PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari
sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis akut terjadi sebagai hasil
dari obstruksi saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu.
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis. Penyakit ini
perlu diwaspadai karena insiden batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi,
serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang
biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk
kondisi dan mempersulit terapi.
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya
kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula
disebabkan adanya batu primer di saluran bilier, keganasan dan striktur.1,3
Proporsi kasus didiagnosis sebagai berat sesuai dengan kriteria penilaian
keparahan pada Tokyo Guideline 2007 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus
kolangitis akut karena saluran batu empedu.
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi
barubaru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas,
sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah
meningkat.
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya
demam, ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase &
alinine transaminase), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri
Page 1
dari sampel darah. Studi pencitraan juga dapat membantu dalam menegakan
diagnosis kolangitis akut.
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier.
Derajat kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah
sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, terutama jika
kolangitis akut ringan yang berulang.
1.2.Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hepatobillier pada skenario.
2. Untuk mengetahui mekanisme keluhan pada skenario.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada
pasien diskenario
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan awal sebagai dokter umum pasien
diskenario.
5. Untuk mengetahui diagnosis banding apa saja diskenario.
6. Untuk mengetahui diagnosis kerja pada pasien diskenario.
1.3.Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dan fisiologi hepatobillier pada
skenario.
2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme keluhan pada skenario.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada pasien diskenario
4. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan awal sebagai dokter umum
pasien diskenario.
5. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis banding apa saja diskenario.
6. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis kerja pada pasien diskenario.
Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Data Tutorial
Skenario
Page 3
Sclera Ikterik adalah perubahan warna sclera mata (normal
berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin
dalam darah. Bilirubin adalah pigmen kuning yang ada dalam
darah, urin, dan feses manusia. Bilirubin dibuat dalam tubuh dari
hasil pemecahan sel darah merah (eritrosit), yang kemudian
menuju hati melalui aliran darah. Dalam hati, bilirubin diproses
lalu disekresikan ke dalam saluran empedu dan disimpan di
kantong empedu.(Douglas, 2014).
Page 4
ekspirasi) karena Area nuda-nya menempel pada Diaphragma.
Oleh sebab itu, posisinya juga bergantung pada ukuran paru.
Page 5
Di sisi kanan Porta hepatis {Hilum hepatis), V. cava
inferior terletak pada Sulcus venae cava inferior dan Vesica
biliaris tertanam dalam Fossa vesicae biliaris di inferior.
Lig. teres hepatis, Lig. venosum, V. cava inferior, dan Vesica
biliaris menggambarkan dua area persegi pada kedua sisi Porta
hepatis pada sisi inferior Lobus hepatis dexter, Lobus
quadratus di ventral dan Lobuscaudatus di dorsal. Dan Hepar
dapat mengalami perubahan bentuk dan menyesuaikan diri
dengan bentuk organ-organ sekitar.
Segmen-segmen Hepar
1. Lobus caudatus
2. Segmentum laterale superius
Page 6
3. Segmentum laterale inferius
4. Segmentum mediale superius dan Segmentum mediale
inferius
5. Segmentum anterius inferius
6. Segmentum posterius inferius
7. Segmentum posterius superius
8. Segmentum anterius superius
B. Vesica Fellea.
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk
seperti buah pir, yang terletak pada permukaan inferior dari
hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang
disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm
dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu
menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang
menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung
Page 7
empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002).
Page 8
Suplai darah ke kandung empedu biasanya
berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri
hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada
tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatic
kanan.
Aliran vena pada kandung empedu biasanya
melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini
melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati
dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal.
Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke
hati dan menuju duktus sistika dan masuk kesebuah
nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena
portal. Kandung empedu di inervasi oleh cabang dari
saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal
dari T8 dan T9. Saraf post ganglionik simpatetik berasal
dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri
Page 9
hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus
(Welling & Simeone, 2009).
