SINDROMA BARTTER
Hidayatullah
Pembimbing :
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………… i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 30
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
dari 1-20 tahun, frekuensi serangan terbanyak di usia 15-35 tahun dan kemudian
menurun dengan peningkatan usia.5
Pengamatan tidak langsung ini dikonfirmasikan dengan temuan defek genetik
pada sindrom Bartter utamanya melibatkan banyak transporter pada tungkai asendens
tebal. Proses transpor aktif natrium klorida pada segmen ini dimediasi pada mebran
luminal oleh kotransporter Na-K-2Cl sensitif terhadap diuretik ansa, yang
menyebabkan masuknya natrium klorida ke dalam sel tubular dan oleh kanal kalium
yang menyebabkan kalium tereabsorpsi kembali bocor ke dalam lumen untuk
kotranspor Na-K-2Cl lanjutan; pada membran basolaterla, kanal klorida mengijinkan
klorida yang telah masuk ke dalam sel untuk keluar dan kembali ke dalam sirkulasi
sistemik. Sindrom Bartter dapat terjadi sebagai akibat defek gen dari salah satu
tansporter ini, menggambarkan pentingnya fungsi terintegrasi dalam transpor ansa.
Kelainan pada kotransporter Na-K-2Cl, kanal kalium luminal dan kanal klorida
membran basolateral dikenal sebagai sindrom Bartter tipe I,II dan III.6-8
Berikut ini disajikan suatu laporan kasus seorang laki-laki, umur 18 tahun
dengan sindroma Bartter. Kasus ini diangkat karena jarang terjadi dan ditujukan
untuk membahas langkah-langkah penegakan hipokalemia secara sederhana namun
terarah dan meyakinkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan dapat
menambah wawasan kita semua.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
penuh, pasien lalu dirujuk ke IGD RSMH. Pasien kemudian dirawat oleh Bagian
Anak selama 1 bulan. Pasien dikatakan menderita hipokalemia berulang dan
dilakukan tatalaksana hipokalemianya. Selanjutnya pasien diperbolehkan pulang dan
kontrol rutin tiap bulan ke Poli Anak Subdivisi Nefrologi Anak. Pasien rutin kontrol
selama 14 bulan. Selama kontrol di Poliklinik, pasien mengalami keadaan
hipokalemia berulang namun keluhan kedua tungkai lemas tidak ada. Dari
pengobatan yang diberikan di poliklinik anak, pasien dapat berobat jalan dan kondisi
relatif stabil. Pasien mendapatkan obat KSR tab 3x600 mg/hari dan Spironolakton tab
2x25 mg/hari. Pasien juga disarankan konsumsi buah dan sayur yang banyak.
Sejak 8 bulan SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas. Keram
dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas
terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot tidak ada,
kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada, demam
tidak ada. Sesak saat beraktivitas berat tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa
terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Rasa haus
tidak ada, pasien minum sebanyak ±1-1,5 botol air mineral ukuran besar. Mencret
tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada. BAK seperti
biasa, frekuensi 6-7 kali/hari, jumlahnya ± 1 botol air mineral ukuran besar, BAK
berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada, BAK keruh tidak ada, BAK kemerahan
seperti air cucian daging tidak ada, BAK berbusa tidak ada, nyeri pinggang tidak ada.
Pasien sudah tidak lagi kontrol ke Poliklinik Anak karena sudah masuk masuk usia
dewasa. Orang tua pasien hanya membeli obat yang pernah diberikan di Poliklinik
Anak di apotek dekat rumah dan pasien diberikan makan pisang yang banyak.
Keluhan lama-kelamaan hilang dan pasien dapat kembali beraktifitas seperti biasa.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas.
Keram dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Penurunan kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot
tidak ada, kejang tidak ada, pusing tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada,
demam tidak ada. Sesak saat beraktivitas berat tidak ada, nyeri dada tidak ada, dada
5
terasa terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Rasa
haus mulai ada, pasien minum sebanyak 3 botol air mineral ukuran besar/hari.
