaria adalah 62% kasus bakteremia [18]. Komplikasi dari infeksi bakteri
invasif sekunder yang umum terjadi adalah komplikasi tahap akhir leishmaniasis visceral,
tetapi juga terkait dengan variasi geografis. Dalam salah satu seri dari sepsis terkait dengan
leishmaniasis visceral di Ethiopia, 69% kasus karena Staphylococcus aureus yang berbeda
dengan di Afrika dimana bakteri Gram-negatif lebih sering dilaporkan [15. 19].
Perbedaan antara infeksi komunitas dan kesehatan terkait, seperti yang diharapkan, juga
merupakan penentu penting dari organisme penyebab dalam penelitian dari Turki yang
dijelaskan di atas [9], Kultur darah terisolasi dari infeksi yang didapat dalam komunitas
mikroorganisme yang tersering didapatkan bakteri gram positif (56% kasus), sedangkan
bakteri Gram-negatif sebanyak 80% infeksi yang didapatkan dari rumah sakit. Dalam
sebuah studi dari infeksi aliran darah di Afrika Selatan [20], Non-fermentasi bakteri gram
negatif dan Enterobacteriaceae yang paling sering diisolasidari pada infeksi aliran darah
yang didapat di rumah sakit, sedangkan bakteri Gram-positif yang paling umum pada
infeksi yang didapatkan di masyarakat. Dalam lingkungan pelayann kesehatan, A.
baumanii hampir secara eksklusif terkait dengan infeksi di ICU, tapi S. aureus. E. coli, dan
K. pneumoniae dikaitkan dengan infeksi dari pengaturan kesehatan lainnya. Perbedaan
yang sama ditunjukkan dalam studi prospektif di Thailand dan China yang dijelaskan di
atas [13. 14].
8.2.2 Resistensi Antimikroba
Dari 83 penelitian yang meneliti resistensi antibiotic terhadap bakteri yang menyebabkan
infeksi di pedalaman Sahara Afrika dan Asia, penulis menyimpulkan bahwa hanya ada
beberapa data yang tersedia untuk memandu pengobatan antibiotic dengan pola resistensi
secara regional maupun local [21].
Dalam studi dari Afrika Selatan, yang dijelaskan di atas, semua masyarakat isolat
S.aureus yang sensitif cloxacillin hanya 52% dari rumah sakit isolat. Peningkatan resistensi
antibiotik juga dicatat di rumah sakit isolat Enterobacteriaceae dibandingkan dengan isolat
masyarakat. Demikian pula, dalam 98 pasien dengan S.aureus infeksi di Thailand, isolat
masyarakat ditemukan sensitif terhadap methicillin.Methicillin-resistant S. aureus
(MRSA) dikaitkan dengan rumah sakit terinfeksi, khususnya di ICU [22]. Namun, dalam
seri yang berbeda dari pasien ICU Thailand dengan sepsis berat dan syok septik akibat
infeksi pernapasan, 22% community acquired S. aureus infeksi yang ditemukan resisten
terhadap methicillin[14]. Di 55 ICU di 8 pelayanan dengan sumber daya yang memadai,
84% dari S. aureus intravaskular terkait Infeksi nosokomial adalah karena MRSA [23].
Dalam review S. aureus epidemiologi di Asia, tingkat MRSA didapat di rumah sakit dalam
sampel klinis umum yang dikumpulkan antara tahun 1993 dan 2011 didapatkan lebih dari
20% (Vietnam, Thailand, Indonesia, Malaysia, China) dan dalam beberapa kasus lebih dari
80% (India, Sri Lanka) [24]. Dalam sampel dari infeksi yang diperoleh dimasyarakat,
tingkat MRSA juga bervariasi, mulai dari 3,2% (Malaysia 2009) ke 39% (Sri Lanka 2004-
2006) [24]. Kebanyakan penelitian laboratorium studi berbasis surveilans mengatakan
kurangnya data klinis, dan banyak ditemukan pada masyarakat dengan isolat infeksi kulit
superfisial; dengan demikian, hubungan organisme menyebabkan sepsis dan syok septik
masih tidak jelas.
Tingkat resistensi bakteri Gram-negatif dalam pelayanan dengan sumber daya
terbatas lebih meningkat, terutama di Asia, berdasarkan pada variasi geografis yang
signifikan[25. 26]. Extended-spectrum beta-laktamase (ESBL) yang diproduksi oleh E.coli
didapatkan 9% dari E.coli yang terisolasi dari kultur darah di Laos pada tahun 2004 dan
2009[27]. Di kamboja antara tahun 2007 dan 2010, tingkat ESBL sebesar 49% pada
Enterobacteriaceae yang menyebabkan infeksi pada orang dewasa (sebagian besar E. coli)
[28]. Data 2008 menunjukkan tingkat bakteri ESBLyang menyebabkan infeksi abdominal
yang signifikan sebesar 2,9% di Malaysia dibandingkan dengan 59% dan 61% di Cina dan
India[25]. Baru-baru ini, tingkat ESBL nosokomial yang didapat di atas 80% di India dan
lebih dari 60% di Cina telah dilaporkan [29]. Antara 2011 dan 2012, 51,6% dari pasien
ICU dengan sepsis bakteri di Mongolia terinfeksi oleh setidaknya satu bakteri resisten,
mayoritas adalah organisme Gram-negatif [30].
Di Asia dan Timur Tengah, peningkatan penggunaan carbapenem karena tingkat
tinggi ESBL telah mengakibatkan munculnya resistensi carbapenem. Sementara data dari
masyarakat yang mendapat infeksi terbatas, data dari rumah sakit menunjukkan bahwa
resistensi carbapenem dan organisme penyebab infeksi nosokomial terus meningkat. Di
Asia resistensi K.pneumoniae carbapenemase (KPC) pertama kali dicatat di Cina di 2004.
New Delhi metallo-β-lactamase-1 (NDM-1) terkait resistensi pertama dilaporkan pada
tahun 2008 pada pasien di India [26]. Di India data menunjukkan bahwa 5-8% dari rumah
sakit terdapat infeksi Enterobacteriaceae dengan resistant carbapenem [31]. Dalam satu
unit perawatan intensif neonatal di Pakistan, tingkat resistensi imipenem K. pneumoniae
menyebakan sepsis onset akhir meningkat dari 0% sampai 72% dari isolat selama periode
2 tahun antara 2009 dan 2011 [32].
Situasi di Afrika telah dijelaskan dalam sistematik review terbaru [33]. Studi ini
menjelaskan munculnya resistensi terhadap carbapenem di seluruh wilayah, walaupun
dengan data terbatas. Yang terpenting bahkan di negara-negara tanpa penggunaan
carbapenems, resistensi masih muncul karena penggunaan antibiotik kelas lainnya, seperti
yang ditunjukkan oleh munculnya OXA-23 resitens carbapenemase A. baumanii di
Madagaskar [34].
Beberapa penulis meneliti faktor risiko resistensi antimikroba di pelayanan dengan
sumber daya terbatas. Sebuah studi pasien dengan infeksi Klebsiella spp. Dan E. coli
di India diidentifikasi penggunaan antibiotik sebelumnya dan transfer dari layanan
kesehatan lainnya sebagai faktor risiko untuk produksi ESBL [35]. Pada pasien dengan
febrile neutropenia di Lebanon, sebelumnya penggunaan spektrum luas antibiotik adalah
faktor risiko untuk bakteremia dengan organisme multidrug-resistant [36]. Sebelumnya