C. Vaskularisasi.
Arteri-arteri pada Hepar dan Vesica Biliaris
Page
10
Variasi aliran darah Hepar:
a. Gambaran yang umum dijumpai
b. kontribusi A. mesenterica superior terhadap aliran
darah pada Lobus hepatis dexter
c. A. hepatica communis berpangkal pada A.
mesenterica superior
d. Aliran darah pada Lobus hepatis sinister oleh A.
gastrica sinistra
e. Kontribusi cabang A. gastrica sinistra terhadap aliran
darah Lobus hepatis sinister selain R. sinister dari A.
hepatica propria
f. Aliran darah pada Curvatura minor oleh cabang
accessories dari A. hepatica propria
Vena-vena pada Hepar dan VesicaBiliaris
Page
11
(Paulsen F & Waschke. J, 2012 )
Page
12
o V. colica media
Page
13
kapsula hati yang memicu timbulnya nyeri tekan pada perut
kuadran kanan atas (corwin, 2009).
b. Warna urin kuning pekat seperti air teh dan BAB seperti
dempul disebabkan karena adanya peningkatan bilirubin
dan urobilinogen. Adanya bilirubin menunjukkan kerusakan
(sumbatan) pada saluran kanalik ulibiliaris sehingga
bilirubin tidak bias keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke
pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam
urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang
meningkat sehingga terjadi oksidasi yang berlebih sehingga
urin bewarna seperti air teh. Sedangkan BAB seperti dempul
disebabkan karena sedikit atau tidak adanya sterkobilin yang
berasal dari proses metabolisme bilirubin direk (Corwin,
2009).
Page
14
(aliran kembali keatas) ke pembuluh darah sehingga akan
bermanifestasi kuning pada jaringan kulit terutama pada
sclera kadang disertai rasa gatal dan urin seperti air teh
akibat partikel bilirubin direk berukuran kecil sehingga
dapat masuk ke ginjal dan di eksresi melalui urin.
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis
adalah asimtomatis.Keluhan yang mungkin timbul adalah
dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating
dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium
atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium
yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.Kadang pasien
dengan mata dan tubuh menjadi kuning, badan gatal-gatal,
kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul
dan penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah,
Page
15
scapula, atau kepuncak bahu, disertai mual dan
muntah.Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida.Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan stadium litogenik atau batu
asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam pemeriksaan
fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat
kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi/nyeri
tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.Riwayat ikterik maupun ikterik
cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya
tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan
laboratorium.Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
lekositosis. Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledokus oleh batu. Kadarbilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut.
Pencitraan
Page
16
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan
gambaran yang khas karena hanya sekitar10-15% batu
kandung empedu yang bersifat radioopak.Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengankandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar, di fleksurahepatica.
Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic.
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang
sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus.Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri
pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasibiasa.
Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi
dengan kontras cukup baik karena relative murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran
batu.Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.
Page
17
Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat
untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus
misalnya karena batu.Juga dapat berguna untuk
membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri
abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di
hati dan kemudian akan di sekresi ke kantong empedu
dan dapat dideteksi dengan kamera gamma.
Kegagalan dalam mengisi kantongempedu
menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke
dalam duodenum.
Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode
pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walupun demikian,teknik ini jauh
lebih mahal dibanding USG.
Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC)
dan Endoscopic Retrograde Cholangio-
pancreatography (ERCP) merupakan metode
kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk
menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab
obstruksinya seperti koledokolitiasis.Selain untuk
diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi
dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti
ekstraksi batu.Tes invasive ini melibatkan opasifikasi
lansung batang saluran empedu dengan kanulasi
endoskopi ampula vateri dan suntikan retrograde zat
kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari
endoskopi dan mecakup sedikit penambahan insidens
kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat
sebagian.
Page
18
4. Penatalaksanaan awal sebagai dokter umum pasien di
skenario?
Page
19
2.3.4 Rangkuman Permasalahan.
DD:
1. Coledokolitiasis
2. Kolangitis
3. Kolestitis
4. Kolelitiasis
5. hepatits
Page
20
2.3.6 Referensi
1. Anatomi dan fisiologi hepatobilier
Avunduk, C., 2002. Manual of Gastroenterology: Diagnosis
and therapy Edisi 3
Paulsen F.& J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia
Jilid 2 .Jakarta : EGC
Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk Pemula. Jakarta:
EGC.
Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gall bladder and
Biliary Tract: Anatomy and Structural Anomalies. Dalam:
Tadataka Yamada, Textbook of Gastroenterology. Edisi ke-5.
USA: Wiley-Blackwell.
2. Mekanisme keluhan pada skenario.
Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7.
Jakarta: EGC.
3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
diskenario
Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LH, Kondamudi.
2014. Surgical anf Nonsurgical Management og Gallstone.
American Family Physician, 15;89 (10).
