Anda di halaman 1dari 6

TORSIO KISTA OVARIUM

Sebagian besar massa ovarium, baik jinak maupun ganas, terbentuk dari kista. Insidensi
kista ovarium di berbagai tempat sedikit bervariasi tergantung pada faktor demografi penduduk,
yaitu sekitar 5-15 persen (Hoffman, 2008).
Secara histologi, kista di ovarium terbagi atas dua bagian besar yaitu;
(1) kista neoplasma ovarium yang berasal dari pertumbuhan neoplastik,
(2) kista ovarium fungsional yang diakibatkan oleh gangguan proses ovulasi normal. Pembedaan
kedua jenis kista ini, baik dengan pencitraan maupun penanda tumor, pada umumnya tidak begitu
penting secara klinis. Kedua jenis kista ovarium tersebut seringkali ditangani sebagai satu kesatuan
klinis (Hoffman, 2008). Pada kasus torsio, umumnya ovarium dan tuba falopii berputar
mengelilingi ligamen latum sebagai sebuah unit tunggal. Namun terkadang, hanya ovarium yang
berputar mengeliling mesovarium ataupun tuba falopii mengeliling mesosalfing. Torsio bisa
terjadi pada jaringan adneksa normal, namun dalam 50-80% kasus ditemukan massa ovarium
unilateral (Hoffman, 2008).
Insiden torsio adneksa paling sering terjadi pada usia reproduksi. Hibbard et al (1985)
menemukan bahwa 70% kasus torsio terjadi pada wanita usia 20-39 tahun. Sebagian kasus torsio
juga terjadi pada masa kehamilan dan kasus ini merupakan 20-25% dari seluruh kasus torsio
(Hoffman, 2008).
I. MANIFESTASI KLINIS
A. Anamnesa

Pada umumnya, wanita yang mengalami torsio kista ovarium akan datang dengan
keluhan utama nyeri akut abdomen. Oleh karena itu, keterangan-keterangan mengenai
karakteristik nyeri (lokasi, onset, migrasi, radiasi, kualitas, tingkat keparahan, serta faktor
yang memperberat atau memperingan nyeri) harus dapat digali melalui proses anamnesa
(Close & Tintinalli, 2004). Pasien torsio kista ovarium biasanya merasakan nyeri yang
tajam di daerah abdomen bagian bawah. Nyeri tersebut terlokalisir pada lokasi ovarium
yang mengalami gangguan dan terkadang dapat menjalar ke daerah pinggang dan paha
(nyeri referal/referred pain) (Hoffman, 2008). Hal ini disebabkan karena serabut saraf
viseral dari ovarium memasuki tulang belakang di tingkatan yang sama dengan serabut
saraf somatik yang mempersarafi daerah pinggang dan paha, yaitu setingkat T9-T10 (Close
& Tintinalli, 2004; Rapkin & Howe, 2007). Onset nyeri terjadi mendadak dan mengalami
perburukan secara intermitten dalam beberapa jam (Hoffman, 2008). Onset nyeri biasanya
muncul pada saat pasien mengangkat beban berat, melakukan latihan fisik, maupun ketika
berhubungan intim (Rapkin & Howe, 2007). Nyeri yang ditimbulkan cukup berat sehingga
terkadang digambarkan sebagai nyeri yang dapat membangunkan pasien dari tidurnya.
Nyeri dengan tingkat keparahan seperti ini biasanya berhubungan dengan kasus torsio yang
telah mengalami iskemia (Close & Tintinalli, 2004; Hoffman, 2008). Suatu torsio yang
menyebabkan obstruksi tuba falopii juga dapat menghasilkan nyeri kolik. Nyeri kolik pada
dasarnya adalah suatu nyeri viseral dan berhubungan dengan peregangan organ berongga
(hollow organ) dalam rongga abdomen. Nyeri kolik ini menghadirkan suatu gambaran
awitan nyeri yang timbul secara bergelombang (Close & Tintinalli, 2004). Selain nyeri,
keluhan penyerta yang sering didapatkan pada pasien torsio kista ovarium adalah gejala-
gejala refleks autonom seperti mual dan muntah (Rapkin & Howe, 2007). Di samping itu,
kadang terdapat keluhan demam yang tidak begitu tinggi yang menandakan sudah
terjadinya proses nekrosis (Hoffman, 2008). Diagnosa banding kasus torsio ovarium
dengan keluhan utama nyeri akut abdomen dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Diagnosa Banding Keluhan Utama Nyeri Akut Abdomen

(Sumber: Close & Tintinalli, 2004)


