Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang kedokteran
hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada hewan dan manusia yang
merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan
terjadinya urbanisasi yang tidak diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah
banyaknya dearah kumuh di perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan
tanah menciptakan kondisi lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan vektor dan
sumber infeksi termasuk oleh penyakit parasitic. (Gandahusada, 2000)
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada
penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup besar
bagi bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi
geografis dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing
ditunjang oleh proses daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai
spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai
bentuk pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga
bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup
maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis
parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja
atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun
imunologis.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pemeriksaan feses kualitatif dengan metode langsung dan teknik kato.
2. Mengetahui adanya telur parasit dalam sampel feses

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


a. Pemeriksaan Feses
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita
makan yang dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi
100 – 200 gram / hari. Terdiri dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris,
celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis makanan serta gerak peristaltik
mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan frekuensi defekasi
normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium
yang telah lama dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu
penyakit. Meskipun saat ini telah berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium
yang modern , dalam beberapa kasus pemeriksaan feses masih diperlukan dan
tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain. Pengetahuan mengenai berbagai
macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara pengumpulan sampel
yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan
ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur
cacing ataupun larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk
mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa
fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000). Pemeriksaan feses dapat dilakukan dengan
metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan metode natif,
metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan
untuk mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan
dengan metode kato untuk menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus.
Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari
pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk

2
mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau
menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat
dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejalaklinik kurang
dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh cacing gelang (Ascaris
lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada anak-anak yangsering
bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih
mudahterinfeksi oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada daerah
di mana penduduknya sering membuang tinja sembarangan sehingga lebih mudah
terjadi penularan. Pengalaman dalam hal membedakan sifat berbagai spesies
parasit, kista, telur, larva, dan juga pengetahuan tentang bentuk pseudoparasit dan
artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam pengidentifikasian suatu
parasit. (Irianto, 2013) Jadi, pada praktikum ini kita menggunakan dua metode
yaitu :
1. Metode Langsung
Metode Natif/Langsung
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik
untuk infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit
ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini menggunakan
larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2%
dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing
dengan kotoran disekitarnya.
2. Metode Kato
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique)
atau disebut teknik Kato. Pengganti kaca tutup seperti teknik
digunakan sepotong “cellahane tape”. Teknik ini lebih banyak telur
cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik
ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena lebih
sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk
membuat diagnosa.

3
b. Ascaris Lumbricoides

Ascarislumbricoidesadalah salah satucacingnematoda intestinalis yang


menginfeksi manusia. Penyakit yang disebabkan cacing ini disebut ascariasis.
Parasit ini bersifat kosmopolit, yaitu tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah
tropis dengan kelembaban cukup tinggi.

Cacing Ascaris lumbricoides mempunyai bentuk tubuh silindris dengan ujung


anterior lancip. Bagian anteriornya dilengkapi tiga bibir (triplet) yang tumbuh
dengan sempurna. Cacing betina panjangnya 20-35 cm, sedangkan cacing jantan
panjangnya 15-31 cm. Pada cacing jantan, ujung posteriornya lancip dan
melengkung ke arah ventral dan dilengkapi pepil kecil serta dua buah spekulum
berukuran 2 mm. Cacing betina posteriornya membulat dan lurus, dan sepertiga
bagian anterior tubuhnya terdapat cincin kopulasi, tubuhnya berwarna putih
sampai kuning kecoklatan dan diselubungi oleh lapisan kutikula bergaris halus.

Figure 3, Telur ascaris Figure 4, Telur ascaris lumbricoides


lumbricoides fertil infertil

4
Telur cacing ini memiliki empat bentuk, yaitu tipe dibuahi (fertrilized), tidak
dibuahi (afertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi berukuran 60 x
45 mikron dengan dua lapis dinding tebal. Lapisan luar terdiri dari
jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel

Figure 1, Telur dekortikasi ascaris Figure 2, Telur ascaris lumbricoides yang


lumbricoides berisi embrio

telur. Sel telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada
tipe yang dibuahi ukurannya 90 x 40 mikron, dengan dinding luar yang lebih tipis.
Isi telur berupa massa granula refraktil. Telur matang berisi larva (embrio), tipe
ini menjadi infelatif setelah berada di tanah ±3 minggu. Telur yang dekortikasi
tidak dibuahi, namun lapisan luar yaitu albuminoid sudah hilang.

Klasifikasi filogenik Ascaris lumbricoides


KINGDOM :Animalia
FILUM :Nemathelminthes
KELAS :Nematoda
ORDO :Ascaridida
FAMILI :Ascaridae
GENUS :Ascaris
SPESIES :Ascaris lumbricoides

5
Cacing betina menghasilkan 200 ribu butir per hari. Telur Ascaris
lumbricoides berkembang dengan baik pada tanah liat dengan kelembaban tinggi
pada suhu 25°-30° C. Pada kondisi ini, telur tumbuh menjadi bentuk infektif
(mengandung larva) dalam waktu 2-3 minggu. Telur yang infektif bila tertelan
manusia akan menetas menjadi larva di usus halus. Larva menembus dinding usus
halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa, kemudian terbawa oleh darah
sampai ke jantung dan menuju paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding
alveolus dan masuk ke rongga alveolus dan naik ke trakea. Dari trakea larva
menuju ke faring dan menimbulkan iritasi. Penderita akan batuk karena
rangsangan larva ini. Larva di faring tertelan dan terbawa ke esofagus, sampai di
usus halus, dan menjadi dewasa. Dari telur matang yang tertelan sampai menjadi
cacing dewasa membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulan. (Irianto, 2013)

c. Trichuris Trichiura
Trichuris trichiura adalah termasuk Nematoda usus yang di namakan cemeti
atau cacing cambuk, karena tubuhnya menyerupai cemeti dengan bagian depan
yang tipis dan bagian belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada
umumnya hidup di sekum manusia, sebagai penyebab trichuriassis dan tersebar
secara kosmopolitan. Trichuris trichiura adalah cacing yang relatif sering
ditemukan pada manusia, namun umumnya tidak begitu berbahaya. Trichuris
yang berarti ekor benang

Klasifikasi filogenik S. Aureus


Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-Kelas : Aphasmida
Ordo : Enoplida
Super Famili : Trichuroidea
Famili : Trichuridae Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura

6
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan jantan 4 cm. Bagian
anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang seluruh
tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina bentuknya
membulat tumpul dan cacing jantan melingkar dan terdapat suatu spikulum.
Cacing dewasa hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian anteriornya
masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan
telur setiap hari antara 3000-10.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32
mikron. Pertumbuhan embrio terjadi di alam bebas. Setelah 2-4 minggu telur ini
telah mengandung larva yang sudah dapat menginfeksi manusia. Pertumbuhan
telur ini berlangsung baik di daerah panas. Dengan kelembapan tinggi terutama
di tempat terlindung.
Manusia merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5
cm dan yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon ascendens
dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina
diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang
dibuahi dikelurkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva
dan infektif) dalam waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh.
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia
(hospes), kemudian larva akan keluar dari telur dan masuk ke dalam usus halus
sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon
ascendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing
dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30 – 90 hari.
Telurnya berukuran 50 x 25 mikron, bentuknya khas seperti tempayan kayu
atau biji melon. Pada kedua kutub telur memiliki tonjolan yang jernih yang
dinamakan mucoid plug. Tonjolan pada kedua kutub.kulit telur tersebut bagian
luar berwarna kekuningan dan bagian dalammya jernih. Pada stadium lanjut telur
kadang tampak sudah berisi larva cacing. (Irianto, 2013)

7
Figure 5, Telur trichuris trichiura

2.2 Metode Praktikum


a. Alat dan Bahan

Alat
1. Kawat saring
2. Tabung reaksi
3. Rak tabung
4. Lidi
6. Object glass
7. Cover glass
8. Mikroskop
9. Selotip

Bahan
1. Sediaan faeces
2. Eosin 2%
3. Selotip yang sudah direndam dalam larutan kato (malachite green)
4. Aquadest
5. Tissue

b. Cara kerja metode langsung


1. Gelas obyek yang bersih diteteskan 1-2 tetes eosin 2%.
2. Dengan lidi, diambil sedikit tinja dan taruh pada larutan tersebut.

8
3. Dengan lidi tadi, kita ratakan /larutkan, kemudian di tutup dengan gelas
beda/cover glass.Bagian bawah kaca objek dikeringkan dengan tissue, dan
diamati di bawah mikroskop.
4. Bakteri yang tampak digambar kemudian bentuk, warna dan reaksi
pengecatannya diperhatikan
c. Cara kerja metode Kato
1. Sebelum pemakaian, selotip dimasukkan ke dalam larutan melachite green
selam kurang lebih 24 jam.
2. Di atas kertas minyak, ditaruh tinja sebesar butir kacang, selanjutnya di atas
tinja tersebut ditumpangi dengan kawat saringan dan ditekan-tekan sehingga
di dapatkan tinja yang kasar tertinggal di bawah kawat dan tinja yang halus
keluar di atas penyaring.
3. Dengan lidi, tinja yang sudah halus tersebut di ambil di atas kawat penyaring
kurang lebih 30mg,kemudian ditaruh gelas preparat yang bersih.
4. Selanjutnya ditutup dengan selotip dengan meratakan tinja di seluruh
permukaan selotip sampai sama tebal, dengan bantuan gelas preparat yang
lain.
5. Dibiarkan dengan temperatur kamar selama 30-60 menit supaya menjadi
transparan.
6. Seluruh permukaan diperiksa dengan menghitung jumlah semua telur yang
ditemukan dengan perbesaran lemah.

9
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hasil pengamatan

No Nama Cacing Gambar

1 Telur Ascaris lumbricoides

2 Trichuris trichiura

3.2 Pembahasan

Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa
dengan mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah
dipulas. Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari
bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan
spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksa harus
dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine. Identifikasi
terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa hari setelah tinja
dikeluarkan. (Kurt, 1999)

Hasil pemeriksaan tinja yang telah dilakukan dengan metode natif/langsung, dan
metode kato menunjukkan hasil yang negatif yang artinya bahwa tidak ditemukan telur

10
ataupun larva dalam tinja yang telah diperiksa. Hasil negatif pada semua metode yang
dilaksanakan dapat disebabkan antara lain:

1. Sampel atau feces diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit
usus)

2. Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum.


Misalnya pada metode natif pada saat menusuk-menusukkan lidi bambu pada feces
telur yang terdapat pada feces tidak menempel pada lidi. Pada metode apung, pada
saat larutan feces didiamkan pada tabung reaksi, tabung reaksi goyang sehingga
telur yang sudah terapung mengendap lagi.

3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit


maupun larvanya.

4. Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.

5. Pada saat diambil fecesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukkan telur
pada feces.

Pemeriksaan feces pada dasrnya dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara
kualitatif dan pemeriksaan secara kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kualitatif, yaitu
pemeriksaan yang didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode
pemeriksaan tanpa dihitung jumlahnya. Pemeriksaan feces secara kuantitatif yaitu
pemeriksaan feces yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram
feces.(Gandahusada,2000)

11
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Pemeriksaan dengan metode natif/langsung, dan metode kato (kualitatif) adalah


mengatui infeksi cacing parasit pada orang yang diperiksa.Pemeriksaan kuantitatif
dengan metode kato bertujuan untuk menentukan jumlah telur yang terdapat dalam tinja
yang diperiksa.Hasil yang didapat dari pemeriksaan adalah negatif yang artinya bahwa
tidak ditemukkan telur dalam tinja yang diperiksa.

12
DAFTAR PUSTAKA

Gandahusada,S.W .Pribadi dan D.I. Hery.2000. Parasitologi Kedokteran. Badan Penerbit


Fakultas Kedokteran UI:Jakarta.

Irianto, Koes.2013.Parasitologi Medis (Medical Parasitology).Alfabeta.Bandung

Kurt.1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran


EGC:Jakarta

13

Anda mungkin juga menyukai