Mencret tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, lidah terasa pahit, nafsu makan
menurun dan pasien hanya jajan makanan kecil di sekolah dan jarang makan di
rumah. . BAK mulai meningkat, frekuensi 8-9 kali/hari, jumlahnya ± 2 botol air
mineral ukuran besar, BAK berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada, BAK keruh
tidak ada, BAK kemerahan seperti air cucian daging tidak ada, BAK berbusa tidak
ada, nyeri pinggang tidak ada. Pasien tidak langsung berobat karena saat itu sedang
ujian di sekolahnya, pasien selanjutnya hanya istirahat di rumah dan diberikan obat
yang pernah diminum pasien saat rawat jalan dulu. Keluhan masih dirasakan hilang
timbul.
2 hari SMRS pasien mengeluh mual dan muntah makin bertambah. Muntah 4-
5 kali /hari, isi apa yang dimakan. Pasien juga mengeluh kedua tungkai makin
kesemutan dan lemah, sehingga sulit untuk berjalan. Keram dan nyeri otot ada, nyeri
sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas terbatas. Penurunan
kesadaran tidak ada, bicara pelo dan mulut mengot tidak ada, kejang tidak ada, pusing
tidak ada, pandangan berkunang-kunang tidak ada, demam tidak ada. Sesak saat
beraktivitas berat tidak ada, berkeringat banyak ada, nyeri dada tidak ada, dada terasa
terhimpit tidak ada, berdebar-debar tidak ada, badan gemetar tidak ada. Mencret tidak
ada, nyeri ulu hati tidak ada. Penurunan nafsu makan ada, penurunan berat badan
tidak ada. Pasien juga sering merasa haus sehigga minum banyak sekitar 2-3 botol air
mineral ukuran besar. BAK meningkat, frekuensi 9-10 kali/hari, banyaknya sekitar
2,5 botol air mineral ukuran besar. BAK berpasir tidak ada, nyeri saat BAK tidak ada,
BAK keruh tidak ada, BAK kemerahan seperti air cucian daging tidak ada, BAK
berbusa tidak ada, nyeri pinggang tidak ada. Pasien dibawa keluarga berobat ke IGD
RSMH, setelah dilakukan pemerikaan darah, didapatkan kadar kalium yang rendah,
pasien disarankan dirawat untuk pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut.
6
Keterangan :
: Laki-laki : Penderita
: Perempuan
2.1.6 RIWAYAT NUTRISI
Riwayat makan dalam satu bulan terakhir, pasien makan tiga kali sehari,
banyaknya 1-2 porsi nasi dengan satu jenis sayur dan lauk. Variasi lauk dan sayur
yang dimakan cukup beragam. Pasien banyak mengkonsumsi buah pisang.
Berat badan pasien dalam tiga bulan terakhir tidak mengalami penurunan,
berat badan sekarang 52 kg.
Thoraks : Angulus costae < 90º, barrel chest (-), venektasi (-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas ICS II, batas kanan LS dextra, batas kiri LMC
sinistra ICS V
Auskultasi : HR 68 kali/menit, bunyi jantung I dan II normal, regular,
murmur (-), gallop (-)
Paru (anterior)
Inspeksi : Statis & dinamis simetris kanan & kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru, batas paru hepar ICS VI
peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : Vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Paru (posterior)
Inspeksi : Statis & dinamis simetris kanan & kiri
Palpasi : Stemfremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
9
Abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(+).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas : edema pretibia (-/-), kekuatan 5/4 dan 5/4, tremor (-)
2.4 RESUME
Sejak 2 tahun SMRS pasien mengeluh kedua tungkai terasa lemah. Keram dan
nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien kesulitan untuk bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Pasien berobat ke dokter praktek mandiri di dekat rumahnya
namun belum ada perbaikan, pasien berobat ke RS Pusri, didapatkan nilai Kalium
yang sangat rendah, pasien lalu dirujuk ke IGD RSMH karena tempat tidur penuh.
Pasien kemudian dirawat oleh Bagian Anak selama 1 bulan. Pasien dikatakan
menderita hipokalemia berulang dan dilakukan tatalaksana hipokalemianya. Pasien
pulang dengan perbaikan lalu rutin kontrol ke poli selama 14 bulan.
Selama kontrol di Poliklinik, pasien mengalami keadaan hipokalemia
berulang dan namun keluhan kedua tungkai lemas tidak ada. Dari pengobatan yang
diberikan di poliklinik anak, pasien dapat berobat jalan dan kondisi relatif stabil.
Pasien mendapatkan obat KSR tab 3x600 mg/hari dan Spironolakton tab 2x25
mg/hari. Pasien juga disarankan konsumsi buah dan sayur yang banyak.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh kedua tungkai kembali lemas.
Keram dan nyeri otot ada, nyeri sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan
beraktivitas terbatas. Rasa haus mulai ada, pasien minum sebanyak 3 botol air
mineral ukuran besar/hari. Mencret tidak ada, mual ada, muntah tidak ada, BAK
mulai meningkat, frekuensi 8-9 kali/hari, jumlahnya ± 2 botol air mineral ukuran
besar. Pasien tidak langsung berobat karena saat itu sedang ujian di sekolahnya,
pasien selanjutnya hanya istirahat di rumah dan diberikan obat yang pernah diminum
pasien saat rawat jalan dulu. Keluhan masih dirasakan hilang timbul.
2 hari SMRS pasien mengeluh mual dan muntah makin bertambah. Muntah 4-
5 kali /hari, isi apa yang dimakan. Pasien juga mengeluh kedua tungkai makin
kesemutan dan lemah, sehingga sulit untuk berjalan. Keram dan nyeri otot ada, nyeri
sendi tidak ada. Pasien masih bisa bangun dan beraktivitas terbatas. Pasien juga
sering merasa haus sehigga minum banyak sekitar 2-3 botol air mineral ukuran besar.
BAK meningkat, frekuensi 9-10 kali/hari, banyaknya sekitar 2,5 botol air mineral
ukuran besar. Pasien dibawa keluarga berobat ke IGD RSMH, setelah dilakukan
12
pemerikaan darah, didapatkan kadar kalium yang rendah, pasien disarankan dirawat
untuk pemeriksaan dan tatalaksana lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, TD 110/70 mmHg, nadi 68 kali/menit, pernafasan 20
kali/menit, suhu 36,5oC, status gizi cukup. Pada pemeriksaan spesifik didapatkan
kekuatan otot ekstremitas 5/4 dan 5/4. Pada pemeriksaan penunjang laboratorium
didapatkan kesan hipokalemia. Pada EKG didapatkan kesan suspek hipokalemia.
2.9 PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis :
Istirahat
Diet NB 1700 kkal, tinggi kalium
Edukasi
Farmakologis :
IVFD NaCl0,9% 500 ml+ KCl 1 flash gtt XX/menit, makro
Inj. Ondancentron 3x4 mg iv
Inj. Omeprazole 1x20 mg po
KSR tablet 3x600 mg po
14
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 72kali/m, reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba,, timpani, bising
Extremitas usus (+) normal
Edema pretibial (-), kekuatan motorik 5/5, 5/5
Pemeriksaan
penunjang Kalium urin : 35,84 mmol/24 jam (25-125 mmol/24 jam)
Laboratorium Kalium serum : 2,1 meq/L
15
Warna : kuning
Kejernihan : agak keruh
Berat jenis : 1,005
pH : 8,0
Urin rutin Protein : negatif
Glukosa : negatif
Keton : negatif
Darah : positif 1
Bilirubin : negatif
Urobilinogen : 1
Nitrit : negatif
Leukosit esterase : negatif
Sedimen urin :
o Epitel : positif
o Leukosit : 0-1
o Eritrosit : 2-3
o Silinder : negatif
o Kristal : negatif
o Bakteri : negatif
o Mukus : negatif
o Jamur : negatif
Kesan : urin dalam batas normal
16
Edukasi
Farmakologis :
IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XXX/menit,
makro (habis dalam 6 jam)
Inj. Ondancentron 3x4 mg iv
Inj. Omeprazole 1x20 mg po
KSR tab 3x600 mg po
Keadaan spesifik
Hb : 12,8 g/dL
Pemeriksaan Ht : 34 %
penunjang Leukosit : 11.700/mm3
Laboratorium Trombosit : 592.000/mm3
DC : 0/2/63/27/8
USG TUG
batu/kista/modul
Ginjal kiri: besar normal, echogram normal, batas sinus
cortex jelas, pelvi kalises tak ectasis, tak tampak
batu/kista/modul
VU: dinding tak menebal, tak tampak batu, tak tampak
massa.
Diagnosis banding
P: Non Farmakologis :
Istirahat
Diet NB 1700 kkal, tinggi kalium
Edukasi
Farmakologis :
IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XXX/menit,
makro (habis dalam 6 jam)
Inj. Omeprazole 1x40 mg po
KSR tab 3x600 mg po
Keadaan spesifik
(+) normal
Extremitas Edema pretibial (-), akral dingin (-)
Diagnosis banding
P: Non Farmakologis :
Istirahat
Diet NB 2100 kkal, tinggi kalium
Edukasi
Farmakologis :
IVFD KAEN3B 500 ml+ KCl 1 flash gtt XX/menit,
makro (habis dalam 8 jam)
KSR tab 3x600 mg PO
Rawat Jalan
29-04-2017 200 3000 2000 5200 100 4300 600 5000 -200
30-04-2017 200 3500 1000 4700 -- 4500 600 5100 -400
31-04-2017 200 3400 2000 5600 100 5000 600 5700 -100
01-04-2017 250 3500 1000 4750 -- 4500 600 5100 -350
02-04-2017 250 3500 2000 5750 100 5000 600 5700 +50
03-04-2017 250 3300 1000 4550 - 4000 600 4600 -50
04-04-2017 250 3000 1000 4250 100 3500 600 4200 +50
05-04-2017 250 2700 1000 3950 -- 3000 600 3900 +50
06-04-2017 250 2200 1000 3450 100 2700 600 3400 +50
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-); sklera ikterik (-)
Leher JVP (5-2) cmH2O; pembesaran KGB (-)
Thorax Cor: HR = 72kali/m, reguler; murmur (-); gallop (-)
Pulmo: vesikuler (+) normal, ronkhi (-),wheezing (-)
Abdomen Datar, lemas, hepar dan lien tak teraba,, timpani, bising
Extremitas usus (+) normal
Edema pretibial (-), kekuatan motorik 5/5, 5/5
Pemeriksaan
penunjang Hb : 13,3 g/dL
Laboratorium Ht : 38 %
Leukosit : 8500 /mm3
22
Trombosit : 500000/mm3
DC : 0/2/61/28/8
A:
Diagnosis kerja Post hipokalemia ec renal loss ec sindroma Gittelman
Diagnosis banding
P: Non Farmakologis :
Diet Tinggi Kalium
Edukasi: Gizi yang seimbang, kontrol ulang segera bila
keluhan yang sama muncul,
Farmakologis :
KSR tab 1x600 mg PO
18
19
Diagnosis hipokalemia
Hal ini membantu untuk menegakkan diagnosis secara berurutan
menggunakan algoritma berdasakan penyebab dan mekanisme hipokalemia (gambar
1). Pertama menilai ekskresi kalium urin untuk membedakan kehilangan pada saluran
cerna dan kehilangan melalui urin. Kalium urin diperiksa dengan cara mengumpulkan
urin selama 24 jam. Bila kalium urin kurang dari 20 mmol/hari, menandakan bahwa
adanya intake yang kurang, intracellular shift, atau kehilangan kalium melalui
saluran gastrointestinal.4-9
Setelah itu penilaian terhadap status asam basa untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding. Apabila didapatkan adanya alkalosis metabolik,
langkah selanjutnya adalah pemeriksaan terhadap klorida urin. Apabila didapatkan
kadar klorida urin kurang dari 20 mEq/L maka penyebabnya adalah akibat diuretic
atau muntah. Jika kalium urin lebih dari 20 mEq/L, maka langkah selanjutnya adalah
mengukur tekanan darah penderita. Tekanan darah yang tinggi mengarahkan kita
pada suatu kelaian seperti aldosteronisme, sindrom cushing, atau sindrom Liddle.
Tekanan darah yang normal atau cenderung turun, akan mengarahkan diagnosis ke
sindrom Bartter atau sindrom Gittelman. Untuk membedakan keduanya dilakukan
pemeriksaan magnesium serum dan kalsium urin.4-9
22
Sindroma Bartter
Sindrom Bartter klasik umumnya timbul pada usia dini, seringkali namun tidak
selalu, dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan dan mental. Sebagai tambahan
hipokalemia dan alkalosis metabolik, kelainan seperti poliuria, polidipsia dan
penurunan kemampuan konsentrasi juga sering didapatkan. Ekskresi kalsium urin
juga sering meningkat dan konsentrasi magnesium plasma juga antara normal atau
menurun ringan pada sebagian besar pasien. Temuan-temuan urin ini sesuai dengan
defek prime reabsorpsi natrium klorida pada tungkai asendesn ansa Henle; segmen ini
memainkan peranan sentral untuk menciptakan gradien arusbalik yang diperlukan
untuk mengekskresikan urin terkonsentrasi dan juga kalsium serta magnesium yang
direabsorpsi secara pasif pada daerah ini.14
Pengamatan tidak langsung ini dikonfirmasikan dengan temuan defek genetik pada
sindrom Bartter utamanya melibatkan banyak transporter pada tungkai asendens
tebal. Proses transpor aktif natrium klorida pada segmen ini dimediasi pada mebran
luminal oleh kotransporter Na-K-2Cl sensitif terhadap diuretik ansa, yang
menyebabkan masuknya natrium klorida ke dalam sel tubular dan oleh kanal kalium
yang menyebabkan kalium tereabsorpsi kembali bocor ke dalam lumen untuk
kotranspor Na-K-2Cl lanjutan; pada membran basolaterla, kanal klorida mengijinkan
klorida yang telah masuk ke dalam sel untuk keluar dan kembali ke dalam sirkulasi
sistemik.14
Sindrom Bartter dapat terjadi sebagai akibat defek gen dari salah satu tansporter
ini, menggambarkan pentingnya fungsi terintegrasi dalam transpor ansa. Kelainan
25
pada kotransporter Na-K-2Cl, kanal kalium luminal dan kanal klorida membran
basolateral dikenal sebagai sindrom Bartter tipe I,II dan III.
Sindroma Gittelman
Sindrom Gittelman merupakan suatu kelainan resesif autosomal yang lebih
ringan dari sindrom Bartter dan seringkali tidak terdiagnosis sampai akhir masa
kanak-kanak bahkan dewasa. Meskipun demikian sindrom ini biasanya simtomatik
dan dapat mengakibatkan manifestasi klinis serius, seperti: Kram yang dapat berat
dan melibatkan tangan serta kaki sering diamati pada hampir semua pasien, sebagian
disebabkan oleh hipokalemia dan hipomagnesemia. Pasien juga dapat datang dengan
tetani (kurang lebih 10% pasien) terutama apabila terjadi gangguan terkait dalam
absorpsi magnesium (vomitus, diare). Kelemahan berat juga diamati pada beberapa
pasien dan juga tekanan darah yang lebih rendah dari normal, konsisten dengan
kebocoran garam ginjal. Poliuria dan nokturia ditemukan pada 50-80% pasien, dapat
juga disertai dengan kecanduan garam yang mengindikasikan disebabkan oleh
kehilangan garam dan air. Kemampuan konsentrasi biasanya dapat dipertahankan,
karena fungsi di tungkai asendens medular relatif utuh. Beberapa pasien dapat datang
dengan awitan penyakit dini disertai dengan retardasi pertumbuhan.15
Pasien dengan sindrom Gittelman mempunyai mutasi dalam gen yang mengkode
kotransporter Na-Cl sensitif tiazid pada tubulus distal, yang seringkali menyebabkan
gangguan rute selular kotransporter. Gangguan pada transporter ini dapat
menyebabkan baik kebocoran magnesium dan juga seringkali penurunan ekskresi
kalsium, serupa dengan yang diinduksi oleh terapi tiazid dan berlawanan dengan
hiperkalsiuria yang dijumpai pada sindrom Bartter klasik.15
Terapi
Sediaan kalium, kalium klorida baik oral maupun intravena secara umum lebih
disukai dibandingkan kalium sitrat atau bikarbonat, terutama pada pasien dengan
alkalosis metabolik oleh karena terapi diuretik, vomitus dan hiperaldosteronisme.
26
Pada keadaan lain, kalium sitrat atau bikarbonat seringkali disukai pada pasien
dengan hipokalemia dan asidosis metabolik. Keadaan di atas paling sering terjadi
pada asidosis tubular ginjal dan keadaan diare kronik.
Terapi intravena, kalium klodrida dapat diberikan secara intravena untuk pasien
yang tidak dapat makan atau sebagai tambahan terapi orap pada pasien dengan
hipokalemia simtomatik berat. Pada sebagian besar pasien, kalium intravena
diberikan sebagai tambahan cairan infus dengan konsentrasi 20-40 mEq per liter
cairan lewat vena perifer. Konsentrasi sampai 60 mEq/liter juga dapat digunakan,
namun biasanya konsentrasi setinggi ini akan menyakitkan bagi pasien.
Cairan salin lebih direkomendasikan dari pada dekstrosa, oleh karena pemberian
dekstrosa akan menyebabkan penurunan kadar kalium transien sebesar 0,2-1,4
mEq/L. Efek ini dapat menginduksi aritmia pada pasien-pasien dengan risiko seperti
pemakaian digitalis dan diperantarai oleh pelepasan insulin akibat dekstrosa, yang
akan mendorong kalium ke dalam sel dengan meningkatkan aktivitas pompa Na-K-
ATPase selular.
Hipokalemia ringan sedang, sebagian besar pasien mempunyai konsentrasi
kalium serum antara 3,0 sampai 3,5 mEq/L; pada derajat penurunan kalium seperti ini
biasanya tidak memberikan gejala apapun, kecuali untuk pasien dengan penyakit
jantung (terutama bila mendapatkan digitalis atau bedah jantung) atau pada pasien-
pasien dengan sirosis lanjut.
Terapi pada keadaan ini ditujukan ke arah penggantian kalium yang hilang dan
menangani permasalahan mendasar (seperti vomitus dan diare). Pengobatan biasanya
dimulai dengan 10-20 mEq/L kalium klorida diberikan 2 – 4 kali perhari (20-80
mEq/hari), tergantung kepada keberatan hipoklaemia dan juga apakah akut atau
kronik. Pemantauan kalium serial penting untuk menentukan apakah diperlukan
terapi lanjut, dengan frekuensi pemantauan tergantung derajat keberatan hipokalemia.
Hipokalemia berat, kalium harus diberikan lebih cepat pada pasien dengan
hipokalemia berat (kadar kaliun <2,5 sampai 3,0 mEq/L) atau simtomatik (aritmia,
kelemahan otot berat). Meskipun demikian, kehati-hatian harus dilakukan pada saat
27
memberikan kalium pada pasien dengan kelainan penyerta, yang akan membuat
kalium masuk ke dalam sel dan memperberat hiperglikemia. Dua contoh utama
adalah terapi insulin pada ketoasidosis diabetik atau hiperglikemia nonketotik dan
terapi bikarbonat pada asidosis metabolik.
Terapi kalium paling mudah diberikan peroral. Konsentrasi kalium serum dapat
naik dengan cepat sekitar 1-1,5 mEq/L setelah dosis oral 40-60 mEq/L dan sekitar
2,5-3,5 mEq/L setelah terapi 135-160 mEq/L; kadar kalium kemudian akan turun
kembali ke arah nilai dasar oleh karena sebagian besar kalium eksogen akan diambil
oleh sel. Pasien dengan kadar kalium serum 2 mEq/L sebagai contoh, mungkin
memiliki defisit kalium antara 400-800 mEq/L.
Oleh karenanya, kalium klorida dapat diberikan secara oral dengan dosis 40-60
mEq/L, tiga sampai empat kali sehari. Apabila dapat ditoleransi, harus diberikan terus
menerus sampai konsentrasi kalium serum terus berada di atas 3,0 sampai 3,5 mEq/L
dan/atau gejala membaik; selanjutnya dosis dan frekuensi pemberian dapat dikurangi
untuk mencegah iritasi lambung. Selama koreksi, pemantauan kadar kalium serum
diperlukan untuk memastikan suplementasi kalium dilanjutkan sampai cadangan
tubuh dipenuhi dan menghindari hiperkalemia. Selama terapi kronik, kadar kalium
serum harus dipantau antara 3 sampai 4 bulan atau bila diperlukan secara klinis.
Kelainan tubular pada sindrom Bartter dan Gittelman tidak dapat diperbaiki,
sebagai akibatnya terapi harus seumur hidup dan bertujuan untuk meminimalkan
peningkatan prostaglandin aldosteron sekunder. Kombinasi antiinflamasi nonsteroid
(NSAID) dan diuretik hemat kalium (spironolakton atau amilorid, dengan dosis 300-
400 mg per hari untuk menyekat sempurna sekresi kalium distal) dapat meningkatkan
konsentrasi kalium plasma ke arah normal, mengkoreksi alkalosis metabolik dan
hipomagnesemia secara parsial.
Perbaikan yang sama pada gambaran keadaan elektrolit dapat dicapai dengan
penggunaan penyekat ACE yang menurunkan produksi angiotensin II dan aldosteron.
Meskipun demikian, penurunan akut kadar angiotensin II dapat menyebabkan
28
hipotensi simtomatik pada beberapa kasus, permasalahan ini seringkali sementara dan
dapat diminimalisasi dengan penggunaan dosis awal rendah.
Pada pasien ini dari diagnosis didapatkan adanya mual dan muntah yang
bertambah sejak 2 hari SMRS. Pasien datang dengan rujukan dari RS lain dengan
membawa hasil laboratorium dengan kesan hipokalemia, dan sudah diperiksa faal
tiroid dengan hasil yang normal, sehingga diagnosis hipokalemia yang disebabkan
karena tirotoksikosis dapat pula disingkirkan. Dalam evaluasi diagnosis hipokalemia,
tahap pertama adalah menyingkirkan kemungkinan adanya pseudohipokalemia atau
redistribusi K dari ekstra sel ke intra sel yang dapat disebabkan karena insulin,
aldosteron serta bahan simpatimimetik seperti theofilin atau β2 –adrenergic receptor
agonist. Bila sudah dapat disingkirkan berarti rendahnya kalium total tubuh karena
kehilangan melalui ginjal, traktus gastrointestinal atau melalui kulit.Pada pasien ini
tidak didapatkan riwayat menggunakan insulin, diuretik, laksansia maupun teofilin
dan tidak ada gejala muntah-muntah maupun diare, sehingga lebih terpikirkan
kehilangan kalium berlebihan dari ginjal (renal loss) dan untuk membuktikanya
diperiksa kadar kalium dalam urin 24 jam.Dari anamnesis juga didapatkan keluhn
sering BAK 8-9 kali sehari, sehingga difikirkan hipokalemia pada pasien ini
disebabkan karena renal loss, tetapi masih kita diagnosis banding penyebabnya
dengan extra renal loss. Langkah selanjutnya kita memeriksa kalium urin dan
didapatkan hasil kalium urin yang meningkat, yang mengindikasikan adanya kelainan
pada ginjal. Lalu dilakukan pemeriksaan analisis gas darah dan didapatkan hasil
alkalosis metabolik, kadar klorida urin yang meningkat, serta tekanan darah yang
cenderung rendah. Dari hasil pemeriksaan ini diagnosis dapat dipersempit lagi yaitu
hipokalemia yang disebabkan renal loss ec sindroma Bartter atau sindrom Gittleman.
Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan magnesium serum dan kalsium urin untuk
membedakan keduanya. Dari pemeriksaan didapatkan kadar kalsium urin yang
normal dan magnesium yang sedikit meningkat namun belum dapat dikatakan
hipermagnesemia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien ini
adalah sindroma Bartter
29
Untuk penatalaksanaan pada pasien ini diberikan kalium intravena karena kadar
kalium yang sangat rendah. Dari perhitungan didapatkan didapatkan kebutuhan
kalium pada pasien ini sebesar 36,4 mEq/l ditambah kebutuhan harian sebesar 1
mEq/kgBB/hari, jadi kebutuhan kalium total pada pasien ini sebesar 78,4 mEq/l yang
diberikan secara bertahap. Juga diberikan diet tinggi kalium dan preparat kalium oral
seperti KSR 3 x 600 mg. Demikian presentasi kasus ini, semoga dapat bermanfaat
bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
30
31