Anda di halaman 1dari 39

Laporan Kasus 1

SINDROMA BARTTER

Hidayatullah

Pembimbing :

DR. Dr. Zulkhair Ali, SpPD, K-GH, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FK UNSRI/ RSMH
PALEMBANG
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………… iii

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1

BAB II. LAPORAN KASUS………………………………………………….. 3

BAB III. ANALISIS KASUS…………………………………………………. 18

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 30

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Alur diagnosis hipokalemia…..…………………………………………… 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kalium merupakan kation intraselular yang sangat penting yang dapat


diperoleh secara mencukupi lewat makanan sehari-hari. Kadar kalium normal
intraselular adalah 135–150 mEq/L dan ekstraselular adalah 3,5–5,5 mEq/L.
Penyerapan kalium dari saluran cerna menghasilkan kelebihan asupan sekitar 1
mEq/kg/24 jam (60-100 mEq). Sebagian besar kelebihan ini (90%) diekskresikan
melalui ginjal dan 10% melalui saluran cerna. Keseimbangan kalium dipertahankan
terutama lewat regulasi ekskresi ginjal. Lokasi regulasi paling penting berada di
duktus koledokus, di mana terdapat reseptor aldosteron. Ginjal dapat beradaptasi
terhadap perubahan asupan kalium akut dan kronik. Pada saat asupan kalium tinggi
secara kronik, ekskresi kalium ditingkatkan, namun bila tidak ada asupan kalium
tetap ada kehilangan wajib sebesar 10-15 mEq/hari. 1-4
Sindrom Bartter klasik umumnya timbul pada usia dini, seringkali namun
tidak selalu, dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan dan mental. Sebagai tambahan
hipokalemia dan alkalosis metabolik, kelainan seperti poliuria, polidipsia dan
penurunan kemampuan konsentrasi juga sering didapatkan. Ekskresi kalsium urin
juga sering meningkat dan konsentrasi magnesium plasma juga antara normal atau
menurun ringan pada sebagian besar pasien. Temuan-temuan urin ini sesuai dengan
defek prime reabsorpsi natrium klorida pada tungkai asendesn ansa Henle; segmen ini
memainkan peranan sentral untuk menciptakan gradien arusbalik yang diperlukan
untuk mengekskresikan urin terkonsentrasi dan juga kalsium serta magnesium yang
direabsorpsi secara pasif pada daerah ini. Prevalensi berkisar antara 1 per 1.000.000
untuk Bartter dan 1 per 40.000 untuk Gittelman. Meskipun demikian prevalensi
heterozigot bisa sebesar 1% populasi. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi

1
2

dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian
menurun dengan peningkatan usia.5
Pengamatan tidak langsung ini dikonfirmasikan dengan temuan defek genetik
pada sindrom Bartter utamanya melibatkan banyak transporter pada tungkai asendens
tebal. Proses transpor aktif natrium klorida pada segmen ini dimediasi pada mebran
luminal oleh kotransporter Na-K-2Cl sensitif terhadap diuretik ansa, yang
menyebabkan masuknya natrium klorida ke dalam sel tubular dan oleh kanal kalium
yang menyebabkan kalium tereabsorpsi kembali bocor ke dalam lumen untuk
kotranspor Na-K-2Cl lanjutan; pada membran basolaterla, kanal klorida mengijinkan
klorida yang telah masuk ke dalam sel untuk keluar dan kembali ke dalam sirkulasi
sistemik. Sindrom Bartter dapat terjadi sebagai akibat defek gen dari salah satu
tansporter ini, menggambarkan pentingnya fungsi terintegrasi dalam transpor ansa.
Kelainan pada kotransporter Na-K-2Cl, kanal kalium luminal dan kanal klorida
membran basolateral dikenal sebagai sindrom Bartter tipe I,II dan III.6-8
Berikut ini disajikan suatu laporan kasus seorang laki-laki, umur 18 tahun
dengan sindroma Bartter. Kasus ini diangkat karena jarang terjadi dan ditujukan
untuk membahas langkah-langkah penegakan hipokalemia secara sederhana namun
terarah dan meyakinkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan dapat
menambah wawasan kita semua.
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1ANAMNESIS (AUTO DAN ALLOANAMNESIS)


2.1.1 IDENTIFIKASI
Saudara HDA,18 tahun, pelajar, status belum menikah, agama Islam, alamat
Komplek Kenten Azhar Blok AZ I no. 02 Kenten Laut, Kel. Kenten Kecamatan
Talang Kelapa, Kab. Banyuasin. Dirawat di ruang Komering 1.1 kamar 1.6 RSMH
Palembang sejak 25 Mei 2017 dengan keluhan utama mual dan muntah semakin
bertambah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

2.1.2 RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT


Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh kedua tungkai terasa lemah. Keram dan
nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien kesulitan untuk bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot
tidak ada, kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada,
demam tidak ada. Sesak saat beraktivitas berat tidak ada, berkeringat banyak ada,
nyeri dada tidak ada, dada terasa terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan
gemetar tidak ada. Mencret tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati
tidak ada. Pasien sering merasa haus, dan banyak minum, sekitar 3-4 liter/hari.
Penurunan nafsu makan tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. BAK meningkat
dari biasanya, frekuensi 7-8 kali/hari, jumlahnya ± 3 botol air mineral ukuran besar,
BAK berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada, BAK keruh tidak ada, BAK
kemerahan seperti air cucian daging tidak ada, BAK berbusa tidak ada, nyeri
pinggang tidak ada. Pasien berobat ke dokter praktek mandiri di dekat rumahnya dan
dikatakan sakit maag dan kurang makan. Setelah 3 hari makan obat dari dokter
praktek, tidak ada perubahan membaik, pasien berobat ke RS Pusri, dan dilakukan
pemeriksaan darah. Dari hasil labor darah, didapatkan nilai Kalium yang sangat
rendah. Pasien rencananya dirawat inap namun dikarenakan kapasitas tempat tidur
4

penuh, pasien lalu dirujuk ke IGD RSMH. Pasien kemudian dirawat oleh Bagian
Anak selama 1 bulan. Pasien dikatakan menderita hipokalemia berulang dan
dilakukan tatalaksana hipokalemianya. Selanjutnya pasien diperbolehkan pulang dan
kontrol rutin tiap bulan ke Poli Anak Subdivisi Nefrologi Anak. Pasien rutin kontrol
selama 14 bulan. Selama kontrol di Poliklinik, pasien mengalami keadaan
hipokalemia berulang namun keluhan kedua tungkai lemas tidak ada. Dari
pengobatan yang diberikan di poliklinik anak, pasien dapat berobat jalan dan kondisi
relatif stabil. Pasien mendapatkan obat KSR tab 3x600 mg/hari dan Spironolakton tab
2x25 mg/hari. Pasien juga disarankan konsumsi buah dan sayur yang banyak.
Sejak 8 bulan SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas. Keram
dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas
terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot tidak ada,
kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada, demam
tidak ada. Sesak saat beraktivitas berat tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa
terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Rasa haus
tidak ada, pasien minum sebanyak ±1-1,5 botol air mineral ukuran besar. Mencret
tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada. BAK seperti
biasa, frekuensi 6-7 kali/hari, jumlahnya ± 1 botol air mineral ukuran besar, BAK
berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada, BAK keruh tidak ada, BAK kemerahan
seperti air cucian daging tidak ada, BAK berbusa tidak ada, nyeri pinggang tidak ada.
Pasien sudah tidak lagi kontrol ke Poliklinik Anak karena sudah masuk masuk usia
dewasa. Orang tua pasien hanya membeli obat yang pernah diberikan di Poliklinik
Anak di apotek dekat rumah dan pasien diberikan makan pisang yang banyak.
Keluhan lama-kelamaan hilang dan pasien dapat kembali beraktifitas seperti biasa.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas.
Keram dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot
tidak ada, kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada,
demam tidak ada. Sesak saat beraktivitas berat tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada
5

terasa terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Rasa
haus mulai ada, pasien minum sebanyak 3 botol air mineral ukuran besar/hari.
Mencret tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, lidah terasa pahit, nafsu makan
menurun dan pasien hanya jajan makanan kecil di sekolah dan jarang makan di
rumah. . BAK mulai meningkat, frekuensi 8-9 kali/hari, jumlahnya ± 2 botol air
mineral ukuran besar, BAK berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada, BAK keruh
tidak ada, BAK kemerahan seperti air cucian daging tidak ada, BAK berbusa tidak
ada, nyeri pinggang tidak ada. Pasien tidak langsung berobat karena saat itu sedang
ujian di sekolahnya, pasien selanjutnya hanya istirahat di rumah dan diberikan obat
yang pernah diminum pasien saat rawat jalan dulu. Keluhan masih dirasakan hilang
timbul.
2 hari SMRS pasien mengeluh mual dan muntah makin bertambah. Muntah 4-
5 kali /hari, isi apa yang dimakan. Pasien juga mengeluh kedua tungkai makin
kesemutan dan lemah, sehingga sulit untuk berjalan. Keram dan nyeri otot ada, nyeri
sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas terbatas. Penurunan
kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot tidak ada, kejang tidak ada, pusing
tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada, demam tidak ada. Sesak saat
beraktivitas berat tidak ada, berkeringat banyak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa
terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Mencret tidak
ada, nyeri ulu hati tidak ada. Penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan
tidak ada. Pasien juga sering merasa haus sehigga minum banyak sekitar 2-3 botol air
mineral ukuran besar. BAK meningkat, frekuensi 9-10 kali/hari, banyaknya sekitar
2,5 botol air mineral ukuran besar. BAK berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada,
BAK keruh tidak ada, BAK kemerahan seperti air cucian daging tidak ada, BAK
berbusa tidak ada, nyeri pinggang tidak ada. Pasien dibawa keluarga berobat ke IGD
RSMH, setelah dilakukan pemerikaan darah, didapatkan kadar kalium yang rendah,
pasien disarankan dirawat untuk pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut.
6

2.1.3 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat sakit gondok disangkal
 Riwayat sakit jantung disangkal
 Riwayat sakit asma disangkal
 Riwayat sakit batu ginjal disangkal
 Riwayat trauma pada tulang belakang disangkal

2.1.4 RIWAYAT KEBIASAAN


 Riwayat minum alkohol disangkal
 Riwayat minum minuman kemasan bersoda (Teh Gelas, Panther) ada, pasien
mengatakan hampir setiap hari minum saat jajan di sekolah sejak SMP hingga
sebelum keluhan sakit ini datang.
 Riwayat pemakaian rutin obat-obatan tertentu seperti furosemid, insulin,
pencahar maupun teofilin disangkal
 Riwayat pola makan yang tidak teratur dan kurang dari segi kualitas (tidak
suka makan daging, pisang, sayuran) dan kuantitas ada.

2.1.5 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


 Riwayat penyakit dengan kelemahan lengan dan tungkai yang berulang dalam
keluarga disangkal
7

Keterangan :
: Laki-laki : Penderita

: Perempuan
2.1.6 RIWAYAT NUTRISI
Riwayat makan dalam satu bulan terakhir, pasien makan tiga kali sehari,
banyaknya 1-2 porsi nasi dengan satu jenis sayur dan lauk. Variasi lauk dan sayur
yang dimakan cukup beragam. Pasien banyak mengkonsumsi buah pisang.
Berat badan pasien dalam tiga bulan terakhir tidak mengalami penurunan,
berat badan sekarang 52 kg.

2.1.7RIWAYAT SOSIAL EKONOMI


Pasien adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Saat ini pasien belum bekerja
dan masih ikut orang tuanya yang berpenghasilan ± Rp. 5.000.000,- perbulan, .
Kesan : sosial ekonomi cukup

2.2 PEMERIKSAAN FISIK


2.2.1 Keadaan Umum
Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
Tekanan Darah (TD) : 110 / 70 mmHg
Nadi (N) : 68 kali/menit, regular, isi dan tekanan cukup
Pernafasan : 20 kali/menit, regular
Suhu : 36,5oC
Tinggi Badan (TB) : 161 cm
Berat Badan (BB) : 52 kg
Ratio Body Weight : 94% (normoweight)
8

Indeks Massa Tubuh : 20,06 kg/m2( kesan : berat badan normal )


2.2.2 Keadaan Spesifik
 Kepala : Normocephali, rambut hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata : Mata cekung (-), exothalmus (-), konjungtiva palpebra
pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, Ø 3 mm, refleks
cahaya +/+
Leher : JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-), struma tidak
teraba.

 Thoraks : Angulus costae < 90º, barrel chest (-), venektasi (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra ICS V
Auskultasi : HR 68 kali/menit, bunyi jantung I dan II normal, regular,
murmur (-), gallop (-)

Paru (anterior)
Inspeksi : Statis & dinamis simetris kanan & kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar ICS VI
peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Paru (posterior)
Inspeksi : Statis & dinamis simetris kanan & kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
9

 Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(+).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
 Ekstremitas : edema pretibia (-/-), kekuatan 5/4 dan 5/4, tremor (-)

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium RSMH tanggal 25/03/2018 :
Hb : 14,3 g/dL
Ht : 37 %
Leukosit : 17.100/mm3
Trombosit : 517.00/mm3
DC : 0/1/79/12/8
BSS : 76 mg/dl
Ureum : 24 mg/dl
Kreatinin : 1,00 mg/dl
Natrium : 144 mEq/l
Kalium : 1,4 mEq/l
Kalsium : 9,0 mg/dL
Kesan :
- Hipokalemia

Laboratorium RS Pusri tanggal 24/03/2018


Free T4 : 1,68 ng/dL
TSH : 3,330 µIU/mL
10

b. EKG RSMH (IGD RSMH, 25 Maret 2018 pukul 19.00 WIB):

Irama sinus, aksis normal, HR 69 kali/menit, , gelombang P normal, PR interval 0,16


detik, QRS kompleks 0,06 detik, R/S di V1< 1, S di V1 + R di V5/6 < 35, ST-T
change (-), gelombang U (+)
Kesan:Suspek Hipokalemia

C. Ro. Thorax PA (IGD RSMH tgl 25 Maret 2017 jam 20.00)

 Kondisi foto baik


 Simetris kanan dan kiri
 Trakhea di tengah
 Tulang-tulang dan
jaringan lunak baik
 Sela iga tidak melebar
 Sudut Costofrenikus
kiri dan kanan tajam
 Diafragma tenting (-)
 Cor : CTR <50%
 Parenkim :infiltrat (-),
corakan
bronkovaskuler normal
 Kesan : dalam batas
normal
11

2.4 RESUME
Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh kedua tungkai terasa lemah. Keram dan
nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien kesulitan untuk bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Pasien berobat ke dokter praktek mandiri di dekat rumahnya
namun belum ada perbaikan, pasien berobat ke RS Pusri, didapatkan nilai Kalium
yang sangat rendah, pasien lalu dirujuk ke IGD RSMH karena tempat tidur penuh.
Pasien kemudian dirawat oleh Bagian Anak selama 1 bulan. Pasien dikatakan
menderita hipokalemia berulang dan dilakukan tatalaksana hipokalemianya. Pasien
pulang dengan perbaikan lalu rutin kontrol ke poli selama 14 bulan.
Selama kontrol di Poliklinik, pasien mengalami keadaan hipokalemia
berulang dan namun keluhan kedua tungkai lemas tidak ada. Dari pengobatan yang
diberikan di poliklinik anak, pasien dapat berobat jalan dan kondisi relatif stabil.
Pasien mendapatkan obat KSR tab 3x600 mg/hari dan Spironolakton tab 2x25
mg/hari. Pasien juga disarankan konsumsi buah dan sayur yang banyak.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas.
Keram dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Rasa haus mulai ada, pasien minum sebanyak 3 botol air
mineral ukuran besar/hari. Mencret tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, BAK
mulai meningkat, frekuensi 8-9 kali/hari, jumlahnya ± 2 botol air mineral ukuran
besar. Pasien tidak langsung berobat karena saat itu sedang ujian di sekolahnya,
pasien selanjutnya hanya istirahat di rumah dan diberikan obat yang pernah diminum
pasien saat rawat jalan dulu. Keluhan masih dirasakan hilang timbul.
2 hari SMRS pasien mengeluh mual dan muntah makin bertambah. Muntah 4-
5 kali /hari, isi apa yang dimakan. Pasien juga mengeluh kedua tungkai makin
kesemutan dan lemah, sehingga sulit untuk berjalan. Keram dan nyeri otot ada, nyeri
sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas terbatas. Pasien juga
sering merasa haus sehigga minum banyak sekitar 2-3 botol air mineral ukuran besar.
BAK meningkat, frekuensi 9-10 kali/hari, banyaknya sekitar 2,5 botol air mineral
ukuran besar. Pasien dibawa keluarga berobat ke IGD RSMH, setelah dilakukan
12

pemerikaan darah, didapatkan kadar kalium yang rendah, pasien disarankan dirawat
untuk pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, TD 110/70 mmHg, nadi 68 kali/menit, pernafasan 20
kali/menit, suhu 36,5oC, status gizi cukup. Pada pemeriksaan spesifik didapatkan
kekuatan otot ekstremitas 5/4 dan 5/4. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium
didapatkan kesan hipokalemia. Pada EKG didapatkan kesan suspek hipokalemia.

2.5 DAFTAR MASALAH


1. Hipokalemia

2.6 PENGKAJIAN MASALAH


Hipokalemia
Pada pasien ini terdapat keluhan kedua tungkai lemas dan kejadian ini sering
berulang. Dari anamnesis juga tidak ditemukan adanya keluhan kekurangan
intake. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kekuatan otot 5/4, 5/4, tanpa disertai
adanya refleks patologis yang positif. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan
kadar kalium 1,4 mEq/l.
 Diagnosis banding :
o Hipokalemia ec renal loss
o Hipokalemia ec ekstra renal loss
o Hipokalemia ec intracellular shift
 Rencana diagnostik :
o Pemeriksaan kalium urin
o Analisa gas darah
 Rencana terapi :
13

o Koreksi kalium : 1/3x BB x (∑kalium) = 0,3 x 52 x (3,5-1,4) = 32,76


Kebutuhan kalium harian 1 mEq/kgBB. Total kebutuhan kalium 52 +
32,76 = 84,76 mEq
o Drip Kalium 1 flas (25 mEq) dalam NaCl 0,9% 500cc gtt XX/menit
makro, dilanjutkan dengan sisa kebutuhan kalium sampai kalium 3,5
mEq/l.
 Rencana edukasi :
o Menjelaskan pada pasien dan keluarga tentang penyakit yang diderita,
rencana pemeriksaan dan pengobatan yang akan dilakukan.

2.7 DIAGNOSIS KERJA


 Hipokalemia Berulang e.c renal loss

2.8 DIAGNOSIS BANDING


 Hipokalemia berulang ec extra renal loss
 Hipokalemia berulang ec intracellular shift

2.9 PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis :
 Istirahat
 Diet NB 1700 kkal, tinggi kalium
 Edukasi
Farmakologis :
 IVFD NaCl0,9% 500 ml+ KCl 1 flash gtt XX/menit, makro
 Inj. Ondancentron 3x4 mg iv
 Inj. Omeprazole 1x20 mg po
 KSR tablet 3x600 mg po
14

2.10 RENCANA PEMERIKSAAN


 Kalium urin
 AGD
 EKG ulang
 Konsul divisi ginjal hipertensi

2.11 RENCANA EDUKASI


 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya, tentang kegiatan
apa saja yang sebaiknya boleh dan tidak boleh dilakukan pasien selama perawatan
di rumah sakit, tentang pentingnya mematuhi instruksi dari dokter dan paramedis,
serta prognosis berkenaan dengan penyakitnya

PERKEMBANGAN SELAMA PERAWATAN


Tanggal 26-28 Maret 2018
S: Badan lemas, kelemahan kedua tungkai berkurang
O: Keadaan umum Tampak sakit sedang
Sens CM
TD (mmHg) 110/70 mmHg
Nadi (x/m) 72x/menit, isi dan tekanan cukup
Pernafasan (x/m) 20x/menit
Suhu (˚C) 36,4oC

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 72kali/m, reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba,, timpani, bising
Extremitas usus (+) normal
Edema pretibial (-), kekuatan motorik 5/5, 5/5

Pemeriksaan
penunjang Kalium urin : 35,84 mmol/24 jam (25-125 mmol/24 jam)
Laboratorium Kalium serum : 2,1 meq/L
15

Analisis Gas Darah :


FiO2 : 98%
Temperature : 36,5oC
pH : 7,473 kPa
pCO2 : 28,9 mmHg
pO2 : 109,3 mmHg
SO2 : 98,9%
HCO3 : 21,4 mmol/L
BEecf : - 2,4 mmol/L
BEb : - 0,6 mmol/L
Kesan : alkalosis metabolik

Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh
Berat jenis : 1,005
pH : 8,0
Urin rutin Protein : negatif
Glukosa : negatif
Keton : negatif
Darah : positif 1
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : 1
Nitrit : negatif
Leukosit esterase : negatif
Sedimen urin :
o Epitel : positif
o Leukosit : 0-1
o Eritrosit : 2-3
o Silinder : negatif
o Kristal : negatif
o Bakteri : negatif
o Mukus : negatif
o Jamur : negatif
Kesan : urin dalam batas normal
16

EKG ULANG Tanggal 26 Maret 2018

Irama sinus, aksis normal, HR 72 kali/menit, , gelombang


P normal, PR interval 0,16 detik, QRS kompleks 0,06
detik, R/S di V1< 1, S di V1 + R di V5/6 < 35, ST-T
change (-), gelombang U (+)
Kesan: Hipokalemia

Kesan : hipokalemia ec renal loss


Konsul Divisi Ginjal
Saran : Cek magnesium serum, klorida dan kalsium urin
Hipertensi
A:
Diagnosis kerja Hipokalemia ec renal loss ec sindroma Bartter

Diagnosis banding Hipokalemia ec renal loss ec sindroma Gittelman


P: Non Farmakologis :
 Istirahat
 Diet NB 1700 kkal
17

 Edukasi

Farmakologis :
 IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XXX/menit,
makro (habis dalam 6 jam)
 Inj. Ondancentron 3x4 mg iv
 Inj. Omeprazole 1x20 mg po
 KSR tab 3x600 mg po

Rencana: Cek magnesium serum, klorida dan kalsium urin, kalium


serum, USG TUG

Tanggal 29 Maret-01 April 2018


S: Mual berkurang dan muntah sudah tidak ada lagi,
kelemahan tungkai sudah tidak lagi, BAK meningkat
O: Keadaan umum Sakit sedang
Sens Compos mentis
TD (mmHg) 120/70 mmHg
Nadi (x/m) 76 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Pernafasan (x/m) 20 kali/menit
Suhu (˚C) 36,6oC

Keadaan spesifik

Kepala Konjunctiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)


Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 76 kali/m,reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, timpani, bising usus
(+) normal
Extremitas Edema pretibial (-), akral dingin (-)

Hb : 12,8 g/dL
Pemeriksaan Ht : 34 %
penunjang Leukosit : 11.700/mm3
Laboratorium Trombosit : 592.000/mm3
DC : 0/2/63/27/8

Magnesium serum : 2,69 mg/dL (1,3-1,8 mg/dL)


Kalsium urin : 149,8 mg/24 jam (100-300 mg/24 jam)
Clorida Urin : 330 mmol/24jam (100-250 mmol/24jam)
18

Kalium serum : 2,3 mEq/L


Kesan: Hipermagnesemia, Hipokalemia, Leukositosis
(perbaikan),

USG TUG

Pada pemeriksaan USG TUG, didapatkan:


Ginjal kanan: besar normal, echogram normal, batas
sinus cortex jelas, pelvi kalises tak ectasis, tak tampak
19

batu/kista/modul
Ginjal kiri: besar normal, echogram normal, batas sinus
cortex jelas, pelvi kalises tak ectasis, tak tampak
batu/kista/modul
VU: dinding tak menebal, tak tampak batu, tak tampak
massa.

Kesan: Tak ada kelainan pada pemeriksaan USG TUG

A: Hipokalemia ec renal loss ec sindroma Bartter

Diagnosis banding

P: Non Farmakologis :
 Istirahat
 Diet NB 1700 kkal, tinggi kalium
 Edukasi
Farmakologis :
 IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XXX/menit,
makro (habis dalam 6 jam)
 Inj. Omeprazole 1x40 mg po
 KSR tab 3x600 mg po

Rencana Konsul Gizi Klinik,monitoring kalium serum

Tanggal 02 – 07 Mei 2017


S: -
O: Keadaan umum Sakit sedang
Sens Compos mentis
TD (mmHg) 120/80 mmHg
Nadi (x/m) 74 kali/menit, isi dan tegangan cukup
Pernafasan (x/m) 20 kali/menit
Suhu (˚C) 36,5oC

Keadaan spesifik

Kepala Konjunctiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)


Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 74 kali/m,reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba, timpani, bising usus
20

(+) normal
Extremitas Edema pretibial (-), akral dingin (-)

Pemeriksaan Kalium serum : 3,0 mEq/L


penunjang
Laboratorium

Hasil konsul gizi NB 2100 kalori, tinggi kalium


klinik Edukasi: perbanyak makan sayuran dan buah

A: Hipokalemia ec renal loss ec sindroma Bartter

Diagnosis banding
P: Non Farmakologis :
 Istirahat
 Diet NB 2100 kkal, tinggi kalium
 Edukasi
Farmakologis :
 IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XX/menit,
makro (habis dalam 8 jam)
 KSR tab 3x600 mg PO
 Rawat Jalan

Rencana Monitoring DR, elektrolit di Poliklinik Rawat Jalan

Balance Cairan selama perawatan


Tanggal INTAKE OUTPUT
Selisih
Makan Minum Infus Total BAB BAK IWL Total
26-03-2017 200 2000 1000 3200 100 2500 600 2300 -100
27-03-2017 200 2500 1000 3700 -- 3200 600 3800 -100
28-04-2017 200 2600 1500 4300 -- 3500 600 4100 +200
21

29-04-2017 200 3000 2000 5200 100 4300 600 5000 -200
30-04-2017 200 3500 1000 4700 -- 4500 600 5100 -400
31-04-2017 200 3400 2000 5600 100 5000 600 5700 -100
01-04-2017 250 3500 1000 4750 -- 4500 600 5100 -350
02-04-2017 250 3500 2000 5750 100 5000 600 5700 +50
03-04-2017 250 3300 1000 4550 - 4000 600 4600 -50
04-04-2017 250 3000 1000 4250 100 3500 600 4200 +50
05-04-2017 250 2700 1000 3950 -- 3000 600 3900 +50

06-04-2017 250 2200 1000 3450 100 2700 600 3400 +50

07-04-2017 250 2000 1000 3250 -- 2500 600 3100 +150

PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT JALAN


Tanggal 10 April 2018
S: -
O: Keadaan umum Tampak sehat
Sens CM
TD (mmHg) 110/70 mmHg
Nadi (x/m) 72x/menit, isi dan tekanan cukup
Pernafasan (x/m) 20x/menit
Suhu (˚C) 36,4oC

Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 72kali/m, reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba,, timpani, bising
Extremitas usus (+) normal
Edema pretibial (-), kekuatan motorik 5/5, 5/5

Pemeriksaan
penunjang Hb : 13,3 g/dL
Laboratorium Ht : 38 %
Leukosit : 8500 /mm3
22

Trombosit : 500000/mm3
DC : 0/2/61/28/8

Kalsium Serum: 9,0 mmol/L, Magnesium: 2,30 mEq/L,


Natrium: 146 mEq/L, Kalium serum : 3,9 mEq/L

A:
Diagnosis kerja Post hipokalemia ec renal loss ec sindroma Gittelman

Diagnosis banding
P: Non Farmakologis :
 Diet Tinggi Kalium
 Edukasi: Gizi yang seimbang, kontrol ulang segera bila
keluhan yang sama muncul,
Farmakologis :
 KSR tab 1x600 mg PO

Rencana: Monitoring elektrolit per 3 bulan


BAB III
ANALISIS KASUS

Kalium, kation intraselular terpenting, sangat penting untuk kehidupan


organisme dan dapat diperoleh secara mencukupi lewat makanan sehari-hari.
Penyerapan kalium dari saluran cerna sangat baik dan menghasilkan kelebihan
asupan sekitar 1 mEq/kg/24 jam (60-100 mEq). Sebagian besar kelebihan ini (90%)
diekskresikan lewat ginjal dan 10% lewat saluran cerna. Keseimbangan kalium
dipertahankan terutama lewat regulasi ekskresi ginjal. Lokasi regulasi paling penting
berada di duktus koledokus, di mana terdapat reseptor aldosteron.13
Ekskresi kalium ditingkatkan oleh aldosteron, peningkatan hantaran natrium ke
duktus koledokus (seperti pada penggunaan diuretik), aliran urin (diuresis osmotik)
dan kadar kalium darah tinggi serta juga hantaran ion-ion negatif ke dalam duktus
koledokus (misal bikarbonat). Sedangkan ekskresi diturunkan oleh ketiadaan relatif
atau absolut aldosteron, hantaran natrium ke duktus koledokus, aliran urin dan kadar
kalium darah rendah serta juga gagal ginjal.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI HIPOKALEMIA


Hipokalemia dapat disebabkan oleh :4-7
1. Penurunan asupan kalium
Asupan kalium normal berkisar antara 40-120 mEq per hari, kebanyakan
diekskresikan kembali di dalam urin.
2. Peningkatan laju kalium masuk ke dalam sel
a. Peningkatan pH ekstraselular
b. Peningkatan jumlah insulin
c. Peningkatan aktivitas beta adrenergik
d. Tirotoksikosis
e. Intoksikasi teofilin
f. Intoksikasi barium
g. Intoksikasi klorokuin

18
19

3. Peningkatan kehilangan gastrointestinal


Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah,
diare, laksatif) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan
hipokalemia. Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah
cukup tinggi (20-50 mEq/L) pada sebagian besar kasus.
Hipokalemia oleh karena kehilangan saluran cerna bagian bawah paling sering
terjadi pada saat kehilangan timbul dalam jangka waktu lama, seperti pada
adenoma vilosa atau tumor pensekresi peptida intestinal vasoaktif (VIPoma).
Pada beberapa kasus, meskipun demikian, peningkatan kehilangan faeses tidak
dapat menjelaskan semua defisit kalium. Subyek normal biasanya mendapatkan
asupan kalium sekitar 80 mEq per hari. Ekskresi kalium normal harus turun di
bawah 15-25 mEq/hari pada keadaan defisit kalium. oleh karenanya, kehilangan
faeses (biasanya sekitar 10 mEq/hari) harus melewati 55-65 mEq/hari untuk dapat
menginduksi hipokalemia.
4. Peningkatan kehilangan urin
a. Diuretik
b. Kelebihan mineralokortikoid primer
c. Hiperaldosteronisme primer
d. Sindrom Liddle
e. Penyakit Cushing
f. Renal tubular asidosis tipe I dan tipe II
g. Sindroma Barrter dan Gittleman
h. Defisiensi magnesium

Manifestasi klinik hipokalemia


Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama
hipokalemia. Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0
mEq/L, kecuali kadar kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai
20

faktor-faktor yang memperberat seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan


digitalis. Gejala biasanya membaik dengan koreksi hipokalemia.4-9
Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan otot biasanya tidak timbul
pada kadar kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan. Namun,
kelemahan yang signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba, seperti pada
paralisis hipokalemik periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan ini
mungkin lebih kompleks.Hipokalemia juga dapat menyebabkan hal berikut ini:
kelemahan otot pernapasan yang dapat begitu berat sampai menyebabkan kegagalan
pernapasan dan kematian. Keterlibatan otot-otot pencernaan, menyebabkan ileus dan
gejala-gejala yang diakibatkannya seperti distensi, anoreksia, nausea dan vomitus.
Kram, parestesia, tetani, nyeri otot dan atrofi.
Aritmia kardiak dan kelainan EKG, beberapa tipe aritmia dapat dilihat pada
pasien dengan hipokalemia. kelainan ini termasuk denyut atrial dan ventrikel
prematur, bradikardia sinus, takikardia atrial atau junctional paroksismal, blok
atrioventrikular sampai kepada takikardi atau fibrilasi ventrikel. Hipokalemia
menghasilkan perubahan-perubahan karakteristik pada EKG. Biasanya dapat
ditemukan depresi segmen ST, penurunan amplitudo gelombang T dan peningkatan
amplitudo gelombang U yang timbul setelah akhir gelombang T. Gelombang U
seringkali dapat dilihat pada lead prekordial V4 sampai V6.
Rhabdomiolisis, penurunan kadar kalium berat (kurang dari 2,5 mEq/L) dapat
menyebabkan keram otot, rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Pelepasan kalium dari
sel otot secara normal menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran
darah ke otot selama olah raga. Penurunan pelepasan kalium oleh karena hipokalemia
berat dapat menurunkan aliran darah ke otot sebagai respons olah raga.
Kelainan ginjal, hipokalemia dapat menginduksi beberapa kelainan ginjal yang
kebanyakan dapat dipulihkan dengan perbaikan kadar kalium. keadaan-keadaan ini
termasuk gangguan kemampuan konsentrasi urin (dapat timbul sebagai nokturia,
poliuria dan polidipsia), peningkatan produksi amonia renal oleh karena asidosis
21

intraselular, peningkatan reabsorpsi bikarbonat renal dan juga nefropati hipokalemik.