B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik kasus torsio, dari status generalis dapat ditemukan tanda-
tanda demam jika sudah terjadi proses nekrosis (Hoffman, 2008). Selain itu, bila nyeri yang
ditimbulkan sangat hebat, dapat timbul syok neurogenik yang bisa terlihat dari perubahan
tanda-tanda vital, seperti takikardia dan hipotensi. Pada pemeriksaan status lokalis, dari
pemeriksaan abdomen akan ditemukan abdomen terasa sangat lembut, khususnya di daerah
kista ovarium. Tanda paling penting adalah ditemukannya massa intra abdomen. Namun,
pemeriksaan di daerah ini harus dilakukan dengan lembut dan hati-hati agar kenyamanan
pasien dapat terjaga. Jika kista ovarium telah menyebabkan peradangan peritonuem,
terkadang bisa ditemukan tanda-tanda rangsang peritoneal, seperti nyeri tekan dan nyeri
lepas (Close & Tintinalli, 2004; Rapkin & Howe, 2007). Pada pemeriksaan ginekologis,
dari pemeriksaan panggul biasanya akan dapat ditemukan adanya massa dan rasa nyeri di
daerah ovarium yang mengalami torsio. Namun demikian, menurut beberapa hasil
penelitian, pemeriksaan panggul pada pasien dengan keluhan nyeri akut abdomen memiliki
tingkat spesifisitas dan sensitifitas yang rendah. Oleh karena itu, masih dibutuhkan
beberapa pemeriksaan penunjang lainnya agar diagnosa torsio kista ovarium dapat
ditegakkan (Close & Tintinalli, 2004).
C. Pemeriksaan Penunjang

Keluhan nyeri yang dialami oleh pasien pada kasus torsio kista ovarium, khususnya
pada kasus yang telah mengalami iskemia, memiliki persamaan dengan keluhan yang
terjadi pada kasus-kasus kehamilan ektopik. Oleh karena itu, pada pasien yang datang
dengan keluhan tersebut dianjurkan untuk dilakukan tes kehamilan agar dugaan kehamilan
ektopik dapat disingkirkan (Close & Tintinalli, 2004).
Pemeriksaan ultrasonografi juga memiliki peranan penting dalam evaluasi pasien
dengan persangkaan torsio. Namun demikian, tanda yang ditemukan pada pemeriksaan
sonografi dapat sangat bervariasi tergantung pada derajat gangguan vaskuler, karakterisitik
massa, serta ada atau tidaknya perdarahan adneksa. Pada pemeriksaan sonografi, suatu
kasus torsio dapat menyerupai gambaran kehamilan ektopik, abses tubo-ovarium, kista
ovarium hemoragik, dan endometrioma. Menurut kepustakaan, tingkat keakuratan dignosa
dengan pemeriksaan sonografi sekitar 50-75 persen (Hoffman, 2008).
Beberapa gambaran spesifik kasus torsio ovarium yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan adalah ditemukannya gambaran folikel multipel mengelilingi sebuah ovarium
yang mengalami pembesaran memiliki tingkat keakuratan diagnosa sampai 64 persen.
Tanda ini menggambarkan proses kongesti dan edema yang terjadi di ovarium. Pedikulum
yang terpelintir kemungkinan juga akan memberikan gambaran yang dikenal dengan
sebutan bull’s-eye target, whirlpool, maupun snail shell. Gambaran tersebut berupa sebuah
struktur bulat hiperekhoik dengan cincin hipoekhoik multipel yang tersusun secara
konsentrik ke bagian dalam (Hoffman, 2008). Selain itu, pemeriksaan Transvaginal Color
Doppler Sonography (TVCDS) bisa menambahkan informasi penting dalam evaluasi klinis
kasus torsio. Umumnya, melalui pemeriksaan ini akan dapat ditemukan gangguan pada
aliran darah normal adneksa. Pada sebagian besar kasus tidak ditemukan gambaran aliran
darah vena intraovarium. Seiring dengan perjalanan kasus torsio, maka aliran darah arteri
selanjutnya juga akan mengalami penurunan. Namun demikian, meski memiliki angka
keakuratan yang tinggi bagi sebagian besar kasus, kasus torsio adneksa inkomplit atau
intermitten dapat memberikan gambaran masih adanya aliran vena maupun arteri. Oleh
karena itu, torsio tidak dapat disingkirkan bila hanya berdasarkan gambaran normal dari
pemeriksaan Doppler (Hoffman, 2008). Pemeriksaan CT-Scan atau MRI kemungkinan
juga dapat membantu untuk kasus-kasus torsio inkomplit dan kronik serta pada kasus-
kasus yang memiliki presentasi klinis yang ambigu (Close & Tintinalli, 2004).
II. MANAJEMEN
Tujuan tindakan manajemen pada kasus torsio adalah untuk menyelamatkan
jaringan adneksa, reseksi terhadap jaringan kista, dan kemungkinan ooporeksi. Namun
demikian, pada penemuan keadaan nekrosis adneksa maupun perdarahan, harus dilakukan
pengangkatan struktur yang mengalami torsio (Hoffman, 2008). Torsio dapat dievaluasi
dengan teknik laparoskopi maupun laparotomi. Pada awalnya, saat dilakukan tindakan
bedah eksplorasi, biasanya dilakukan adneksektomi guna menghindari terjadinya trombus
ketika dilakukan detorsi dan emboli. Bukti ilmiah ternyata tidak mendukung tindakan ini.
Kepustakaan menyatakan bahwa pada hampir 1000 kasus torsio hanya terdapat 0,2% kasus
emboli paru. Sebagai catatan, kasus emboli paru tersebut berhubungan dengan tindakan
eksisi adneksa dan bukan dengan tindakan pelepasan pelintiran secara konservatif. Pada
sebuah studi dengan 94 orang subjek penelitian, Zweizig et al (1993) melaporkan bahwa
tidak terdapat peningkatan morbiditas pada pasien yang dilakukan tindakan pelepasan
pelintiran adneksa jika dibandingkan dengan pasien yang dilakukan adneksektomi
(Hoffman, 2008).

Gambar 3. Torsio adneksa


(Sumber; Rapkin & Howe, 2007)

Dengan alasan ini, maka tindakan detorsi pada umumnya direkomendasikan.


Dalam beberapa menit setelah tindakan detorsi, biasanya kongesti menjadi berkurang,
begitu juga dengan sianosis dan volume ovarium. Pada beberapa kasus, tidak adanya tanda-
tanda ini merupakan patokan untuk dilakukannya pengangkatan adneksa. Ovarium yang
berwarna hitam kebiruan menetap bukanlah suatu tanda patognomonik nekrosis sehingga
masih ada kemungkinan ovarium untuk kembali berfungsi. Cohen et al (1999) melakukan
tinjauan ulang terhadap 54 kasus dimana adneksa tetap dipertahankan tanpa
memperhatikan keadaannya pada saat dilakukan detorsi. Mereka melaporkan bahwa
integritas fungsional dan kehamilan berikutnya dapat terjadi pada 95 kasus. Bidar et al
(1991) melaporkan bahwa tidak terdapat peningkatan kejadian infeksi post-operatif pada
tindakan yang sama. Namun demikian, karena nekrosis masih memiliki kemungkinan
untuk terjadi, maka setelah tindakan masih diperlukan pengawasan terhadap demam,
leukositosis, dan tanda-tanda peritoneal (Hoffman, 2008). Lesi ovarium yang spesifik
seharusnya dilakukan eksisi. Namun demikian, tindakan sistektomi pada sebuah ovarium
yang telah mengalami iskemik dan edematous kemungkinan merupakan suatu tindakan
yang sulit. Oleh karena itu, beberapa penulis menyarankan untuk melakukan penundaan
sistektomi hingga 6-8 minggu setelah tindakan penanganan pertama (Hoffman, 2008).
Setelah detorsi, belum terdapat konsensus mengenai manajemen lanjutan adneksa. Setelah
perkembangan tindakan konservatif, resiko terjadinya torsio berulang mengalami
peningkatan. Ooporopeksi unilateral maupun bilateral telah dinyatakan mampu
meminimalisir resiko terjadinya torsio ipslateral dan kontralateral yang berulang
(Hoffman, 2008). Penanganan torsio pada kehamilan tidak berbeda dengan diluar
kehamilan. Jika korpus luteum diangkat sebelum usia kehamilan 10 minggu, maka
direkomendasikan untuk diberikan 17-hidroksiprogesteron kaproat dengan dosis 150 mg
secara intramuskular guna mempertahankan kehamilan. Jika terjadi antara 8-10 minggu,
maka hanya dibutuhkan satu kali dosis pemberian segera setelah operasi. Namun jika
korpus luteum dieksisi antara 6-8 minggu, maka dibutuhkan tambahan 2 dosis yang harus
diberikan pada 1 dan 2 minggu setelah dosis pertama diberikan (Hoffman, 2008).
Sumber:
Close, R & Tintinalli, JE. 2004. Acute Abdominal Pain in Women of Childbearing Age. In:
Pearlman, MD et al (Editors). Obstetric & Gynecologic Emergencies: Diagnosis and
Management. 1st Edition. Section VII. Chapter 28. New York: The McGraw-Hill
Companies.
Hoffman, BL. 2008. Pelvic Mass. In: Schorge, JO et al (Editors). Williams Gynecology. Section 1.
Chapter 9. New York: The McGraw-Hill Companies.
Rapkin, AJ & Howe, CN. 2007. Pelvic Pain and Dysmenorrhea. In: Berek, JS et al (Editors). Berek
& Novak’s Gynecology. 14th Edition. Section IV. Chapter 15. Massachusetts: Lippincott
Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai