Anda di halaman 1dari 81

1

HASIL EKSAMINASI
PERKARA PUTUSAN KASUS KORUPSI
dr. H.L Sekarningrat
Oleh : BASRI MULYANI, SH

Pendahuluan
Proses pemberantasan korupsi akan efektif jika ditopang oleh proses
penegakan hukum yang adil, berpihak kepada kebenaran dan tidak memihak
koruptor. Selama institusi peradilan masih dilanda oleh mafia peradilan, maka
pemberantasan korupsi hanya akan melahirkan korupsi baru dalam proses
peradilan (judicial corruption).
Di Nusa Tenggara Barat pada Tahun 2004 mulai terkuak dibeberapa
media massa lokal maupun nasional soal telah terjadi Tindak Pidana Korupsi
pada pengadaan alat-alat Kesehatan dan obat-obat serta Penunjukkan Langung
(PL) pada tender proyek rehap puskesmas dan sejumlah Puskesmas Pembantu
di Dinas Kesehatan Kab. Lombok Barat. Rp 7,5 milyar total jumlah proyek
tersebut pada tahun 2003. Kasus ini berindikasi melibatkan Ketua Bappeda
Lombok Barat H.L Srinata, Bupati Lombok Barat Drs Iskandar dan Seketaris
Daerah Drs, HL Kusnandar Anggrat, akan tetapi akhirnya kasus ini hanya
menyeret seorang tersangka saja yakni dr. H.L Sekarningrat yang juga selaku
Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat1.
Kasus dugaan korupsi markup pengadaan alat-alat kesehatan dan obat-
obatan, pada saat kasus ini masuk ke meja Kejaksaan dan dilakukan penyidikan
yang ditemukan hanya soal fee proyek yang diberikan rekanan kepada Kepala
Dikes Lobar Sekarningrat. Sayangnya juga Kepala Kejari Mataram Soetomo, SH,
tidak membeberkan lebih jauh keterlibatan putra Kakadis Lobar “Darmawan”
pada beberapa pengadaan obat yang berindikasi keterlibatannya dalam bentuk
PL. Padahal dalam siaran pers yang pernah disampaikan Kepala Kejari
Mataram “bahwa Kejaksaan menemukan berbagai kejanggalan-kejanggalan
terhadap proyek kesehatan tersebut sehingga merugikan Negara sekitar Rp 7,5
milyar”2. Sehingga kesimpulannya jika dugaan korupsi kesehatan itu pada
manipulasi harga peralatan dan obat-obatan maka berakibatnya mark up harga
ini daerah dirugikan karena harus mengeluarkan biaya yang jauh lebih besar
ketimbang harga barang tersebut. Seharusnya Jaksa bukan hanya menyeret dr.

1
Tabloit Rakyat, edisi 32
2
Koran Tempo, 7 September 2004
3

H.L Sekarningrat pada Penerimaan Fee Proyek dari rekanan yang mengerjakan
perbaikan Pustu, Puskemesmas dan Meubelier yang totalnya kerugian negara
mencapai Rp 210,8 juta. Tetapi lebih pada apa yang sudah dijelaskan Kepala
Kejari Mataram yang harus ditelusuri. Jika hanya pada soal fee proyek saja yang
didakwaan seharusnya Kejari Mataram juga menyeret beberapa tersangka yakni
Ketua Bapedda Lobar H.L Srinata, Bupati Lombok Barat Drs Iskandar, Seketaris
Daerah Drs, HL Kusnandar Anggrat dan salah seorang anggota DPRD Lobar
yaitu R. Nune Abriadi yang juga menerima jumlah uang dari hasil fee proyek
tersebut (penggakuan dr. Sekarningrat)3.
Kasus korupsi dr. H.L Sekarningrat yang ditandatangani oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Fora Noenoehitoe, SH, Sarwoto, SH dan Agus Prasetya,
SH mulai menahan Sekarningrat sejak tanggal 22 September 2004 hingga di
limpahkan ke PN Mataram 30 Desember 2004. Dalam surat dakwaannya JPU
mendakwa Sekarningrat telah menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kesewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya, yang dilakukan dengan cara yaitu pada waktu itu dr. H.L
Sekarningrat selaku Kakadikes Lobar berdasarkan SK Gubernur NTB No. 821.2-
8/183/PEG tanggal 20 Pebruari 1998 dan berdasarkan SK Bupati KDH Tk. II
Lobar No. 824.4/10.Peg/2000 tanggal 20 Desember 2000 sebagai penanggung
jawab kegiatan/pengadaan Meubelair serta 2 Puskesmas dan 12 Puskesmas
Pembantu (Pustu) dimana dr. H.L Sekarningrat telah memberikan perintah
kepada :
1. Amnan, S.Pd. SKM selaku Ketua Panitia Penunjukan langsung
pengadaan barang dan jasa sekaligus sebagai tim supervisor bangunan
fisik yang diangkat berdasarkan SK Kakadikesmas Kab. Lobar No.
TU/296/IV/2003 tgl 10 April 2003 untuk menerima uang dari rekanan
yang akan mengerjakan proyek/kegiatan pengadaan Meubelair dan
rehabilitasi Puskesmas serta Pustu di Kab. Lobar.
2. Nur Astoyuwono selaku ketua panitia pemeriksaan dan penerimaan
barang yang diangkat berdasarkan SK Kakadikesmas Lobar No.
TU/296/IV/2003 tgl 10 April dengan kata-kata “Nanti kalau ada rekanan
yang menyerahkan uang terima saja”.

3
Lombok Post, 25 Januari 2005
4

3. Drs. IB Karang sebagai Kasubag Umum pada Dikes Lobar untuk


menerima uang fee/hadiah dari rekanan yang mengerjakan proyek milik
Dikes Lobar.

Atas dasar inilah 3 orang tersebut kemudian menerima sejumlah fee dari
beberapa rekanan diantaranya adalah yang diterima Amanan S.Pd. MM sebesar
Rp 106.224.500,- yang berasal dari Robinzandhi, AH. MM an. CV Pembangunan
Nusantara sebesar Rp 19.756.300,- yang pada bulan Oktober 2003 digunakan
untuk rehap Puskesmas Pemenang, H.M Swandi an. CV Mulya sebesar Rp
7.400.000,- bulan September 2003 untuk Rehap Puskesmas Pembantu Selengan,
Wildan, Se an. CV Karya Emas sebesar Rp 6.500.000,- bulan Oktober 2003 untuk
rehap Pustu Kopang., L. Mulyadi, SH an. CV. Delima Jaya sebesar Rp.
12.600.000 bulan Oktober 2003 untuk rehap Pustu Selelos serta an. CV.
Prameswari Jaya sebesar Rp 18.875.000,- bulan Oktober 2003 untuk pengadaan
meubelair Pustu Selelos, L. Ikbal, SH an. CV serimpi sebesar Rp 11.000.000
bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Menggale, I Gde Januarsa an. CV. Anra
Wijaya sebeasar Rp 12.400.000,- bulan Januari 2004 untuk rehap Puskesmas
Pembantu Gili Air. Ilham Wijaya an. CV. Bumi Subur sebesar Rp 10.500.000,-
bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Ancak., L. Moh. Husaini an. CV.Prima
Jaya sebesar Rp 7.193.200 bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Sukadana.
Sedangkan dari Nur Astoyuwono sejumlah uang yang diberikan rekanan
diserahkan seluruhnya kepada dr. H.L Sekarningrat sebesar Rp 93.800.000,-
dimana-mana secara berturut-turut telah menerima uang dari rekanan yaitu
Puji Raharjo an. CV. Jaya Raharja sebesar Rp 11.600.000,- pada bulan Oktober
2003 untuk rehap Pustu Gangga, Nanang Ekobudiono an. Trasna Jaya sebesar
Rp 11.200.000,- bulan Desember 2003 untuk rehap Pustu Sesait, Mandra Wijaya
an. CV. Haropah Jaya sebesar Rp 59.500.00,- bulan November 2003 untuk rehap
Puskesmas Tanjung dan Mei Imam Subagyo an. CV. Lancar Dinata jaya sebesar
Rp 11.500.000,- bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Bentek
IB. Karang telah menerima uang pula dari rekanan Supriyadi an. CV.
Mahkota Indah sebesar Rp 10.800.000,- bulan Oktober 2003 untuk rehap Pustu
Loloan. Jadi Jumlah uang keseluruhan yang diterima dr. H.L Sekarningrat dari
mereka bertiga adalah Rp 210.824.500,-
Atas perintah dr. H.L Sekarningrat, Amnan mencatatnya dalam buku
penerimaan dan penggunaan atas uang pemberian para rekanan tersebut. Dari
5

uang tersebut dr. H.L Sekarningrat menggunakan uang tersebut untuk


bebeberapa hal antara lain :
1. Biaya perjalanan dr. H.L Sekarningrat ke Jakarta sebesar Rp 12.000.000,-
2. Biaya reparasi mobil dinas Kadikes Lobar sebesar Rp 17.400.000,-
3. Biaya penandatanganan proses pantia lelang (9orang) sebesar Rp
9.000.000,-
4. Biaya pembelian oleh-oleh untuk Dirjen Anggaran Jakarta sebesar Rp
3.000.000,-
5. Biaya perjalanan Nur Astoyuwono Jakarta dan Yogya sebesar Rp
11.000.000,-
6. Untuk R. Nune Abriadi (anggota DPRD) sebesar Rp 5.000.000
7. Untuk mendukung operasional Dikesmas Lobar sebesar Rp
135.000.000,-
8. Amnan menyerahkan uang pada tanggal 8 Maret 2004 kepada dr. H.L
Sekarningrat sebesar 60.000.000,-
Total uang yang digunakan oleh dr. H.L Sekarningrat adalah Rp 254.400.000,-
dan kelebihan sekitar Rp 41.575.500,- adalah berasal dari uang pribadi dr. H.L
Sekarningrat.
Dari total uang yang dikeluarkan dan jumlah yang didapatkan terdapat
nilai nominal yang berbeda. Akan tetapi hal ini tidak pernah ditelusuri JPU dan
Hakim untuk membuktikan kebenaran yang ada pada tindak pidana kerupsi
yang terjadi. Sehingga hal ini membuktikan bahwa jaksa maupun hakim tidak
serius menanggani perkara ini.
Pada saat sidang digelarpun saksi-saksi yang diperiksa jaksa dari hasil
penyidikan tidak dihadirkabn oleh Hakim, hanya karena alasan keluar daerah
saja yang dikatakan dalam persidangan seperti Bapedda Lobar, Bupati Lobar
dan Sekda Lobar. Dari saksi ini sebenarnya bisa membongkar kasus kemana
larinya kerugian negara.
Melalui overview masalah diatas, maka anotasi ini dipandang sebagai
suatu hal yang perlu dilakukan untuk menguji secara seksama apakah proses
persidangan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa dr. H.L
Sekarningrat sudah sesuai dengan kaedah penerapan hukum yang berlaku
berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dan apakah telah mencerminkan
kepastian hukum yang berintikan keadilan masyarakat4

4
Tertuang dalam BAP, Surat Dakwaan dan Berita Acara Persidangan
6

I. Umum
a. Judul Eksaminasi :
Tindak Pidana Korupsi dr. H. L. Sekarningrat (Kepala Dinas Kesehatan
Kab. Lombok Barat-Nusa Tenggara Barat)

b. Berkas yang dilakukan Eksaminasi :


1. Surat Dakwaan No. Reg. Perkara. PDS-02/P.2.10/Fd 1/12/2004
2. Surat Tuntutan No. Reg Perkara PDS-02/P.2.10/Fd 1/12/2004
3. Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 274/PID.B/2004/PN.MTR

c. Alasan dilakukannya Eksaminasi :

Penerimaan Fee Proyek oleh dr.H.L Sekarningrat dari rekanan proyek


mengundang perhatian publik atas kasus ini, dimana Sekarningrat yang juga
kepala Kadikes Lombok Barat diduga saat itu menerima sejumlah uang dari
beberapa rekanan dalam proyek tersebut, yang totalnya mencapai Rp 210,8 juta
dari Rp 7,5 milyar total jumlah proyek kesehatan. Persidangan yang dilakukan
PN Mataram dengan memvonis Sekarningrat 5 bulan penjara dipotong masa
tahanan serta denda senilai Rp 10 juta subsidier 3 bulan kurungan sangat ringan
dari tuntutan jaksa dalam sidang sebelumnya tim penuntut umum menuntut
Sekarningrat dihukum dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan, serta
denda senilai Rp 50 juta pun menjadi tanda tanya di publik. Karena Vonis itu
dinilai terlalu ringan untuk sebuah tindak pidana khusus yang diatur dengan
Undang-undang Pemberantasan Korupsi. Kesalahan hakim menimbang atau
dakwaan jaksa yang terlalu lemah. Dan sempat ramai diberitakan media lokal
meminta sejumlah uang (suap) Rp 150 juta kepada tersangka. Alasannya agar
tersangka tidak ditahan. Tapi dalam pemberitaan selanjutnya pihak Kejari
Mataram menampik isu tersebut.4 Atas dasar inilah coba dilakukan eksaminasi
terhadap perkara tersebut apakah sudah layak hukuman yang dijatuhkan
Hakim ataukah ada permainan hukum dibalik kasus ini

d. Pertimbangan pembentukan Majelis Eksaminasi

1. Bahwa, untuk melakukan proses eksaminasi dan menilai secara luas


terhadap hal-hal yang dinilai saling berkaitan dalam proses persidangan
7

perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa dr. H.L Sekarningrat


maka dibentuklah majelis eksaminasi
2. Bahwa, untuk menjaga hasil pengujian dan penilai (putusan) yang
dilakukan oleh majelis Eksaminasi tersebut dapat dipercaya dan
dipertanggungjawabkan, maka susunan anggota majelis eksaminasi
tersebut terdiri dari orang-orang yang memiliki perhatian yang besar
terhadap hukum dan penegakan hukum serta yang memiliki basis
keilmuan dibidang ilmu hukum atau berpengalaman dalam praktek
penegakan hukum.

e. Tujuan Eksaminasi

1. Mengetahui kelemahan-kelemahan dari produk hukum yang dihasilkan


dalam kasus tersebut diantaranya sebagaimana tersebut diatas serta
bagaiamana proses penyidikan dan persidangan yang dilakukan apakah
telah sesuai dengan substansi atau materi dari putusan yang dihasilkan dan
apakah telah sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum pidana
2. Melakukan analisis terhadap proses persidangan perkara tindak pidana
korupsi dengan terdakwa dr. H.L Sekarningrat guna melihat sampai
sejauhmana pertimbangan hukum dimaksud sesuai ataukah bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, baik dalam tataran hukum
materiil maupun hukum formil dan juga dengan legal justice, moral justice
serta sosial justice.
3. mendorong dan memberdayakan partisipasi public untuk turut terlibat
secara lebih jauh didalam proses analisa dan mempersoalkan proses
peradilan sesuatu perkara dan putusan atas perkara ini yang dinilai
controversial, mencerminkan tidak adanya kepastian hokum dan melukai
rasa keadilan rakyat.
4. Mendorong dan mensosialisasikan lembaga dan hasil eksaminasi ke publik,
agar publik mengetahui hasil yang didapat dari analisis hukum kasus
tersebut dan sebagai kontrol pada lembaga peradilan agar dapat
meminimalisir proses ketiadakadilan serta membiasakan public melakukan
penilaian dan pengujian terhadap suatu proses peradilan.
8

f. Majelis Eksaminasi

Adapun majelis eksaminasi tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu,


Akademisi Universitas Mataram dan Pengacara, yang diharapkan mempunyai
posisi obyektif, tidak memihak dengan kasus yang akan dieksaminasi dan tidak
mempunyai kepentingan atau hubungan atau keterkaitan langsung atau tidak
langusng dengan kasus yang akan dieksaminasi, yaitu :
1. Dr. Anang Husni, SH (Akademisi)
2. Anwar, SH (Praktisi)
3. Lewis Gorindulu, SH (Akademisi)
4. Basri Mulyani, SH (Kordinator)

II. Bagian Pertama

a. Posisi Kasus
Korupsi yang diawali dari dugaan mark up pengadaan alat-alat
kesehatan dan obat-obatan dilingkungan instansi yang dipimpinnya senilai Rp
7,5 milyar pada tahun 2003, pada perkembangannya hasil penyidikan kasus ini
berubah menjadi penerimaan fee proyek atas nama Kepala Kadikes Lombok
Barat dr H.L Sekarningrat
Lewat sebuah surat perintah penyidikan No. PRINT-
03/P.2.10/Fd.1/09/2004, Kejaksaan Negeri Mataram mulai melakukan
penyidikan atas tersangka H.L Sekarningrat berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi yang dilakukan dalam kasus menerima hadiah yang ada kaitannya
dengan pekerjaan Rehabilitasi Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan
Pengadaan Meubelair T.A 2003.
Tindakan KKN yang dilakukan Sekarningrat berupa menerima sejumlah
uang dari beberapa rekanan dalam proyek itu, yang totalnya mencapai Rp 210,8
juta. Ihwal saling memberi itu berawal dari proyek kesehatan senilai Rp 7,5
miliar di Dinas Kesehatan Lombok Barat tahun 2003. Dari delapan paket yang
harus dikerjakan, ternyata ada satu paket yakni peningkatan sarana kesehatan
puskesmas dan puskesmas pembantu yang terpaksa dilakukan dengan proses
penunjukan langsung (PL). Proses itulah yang kemudian disoroti beraroma
KKN.
9

Sekarningrat diduga menerima uang dari sejumlah rekanan pemenang


PL, misalnya Rp 19,75 juta dari CV Pembangunan Nusantara yang ditunjuk
merehab Puskesmas Pemenang, Rp 7,4 juta dari CV Mulya yang ditunjuk
merehab Puskesmas Pembantu (Pustu) Selengen, Rp 6,5 juta dari CV Karya
Emas yang ditunjuk merehab Puskesmas Dopang, Rp 12,6 juta dari CV Delima
Jaya yang ditunjuk merehab Pustu Selelos, Rp 18,8 juta dari CV Prameswari
Jaya yang ditunjuk mengadakan meubelair Pustu Selelos, Rp 11 juta dari CV
Serimpi yang ditunjuk merehab Pustu Menggale, Rp 12,4 juta dari Anra Wijaya
yang ditunjuk merehab Pustu Gili Air, Rp 10,5 juta dari CV Bumi Subur yang
ditunjuk merehab Pustu Ancak, Rp 7,19 juta dari CV Prima Jaya yang ditunjuk
merehab Pustu Sukadana, Rp 11,6 juta dari CV Jaya Raharja yang ditunjuk
merehab Pustu Gangga, Rp 11,2 juta dari Trasna Jaya yang ditunjuk merehab
Pustu Sesait, Rp 59,5 juta dari CV Haropah Jaya yang ditunjuk merehab
Puskesmas Tanjung, Rp 11,5 juta dari CV Lancar Dinata Jaya yang ditunjuk
merehab Pustu Bentek, dan Rp 10,8 juta dari CV Mahkota Indah yang ditunjuk
merehab Pustu Loloan. Pemberian uang itu dilakukan para rekanan dengan
maksud agar Sekarningrat selaku Kadikes Lobar dapat memuluskan mereka
mendapat proyek rehabilitasi Puskesmas dan Pustu tersebut.
Pemeriksaan terhadap saksi yang dilakukan sejak tanggal 8 September
2005 hingga tanggal 28 September 2004 dengan keterangan 16 saksi dan 16
dokumen surat sebagai alat bukti, maka sangat jelas dr. H. L. Sekarningrat
selaku Kepala Dinas Kesehatan Lombok Barat telah menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya hadiah atau janji itu
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya atau menurut pikiran yang memberi hadiah atau janji itu ada
hubungannya dengan jabatannya demikian Jaksa Penyidik Fora Noenoehitoe,
SH mengungkapkan kasus tersebut. sehingga kasus tersebut dilimpahkan
kepengandilan pada tanggal 15 Desember 2004 dan mulai disidangkan pada
tanggal 22 Desember 2005 hingga 17 Pebruari 2005. Atas perbuatannya ini
Sekarningrat dihukum 5 bulan penjara dipotong masa tahanan serta denda
senilai Rp 10 juta subsidier 3 bulan kurungan sedangkan tuntutan jaksa dalam
sidang sebelumnya tim penuntut umum menuntut Sekarningrat dihukum
dengan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan, serta denda senilai Rp 50 juta.
Jauh lebih tinggi ketimbang vonis hakim.
10

Atas dasar hal inilah yang melatarbelakangi kasus dr. H.L. Sekanrningrat
dieksamanisai guna memunculkkan anotasi yang tepat atas putusan hakim PN
Mataram terhadap vonis yang diberkan kepada dr. H.L Sekarningrat, yang
dirasa masyarakat sangat jauh dari rasa keadilan.

b. Fakta Dalam Peradilan

dr. H.L Sekarningrat yang didakwa oleh JPU dengan pasal 11 UU No. 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 atas jabatannya
yang diemban telah menerima sejumlah hadiah sebesar Rp 210.824.500,- yang
dilakukan dengan cara memerintahkan saksi Amnan, Spd. SKM, Nur
Astoyuwono, Sip dan Saksi I.B Karang dari rekanan seperti penjelasan diatas.
Surat perintah penyidikan No. PRINT-03/P.2.10/Fd.1/09/2004, Kejaksaan
Negeri Mataram mulai melakukan penyidikan hanya pada H.L Sekarningrat
yang dijadikan tersangka sedangkan yang lainnya tidak dikenakan status
tersangka, padahal jaksa bisa memberikan rekanan itu dengan pasal 5 dalam
bentuk turut melakukan.
Kasus yang muasalnya adalah korupsi yang terjadi pada proyek kesehatan
senilai Rp 7,5 milyar tetapi dalam perjalanan penyidikannya hanya difokuskan
pada fee proyek senilai Rp 210,8 juta. Saat kasus ini muncul ke publik pada
awalnya penyelidikan yang dilakukan adalah pada korupsi Rencana Anggaran
Bangunan 7,5 milyar. Sehingga hal ini dapat dikatakan penyidik tidak serius
untuk melakukan penyidikan yang hanya memfokuskan penyidikan pada
penerimaan sejumlah uang (fee) dari beberapa rekanan dalam proyek itu,
walaupun semua saksi yang dihadirkan dalam penyidikan jaksa fokus pada fee
proyek tetapi mestinya jaksa bisa mengembangkan kasus tersebut. Contohnya
Jaksa bisa meminta data audit pelaksanaan proyek dari BPKP atau dari
Bawasda dan mestinya juga Jaksa meninjau langsung hasil dari proyek tersebut
dengan konsultan ahli yang kejaksaan miliki.
Dalam Berkas Acara Pemeriksaan jaksa Fathur Rahman, SH yang memeriksa
saksi Mandra Wijaya yang juga selaku pemborong. Pada saat mengerjakan
rehab Puskesmas Tanjung yang tidak melalui Panitia Proyek di Dikes Lobar.
Proyek tersebut dikerjakan hanya 15 hari dari jadwalnya yang sudah molor
dengan total kontrak Rp 674.735.000,-. Andendum proyekpun tidak dibuat,
padahal proyek tersebut adalah proyek bencana alam. Tetapi atas dasar bencana
11

alam itu akhirnya kelengkapan administrasi yang dibuat oleh Dikes Lobar
adalah telah selesai 100 %. Kalau dilihat dari sini mestinya jaksa penyidik bisa
menelusuri layak atau tidak layaknya bangunan Puskesmas Tanjung dari
jumlah proyek. Terungkap pula di BAP bahwa saksi tidak memberikan
fee/hadiah tetapi uang toleransi sebesar Rp 59.500.000,- dan pengerjaan
Puskesmas maupun Puskesmas Pembantu di 4 lainnya kondisinya hampir sama
tetapi jaksa hanya tetap fokus pada fee proyek saja. Semua CV yang
mendapatkan proyek rehap Puskesmas di Lombok Barat tanpa tender
pengadaan barang dan jasa serta penyelesaian proyek kurang dari waktu yang
diperhitungankan secara akal sehat, pemberian fee dilakukan karena proses
dari hasil loby yang dilakukan masing-masing CV langsung ke dr. H.L.
Sekarningrat karena hal ini dianggap sebagai balas jasa atas telah memberi
proyek. Mestinya apa yang telah diterangkan diatas dilakukan oleh jaksa
penyidik untuk mengukur seberapa besar kerugian negara atas proyek itu
semuanya.
Keterangan yang paling mengejutkan adalah keterangan tersangka yang
menyatakan bahwa Bupati Lobar Drs. L. Iskadar menerima uang dari hasil fee
proyek sebesar Rp 100 juta dan Sekda Lobar sebesar Rp 20 juta yang tertuang
dalam Berita Acara Pemeriksaan. Hal ini tidak ditelusuri juga kebenarannya
oleh Jaksa, padahal saat memeriksa Bupati Iskandar jaksa tidak melakukan
prosedur hukum yaitu meminta ijin kepada Gubernur untuk memeriksanya
tetapi terobos langsung dan Iskadar mengelak dikatakan menerma uang dan
dia anggap ini sebagai fitnah atau pencemaran nama baik. Akan tetapi apa yang
diakui tersangka dalam BAPnya tidak jaksa jadikan acuan untuk memeriksa
lebih jauh apa yang terungkap dalam penyidikan sampai pada persidangan
Bupati Lobar tidak dipanggil untuk dijadikan saksi hanya dengan alasan keluar
daerah.
Dari keterangan diatas sebenarnya banyak kejanggalan yang kita jumpai
saat penyidikkan dilakukan, akan tetapi karena ketidak seriusan jaksa dalam
penyidikkannya maka tidak ada kerugian negara yang bisa diselidiki maupun
ditemukan dari korupsi tersebut. Korupsi yang ditemukan hanya pada kisaran
terjadi pemberian fee yang diberikan beberapa rekanan kepada tersangka
setelah itupun pengakuan tersangka membagi fee tersebut kepada bupati
Iskandar dan Sekda Drs HL. Kusnandar Anggarat, sedangkan sisanya
dikembalikan kepada bagian keuangan Dikes Lobar.
12

Pada tanggal 23 Desember 2004 kasus ini mulai disidangkan di PN Mataram


dengan 5 orang yakni I Ketut Gede, SH, H. Yuli Usman, SH dan Dewa Putu
Wenten, SH, I Nengah Sutama, SH dan I Dewa Made Alit Darma, SH dengan 3
orang JPU Fora Noenoehitoe, SH, Sarwoto, SH dan Agus Prasetya, SH.
Persidangan yang diawali dengan pembacaan surat dakwaan setebal 3 halaman
oleh JPU

1. Surat Dakwaan
dr. H.L Sekarningratdidakwa JPU melakukan tindak pidana korupsi dengan
menerima sejumlah fee proyek dari rekanan yang dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kesewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya, yang dilakukan dengan cara yaitu pada waktu itu dr. H.L
Sekarningrat selaku Kakadikes Lobar berdasarkan SK Gubernur NTB No. 821.2-
8/183/PEG tanggal 20 Pebruari 1998 dan berdasarkan SK Bupati KDH Tk. II
Lobar No. 824.4/10.Peg/2000 tanggal 20 Desember 2000 sebagai penanggung
jawab kegiatan/pengadaan Meubelair serta 2 Puskesmas dan 12 Puskesmas
Pembantu (Pustu) dimana dr. H.L Sekarningrat telah memberikan perintah
kepada :
4. Amnan, S.Pd. SKM selaku Ketua Panitia Penunjukan langsung
pengadaan barang dan jasa sekaligus sebagai tim supervisor bangunan
fisik yang diangkat berdasarkan SK Kakadikesmas Kab. Lobar No.
TU/296/IV/2003 tgl 10 April 2003 untuk menerima uang dari rekanan
yang akan mengerjakan proyek/kegiatan pengadaan Meubelair dan
rehabilitasi Puskesmas serta Pustu di Kab. Lobar.
5. Nur Astoyuwono selaku ketua panitia pemeriksaan dan penerimaan
barang yang diangkat berdasarkan SK Kakadikesmas Lobar No.
TU/296/IV/2003 tgl 10 April dengan kata-kata “Nanti kalau ada rekanan
yang menyerahkan uang terima saja”.
6. Drs. IB Karang sebagai Kasubag Umum pada Dikes Lobar untuk
menerima uang fee/hadiah dari rekanan yang mengerjakan proyek milik
Dikes Lobar.
13

Atas dasar inilah 3 orang tersebut kemudian menerima sejumlah fee dari
beberapa rekanan diantaranya adalah yang diterima Amanan S.Pd. MM sebesar
Rp 106.224.500,- yang berasal dari Robinzandhi, AH. MM an. CV Pembangunan
Nusantara sebesar Rp 19.756.300,- yang pada bulan Oktober 2003 digunakan
untuk rehap Puskesmas Pemenang, H.M Swandi an. CV Mulya sebesar Rp
7.400.000,- bulan September 2003 untuk Rehap Puskesmas Pembantu Selengan,
Wildan, Se an. CV Karya Emas sebesar Rp 6.500.000,- bulan Oktober 2003 untuk
rehap Pustu Kopang., L. Mulyadi, SH an. CV. Delima Jaya sebesar Rp.
12.600.000 bulan Oktober 2003 untuk rehap Pustu Selelos serta an. CV.
Prameswari Jaya sebesar Rp 18.875.000,- bulan Oktober 2003 untuk pengadaan
meubelair Pustu Selelos, L. Ikbal, SH an. CV serimpi sebesar Rp 11.000.000
bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Menggale, I Gde Januarsa an. CV. Anra
Wijaya sebeasar Rp 12.400.000,- bulan Januari 2004 untuk rehap Puskesmas
Pembantu Gili Air. Ilham Wijaya an. CV. Bumi Subur sebesar Rp 10.500.000,-
bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Ancak., L. Moh. Husaini an. CV.Prima
Jaya sebesar Rp 7.193.200 bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Sukadana.
Sedangkan dari Nur Astoyuwono sejumlah uang yang diberikan rekanan
diserahkan seluruhnya kepada dr. H.L Sekarningrat sebesar Rp 93.800.000,-
dimana-mana secara berturut-turut telah menerima uang dari rekanan yaitu
Puji Raharjo an. CV. Jaya Raharja sebesar Rp 11.600.000,- pada bulan Oktober
2003 untuk rehap Pustu Gangga, Nanang Ekobudiono an. Trasna Jaya sebesar
Rp 11.200.000,- bulan Desember 2003 untuk rehap Pustu Sesait, Mandra Wijaya
an. CV. Haropah Jaya sebesar Rp 59.500.00,- bulan November 2003 untuk rehap
Puskesmas Tanjung dan Mei Imam Subagyo an. CV. Lancar Dinata jaya sebesar
Rp 11.500.000,- bulan Januari 2004 untuk rehap Pustu Bentek
IB. Karang telah menerima uang pula dari rekanan Supriyadi an. CV.
Mahkota Indah sebesar Rp 10.800.000,- bulan Oktober 2003 untuk rehap Pustu
Loloan. Jadi Jumlah uang keseluruhan yang diterima dr. H.L Sekarningrat dari
mereka bertiga adalah Rp 210.824.500,-
Atas perintah dr. H.L Sekarningrat, Amnan mencatatnya dalam buku
penerimaan dan penggunaan atas uang pemberian para rekanan tersebut. Dari
uang tersebut dr. H.L Sekarningrat menggunakan uang tersebut untuk
bebeberapa hal antara lain :
1. Biaya perjalanan dr. H.L Sekarningrat ke Jakarta sebesar Rp 12.000.000,-
2. Biaya reparasi mobil dinas Kadikes Lobar sebesar Rp 17.400.000,-
14

3. Biaya penandatanganan proses pantia lelang (9orang) sebesar Rp


9.000.000,-
4. Biaya pembelian oleh-oleh untuk Dirjen Anggaran Jakarta sebesar Rp
3.000.000,-
5. Biaya perjalanan Nur Astoyuwono Jakarta dan Yogya sebesar Rp
11.000.000,-
6. Untuk R. Nune Abriadi (anggota DPRD) sebesar Rp 5.000.000
7. Untuk mendukung operasional Dikesmas Lobar sebesar Rp 135.000.000,-
8. Amnan menyerahkan uang pada tanggal 8 Maret 2004 kepada dr. H.L
Sekarningrat sebesar 60.000.000,-
Total uang yang digunakan oleh dr. H.L Sekarningrat adalah Rp
254.400.000,- dan kelebihan sekitar Rp 41.575.500,- adalah berasal dari uang
pribadi.
Adapun para rekanan mau memberikan uang kepada terdakwa selaku
Kakadikes Lobar dengan tujuan untuk memuluskan para rekanan mendapatkan
proyek rehabilitasi Puskesmas dan Pustu serta pengadaan meubelair tahun 2003
pada Dinas Kesehatan Masyarakat Lobar dan terdakwa dengan
kewenangannya yang diberikan selaku Kakadikes Lobar yaitu
bertanggungjwab secara administrasi baik administrasi keuangan maupun fisik
proyek telah menunjuk perusahaan-perusahaan dari para rekanan yang
memberikan uang/fee kepada terdakwa untuk mengerjakan proyek milik Dikes
Lobar tahun 2003. Akibat perbuatan ia terdakwa, Negara dalam hal ini Pemda
Lobar menderita kerugian sebesar Rp 210.824.500,- atau setidak-tidaknya sekitar
sejumlah itu.
Atas fakta yang tersebut diatas makaoleh JPU, JPU Fora Noenoehitoe,
SH, Sarwoto, SH dan Agus Prasetya, Shdidakwa dengan dakwaan pidana
dalam pasal 11 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (tanpa subsidier atau primair dakwaannya).

2. Putusan Pengadilan Negeri Mataram (Judex Factie)

Pengadilan Negeri Mataram (Putusan No. 274/PID.B/2004/PN.MTR


tanggal 17 Pebruari 2005) yang dipimpin oleh I Ketut Gede, SH, dengan
anggota Majelis hakim H. Yuli Usman, SH dan Dewa Putu Wenten, SH, I
15

Nengah Sutama, SH dan I Dewa Made Alit Darma, SH., menyatakan dr. H.L
Sekarningrat dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima fee dari para rekanan dan
menyatakan bahwa dr. H.L Sekarningrat selaku pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya.
Dan majelis hakim dalam amar putusannya menjatuhkan vonis kepada
dr.H.L Sekarningrat yang berbunyi yaitu
1. Menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5
bulan dan denda sebesar Rp 10 juta subsidair 3 bulan kurungan.
2. menetapkan lama masa tahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya terhadap hukuman yang dijatuhkan.
3. memerintahkan agar tahanan segera keluar dari tahanan.
4. menetapkan barang bukti berupa :
 Buku catatan penerimaan dan penggunaan fee
 Kwitansi pengembalian fee dari saksi Amnan kepada tersangka
dr. H.L Sekarningrat tanggal 8 Meret 2004
 15 Dokumen Penunjukkan Langsung ke sejumlah kontraktor
rekanan proyek.
5. Membebani terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5000,-

III. Bagian Kedua / Analisis


A. Surat Dakwaan
A.1 Materi/Substansi Surat Dakwaan

Jika dilihat surat dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
kasus dr. H.L Sekarningrat, dapat dikatakan kabur (obscuur libel), karena tidak
sesuai dengan pasal 143 ayat 2 (b) KUHAP yang menyebutkan “Bahwa surat
dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan”. Atas dasar kaburnya/tidak jelasnya surat dakwaan,
maka dapat dikatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak memberikan
konstruksi dakwaan lengkap dan jelas. Jaksa Penuntut Umum perlu menyadari
bahwa surat dakwaan merupakan mahkota baginya, bukan sebaliknya
16

menempati surat dakwaan hanya dijadikan landasan materiil semata tanpa


melihat substansi peuntutan yang seharusnya dilakukan.
Jaksa Penuntut Umum semestinya pula memaksimalkan kualitas dan
keakuratan surat dakwaan karena Jaksa Penuntut Umum diberikan
kewenangan untuk menggabungkan perkara (pasal 141 KUHAP) dan
pemisahan perkara (pasal 142 KUHAP). Dimana Pasal 142 KUHAP
menyebutkan dalam hal penutut umum menerima 1 (satu) berkas perkara yang
memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka
yang tak termasuk dalam ketentuan pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah.
Sehingga maksud dan tujuan Jaksa Penuntut Umum tersebut adalah
sangat jelas, hanya mengginginkan terdakwa dr. H.L Sekarningrat saja. Ini patut
diduga apa yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum adalah setengah-setengah.
Kalau memang Jaksa Penuntut umum mau sungguh-sungguh memberantas
Tindak Pidana Korupsi semua orang yang terlibat dan siapa pun orangnya dan
apapun kedudukannya harus ditindak dan diperlakukan sama di muka
hukum. Seperti tiga orang yang menerima fee dari rekanan tersebut yang
kemudian diserahkan kepada dr. H.L Sekarningrat yaitu Amnan, SPd, SKM,
Nur Astoyuwono dan Drs. I.B Karang dan 13 rekanan yang mengerjakan
proyek rehabilitasi puskesmas dan puskesmas pembantu serta meubelair yang
memberikan fee kepada tiga orang tersebut harus dijerat pula.
Sebab dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum telah teruraikan
perbuatan terdakwa dalam hal menerima hadiah berupa uang adalah tidak
sendiri melainkan ada pihak lain yang membantu yaitu Amnan, SPd, SKM, Nur
Astoyuwono dan Drs. I.B Karang.
Jadi jelas peran dari 3 (tiga) orang tersebut, sebab tanpa adanya 3 (tiga)
orang tersebut maka perbuatan terdakwa tidak akan terjadi. Dalam hal ini ada
pihak yang menyuruh dan pihak yang disuruh atau ada pihak yang membantu
dan pihak yang dibantu. Dalam Hukum Pidana Indonesia dikenal adanya :
- Orang yang melakukan disebut pleger. Peran pleger adalah sebagai
pelaku secara langsung dalam peristiwa pidana.
- Orang yang menyuruh melakukan disebut doenpleger yaitu orang
yang mempunyai inisiatif atau niat untuk melakukan tindak pidana
tetapi tidak dilakukan sendiri secara langsung tetapi dengan jalan
menyuruh orang lain
17

- Orang yang disuruh melakukan atau pleger.


- Orang yang turut melakukan atau medepleger
- Orang yang membantu melakukan medeplichtiq
- Orang yang membujuk melakukan uitlokking
Semua ini merupakan perbuatan yang dapat dihukum menurut Hukum Pidana
Indonesia. Ada beberapa syarat untut turut serta melakukan (medepleger), yaitu :
1. Ada kerjasama secara sadar (bewuste samenwerking), adanya kerjasama ini
tidak berarti ada pemufakatan terlebih dahulu, cukup apabila ada
pengertian antara peserta pada saat perbuatan dilakukan dengan tujuan
mencapai hasil yang sama. Yang penting adalah harus ada kesengajaan.
a. Untuk bekerjasama (yang sempurna dan erat), dan
b. Ditujukan kepada hal yang dilarang oleh Undang-undang
2. Ada pelaksana bersama secara fisik, berarti adanya perbuatan yang
langsung dapat menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan
Memperhatikan hal tersebut diatas yang dihubungkan dengan Surat
Dakwaan yang dibuat oleh JPU yang telah menguraikan terjadinya tindak
pidana yang dilakukan oleh dr. H.L Sekarningrat dimana terlaksananya
disebabkan karena ada pihak-pihak yang mengambil peran-peran sebagai orang
yang masuk dalam pengertian turut serta (medepleger) dalam melakukan tindak
pidana atau penyertaan (deelneming).
Kalau JPU lebih cermat dan teliti didalam mempersiapkan Surat
Dakwaan berdasarkan hasil penyidikan yang sungguh-sungguh maka sangat
memungkinkan JPU untuk menggembangkan dakwaannya dengan jalan
melakukan penggabungan perkara antara terdakwa dr. H.L Sekarningrat
dengan ketiga orang yang membantunya. Tetapi mengapa justru JPU tidak
melakukan pengabungan perkara tetapi hanya terfokus pada dr. H.L
Sekarningrat sebagai terdakwa tunggal.

A.2 Pelaku Aktif dan Pasif


Dalam dakwaan JPU diuraikan ada pihak yang memberi uang dan ada
pihak yang menerima uang. Tujuan menerima dan memberi uang yang ada
kaitannya dengan proyek dan kegaiatan yang akhirnya meyebabkan kerugian
Keuangan Negara sejumlah Rp 210.824.500,-. Didalam pasal 13 UU No 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengancam terhadap orang yang
18

melakukan penyuapan atau penyogokkan dengan jalan memberi janji atau


hadiah (active omkoping). Sehingga surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum pun
menjelaskan peran terdakwa dan para saksi sama-sama potensi untuk
merugikan Keuangan Negara hanya ada syarat yang membedakannya.
Para rekanan yang dalam dakwaaan diposisikan sebagai saksi sekaligus
dalam uraian surat dakwaan terposisikan sebagai pihak yang mempunyai peran
aktif terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Karena tanpa
kemauan dan keinginan kedua belah pihak maka proses penyuapan tidak akan
terjadi. Benarkah dalam hal ini hanya dr. H.L Sekarningrat merupakan satu-
satunya pelaku tindak pidana dan dapatkan dibenarkan penyuapan dan
peyogokan oleh para rekanan dalam proyek Rehabilitasi Puskesmas dan Pustu
dan pengadaan Meubelier di Kabupaten Lombok Barat.
Kecermatan dakwaan Jaksa Penuntut Umum seharusnya menguraikan
dalam surat dakwaan apa yang telah dilakukan, dikerjakan atau ditindakkan
oleh masing-masing terdakwa/saksi dan bagaimana hubungan atau keterkaitan
para terdakwa/saksi dalam tindak pidana korupsi dengan cara, “menyalahkan
kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana-sarana yang ada padanya”
secara cermat mengenai kebersamaan tentang apa yang dikerjakan oleh
terdakwa dan yang membantu terdakwa dalam menanggani proyek tersebut.
Bahwa syarat dakwaan harus lengkap berarti harus memuat unsur
tindak pidana yang didakwaan dan harus tertulis dalam uraian fakta kejadian
yang dituangkan dalam surat dakwaan. Tetapi Jaksa Penuntut Umum tidak ada
upaya untuk menguraikan dan menjelaskan hubungan kedinasan dalam hal
penyaluran keuangan dari rekanan sampai pada tanggung jawab terdakwa
dalam penyerahan proyek.

A.3 Bentuk Surat Dakwaan


Dalam surat dakwaannya Jaksa Penuntut Umum dr. Sekarningrat yang
didakwa dengan dakwaan tunggal yakni dengan pasal 11 jo. Pasal 18 ayat (1)
huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dimana dakwaan tunggal
adalah dakwaan yang hanya dikenakan kepada seorang atas satu perbuatan
tindak pidana. Kalau dikaji dari hasil penyidikan dr. H.L Sekarningrat atas
perbuatan tindak pidananya, seharusnya Jaksa Penuntut Umum menerapkan
dakwaan alternatif, karena terdapat beberapa perbuatan pidana. Seperti yang
19

telah dijelaskan diatas. Pada pasal 142 KUHAP jika Penuntut Umum menerima
beberapa orang tersangka yang telah terurai oleh terdakwa didalam melakukan
atau perbuatan termasuk dalam hal menerima hadiah berupa uang adalah tidak
sendiri melainkan ada pihak yang membantunya.yakni 3 (tiga) orang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sudah seharusnya dakwaan
alternatif yang dapat diterapkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Karena dakwaan
alternatif merupakan pengecualian dari dakwaan yang lainnya. Dalam artian,
jika salah satu dakwaan sudah terbukti maka dakwaan yang lain tidak perlu
dibuktikan lagi.
Dakwaan alternatif yang harus digunakan Jaksa Penuntut Umum adalah pada
dakwaan ke 1 (satu) atau Primair dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20
tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 milyar”. Pasal ini
digunakan karena ada perbuatan “melawan hukum” Yang dimaksud dengan
“secara melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum
dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila
perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan
atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa
“merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah
dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Sedangkan pada dakwaan ke 2 (dua) atau Subsidairnya Jaksa Penuntut
Umum dapat menerapkan pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yaitu dipidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp
250 juta, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
20

diberikan karena kekusasaan atau kewenanggan yang berhubungan yang


berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Dan pada setiap dakwaan primair atau subsidair pula Jaksa penuntut
Umum mesti mencantumkan pasal penyertaan yakni sebagai konsekuensi atas
keterlibatan 3 (tiga) orang tersebut yang memberikan dr. H.L Sekarningrat
uang hasil fee dari 13 rekanan. Dalam hal ini pasal 55 ayat 1 ke 1 yang paling
tepat diterapkan, karena mereka yang memberikan atau menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat agar orang tersebut melakukan perbuatannya. Pasal
ini digunakan karena terdakwa mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dalam melakukan suatu atau beberapa tindak pidana, dimana bersama-sama
dengan Amnan, SPd, SKM, Nur Astoyuwono dan Drs. I.B Karang. Kaiatan yang
erat bertiga antara Amnan, SPd, SKM, Nur Astoyuwono dan Drs. I.B Karang
dengan terdakwa dr. H.L Sekarningrat adalah turun melakukan. Sedemikian
eratnya hubungan ketiga saksi dan terdakwa, sehingga jika seandainya peran
salah satu saksi tersebut tidak ada, maka perbuatan itu tentunya tidak akan
mengarah kepada perbuatan melawan hukum atau dengan kata lain secara
fakta, tindak pidana tersebut tidak dilakukan oleh seorang pelaku saja, akan
tetapi dilakukan oleh lebih dari satu pelaku.

B. Surat Tuntutan
Sebelum masuk ke isi Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ada baiknya
dilihat bersama-sama fakta-fakta di persidangan dahulu. Dimana ada keganjilan
dalam hal ini yaitu keterangan saksi yang hanya dibacakan disidang pengadilan
hasil dari penyidikan tanpa menghadirkan saksi tersebut di muka meja
persidangan. Dalam hukum pidana Indonesia keterangan seorang saksi baru
dianggap mempunyai kekuatan hukum apabila disampaikan didepan
persidangan dan dilakukan dibawah sumpah. Akan tetapi justru pada
keterangan saksi kasus korupsi dr. Sekarningrat didepan persidangan hakim
hanya menawarkan kepada Jaksa Penuntut Umum maupun Penasehat Hukum
terdakwa untuk membaca keterangan saksi yang telah dibuat Jaksa Penyidik
karena sebelumnya telah disumpah pada saat penyidikan.
Dimana saksi Bupati Lombok Barat Iskandar, Ketua Bappeda Lobar H.L
Srinata dan Sekda Lobar Kusnandar Anggrat yang diajukan oleh Jaksa
21

Penuntut Umum dalam dakwaannya juga tidak dihadirkan oleh jaksa penuntut
umum di depan persidangan dengan alasan telah dipanggil dengan patut, akan
tetapi alasan keluar daerahlah yang diutamakan jaksa sebelum melaksanakan
upaya paksa terlebih dahulu. Jaksa menyatakan keterangan ketiga saksi tersebut
”telah disumpah pada proses BAP di kejaksaan”, juga sangat meragukan dan
terkesan kurang memiliki dasar hukum yang kuat, karena dalam kasus korupsi
yang demikian seharusnya ketiga saksi wajib memenuhi panggilan demi
penegakan hukum, artinya jaksa sangat lemah melaksanakan wewenangnya
atau memang tidak melaksanakan kewenangannnya sebagai penuntut umum.
Karena dengan tidak kuatnya pembuktian yang dilakukan Hakim untuk
mendengarkan keterangan saksi dari terdakwa yang mengetahui kemana
larinya uang yang Rp 120 juta yang diterima ketiga saksi tersebut, tentu
berdampak pada hasil tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan putusan Hakim

B. 1 Pertimbangan Tuntutan
Dasar tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus korupsi dr. H.L
Sekarningrat ini sangat meragukan sekali, karena dari isi surat dakwaan
maupun proses persidangan sudah sangat jelas menggatakan bahwa terdakwa
bersalah karena dibantu oleh 3 orang yakni saksi Amnan, Nur Astoyuwono dan
I.B Karang serta atas pemberian 13 rekanan sehingga modus korupsi ini terjadi.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan atau dari keterangan-
keterangan baik itu keterangan terdakwa maupun keterangan saksi-saksi yang
ada sudah sangat menyakinkan bahwa dr. H.L Sekarningrat bersalah. Dan
dalam tuntuntan pidana, Jaksa mengatakan bahwa yang memberatkan
terdakwa adalah “mengetahui stafnya melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan ketentuan Undang-Undang tapi tidak menegurnya”. Hal ini yang
menjadi pertanyaan, karena sebelumnya sudah sangat jelas diterangkan.
Sedangkan yang meringatkan terdakwa yaitu sikap sopan dalam persidangan
terdakwa, dan terdakwa merasa bersalah dalam perbuatannya serta terdakwa
belum pernah dihukum merupakan pertimbangan yang keliru dan tidak
beralasan dari jaksa. Karena dalam fakta persidangan dapat dilihat dengan jelas
bahwa jaksa selalu mengajukan pertanyaan yang mejerat terdakwa saja tanpa
mengajukan pertanyaan yang menjerat ke saksi yang lain. Tentunya hal inilah
yang harus menjadi pertimbangan bersama tentang ketidakseriusan jaksa dalam
menjerat pelaku yang lain.
22

B.2 Dasar Tuntutan


Menyatakan terdakwa dr. H.L Sekarningrat telah terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam pasal 11 jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU No. 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga padanya dijatuhkan pidana
penjara selama 1 tahun 6 bulan, dikurangi selama dalam tahanan sementara
dengan perintah tetap ditahan dan membayar denda sebesar Rp 50.000.000,-
subsidiair 5 bulan kurungan.
Menurut Hukum Pidana Indonesia tuntutan yang dijatuhkan kepada dr.
Sekarningrat oleh Jaksa Penuntut Umum adalah masuk dalam dakwaan
alternatif bukan dakwaan tunggal. Akan tetapi ada hal yang berbeda pada sisi
tuntutan jaksa ini, karena sebelumnya jaksa menerapkan dakwaan tunggal di
surat dakwaannya. Tetapi mengapa di tuntutan berbeda apa yang dilakukan
jaksa.
Fakta persidanggan yang menyatakan dr. H.L Sekarningrat bersalah
seharusnya dijadikan acuan pula oleh Jaksa dalam menuntut terdakwa dengan
batas yang maksimal yaitu 50 % dari jumlah hukuman yang harus diterima
terdakwa yaitu 1 tahun – 5 tahun penjara dalam UU, bukan hanya 1 tahun 6
bulan yang digunakan untuk menuntut.
Hal ini semakin menegaskan, bahwa dalam pelaksanaan proses sidang
ini jaksa tidak serius dalam menuntaskan kasus tersebut. Jika dakwaan
subsidair sebagai dakwaan pengganti dalam pasal 18 ayat 1 (b) atas kerugian
negara. Maka seharusnya jaksa menerangkan hal tersebut dalam tuntutannya
bukan memisahkan dakwaan pada dakwaan pokok dan subsidair (lihat Surat
Edaran Jaksa Agung RI No. SE-004/J.A/11/1993). Dan jaksa semesti pula
memberikan tuntutan yang sesuai dengan batas antara minimum maupun
maksimum dalam UU.

C. Putusan (Judex Factie)


Baik pasal yang dituntut oleh JPU ataupun putusan hakim terhadap dr.
H.L Sekarningrat adalah sangat bertentangan atau tidak profesional. Karena
secara jelas pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 pengganti UU No. 31 Tahun 1999
yang berbunyi “dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
23

dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya adalah
melawan hukum.
Berdasarkan profesional seorang Jaksa dalam surat tuntutannya yang
harus menggunakan istilah yuridis disertai pertimbangan yang jelas dan
rasional maka, dengan secara rinci menyebutkan pidana, berdasarkan alat-alat
bukti yang mendukung dengan memperhatikan prinsip-prinsip hukum
pembuktian. Maka sudah seharusnya hakim dalam memberikan pembuktian
berprinsip pada jalannya persidangan yang berlangsung dalam memberikan
pertimbangan hukum dan pembuktian yang diberikan. Bukan sebaliknya pada
pertimbangan hukum yang timpang.
Pertimbangan majelis hakim disini tidak cermat dan tidak sesuai dengan
fakta-fakta yang telah terungkap kebenarannya dalam proses persidangan
bahwa telah terjadi pemberian fee oleh rekanan kepada tiga orang yang telah
membantu dr. H.L Sekarningrat. Akibat dari ketimpangan hakim selama proses
pembuktian, putusan yang diberikan pun jauh dari nilai keadilan, kepastian
dan kepatutan sebuah hukum. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara
selama 5 bulan dan denda sebesar Rp 10 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Sangat ngawur dari isi pasal 11 jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI No. 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yaitu
1. Pidana penjara selama 5 bulan dan denda sebesar Rp 10 juta subsidair 3
bulan kurungan untuk dr. Sekarningrat adalah hukuman yang
dijatuhkan majelis hakim bukan untuk Tindak Pidana Khusus seperti
korupsi tetapi cocoknya diterapkan pada Tindak Pidana Ringan. Karena
batas tindak pidana ringan hukumannya adalah 5 bulan. Seharusnya
hakim menerapkan standar persen pula dalam memberikan putusannya
ke terpidana.
2. Dipidananya dr. H.L Sekarningrat yang telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi hanya 5 bulan dan
24

subsidair 3 bulan dan dipotong selama masa tahanan. Secara otomatis


menggeluarkan terpidana dari penjara. Pertanyaannya lalu, apakah
putusan ini sebanding dengan amar putusan mejelis hakim yang
menyatakan terpidana “terbukti bersalah” dan hukuman yang
dijatuhkan sama dengan jumlah tahanan dr. H.L Sekarningra selama
ditahan saat itu.
3. Pada Undang-undang No. 20 Tahun 2001 pengganti UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah
menggariskan batas maksismum dan minimum hukuman bagi terpidana
dan ganti kerugian atas dikorupsinya keuangan negara sebesar sejumlah
Rp 210.824.500,-. Sehingga putusan hakim jauh dari rasa kepatutan dari
isi UU tersebut yang seharusnya diterima terpidana dr. H.L Sekarningrat
yakni pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250
juta.
4. Dalam amar putusannya majelis hakim tidak memutuskan terpidana dr.
H.L Sekarningrat untuk mengembalikan kerugian negara sebesar Rp
210.824.500,-. Dimana uang yang telah dikorupsi itu seharusnya
dikembalikan seluruhnya tanpa menghapuskan pidana terhadap pelaku
tindak pidana tersebut. Sehingga kesimpulannya majelis hakim tidak
serius memberantas korupsi dan mengembalikan kerugian atas
keuangan negara yang telah dikorupsi oleh dr. H.L Sekarningrat.

IV. Bagian Ketiga

A. Kesimpulan

A. 1 Surat Dakwaan
1. Pada saat berkas perkara diterima dari tim jaksa penyidik, Jaksa
Penuntut Umum seharusnya sudah bisa menjadikan saksi yang lain
yakni Amnan, SPd, SKM, Nur Astoyuwono dan Drs. I.B Karang sebagai
terdakwa dalam surat dakwaannya. Karena kasus korupsi ini lebih
bersifat kasus kolektif yang dilakukan secara bersama-sama karena niat
dari dr. H.L Sekarningrat dan ketiga saksi tersebut.
2. Surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum kabur (obscuur libel), karena tidak
sesuai dengan pasal 143 ayat 2 (b) KUHAP yang menyebutkan “bahwa
25

surat dakwaan harus diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap


mengenai tindak pidana yang didakwakan”. Atas dasar kaburnya/tidak
jelasnya surat dakwaan, maka dapat dikatakan bahwa Jaksa Penuntut
Umum tidak memberikan konstruksi dakwaan lengkap dan jelas. Jaksa
Penuntut Umum perlu bmenyadari bahwa surat dakwaan hanya
dijadikan landasan materiil semata tanpa melihat substansi penuntutan
yang seharusnya dilakukan.

A.2 Tuntutan
1. Dalam menanggani kasus ini Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim
tidak serius dan sungguh-sungguh untuk menuntaskan kasus korupsi.
Sehingga terjadi beberapa kesepakatan-kesepakatan dalam persidangan.
2. Dampak atas ketidak seriusan Jaksa Penutut Umum adalah terdapat
permainan-permainan tertentu, sehingga perkara ini harus displit,
akhirnya beresiko pada lolosnya sejumlah saksi yang seharusnya sudah
dapat dijadikan tersangka sesuai dengan Fakta dalam persidangan.
3. Surat Tuntutan yang dibuat Jaksa Penutut Umum tidak
mempertimbangkan fakta-fakta yann terungkap dalam persidangan.

A.3 Putusan
1. Semakin menegaskan kepada publik bahwa putusan yang dijatuhkan
kepada dr. H.L. Sekarningrat tidak mempertimbangankan nilai-nilai
keadilan pada masyarakat.
2. Majelis Hakim menjatuhkan vonis yang tidak sesuai dengan isi dari
Undang-Undang yang digunakan atau majelis hakim ragu dalam
memberikan putusan.

B. Rekomendasi

B.1 Kejaksaan Agung


1. Kejaksaan Agung harus segera membuka/melanjutkan kembali perkara
ini dan menggadili para tersangka yang lain, karena kasus korupsi
adalah kasus yang tidak pernah ada daluarsanya. Sebab persoalan
korupsi adalah persoalan keuangan negara yang dikorup dan
mengganggu perekonomian negara.
26

2. Agar Kejaksaan Agung perlu mengambil langkah untuk mengevaluasi


dan penindakan secara administratif kepada jaksa-jaksa yang
menanggani perkara korupsi yang tidak sesuai dengan nilai kepastian
dan kepatutan dari hukum tersebut.
3. Agar Kejaksaan Agung memberikan perhatian khusus pada perkara-
perkara yang mendapat perhatian publik, sehingga tidak terjadi
kesalahan penerapan hukum dengan jalan meningkatkan profesional
jaksa.

B.2 Mahkamah Agung


1. Agar MA segera menonaktifkan para hakim yang keliru dalam
memberikan putusan. Hal ini dilakukan sebagai langkah sock therapy
bagi para hakim yang lain saat menanggani perkara korupsi. Karena jika
tidak dilakukan tentu berdampak pada hilangnya keuangan negara yang
telah dikorupsi.
2. Agar MA segera melakukan eksaminasi perkara-perkara korupsi yang
telah diputus di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dan
mengumumkannya kepada publik hasil eksaminasinya.
27

Dialog Publik Sebagai Upaya untuk


Menjaring Masukan dari Masyarakat

Catatan dari Diskusi Publik dr. H.L Sekarningrat


Pada kegiatan seminar kali ini sebagai nara sumber Bapak Dr. Anang
Husni, SH. MS dan Lewis Grindulu, SH selaku tim eksaminasi kasus dr. H.L
Sekarningrat dengan moderator saudara Umar Ahmad Seth, SH dari LBH NTB
Raya. Peserta yang diundang dari Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri,
Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, NGO, Pers, Mahasiswa, Asosiasi Advokat,
Akademisi serta elemen lainnya. Pada kesempatan tersebut penyelenggara
mengundang Kejaksaan Tinggi NTB sebagai pembicara akan tetapi karena
kesibukkan kantor menyebabkan pihak Kejati NTB hanya mengutus orangnya
untuk sebagai peserta saja.
Acara ini merupakan rangkaian kegiatan dari sekitar 3 bulan yang lalu,
yaitu diskusi dengan majelis anggota eksaminasi yang jumlahnya sekitar 4
orang. Setelah keluar kajian oleh tim eksaminasi kemudian dilakukan penilaian
oleh beberapa orang di dari kalangan NGO yang berkumpul untuk berdiskusi
di Kantor SOMASI NTB. Setelah dinilai untuk dilengkapi kemudian hasilnya ini
dibawa ke Diskusi Publik untuk mendapatkan masukkan dari beberapa
kalangan yang di undang. Hasilnya ini yang akan segera dibawa ke Kejaksaan
Agung. Walaupun masalah korupsi adalah masalah bersama dan eksaminasi
adalah suatu kajian yang ilmiah yang cukup kompeten untuk menilai hasil
eksamanasi putusan yang telah dilakukan secara public ini.
Pada kesempatan diskusi public tersebut Ignatius Soge Welung selaku
Ketua DPW IKADIN NTB yang juga advokat senior di NTB ini menginterupsi
pembicara soal kasus yang dieksaminasi ini antara lain soal “Mengenai
daluwarsa mungkin secara prinsip kita setuju korupsi adalah kejahatan negara
yang tidak bisa dihentikan karena alasan daluwarsa dan menurut kepastian
hokum, daluarsa itu suatu kepentingan hukum dengan catatan kejahatan
korupsi jangan begitu singkatnya, misalnya bulanan. Dan menurut pak Soge
pula mengenai perkara ini seharusnya belum bisa di eksaminasi karena masih
tahap kasasi di MA”.
Akan interupsi pak Soge tersebut, pembicara Dr. Anang Husni, SH dan
panitia Basri Mulyani, SH menjawab pertanyaan itu dengan lugas “bahwa ini
28

yang menjadi kesulitan kami, ketika mencoba melakukan eksaminasi perkara yang telah
diputus di PN, di Kejaksaan ketika coba ditanya selalu tertutup sama seperti di
Pengadilan. Apalagi sudah data hasil persidangan yang coba kita Tanya jawabnya di
boleh dipublikasikan”.
Pada kesempatan tersebut pembicara Dr. Anang Husni, SH yang lebih
banyak mengupas soal kajian sosiologis dan filosofis terhadap kasus fee proyek
yang bergerak sama dengan kasus korupsi melihat pada sisi “detik perdetik , hari
ke hari sampai di bawah mimpi kita harus berantas korupsi. Kenapa?, karena ada dari
sisi yang paling menyedihkan adalah di media massa bisa kita lihat semua. Yang
seharusnya lembaga dan oknum pada lembaga itu yang berada pada garda paling depan
malahan terkoyak pada kasus korupsi. Korupsi ini sudah merambah sampai pada yang
namanya musuh bebuyutannya. Dulu kita dengar korupsi ada di eksekutif dan
kemudian pada sisi hukum dikatakan harus menata eksekutif tetapi saat ini lembaga
legislatif diseluruh Indonesia tertimpa pula dan akhirnya santer tendengar badan
peradilan pula. Hal ini yang agak aneh, negeri ini sudah seperti apa kalau semua lapisan
Tris Politicanya sudah dimasuki seperti itu, maka habislah negara ini”. Ujarnya pada
kesempatan pertama memamparkan hasil yang didapatnya pada saat
melakukan eksaminasi ini.
Sedangkan pembicara ke-dua Lewis Grindulu menilai dari hukum acara
pidana yang diterapkan dalam kasus ini sangat tidak relevan dengan hasil
penyidikan yang dilakukan jaksa, Lewis pun menambahkan soal Undang-
Undang yang digunakan dalam menjerat terdakwa dimana “Seorang penegak
hukum harus berpikir kebelakang kenapa peraturan peruandang-undangan di buat
semacam ini. Sejarah UU harus diteliti karena orang sulit merumuskan kata-kata yang
panjang dalam kalimat yang pendek. Pertayaanya adalah komitemen apa yang ingin
dicapai oleh jaksa ketika menjerat terdakwa dengan UU tersebut dan mengakibatkan
terdakwa itu lolos atau hukumnya ringan seperti pada dr. H.L. Sekarningrat”.
Yanis Maladi, SH. M.Hum dari Fakutas Hukum Unram menilai, ” dalam
kasus ini, secara substansi belum bisa kita bahas karena masih dalam proses ke
Mahkamah Agung. Namun untuk tidak menguragi eksaminasi ini, memang saya lihat
akhir-akhir ini bekerjanya hukum ini tergangu karena beberapa hal, seperti banyak yang
mengaku membawa suara dari arah bawah. Itu kamulfase saja dan ini banyak rekayasa
saja. Sebaiknya semua persoalan kita lihat dengan nurani, dalam hasil eksaminasi ini
sebenarnya adalah bagaimana kita membumikan aturan ini. Saat ini asas legalitas bisa
digunakan. Jadi jangan kita melihat keberaran formal saja, memproses kasus dr.
Sekarningrat hanya ada satu tersangka itu kan jadi pertayaan buat kita. Mengundang
29

pertayaan semua orang. padahal diketahui yang menerima fee itu beberapa orang, itu
yang namanya diskriminasi hukum”.
Soetomo, SH selaku Kepala Kejaksaan Negeri Mataram yang
berkesempatan hadir mengutarakan beberapa hal klarifikasi terhadap adanya
eksaminasi ini, walaupun dia datang atas perintah Ketua Kejaksaan Tinggi
NTB. Dalam klarifikasinya dia mengatakan bahwa ada sedikit pemahaman
yang tidak sejalan dengan apa yang dia ketahui antara lain “Kasus Sekarningrat
ini sebenarnya tidak ada pelapornya. Hanya 3 sampai 4 kalimat yang pada intel kami,
kemudian saya melakukan pendalaman, dari pendalaman ada anonim tersebut yang
mengatakan Rp 7,5 milyar korupsinya. Setelah kami dalami bahwa rekanan obat-obatan
itu ada di Jakarta. Saya bukan bermaksud membela diri, memang keadaanya, walaupun
ada bupati dan yang lain disebut pejabat yang menerima uang. Kalau dari hasil
penyelidikan dan meningkatkan penyelidikan pada seseorang maka kita harus ada alat
bukti yang cukup, kita tidak bisa menuduh tanpa alat bukti sesuai dengan pasal 184
KUHP, satu mengatakan menikmati yang lain mengatakan tidak menikmati, maka
harus ada alat bukti yang lain, kalau tidak ada alat bukti yang lain kita susah
menjadikan alat bukti. Kemudian persoalan melawan hukum itu bisa dengan delik
formil maupun materiil, asalkan tidak patut tercela yurisprudensi Mahkamah Agung”.
Setelah memberikan tanggapan Soetomo, SH meninggalkan ruangan. Padahal
beberapa peserta diskusi public membutuhkan dia didalam ruangan untuk
mendengarkan kenyataan dilapangan seperti apa yang terjadi dalam kasus
penegakkan hukumnya.
Pada kesempatan itu ada beberapa rekomendasi yang sudah tertabulasi
dari peserta diskusi publik diantaranya yaitu harus ada gelar perkara baru
kembali terhadap kasus fee proyek ini karena ada beberapa saksi yang pada
tingkat penyidikan sudah bisa dijadikan tersangka dan mengupayakan mereka
menjadi terdakwa. Tetapi dalam gelar perkara baru ini diharapkan Kejaksaan
harus transparan dalam tahap penyidikannya
Umar Ahmad Seth menutup diskusi public ini dengan mengatakan
“Bahwa masih banyak kasus yang akan akan kita eksaminasi, karena ini menjadi
pembelajaran dan penegakkan hukum di NTB”.
30

NOTULENSI DISKUSI PUBLIK


HASIL EKSAMINASI PUTUSAN KASUS KORUPSI
dr. H.L. SEKARNINGRAT
GRAND LEGI MATARAM, 22 SEPTEMBER 2005

Pembukaan :

Adhar Hakim (Dewan Etik SOMASI NTB) :

EKSAMINASI lebih bersifat strategis bagi kita, eksaminasi memberikan gambaran


bahwa pemberantasan korupsi berdasarkan ini menjadi pembelajaran adanya korupsi
dan eksaminasi akan menjadi nilai tawar bagi public untuk mempercepat proses
pemberantasan korupsi tersebut
Dalam proses pemberantasqan hukum adalah tawar menawar sehingga kasus korupsi
yang para koruptornya dibawa kemeja hijau selalu melakukan tawar menawar pula
Kita berharap kedepan akan menilai pemberatsan korupsi bukan lagi dari kacamata
hukum apalagi melihat hukum dari kacamata kuda tetapi dari Pak Lewis melihat ini
sebagai hal yang sangat mengganggu. Kita melihat hal yang sangat dramatis dan
menjadi lubang kerusakan serta merusak kehidupan manusia saat rakyat melihat kasus
korupsi dan melihat jelas siapa pelakunya, pengadilan lebih banyak diam dan
memputusan perkara yang ditangani dengan hukumnya tidak setimpal. Memimjam
kata-kata Sajipto Raharjo, ”lebih banyak buaya umum itu sehingga lebih ada operator
yang ada di belaknganya dan melihat sangat tegas kasus korusi adalah kejahatan luar
biasa.
Kta sepakat pemberantasan korupsi adalah keinginan kita bersama dan ini tidak akan
bisa terlaksana jika kita tidak segera melakukan investigasi maupun eksaminasi terhadap
perkara-perkara korupsi dan memberikan penilaianya.
Itu saja untuk membuka acara ini. terima kasih atas keluagan waktu dan saya minta
maaf jika ada kekuarangan maupun ada salah penyampaian dalam kesempatan ini.
Diskusi publik

Moderator : Umar Ahmad Seth


Pembicara 1 : Dr. Anang Husni, SH
Pembicara 2 : Lewis Grindulu, SH
31

Moderator :
Salam sejahtera. Pada kesempatan pagi ini kita semua akan mencoba melihat
beberapa hal yang berkenaan dengan hukum tentu dari proses sampai
putusan hakim yang dilakukan oleh dr. H.L. Sekarnigrat. Pagi ini kita akan
diwacanai oleh bapak Anang Husni dan bapak Lewis Grindulu. Untuk itu
saya mengundang kedua pembicara untuk tampil di depan.

Sekilas tentang
Bapak anang husni…….(Curriculum Vitae)
Bapak Lewis Grindulu, SH…….(Curriculum Vitae )
Kedua pembicara , pembicara pertama akan melihat proses sampai lakhir
lahirnya putusan ini dilihat dari dimensi filosofis dan sosiologis. Kemudian
pembicara kedua akan melihat dari hukum acara.
Bapak/ibu sekalian, Kita semua sudah memegang bahan-bahan yang
akan menjadi bahan kita untuk mengkaji dan membuat penilaian. Adapun
bahan yang bapak/ibu pegang adalah tuntutan dan cuplikan langsung dari
surat dakwaan jaksa dan cuplikan langsung dari surat tuntutan dan putusan
hakim tentu bukan interprestasi. Tiga bahan tadi yang akan menjadi alat kita
dalam melihat alat putasan hakim tadi.
Termasuk beberapa hal yang menjadi masukan dan jika memungkinkan
bantahan-bantahan yang membuat kita lebh progresif untuk tindak pindan
korupsi. Bapak/ibu sekalian, kalau saya akan membaca ulang kasus korupsi ini
maka membutuhkan waktu yang sangat panjang, tapi kira –kira postur ini
adalah sbb :

- Awalnya terdapat dugaan mark up dalam instansi pengadaan alat-alat


kesehatan pada dinas kesehatan Lobar pada tahun 2003 senilai 7.5 M, yang
pada perkembangan penyelidikan sampai putusan pengadilan adalah
pemberian fee pada kadis kesehatan. Dalam pandangan banyak pihak
bahwa dugaan korupsi itu kemudian dibiaskan menjadi pemberiaan fee
yang kemudian berdampak menjadi satu tersangka saja yaitu dr. H.
L.Sekarnigrat sebagai kepala dinas kesehatan yang mejadi penerima fee.
- Dari Yang tertangkap dalam dugaan tersebut adalah dugaan korupsi tidak
di selesaikan secara hukum dan yang kedua pemberi tidak tersentuh
hukum. Sampai lahir putusan pengadilan ini dakwaan hanya dakwaan
tunggal.
32

Beberapa hal yang menjadi kejangggalan itu akan dapat dilihat pada bahan
eksaminasi yang disampaikan. Dugaan kejanggalan yang kita tangkap disini
yaitu kasus dugaan korupsi tidak di kembangkan pada dugaan markup alat-
alat kesehatan, pembangunan pustu. kedua pada kasus ini hanya ada satu
terdakwa. ketiga pasal dakwaan menggunakan pasal tunggal tanpa ada pasal
arternatif yang coba dikembangkan dan ada juga pengembangan kasus khanya
di kembangkan pada pemberian fee, dugaaan lain jaksa tidak optimal untuk
melihat siapa-siapa lagi yang menjadi tersangka dalam kasus ini yang layaknya
diminta pertanggungjawaban. Kemudian Putusan hakim tidak mencerminkan
keadilan bagi rakyat.
Dan ini adalah sekilas tentang kedudukan masalah yang kita bicarakan
dalam diskusi ini dan beberapa dimensi akan disampaikan oleh kedua
pembicara kita

Soge welung:
Terima kasih sebelumnya. Saya setuju dengan seminar ini. kasus korupsi bukan
kasus rahasia dan bisa kita diskusikan. Akan tetapi ada yang mengganjal saya,
termasuk di dalamnya termasuk hukum harus ditegakkan, dimana seseorang
yang di sangka atau di tangkap tapi masih dalam proses pengadilan harus
dilihat tidak bersalah, sampai pada putusan pengadilan , sehingga usulan saya
judulnya harus diubah yaitu hasil eksaminasi perkara kasus korupsi dr. H.L.
Sekarningrat dan sekarang masih dalam kasasi. Kasus masih mentah kita
eksaminasi secara keseluruhan. Terima kasih

Moderator ;
Terima kash, setiap orang yang belum memperoleh putusan tetap dari
pengadilan, Wajib diangap tidak bersalah, dan tawaran pak soge bahwa
eksaminasi ini masih pada batas dalam kasusnya saja dan kita semua bisa
memberi pertimbangan yang arahnya kita mengeksaminasi kasus korusi dr.
H.L. Sekarningrat yang akan memberi warna baru dalam proses hukum
berikutnya di Mahkamag Agung
33

Pembicara 1.
Yang mau saya katakan bahwa Eksaminasi ini memang pada kasusnya
adalah tahap peradilan saja. Dan ini adalah hajat yang punya kerja. Dan hanya
prosesnya saja.

Moderator :
Kita sudah punya kata penyambungnya dimana ini hanya pada proses
peradilannya saja. Kasus dalam sisi koteks yang mau kita lihat. Silahkan bapak
Anang Husni untuk melanjutkan pembicaraan ini.

Pembicara 1.
Salam sejahtera. Alhamdulillah kita sebagai anak bangsa ini. saya melihat
beberapa kasus korupsi perlu kita cermati sebagai upaya yang kita upayakan.
Detik perdetik , hari ke hari sampai di bawah mimpi kita harus berantas
korupsi. Kenapa karena ada dari sisi yang paling menyedihkan adalah di media
massa bisa kita lihat. Yang seharusnya lembaga dan oknum pada lembaga itu
yang berada pada lini paling depan malahan terkoyak pada kasus korupsi.
Korupsi ini sudah merambah sampai pada yang namanya musuh
bebuyutannya. Dulu kita dengar korupsi ada di eksekutif dan kemudian pada
sisi hukum dikatakan harus menata eksekutif kemudian lembaga legislatif
kemudian badan peradilan ini agak aneh, negeri ini sudah seperti apa kalau
semua lapisannya sudah dimasuki seperti itu, maka habislah negara ini
Saya dalam konteks ini ingin melihat dalam eksaminasi ini kesiapan
hukum mengugah anda bagaimana kesiapan hukum dalam rangka
penangangan kasus korupsi. Peraturan perundangan sudah di buat bahan di
ganti dan sebagainya. Tapi tetap saja. Lembaga peradilan belum bisa, seperti
kita dengar dalam media massa ada KPK, tetapi semakin banyak KPK semakin
banyak juga korupsinya seperti arah air. Jadi sudah masuk dalam masyarakat
dalam kehidupan masyarakat paling kecil.
Ketiga kita harus membina kesadaran tehadap koruptor ini seperti apa.
Kalau iklan tentang narkoba banyak tentang korupsi tidak ada. dulu jaman
orba yang agak sinis tentang korupsi akan ditayangkan di TV dan itupun di
anggap tidak manusiawi. Tapi sekarang tetap saja korupsi merebak semakin
banyak.
Saya melihat Hukum kita belum siap dan beum ditata secara baik
34

1. Aturan sudah, substansi sudah tapi masih ada keraguan untuk menafsirkan
isi peraturan. Ada norma tapi orang masih pening melihat norma itu seperti
apa. Anda bisa lihat jaksa agung (saya baca di koran ) untuk peraturan PP
110 di pending ini agak aneh. Artiya bapak jaksa agung kita belum melihat
bahwa belum ada aturannya baru kita gelar ini. Saya baca di kompas akhir
bulan juli. Semua kasus yang berkenaan dengan PP 110 UU 22 harus di
pending. Kok di pending ? maksud saya ada semacam persepsi yang agak
aneh yang belum di sepakati tentang asas legalitas. Memang betul kasus
pidana harus ada aturannya terlebih dahulu tapi satu untuk kasus korupsi
ini harus kita melihat lebih dalam. Negara kita ini bukan negara Undang-
undang atau peraturan pemerintah, negara ini adalah negara hukum.
Hukum ini belum siap secara substansif karena menimbulkan penafsiran
baru tetang korupsi. Orang memang punya kecendrungan menggunaan
hukum kalau di untung, kalau rugi tidak digunakannya. Ada yang saya lihat
dalam kasus korupsi dr. H. L. Sekarningrat ini dimana hanya orang
melakukannya berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Itu sudah
terjadi korupsi, ada proyek ada sudah korupsi, kenapa, karena ada satu SK
Gubernur yang agak aneh. Saya tidak atau apakah ini sistem keuangan
daerah atau sistem keuangan negara kita, mengeluarkan daftar harga
pembelian barang yang jauh harganya lebih tinggi daripada harga riil di
lapangan. Apa mark up ini sudah termark up dengan sendirinya dan ini
berubah setiap tahun dan ini menjadi pedoman teman-teman di eksekutif.
Dalam daftar harga tersebut harga satu rim kertas 50.000, padahal kita tau
sendiri berapa harga satu rim kertas di pasaran. Kita liat ada sebuah sistem
yang melegalkan pemborosan uang negara dan ini apakah di bolehka oleh
sistem keuangan negara. Menetapkan harga tertinggi oleh eksekutif.
2. Seringkali juga untuk masyarakat di tentukan patokan harga ketika
dibebaskan suatu tanah harganya bisa rendah/kurang sesuai selera mereka
dan dulu ada harga dasar tanah yang ditetapkan oleh DPR yang namanya
NJOP dan ini juga perlu dicermati padahal harusnya harga tanah itu harus
sesuai menurut NJOP (nilai jual obyek pajak). Belum lagi pelayanan publik
banyak sekali. Dalam banyak instansi kita banyak menafsirkan asas legalitas
itu menjadi agak beda, dan bagaimana penerapannya. Dan memang sudah
ada aturan yang membuat orang memang harus korupsi. Kita ubah sistem
pembelanjaan kita. Seperti harga komputer saya tau harganya bisa sampai
35

45 juta. Padahal kalau kita beli sendiri paling banyak 14,5 juta. Hal-hal ini
harus kita ubah dan harus riil sistem jangan pakai patokan harga seperti itu.
3. Aturan belum ditata secara pasti, bagaimana konsep juga belum dan
kesiapan struktul juga lemah, karena memang ada aturan yang membuat itu
menjadi lemah. Tentang legal culture yang ketiga. Saya lihat belum ada
komitmen bersama tetang korupsi dan kita belum sadar bahwa prilaku
merugikan itu adalah uang mereka dan ini belum ada. Itu dalam anggaan
mereka adalah uang pemerintah ambil-ambil saja kata mereka, masyarakat
belum paham koruptor mengambil uang mereka. lagi-lagi tentang
penafsiran korupsi ini adalah hak milik negara maka korupsi ini terhadap
hak milik ini tidak ada kadulwarsa. hak milik pribadi kita saja tidak ada
kadulwarsa. Jadi kasus korupsi hak milik tidak boleh di tutup. Artinya kasus
korupsi dan tersangkanya itu di tutup itu tidak ada, karena uang itu milik
negara yang tidak bisa ditutup ini yang perlu disadari, terhadap mengambil
hak-hak negara tidak ada kadaluarsa atau dengan kata lain. Jika kasus
korupsi sudah ada putusan kasasinya itu bukan berarti selesai, karena bila
ada tersangka baru maka itu bisa diajukan kembali. Kita sama – sama punya
komitmen untuk membela negara ini. dalam pasal 33 ayat 3 kita bisa baca,
tetapi ada orang yang tidak mau melakukannya, dan itu membuat tidak ada
kata kadaluarsa, tapi anehnya saya baru baca dalam gravitasi itu hanya 30
hari batasnya, begitu lewat 30 hari tuntutan bisa tidak diterima. bagaimana
ada batasan waktu dengan masa tuntutannya dan peraturannya agak aneh.
Jadi ada tiga hal yang akan kita diskuskan. Dan saya rekomendir terhadap
semua perlindungan hak milik negara (korupsi) tidak ada kadulwasa
apapun namanya. Semoga diskusi ini ada manfaatnya. Terima kasih

Pembicara 2 :
Kita akan membicarakan sesuatu yang sangat jahat. Saya menegaskan korupsi
merupakan perbuatan yang sangat jahat. Kalau dibayangkan atau kalau kita
bisa membayangkan saya katakan ini sebagai manusia tanpa muka, karena sakit
jahatnya akhirnya coba di dirumuskan bagaimana menghadapi pejahat ini.
Didalam peraturan peundang-undangan kita sepakat untuk memberantas
korupsi ini dengan cara yang sudah ditetapkan bersama. Dalam upaya
memberantas ini yang dipercaya untuk melakukan pemberantasan adalah
pihak penyelidik.
36

Pihak jaksa penuntut umum dan pihak hakim, pada prinsipnya mereka
dipercaya oleh TUHAN, oleh masyarakat dan oleh negara untuk memberantas
yang dinamakan penjahat besar ini, sebagai rumusan kenapa saya katakan
manusia tanpa muka. Itu kalau pencuri yang dirugikan berapa orang. Kalau
korupsi yang dirugikan sangat luas, mulai anak kecil sampai tua mulai orang
miskin sampai orang kaya. Dari yang sehat sampai yang cacat. Kalau pencuri
masih melihat, sehingga menjadi penegak hukum secara sungguh-sungguh
dengan suatu perhatian dan pesan UU. Kalau mau memberantas penjahat bok
yang cermat, yang teliti, yang sungguh-sungguh. Jangan kelemahan suatu pasal
djadikan untuk sembunyi.
Seorang penegak hukum harus berpikir kebelakang kenapa peraturan
peruandang-undangan di buat semacam ini. Sejarah UU harus diteliti karena
orang sulit merumuskan kata-kata yang panjang dalam kalimat yang pendek.
Terus siapa yang merumuskan itu, terus manusia-masusia yang dipercayakan
itu mewakili pembuat UU yang terdahulu yang telah kita percaya bersama.
Pertayaanya adalah sudahkan yang menjadi jaksa penuntut umum adalah
manusianya adalah jaksa penuntut umum, penyelidik atau sebagai pejabat atau
petugas saja, tetap manusianya tidak punya komitmen kesana.
Kalau sudah melakukan sebuah penyelidikan ada dilihat kualitas kejahatan.
Khusus mengenai kasus dr. H.L. Sekarnigrat ada yang sudah di pilah pada
peran kerugian terhadap negara
1. ada posisi dr. H. L. Sekarningrat diposisikan apa untuk menunjukkan
kualitas kasus
2. posisikan 3 orang, sebagai saksi yang mengakibatkan perbuatan pidana atau
korupsi itu terjadi
3. posisi para rekanan dan para pemborong tersebut perlu juga dilihat
penyelidik sudah bisa membayangkan apa yang menjadi obyek untuk dijadikan
pada kasus korupsi itu. Ternyata adalah suatu kondisi yang sangat vital karena
suatu gedung yang dipergunakan oleh orang banyak yaitu gedung kesehatan
sudah dikotak katik dan ini kejahatan kemanusian yang sudah masuk dalam
piagam PBB
kalau sudah bisa di pilah penyelidik harus melihat hukum meterial dan
apa yang akan bekerja untuk menghubungkan pada pelaku tersebut dan
dipertanggungajwaban pada hukum formil. Dalam dakwaan penuntut umum
37

sudah berusaha mengadopsi apa yang di peroleh penyidik dan dijabarkan dan
kita bisa memiliki dugaan dan bisa dijabarkan peran masing-masing .
Karena ini sudah dijelaskan pada surat dakwaan dan bisa tau siapa yang
dinamakan CV dan siapa yang dinamakan 3 orang dan siapa yang dinamakan
dr. H. L. Sekarnigrat. Untuk mencapai sebuah proyek maka para rekanan yang
terdiri dari CV-CV ini mencoba mempengaruhi dengan uang kalau dalam pasal
209….yang diberi dinamakan….. kedua ini punya peran untuk merugikan
keuangan negara, tapi teryata jaksa penuntut umum tidak memasukkan peran
ini tidak dimasukan hanya memposisikan rekanan (CV) dan 3 orang tersebut
sebagai saksi, sapa saja yang menerima uang secara langsung sudah jelas itu
adalah 3 orang tersebut. Dia mau menerima fee karena di suruh oleh dr.
Sekarningrat dan kemudan terjadilah penyertaan. Kenapa didiamkan, jadi
dalam keadaan ini kejahatan dilakukan bersama-sama antara 3 orang dan
rekanan. Karena tdak ada satu pasal pun yang mengatur maka tidak
dimasukkan. Tapi kalau dalam tindak pidana biasa, dalam KUHP, ini jelas ada
larangan. Swasta pun kalau melakukan disebut mark up untuk kepentingan
korporasinya
Lantas dengan sebuah keyakinan dari skenario kejahatan itu yang
dijadikan penjahat hanya dr. Sekarningrat. Benarkah demikian, benarkah
hukum kita membolehkan kita membantu orang jahat, benarkah hukum
mengatakan orang yang tidak menjadi pelaku langsung adalah penjahat asli.
Yang langsung menerima unag itu bukan dr Sekar tapi orang tersebut. Kalau
orang mengatakan ini berdasarkan perintah, perintah dalam hukum pidana
berbeda dengan hukum tata administrasi negara.
Terus kemudian karena semua ini tidak dimasukkan dalam dakwaan, dakwaan
menggunakan pasal tunggal tapi ada subsider, kok aneh. Terus dalam tuntutan,
ada tuntutan pertama, tuntutannya 1,6 bulan, dalam etika dalam tuntutan
apabila petuntut umum bisa mengungakap dakwaan minimal maka tuntutan
setengah dari ancaman terberat dan subsider 5 bulan. Maksimal tindak pidana
itu maksimal 5 bulan. Dan ini ancamannya hanya segitu. Padahal kalau
tuntutan tidak pakai helm, itu ancamannya juga 5 bulan, lantas ini ancamnnya
hanya segitu, lantas ada ancaman subsider tapi tidak ada alasannya. Kalau ada
tuntutan subsider, itu tujuannya agar setiap tuntutan merunjuk pada sebuah
pasal. Ini yang tidak bisa sesuai dalam pasal KUHP. Lantas ini juga diikuti oleh
hakim yaitu 5 bulan penjara, sama dengan orang tidak pakai helm. Ini aneh
38

apakah disesuaikan dengan pasal atau di sesuaikan dengan jumlah tahanan


yang akan keluar 5 bulan, sehingga saat diputuskan akan keluar.
Kedua dalam putusan tidak pernah keluar pertayaan kenapa kok feenya
sebesar itu, kok jumlahnya ganjil, kan bisa diperkirakan ini berdasarkan
presentase. Dugaan ini harus dimiliki oleh oleh jaksa penuntut umum,
penyelidik dan hakim. Lantas dalam suatu pengadilan, hakim di berikan untuk
memberikan putusan, maka yang dijadikan adalah suatu kebenaran, ketetapan
dan kesesuaian untuk keputusan seadil-adilnya. Kondisi inilah yang membuat
saya menyimpulkan penegak hukum jangan hanya mengartikan sebuah pasal
tapi makna. Karena tujuan hukum ada 2 yaitu tujuan preventif dan represif.
Untuk mencapai tujuan itu siapa yang melaksanakan hukum itu diberikan hak
untuk pemaknaan. Ituah kesimpulan saya terakhir yang tujuan hukum
berdasarkan kajian filosofi.

Moderator :
Saya kira ada satu hal yang akan menjadikan bahwa kasus koruspsi
adalah kejahatan luar biasa yan membutuhan masukan dari bapak/ibu
sekalian. berkaca dari kedua pembicara tadi oleh karena itu pada kesempatan
ini kita semua befungsi membantah argumentasi kedua pembicara dan kita bisa
menjadi penilai kasus yang sedang diperiksa ini dan dalam kasus ini kita bisa
menilai dalam dimensi hukum dan kemasyarakatan.
Dan saya mengundang bapak/ibu sekalian untuk merespon kedua
pembicara dan ada 4 orang dulu yang mencba memberi tanggapan dari
paparan tadi.

Soge welung (Ketua DPW IKADIN)


Terima kasih. Supaya menghemat waktu saya ingin menyampakan 2 hal
1. Mengenai kadalwarsa mungkin secara prinsip kita setuju korupsi adalah
kejahatan negara tidak bisa dihentikan karena alasan kadalwarsa dan
menurut kepastian hukum, memang kadarwarsa itu suatu kepentingan
hukum maka kadarwasa masih dibutuhkan, dengan catatan kejahatan
korupsi jangan begitu singkatnya, misalnya bulanan untuk hukumannya.
2. khusus mengenai perkara ini mungkin saya bukan membela penyelidik
akan tetapi tuntutan 1,6 bulan itu karena pasalnya pasal 11 itu menentukan
minimal 1 tahun dan kalau jaksa penuntut umum menuntut 1 tahun itu
39

masih pas. dan putusannya ditentukan kurang itu karena ketentuan UU,
mau tidak mau hakim terpaksa menentukan minimal. Saya secara pribadi
menilai hakimnya menganggap orangnya tdak bersalah, maunya
dibebaskan, tapi harus berhadapan dengan massa, opini publik tapi juga
tidak berani memutuskan tinggi-tinggi dan ini menjadi putusan yang banci.
Kalau dalam hal putusan jaksa tidak ada persoaalan dan dalam dakwaan
yang harus kita bedakan ada 4 permasalahan. Penyelidikan, penuntutan dan
putusan. Jadi kalau mengenai penyelidikan sudahlah
bagi masyarakat yang sudah trasparansi, semua orang mau tau dan ternyata
yang telah diuangkapkan tadi kok tidak diikut sertakan, yang ikut serta tidak di
dakwa. Padahal itu ada pasalnya juga. Saya memahami sistem hukum kita
masih jauh dari sempurna. Tiap penuntut umum bagian dari eksekutif, kejari
mungkin bisa mengatakan bahwa selaku bagian dari eksekutif, perasaan juga
bisa menjadi sebab yang kita pilah-pilah dulu. Seperti dalam tulisan ini
dikatakan bahwa bupati ada juga menerima bagian, hal-hal seperti itu bisa kita
minta penjelasan kejati, tapi yang pasti hukum kita masih memberi peluang
seperti itu. Karena jika kejaksaan bebas dan independen maka mungkin dia
tidak akan memperhitungkan hal-hal itu.
Kemudian dalam waktu persidangan, hakim yang melihat satu kasus
dalam persidangkan dalam hal ini yng menerima saja yang diajukan. Kemudian
hakim mengatakan bahwa kami tidak berwenang untuk menjadikannya
tersangka, karena kami tidak bisa menyuruh jaksa untuk melanjutkannya ke
penyelidikan. Dalam era KUHP tidak ada untuk itu. itu saja dulu, terima kasih

I Gede Kusmayadi (Dekan Hukum Saraswati)


Mencermati yang kita diskusikan saya bahagia kita begitu maju sudah
berkaitan dengan kasus korupsi dengan menghadirkan beberapa lembaga yang
untuk melakukan penegakan hukum dan mudahan makin disadari oleh
penegak hukum

Tadi sudah disampaikan pak Anang kesiapan hukum dalam arti sistemik
yang belum siap betul, karena rumor jadi hakim, jaksa harus menyogok. Jadi
bagaimana mungkin siap dari segi struktur. Kalau dari segi sistem, sudah lama
kita punya UU anti korupsi sejak tahun 1956 dan di ubah berkali-kali dan
terakhir UU No 20/2001, untuk menggantikan UU 31 1999. dalam kajian ini
sudah dijelaskan secara jelas, dalam halaman 20 sudah jelas apa yang ada dalam
40

penjelasan UU 31 tahun 1999 itu dimana dalam tindak tindak pidana kita
mengandung 4 melawan hukum dalam arti materiil. Jadi tidak perlu melihat
asas legalitas.
Apakah berani petugas hukum hukum memakai ini. ini dasarnya. Jadi
kalau ada tindak pidanan korupsi yang tidak memenuhi rasa tidak patut pada
rasa keadilan masyarakat, walaupun belum ada rumusan formal kenapa tidak
berani menindak. Karena kita menganut sifat melawan hukum dalam arti
formal asas legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP memang tidak diterapkan
murni seperti itu. Tadi juga sudah diuraikan berkaitan dengan hukum ini,
pertayaannya, apakah kita menegakan hukum masih pandang bulu. Jadi kasus-
kasus korupsi dinegara kita ini banyak yang aneh. Saya melihat apakah ini
pengaruh pendidikan hukum kita yang dari dulu itu, memang dicecoki dari
jaman hindia belanda itu. Jadi kita di ajar formal, sehingga penerapan hukum
dalam arti material ini masih perlu dipertayakan. Secara idealnya kita
mengharapkan dengan sangat apalagi presiden kita sudah punya komitmen,
ketua KPU nasional saja bisa ditindak bersama rekan-rekannya. Di daerah ini
bupati saja tidak berani.
Jadi penegakan hukum negara ini memerlukan perbaikan di semua
sistem yang terkait hukum ini. Terkadang juga penasehat hukum bisa main-
main dengan hakim, karena saya juga pernah mengalaminya. Karena peran
penasehat hukum tidak kecil sekarang ini, dalam KUHP, penasehat hukum
diharapkan bisa membantu hakim, penuntut umum untuk menemukan
kebenaran materiil.
Yang lain-lain saya sependapat dengan analisis ini yang sudah begitu
cermat, karena kebetulan yang mengeksaminasi ini adalah rekan-rekan kami
sendiri. Seharusnya ini dilakukan di fakultas hukum jadi kami sedikit malu.
Terima kasih

Yanis Maladi :
Selamat pagi. Saya hadir lewat saja dan saya tertarik dengan tema ini dan
masyarakat NTB sedang dihadapkan dengan permasalahan ini. saya melihat
ada keinginan membangunkan hukum ini kembali, selama ini stagnan dan
tertatih-tatih oleh aparat dan masyarakat. Secara obyektif saya katakan NTB ini
belum terlalu baik buat para penegak hukum, karena seperti di belenggu.
Dalam kasus tema ini saya menghormati, padahal secara substansi kasus ini
41

belum bisa kita bahas karena masih dalam proses ke Mahkamah Agung.
Namun untuk tidak mengurangi acara ini, memang saya lihat akhir-akhir ini
bekerjanya hukum ini tergangu karena beberapa hal, sepeti banyak yang
mengaku membawa suara dari arah bawah. Itu kamulfase saja dan ini banyak
rekayasa saja. Sebaiknya semua persoalan kita lihat dengan nurani, dalam acara
ini sebenarnya adalah bagaimana kita membumikan aturan ini . saat ini asas
lehalitas iya, tetapi yang dikatakan pak kus tadi memang terjadi, jadi jangan
kita melihat keberaran formal saja, memproses kasus dr. Sekarningrat hanya
ada satu tersangka itu kan jadi pertayaan buat kita. Mengundang pertayaan
semua orang. padahal ditau yang menerima fee itu bebrapa orang itu kan
namanya diskriminasi.
Bisa jadi bubar lembaga pak kus, tidak ada yang mau bersekolah hukum,
karena hukum sendiri tidak dijalani sebagai mana mestinya. Itu yang perlu kita
garis bawahi oleh penegak hukum. Mengutif kata jaksa angung, hukum itu
ibarat api, siapa saja yang akan mendekatkan tangan pada api itu maka akan
terbakar, dan kalau tangan pejabat maka api itu menjadi dingin, tidak ada itu.
sehingga saya salut dengan statetmen-statetmen seperti itu. kita usul kalau
lembaga kejaksaan harus independen agar bisa bekerja lebih baik. Keberadaan
sama dengan kehakiman sehingga lebih leluasa bergerak. Saya rasa pada
intinya kalau semua yang dikatakan sebelum tadi, maka mari kita sama-sama
membumikan aturan hukum ini tanpa pandang bulu. Kalau terus ada kasus-ini
kasus itu maka penegakan hukum di daerah ini tidak akan pernah ada. Saya liat
kita sangat stagnan.
Sekarang secara moral kita dukung penegakan hukum, dalam
penanganan kasus korupsi NTB yang sudah menasional, kita liat hanya seperti
itu penanganannya, posisi-posisi kedudukan kasus masyarakat harus
dijelaskan. Jadi saya bangga dengan somasi dengan memberi wahana baru
untuk penegakan hukum di daerah kita. Dan Kejari di beri suntikan moril
untuk penegakan hukum. Mungkin ini saran yang bisa saya berikan terima
kasih.

Ali Akbar (BEM UNRAM ) :


Menarik sekali saat kami menonton suatu kabar , bapak presiden SBY
membacakan salah satu pemimpin kita menjadi orang yang harus di periksa
karena salah satu kategori koruptor di Indonesia. tapi yang menjadi pertayaan
42

kita adalah kelanjutan dari kasus tersebut. Dan rentetan yang menjadi
pertayaan kita semua. Begitu juga dengan kasus korupsi dr. Sekarningrat ini
akan membawa rentetan pertayaan dari masyarakat dan mesti kita kawal
dengan ketat, heran jika tidak kita kawal dengan ketat maka kasusnya tetap
akan sama. Begitu juga peran Fakultas hukum sangat kita harapkan sebagai
lembaga akedemis dan LSM dan semua kita harapkan, kami dari aktivis itu
siap apakah dari gerakan massa dan hasil investigasi maka kami siap untuk itu.
karena itu ide berpikir kita.
Yang menjadi pertayaan kami adalah ketika mendengar putusan 5 bulan
dr. Sekarningrat yang putusannya sama dengan yang tidak menggunakan helm.
Sama dengan yang maling ayam. Kenapa jadi dikotomi dalam hukum, apakah
ini akan jadi perbedaan bagi kita semua di bidang hukum, kami mewakili
elemen mahasiswa mungkin ada tekanan dari luar, tulisan di media perlu di
lakukan, karena kita tidak bisa menerima 1 – 2 bulan saja tapi harus terus
menerus, jadi tugas jaksa itulah posisi jaksa.
Ada lagi penasehat hukum yang juga masih saya pertanyakan, dan kita
semua harus membumikan hukum secara hukum. Dan kami akan melakukan
aksi untuk itu semua, dan kita juga semua perlu turun ke jalan semua.
Perjuangan kita tidak di dalam ruangan kita ini saja.

Soetomo, SH (Ketua Kejari Mataram) :


Saya ingin mengungkapkan sesuatu. Saya disini mewakili bapak kejati
yang tidak bisa hadir, tetapi saya hadir sekaligus mewakili kepala kejaksaan
negeri. Saya hadir dengan rela hati menerima kritikan dari kawan-kawan. Tapi
ada sesuatu yang mesti saya klarifikasi dan saya sampaikan. Dan ada sedikit
pemahaman yang tidak sejalan dengan apa yang saya tau.
Kasus Sekarningrat ini anonimnya tidak ada pelapor. Hanya 3 sampai 4
kalimat pada kami, tidak ada pelaporan resmi kepada kami, kemudian saya
melakukan pendalaman, dari pendalaman itu anonim itu yang mengatakan 7,5
M. setelah kami dalami bahwa rekanan obat-obatan itu ada di Jakarta. saya
paham kalau masyarakat melihatnya dari luar saja, seperti orang main sepak
bola pemain itu sudah begitu antusias dengan pelatihnya tapi para seporter
masih aja kurang, saya bukan bermaksud membela diri, memang keadaanya.
Tadi saya baca juga dalam tulisan ini di sebut bupati dan disebut yang
lain, dari hasil penyelidikan kalau mau meningkatkan penyidikan pada
43

seseorang maka kita harus ada alat bukti yang cukup, kita tidak bisa menuduh
tanpa alat bukti sesuai dengan pasal 184 KUHP, satu mengatakan menikmati
yang lain mengatakan tidak menikmati, maka harus ada alat bukti yang lain,
kalau tidak ada alat bukti yang lain kita susah menjadikan tersangka.
Kasus ini tadi disebutkan kenapa saksi (Bupati, Sekda, Ketua Bappeda)
tidak dihadirkan dalam persidangan, karena kita sudah pangil beberapa kali
dan beada di luar daerah, dan menurut UU tidak hadir tapi bisa di bacakan jika
sudah disumpah, mungkin bapak bisa membaca pasal 162 KUHP. Kalau tadi di
bilang aneh maka saya lebih aneh lagi. kemudian saya bingung pak dekan
saraswati bilang tidak perlu asas legalitas, kalau kami di tangkap semua. Asas
legalitas itu harus ada , hanya yang di sampaikan tadi hanya satu unsur saja
tindak pidana korupsi, dan asas legalitas itu tetap diperlukan dan itu menjadi
dasar. Melawan hukum itu bisa dengan delik formil maupun materiil. Memang
tidak patut tercela yurisprudensi mahkamah agung, kemudian tadi juga
dijelaskan dakwaan tunggal tapi kok tuntutan dan subsider, kami juga bingung
lagi. dakwaan tunggal disini ini kita dakwakan pasal 11 UU pidana korupsi.
Yang disitu ancamannya minimal 1 tahun maksimal 5 tahun dan atau denda,
jadi subsider itu dalam tuntutan yang termuat dalam pasal.
Seperti bapak dengar dalam media tuntutan 1,6 bulan dengan segera
dikeluarkan tahanan, dan itu tidak saya lakukan dan keluar di media massa
kami melanggar HAM, komit saya tidak mengeluarkan. Dikatakan di sana pas
tahanan dan saya banding kok. Apa saya harus keluarkan. Dan dikeluarkan
oleh LP sebagai orang merasa melakukan penahanan, dan saya merasa tidak
menyuruh anak buah saya karena saya merasa banding. Tuntutan 1 tahun di
putus 5 bulan. Saya perintahkan anak buah saya banding, dan putusan banding
menguatkan putusan PN 5 bulan juga. Oleh karena itu saya setuju dengan pak
Yanis, jangan segala kekurangan ditimpakan kepada kami, kami setiap manusia
itu ada salah dan lupa.
Saya juga merasa kenapa di putus 5 bulan sehingga saya banding,
sampai penasehat hukum melapor, dan saya katakan silahkan melapor. Saya
akan lebih senang kalau teman-teman LSM mendukung kami dengan
memberikan data. Jangan kalau sudah selesai baru ramai-rama ngomong. Ini
yang saya minta untuk di bangun.
Seperti bapak tadi bilang tentang mutasi, saya sudah 10 kali mutasi kalau
mutasi jangan diartikan kendala. Itu masalah biasa, ini yang menjadi pemikiran.
44

Seperti ini juga dalam pemikiran kami menuntut 1 tahun di putus 5 bulan dan
itu tidak harus berhenti, itu hanya strategi penyidikan. Itu tehnik penyidikan
dan masyarakat tidak paham itu tehnik penyidikan itu, hanya yang tampak
lahir saja yang diajukan oleh penyidik

Moderator :
Kalau menuntut sampai 1.6 bulan apa ada pertimbangan dalam melakukan
penuntutan itu. kenapa tidak setengah dari itu

Soetomo, SH (Ketua Kejari Mataram) :


Tidak ada aturan setengah. Kami tuntut 1,5 bulan saja di putus 5 bulan
apalagi kami tuntut yang lebih tinggi. jadi yang harus kita bangun adalah
bagaimana masing-masing bisa membeikan sport, masing-masing punya data
dan pada saat penyidikan bisa cepat tuntas. Jaksa saya hanya 10 orang untuk 2
kabupaten , sedang perkara dari polisi saja saya sempat marah pada jaksa saya
karena lama sekali selesai. Ini kendala-kendala kami dilapangan dan banyak
yang tidak mau tau hanya orang-orang yang banyak bicara pada kami yang tau.
Kalau sudah menyangkut antar daerah menyangkut biaya yang tidak sedikit.
Tadi dikatakan dakwaan yang panjang dimana ada kewajiban jaksa
penuntut umum untuk menguraikan antar satu kalimat. Dan harus dibuktikan
oleh jaksa penuntut umum, berarti menjadi beban bagi jaksa penuntut umum,
padahal yang penting adalah tuntutan itu sudah sesuai dengan asas formil dan
meteriil. Itu yang bisa saya sampaikan. Maaf kalau saya keras. Saya berpegang
dengan prinsip saya. Saya menerima masukan-masukan saya sedang membuat
memori kasasi. Dan kami sudah menyampaikan memori kasasi ini dan tingkat
kasasi mudahan bisa di utuskan. Saya mohon dukungan dalam masa proses
dalam dukungan data dan sebagainya supaya cepat, karena surat anonim itu
banyak dan kami membuat pemeriksaan itu banyak dan tidak mudah. Jaksa
saya jarang di kantor karena mereka harus sidang. Terima kasih kami ucapkan
semga kedepan jaksa bisa lebih baik lagi. ilustrasi kompunter di kami hanya 3
yang lain itu milik jaksa kami sendiri. Masyarakat hanya melihat outputnya
saja. Dan saya akan menerima semua kekurangan itu. terima kasih.

Yanis maladi :
45

Ada satu kesenjangan dalam hukum hukum ini, bayangkan hukum 1,5
bulan di putus menjadi 5 bulan, tetapi mengapa pengadilan memutuskan yang
kontraversi dalam pandangannya. Sekarang realitasnya tidak kita jawab, karena
menurut rakyat sebenarnya dimana rasa keadilan bagi rakyat dan kita sekarang
korupsi sudah menasional, berjamaah dan yang tersentuh hanya satu. Kita
khawatir putusan pengadilan ini akan kembar, sehubungan dengan itu kita
sebagai akademisi harus membuat suatu sistem yang bagus dimana antar
penegak hukum tidak bolah ada kesenjangan yang akut.
Dalam forum ini kedepan supaya di undang lembaga-lembaga terkait,
supaya satu sama lain bisa menjawab. Hanya saja kita akan memberi jawaban
pada rakyat dengan kongnitifnya apa adanya. Sehubungan dengan hubungan
dengan LSM dan masyarakat untuk mensuport. Barangkali memicu kita untuk
menghubungkan masalah lain kedepan bisa sharing. Dan bisa untuk somasi
mencatat kasus-kasus yang sedang berjalan. Mungkin itu yang bisa saya
tambahkan.

Moderator :
Beberapa hal yang di bicarakan kita tadi mesti di beri respon, bisik-bisik kami di
depan sebenarnya beberapa persoalan memang butuh tanggapan balik dari
Kejari. Tapi apa pun yang bisa kita hasilkan akan kita tulis dan kemudian bisa
kami sampaikan di kejari. Dengan demikian beberapa respon tadi bisa di
tanggapi oleh pak Anang dan pak Lewis

Pembicara 1 :
Kurang lengkap tidak menghadirkan pak Anwar , karena pak Anwar ini
yang belum dilantik menjadi hakim Tipikor. Jadi punya gaya berpikir sendiri
dan dia yang akan jadi pemutus. Dia salah satu dari NTB dan mau lihat
bagimana pak Anwar memegang palu diatas meja. Saya hanya melihat dari sisi
hak sesungguhnya tentang kadarwarsa bahwa negara ini memiliki hak yang
tidak pernah selesai harus di pelihara dan kaitannya dengan ganguan terhadap
hak milik negara tidak ada kadualwarsa kalau cas nya itu hak milik negara
tidak mungkin kadarwarsa.
Untuk kita diskuskan bahwa harus ada idependensi kejaksaan, saya
berharap seperti yang dia katakan harus ada diskusi publik, masukan publik,
sebelum membuat kata akhir dalam penuntutan supaya enak. Sehingga saat dia
46

maju tidak ada persoalan kasak kusuk, dan sebagainya. Dan ini tidak mau
dilakukan oleh jaksa karena mereka menganggap bisa dan mereka tidak
mungkin mengatakan dirinya lemah untuk ini. tapi tadi ada katanya anonim-
anonim, kenapa anonim kita memang salut mereka telah bekerja sebaik
mungkin. Tapi ada 3 anonim yang belum jelas sekali. Saya pastikan kalau ini di
tuntut mereka akan buat paduan suara. Suara akan mengarah ke lain.
Yang manarik bagi saya hanya itu saja. Sifat melawan hukum materiil
secara materiil itu persoalan-persoalan karena kita ini adalah negara hukum,
jadi tidak mungkin, apalagi ini tindak pidana khusus itu ajaran sunat. Itu saja
komentar saya, hanya saya berharap ini sedang kasus berjalan, karena
eksamininasi ini diharapkan pasca peradilan. Tapi ternyata lebih bagus saat di
tingkat kasasi, namun kita berharap sebelum ada eksaminasi ada shearing
kepada jaksa dan sebagainya. Justru sistem yang dikataan pak Yanis itu
terwujud. Apa keputusan hakim ini keputusan rakyat Indonesia tentang
korupsi.

Pembicara 2 :
Kalau kita berakhir dengan yuridis empiris kita berusaha untuk tidak
mengingat-ingat kodifikasi. Kalau kita berbiara putusan itu benar dalam
koridor maksimal dan minimal sedangkan pengamatan kita padahal ini
menurut keadilan, lantas kalau kita berlindung dalam hal yang normatif dalam
lingkungan yang kodifikatif maka kita akan terjerembab pada kondisi ini tidak
akan baik, malah kita akan luntur karena kodifikatif. Apalagi kita kembangkan
dalam empiris logika, kalau kita mengacu pada pikiran empiris logika maka
terwakilkan diri kita pada kepentingan rakyat, karena keputusan itu
berdasarkan TUHAN YME. Jadi kondisi ini yang menjebak kita pada
lingkungan kebenaran yang normatif.
Melaksanakan aktivitas berdasarkan kebiasaan, banyak pengacara juga
mengikuti pengadilan karena biasanya membat surat dakwaan seperti ini. dan
buat peraturan seperti ini. orang di bilang besar karena bisa menegakan
keadilan tidak lemah. Toh peraturan sudah sesuai batas peraturan dan kita
tidak buat tambahan. Oleh sebab itulah yang menjadikan acuan kita ini paham
apa. Kalau itu cara berpikirnya maka hukum tidak akan maju, dinamikanya
terlalu lambat. Terima kasih.
47

Moderator :
Karena sekali lagi maksud eksaminasi ini kita mencoba ada masukan
untuk institusi hukum ini akan dapat bekerja banyak memujudkan keadilan
buat masyarakat. Tanpa kejari pun kita tetap bisa berdinamika baik proses
maupun hasil putusan hakim. Pada kita semua bisa menyampaikan beberapa
hal lagi.

Anwar (Anggota DPW IPHI & Hakim TIPIKOR dari NTB) :


Terima kasih saya hadir sebagai wakil penasehat hukum. Saya berharap
kejari masih ada. Karena ini persoalan sudah demikan parah dan kita sudah
menjadi negara yang terkorup dan ini menjadi kewajiban kita semua untuk
memberantasnya. Karena yang merasakan korupsi ini adalah masyarakat kecil,
sebab keuangan negara yang di curi pada orang-orang tertentu. Kita sebagai
praktisi kita jelas tau bahwa tersangka korupsi bukan hanya dilakukan oleh
terdakwa yang di bawa ke pengadilan, bahkan majelis menyerang ke saksi,
yang sebenarnya menjadi terdakwa, tetapi saya tidak berani berburuk sangka.
Sekarang mestinya kalau ada pak kejari saya mau tanya kalau ada
perintah seperti itu, adalah perintah lisan. Ini yang menjadi terdakwa, tapi kita
tidak tau yang harus bersih pertama kali adalah aparat penegak hukum lebih
dahulu, selama aparat hukum dan pemerintah tidak mau bekerja sama maka
kita akan sulit memberantas korupsi. Kita lihat yang jadi tersangka korupsi
adalah dalam keteria kesalahan paling kecil. Coba lihat dalam kasus narkoba
yang tertangkap yang hanya memiliki 1 butir. Dalam perlakukan tindak pidana
korupsi ada diskriminasi kenapa yang melakukan tidak di tahan yang
melakukan sedikit yang ditahan, ini subyektif sekali aparat hukum. Patut kita
tanya kenapa yang harus di tahan tidak ditahan. Eksaminasi ini sangat bagus
sekali jika ada payung hukum yang jelas.

Soge Welung :
Saya berbeda pendapat dengan pak Kejari dengan dipilah-pilahnya
karena tehnis penyelidikan karena tidak cukup bukti. Kalau pasal 184 KUHP,
bukti-bukti itu bukan saja surat ada 5 alat bukti yang bisa kita baca dalam surat
tuntutan. Saksi-saksi sudah banyak 3 orang juga saksi, kenapa kekurangan
bukti, kayaknya ini hanya mencari pembenar saja, lalu yang berikutnya tentang
48

setiap penyidikan perlu ada gelar perkara seperti yang kita lakukan ini.
memang sistem hukum kita tidak bisa lakukan itu. sayang sekali kita tidak
punya peraturan cukup, seperti untuk mengajukan hasil eksaminasi ini dan
dalam rekomendasi mesti dikatakan semua permainan duit dalam kasus
penuntutan ini di hilangkan dan di hapus. Tadi di singung advokat bukan jadi
perantara untuk memenangkan hukum. Jadi kita dalam menjalankan hukum
harus gigih dan tangguh dalam mempertahankan argumentasi. Saya juga bilang
pada hakim kalau kasus saya kalah jangan minta uang pada saya untuk
dimenangkan, karena kita berusaha akan di pecat pernah saya katakan begitu,
dan kalau kasus saya menang jangan dikalahkan karena tidak punya uang.
Saya juga sering nasehatkan klien saya, kalau memang perkaranya kalah,
maka saya bilang, kalah dan kita cari cara lain tidak dengan menyuap. Itu dari
saya tentang apa yang mesti kita rekomendasikan.

Maryadi :
Jaksa agung satu lini ke bawah. PP 110 ditangguhkan maka kasus 11
orang yang korupsi akan juga ditangguhkan. Pak Kejari bilang tadi. Yang saya
katakan bukan asas legalitas itu tidak laku, justru tidak murni dilakukan seperti
sifat melawan hukum formal khusus tindak pidana korupsi. Tadi dikatakan
semua orang rugi karena korupsi itu, bahkan kalau secara awam berpikir,
sudah ada komisi yang memantau kekayaan penyelenggaraan negara, ada
komisi pemantauan pencucian uang. Masyarakat secara fisik bisa melihat,
misalkan dosen fakultas hukum Unram baru gol 3 d. rumahnya hanrganya 20
M dari mana dapat uang, tanya apakah ada warisan, maka bisa kita tau jangan-
jangan ini di sogok oleh mahasiswanya. Kalau di pejabat lain sama saja
masyarakat bisa menilai. Kalau kita melihat PNS kaya maka itu pasti korupsi.
Cuma pembuktian itu yang butuh kepastian hukum. Jadi jangan kita ragu-ragu,
jangan pakai alasan strategi jaksa atau ada yang di tunggu-tunggu.

Soge Welung :
Kalau ada tersangkanya yang ada di jakarta ini kan alasan yang tidak
bisa kita terima di akal sehat karena bisa saja di telp untuk di bawa kesini,
masalah duit hanya cari alasan saja. Kembali pada masalah pokok untuk kasus
yang sedang berjalan mudahan dengan diskusi kita hari ini bisa memberi
pendangan yang berbeda pada institusi yang pertama kali menanggani
49

masalah korupsi. Jangan di buat-buat sampai sesorang tidak bisa diajukan.


Cukup dengan prinsip ini, kalau terbukti depan hakim syukur tidak terbukti
juga nanti hasilnya.
Tentang pembuktian terbalik sebetulnya dengan sistem pembuktian
terbalik, lebih mudah untuk penyelidik. Apa punya penghasilan lebih tinggi
seperti contoh tadi sudah bisa di lakukan investigasi, karena tersangka yang
bisa membuktikan dari mana dia dapat hasil itu kita tidak perlu lelah cari bukti,
begitu tersangka tidak bisa membuktikan dari mana asal kekayaannya itu
kategori korupsi. Dalam rekomendasi kita sistem pembuktan terbalik itu
harus dimaksimalkan.

Ibu Sri :
Saya sama dengan rekan lain kecewa dengan melarikannya kejari tadi
karena kami belum puas dengan respon dan wejangan beliau. Saya pribadi
sangat kontradiktif dalam mekanisme kerja mereka dengan korps sebagai kejari,
beliau mengatakan kualitas sebagai sebuah korps sebagai penyidik, tetapi
sudah nyata hasil kualitasnya seperti ini, dan ini saya ingin mengajak rekan
mengklarifikasi masalah ini sehingga kita membedah cas ini. Majelis eksaminasi
bisa merekomendir dan upaya hak untuk bisa diajukan ke hakim dalam
mengintrerpestasikan. Sehingga suara publik bisa dijadian suara yang sakti
sehingga menjadi power kekuasaan menekan hukum.
Sebenarnya seorang penyelidik , penuntut umum dan hakim yang
pertama memberantas korupsi. Bukan pada pihak yang dirugikan saja sehingga
kejati harus membuktikan dan berdasarkan harmonisasi dan dimensi sosial
yang dijadikan acuan dalam kejati memberikan putusan. Intinya saya pribadi
meminta meminta mejelis eksaminasi ini agar suara bedah kasus ini akan ada
artinya, tidak berlalu begitu saja. Itu masukan dari saya.

Moderator :
Jika masih ada yang bisa di respon lagi maka kita bisa menambah waktu
lagi. dan saya persilahkan kepada bapak/ibu dan kawan sekalian. Dan saya
persilahkan para pembicara juga menambahkan. Silahkan pak Lewis
50

Pembicara 2 :
Berkaita dengan penyidikan yang tidak ada di tempat. Dalam kejaksaan
ada yang dinamakan sistem koordinasi, tidak di singgung pak soge welung.
Semua jaksa di seluruh Indonesia itu hanya Jaksa, sebetulnya jaksa tinggi dan
jaksa agung itu hanya istilah, dia memiliki kedudukan yang sama. Sehingga
kewajibannya koordinatif, sehingga kalau dilakukan bersama-sama. Ada
penyimpangan saat melakukan penyidikan tadi dikenal dengan nama gelar
pendapat, karena saya pikir aneh gelar pendapat bisa mengundang pihak lain,
ternyata gelar pendapat ini bias. Bukan hanya gelar pendapat kasus saja tetapi
efek dari kasus itu juga di gelar, sehingga polda di panggil , ini ada peryataan
dari polda apabila terjadi gejolak besar saya tidak bertanggung jawab, itu kan
aneh. Terima kasih itu saja

Moderator :
Selain yang sudah ditabulasi oleh kawan-kawan saya mencoba
merangkum :
Kami meminta banyak pihak untuk menyempurnakan penilaian kasus-kasus
yang sedang terjadi di NTB ini sehingga penegakan hukum memungkinkan
bisa kita nikmati secara bersama-sama dan berkeadilan bagi masyarakat tampak
dalam penegakan hukum. Beberapa yang bisa kita tangkap :
1. kita berharap orang yang sudah di sebut dalam berkas acara tersebut bisa
diupayakan di tuntut kembali, gelar perkara kembali dan mengupayakan
mereka menjadi tersangka kasus korupsi dalam kasus yang sama dengan dr.
Sekarningrat di dinas kesehatan Lobar
2. di harapkan juga ada trasparansi bahwa dalam penyelidikan ada gelar
perkara supaya publik bisa mengetahui sejauh mana perkembangan perkara
itu dan apa yang telah dilakukan oleh penegak hukum
3. ada harapan praktek-praktek uang untuk mempengaruhi bisa di eliminasi
dan diperkecil secara bersama-sama. Dan banyak cara yang bisa kita
lakukan untuk memperkecil praktek uang di pengadilan.

Saya kira ini terima kasih untuk pak Anang dan pak Lewis dan untuk kita
semua . Terima kasih untuk kita semua.
51

Lampiran 1 : Fhoto-Fhoto Sidang dr. H.L. Sekarningrat


1

HASIL EKSAMINASI PUBLIK PERKARA

TINDAK PIDANA KORUPSI ABEL SYAMSUL HATUINA, Spi.MM

Putusan Pengadilan Tinggi Mataram


No. Reg. Perkara : 100 /PID.B/2004/PT.MTR

Oleh : BASRI MULYANI, SH

I. UMUM

a. Judul Eksaminasi :

Tindak Pidana Korupsi Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM

b. Berkas yang dilakukan Eksaminasi :

Berkas yang dijadikan referensi untuk melakukan kegiatan eksaminasi

publik atas Perkara Tindak Pidana Korupsi Abel syamsul Hatuina, Spi. MM ini

adalah salinan putusan yang didalamnya juga memuat :

1. Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum

2. Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum

3. Seluruh pertimbangan hakim dalam memutus perkara

4. Amar Putusan Perkara Pembunuhan

c. Alasan dilakukannya Eksaminasi :

1. Kontroversial

 Putusan majelis hakim ini jelas sangat kontroversial dan melukai rasa

keadilan dalam masyarakat yang mengehendaki agar pelaku korupsi

dihukum seberat-beratnya dan bukan dihukum ringan. Selain itu,

putusan ini juga menunjukkan bahwa hakim Pengadilan Negeri

Mataram membenarkan tindakan korupsi mark up anggaran hand

trakror yang bersumber dari dana APBD NTB yang merugikan

keuangan negara.
2

 Pertimbangan majelis hakim yang manyatakan bahwa terdakwa tidak

terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana “korupsi yang dilakukan secara bersama-sama”

 Putusan Pengadilan Tinggi yang memvonis terdakwa dengan

mengguatkan putusan Pengadilan Negeri.

 Ketidak konsistenan Jaksa dalam mempertahankan surat dakwaan

yang seharusnya dipertahankan pada saat pembuktian dipersidangan

2. Indikasi Judicial Corruption

Melihat dari pertimbangan dan putusan Majelis Hakim di Pengadilan

Negeri dan Pengadilan Tinggi yang ringan dari ketentuan Undang-

undang, ada indikasi Korupsi dan Kolusi sehingga hukum tidak

diterapkan dengan baik. Majelis Hakim Pengadilan Negeri muapun Tinggi

Mataram menjatuhkan pertimbangan yang salah dari fakta yang

terungkap dipersidangan, Jaksa pun tidak berupaya mempertahankan

surat dakwaan yang telah dibuatnya. Persoalan korupsi yang harus dilihat

Hakim maupun Jaksa adalah pada keuangan Negara dan Perekonomian

yang dirugikan, maka hal ini jelas korupsi.

d. Pertimbangan pembentukan Majelis Eksaminasi

1. Bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang

berdasarkan hokum (rechtstaat) yang demokratis dan bukan berdasarkan

kekuasaan belaka (machstaat), oleh karenanya tuntutan akan adanya

suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (independen), berwibawa,

bersih, dan jujur harus secara konsekuen diwujudkan;

2. Bahwa, untuk menghapus secara keseluruhan atau berupaya dengan

semaksimal mungkin untuk meminimalisir praktek peradilan yang

menyimpang dari prinsip-prinsip penyelenggaraan peradilan yang baik,

berwibawa, bersih, dan jujur tersebut perlu diberdayakan mekanisme

kontrol, baik secara internal maupun eksternal, dengan turut


3

mengundang partisipasi masyarakat yang memiliki perhatian yang tinggi

terhadap hukum dan penegakan hukum guna melakukan kontrol

terhadap jalannya proses peradilan;

3. Bahwa, perwujudan negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) yang

demokratis tersebut dilakukan melalui upaya-upaya penegakan

supremasi hukum, yang memerlukan adanya keterlibatan dan partisipasi

publik untuk melakukan kontrol sebagai wujud tanggung jawab bersama

dengan membentuk lembaga Eksaminasi yang independen, yang

kemudian dikenal dengan Majelis Eksaminasi untuk melakukan verifikasi

terhadap suatu proses persidangan yang memperoleh perhatian

masyarakat/publik dan dinilai belum mempertimbangkan secara optimal

penerapan ilmu pengetahuan hukum serta peraturan perundang-

undangan yang berlaku dalam proses pengambilan putusan;

4. Bahwa, perkara tindak pidana korupsi dengan Terdakwa Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM dalam perkara korupsi mark up pembelian hand tractor

yang bersumber dari APBD Prop. NTB tahun 2002 merupakan perkara

yang mengundang banyak perhatian masyarakat Nusa Tenggara Barat

e. Tujuan Eksaminasi

1. Mengetahui kelemahan-kelemahan dari produk hukum yang dihasilkan

dalam kasus tersebut diantaranya sebagaimana tersebut diatas serta

bagaiamana proses persidangan yang dilakukan apakah telah sesuai

dengan substansi atau materi dari putusan yang dihasilkan dan apakah

telah sesuai dengan ilmu pengetahuan hukum pidana

2. Melakukan analisis terhadap proses persidangan perkara tindak pidana

korupsi dengan terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM guna melihat

sampai sejauhmana pertimbangan hukum dimaksud sesuai ataukah

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, baik dalam


4

tataran hukum materiil maupun hukum formil dan juga dengan legal

justice, moral justice serta sosial justice.

3. mendorong dan memberdayakan partisipasi public untuk turut terlibat

secara lebih jauh didalam proses analisa dan mempersoalkan proses

peradilan sesuatu perkara dan putusan atas perkara ini yang dinilai

controversial, mencerminkan tidak adanya kepastian hokum dan melukai

rasa keadilan rakyat.

4. Mendorong dan mensosialisasikan lembaga dan hasil eksaminasi ke

publik, agar publik mengetahui hasil yang didapat dari analisis hukum

kasus tersebut dan sebagai kontrol pada lembaga peradilan agar dapat

meminimalisir proses ketiadakadilan serta membiasakan public

melakukan penilaian dan pengujian terhadap suatu proses peradilan.

f. Majelis Eksaminasi

Adapun majelis eksaminasi tersebut terdiri dari beberapa unsur yaitu,

Akademisi Universitas Mataram dan Pengacara, yang diharapkan mempunyai

posisi obyektif, tidak memihak dengan kasus yang akan dieksaminasi dan tidak

mempunyai kepentingan atau hubungan atau keterkaitan langsung atau tidak

langusng dengan kasus yang akan dieksaminasi, berkaitan tidak adanya

mantan jaksa maupun mantan hakim yang terlibat dalam eksaminasi ini, karena

kami melihat kapasitas tersebut belum ada di NTB yang berdiri secara

independent dan obyektif. Para eksaminator tersebut yaitu :

1. Dr. Anang Husni, SH (Akademisi)

2. Ignatius Soge Welung, SH (Praktisi)

3. Lewis Gorindulu, SH (Akademisi/Praktisi)

4. Umar Ahmad Seth, SH (Aktivis LSM/Pemerhati Hukum)

5. Basri Mulyani (Kordinator Eksaminasi)


5

BAGIAN PERTAMA

Pengantar

A. Pendahuluan

Sekiranya perlu untuk diketahui, bahwa anotasi ini ada berdasarkan

masalah penegakan hukum terutama terhadap kasus korupsi merupakan satu

dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Masalah

yang tak kalah penting adalah kualitas aparat penegak hukum itu sendiri. Hal ini

mendapat sorotan tajam dari masyarakat sebagai pihak yang sering tidak

berdaya untuk melakukan penegakan hukum. Karena seperti memutus

lingkaran setan, Judicial Corruption atau korupsi diperadilan menjadi satu

persoalan yang sampai saat ini tidak pernah terselesaikan. Karena berbagai

modus telah diciptakan, dari modus konvensional sampai modus yang paling

canggih.

Kecanggihan modus tersebut bukannya tidak bisa dilacak. Hanya saja

dalam melacak perlu kemampuan tersendiri. Misalnya membuat surat dakwaan

kabur (obscuur libel), putusan pengadilan dibuat dengan pertimbangan ngawur,

tidak memperhatikan bukti-bukti yang diajukan dan lain-lain.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang menjalankan fungsi proses

peradilan pidana, seperti menentukan apakah tersangka dapat dituntut untuk

dijatuhi hukuman atau tidak melalui surat dakwaan. Kemudian ditahannya

seorang tersangka untuk kepentingan penuntutan berdasarkan

kewenangannya, dan dilaksanakannya sebuah putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap (inkracht), adalah salah satu lembaga penegak hukum

yang sedikit banyak juga terkena pandangan negatif dari publik tersebut.

Kejaksaan yang tergolong sebagai legal professional organization yaitu

suatu organisasi para profesional di bidang hukum yang berpredikat jaksa.

Jaksa dapat dikualifikasikan sebagai profesional karena tugas wewenang jaksa


6

berada diarea hukum sebagaimana dinyatakan oleh UU No. 16 Tahun 2004 dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

Akan tetapi sudah cukup banyak catatan hitam atau pun putih tentang

kejaksaan kita dalam menangani suatu perkara korupsi. Beberapa kasus

korupsi yang mendapat perhatian publik yang ditangani oleh kejaksaan

negeri/tinggi dibeberapa kabupaten/kota di Prop. NTB harus menuai

kekecewaan publik karena tersangka maupun terdakwanya lolos dari jurang

deraan hukum. Entah apa yang membuat itu harus terjadi, sehingga reaksi itu

menimbulkan pertanyaan publik, bersihkah para jaksa yang melakukan

penyidikan kasus korupsi atau seriuskah Kejaksaan dalam memberantas

korupsi?. Pertanyaan publik ini harus segera di jawab pihak kejaksaan, jika tidak

ingin menuai kritik.

Karena kejaksaan sebagai salah satu ujung tombak proses penegakan

hukum kasus korupsi seharusnya menjadi tumpuan harapan masyarakat agar

melahirkan efek jera bagi para koruptor yang melakukan penggeragahan uang

rakyat (uang negara). Namun, ketika pihak kejaksaan tidak menjalankan

tugasnya dan malah “main mata” dengan koruptor, rasa keadilan masyarakat

tergadai dan para koruptor pun seperti mendapat amunisi untuk menjalankan

praktek mencuri uang rakyat tersebut.

Begitupun sebaliknya terpaan kritik atas pelaksanaan hukum bukan saja

di kejaksaan di pengadilan sebagai akhir dari pelaksanaan hukum merupakan

hal yang sama dan sudah semestinya harus segera diperbaiki sistem yang

sudah rusak ini. Kita masih ingat beberapa media nasional menulis soal

keterlibatan “Mahkamah Agung” dalam jual beli perkara kasasi.

Berangkat dari hal inilah SOMASI NTB sebagai sebuah lembaga yang

eksis dan konsisten berdiri selama hampir 6 tahun (1998) di Nusa Tenggara

Barat dalam bidang anti korupsi dan penegakan hukum mencoba melakukan

eksaminasi atas beberapa perkara yang mendapat perhatian publik.


7

Kasus yang coba dieksaminasi saat ini adalah kasus Korupsi

penggadaan Hand Tractor sebesar Rp 219,1 Juta, yang melibatkan Pimpinan

Proyek dan juga sekaligus sebagai PNS di Bappeda NTB yaitu Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM

B. Apa dan Siapa yang harus melakukan Eksaminasi

Istilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang berarti ujian

atau pemeriksaan. Dalam Black’s Law Dictionary eksaminasi diartikan sebagai

an investigation; search; inspection; interrogation. Apabila dihubungkan dengan

konteks eksaminasi terhadap produk peradilan (Dakwaan, Tuntutan dan

Putusan) maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan

terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan peradilan (hakim).

Eksaminasi sering disebut sebagai legal annotation yaitu pemberian catatan-

catatan hukum terhadap produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan seperti

putusan pengadilan maupun dakwaan Jaksa. Pada dasarnya proses yang

dilakukan hampir sama dengan eksaminasi. Namun pada perkembangannya

eksaminasi baisanya merupakan gabungan lebih dari 1 legal annotation.1

Terdapat dua bentuk mekanisme pengawasan terhadap suatu lembaga

peradilan yaitu secara internal dan eksternal. Mekanisme pengawasan internal

dilakukan di dalam dan oleh lembaga/institusi itu sendiri2, sedangkan

pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh pers, masyarakat atau akademisi.

Kegiatan Eksaminasi yang dilakukan oleh masyarakat termasuk dalam

mekanisme pengawasan eksternal yang dilakukan oleh masyarakat untuk

1
Wasingatu Zakiah, Emerson Tuntho, Aris Purnomo, Panduan eksaminasi Publik, Edisi Revisi (Jakarta :
Indonesia Corruption Watch, 2003) Hal. 17
2
Salah saty bentuk pengawasan internal yang dilakukan dalam lembaga Kejaksaan adalah dengan melakukan eksaminasi (Keputusan
Jaksa Agung Nomor: KEP-33/JA/3/1993). Peraturan tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan eksaminasi adalah tindakan
penelitian dan pemeriksaan berkas perkara di semua tingkat penanganan perkara oleh setiap jaksa/penuntut umum, yang menjadi
sasaran eksaminasi adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan proses penanganan perkara mulai dari tahap penyelidikan,
sampai dengan tahap pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Penelitian dan pemeriksaan
yang dimaksud dalam peraturan ini dapat dilakukan dalam 2 jenis yaitu:
1. Eksaminasi umum yaitu penelitian dan pemeriksaan terhadap berkas perkara yang telah selesai ditangani oleh
jaksa/penuntut umum dan sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Eksaminasi khusus yaitu penelitian dan pemeriksaan terhadap berkas perkara tertentu yang menarik perhatian masyarakat
atau perkara lain yang menurut penilaian pimpinan perlu dilakukan eksaminasi, baik terhadap perkara yang sedang
ditangani maupun yang telah selesai ditangani oleh jaksa/penuntut umum dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
8

memantau proses peradilan, mengawasi dan membantu menghapuskan atau

meminimalisir praktek peradilan yang menyimpang dari prinsip-prinsip

penyelenggaraan peradilan yang baik, berwibawa, bersih, dan jujur.

Sasaran dilakukannya eksaminasi atas produk peradilan. Dalam hal

pemantauan kejaksaan maka produk kejaksaanlah yang dieksaminasi, dengan

tujuan untuk meningkatkan profesionalisme baik dari segi teknis yuridis maupun

administrasi perkara seorang jaksa/penuntut umum dalam menerapkan hukum

formil maupun materiil dan ketentuan lain yang berlaku dalam penyelesaian dan

penanganan perkara. Demi terlaksananya eksaminasi sebagai salah satu bentuk

pengawasan dari masyarakat maka perlu diberdayakan partisipasi masyarakat

yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap hukum dan penegakan hukum.

C. Posisi Kasus

Awal tahun 2004 mencuat kasus korupsi bernilai ratusan juta di kantor

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Mark up proyek pengadaan hand

tractor dengan dua orang yang dijadikan tersangka oleh pihak Kejaksaan Tinggi

NTB yakni Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM selaku pimpinan proyek dalam

proyek tersebut dan Suryansah selaku selaku pengusaha yang menanggani

proyek tersebut.

Kasus yang bermula ketika Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

(BAPPEDA) NTB membutuhkan hand traktor sebanyak 40 unit. Peralatan itu

sendiri direncanakan dipakai Bappeda untuk mendukung penelitian perkebunan

dan pertanian pada proyek pengelolaan sumber daya pesisir dan laut

(MCRMP).

Kebetulan pihak Bappeda menunjuk Abel sebagai pimpinan proyek. Apalagi

dia sendiri sehari-hari tercatat sebagai pegawai Bappeda NTB. Modus mark up

yang dilakukan Abel terhadap pengadaan hand traktor tersebut sebesar 60 %

dari total nilai proyek sebesar Rp 400 Juta dari Rp 667 juta. Dari total itu maka
9

uang yang dipakai untuk pengadaan 40 hand traktor sebesar Rp 267 juta,

dengan hitungan satu unit traktor bernilai Rp 6,7 juta per unit harga tahun 2002.

bisa jadi, dengan hitungan seperti itu, Abel menaikkan harga dari Rp 6,7 juta

menjadi Rp 15 juta per-unit. Menurut keterangan Ketut Parwata (Aspidsus Kejati

NTB) proyek ini merupakan kerjasama Bappeda NTB dengan RRC, sehingga

hand traktor tersebut langsung didatangkan dari negeri China.3

Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM yang mulai ditahan oleh tim penyidik sejak

tanggal 29 Januari 2004 hingga perpanjangan tahanan oleh Ketua Pengadilan

Tinggi Mataram tanggal 19 September 2004. Pernah meminta penangguhan

penahanan lewat kuasa hukumnya, namun tidak diijinkan oleh Kepala Kejati

NTB hingga akhirnya Abel mengalami sakit didalam penjara karena kondisi

penjara yang tidak berahabat dengannya.4

Pada tanggal 10 Maret 2004 kasus Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM mulai

disidangkan dengan hakim yang terdiri dari M. Fachrurrozie, SH; I Nengah

Sutama, SH dan Abdul Bari A Rahim sedangkan JPU adalah Agus Prasetyo,

SH dan panitera Kemin, SH. Sidang yang dimulai dengan pembacaan Surat

Dakwaan oleh JPU, akan tetapi dakwaan yang dijatuhkan pada Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM tidak dibantah dalam Eksepsi oleh PH terdakwa. PH terdakwa

kembali hanya meminta majelis hakim untuk memberikan penangguhan

penahanan kepada terdakwa.5

Saat pemeriksaan saksi JPU mengajukan 27 orang, saat pemeriksaan 7

orang memberikan keterangan dalam persidangan sebagian besar mengatakan

tidak mengetahui tentang proyek tersebut dan yang lebih celaka lagi para saksi

menggatakan tidak mengetahui asal barang tersebut.6

Tanggal 12 Mei 2004, JPU membacakan tuntutanya dimana dalam surat

tuntutannya menyatakan bahwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Akan

3
Tabloit Rakyat; No. 18/tahun II/2004; Hal. Hukum dan Kriminal
4
Lombok Post tanggal, 17 Pebruari 2004
5
Lombok Post tanggal, 11 Maret 2004
10

tetapi PH Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM melakukan pledoi atas tuntutan JPU

tersebut dengan mengatakan apa yang dikatakan JPU tidak terbukti sesuai

dengan apa yang ada dalam surat dakwaannya.7

JPU akhirnya menutut Abel dengan 3 tahun penjara, pidana denda sebesar

Rp 50 juta subsidair 6 bulan kurungan. Putusan Hakim jauh dari tuntutan JPU

yakni hanya 7 bulan penjara terdakwa juga didenda Rp 3 juta subsidair 3 bulan

kurungan. PH terdakwa pun banding atas putusan Pengadilan Negeri Mataram,

akan tetapi di Pengadilan Tinggi Mataram Terdakwa di Putus dengan

menguatkan putusan pengadilan negeri.8

D. Fakta Dalam Peradilan

Fakta yang terungkap pada saat persidangan/peradilan dilakukan antara

lain banyak sekali kejanggalan yang bisa dijumpai diantaranya yaitu :

1. Surat Dakwaan

Terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM selaku pimpinan proyek

Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (MCRMP) Prop. NTB tahun 2002

yang diangkat berdasarkan SK Gubernur NTB No. 188.44/054/P/APP/2002

tanggal 1 Agustus 2002, telah melakukan, menyuruh melakukan perbuatan

dengan terdakwa yang lain dalam kasus yang sama yakni Suryansah dan

Muhtar Abbas yang masuk dalam daftar pencarian orang. Pada hari selasa

tanggal 19 November 2002 melawan hukum melakukan perbuatan secara

melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

sebesar Rp 219.104.687,40 (dua ratus sembilan belas juta seratus empat ribu

enam ratus delapan puluh tujuh koma empat puluh rupiah).

6
Lombok Post, tanggal 18 Maret 2004
7
Lombok Post, tanggal 23 Mei 2005
8
Lombok Post, 18 Juli 2004
11

Dimana Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM selaku pimpinan proyek

menghubungi Suryansah menjadi rekanan dan agar segera mengajukan

penawaran untuk proyek pengadaan barang berupa traktor mini (traktor China)

sejumlah 40 Unit dengan sumber dana berasal dari APBD Prop. NTB tahun

2002 dan disetujui oleh Suryansah. Akan tetapi Suryansah memberi tahu Abel

bahwa dia tidak memiliki CV sendiri, namun demikian terdakwa tetap mendesak

agar mencari CV yang dapat dipinjam. Suryansah selanjutnya menemui

saudara Mukhtar Abbas pemilik CV. Arwana dengan maksud meminjam CV-nya

guna memperoleh proyek, walaupun CV Arnawa tidak memiliki modal usaha

dan tidak pernah melakukan kegiatan dibidang proyek maupun pengadaan

barang lebih kurang 5 tahun dan juga susunan CV Arnawa tidak jelas serta tidak

mempunyai kualifikasi dibidang pengadaan barang sebagaimana yang

disyaratkan oleh Keppres No. 18 Tahun 2000.

Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM selaku pimpinan proyek membentuk panitia

pengadaan barang dengan SK No. 19 Tahun 2002 tanggal 2 Oktober 2002

tentang penunjukkan panitia pengadaan barang/jasa proyek MCRMP. Abel

menyarankan kepada Suryansah agar menemui saksi Daniel Halim selaku

pengusaha yang mempunyai akses dengan pengusaha dari China guna

mendatangkan 40 unit traktor mini dari China. Setelah Daniel Halim didatangi

oleh Suryansah, selanjutnya disepakati harga bahwa Daniel Halim bersedia

mendatangkan 40 unit traktor dengan harga per-unit sebesar Rp 7,5 juta.

Kemudian Suryansah atas saran dari Abel mengajukan penawaran harga 40

unit traktor mini yang terdiri dari type IZ.S-23 Paddy Land sebanyak 20 unit

dengan harga per-unit sebesar Rp 8.591.500,- sehingga menjadi Rp

171.930.000,- dan type IZ 20 Dry Land sebanyak 20 unit dengan harga per

unitnya sebesar Rp 9.590.000,- sehingga menjadi 191.800.00,-. Sehingga

jumlah harga penawaran seluruhnya ditambah Ppn 10 % sebesar Rp

36.363.000,- menjadi Rp 399.993.000,-.


12

Suryansah kemudian mengajukan penawaran harga kepada panitia

pengadaan barang, kemudian terdakwa memerintahkan saksi Drs. Supran

selaku ketua panitia pengadaan barang agar memproses CV. Arnawa selaku

rekanan dan membuat HPS sesuai dengan harga patokan yang ditetapkan oleh

Kepala Biro Perlengkapan Prop. NTB atas usul Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM

(Terdakwa), seharusnya berdasarkan Keppres No. 18 Tahun 2000 untuk

penetapan HPS terlebih dahulu dilakukan survei harga dipasar dan agen

tunggal pemegang merk atau dealer lain yang menjual barang sejenis sebagai

pembanding terhadap penawaran harga dari rekanan Av Arnawa, akan tetapi

hal tersebut tidak dilakukan oleh terdakwa justru menetapkan HPS sendiri untuk

type IZ-S 23 Paddy Land sebanyak 20 unit dengan harga perunit sebesar Rp

9.450.000,- sehingga menjadi Rp 189.000.000,- dan untuk type IZ 20 Dry Land

sebanyak 20 unit dengan harga perunitnya sebesar Rp 10.550.000,- sehingga

menjadi Rp 211.000.000,- sehingga 40 unit harga perkiraan sendiri (HPS)

sebesar Rp 400.000.000 kemudian atas perintah terdakwa tersebut panitia

pengadaan barang saat negosiasi harga menerima harga ditawarkan oleh

Suryansah dengan harga penawaran sebesar Rp 399.993.000,- meskipun CV

Arnawa sebenarnya tidak memenuhi persyaratan atau syarat-syarat teknis baik

segi modal, peralatan, pengalaman dan spesifikasi dibidang pengadaan barang

tersebut. Kemudian atas usul dari panitia pengadaan barang, Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM membuat surat keputusan No. 27/03/Bappeda/(Tanpa

Tanggal) telah menetapkan CV Arnawa selaku penyedia barang/jasa guna

berkerjasama dibidang pengadaan barang berupa 40 unit traktor mini (traktor

China) dengan harga borongan sebesar Rp 399.993.000,-.

Pada tanggal 19 November 2002 bertempat di kantor Bappeda Prop. NTB

Jl. Flamboyan No. 5 Kodya Mataram terdakwa Abel menandatangani surat

perintah kerja (SPK) No. 27/109/03/Bappeda tanggal 19 November 2002

dengan sdr. Mukhtar abbas (DPO) selaku direktur CV Arnawa berupa

pengadaan 40 unit Hand Traktor mini. Dimana barang ini harus diserahkan oleh
13

CV Arnawa paling lambat tanggal 20 Desember 2002 dalam keadaan buit up

(terakit). Pada tanggal 18 Desember 2002, Suryansah mengirimkan traktir mini

buatan China merk Yung Type IZ.S-23 Paddy Land sejumlah 20 unit dan Type

IZ.S-20 Dry Land sejumlah 20 unit masih dalam keadaan belum terakit kepada

terdakwa Abel dan setelah barang diperiksa oleh team pemeriksa barang

kemudian dibuat berita acara penyerahan pekerjaan dari CV Arnawa kepada

terdakwa meskipun keadaan barang masih tetap dalam keadaan belum terakit.

Berita Acara Serah Terima pekerjaan maka terdakwa Abel memerintahkan

bendahara proyek saksi Darman untuk menerbitkan SPP tertanggal 16

Desember 2002 sehingga akhirnya diproses dan diterbitkan SPMU (Surat

Perintah Membayar Uang) kepada pemegang kas daerah yaitu PT Bank NTB

cabang utama Pejanggik untuk membayar uang kepada CV Arnawa sejumlah

Rp 399.993.000,- . setelah uang dicairkan di PT Bank NTB, Suryansah

menyerahkan uang kepada saksi Daniel Halim sebagai uang pembayaran 40

unit traktor mini sebagaimana yang dikehendaki oleh terdakwa dengan harga

Rp 7.500.000,- per-unit. Sedangkan sisanya Rp 99.993.000 masing-masing

diambil sendiri oleh Suryansah Rp 30.222.703, diberikan kepada Mukhtar Abbas

sebesar Rp 10.000.000,- diberikan kepada terdakwa sebesar Rp 4.000.000,-

untuk pembayaran PP sebesar Rp 36.363.000,- untuk pembayaran PPH

sebesar Rp 5.454.450,-, untuk jasa konstruksi sebesar Rp 3.636.300,-, untuk

komisi sebesar Rp 8.766.547,-, untuk biaya leges sebesar Rp 50.000,- dan

untuk administrasi sebesar Rp 1.500.000,-. Akibat dari perbuatan terdakwa

tersebut di atas telah menguntungkan Suryansah, Daniel Halim, Mukhtar Abbas

dan terdakwa sendiri. Sehingga merugikan euangan Negara Cq. Pemerintah

Prop. NTB seluruhnya sebesar Rp 219.104.687,40 atau setidak-tidaknya

sejumlah Rp 399.993.000,- karena 40 unit traktor mini tersebut tidak dapat

digunakan.
14

Atas fakta yang tersebut diatas maka oleh JPU Agus Prasetyo, SH

terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM dituntut dengan dakwaan Alternatif

yaitu

Kesatu :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2

ayat (1 )jo pasal 18 ayat (1) sub. a, b jo. pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah

dengan UU No. 20 tahun 2001 jo. pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP

Kedua :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo

pasal 18 ayat (1) sub. a, b jo. pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No.

20 tahun 2001 jo. pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP

2. Surat Tuntutan

Pada surat tuntutan JPU terdapat sedikit perbedaan atas hasil dari fakta

yang terungkap dipersidangan yaitu berdasarkan keterangan para saksi,

keterangan terdakwa dan barang bukti dapat disimpulkan fakta hukumnya pada

tanggal 10 Mei 2004 yang pada pokoknya menuntut supaya majelis Hakim

Pengadilan Negeri Mataram yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk

memutuskan :

1. menyatakan Terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM bersalah

melakukan tindakan pidana korupsi yaitu dengan Tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

keuangan negara atau perekonomian negara secara bersama-sama

sebagaimana diatur pada pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) sub. a, b jo.


15

pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No. 20

tahun 2001 jo. pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dalam dakwaan kedua.

2. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM dengan pidana penjara 3 (tiga) tahun dikurangi

tahanan, pidana denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta

rupiah) Subsidair 6 bulan kurungan, uang pengganti sebesar Rp

219.241.000,40 ditanggung renteng bersama Suryansah apabila

dalam jangka waktu 1 bulan setelah memperoleh kekuatan hukum

tetap, tidak membayar uang pengganti maka dilakukan penyitaan

harta kekayaan yang bersangkutan untuk dilelang atau tidak

mencukupi harta kekayaan atau tidak mempunyai harta kekayaan

dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun.

3. Menyatakan barang bukti :

 SK Gubernuur NTB No. 188.44/054/P/APP/2002 tanggal 1

Agustus 2002

 SK Gubernuur NTB No. 26 tahun 2003 tanggal 21 Desembe

2003

 Surat Perintah Membayar Utang (SPMU) No. 5380/PT/2002

tanggal 21 Desember 2002

 Lembar Kerja (LK) tahun anggaran 2002

 Dokumen penawaran pekerjaan kerjasama pengembangan

traktor mini/traktor china proyek pengelolaan sumber daya

pesisir dan laut (MCRMP) Prop. NTB

 Surat perjanjian kerjasama (SPK) pekerjaan kerjasama

pengembangan traktor mini/traktor china Prop. NTB tahun 2002

No. 027/109/03/ Bappeda tanggal 19 November 2002

 Penawaran harga pekerjaan kerjasama pengembangan traktor

mini/traktor china di Prop. NTB


16

 Berita Acara pemeriksaan pekerjan tanggal 18 Desember 2002

 Berita Acara serah terima barang tanggal 20 Desember 2002

 Surat Keputusan Kepala Kepala Bappeda Prop. NTB No.

SK/05/2002 tanggal 17 Januari 2003

Dikembalikan kepada Pemerintah Prop. NTB

 2 (dua) unit Hand Traktor merk Chen Xing type C 2175 F 4.04

KW, barang ini dikembalikan kepada SMKK 2 (STM) Mataram jl.

Pendidikan 47 Mataram

4. Menyatakan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp

1.000,- (seribu rupiah).

3. Putusan Pengadilan Negeri Mataram

Pengadilan Negeri Mataram ( Putusan No. Reg. Perkara :

63/PID.B/2004/PN.MTR) pada hari Sabtu tanggal 18 Juni 2004 Terdakwa Abel

Syamsul Hatuina, Spi. MM dinyatakan tidak terbukti secara sah dan

menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang

didakwaakan Penuntut Umum dalam dakwaan pertamanya dan membebaskan

terdakwa dari dakwaan tersebut

Adapun beberapa pertimbangan majelis hakim adalah (secara ringkas)

Menyatakan terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM tersebut terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi yang

dilakukan secara bersama-sama”.

Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Mataram berbunyi

a. Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan

pidana denda sebesar Rp 5.000.000,-, subsidair 3 (tiga) bulan kurungan

serta memerintahkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp

54.125.550,- dan uang pengganti tersebut harus dibayar dalam jangka

waktu 1 (satu) bulan setelah putusan mempunyai kekautan hukum yang

tetap.
17

b. Menetapkan supaya masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa

sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan

Menetapkan supaya etdakwa tetap ditahan

4. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram

Pengadilan Tinggi Mataram (Putusan Nomor : 100/PID/2004/PT.MTR)

pada hari Kamis, tanggal 26 Agustus 2004 yang dipimpin langsung oleh Ketua

Pengadilan Tinggi sebagai ketua mejelis hakim H.M Dalail, SH.MH.Ph.D.

dengan hakim anggota H. Parmo, SH dan Musa Simatupang, SH dibantu oleh

Sutarsih, SmHK sebagai Panitera Pengganti.

Menyatakan bahwa terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM terbukti

bersalah dan menyakinkan melakukan tindak pidana “korupsi yang dilakukan

secara bersama-sama” serta menjatuhkan vonis pidana penjara dengan

memperkuat pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram.

Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi Mataram tidak

menjelaskan apa yang menjadi pertimbangan hukum sehingga harus

menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mataram

Atas Putusan PT Tinggi, PH terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM

melakukan upaya Hukum Kasasi tetapi kabar dari salah satu sumber di

Pengadilan Negeri Mataram yang tidak mau disebut identitasnya Memori Kasasi

tersebut diduga baru 1 (satu) bulan yang lalu dikirim ke Mahkamah Agung

karena masalah biaya pengurusan. Sehingga dalam prosesnya Putusan PT

Mataram menjadi tolak ukur putusan akhir karena waktu lewatnya melakukan

memori kasasi dari batas maksimal pengajuan secara administratif.

5. Delik-delik yang didakwaakan

Pasal 2 ayat (1 ) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-


18

undang No. 20 tahun 2001 yaitu Setiap orang yang secara melawan hukum

melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling

sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3 ayat (1 ) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-

undang No. 20 tahun 2001 yaitu Setiap orang yang dengan tujuan

menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 18 ayat (1 ) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-

undang No. 20 tahun 2001 yaitu (a) perampasan barang bergerak yang

berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan

untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan

milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang

yang menggantikan barang-barang tersebut; (b) perampasan barang bergerak

yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang

digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk

perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula

dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.


19

Pasal 18 ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-

undang No. 20 tahun 2001 yaitu Jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu)

bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi

uang pengganti tersebut.

Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitap Undang-undang Hukum Pidana yaitu dipidana

sebagai pelaku tindak pidana : mereka yang melakukan, yang menyuruh

melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.


20

BAGIAN KEDUA

Analisis

Perlu terlebih dahulu untuk disepakati bersama, bahwa anotasi yang

disusun pada kasus korupsi Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM membahas hasil

eksaminasi yang ditinjau dari sudut pandang hukum formil dan materil.

Sehingga apa yang disajikan dalam anotasi ini seluruhnya menyentuh ranah an

sich hukum sebagai bagian dari munculnya kasus ini.

Anotasi yang kami sampaikan disusun dalam bentuk analisa terhadap

surat dakwaan, surat tuntutan, dan putusan Pengadilan Negeri maupun

Pengadilan Tinggi terutama menyangkut penerapan hukum materiilnya maupun

formilnya.

A. Analisa Terhadap Surat Dakwaan dan Tuntutan

Surat dakwaan terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM yang disusun

secara berlapis oleh Jaksa Penunut Umum dari hasil penyidikannya adalah

lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan

pada lapisan lainnya. Dalam artian hanya satu dakwaan saja yang akan

dibuktikan, walaupun terdiri dari beberapa lapisan dakwaan.

Dakwaan ini akan dibuktikan dari yang mempunyai ancaman hukuman yang

terberat, jika unsur-unsur yang terberat telah terbukti yaitu terdakwa memenuhi

seluruh unsur dalam pasal tersebut, maka dakwaan yang terringan tidak perlu

dibuktikan lagi.

Adapun rincian pasal-pasal dalam dakwaan tersebut adalah

Kesatu :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2

ayat (1 )jo pasal 18 ayat (1) sub. a, b jo. pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun
21

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah

dengan UU No. 20 tahun 2001 jo. pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP

Kedua :

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 3 jo

pasal 18 ayat (1) sub. a, b jo. pasal 18 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan UU No.

20 tahun 2001 jo. pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP

Dimana terdakwa telah melakukan perbuatan persengkongkolan yang

berakibat melawan hukum dengan Suryansah (terdakwa lain dengan berkas

yang berbeda) dan Muchtar Abbas (masuk dalam Daftar Pencarian Orang)

melakukan mark up harga 40 unit hand traktor mini buatan China. Dimana

terdakwa menyuruh Suryansah mengajukan penawaran penggadaan hand

traktor, tetapi Suryansah mengaku tidak memiliki CV sendiri. Tetapi terdakwa

tetap mendesak Suryansah untuk meminjam CV. Akhirnya di CV Arnawa

dengan pemilik Muchtar Abbas, Suryansah meminjam Cv-nya. Saat CV Arnawa

diajukan ternyata tidak memiliki modal dan pengalaman selama 5 tahun dalam

pengadaan barang sesuai dengan kualifikasi Keppres No. 18 Tahun 2000.

Sehingga perbuatan terdakwa tersebut merupakan perbuatan melawan hukum

(menyalahgunakan jabatan) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp.

219.104.687,40 dari harga asli 40 unit traktor mini atau setidak-tidaknya

sejumlah Rp 399.993.000,- karena 40 unit traktor mini tersebut tidak dapat

digunakan akibat kelalain terdakwa.

Dari fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, Jaksa Penuntut

Umum menuntut Terdakwa terbukti memenuhi “dakwaan kedua” dan

menjatuhkan hukuman kepada Terdakwa 3 (tiga) tahun...

Dalam kasus korupsi dengan terdakwa seorang pejabat Pegawai Negeri

Sipil di Bappeda NTB yang melakukan mark up pengadaan barang 40 unit

traktor mini buatan China, dimana JPU dalam mengajukan saksi-saksi


22

dipersidangan hanya sekedar memenuhi unsur formalitas persidangan saja dari

27 orang saksi yang diajukan sebagian besar hanya memberikan keterangan

“ala kadarnya” dari apa yang seharusnya ditelusuri oleh JPU dalam hal siapa-

siapa saja tersangka pelaku tindak pidananya, apa yang telah dilakukan,

dikerjakan atau ditindakkan oleh masing-masing pelaku (terdakwa) terhadap

tindak pidana yang terjadi dan bagaimana hubungan atau keterkaitan setiap

pelaku terhadap tindak pidana atau pelaku-pelaku yang lainnya baik sebagai

seorang saksi atau tidak.

Ketiga hal tersebut diatas sangat penting guna menentukan tingkat

kesalahan dan pertanggungjawaban pidana masing-masing baik itu kepada

terdakwa maupun kepada para saksi.

Ada 7 orang yang memberikan keterangan dalam persidangan sebagaian

besar mengatakan tidak mengetahui tentang proyek tersebut dan yang lebih

celaka lagi tidak mengetahui asal barang tersebut. Seperti saksi Danil

Matondang dari BPKP yang menerangkan didepan persidangan bahwa ia tidak

melakukan audit melainkan hanya dimintai bantuan oleh penyidik untuk

mengitung apa yang disajikan penyidik dalam kasus tersebut.9 Sehingga apa

yang dilakukan JPU sebelumnya saat penyidikan dan pembuatan surat

dakwaan hanyalah memenuhi unsur pelaksaan hukum.

Dalam sistematika dakwaan, tidak terlihat jelas perbedaan uraian

kejadian antara dakwaan Kesatu (pokok) yang dititik beratkan pada “tindakan

melawan hukum” memperkaya diri/orang lain, dengan penyalahgunaan

wewenang/jabatan dengan melawan hukum, sehingga mempengaruhi akurasi

dan efektivitas dakwaan dalam pemeriksaan di pengadilan. Uraian unsur

melawan hukum sama dan sebangun dengan uraian unsur menyalahgunakan

kewenangan karena jabatan.

Menurut Dr. Indriyanto Seno Aji dalam makalahnya yang berjudul

Penyalahgunaan Wewenang sebagai Strafbarehanding yang disampaikan


23

dalam diskusi terbatas di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tertanggal 1

Oktober 2002 menyatakan “penyalahgunaan wewenang berarti telah

menggunakan wewenang itu untuk tujuan yang lain dari yang dimaksud

ketika diberikan wewenang tersebut”.

Sedangkan hal senada dipertegas pula dalam bukunya SF. Marbun

dalam Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia

mengatakan “Bahwa penyalahgunaan wewenang yang dalam istilah

Bahasa Prancis disebut D’ETOURNEMENT DE POUVAIR, diartikan yaitu

merupakan suatu kewenangan yang dipergunakan untuk tujuan lain dari

maksud dan tujuan semula diberikannya wewenang tersebut”.

Sehingga dari pengertian penyalahgunaan wewenang tersebut diatas

maka jelas apa yang telah dilakukan oleh terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi.

MM dapat dikatagorikan sebagai perbuatan penyalahgunaan wewenang dengan

MELAWAN HUKUM, karena terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM saat

melaksanakan pekerjaannya sebagai pimpinan proyek telah menerima SK dari

Gubernur sebagai dasar atau pijakan yang ligitimit didalam melaksanakan

tugas-tugasnya akan tetapi disalahgunakan dari ketentuan yang seharusnya

dilakukan.

Sebab perbuatan melawan hukum yang “merugikan keuangan negara

dan perekonomian negara” merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana

korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah

dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

B. Analisa Terhadap Putusan PN dan PT Mataram

Dari catatan fakta-fakta persidangan dalam putusan perkara No.

63/Pid.B/2004/PN.PN. MTR di Pengadilan Negeri Mataram dan Pengadilan

Tinggi Mataram No. 100/PID/2004/PT. MTR, nampak terlihat bahwa yang

muncul kepermukaan adalah prosedur-prosedur yang terjadi dalam perbuatan

9
Pledoi Penasehat Hukum terdakwa
24

melawan hukum, dimana perbuatan terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM

melanggar Keppres 18 Tahun 2000 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

Sehingga mengakibatkan kerugian negara baik salahnya penunjukkan langsung

maupun barang yang dibeli tampa melakukan survei harga dan jenis barang,

tetapi hanya meraba-raba saja yang dilakukan PL yakni Suryansah maupun

pimpinan proyek yaitu terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM.

Dalam putusan perkara tersebut, sebenarnya nampak jelas keberpihakan

Majelis Hakim kepada terdakwa, karena uraian-uraian tersebut jelas bersifat

meringankan bahkan membebaskan terdakwa dari dakwaan. Padahal ada satu

fakta hukum yang tidak dapat disiasati oleh Majelis Hakim, yaitu adagium

hukum yang menyebutkan : “setiap orang dianggap mengetahui Hukum”

termasuk dalam hal ini terdakwa yang berpendidikan cukup tinggi dan selaku

pejabat negara. Adagium ini dalam bentuknya berupa ketentuan yang tertulis

dalam setiap perundang-undangan yang berbunyi : Agar setiap orang

mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Karena itu,

sebagai konsekwensi dari dianutnya teori fiksi, dengan begitu „unsur sengaja“

dari suatu tindak pidana telah terpenuhi.

Seperti menurut Hoge Raad 14 November 1887 ; Pada umumnya untuk

suatu kejahatan disyaratkan bahwa kehendak pelaku ditujukan terhadap

perbuatan yang oleh UU diancam dengan hukuman. Hanya merupakan

pengecualian adanya perbuatan yang dapat dihukum yang tidak bersumber

pada kesengajaan akan tetapi karena sikap kurang hati-hati adanya

pencegahan, pendek kata : kesalahan pelaku. Ini tidak mencakup seluruh sikap

kurang hati-hati, juga kelalaian yang sedikit atau tidak mencoba bersikap hati-

hati, yang dapat dituntut dari setiap orang untuk perbuatan yang dapat dihukum
25

yang dapat dipertanggungjawabkan, jadi sikap kurang hati-hati, melalaikan atau

kecerobahan yang sedikit atau banyak tidak pantas.10

Menurut para ahli ilmu hukum pidana, kiranya dapat diambil kesimpulan,

bahwa untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus ada11 :

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan

yang buruk; yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan

tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Atas putusan PN yang menyatakan bahwa terdakwa Abel Syamsul Hatuina,

Spi. MM tidak terbukti secara dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum dalam dakwaan

pertama dan PT memperkuatan putusan PN adalah tidak tepat dan tidak

beralasan karena adanya unsur kesengajaan karena “niat” yang dilakukan oleh

terdakwa mengakibatkan tindak pidana tersebut terjadi bukan karena hal yang

lain. Sehingga perbuatan ini sudah dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan

hukum sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2001 pengganti UU No.

31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena adanya

unsur kesengajaan yang dilakukan bukan khilaf atau alpanya tindak pidana

terdakwa maupun menyalahgunaan kewenangan tetapi sedari awal sudah ada

niat yang membuat hal tindak pidana korupsi ini dilakukan.

Menurut R Sianturi maupun Prof J Remmelink dikatakan bahwa kesengajaan

terbagi menjadi beberapa gradasi yaitu12 :

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzetals oogmerk) atau kesadaran akan

keniscayaan akibat.

2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan (opzet bij

zekerheids of noodzakelijkheds bewustzjin) atau dolus dengan

kesadaran akan besarnya kemungkinan, dan

10
Soenarto Soerodibroto, SH, KUHP dan KUHAP, Yurisprodensi dan Hooge Raad, Cetakan Keempat,
1999, Hal 5
11
Prof. Moeljatno, SH; Asas-asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Cetakan Kelima, Hal 165
26

3. Kesengajaan dengan menyadari kemungkinan atau kesengajaan

bersyarat (dolus eventualis/opzetbijmogelijkheidsbewustzijn).

Jika kita sepakat bahwa unsur kesengajaan, dimana juga adalah unsur

penyalahgunaan wewenang seperti apa yang telah dijelaskan diatas maka

pertimbangan yang telah dijatuhkan oleh majelis hakim pada perkara tindakan

pidana korupsi kepada terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM yang hanya

menghukum 7 (tujuh) bulan penjara adalah tidak berasalan dan terdapat suatu

kontradiksi yang sangat mencolok dalam kasus tersebut. Karena unsur

melawan hukum dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

atau suatu korporasi adalah sama halnya menguntungkan diri sendiri atau orang

lain atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Karena

dimensi ini sama-sama melakukan perbuatan melawan hukum13 dengan

kesengajaan bukan khilaf, serta bodoh dan tidak berdaya dalam sistem yang

ada, untuk itu saya mohon maaf dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh

hakim.14

Sehingga jelas bahwa adanya kecenderungan hakim membuat

keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika yang akhirnya

melupakan antisipasi kemasa depan dimana dasar-dasar pertimbangannya

yang sempit dapat menjadi petaka ke depan jika pelaku korupsi lainnya

dibelakukan sama. Pertimbangan hakim yang dalam menjatuhkan putusan

hanya mempertimbangkan satu aspek permasalahan saja dengan melupakan

kaintannya dengan aspek-aspek lain merupakan tindakan yang terlampau

menyederhanakan sesuatu (over simplication).15

12
M. Affan R. Tojeng & Emerson Yuntho, ICW, Desember 2004, hal 86
13
Mengenai perbuatan melawan hokum ada 2 pendapat yang pertama ialah : apabila perbuatan telah
mencocoki larangan UU, ini berarti telah melawan Undang-Undang, sebab hukum adalah UU. Pendirian
ini dinamakan pendirian yang formal. Pendapat kedua pendirian yang materiil dimana memformulir
perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dibolehkan yaitu
korupsi.
14
Peldoi Terdawa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM, hal 5
15
lihat pertimbangan putusan PN dan PT pada fakta persidangan.
27

Dengan tidak digunakannya pertimbangan “secara melawan hukum”, tetapi

dengan hanya menggunakan pertimbangan mengguntungkan diri sendiri, orang

lain atau korporasi dengan penyalahgunaan kewenangan, maka hal tersebut

menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi motivasi dari hakim di PN maupun

di PT Mataram tidak mau membuktikan pasal 2 UU Tipikor secara lebih

menyeluruh dan komperensif.

Yang menjadi pertanyaan adalah dimana pertimbangan Majelis Hakim yang

membuktikan bahwa terdakwa hanya melakukan perbuatan yang merugikan

keuangan negara dengan cara menyalahgunkan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tidak

mau melakukan infiltrasi lebih jauh dalam pembuktian dipersidangan pada

perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain atau korporasi dengan jalan

melawan hukum, sehingga majelis hakim yang memutus secara sewenang-

wenang atau setidak-tidaknya telah mengadili dengan cara yang tidak sesuai

dengan ketentuan undang-undang yang berlaku tentunya menjadi tanda tanya

besar adapa apa pada kasus ini...?


28

BAGIAN KETIGA

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Kesimpulan

A.1 Surat Dakwaan dan Tuntutan

1. Terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM didakwa dengan dakwaan

alternatif yang berarti membuktikan dahulu dakwaan terberatnya baru

dakwaan yang teringan dibuktikan. Tetapi majelis hakim tidak membuktikan

secara jelas dakwaan terberatnya .

2. Pembuktian yang dilakukan JPU adalah pembuktian “ala kadarnya”, dalam

artian hanya memenuhi unsur proses persidangan belaka dalam kasus

dengan Terdakwa Abel Syamsul Hatuina, Spi. MM tersebut

3. Surat Dakwaan yang merupakan mahkota bagi JPU yang harus dijaga dan

dipertahankan secara mantap dalam kasus Terdakwa Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM tidak mampu dipertahankan keberadaannya dan tidak

bersandar pada Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia No. : SE-

004/J.A/11/1993.

4. Perbuatan melawan hukum yang “merugikan keuangan negara dan

perekonomian negara” merupakan delik formil yaitu adanya tindak pidana

korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah

dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

A. 2 Putusan PN dan PT Mataram

1. Keberpihakan Majelis Hakim kepada terdakwa nampak jelas, karena

uraian-uraian pertimbangan majelis hakim tersebut sangat jelas bersifat

meringankan bahkan membebaskan terdakwa dari dakwaan. Padahal

ada satu fakta hukum yang tidak dapat disiasati oleh Majelis Hakim, yaitu
29

adagium hukum yang menyebutkan : “setiap orang dianggap mengetahui

Hukum” termasuk dalam hal ini terdakwa yang berpendidikan cukup

tinggi dan selaku pejabat negara.

2. Atas putusan PN yang menyatakan bahwa terdakwa Abel Syamsul

Hatuina, Spi. MM tidak terbukti secara dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut

Umum dalam dakwaan pertama dan PT memperkuatan putusan PN

adalah tidak tepat dan tidak beralasan karena adanya unsur kesengajaan

karena “niat” yang dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan tindak pidana

tersebut terjadi bukan karena hal yang lain

3. Sehingga jelas bahwa adanya kecenderungan hakim membuat

keputusan hanya untuk memenuhi kebutuhan seketika yang akhirnya

melupakan antisipasi kemasa depan dimana dasar-dasar

pertimbangannya yang sempit dapat menjadi petaka ke depan jika pelaku

korupsi lainnya dibelakukan sama. Pertimbangan hakim yang dalam

menjatuhkan putusan hanya mempertimbangkan satu aspek

permasalahan saja dengan melupakan kaintannya dengan aspek-aspek

lain merupakan tindakan yang terlampau menyederhanakan sesuatu

(over simplication).

A. Rekomendasi

B.1 Kejaksaan Agung

1. Kejaksaan Agung harus segera membuka/melanjutkan kembali perkara

ini, karena kasus korupsi adalah kasus yang tidak pernah ada

daluarsanya. Sebab persoalan korupsi adalah persoalan keuangan

negara yang dikorup dan mengganggu perekonomian negara.

2. Agar Kejaksaan Agung perlu mengambil langkah untuk mengevaluasi

dan penindakan secara administratif kepada jaksa-jaksa yang


30

menanggani perkara korupsi yang tidak sesuai dengan nilai kepastian

dan kepatutan dari hukum tersebut.

3. Agar Kejaksaan Agung memberikan perhatian khusus pada perkara-

perkara yang mendapat perhatian publik, sehingga tidak terjadi

kesalahan penerapan hukum dengan jalan meningkatkan profesional

jaksa.

B.2 Mahkamah Agung

1. Agar Mahakamah Agung perlu pula mengambil langkah untuk

mengevaluasi dan penindakan secara administratif kepada jaksa-jaksa

yang menanggani perkara korupsi yang tidak sesuai dengan nilai

kepastian dan kepatutan dari hukum tersebut.

2. Agar MA segera menonaktifkan para hakim yang keliru dalam

memberikan putusan. Hal ini dilakukan sebagai langkah sock therapy

bagi para hakim yang lain saat menanggani perkara korupsi. Karena jika

tidak dilakukan tentu berdampak pada hilangnya keuangan negara yang

telah dikorupsi.

3. Agar MA segera melakukan eksaminasi perkara-perkara korupsi yang

telah diputus di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi dan

mengumumkannya kepada publik hasil eksaminasinya.

Anda mungkin juga menyukai