4. Pemeriksaan awal sebagai dokter umum pasien diskenario
Lalisang, T. J. 2007. Kolesistektomi Laparoskopi. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Page
21
Koledokolitiasis adalah terbentuknya satu atau lebih
batu empedu di saluran empedu, biasanya pembentukan
primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari
kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran
empedu (price & Wilson, 2005).
B. Etiologi
C. Manifestasi klinis
Gejala Akut
Tanda :
Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kuadran
kanan dalam waktu diraba pada kuadran kanan atas
Kandung empedu membesar dan nyeri
Ikterus ringan
Gejala :
Page
22
Rasa nyeri (kolik empedu), tempat: abdomen bagian
atas (mid epigastrium). Sifat : terpusat di epigastrium
menyebar ke arah scapula kanan
Mual dan muntah
Intoleransi dengan makanan berlemak
Flatulensi
Eruktasi (bersendawa)
1.2 Kolangitis
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang
berkembang sebagai akibat dari sumbatan dan infeksi di
saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh
Charcot sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa,
sekarang diketahui bahwa keparahan yang muncul dapat
berkisar dari ringan hingga mengancam nyawa.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran
empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis akut
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
B. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu
(infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran
dua faktor (Tusiantari dan Dwipayana, 2016):
obstruksi bilier
Page
23
menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui
ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula),
sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut
kolangitis asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya
translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan
celah disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya
menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena
efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian,
obstruksi bilier dapat mengakibatkan kolangitis akut karena
berkurangnya aliran empedu dan produksi IgA,
menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya
celah membran sel sehingga menimbulkan refluks
kolangiovena (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Kolelitiasis
Page
24
Faktor congenital
Oklusi keganasan
Tumor ampula
Tumor pancreas
Tumor duodenum
Pankreatitis
Tekanan eksternal
Fibrosis papilla
Divertikulum duodenal
Bekuan darah
Faktor iatrogenic
ascariasis)
Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier
C. Faktor Resiko
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat
aseptik. Namun, kultur empedu positif mengandung
mikroorganisme pada 16% dari pasien yang menjalani
operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44%
dari pasien kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan
Page
25
ikterus.8 Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran
empedu menyajikan tingkat kultur empedu positif yang
lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari
saluran empedu. Faktor resiko untuk bakterobilia mencakup
berbagai faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain
terjadinya kolangitis yang disebut riwayat infeksi
sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran
cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak
terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi
akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang
disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi.
Obstruksi terutama disebabkan oleh batu common bile duct
(CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi
lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah
mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta,
sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan
melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan
terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya
infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik
perihepatik, sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa
berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan
tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah
kolangitis supuratif (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Page
26
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis
kolangitis, yaitu (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).:
Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada
sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun
ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu
CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi,
edema mukosa CBD, atau hepatitis.
Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier
yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria,
namuntidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak
dalam keadaan sepsis.
Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga
melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu
melebihi 250mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat
reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri
ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul
berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal
organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik
(sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
1.3 Kolesistitis
1. Kolesistitis Akut
A. PENGERTIAN
Page
27
Kolesistitis / radang kandung empedu adalah reaksi
inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam
(Bloom, 2016).
C. GEJALA KLINIS
Page
28
- Kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium
- Nyeri tekan
- Kenaikan suhu tubuh/demamkadang-kadang rasa sakit
ini menjalar ke pundak atau scapula kanan dan
berlangsung selama 60 menit tanpa reda
- Berat ringan keluhan sangat bergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangrene
atau perforasi kandung empedu
- Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
local(Murphy sign +)
- Ikterus dialami pada 20% kasus, umumnya derajat
ringan. Bila bilirubin terlalu tinggi perlu dicurigai
adanya batu di saluran ekstra hepatic
- Pemriksaan fisik memperlihatkan adanya leukositosis
dan peningkatan serum transaminase dan fosfatase
alkali
- Bila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi
dan menggigil sertya leukositosis beratkemungkinan
terjadi empiema dan perforasi kandung empedu.
D. FAKTOR RISIKO
- Perempuan
- Subur
- Gemuk
- Usia >40 tahun
- Hiperlidemia
- Dismotilitas kandung empedu
Page
29
- Nutrisi IV jangka panjang
- Pengosongan lambung yang memanjang
2. Kolesistitis Kronik
A. PENGERTIAN
B. GEJALA KLINIS
1.4 Kolelitiasis
A. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar
Page
30
batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas
abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas,
dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi
menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah
anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang
vena kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh
hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi
utama hati.
B. Manifestasi klinis
1.5 Hepatitis
Page
31
A. Definisi
Hepatitis A
Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan
merupakan penyakit endemis di beberapa negara
berkembang. Selain itu merupakan Hepatitis yang
ringan, bersifat akut, sembuh spontan/sempurna
tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi
kronik.
Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan
umumnya terjadi karena pencemaran air minum,
makanan yang tidak dimasak, makanan yang
tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene
rendah.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM
antibodi dalam serum penderita.
Manifestasi klinisnya bersifat akut, tidak khas bisa
berupa demam, sakit kepala, mual dan muntah
sampai ikterus, bahkan dapat menyebabkan
pembengkakan hati.
Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan
pendukung dan menjaga keseimbangan nutrisi.
Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan,
terutama terhadap makanan dan minumnan
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Page
32
Hepatitis B
Hepatitis B akut
Hepatitis B kronik
Page
33
HBe dalam serum, kadar ALT (alanin Amino
Transferase), HBV-DNA(hepatitis B virus-
deoxyribunukleicAcid) serta biopsy hati.
Pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat
untuk hepatitis B (interferon alfa-2a, peginterferon
alfa-2a, lamivudin, adevoir, entecavir, telbivudin dan
tenofovir).
Hepatitis C
Etiologi utama adalah sirosis dan kanker hati
Etiologi virus hepatitis C termasuk golongan virus
RNA (Ribo Nucleic Acid)
Masa inkubasi 2-24 minggu
Penularan hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh,
penularan masa perinatal sangat kecil, melalui jarum
suntik (IDUs, tattoo) transplantasi organ, kecelakaan
kerja (petugas kesehatan) hubungan seks dapat
menularkan tetapi sangat kecil.
Hepatitis D
Hepatitis D disebut virus delta, virus ini memerlukan
virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga
hanya ditemukan pada orang yang telah terinfeksi
virus hepatitis B
Hepatitis E
Etiologi virus hepatitis E termasuk virus RNA
Masa inkubasi 2-9 minggu
Penularan melalui fecal oral seperti hepatitis A
Gejalanya ringan menyerupai gejala flu, sampai
ikterus
Diagnosis dengan didapatkannya IgM dan IgG
antiHEV pada penderita yang terinfeksi.
Page
34
2. Diagnosis kerja pada pasien diskenario?
Dari hasil diskusi kelompok 5, kami sepakat mengambil diagnosis
kerja pada scenario, yaitu kolangitis Akut.
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang
sebagai akibat dari sumbatan dan infeksi di saluran empedu.
Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot sebagai
penyakit yang serius dan mengancam jiwa, sekarang diketahui
bahwa keparahan yang muncul dapat berkisar dari ringan
hingga mengancam nyawa. Koledokolitiasis atau adanya batu
diadalam saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama
kolangitis akut (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis
asending dan kolangitis supuratif semuanya umumnya merujuk
pada infeksi bakterial saluran bilier, serta untuk
membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti
kolangitis sklerosis (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
B. Epidemiologi
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan
resiko terjadinya kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar
0.2%. Kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu
primer di saluran bilier, keganasan dan striktur. Dilaporkan
angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat ditemukan
Page
35
pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang
dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan
terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun (Tusiantari
dan Dwipayana, 2016).
Kasus yang parah di laporkan Tokyo Guideline 2007
(TG07) merujuk kepada mereka yang memiliki faktor
prognosis yang buruk termasuk syok, gangguan kesadaran,
kegagalan organ, dan disseminated intravascular coagulation.
Definisi itu masih diragukan sebelum penerbitan TG07, yang
setelah dilakukan penelitian terhadap frekuensi kolangitis akut,
melaporkan bahwa kejadian kasus yang parah adalah 7-25,5%
terjadi syok, 7-22,2% terjadi gangguan kesadaran, dan 3,5-
7,7% terjadi Pentad Reynold. Proporsi kasus didiagnosis
sebagai berat (grade III) sesuai dengan kriteria penilaian
keparahan TG07 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus
kolangitis akut karena saluran empedu batu (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi.
Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi bakteri empedu
(misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami
kolangitis). Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna
diinjeksikan secara retrograd. Insidensi Internasional kolangitis
adalah sebagai berikut: kolangitis pyogenik rekuren,
kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental, endemik
di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran
bilier berulang, pembentukan batu empedu intrahepatik dan
ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran
empedu intra dan ekstrahepatik (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).
Page
36
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas,
demam dan ikterik, dapat digunakan untuk mendiagnosa
kolangitis akut secara klinis. Umumnya pasien-pasien dengan
kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi dengan
antibiotik, namun demikian pembersihan saluran bilier secara
endoskopi pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi
terapi penyebab obstruksi (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan
terapi antibiotik dan drainase bilier, penelitian-penelitian
melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut mencapai
10% (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
C. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi
empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua faktor
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016):
obstruksi bilier
pertumbuhan bakteri dalam empedu
(bakterobilia)
Page
37
IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan
produksi IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan
rusaknya celah membran sel sehingga menimbulkan refluks
kolangiovena (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Kolelitiasis
Benign biliary stricture
Faktor kongenital
Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier,
strictured choledojejunostomy, etc.)
Faktor inflamasi
Oklusi keganasan
Tumor duktus bilier
Tumor kandung empedu
Tumor ampula
Tumor pankreas
Tumor duodenum
Pankreatitis
Page
38
Tekanan eksternal
Fibrosis papila
Divertikulum duodenal
Bekuan darah
Faktor iatrogenic
Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary
ascariasis)
Sump syndrome setelah anastomosis enterik
bilier
D. Faktor Resiko
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik.
Namun, kultur empedu positif mengandung mikroorganisme
pada 16% dari pasien yang menjalani operasi non-bilier, 72%
dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien kolangitis kronis,
E. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran
cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak
terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi akibat
Page
39
adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh
bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama
disebabkan oleh batu common bile duct (CBD), striktur,
stenosis, atau tumor, serta manipulasi endoskopik CBD.
Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke
sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun
langsung dari duodenum (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui
batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli
biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga akan
terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-
40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).:
Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem
bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra
hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang
kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi,
edema mukosa CBD, atau hepatitis.
Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang
biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
Kolangitis supuratif akut
Page
40
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak
terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam
keadaan sepsis.
Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga
melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu
melebihi 250mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat
reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri
ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai
komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal organ
ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik
(sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
F. Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta melalui pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis penderita kolangitis secara klinis
dapat ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita
hanya mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang
minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan
mata didapatkan pada sekitar 80% penderita (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam,
hepatomegali, ikterus, gangguan kesadaran (delirium), sepsis,
hipotensi dan takikardi. Adanya tambahan syok septis dan
Page
41
delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad Reynold
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan
terjadinya cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks
bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi
empedu akibat obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh
batu dan tumor. Kriteria diagnostik menurut Tokyo Guideline
2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk menegakkan
diagnosis ketika kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-
tanda klinis atau tes darah di samping manifestasi empedu
berdasarkan pencitraan yang hadir (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah
sebagai berikut : adanya trias Charcot atau bila tidak lengkap,
adanya 2 unsur trias Charcot ditambah adanya bukti
laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain
yang mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati
abnormal (Alkaline Phosphatase / ALP, Gamma Glutamil
Transpeptidase / GGT, Aspartate Transaminase. AST / SGOT,
Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan temuan- temuan
pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya
batu, striktur atau stenosis). TG13 mendefinisikan suatu
diagnosis suspek kolangitis akut bila terdapat 2 atau lebih dari
salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier, demam
dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen bagian atas atau
kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan
Page
42
dan suatu upaya yang jarang dalam standarisasi definisi
kolangitis kaut, namun pedoman tersebut dirasakan kurang
teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau
ikterik, begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Pada TG13 mendefinisikan kolangitis akut dalam
kategori ringan (merespon terhadap terapi suportif dan
antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi medikal
namun tidak terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling
tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ
meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin
atau dopamine, delirium, rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin
serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit <100000/µl
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel
1.
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respnon
inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal
Page
43
C. Pencitraan
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan dan
lainnya)
Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C
Catatan:
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri abdomen
kanan atas dan adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones,
proses bilier sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut penanda
respon sistemik inflamasi juga dipantau.
Batasan:
CRP (mg/dl) ≥1
Ikterus T-bil≥2mg/dL
Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD GGT (IU) >1.5xSTD AST (IU)
>1.5xSTD
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
Page
44
Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga
kelompok:
Page
45
dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin
berkurang untuk batu yang kecil. ERCP selain memiliki
sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki potensi untuk
terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi
intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan
suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus
duktus biliaris seperti tumor ganas (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi
intrahepatik konsisten dengan obstruksi distal seperti batu CBD
atau kanker pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi
meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan
refluks cairan bilier kedalam sirkulasi sistemik dan
menghindarkan resiko injeksi yang tidak diinginkan kedalam
segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial
dapat menyebabkan terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat
meberikan informasi serupa dengan EUS dan ERCP, namun
kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG
transabdominal relatif tidak sensitif untuk mendeteksi batu
CBD (biasanya <30%), namun tersedia mudah dan dapat
membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih
sensitive dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu
CBD, dan sensitivitas helical CT tampaknya sebanding dengan
MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS lebih
sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan
diameter <1cm (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Page
46
H. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus
diberikan segera setelah akses vena didapatkan untuk koreksi
kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah.
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan
drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu
tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya
ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan
yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu
intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis
ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum,
akan tetapi pada kolangitis berat sebaiknya dirawat di ICU
(Intensive Care Unit) (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera
mungkin. Pedoman pemberian antibiotik sebaiknya
berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal rumah
sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan
penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai
berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan
sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan
atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau
karbapenem. Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut
pada pasien kolangitis akut ringan sampai sedang atau
community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram
setiap 6 jam, atau ertapenem 1 gram sekali sehari, atau
ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7
mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya
Page
47
siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500
mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg sekali
sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk
bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut berat atau
nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian
antibiotik sebagai berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375 gr iv
stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-
klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,
diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi
ketiga (misalnya seftriakson 1-2 gr sekali sehari atau cefepim
1-2 gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500 mg setiap 6-8
jam untuk bakteri anaerob (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen
resistensi antibiotik dapat diberikan imipenem iv 500 mg setiap
6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau doripenem iv 500
mg setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi
enterococcus spp. Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi
kolangitis akut. Karena itu pemilihan terapi antibiotik
sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor meliputi sensitivitas
antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati,
riwayat pemakaian antibiotik sebelumnya, pola resistensi
kuman lokal dan penetrasi bilier dari antibiotik. Pilihan
antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan
cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian antibotik
tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur.
Pada akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi
antibiotik adalah drainase bilier efektif, karena adanya
obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik. Pada suatu
studi, dimana pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime,
cefoperazone, imipenem, netilmisin atau siprofloksasin), hanya
Page
48
siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang obstruksi
dan hanya 20% dari konsentrasi serum (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016)..
Drainase bilier
Page
49
Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin
<30 g/l, kadar bilirubin >50 µmol/l dan masa protrombin > 14
detik pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan dengan
diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi endoskopi
lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana
kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai
Page
50
peranan dalam managemen kolangitis akut. Sebuah studi secara
random mengalokasikan 82 pasien dengan kolangitis akut berat
kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical,
kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami
komplikasi dan mortalitas selama di rumah sakit dibandingkan
kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05 dan 32% vs 10%,
p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan
kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat diruangan medical
untuk terapi antibiotik intravena dan dekompresi endoskopi.
Dekompresi bilier surgical sebaiknya dihindari pada pasien
kolangitis akut (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Page
51
akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa
terlebih dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier.
Pada umumnya pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk
drainase bilier lebih dari 90%, jika tidak demikian sebaiknya
dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik.
EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya dilakukan sebelumnya
untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik dan
ekstrahepatik, adanya batu, massa pankreas atau hilus atau batu
kandung empedu. Aspirasi jarum halus pada suatu massa
sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak
memerlukan dekompresi bilier mendesak (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Page
52
I. Komplikasi
J. Prognosis
Page
53
menjalani drainase bilier dini dan pengobatan dengan antibiotik
sistemik. Penyebab lain kematian setelah kolangitis parah
termasuk gagal jantung dan pneumonia (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Page
54
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan.
Jadi, dari hasil diskusi SGD kelompok 5 LBM 4 “PERUTKU NYERI
MELILIT” kami mengambil diagnosis kerja pada scenario yaitu
KOLENGITIS AKUT. Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai
akibat dari sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Penyebab paling sering
obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis bilier jinak, striktur
anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Diagnosis
kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta melalui pemeriksaan penunjang.
Page
55
DAFTAR PUSTAKA
Page
56
LBM 4 “PERUTKU NYERI MELILIT” 57