penggunaan carbapenems ditemukan menjadi faktor risiko tunggal untuk pasien dewasa
pada pasien resisten Pseudomonas aeruginosa di Brasil [37].
8.2.3 Ketepatan Pemilihan Antibiotik
Dua penelitian [6. 7] Menilai dampak yang tidak baik pada hasil dari penggunaan
antibiotic. Dalam sebuah studi single-center di Brazil [6], Ketepatan resep antibiotik
empiris dikaitkan dengan manfaat kelangsungan hidup (rasio odds (OR) untuk kematian =
0,536 (95%) interval kepercayaan [0,314-0,916]; p = 0,023). Dalam sebuah penelitian
infeksi nosokomial di Thailand membandingkan terapi kombinasi dan monoterapi, terapi
kombinasi dinilai lebih baik, karena meningkatkan kemungkinan bakteri sensitive
terhadap antibiotik [7].
8.2.4 Biaya
Sejak terapi antibiotik dibayar sendiri oleh pasien atau keluarga mereka, Biaya merupakan
faktor penting untuk pemiilihan antibiotik. Bagi bebereapa antibiotik, tersedia bentuk
generic produk ini tersedia dengan harga jauh lebih rendah; Namun, kualitas obat ini tidak
sebagus dengan obat paten[38]. Dalam sebuah penelitian di India di mana ciprofloxacin,
artesunat, dan rifampisin yang dibeli dari 100 outlet yang berbeda, 43% sampel
mengandung kurang dari 90% dari kandungan obat[39]. Sebuah tinjauan yang diterbitkan
dan dipublikasikan dari penelitian obat antimalarial di Asia Tenggara dan Afrika
menunjukkan 35% dari sampel gagal pada penelitian kimia analisis [40]. Dalam review
sistematis dari 66 studi tentang standar farmasi (terutama antibiotik) yang dilakukan di
Afrika dan Asia Tenggara, 91% studi menemukan produk dibawah standar, dan 44%
menunjukkan adanya pemalsuan [38].
8.2.5 Ketersediaan, Kelayakan, Keterjangkauan, dan Keamanan
Terdapat perbedaan yang signifikan dalam organisme patogen pada pelayanan dengan
sumber daya terbatas dan pelayanan dengan sumber daya yang memadai tetapi juga
tingginya tingkat variasi di antara kedua pelayanan dengan sumber daya yang berbeda.
Rumah sakit dan khususnya ICU meningkatkan kemungkinan penyebab terjadunta
organisme multidrug resisten dan penggunaan antibiotik sebelumnya merupakan faktor
risiko yang signifikan pengobatan dengan hasil yang tidak baik.
Data epidemiologis idealnya digunakan ketika memilih terapi empiris berdasarkan
variasi dari tiap wilayah. Pembentukan yang dipilih situs sentinel untuk pemantauan
patogen yang berlaku dan pola resistensi. Pilihan pengobatan empiris tergantung pada
patogen umum penyebab dan pola resistensi dari daerah atau rumah sakit. Contoh untuk
infeksi yang diperoleh masyarakat Thailand Timur, di mana 20% dari sepsis disebabkan
oleh B. pseudomallei, dan karena itu ceftazidime atau carbapenem harus dimasukkan. Di
daerah di Asia di mana typhus penyebab umum demam parah dan sepsis, doxycycline
harus ditambahkan ke regimen antibiotik empiris. Pola resistensi harus menginformasikan
apakah di daerah dengan insiden yang tinggi S. typhi, fluoroquinolones masih dapat
digunakan. Untuk infeksi yang didapat di rumah sakit, contoh termasuk penyebaran
carbapenemase di luar India dari bakteri gram negatif. Aturan yang digunakan di beberapa
rumah sakit menghindari carbapenems sebagai pengobatan empiris ketika prevalensi
meningkat di atas 20% dari bakteri Gram-negatif. Namun, di sebagian besar pelayanan
dengan sumber daya terbatas, keterbatasan data mikrobiologi untuk memandu terapi, dan
kapasitas laboratorium mikrobiologi pada pelayanan dengan sumber daya terbatas yang
tidak memungkinkan.
Berdasarkan penelitian, rekomendasi yang digunakan terkait dengan hasil yang
tidak baik pada pemberian terapi antibiotic yang tidak tepat. Penulis menyarankan bahwa
terapi antibiotik empiris harus mencakup semua patogen yang diharapkan dan
pola kemungkinan resistensi (1C) berdasarkan data epidemiologi yang diperoleh secara
lokal, seperti variasi regional terbesar (tidak ditingkatkan mutunya). Kami menyadari
bahwa dalam pelayanan dengan sumber daya terbatas cakupan antibiotic, ini merupakan
suatu tantangan. Kami menyarankan sebaiknya kelompok-kelompok penelitian bekerja
sama dengan para penyedia data mikrobiologi dari situs sentinel seluruh pelayanan dengan
sumber daya terbatas untuk memandu pengobatan antibiotik empiris (Tabel 8.1).
Tabel 8.1 Rekomendasi dan saran pada kontrol infeksi pada pasien dengan sepsi atau
shok sepsis pada daerah dengan sumber daya terbatas
1. pemilihan terapi empiris sebagai hasil luaran yang buruk dihubungkan dengan terapi
antibiotic yang tidak tepat, terapi empiris seharusnya bertujuan untuk mencakup
seluruh pathogen yang mungkin dan mungkin terjadi pola resistensi. Kami
menyarankan untuk kelompok penelitian berkolaborasi dengan stakeholder untuk
memberikan data mikrobiologi dari tempat penjagaan hingga LMIC untuk memandu
terapi antibiotic empiris (tidak dijaga)
2. pemilihan waktu antibiotik Kami merekomendasikan bahwa antibiotik
harus diberikan dalam satu jam pertama pada
sepsis berat dan shok sepsis
3. pengambilan kultur darah Kami merekomendasikan bahwa kultur darah
harus dilakukan sebelum diberkannya
antibiotic. Perlu disadari bahwa banyak
rumah sakit di negara dengan sumber daya
terbatas, kultur darah pada sepsis tidaklah
layak
4. kontrol sumber Kami menyarankan kontrol sumber dilakukan
dalam 12 jam setelah perawatan di rumah
sakit kecuali pada kasus spesifik nekrosis
pancreas (tidak dijaga). Radiografi dan USG
merupakan teknik pencitraan yang baik untuk
pilihan pertama. Jika dicurigai terdapat alat
intravascular, maka harus dikeluarkan (tidak
dijaga)
5. antibiotik kombinasi Dimana memungkinkan mikroorganisme
untuk terjadi resistensi multi obat yang tinggi,
kami menyarankan kombinasi antibiotik harus
digunakan. Pada daerah dengan fasilitas untuk
kultur darah dan pemeriksaan resistensi
antibiotic, terapi antimikroba harus di de-
eskalasi ketika hasil kultur ada (tidak dijaga).
Kami menyarankan bahwa pilihan untuk
terapi kombinasi harus di pandu oleh
epidemiologi setempat dan diketahui
kombinasi yang efektif (tidak dijaga)
6. biomarker Penggunaan biomarker seperti prokalsitonin
dan C-reactive protein untuk de-eskalasi
terapi antimikroba butuh dilakukan penelitian
lebih lanjut di tempat dengan sumber daya
terbatas sebelum diberikan rekomendasi

8.3 Waktu Pengobatan Antibiotik


Eliminasi yang cepat dari mikroorganisme penyebab harus membantu untuk mencegah
patologis lebih lanjut pada sepsis berat dan syok septik. Beberapa, terutama studi retrospektif,
dari pelayanan dengan sumber daya yang memadai telah menunjukkan hubungan antara
penundaan administrasi antibiotic dan hasil buruk pada sepsis dan syok septik [41-43]. Namun,
desain retrospektif dan efek dari variabel resusitasi cairan dan penilaian kesesuaian interpretasi
antibiotic memberikan hasil kompleks. Sebuah meta-analisis ini meneliti kedua studi
prospektif dan retrospektif dan gagal menunjukkan manfaat yang signifikan dari pemberian
antibiotik dalam waktu 3 jam pada departemen triase darurat atau 1 jam setelah shick terdeteksi
[41]. Dengan latar belakang pemberian antibiotik yang cepat, diskusi baru-baru telah
difokuskan pada apakah menunda pengobatan untuk memastikan antibiotik yang tepat
diberikan menguntungkan. Dalam pelayanan dengan sumber daya terbatas mungkin lebih sulit
untuk mengelola pemberian antibiotic yang sesuai dalam satu jam pertama sejak sepsis
terdiagnosa karena keterbatasan staff dengan banyak keterampilan yang harus diprioritaskan.
Oleh karena itu para anggota subkelompok akan mempertimbangkan administrasi pemberian
antibiotik dalam satu jam pertama sebagai hal penting dilakukan pada pelayanan dengan
sumber daya terbatas.

Meninjau literatur, kami mengidentifikasi dua studi yang melibatkan pasien dari pelayanan
campuran dan tiga studi dari pelayanan dengan sumber daya terbatas. Sebuah penelitian
retrospektif pasien dari kedua negara tinggi dan menengah (Total 17.990 pasien, dengan sekitar
12% dari ICU Amerika Selatan) dan meneliti waktu dari sepsis terdiagnosis sampai pemberian
antibiotik pada pasien dengan sepsis berat dan septic syok [44]. Setelah penyesuaian terhadap
keparahan sepsis, lokasi geografis, dan sumber infeksi sepsis, keterlambatan pemberian
antibiotik pada interval per jam hingga 6 jam dikaitkan dengan peningkatan mortalitas sepsis
berat dan syok septik.

Sebuah survei dari resusitasi SSC dan manajemen kepatuhan di 150 ICU di Asia (sekitar
56% pasien dari pelayanan dengan sumber daya terbatas) melaporkan bahwa administrasi
antibiotic <1 jam (atau <3 jam dari kedatangan departemen darurat) dikaitkandengan manfaat
kelangsungan hidup yang signifikan (OR kematian 0,76 [0,58-0,99];p = 0,02) [45].

Penelitian lain yang membandingkan hasil dan waktu terapi antibiotik di Brazil [6].
Penelitian retrospektif dari 1279 pasien dengan sepsis berat dansyok septik, di mana berarti
waktu untuk antibiotik adalah 2,5 jam, menunjukkan administrasi antibiotik spektrum luas
dalam 1 jam tidak berhubungan dengan peningkatan hasil dibandingkan untuk > 1 jam dalam
analisis multivariat (OR kematian 0,77 [0,59-1,01]; p = 0,06). Di 58 pasien dengan kultur darah
positif, terapi antibiotik yang tepat penyebab tersendiri dari kematian, dan tidak berhubungan
dengan pemberian antibiotik <1 jam.

Sebuah studi kohort prospektif dari 145 pasien dengan sepsis di Iran dievaluasi efeknya
pada hasil dari waktu kedatangan di departemen darurat untuk administrasi antibiotik dan
menunjukkan hubungan yang signifikan antara mortalitas dan jam keterlambatan administrasi
antibiotik hingga> 2 jam. Analisis subkelompok menunjukkan bahwa ini hubungan terkuat
pada pasien dengan skor APACHE II> 20 [46].

Dalam sebuah studi dari 104 pasien tipoid dengan perforasi ileum di Tanzania, terapi
antibiotik yang tidak memadai sebelum masuk dikaitkan dengan peningkatan mortalitas (OR

3.1 [1,45-7,86]; p = 0,006) [47].


8.3.1. Ketersediaan, Kelayakan, dan Keterjangkauan
SSC menyatakan bahwa pemberian antibiotik yang tepat dalam waktu satu jam dari sepsis
berat atau syok septik adalah tujuan dari standar perawatan. Data observasional dari
pelayanan dengan sumber daya terbatas menunjukkan bahwa dalam banyak pengaturan,
administrasi antibiotik untuk pasien dalam waktu 1 jam dapat dilakukan, misalnya, di Cina
98% dari pasien menerima antibiotik dalam 1 jam, dan di Brazil 68% pasien menerima
antibiotik dalam waktu 1 jam dari diagnosis sepsis [48]. Di Iran, 18% pasien menerima
antibiotik dalam waktu 1 jam dari kedatangan di departemen darurat, tetapi 74% dirawat
dalam waktu 2 jam [46]. Kami menemukan bukti yang kurang dari pelayanan dengan
sumber daya terbatas yang menyarankan administrasi tepat waktu antibiotik yang
bermanfaat. Namun demikian, dalam satu studi yang dievaluasi ketepatan administrasi dan
kesesuaian antibiotik, terapi awal antibiotik yang tepat adalah satu-satunya prediktor
independen dari hasil yang diharapkan[6]. Berdasarkan bukti yang diberikan, kami
menyarankan pemberian antiobotik yang tepat dalam satu jam pertama setelah sepsis dan
syok septik terdiagnosis (1C).
8.4 Pentingnya Kultur Darah Sebelum Pemberian Antibiotik Empiris
Identifikasi definitif dan pengujian sensitivitas organisme penyebab sepsis dan syok septik
memungkinkan de-eskalasi pengobatan dan memastikan bahwa terapi antibiotik yang diberikan
tepat. Saat ini direkomendasikan bahwa, jika tidak menunda administrasi antibiotik, dua set kultur
darah harus diambil, salah satunya harus diambil melalui intravaskular (jika salah satu
munculselama lebih dari 48 jam), karena hal ini dapat membantu menentukan asal infeksi. Kultur
darah sangat disarankan untuk membantu identifikasi mikrobiologi, termasuk dalam pelayanan
dengan sumber daya terbatas[4]. Namun, penelitian spesifik tentang keuntungan dari kultur darah
pada hasil outcome pasien sangat penting, pada pelayanan dengan sumber daya terbatas akses
laboratorium dibatasi dan adanya biaya untuk tes tambahan. Kultur diambil sebelum pemberian
antibiotik lebih sensitif, tetapi dalam pelayanan dengan jumlah staf terbatas, manfaat harus
dipertimbangkan terhadap waktu yang dialihkan untuk melakukan tindakan resusitasi awal
lainnya.
Dalam pencarian literatur, kami mengidentifikasi dua studi yang relevan dari pelayanan
dengan sumber daya terbatas dan satu dari pelayanan dengan sumber daya campuran yang menilai
kultur darah dan hasil sepsis berat atau syok septik. Sebuah penelitian prospektif dari Cina di 212
pasien dengan sepsis berat atau syok septik dan komunitas-pneumonia melaporkan bahwa
mendapatkan kultur darah sebelum pengobatan antibiotik dikaitkan dengan penurunan risiko
kematian (OR kematian 0,46, [0,211-0,997];p = 0,039) [48].
Sebuah studi retrospektif di Brasil dari 1279 pasien dengan sepsis berat dan syok septik
melaporkan bahwa kultur darah dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah (OR 0,38, 95% CI
[0,265-0,546]; p <0,001), sedangkan pemberian antibiotic dalam waktu 1 jam tidak bermakna[6].
Sebuah studi meneliti kepatuhan dengan pedoman SSC di ICU Asia menemukan bahwa
kultur darah sebelum pemberian antibiotik dikaitkan dengan ketahanan hidup (OR kematian 0,72,
[0,54-0,95];p = 0,02) [45].
8.4.1. Ketersediaan, Kelayakan, dan Keterjangkauan
Kami menemukan bukti dari pelayanan dengan sumber daya terbatas yang melakukan
kultur darah terkait dengan peningkatan hasil pada sepsis dan syok septik, meskipun data
observasional tidak bisa disingkirkan dan dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik
karena kurangnya presentasi sepsis sebagai penjelasan untuk temuan ini. Diagnosis
definitif mikrobiologi memungkinkan pemberian antibiotik yang tepat. Sebuah survei dari
72 orang dewasa dengan sepsis berat atau syok septik dengan bakteremia S. aureus di
Thailand didapatkan 78% pasien yang secara empiris diobati dengan antibiotik yang tepat,
tetapi setelah hasil kultur, 98% diberi terapi antibiotik efektif [49]. Selain itu, seperti yang
telah didiskusikan diatas, dengan mendeteksi infeksi seperti TBC atau melioidosis,
pengobatan dapat dilakukan hanya bila diperlukan untuk mencegah kekambuhan atau
resistensi.
Dalam pelayanan dengan sumber daya terbatas, mungkin tidak ada fasilitas untuk
analisis kultur darah. Di lokasi lain yang terdapat fasilitas laboratorium, metode manual
buatan dan inokulasi manual merupakan alternatif untuk metode kultur yang lebih mahal.
Keterlambatan dalam pengolahan sampel dapat terjadi karena jarak dari fasilitas
laboratorium atau kurangnya staf yang terlatih. Tidak ada data yang pasti untuk
membimbing penyimpanan sementara, tetapi jika tidak mungkin untuk memproses sampel
langsung, maka botol harus disimpan pada suhu kamar, tidak didinginkan.
Kami tidak bisa mengidentifikasi studi mengenai pelaksanaan aspek biaya ekonomi
kapasitas mikrobiologi, dibandingkan gains in disability-adjusted life
years (DALYs), atau keterbatasan penggunaan antibiotik. Kami juga tidak menemukan
bukti apapun untuk mengukur keuntungan tambahan dari mengambil kultur darah kedua.
Berdasarkan bukti yang disajikan, kami sarankan bahwa kultur darah harus diambil
sebelum pemberian antibiotik di lokasi di mana hal ini mungkin (1B). Idealnya dua set
kultur darah harus diperoleh. Hal ini menunjukan bahwa pada banyak rumah sakit, kultur
darah rutin tidak tersedia, tapi rekomendasi dari memperluas kapasitas laboratorium
mikrobiologi adalah di luar lingkup artikel ini.
8.5 Sumber Kontrol
Secara umum sumber kontrol dipahami sebagai “semua tindakan untuk mengontrol fokus dan
memodifikasi faktor dalam lingkungan menular yang menyebabkan pertumbuhan mikrobiologi
atau merusak pertahanan host antimikroba”[50]. Identifikasi awal dari fokus infeksi membutuhkan
kombinasi dari pemeriksaan klinis dan penyelidikan spesialis. Sumber metode kontrol harus
memiliki efisiensi yang maksimal dan efek fisiologis yang minimum. Dalam pelayanan dengan
sumber daya yang memadai, sumber kontrol yang tidak memadai telah terbukti menjadi predikto
independen dari kematian pada pasien dengan sepsis atau syok septik [51-53]. Namun dalam
beberapa situasi, misalnya, nekrosis peripancreatic, ada bukti moderat menunjukkan
keterlambatan dalam sumber kontrol bedah lebih bermakna [54].
Dalam pelayanan dengan sumber daya terbatas, sumber kontrol dapat dipengaruhi oleh
berbagai infeksi yang ditemui serta terbatasnya akses diagnostik tertentu atau modalitas bedah.
Ketika mempertimbangkan sumber kontrol, subkelompok ingin fokus pada bukti-bukti untuk
kondisi yang biasa ditemui di pelayanan dengan sumber daya terbatas dan tidak berhubungan
dengan pedoman ini.
Kami mencari literatur dan mengidentifikasi tujuh makalah dari pelayanan dengan sumber
daya terbatas tentang sumber kontrol. Kami juga memasukan salah satu penelitian dari pelayanan
dengan sumber daya yang memadai yang khusus berkaitan dengan penyebab penting dari sepsis
dan septic syok di negara dengan sumber daya terbatas. Enam dari studi yang mengidentifikasi
sumber. Tiga studi melaporkan penggunaan radiografi dada dan USG dalam sumber diagnosis
tifus atau perforasi gastrointestinal tuberkuloid, melaporkan adanya pneumoperitoneum di 70-75%
kasus pada radiografi dada dan cairan di 70-97% kasus pada USG abdomen [47. 55-57]. Dalam
penelitian retrospektif di Australia dari 78 kasus abses prostat karena melioidosis, 85% kasus yang
terdeteksi dengan USG dibandingkan dengan “standar emas” dari Computerisasi Tomography
(CT) [58]. Dalam sebuah penelitian kohort prospektif dari 230 pasien di Thailand, abses perut
diidentifikasi dengan ultrasonografi di 33% dari pasien (dan 38% atau orang-orang dengan kultur
darah positif) meskipun ada perbandingan dengan CT [59].
Tiga studi meneliti waktu sumber control pada tifoid dengan perforasi gastrointestinal. Seri
awal di India melaporkan angka kematian meningkat terkait dengan keterlambatan operasi dalam
100 kasus berturut-turut pada tipoid dengan perforasi ileac [60]. Studi lain dari India melaporkan
penurunan yang tidak signifikan mortalitas (19 vs 32%) pada mereka yang dilakukan operasi
dalam 48 jam setelah terdiagnosis perforasi [61]. Baru-baru ini, kasus retrospektif di Tanzania
melaporkan bahwa keterlambatan dalam operasi lebih dari 24 jam dikaitkan dengan kematian yang
lebih tinggi (24 vs 14%) [47].
Sehubungan dengan melioidosis, abses prostat di Australia, mencatat bahwa hanya abses
kecil (<1 cm) dapat diterapi dengan antibiotik saja dan drainase (baik dengan bantuan ultrasound-
atau CT) yang diperlukan dalam abses yang lebih besar. Nanah didrainase dari abses yang
menunjukkan adanya bakteri hidup meskipun dengan terapi antibotik yang berkepanjangan dan
adekuat[58].
8.5.1. Ketersediaan, Keterjangkauan, dan Kelayakan
Melepaskan fokus infeksi pada pasien septik sama pentingnya dalam pelayanan dengan
sumber daya terbatas dan pelayanan dengan sumber daya yang memadai. Namun, sumber
kontrol dan identifikasi merupakan tantangan pada pelayanan dengan sumber daya
terbatas; Fasilitas yang terbatas membatasi kemampuan diagnostik, dan kurangnya
tindakan invasif untuk kontrol sering membutuhkan peralatan mahal dan keahlian khusus.
Beberapa kondisi seperti aneurisma mikotik di infeksi salmonella non-tipoid dilaporkan
menjadi hal yang mematikan tanpa bedah reseksi [62]. Pedoman SSC saat ini
merekomendasikan sumber kontrol dalam 12 jam kecuali dalam kasus nekrosis pankreas
ketika keterlambatan merupakan hal yang menguntungkan. Kami menemukan bukti yang
lemah dari rangkaian terbatas sumber daya untuk mendukung sumber waktu control yang
tepat (<24 jam) di perforasi tipoid, meskipun tidak ada penelitian secara khusus meneliti
control <12 jam. Mengingat kurangnya bukti untuk situasi lain, kita dinilai tidak mampu
untuk menerapkan rekomendasi ini. Tidak ada bukti dari situasi di mana delay dalam
sumber kontrol dapat menguntungkan.
USG dan X-ray adalah investigasi yang tersedia dan murah untuk membantu
mengetahui anatomi situs infeksi, dan kami menemukan bukti dari kedua investigasi
menunjukkan sensitivitas pada perforasi perut dan melioidosis. pemeriksaan radiologi yang
tersedia di 86% dari pasien dengan sepsis berat dan syok septik terkait dengan bakteremia
S. aureus di Thailand [49], Dan dalam 15 dari 46 kasus di mana sumber infeksi
diidentifikasi, dengan sumber prosedur pengendalian yang tepat, meskipun dalam lima
kasus lebih lanjut, pasien dianggap tidak layak untuk dilakukan prosedur bedah.
Berdasarkan bukti yang diajukan, kami menyarankan sumber kontrol infeksi
dilakukan dalam waktu 12 jam masuk ke rumah sakit (tidak ditingkatkan mutunya) kecuali
dalam kasus tertentu seperti nekrosis pankreas. Radiografi dan ultrasound merupakan
teknik pencitraan lini pertama (tidak ditingkatkan mutunya).
8.6 Penggunaan Terapi Kombinasi Antibiotik pada Situasi Spesifik
Meskipun terdapat beberapa data tentang terapi kombinasi pada semua pasien dengan sepsis atau
syok septik, terutama dengan penyakit yang parah[63-66], ada beberapa percobaan dengan control
randomized. Kurangnya bukti yang baik dan kekhawatiran terhadap resistensi antimikroba dan
toksisitas berarti bahwa monoterapi dianjurkan dalam kebanyakan kasus. Kecuali pada
neutropenia dan sepsis dengan multidrug-resistant bakteri gram negatif atau bakteremia S.
pneumoniae. Jika kombinasi terapi yang digunakan secara empiris, disarankan untuk digunakan
kurang dari 3-5 hari. Meskipun ada mekanisme biologis aditif atau tindakan sinergis, keberhasilan
terapi kombinasi juga terkait dengan meningkatkan kemungkinan bakteri penyebab menjadi rentan
terhadap setidaknya satu antibiotic [67. 68]. Selain resistensi infeksi, subkelompok ingin menilai
bukti keuntungan atau terapi kombinasi dalam penyakit umum tertentu untuk rangkaian dengan
sumber daya terbatas.
Kami mengidentifikasi sembilan studi relevan yang meneliti kombinasi antibiotic terapi
pada pasien di rangkaian sumber daya terbatas: satu meta-analisis dari dua percobaan acak
terkontrol di melioidosis, lima studi meneliti terapi kombinasi pada multidrug-resistant (MDR)
atau secara luas resistan terhadap obat (XDR) Infeksi A. baumanii (hanya satu yang khusus
ditujukan pada pasien infeksi dengan sepsis berat atau syok septik), dan satu studi febrile
neutropenia.
Dalam meta-analisis dari dua uji klinis acak dari kotrimoksazol pada ceftazidime di fase
akut melioidosis berat di Thailand yang melibatkan total 449 pasien, tidak ada perbedaan dalam
kematian atau penyakit berulang tercatat antara kedua kelompok perlakuan [69. 70]. Demikian
pula, tidak ada perbedaan tercatat dengan terapi kombinasi dalam tahap awal maupun pengobatan
[71]. Sebuah studi retrospektif di Turki meneliti (colistin) dibandingkan terapi kombinasi (colistin
/ sulbaktam) di 89 pasien ICU dengan MDR A. baumanii ventilator-associated pneumonia, 80%
di antaranya memiliki sepsis berat atau syok septik. Setelah penyesuaian untuk skor APACHE II,
tidak ada perbedaan dalam tingkat kematian antara kelompok-kelompok klinis dan bakteriologis
lebih tinggi pada kelompok kombinasi meskipun tidak signifikan secara statistik [72].
Sebuah analisis retrospektif dari 110 infeksi nosokomial karena A. baumanii terkait dengan
sindrom respons inflamasi sistemik di Thailand menemukan meningkatkan angka kesembuhan
klinis dan hasil pada pasien yang diobati dengan terapi kombinasi dan bahwa terapi kombinasi
meningkatkan kesempatan antibiotik yang tepat [7].
Sebuah studi retrospektif multicenter dari 214 pasien di Turki dengan XDR infeksi A.
baumanii ditemukan peningkatan mortalitas dan klinis dan mikrobiologis ketika colistin
digunakan dalam kombinasi dibandingkan colistin saja [73].
Dua penelitian rumah sakit diidentifikasi tahan A. baumanii isolat: satu dari strain rentan
colistin dan yang lainnya dari strain resisten (49 dan 51 pasien, masing-masing) dilaporkan
memiliki pengurangan mortalitas tidak signifikan dengan pengobatan kombinasi [74. 75].
Satu studi membandingkan terapi kombinasi dalam 151 kasus febrile neutropenia di Turki,
menganalisis tingkat respons antara monoterapi non-carbapenem atau kombinasi terapi dan
kombinasi carbapenem terapi pada 88 orang dewasa [76]. tingkat respon yang sama terlihat pada
semua pasien.
8.6.1. Ketersediaan, Keterjangkuan, dan Kelayakan
Di banyak rangkaian sumber daya terbatas, infeksi di masyarakat lebih mungkin
disebabkan oleh resistensi organisme daripada di rangkaian sumber daya kaya [77].
Sebelum penggunaan antibiotik diketahui mempengaruhi mikroflora usus yang merupakan
sumber utama patogen untuk infeksi yang didapat di ICU masyarakat menggunakan
antibiotic secara bebas sehingga meningkatkan resistensi dan ini tercermin dalam profil
resistensi organisme penyebab infeksi kesehatan di rangkaian terbatas sumber daya[30. 78-
80]. Keterbatasan laboratorium dan fasilitas diagnostik mempersulit diagnosis definitive
atau de-eskalasi pengobatan antibiotik, dan terapi empiris tetap menjadi satu-satunya
pilihan terapi. Sebagian antibiotic signifikan untuk pasien dengan sepsis dan syok septik di
rangkaian sumber daya terbatas, terapi kombinasi berkepanjangan secara signifikan
meningkatkan biaya kesehatan [81]. Sebuah consensus dari rangkaian kaya sumber daya
menyimpulkan bahwa tidak cukup untuk menjamin rekomendasi umum untuk kombinasi
pengobatan antibiotik [8], Dan kita tidak menemukan penelitian yang meneliti manfaat dari
terapi kombinasi dalam situasi di mana saat ini hanya monoterapi disarankan dalam
pedoman SSC. Di studi MDR atau XDR infeksi A. baumanii, terapi kombinasi tampaknya
menguntungkan. Dalam kasus infeksi bakteri TB, beberapa penulis berpendapat bahwa
monoterapi harus dihindari karena risiko mengembangkan resistensi. Sebagai tambahan
terapi kombinasi mungkin lebih efisien membunuh bakteri dan dengan demikian
memungkinkan penanganan cepat dari terapi antibiotik [67].
Dalam kasus melioidosis, tidak ditemukan bahwa pengobatan kombinasi awal
unggul meskipun beberapa berpendapat bahwa terapi kombinasi harus digunakan untuk
pasien dengan abses yang mendalam dan berfokus pada infeksi [82].
Berdasarkan ini kami menunjukkan bahwa kemungkinan resistensi multidrug
tinggi, antibiotik kombinasi harus digunakan (2D). Pilihan terapi kombinasi harus dipandu
oleh epidemiologi lokal dan dengan kombinasi yang efektif (Tidak ditingkatkan mutunya).
Terapi antimikroba harus meningkat bila memungkinkan (Tidak ditingkatkan mutunya).
Kami menyadari bahwa tanpa informasi mikrobiologi, de-eskalasi sulit dilakukan.
8.7 Penggunaan Procalcitonin (PCT), C-Reactive Protein (CRP), atau Biomarker lainnya
untuk Antibiotik De-eskalasi
Pengurangan penggunaan antibiotik global merupakan bagian utama pada program supervisi
antibiotik yang mengacu pada pengurangan resistensi global terhadap antimikroba. Terapi de-
eskalasi untuk menyempitkan agen spektrum dan mengurangi durasi terapi antibiotik merupakan
kunci pada pendekatan ini. Karena fasilitas untuk kultur darah seringkali tidak ada, klinisi
seringkali kehilangan arahan untuk de-eskalasi terapi antibiotik empiris. Tes CRP atau PCT
semikuantitatif semakin banyak ditemukan dan dapat menjadi alat petunjuk yang potensial untuk
memandu terapi de-eskalasi.

Terdapat data yang terbatas dari limited randomized controlled trial mengenai hasil dari
terapi de-eskalasi dari terapi empiris antibiotik. Terdapat lebih banyak bukti pada penggunaak
biomarker untuk de-eskalasi atau menghentikan terapi antibiotic pada severe sepsis dan shok
sepsis, akan tetapi hasil ini ada dari penelitian di tempat banyak terdapat sumber daya seperti
Eropa. Penelitian tentang biomarker yang paling banyak dibahas adalah PCT dan CRP. PCT
biasanya lebih spesifik terhadap sepsis bakteri tapi lebih mahal dibandingkan CRP. Hasil dari
beberapa meta analisis yang melibatkan hingga tujuh randomized controlled trial (total 1075
pasien) telah menunjukan PCT dapat digunakan secara aman untuk mengurangi lama durasi terapi
antibiotic dan mungkin lebih terjangkau.

Pada negara dengan sumber daya terbatas dengan tingkatan resistensi antimikroba yang
tinggi, strategi untuk mengurangi penggunaan agen spektrum luas sangatlah penting. Akan tetapi
kami secara spesifik mencari bukti untuk biomarker pada keadaan keterbatasan sumber daya, kami
juga menyertakan studi dari keadaan yang memiliki sumber daya cukup yang mencakup biomarker
lainnya yang dapat berpotensi berguna pada keadaan keterbatasan sumber daya.
Kami mengidentifikasi dua penelitian dari negara dengan keterbatasan sumber daya dan
juga menyertakan satu penelitian terkini dari negara bersumberdaya cukup pada prokalsitonin dan
satu pada perjalanan demam dan hitung jenis sel darah putih untuk memandu terapi antibiotik.

Delapan puluh satu pasien dengan infeksi bakteri dan sepsis, severe sepsis atau shok sepsis
dirawat di sebuah ICU di Brazil diacak untuk penggunaan terapi terpandu PCT atau terapi normal.
Pada 51 pasien dilakukan analisis protocol, durasi median dari terapi antibiotic secara signifikan
lebih rendah pada kelompok PCT, yang mana tidak mengorbankan hasil terapi yang buruk. Akan
tetapi, analisa intention-to-treat menunjukan tidak terdapat perbedaan. Pengurangan biaya
antibiotic mengarah pada penghematan biaya yang signifikan pada kelompok PCT, mengimbangi
peningkatan biaya pemeriksaan. Kadar CRP juga diperiksa pada kelompok PCT, akan tetapi
kadarnya masih meningkat hingga akhir terapi antibiotik.