Hipokalemia dapat menyebabkan polidipsia yang berkontribusi terhadap poliuria.

Diagnosis hipokalemia
Hal ini membantu untuk menegakkan diagnosis secara berurutan
menggunakan algoritma berdasakan penyebab dan mekanisme hipokalemia (gambar
1). Pertama menilai ekskresi kalium urin untuk membedakan kehilangan pada saluran
cerna dan kehilangan melalui urin. Kalium urin diperiksa dengan cara mengumpulkan
urin selama 24 jam. Bila kalium urin kurang dari 20 mmol/hari, menandakan bahwa
adanya intake yang kurang, intracellular shift, atau kehilangan kalium melalui
saluran gastrointestinal.4-9
Setelah itu penilaian terhadap status asam basa untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding. Apabila didapatkan adanya alkalosis metabolik,
langkah selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap klorida urin. Apabila didapatkan
kadar klorida urin kurang dari 20 mEq/L maka penyebabnya adalah akibat diuretic
atau muntah. Jika kalium urin lebih dari 20 mEq/L, maka langkah selanjutnya adalah
mengukur tekanan darah penderita. Tekanan darah yang tinggi mengarahkan kita
pada suatu kelaian seperti aldosteronisme, sindrom cushing, atau sindrom Liddle.
Tekanan darah yang normal atau cenderung turun, akan mengarahkan diagnosis ke
sindrom Bartter atau sindrom Gittelman. Untuk membedakan keduanya dilakukan
pemeriksaan magnesium serum dan kalsium urin.4-9
22

Gambar 1. Alur diagnosis hipokalemia


23

Sindrom Bartter dan Gittelman


Sindrom Bartter dan Gittelman (juga disebut hipomagnesemia-hipokalemia
tubular dengan hipokalsiuria) merupakan suatu kelainan autosomal resesif dengan
kelainan-kelainan metabolik khas. Kelainan ini termasuk hipokalemia, alkalosis
metabolik, hiperreninenima, hiperplasia aparatus jukstaglomerular (sumber renin di
ginjal), hiperaldosteronisme dan pada beberapa pasien hipomagnesemia.6
Sindrom Bartter dan Gittelman berbeda dengan aldosteronisme primer dalam
dua cara: pasien tidak hipertensif dan aktivitas plasma renin meningkat, tidak
tersupresi dengan ekspansi volume terkait aldosteron. Prevalensi berkisar antara 1 per
1.000.000 untuk Bartter dan 1 per 40.000 untuk Gittelman. Meskipun demikian
prevalensi heterozigot bisa sebesar 1% populasi.7
Patogenesis dan manifestasi klinis
Defek primer pada sindrom Bartter dan Gittelman adalah gangguan salah satu
transporter yang terlibat pada reabsorpsi natrium klorida pada ansa Henle dan tubulus
distal. Bukti tak langsung mendukung hipotesis ini diperoleh dari pengawatan bahwa
kemampuan untuk mendilusi urin secara seragam menurun pada pasien-pasien ini,
sedangkan kemampuan untuk mengonsentrasi lebih baik pada pasien dengan sindrom
Gittelman. Baik tungkai asendens anse Henle maupun tubulus distal sama-sama
mengabsorpsi natrium klorida tanpa air, sehingga menurunkan osmolalitas cairan
tubular di bawah plasma; ekskresi cairan dilut ini memerlukan ketiadaan ADH untuk
mencegah reabsorpsi air di tubulus koligentes.
Defek tubular pada transpor natrium klorida dipikirkan memulai sekuens
berikut ini, yang hampir sama dengan yang dilihat pada asupan kronik diuretik ansa
atau tipe tiazid. Kehilangan garam awal menghasilkan kekurangan cairan, kemudian
mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. Kombinasi hiperaldosteronisme
dan peningkatan aliran distal (oleh karena defek reabsorptive) meningkatkan sekresi
kalium dan hidrogen pada lokasi sekretorik pada tubulus koligentes, kemudian
menyebabkan hipokalemia dan alkalosis metabolik.
24

Oleh karena adanya kecenderungan kebocoran garam ginjal, pasien dengan


sindrom Bartter dan Gittelman mempunyai tekanan darah yang lebih rendah
dibandingkan dengan populasi umum. Penyebab lain dari tekanan darah rendah pada
sindrom Bartter adalah pelepasan prostaglandin vasodilator (prostaglandin E2 dan
prostasiklin). Tekanan darah yang lebih rendah juga dilihat pada bentuk heterozigot
kedua kelainan.

Sindroma Bartter
Sindrom Bartter klasik umumnya timbul pada usia dini, seringkali namun tidak
selalu, dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan dan mental. Sebagai tambahan
hipokalemia dan alkalosis metabolik, kelainan seperti poliuria, polidipsia dan
penurunan kemampuan konsentrasi juga sering didapatkan. Ekskresi kalsium urin
juga sering meningkat dan konsentrasi magnesium plasma juga antara normal atau
menurun ringan pada sebagian besar pasien. Temuan-temuan urin ini sesuai dengan
defek prime reabsorpsi natrium klorida pada tungkai asendesn ansa Henle; segmen ini
memainkan peranan sentral untuk menciptakan gradien arusbalik yang diperlukan
untuk mengekskresikan urin terkonsentrasi dan juga kalsium serta magnesium yang
direabsorpsi secara pasif pada daerah ini.14
Pengamatan tidak langsung ini dikonfirmasikan dengan temuan defek genetik pada
sindrom Bartter utamanya melibatkan banyak transporter pada tungkai asendens
tebal. Proses transpor aktif natrium klorida pada segmen ini dimediasi pada mebran
luminal oleh kotransporter Na-K-2Cl sensitif terhadap diuretik ansa, yang
menyebabkan masuknya natrium klorida ke dalam sel tubular dan oleh kanal kalium
yang menyebabkan kalium tereabsorpsi kembali bocor ke dalam lumen untuk
kotranspor Na-K-2Cl lanjutan; pada membran basolaterla, kanal klorida mengijinkan
klorida yang telah masuk ke dalam sel untuk keluar dan kembali ke dalam sirkulasi
sistemik.14
Sindrom Bartter dapat terjadi sebagai akibat defek gen dari salah satu tansporter
ini, menggambarkan pentingnya fungsi terintegrasi dalam transpor ansa. Kelainan
25

pada kotransporter Na-K-2Cl, kanal kalium luminal dan kanal klorida membran
basolateral dikenal sebagai sindrom Bartter tipe I,II dan III.
Sindroma Gittelman
Sindrom Gittelman merupakan suatu kelainan resesif autosomal yang lebih
ringan dari sindrom Bartter dan seringkali tidak terdiagnosis sampai akhir masa
kanak-kanak bahkan dewasa. Meskipun demikian sindrom ini biasanya simtomatik
dan dapat mengakibatkan manifestasi klinis serius, seperti: Kram yang dapat berat
dan melibatkan tangan serta kaki sering diamati pada hampir semua pasien, sebagian
disebabkan oleh hipokalemia dan hipomagnesemia. Pasien juga dapat datang dengan
tetani (kurang lebih 10% pasien) terutama apabila terjadi gangguan terkait dalam
absorpsi magnesium (vomitus, diare). Kelemahan berat juga diamati pada beberapa
pasien dan juga tekanan darah yang lebih rendah dari normal, konsisten dengan
kebocoran garam ginjal. Poliuria dan nokturia ditemukan pada 50-80% pasien, dapat
juga disertai dengan kecanduan garam yang mengindikasikan disebabkan oleh
kehilangan garam dan air. Kemampuan konsentrasi biasanya dapat dipertahankan,
karena fungsi di tungkai asendens medular relatif utuh. Beberapa pasien dapat datang
dengan awitan penyakit dini disertai dengan retardasi pertumbuhan.15
Pasien dengan sindrom Gittelman mempunyai mutasi dalam gen yang mengkode
kotransporter Na-Cl sensitif tiazid pada tubulus distal, yang seringkali menyebabkan
gangguan rute selular kotransporter. Gangguan pada transporter ini dapat
menyebabkan baik kebocoran magnesium dan juga seringkali penurunan ekskresi
kalsium, serupa dengan yang diinduksi oleh terapi tiazid dan berlawanan dengan
hiperkalsiuria yang dijumpai pada sindrom Bartter klasik.15

Terapi

Sediaan kalium, kalium klorida baik oral maupun intravena secara umum lebih
disukai dibandingkan kalium sitrat atau bikarbonat, terutama pada pasien dengan
alkalosis metabolik oleh karena terapi diuretik, vomitus dan hiperaldosteronisme.
26

Pada keadaan lain, kalium sitrat atau bikarbonat seringkali disukai pada pasien
dengan hipokalemia dan asidosis metabolik. Keadaan di atas paling sering terjadi
pada asidosis tubular ginjal dan keadaan diare kronik.
Terapi intravena, kalium klodrida dapat diberikan secara intravena untuk pasien
yang tidak dapat makan atau sebagai tambahan terapi orap pada pasien dengan
hipokalemia simtomatik berat. Pada sebagian besar pasien, kalium intravena
diberikan sebagai tambahan cairan infus dengan konsentrasi 20-40 mEq per liter
cairan lewat vena perifer. Konsentrasi sampai 60 mEq/liter juga dapat digunakan,
namun biasanya konsentrasi setinggi ini akan menyakitkan bagi pasien.
Cairan salin lebih direkomendasikan dari pada dekstrosa, oleh karena pemberian
dekstrosa akan menyebabkan penurunan kadar kalium transien sebesar 0,2-1,4
mEq/L. Efek ini dapat menginduksi aritmia pada pasien-pasien dengan risiko seperti
pemakaian digitalis dan diperantarai oleh pelepasan insulin akibat dekstrosa, yang
akan mendorong kalium ke dalam sel dengan meningkatkan aktivitas pompa Na-K-
ATPase selular.
Hipokalemia ringan sedang, sebagian besar pasien mempunyai konsentrasi
kalium serum antara 3,0 sampai 3,5 mEq/L; pada derajat penurunan kalium seperti ini
biasanya tidak memberikan gejala apapun, kecuali untuk pasien dengan penyakit
jantung (terutama bila mendapatkan digitalis atau bedah jantung) atau pada pasien-
pasien dengan sirosis lanjut.
Terapi pada keadaan ini ditujukan ke arah penggantian kalium yang hilang dan
menangani permasalahan mendasar (seperti vomitus dan diare). Pengobatan biasanya
dimulai dengan 10-20 mEq/L kalium klorida diberikan 2 – 4 kali perhari (20-80
mEq/hari), tergantung kepada keberatan hipoklaemia dan juga apakah akut atau
kronik. Pemantauan kalium serial penting untuk menentukan apakah diperlukan
terapi lanjut, dengan frekuensi pemantauan tergantung derajat keberatan hipokalemia.
Hipokalemia berat, kalium harus diberikan lebih cepat pada pasien dengan
hipokalemia berat (kadar kaliun <2,5 sampai 3,0 mEq/L) atau simtomatik (aritmia,
kelemahan otot berat). Meskipun demikian, kehati-hatian harus dilakukan pada saat
27

memberikan kalium pada pasien dengan kelainan penyerta, yang akan membuat
kalium masuk ke dalam sel dan memperberat hiperglikemia. Dua contoh utama
adalah terapi insulin pada ketoasidosis diabetik atau hiperglikemia nonketotik dan
terapi bikarbonat pada asidosis metabolik.
Terapi kalium paling mudah diberikan peroral. Konsentrasi kalium serum dapat
naik dengan cepat sekitar 1-1,5 mEq/L setelah dosis oral 40-60 mEq/L dan sekitar
2,5-3,5 mEq/L setelah terapi 135-160 mEq/L; kadar kalium kemudian akan turun
kembali ke arah nilai dasar oleh karena sebagian besar kalium eksogen akan diambil
oleh sel. Pasien dengan kadar kalium serum 2 mEq/L sebagai contoh, mungkin
memiliki defisit kalium antara 400-800 mEq/L.
Oleh karenanya, kalium klorida dapat diberikan secara oral dengan dosis 40-60
mEq/L, tiga sampai empat kali sehari. Apabila dapat ditoleransi, harus diberikan terus
menerus sampai konsentrasi kalium serum terus berada di atas 3,0 sampai 3,5 mEq/L
dan/atau gejala membaik; selanjutnya dosis dan frekuensi pemberian dapat dikurangi
untuk mencegah iritasi lambung. Selama koreksi, pemantauan kadar kalium serum
diperlukan untuk memastikan suplementasi kalium dilanjutkan sampai cadangan
tubuh dipenuhi dan menghindari hiperkalemia. Selama terapi kronik, kadar kalium
serum harus dipantau antara 3 sampai 4 bulan atau bila diperlukan secara klinis.
Kelainan tubular pada sindrom Bartter dan Gittelman tidak dapat diperbaiki,
sebagai akibatnya terapi harus seumur hidup dan bertujuan untuk meminimalkan
peningkatan prostaglandin aldosteron sekunder. Kombinasi antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) dan diuretik hemat kalium (spironolakton atau amilorid, dengan dosis 300-
400 mg per hari untuk menyekat sempurna sekresi kalium distal) dapat meningkatkan
konsentrasi kalium plasma ke arah normal, mengkoreksi alkalosis metabolik dan
hipomagnesemia secara parsial.
Perbaikan yang sama pada gambaran keadaan elektrolit dapat dicapai dengan
penggunaan penyekat ACE yang menurunkan produksi angiotensin II dan aldosteron.
Meskipun demikian, penurunan akut kadar angiotensin II dapat menyebabkan
28

hipotensi simtomatik pada beberapa kasus, permasalahan ini seringkali sementara dan
dapat diminimalisasi dengan penggunaan dosis awal rendah.
Pada pasien ini dari diagnosis didapatkan adanya mual dan muntah yang
bertambah sejak 2 hari SMRS. Pasien datang dengan rujukan dari RS lain dengan
membawa hasil laboratorium dengan kesan hipokalemia, dan sudah diperiksa faal
tiroid dengan hasil yang normal, sehingga diagnosis hipokalemia yang disebabkan
karena tirotoksikosis dapat pula disingkirkan. Dalam evaluasi diagnosis hipokalemia,
tahap pertama adalah menyingkirkan kemungkinan adanya pseudohipokalemia atau
redistribusi K dari ekstra sel ke intra sel yang dapat disebabkan karena insulin,
aldosteron serta bahan simpatimimetik seperti theofilin atau β2 –adrenergic receptor
agonist. Bila sudah dapat disingkirkan berarti rendahnya kalium total tubuh karena
kehilangan melalui ginjal, traktus gastrointestinal atau melalui kulit.Pada pasien ini
tidak didapatkan riwayat menggunakan insulin, diuretik, laksansia maupun teofilin
dan tidak ada gejala muntah-muntah maupun diare, sehingga lebih terpikirkan
kehilangan kalium berlebihan dari ginjal (renal loss) dan untuk membuktikanya
diperiksa kadar kalium dalam urin 24 jam.Dari anamnesis juga didapatkan keluhn
sering BAK 8-9 kali sehari, sehingga difikirkan hipokalemia pada pasien ini
disebabkan karena renal loss, tetapi masih kita diagnosis banding penyebabnya
dengan extra renal loss. Langkah selanjutnya kita memeriksa kalium urin dan
didapatkan hasil kalium urin yang meningkat, yang mengindikasikan adanya kelainan
pada ginjal. Lalu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan didapatkan hasil
alkalosis metabolik, kadar klorida urin yang meningkat, serta tekanan darah yang
cenderung rendah. Dari hasil pemeriksaan ini diagnosis dapat dipersempit lagi yaitu
hipokalemia yang disebabkan renal loss ec sindroma Bartter atau sindrom Gittleman.
Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan magnesium serum dan kalsium urin untuk
membedakan keduanya. Dari pemeriksaan didapatkan kadar kalsium urin yang
normal dan magnesium yang sedikit meningkat namun belum dapat dikatakan
hipermagnesemia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini
adalah sindroma Bartter
29

Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan kalium intravena karena kadar
kalium yang sangat rendah. Dari perhitungan didapatkan didapatkan kebutuhan
kalium pada pasien ini sebesar 36,4 mEq/l ditambah kebutuhan harian sebesar 1
mEq/kgBB/hari, jadi kebutuhan kalium total pada pasien ini sebesar 78,4 mEq/l yang
diberikan secara bertahap. Juga diberikan diet tinggi kalium dan preparat kalium oral
seperti KSR 3 x 600 mg. Demikian presentasi kasus ini, semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA

1. Widjajanti, Agustini. Hipokalemia periodik Paralisis. J Clinical Pathology


and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: 19-22.
2. Plamondon I,Leblanc M. Disorder of Potassium Balance. Dalam Simposium
on Hypertension. The 10th Jakarta Nephrologi and Hypertension Course,
PERNEFRI,Jakarta : 2010 : 103-119.
3. Emmet M. Disorders of Potassium Balance : Hypokalemia and hyperkalemia.
In :Lerma EV, Berns JS, Nissenson AR. Current Diagnosis and Treatment
Nephrology and Hypertension. New York : McGraw-Hill Companies 2009:
32-8.
4. Siregar P. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit. Dalam : Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi keenam. Jakarta : Internal Publishing 2014:
2247-9.
5. Steddon S, Ashman N, Chesser A, Cunningham J. Fluids and Electrolytes. In :
Oxford Handbook of Nephrology and Hypertension Second Edition. Oxford :
Oxford University Press 2014: 777-838.
6. Mount DB. Fluid and Electrolyte Disturbances. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s Principle of
Internal Medicine 18th Ed. New York : McGraw-Hill Companies 2012: 351-5
7. Greenlee M, Wingo CS, McDonough AA, Youn JH, Kone BC. Narrative
review: evolving concepts in potassium homeostasis and hypokalemia. In
:Ann Intern Med. May 2009:619-25.

30
31

8. Assadi F. Diagnosis of Hypokalemia : a Problem-solving Approach to


Clinical Cases. Iran J Kidney Dis. Jul 2008;2(3): 115-22.
9. Allon M. Disorders of Potasium Metabolism. Dalam Buku Naskah Annual
Meeting Pernefri , Update in Nefrologi for Better renal care, Pernefri,
Surabaya, 2009: 263-275.
10. Anne Blanchard et al, Gitelman Syndrome : Consensus and Guidance from a
kidney disease : improving Global Outcomes ( KDIGO ) Controversies
Conference. Kidney International ( 2017 ) 91,24-33.
11. O’Callaghan CA,Brenner BM. Hypokalemia and Hyperkalemia. In the
Kidney at a Glance. Iowa state University Press. 2000: 54-5.
12. Huang CL, Kuo E. mechanism of Hypokalemia in Magnesium Deficiency. J ;
Am Soc Nephrol 2007:18 : 2649-2652.
13. Harvey TC. Addison’s Disease and The Regulation of Potassium: The Role of
Insulin and Aldosterone. Med Hypotheses. 20007;69(5):1120-6.
14. Frasetto LA. Bartter Syndrome. From
http://www.emedicine.medscape.com/article/238670.
15. Knoers NV, Levtchenko EN. Gitelman Syndrome. Orphanet Journal of Rare
Diseases 2008, 3:22doi:10.1186/1750-1172-3-22

Anda mungkin juga menyukai