Sebuah randomized clinical trial di Cina meneliti penggunaan inisiasi PCT terpandu dan
terminasi terapi antibiotic pada 35 pasien dengan pankreatitis akut berat dibandingkan dengan 36
pasien yang menerima profilaksis antibiotik selama 14 hari. Durasi rerata penggunaan antibiotic,
lamanya rawat inap dan biaya rawat inap lebih rendah pada kelompok PCT terpandu.

Pada penelitian randomized clinical trial multicentre terikini di Belanda pada 1575 pasien
kritis menunjukan bahwa aturan penghentian antibiotic berdasarkan pada pengurangan kadar
plasma prokalsitonin >80% dari nilai puncaknya (atau pengurangan absolut dibawah 0,5µg/L)
menghasilkan pengurangan durasi terapi antibiotic dan berhubungan dengan penurunan angka
mortalitas yang signifikan.

Pada penelitian multicentre randomized clnical trial pada 518 pasien dengan sepsis
abdominal komplikata dan sumber daya yang cukup di Amerika Serikat, pasien dipilih secara acak
untuk penghitungan sel darah putih/penghentian demam terpandu antibiotic atau selama 4 hari.
Pada kelompok hitung sel darah putih/penghentian demam terpandu, durasi penggunaan antibiotic
secara signifikan lebih panjang. Tidak terdapat perbedaan hasil luaran.

8.7.1. Ketersediaan, Keterjangkauan dan Kelayakan


Kami menemukan bukti dari daerah yang memiliki keterbatasan sumber daya dimana kebijakan
terapi antibiotic yang dipandu oleh PCT dapat lebih efektif secara biaya seperti biaya pemeriksaan
yang sesuai dengan penghematan biaya antibiotic. Dua penelitian dari daerah dengan keterbatasan
sumber daya telah menunjukan manfaat dari panduan menggunakan PCT pada de-eskalasi
antibiotic pada sepsis dan shok sepsis. CRp dapat menjadi alternative yang lebih murah, akan tetapi
ini membutuhkan evaluasi tambahan. Kami tidak menemukan bukti alternatif dengan biaya
rendah, termasuk demam ataupun hitung sel darah putih lebih bermanfaat dibandingkan dengan
durasi terapi yang pendek.

Berdasarkan ini kami menyimpulkan bahwa penggunaan biomarker, khususnya PCT dan
CRP untuk de-eskalasi terapi antimikroba butuh penelitian lebih lanjut pada keadaan keterbatasan
sumber daya sebelum rekomendasi dapat diberikan.

8.8 Pertanyaan untuk Penelitian Masa Depan


Sebagai tambahan tinjauan dari literature tentang pertanyaan diatas, kami juga mendiskusikan area
yang saat ini kekurangan bukti pada keadaan dengan keterbatasan sumber daya dan dimana bukti
negara dengan sumber daya cukup tidak dapat di aplikasikan.

Pengurangan durasi dari penggunaan antibiotik dapat mengurangi efek samping, biaya
terapi dan resistensi antimikroba. Penelitian pada keadaan dengan sumber daya yang cukup
menunjukan bahwa secara umum penggunaan antibiotik dengan durasi yang lebih singkat tidak
menunjukan bahaya dan berhubungan dengan penurunan angka resistensi antimikroba. Akan
tetapi beberapa berargumen bahwa durasi terapi yang lebih lama mungkin dibutukan pada kasus
defisiensi imun, kontrol sumber yang kurang, infeksi MDR dan XDR, penetrasi jaringan yang
kurang dari obat, adanya material asing atau antibiotic awal yang tidak adekwat. Meskipun
penurunan durasi terapi antibiotic dapat secara menarik pada daerah dengan sumber daya terbatas,
namun masih tetap tidak jelas akankah ini dapat di adopsi secara aman pada tempat dimana
diagnosis mikrobiologi secara definitif merupakan tantangan tersendiri dan saat terdapat
prevalensi yang tinggi pada bakteri Gram negatif non fermentasi.

Rekomendasi untuk pencegahan infeksi nosocomial pada guideline SSC terkini


memasukan rekomendasi Grade 2B dalam penggunaan cuci mulut chlorhexidine dan
dekontaminasi digestif selektif. Pengukuran ini telah digunakan pada daerah dengan sumber daya
yang berlimpah, dan kelompok ini awalnya ditujukan untuk mendiskusikan penggunaan mereka
pada daerah dengan sumber daya terbatas. Akan tetapi belum dapat diperiksa pada daerah dengan
sumber daya terbatas, dan terdapat perbedaan yang penting pada epidemiologi infeksi nosocomial
dan kapasiatas untuk kontrol infeksi, pada sub kelompok merasakan bahwa penggunaan bukti dari
daerah dengan sumber berlimpah tidaklah sesuai. Kemanjuran dan keamanan dari intervensi ini
pada daerah dengan sumber daya terbatas maka dari itu membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Akhirnya, kedatangan teknologi baru dengan kemampuan untuk membedakan dan


mengkarakteristikan mikroorganisme tanpa memerlukan teknik kultur konvensional mungkin
menghilangkan kebutuhan akan staf dan fasilitas khusus mikrobiologi. Sekarang terdapat suatu
penelitian yang sedang berlangsung pada daerah dengan sumber daya terbatas. Akan tetapi, analisa
biaya dan manfaat yang hati-hati dibutuhkan. Metode ini dapat pada akhirnya berkontribusi secara
signifikan untuk memperbaiki managemen pasien dengan sepsis dan shok sepsis serta program
supervisi antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai