Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan demam,
ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai akibat dari
sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Kolangitis akut terjadi sebagai hasil
dari obstruksi saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu.
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis. Penyakit ini
perlu diwaspadai karena insiden batu empedu di Asia Tenggara cukup tinggi,
serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang
biasanya memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk
kondisi dan mempersulit terapi.
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan resiko terjadinya
kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar 0.2%. Kolangitis akut dapat pula
disebabkan adanya batu primer di saluran bilier, keganasan dan striktur.1,3
Proporsi kasus didiagnosis sebagai berat sesuai dengan kriteria penilaian
keparahan pada Tokyo Guideline 2007 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus
kolangitis akut karena saluran batu empedu.
Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis
bilier jinak, striktur anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi
barubaru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit ganas,
sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah saluran empedu telah
meningkat.
Diagnosis secara klinis dapat ditegakan dengan trias Charcot, yaitu adanya
demam, ikterus dan nyeri perut kanan atas. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (aspartate transaminase &
alinine transaminase), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri

Page 1
dari sampel darah. Studi pencitraan juga dapat membantu dalam menegakan
diagnosis kolangitis akut.
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan drainase bilier.
Derajat kolangitis akut menetukan perlu tidaknya pasien dirawat di rumah
sakit. Bila klinis penyakitnya ringan, dapat berobat jalan, terutama jika
kolangitis akut ringan yang berulang.

1.2.Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hepatobillier pada skenario.
2. Untuk mengetahui mekanisme keluhan pada skenario.
3. Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada
pasien diskenario
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan awal sebagai dokter umum pasien
diskenario.
5. Untuk mengetahui diagnosis banding apa saja diskenario.
6. Untuk mengetahui diagnosis kerja pada pasien diskenario.

1.3.Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui anatomi dan fisiologi hepatobillier pada
skenario.
2. Mahasiswa dapat mengetahui mekanisme keluhan pada skenario.
3. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang pada pasien diskenario
4. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan awal sebagai dokter umum
pasien diskenario.
5. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis banding apa saja diskenario.
6. Mahasiswa dapat mengetahui diagnosis kerja pada pasien diskenario.

Page 2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Data Tutorial

Sesi 1 : Senin, 01 Juli 2019.

Sesi 2 : Rabu, 03 Juli 2019.

Tutor : dr. Rona Rasafa, S.Ked

Ketua : Ahtianti Ramdani Sahputri

Sekertaris : Ahtianti Ramdani Sahputri

2.2. Skenario LBM 4

“Perutku Nyeri Melilit”

Skenario

Seorang wanita usia 49 tahun datang ke klinik FK Unizar dengan keluhan


nyeri perut kanan atas yang semakin berat sejak 2 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
hilang timbul dan tidak menjalar. Keluhan tersebut juga disertai dengan mual dan
muntah. Pasien juga mengeluh demam yang tidak terlalu tinggi. Nafsu makan
berkurang. Pasien mengeluh BAK berwarna kuning pekat seperti air the dan BAB
seperti dempul. Pada pemeriksaan fisik didapatkan sclera ikterik. Dokter
kemudian mengusulkan untuk melakukan pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan diagnosis. Sebagai seorang dokter, penatalaksanaan apa
yang perlu diusulkan kepada pasien tersebut?

2.3. Pembahasan LBM 2


2.3.1 Klarifikasi Istilah
a. Skera Ikterik
Jawab:

Page 3
Sclera Ikterik adalah perubahan warna sclera mata (normal
berwarna putih) menjadi kuning karena peningkatan kadar bilirubin
dalam darah. Bilirubin adalah pigmen kuning yang ada dalam
darah, urin, dan feses manusia. Bilirubin dibuat dalam tubuh dari
hasil pemecahan sel darah merah (eritrosit), yang kemudian
menuju hati melalui aliran darah. Dalam hati, bilirubin diproses
lalu disekresikan ke dalam saluran empedu dan disimpan di
kantong empedu.(Douglas, 2014).

2.3.2 Identifikasi Masalah


1. Anatomi dan fisiologi hepatobillier pada skenario.
2. Mekanisme keluhan pada skenario.
3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
diskenario
4. Penatalaksanaan awal sebagai dokter umum pasien diskenario.
5. Diagnosis banding apa saja diskenario.
6. Diagnosis kerja pada pasien diskenario.

2.3.3 Pembahasan Permasalahan.


1. Anatomi dan fisiologi hepatobillier pada scenario?
A. Hepar.
Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia
dengan berat kurang lebih 1,5 kg. Hati adalah organ visceral
terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004).
Hepar terletak intraperitoneal pada Epigastrium kanan.
Fundus Vesica biliaris berproyeksi ke Linea medio
clavicularis dextra setinggi Costa lX. Lobus hepatis sinister
terletak pada Epigastrium kiri (sampai Linea medio
clavicularis sinistra) di anterior Gaster. Posisi Hepar bervariasi
sesuai respirasi (lebih rendah saat inspirasi, lebih tinggi saat

Page 4
ekspirasi) karena Area nuda-nya menempel pada Diaphragma.
Oleh sebab itu, posisinya juga bergantung pada ukuran paru.

Hepar dibagi menjadi lobus kanan yang lebih besar


dan kiri yang lebih kecil (Lobus dexter dan Lobus sinister)
yang dipisahkan oleh Lig. falciforme di sebelah ventral. Lig,
falciforme berlanjut sebagai Lig. coronarium yang kemudian
menjadi Lig. Triangulare dextrum dan sinistrum yang
menghubungkan Diaphragma, Lig. Triangulare sinistrum
berlanjut menjadi Appendix fibrosa hepatis. Tepi bebas Lig.
Falciforme mengandung Lig. teres hepatis (sisa V.
umbilicalis prenatal). Kedua Ligamentum ini berhubungan
dengan dinding abdomen ventral.
Di Facies visceralis Fissura ligament teretis hepatis
berlanjut ke Porta hepatis yang menjadi tempat berlabuhnya
struktur vascular ke dan dari Hepar (V. portae hepatis, A.
hepatica propria, Ductus hepaticus communis). Di kranial,
terlihat Lig. venosum (sisa Ductus venosus prenatal).

Page 5
Di sisi kanan Porta hepatis {Hilum hepatis), V. cava
inferior terletak pada Sulcus venae cava inferior dan Vesica
biliaris tertanam dalam Fossa vesicae biliaris di inferior.
Lig. teres hepatis, Lig. venosum, V. cava inferior, dan Vesica
biliaris menggambarkan dua area persegi pada kedua sisi Porta
hepatis pada sisi inferior Lobus hepatis dexter, Lobus
quadratus di ventral dan Lobuscaudatus di dorsal. Dan Hepar
dapat mengalami perubahan bentuk dan menyesuaikan diri
dengan bentuk organ-organ sekitar.

 Segmen-segmen Hepar
1. Lobus caudatus
2. Segmentum laterale superius

Page 6
3. Segmentum laterale inferius
4. Segmentum mediale superius dan Segmentum mediale
inferius
5. Segmentum anterius inferius
6. Segmentum posterius inferius
7. Segmentum posterius superius
8. Segmentum anterius superius

Hepar dibagi menjadi delapan segmen fungsional


yang disuplai oleh satu cabang trias porta (V. portae hepatis,
A. hepatica propria, Ductus hepaticus communis) sehingga
secara fungsional independen. Terdapat kepentingan
fungsional bahwa segmen I sampai lV disuplai oleh cabang-
cabang trias porta kiri dan dapat mewakili Lobus hepatis
sinister fungsional. Segmen V sampai Vlll disuplai oleh
cabang-cabang trias porta kanan dan mewakili Lobus hepatis
dexter fungsional. Akibatnya, batas antara Lobus hepatis
dexter dan sinister fungsional terletak di bidang sagital
antara V. cava inferior dan Vesica biliaris dan bukan pada
Lig. falciforme hepatis.

B. Vesica Fellea.
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk
seperti buah pir, yang terletak pada permukaan inferior dari
hati pada garis yang memisahkan lobus kanan dan kiri, yang
disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm
dengan kapasitas lebih kurang 30mL. Kandung empedu
menempel pada hati oleh jaringan ikat longgar , yang
mengandung vena dan saluran limfatik yang
menghubungkan kandung empedu dengan hati. Kandung

Page 7
empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus, korpus,
infundibulum, dan kolum (Avunduk, 2002).

Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit,


yang kemudian menuju keduktus biliaris. Duktus yang
besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri,
yang akan bermuara keduktus hepatikus komunis di porta
hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung empedu
bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka
terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris
komunis secara umum memiliki panjang 8 cm dan diameter
0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas,
dan kemudian menuju ampula Vateri (Avunduk, 2002).

Page 8
Suplai darah ke kandung empedu biasanya
berasal dari arteri sistika yang berasal dari arteri
hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada
tiap tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatic
kanan.
Aliran vena pada kandung empedu biasanya
melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini
melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati
dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal.
Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran
venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke
hati dan menuju duktus sistika dan masuk kesebuah
nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena
portal. Kandung empedu di inervasi oleh cabang dari
saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal
dari T8 dan T9. Saraf post ganglionik simpatetik berasal
dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan arteri

Page 9
hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus
(Welling & Simeone, 2009).

C. Vaskularisasi.
 Arteri-arteri pada Hepar dan Vesica Biliaris

(Paulsen F &Waschke. J, 2012 )

Hepar di darahi oleh A. hepatica propria yang


berasal dari A, hepatica communis, suatu cabang arterial
langsung dari Truncus coeliacus. Setelah bercabang
menjadi A. gastric dextra, A, hepatica propria berjalan
dalam Lig. Hepatoduodenale bersama dengan V. portae
hepatis dan Ductus choledochus ke Hilum hepatis. Di sini,
arteri tersebut terbagi menjadi R. dexter dan R. sinister ke
lobus-lobus Hepar. R. dexter member cabang berupa A.
cystica ke Vesica biliaris. Pada 1O-2Oo/o kasus, A.
mesenterica superior berperan pada aliran darah Lobus
hepatis dexter, dan A. gastrica sinistra berperan pada suplai
darah di Lobus hepatis sinister.

Page
10
 Variasi aliran darah Hepar:
a. Gambaran yang umum dijumpai
b. kontribusi A. mesenterica superior terhadap aliran
darah pada Lobus hepatis dexter
c. A. hepatica communis berpangkal pada A.
mesenterica superior
d. Aliran darah pada Lobus hepatis sinister oleh A.
gastrica sinistra
e. Kontribusi cabang A. gastrica sinistra terhadap aliran
darah Lobus hepatis sinister selain R. sinister dari A.
hepatica propria
f. Aliran darah pada Curvatura minor oleh cabang
accessories dari A. hepatica propria
 Vena-vena pada Hepar dan VesicaBiliaris

Page
11
(Paulsen F & Waschke. J, 2012 )

Hepar memiliki sistem vena masuk dan keluar. V.


portae hepatis mengumpulkan darah yang kaya nutrisi dari
organ-organ Abdomen yang tidak berpasangan (Gaster,
usus, Pancreas, limpa/Splen) dan mengalirkannya bersama
dengan darah arterial dari A. hepatica communis, kedalam
sinusoid Lobulus hepaticus. Tiga vena Hepar membawa
darah dari Hepar ke V. cava inferior. V. portae hepatis
terbentuk dari tiga vena utama: Di belakang Caput
pancreatis, V. mesenterica superior bersatu dengan V.
splenica untuk membentuk V. portae hepatis. Pada sebagian
besar kasus (70%), V. mesenterica inferior bermuara ke
dalam V. splenica; sisanya (30%), V. mesenterica inferior
bermuara ke dalam V. mesenterica superior.

- Cabang - cabang V. splenica (mengumpulkan darah


dari limpa/Splen serta sebagian Gaster dan Pancreas):
o Vv. gastricae breves
o V. gastroomentalis sinistra
o Vv. pancreaticae (dari Cauda pancreatis dan Corpus
pancreatis)

- Cabang - cabang V. mesenterica superior


(mengumpulkan darah dari sebagian Gaster dan
Pancreas, dari seluruh usus halus, Colon ascen-dens,
dan Colon transversum):
o V. gastroomentalis dextra dengan Vv. Pancreatico
duodenale
o Vv. pancreaticae (dari Caput dan Corpus pancreatis)
o Vv. jejunales dan ileales
o V. ileocolica
o V. colica dextra

Page
12
o V. colica media

- Cabang - cabang V. mesenterica inferior


(mengumpulkan darah dari Colon descendens, dan
Rectum bagian atas):
o V. colica sinistra
o Vv. Sigmoideae
o V. rectalis superior: vena ini beranastomosis dengan V.
rectalis media dan V. rectalis inferior yang bermuara
ke dalam V. cava inferior.
Selain itu, terdapat vena-vena yang bermuara
langsung ke dalam V. portae hepatis setelah cabang-
cabang vena utama bersatu: V. cystica (dari Vesica
biliaris)
o Vv. paraumbilicales (melalui vena-vena pada Lig. teres
hepatis dari dinding Abdomen di sekitar Umbilicus)
o Vv. Gastricae dextra dan sinistra (dari Curvatura minor
pada Gaster)
D. Inervasi.
 Hepar
Parasimpatis : Truncus Vagal Anterior dan
Posterior
Simpatis : Plexus Hepaticus
A. Vesica Biliaris
Parasimpatis : N. Vagus
Simpatis : Plexus Coeliacus

2. Mekanisme keluhan di scenario?

a. Akibat inflamasi pada hepar karena invasi virus akan


menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan

Page
13
kapsula hati yang memicu timbulnya nyeri tekan pada perut
kuadran kanan atas (corwin, 2009).

b. Warna urin kuning pekat seperti air teh dan BAB seperti
dempul disebabkan karena adanya peningkatan bilirubin
dan urobilinogen. Adanya bilirubin menunjukkan kerusakan
(sumbatan) pada saluran kanalik ulibiliaris sehingga
bilirubin tidak bias keluar, yang akhirnya mengalir masuk ke
pembuluh darah menuju ginjal. Adanya urobilinogen dalam
urin menunjukkan urin normal tapi karena kadarnya yang
meningkat sehingga terjadi oksidasi yang berlebih sehingga
urin bewarna seperti air teh. Sedangkan BAB seperti dempul
disebabkan karena sedikit atau tidak adanya sterkobilin yang
berasal dari proses metabolisme bilirubin direk (Corwin,
2009).

c. Sclera Ikterik Diawali dengan masuknya virus ke dalam


saluran pencernaan, kemudian masuk ke aliran darah menuju
hati (vena porta), lalu menginvasi ke sel parenkim hati. Di
sel parenkim hati virus mengalami replikasi yang
menyebabkan sel parenkim hati menjadi rusak. Setelah itu
virus akan keluar dan menginvasi sel parenkim yang lain
atau masuk ke dalam duktus biliaris yang akan di sekresikan
bersama feses. Sel parenkim yang telah rusak akan
merangsang reaksi inflamasi yang di tandai dengan adanya
agregasi makrofag, pembesaran sel kupfer yang akan
menekan ductus biliaris sehingga aliran bilirubin direk
terhambat, kemudian terjadi penurunan eksresi bilirubin ke
usus. Keadaan ini menimbulkan ketidak seimbangan antara
up take dan eksresi bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin
yang telah mengalami proses konjugasi (direk) akan terus
menumpuk dalam sel hati yang akan menyebabkan reflux

Page
14
(aliran kembali keatas) ke pembuluh darah sehingga akan
bermanifestasi kuning pada jaringan kulit terutama pada
sclera kadang disertai rasa gatal dan urin seperti air teh
akibat partikel bilirubin direk berukuran kecil sehingga
dapat masuk ke ginjal dan di eksresi melalui urin.

d. Mual, muntah dan menurunnya nafsu makan Akibat


bilirubin direk yang kurang dalam usus mengakibatkan
gangguan dalam produksi asam empedu (produksi sedikit)
sehingga proses pencernaan lemak terganggu (lemak
bertahan dalam lambung dengan waktu yang cukup lama)
yang menyebabkan regangan pada lambung sehingga
merangsang saraf simpatis dan saraf parasimpatis
mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang berada di
medulla oblongata yang menyebabkan timbulnya gejala
mual, muntah dan menurunnya nafsu makan (Kumar,2007).

3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien


di skenario?

a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis
adalah asimtomatis.Keluhan yang mungkin timbul adalah
dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating
dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium
atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau perikondrium
yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.Kadang pasien
dengan mata dan tubuh menjadi kuning, badan gatal-gatal,
kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul
dan penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah,

Page
15
scapula, atau kepuncak bahu, disertai mual dan
muntah.Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida.Kalau
terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
pada waktu menarik nafas dalam.
b. Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan stadium litogenik atau batu
asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam pemeriksaan
fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat
kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi/nyeri
tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.Riwayat ikterik maupun ikterik
cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.
c. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya
tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan
laboratorium.Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
lekositosis. Apabila terjadi sindrom mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus
koledokus oleh batu. Kadarbilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut.
 Pencitraan

Page
16
 Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan
gambaran yang khas karena hanya sekitar10-15% batu
kandung empedu yang bersifat radioopak.Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu
berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengankandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara
dalam usus besar, di fleksurahepatica.
 Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat
spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic.
Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang
sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus.Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri
pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasibiasa.
 Kolesistografi, untuk penderita tertentu, kolesistografi
dengan kontras cukup baik karena relative murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran
batu.Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.

Page
17
 Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat
untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus
misalnya karena batu.Juga dapat berguna untuk
membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri
abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di
hati dan kemudian akan di sekresi ke kantong empedu
dan dapat dideteksi dengan kamera gamma.
Kegagalan dalam mengisi kantongempedu
menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke
dalam duodenum.
 Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode
pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walupun demikian,teknik ini jauh
lebih mahal dibanding USG.
 Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC)
dan Endoscopic Retrograde Cholangio-
pancreatography (ERCP) merupakan metode
kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk
menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab
obstruksinya seperti koledokolitiasis.Selain untuk
diagnosis ERCP juga dapat digunakan untuk terapi
dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti
ekstraksi batu.Tes invasive ini melibatkan opasifikasi
lansung batang saluran empedu dengan kanulasi
endoskopi ampula vateri dan suntikan retrograde zat
kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari
endoskopi dan mecakup sedikit penambahan insidens
kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat
sebagian.

Page
18
4. Penatalaksanaan awal sebagai dokter umum pasien di
skenario?

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian


nutrisi parenteral, diet ringan, obat penghilang rasa nyeri
seperti petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
peritonitis, kolangitis, dan septisemia. Golongan ampisilin
sefalosporin dan metronidazol cukup memadai mematikan
kuman-kuman yang umum terdapat pada peradangan saluran
empeduakut seperti E. coli, Strep. Faecalis dan klebsiella.

Kolesistektomi sampai sekarang masih diperdebatkan


apakah dilakukan secepatnya(3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu
setelah dilakukan terapi konservatif dan keadaan umum pasien
lebih baik. Sebanyak 50% kasus membaik tanpa tiondakan
pembedahan. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan
kolesistektomilaparoskopik ini sekalipun invasive tapi
mempunyai kelebihan seperti menguirangi rasa nyeri pasca
operasi, menurunkan angka kematian, secara koosmetik lebih
baik,memperpendek lama perawatan di RS dan mempercepat
aktivitas pasien (Lalisang, 2007).

Page
19
2.3.4 Rangkuman Permasalahan.

Wanita usia 29 tahun

nyeri perut kanan atas semakin berat sejak 2


hari yang lalu; disertai mual dan muntah;
demam tidak terlalu tinggi; nafsu makan
berkurang; BAK warna kuning pekat seperti air
the; BAB seperti dempul. Pemeriksaan fisik
didapatkan sclera ikteri.

DD:

1. Coledokolitiasis
2. Kolangitis
3. Kolestitis
4. Kolelitiasis
5. hepatits

2.3.5 Learning Issues.


1. Diagnosis banding apa saja diskenario?
2. Diagnosis kerja pada pasien diskenario?

Page
20
2.3.6 Referensi
1. Anatomi dan fisiologi hepatobilier
 Avunduk, C., 2002. Manual of Gastroenterology: Diagnosis
and therapy Edisi 3
 Paulsen F.& J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia
Jilid 2 .Jakarta : EGC
 Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk Pemula. Jakarta:
EGC.
 Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gall bladder and
Biliary Tract: Anatomy and Structural Anomalies. Dalam:
Tadataka Yamada, Textbook of Gastroenterology. Edisi ke-5.
USA: Wiley-Blackwell.
2. Mekanisme keluhan pada skenario.
 Corwin, Elizabeth, J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
 Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7.
Jakarta: EGC.
3. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada pasien
diskenario
 Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LH, Kondamudi.
2014. Surgical anf Nonsurgical Management og Gallstone.
American Family Physician, 15;89 (10).
4. Pemeriksaan awal sebagai dokter umum pasien diskenario
 Lalisang, T. J. 2007. Kolesistektomi Laparoskopi. Dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.

2.3.7 Pembahasan Learning Issues


1. Diagnosis banding apa saja diskenario?
1.1 Coledokolitiasis
A. Definisi

Page
21
Koledokolitiasis adalah terbentuknya satu atau lebih
batu empedu di saluran empedu, biasanya pembentukan
primer di saluran empedu atau ketika batu empedu lewat dari
kantung empedu melalui duktus sistikus menuju saluran
empedu (price & Wilson, 2005).

B. Etiologi

Pembentukan batu disebabkan karena statis cairan


empedu ,bakteri, ketidakseimbangan kimia dan pH, serta
peningkatan ekskresi bilirubin. Sebagian besar batu tersusun
dari pigmen-pigmen empedu dan kolestrol, selain itu juga
tersusun oleh bilirubin, kalsium dan protein (price & Wilson,
2005).

C. Manifestasi klinis
 Gejala Akut
Tanda :
 Epigastrium kanan terasa nyeri dan spasme
 Usaha inspirasi dalam waktu diraba pada kuadran
kanan dalam waktu diraba pada kuadran kanan atas
 Kandung empedu membesar dan nyeri
 Ikterus ringan
Gejala :

 Rasa nyeri (kolikempedu) yang menetap


 Mual dan muntah
 Febris (38,50C)
 Gejala Kronis
Tanda :
 Biasanya tak tampak gambaran pada abdomen
 Kadang teraba nyeri di kuadran kanan atas
Gejala :

Page
22
 Rasa nyeri (kolik empedu), tempat: abdomen bagian
atas (mid epigastrium). Sifat : terpusat di epigastrium
menyebar ke arah scapula kanan
 Mual dan muntah
 Intoleransi dengan makanan berlemak
 Flatulensi
 Eruktasi (bersendawa)

1.2 Kolangitis
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang
berkembang sebagai akibat dari sumbatan dan infeksi di
saluran empedu. Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh
Charcot sebagai penyakit yang serius dan mengancam jiwa,
sekarang diketahui bahwa keparahan yang muncul dapat
berkisar dari ringan hingga mengancam nyawa.
Koledokolitiasis atau adanya batu diadalam saluran
empedu/bilier merupakan penyebab utama kolangitis akut
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
B. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu
(infeksi empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran
dua faktor (Tusiantari dan Dwipayana, 2016):
 obstruksi bilier

 pertumbuhan bakteri dalam empedu (bakterobilia)

Cairan empedu biasanya normal pada individu yang


sehat dengan anatomi bilier yang normal. Bakteri dapat

Page
23
menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui
ampula vateri (karena adanya batu yang melewati ampula),
sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut
kolangitis asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya
translokasi bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan
celah disse. Bakterobilia tidak dengan sendirinya
menyebabkan kolangitis pada individu yang sehat karena
efek bilasan mekanik aliran empedu, kandungan antibakteri
garam empedu, dan produksi IgA. Namun demikian,
obstruksi bilier dapat mengakibatkan kolangitis akut karena
berkurangnya aliran empedu dan produksi IgA,
menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan rusaknya
celah membran sel sehingga menimbulkan refluks
kolangiovena (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah


koledokolitiasis, stenosis bilier jinak, striktur anastomosis
empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas.
Koledokolitiasis digunakan untuk menjadi penyebab paling
sering, tetapi baru- baru ini kejadian kolangitis akut yang
disebabkan oleh penyakit ganas, sklerosis kolangitis, dan
instrumentasi non-bedah saluran empedu telah meningkat.
Hal ini dilaporkan bahwa penyakit ganas sekitar 10-30%
menyebabkan kasus akut kolangitis (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).

Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya


kolangitis akut, antara lain (Tusiantari dan Dwipayana,
2016):

 Kolelitiasis

 Benign biliary stricture

Page
24
 Faktor congenital

 Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier,


strictured choledojejunostomy, etc.)
 Faktor inflamasi

 Oklusi keganasan

 Tumor duktus bilier

 Tumor kandung empedu

 Tumor ampula

 Tumor pancreas

 Tumor duodenum

 Pankreatitis

 Tekanan eksternal

 Fibrosis papilla

 Divertikulum duodenal

 Bekuan darah

 Faktor iatrogenic

 Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary

ascariasis)
 Sump syndrome setelah anastomosis enterik bilier

C. Faktor Resiko
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat
aseptik. Namun, kultur empedu positif mengandung
mikroorganisme pada 16% dari pasien yang menjalani
operasi non-bilier, 72% dari pasien kolangitis akut, 44%
dari pasien kolangitis kronis, dan 50% dari mereka dengan

obstruksi bilier.5 Bakteri dalam empedu teridentifikasi pada


90% pasien dengan koledokolitiasis disertai dengan

Page
25
ikterus.8 Pasien dengan obstruksi tidak lengkap dari saluran
empedu menyajikan tingkat kultur empedu positif yang
lebih tinggi dibandingkan dengan obstruksi lengkap dari
saluran empedu. Faktor resiko untuk bakterobilia mencakup
berbagai faktor, seperti dijelaskan di atas. Faktor resiko lain
terjadinya kolangitis yang disebut riwayat infeksi
sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran
cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak
terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi
akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang
disertai oleh bakteria yang mengalami multiplikasi.
Obstruksi terutama disebabkan oleh batu common bile duct
(CBD), striktur, stenosis, atau tumor, serta manipulasi
endoskopik CBD. Dengan demikian aliran empedu menjadi
lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah
mengalami migrasi ke sistem bilier melalui vena porta,
sistem limfatik porta ataupun langsung dari duodenum
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan
melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan
terdapat aliran balik empedu yang berakibat terjadinya
infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik
perihepatik, sehingga akan terjadi bakteriemia yang bisa
berlanjut menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan
tersebut disertai dengan pembentukan pus maka terjadilah
kolangitis supuratif (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Page
26
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis
kolangitis, yaitu (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).:
 Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada
sistem bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun
ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu
CBD yang kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi,
edema mukosa CBD, atau hepatitis.
 Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier
yang biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
 Kolangitis supuratif akut
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria,
namuntidak terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak
dalam keadaan sepsis.
 Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga
melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu
melebihi 250mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat
reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri
ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika. Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul
berbagai komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal
organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik
(sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
1.3 Kolesistitis
1. Kolesistitis Akut
A. PENGERTIAN

Page
27
Kolesistitis / radang kandung empedu adalah reaksi
inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam
(Bloom, 2016).

B. ETILOGI DAN PATOFISIOLOGI

Factor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis


akut adalah stasis cairan kandung empedu, infeksi kuman
dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kosistitis adalah kolelitiasis(90%) yang terletak di duktus
sistikus yang memyebabkan stasis cairan empedu,
sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa dadanya batu
kandung empedu(kolesistitisakalkulus). Penyebab pasti
terjadinya kolesistitisbelum di ketahui secara pasti, namun
di perkirakan banyak factor yang berpengaruh seperti
kepekatan cairan empedu, kolesterol,lisolesitin, dan
prostanglandin yang merusak lapisan mukosa dinding
kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi
(Nusi, 2007).

Kolesistitis akalkulus biasanya muncul pada pasien


yang dirawat cukup lama dan mendapatkan nutrisi
parentera, pada sumbatan karena keganasan kandung
empedu, batu disaluran empedu atau merupakan salah satu
komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes
mellitus (Bloom, 2016).

C. GEJALA KLINIS

Keluhan yang khas pada kolesistitis akut adalah


sebagai berikut (Susilo, 2013):

Page
28
- Kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium
- Nyeri tekan
- Kenaikan suhu tubuh/demamkadang-kadang rasa sakit
ini menjalar ke pundak atau scapula kanan dan
berlangsung selama 60 menit tanpa reda
- Berat ringan keluhan sangat bergantung dari adanya
kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangrene
atau perforasi kandung empedu
- Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis
local(Murphy sign +)
- Ikterus dialami pada 20% kasus, umumnya derajat
ringan. Bila bilirubin terlalu tinggi perlu dicurigai
adanya batu di saluran ekstra hepatic
- Pemriksaan fisik memperlihatkan adanya leukositosis
dan peningkatan serum transaminase dan fosfatase
alkali
- Bila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi
dan menggigil sertya leukositosis beratkemungkinan
terjadi empiema dan perforasi kandung empedu.

D. FAKTOR RISIKO

Factor risiko terjadinya kolesistitis adalah sebagai


berikut:

- Perempuan
- Subur
- Gemuk
- Usia >40 tahun
- Hiperlidemia
- Dismotilitas kandung empedu

Page
29
- Nutrisi IV jangka panjang
- Pengosongan lambung yang memanjang

2. Kolesistitis Kronik
A. PENGERTIAN

Kolesistitis kronik lebih sering dijumpai di klinis


dan sangat erat hubungan nya dengan kolelitiasis dan lebih
sering timbul secara perlahan-lahan (Bloom, 2016).

B. GEJALA KLINIS

Diagnosis kolesistits kronik lebih sulit ditegakkan


karena gejala nya yang minimal seperti dyspepsia, rasa
penuh di epigatrium dan nausea khususnya setelah makan
makanan yang mengandung lemak tinggi yang kadang-
kadang hilangbsetelah bersendawa. Riwayat penyakit
empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local
dikandung empedu disertai Murphy sign + ddapat
menyokong menegakkan diagnosis.

Diagnosis banding seperti intoleransi lemak, ulkus


peptic, kolon spastic, ca kolon kanan, pancreatitis kronik
dan kelainan duktus koledokus perlu dipertimbangkan
sebelum melakukan kolesistektomi (Lalisang, 2007).

1.4 Kolelitiasis
A. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang
dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Sebagian besar

Page
30
batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empedu. Hati terletak di kuadran kanan atas
abdomen di atas ginjal kanan, kolon, lambung, pankreas,
dan usus serta tepat di bawah diafragma. Hati dibagi
menjadi lobus kiri dan kanan, yang berawal di sebelah
anterior di daerah kandung empedu dan meluas ke belakang
vena kava. Kuadran kanan atas abdomen didominasi oleh
hati serta saluran empedu dan kandung empedu.
Pembentukan dan ekskresi empedu merupakan fungsi
utama hati.
B. Manifestasi klinis

Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita


selama batu tidak masuk ke dalam duktus sistikus atau
duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung
duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan
penderita. Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu
dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk
ke duodenum. Batu empedu mungkin tidak menimbulkan
gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya mencolok: nyeri
saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun
seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada perut atas
bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh batu,
sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke
punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik
biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat
frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti
demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit,
perut terasa kembung, dan lain-lain.

1.5 Hepatitis

Page
31
A. Definisi

Peradangan pada sel-sel hati, yang bisa disebabkan


oleh infeksi (virus, bakteri, parasit), obat-obatan (termasuk
obat tradisional), konsumsi alkohol, lemak yang berlebih
dan penyakit autoimmune. Terdapat 5 jenis Hepatitis Virus
yaitu Hepatitis A,B,C,D dan E. Antara Hepatitis yang satu
dengan yang lain tidak saling berhubungan.

 Hepatitis A
 Penyebabnya adalah virus Hepatitis A, dan
merupakan penyakit endemis di beberapa negara
berkembang. Selain itu merupakan Hepatitis yang
ringan, bersifat akut, sembuh spontan/sempurna
tanpa gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi
kronik.
 Penularannya melalui fecal oral. Sumber penularan
umumnya terjadi karena pencemaran air minum,
makanan yang tidak dimasak, makanan yang
tercemar, sanitasi yang buruk, dan personal hygiene
rendah.
 Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya IgM
antibodi dalam serum penderita.
 Manifestasi klinisnya bersifat akut, tidak khas bisa
berupa demam, sakit kepala, mual dan muntah
sampai ikterus, bahkan dapat menyebabkan
pembengkakan hati.
 Tidak ada pengobatan khusus hanya pengobatan
pendukung dan menjaga keseimbangan nutrisi.
 Pencegahannya melalui kebersihan lingkungan,
terutama terhadap makanan dan minumnan
melakukan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Page
32
 Hepatitis B

Hepatitis B akut

 Etiologinya virus Hepatitis B dari golongan virus


DNA.
 Masa inkubasi 60-90 hari
 Penularannya vertikal 95% terjadi masa perinatal
(saat persalinan ) dan 5% intrauterine. Penularan
horizontal melalui transfusi darah, jarum suntik
tercemar, pisau cukur, tattoo, transplantasi organ.
 Manifestasi klinis khas seperti rasa lesu, nafsu makna
berkurang , demam ringan, nyeri abdomen sebelah
kanan, dapat timbul ikterus, air kencing warna teh.
 Diagnosis ditegakkan dengan test fungsi hati serum
transminase (ALT meningkat), serologi HBsAg dan
IgM anti HBC dalam serum.
 Pengobatan tidak diperlukan antiviral, pengobatan
umumnya bersifat simtomatis.

Hepatitis B kronik

 Hepatitis B kronik berkembang dari Hepatitis B akut.


 Usia saat terjadinya infeksi mempengaruhi kronisitas
penyakit. Bila penularan terjadi saat bayi maka 95%
akan menjadi Hepatitis B kronik. Sedangkan bila
penularan terjadi pada usia balita, maka 20-3-%
menjadi penderita Hepatitis B kronik dan bila
penularan saat dewasa maka hanya 5% yang menjadi
penderita Hepatitis B kronik.
 Hepatitis B kronik ditandai dengan HBsAg (hepatitis
B surface Antigen) positif (>6 bulan). Selain HBsAg,
perlu diperiksa HbeAg (hepatitis B E-Antigen, anti-

Page
33
HBe dalam serum, kadar ALT (alanin Amino
Transferase), HBV-DNA(hepatitis B virus-
deoxyribunukleicAcid) serta biopsy hati.
 Pengobatannya saat ini telah tersedia 7 macam obat
untuk hepatitis B (interferon alfa-2a, peginterferon
alfa-2a, lamivudin, adevoir, entecavir, telbivudin dan
tenofovir).
 Hepatitis C
 Etiologi utama adalah sirosis dan kanker hati
 Etiologi virus hepatitis C termasuk golongan virus
RNA (Ribo Nucleic Acid)
 Masa inkubasi 2-24 minggu
 Penularan hepatitis C melalui darah dan cairan tubuh,
penularan masa perinatal sangat kecil, melalui jarum
suntik (IDUs, tattoo) transplantasi organ, kecelakaan
kerja (petugas kesehatan) hubungan seks dapat
menularkan tetapi sangat kecil.
 Hepatitis D
 Hepatitis D disebut virus delta, virus ini memerlukan
virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga
hanya ditemukan pada orang yang telah terinfeksi
virus hepatitis B
 Hepatitis E
 Etiologi virus hepatitis E termasuk virus RNA
 Masa inkubasi 2-9 minggu
 Penularan melalui fecal oral seperti hepatitis A
 Gejalanya ringan menyerupai gejala flu, sampai
ikterus
 Diagnosis dengan didapatkannya IgM dan IgG
antiHEV pada penderita yang terinfeksi.

Page
34
2. Diagnosis kerja pada pasien diskenario?
Dari hasil diskusi kelompok 5, kami sepakat mengambil diagnosis
kerja pada scenario, yaitu kolangitis Akut.
A. Definisi
Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang
sebagai akibat dari sumbatan dan infeksi di saluran empedu.
Kolangitis pertama kali dijelaskan oleh Charcot sebagai
penyakit yang serius dan mengancam jiwa, sekarang diketahui
bahwa keparahan yang muncul dapat berkisar dari ringan
hingga mengancam nyawa. Koledokolitiasis atau adanya batu
diadalam saluran empedu/bilier merupakan penyebab utama
kolangitis akut (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Istilah kolangitis akut, kolangitis bakterialis, kolangitis
asending dan kolangitis supuratif semuanya umumnya merujuk
pada infeksi bakterial saluran bilier, serta untuk
membedakannya dari penyakit inflamasi saluran bilier seperti
kolangitis sklerosis (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

B. Epidemiologi
Prevalensi batu empedu di dunia sekitar 20-35% dan
resiko terjadinya kolangitis akut simtomatik dilaporkan sekitar
0.2%. Kolangitis akut dapat pula disebabkan adanya batu
primer di saluran bilier, keganasan dan striktur. Dilaporkan
angka kematian sekitar 13-88%. Kolangitis ini dapat ditemukan

Page
35
pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang
dominan diantara keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan
terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun (Tusiantari
dan Dwipayana, 2016).
Kasus yang parah di laporkan Tokyo Guideline 2007
(TG07) merujuk kepada mereka yang memiliki faktor
prognosis yang buruk termasuk syok, gangguan kesadaran,
kegagalan organ, dan disseminated intravascular coagulation.
Definisi itu masih diragukan sebelum penerbitan TG07, yang
setelah dilakukan penelitian terhadap frekuensi kolangitis akut,
melaporkan bahwa kejadian kasus yang parah adalah 7-25,5%
terjadi syok, 7-22,2% terjadi gangguan kesadaran, dan 3,5-
7,7% terjadi Pentad Reynold. Proporsi kasus didiagnosis
sebagai berat (grade III) sesuai dengan kriteria penilaian
keparahan TG07 adalah 12,3% atau 23 dari 187 kasus
kolangitis akut karena saluran empedu batu (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Di Amerika Serikat, kolangitis cukup jarang terjadi.
Biasanya terjadi bersamaan dengan penyakit lain yang
menimbulkan obstruksi bilier dan infeksi bakteri empedu
(misal: setelah prosedur ERCP, 1-3% pasien mengalami
kolangitis). Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna
diinjeksikan secara retrograd. Insidensi Internasional kolangitis
adalah sebagai berikut: kolangitis pyogenik rekuren,
kadangkala disebut sebagai kolangio hepatitis iriental, endemik
di Asia Tenggara. Kejadian ini ditandai oleh infeksi saluran
bilier berulang, pembentukan batu empedu intrahepatik dan
ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran
empedu intra dan ekstrahepatik (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).

Page
36
Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kanan atas,
demam dan ikterik, dapat digunakan untuk mendiagnosa
kolangitis akut secara klinis. Umumnya pasien-pasien dengan
kolangitis akut menunjukan respon dan terjadi resolusi dengan
antibiotik, namun demikian pembersihan saluran bilier secara
endoskopi pada akhirnya tetap diperlukan untuk mengatasi
terapi penyebab obstruksi (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Meskipun umumnya pasien dapat berespon dengan
terapi antibiotik dan drainase bilier, penelitian-penelitian
melaporkan angka morbiditas dari kolangitis akut mencapai
10% (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

C. Etiologi
Kolangitis akut terjadi sebagai hasil dari obstruksi
saluran bilier dan pertumbuhan bakteri dalam empedu (infeksi
empedu). Kolangitis akut membutuhkan kehadiran dua faktor
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016):
 obstruksi bilier
 pertumbuhan bakteri dalam empedu
(bakterobilia)

Cairan empedu biasanya normal pada individu yang


sehat dengan anatomi bilier yang normal. Bakteri dapat
menginfeksi sistem saluran bilier yang steril melalui ampula
vateri (karena adanya batu yang melewati ampula),
sfingterotomi atau pemasangan sten (yang disebut kolangitis
asending) atau bacterial portal, yaitu terjadinya translokasi
bakteri melalui sinusoid-sinusoid hepatik dan celah disse.
Bakterobilia tidak dengan sendirinya menyebabkan kolangitis
pada individu yang sehat karena efek bilasan mekanik aliran
empedu, kandungan antibakteri garam empedu, dan produksi

Page
37
IgA. Namun demikian, obstruksi bilier dapat mengakibatkan
kolangitis akut karena berkurangnya aliran empedu dan
produksi IgA, menyebabkan gangguan fungsi sel kupffer dan
rusaknya celah membran sel sehingga menimbulkan refluks
kolangiovena (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Penyebab paling sering obstruksi bilier adalah


koledokolitiasis, stenosis bilier jinak, striktur anastomosis
empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Koledokolitiasis
digunakan untuk menjadi penyebab paling sering, tetapi baru-
baru ini kejadian kolangitis akut yang disebabkan oleh penyakit
ganas, sklerosis kolangitis, dan instrumentasi non-bedah
saluran empedu telah meningkat. Hal ini dilaporkan bahwa
penyakit ganas sekitar 10-30% menyebabkan kasus akut
kolangitis (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Berikut adalah beberapa penyebab terjadinya kolangitis


akut, antara lain (Tusiantari dan Dwipayana, 2016):

 Kolelitiasis
 Benign biliary stricture
 Faktor kongenital
 Faktor post-operatif (kerusakan ductus bilier,
strictured choledojejunostomy, etc.)
 Faktor inflamasi
 Oklusi keganasan
 Tumor duktus bilier
 Tumor kandung empedu
 Tumor ampula
 Tumor pankreas
 Tumor duodenum
 Pankreatitis

Page
38
 Tekanan eksternal
 Fibrosis papila
 Divertikulum duodenal
 Bekuan darah
 Faktor iatrogenic
 Parasit yang masuk ke duktus bilier (Biliary
ascariasis)
 Sump syndrome setelah anastomosis enterik
bilier

D. Faktor Resiko
Empedu dari subyek sehat umumnya bersifat aseptik.
Namun, kultur empedu positif mengandung mikroorganisme
pada 16% dari pasien yang menjalani operasi non-bilier, 72%
dari pasien kolangitis akut, 44% dari pasien kolangitis kronis,

dan 50% dari mereka dengan obstruksi bilier.5 Bakteri dalam


empedu teridentifikasi pada 90% pasien dengan

koledokolitiasis disertai dengan ikterus.8 Pasien dengan


obstruksi tidak lengkap dari saluran empedu menyajikan
tingkat kultur empedu positif yang lebih tinggi dibandingkan
dengan obstruksi lengkap dari saluran empedu. Faktor resiko
untuk bakterobilia mencakup berbagai faktor, seperti dijelaskan
di atas. Faktor resiko lain terjadinya kolangitis yang disebut
riwayat infeksi sebelumnya, usia >70 tahun dan diabetes
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

E. Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran
cairan empedu tidak mengalami hambatan sehingga tidak
terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis terjadi akibat

Page
39
adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh
bakteria yang mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama
disebabkan oleh batu common bile duct (CBD), striktur,
stenosis, atau tumor, serta manipulasi endoskopik CBD.
Dengan demikian aliran empedu menjadi lambat sehingga
bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami migrasi ke
sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun
langsung dari duodenum (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara ascenden
menuju duktus hepatikus, yang pada akhirnya akan
menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan melampaui
batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik
empedu yang berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli
biliaris, vena hepatika dan limfatik perihepatik, sehingga akan
terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut menjadi sepsis (25-
40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan
pembentukan pus maka terjadilah kolangitis supuratif
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis, yaitu
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).:
 Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem
bilier, maupun pelebaran dari duktus intra maupun ekstra
hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh batu CBD yang
kecil, kompresi oleh vesica felea /kelenjar getah
bening/inflamasi pankreas, edema/spasme sfinkter Oddi,
edema mukosa CBD, atau hepatitis.
 Kolangitis non-supuratif akut
Terdapat bakterobilia tanpa pus pada sistem bilier yang
biasanya disebabkan oleh obstruksi parsial.
 Kolangitis supuratif akut

Page
40
Pada CBD berisi pus dan terdapat bakteria, namuntidak
terdapat obstruksi total sehingga pasien tidak dalam
keadaan sepsis.
 Kolangitis supuratif akut dengan obstruksi
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga
melampaui tekanan normal pada sistem bilier yaitu
melebihi 250mm H20 sehingga terjadi bakterimia akibat
reflluk cairan empedu yang disertaidengan influks bakteri
ke dalam sistem limfatik dan vena hepatika.
 Syok sepsis
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai
komplikasi yaitu sepsis berlarut, syok septik, gagal organ
ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik
(sering multipel) dan bahkan peritonitis. Jika sudah terdapat
komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.

F. Diagnosis
Diagnosis kolangitis akut dapat ditegakan melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta melalui pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesis penderita kolangitis secara klinis
dapat ditemukan trias Charcot yaitu adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita
hanya mengalami dingin dan demam dengan gejala perut yang
minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada kulit dan
mata didapatkan pada sekitar 80% penderita (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam,
hepatomegali, ikterus, gangguan kesadaran (delirium), sepsis,
hipotensi dan takikardi. Adanya tambahan syok septis dan

Page
41
delirium pada trias Charcot dikenal sebagai Pentad Reynold
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Morbiditas dari kolangitis akut dikaitkan dengan
terjadinya cholangiovenous dan cholangiolymphatic refluks
bersama dengan tekanan tinggi di saluran empedu dan infeksi
empedu akibat obstruksi saluran empedu yang disebabkan oleh
batu dan tumor. Kriteria diagnostik menurut Tokyo Guideline
2013 (TG13) kolangitis akut adalah kriteria untuk menegakkan
diagnosis ketika kolestasis dan peradangan berdasarkan tanda-
tanda klinis atau tes darah di samping manifestasi empedu
berdasarkan pencitraan yang hadir (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).

G. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Kriteria untuk diagnosis definitif kolangitis akut adalah
sebagai berikut : adanya trias Charcot atau bila tidak lengkap,
adanya 2 unsur trias Charcot ditambah adanya bukti
laboratorium terjadinya respons inflamasi (leukosit yang
abnormal, meningkatnya CRP atau perubahan-perubahan lain
yang mengindikasikan adanya inflamasi), test fungsi hati
abnormal (Alkaline Phosphatase / ALP, Gamma Glutamil
Transpeptidase / GGT, Aspartate Transaminase. AST / SGOT,
Alanine Transaminase/ALT/SGPT) dan temuan- temuan
pencitraan dilatasi bilier atau bukti etiologi (misalnya adanya
batu, striktur atau stenosis). TG13 mendefinisikan suatu
diagnosis suspek kolangitis akut bila terdapat 2 atau lebih dari
salah satu kriteria berikut: riwayat penyakit bilier, demam
dan/atau menggigil, ikterik dan nyeri abdomen bagian atas atau
kanan atas. Pedoman tersebut menunjukkan adanya kemajuan

Page
42
dan suatu upaya yang jarang dalam standarisasi definisi
kolangitis kaut, namun pedoman tersebut dirasakan kurang
teliti. Misalnya tidak definiskannya berapa tingkat demam atau
ikterik, begitu juga nyeri abdomen kuadran kanan atas
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Pada TG13 mendefinisikan kolangitis akut dalam
kategori ringan (merespon terhadap terapi suportif dan
antibiotik), sedang (tidak merespon terhadap terapi medikal
namun tidak terjadi disfungsi organ), atau berat (adanya paling
tidak 1 tanda disfungsi organ). Tanda tanda disfungsi organ
meliputi hipotensi, sehingga memerlukan pemberian dobutamin
atau dopamine, delirium, rasio PaO2/FiO2 <300, kreatinin
serum >1,5mg/dl, INR >1.5 atau kadar trombosit <100000/µl
(Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Adapun kriteria diagnosis kolangitis akut apat dilihat pada tabel
1.

Tabel 1. Kriteria diagnosis kolangitis akut

A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya respnon
inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal

Page
43
C. Pencitraan

C-1. Dilatasi Bilier

C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan dan
lainnya)

Diagnosis suspek : satu dari item di A + satu dari item B maupun C

Diagnosis definitif : satu dari item A, satu dari B and satu dari C

Catatan:

A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.

B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT.

Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri abdomen
kanan atas dan adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya seperti gallstones,
proses bilier sebelumnya, dan pemasangan sten bilier. Dalam hepatitis akut penanda
respon sistemik inflamasi juga dipantau.

Batasan:

Demam: Suhu tubuh >380C

Adanya bukti respon inflamasi WBC (x1000/µ𝐿) <4 or >10

CRP (mg/dl) ≥1

Ikterus T-bil≥2mg/dL

Fungsi liver abnormal ALP (IU) >1.5xSTD GGT (IU) >1.5xSTD AST (IU)
>1.5xSTD

Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase

(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase

(AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)

Page
44
Tingkat keparahan kolangitis akut dibagi kedalam tiga

kelompok:

1. Derajat ringan, yaitu kolangitis fase awal yang tidak


memenuhi kriteria derajat sedang maupun berat.
2. Derajat sedang, yaitu kolangitis yang diikuti dua dari empat
gejala yaitu:

 Jumlah leukosit yang abnormal (>18.000/mm3)


 Teraba masa pada kuadran kanan atas
 Durasi keluhan >72 jam
 Terdapat tanda inflamasi lokal (abses hepar, peritonitis
bilier, empisematus kolesisitis)
 Derajat berat, yaitu kolangitis akut yang diikuti minimal
satu disfungsi organ lainya yaitu:
 Disfungsi kardiovaskular
 Disfungsi neurologi
 Disfungsi respiratori
 Disfungsi renal
 Disfungsi hepatik
 Disfungsi hematologi

 Pemeriksaan penunjang Lainnya


Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik kolangitis
akut dapat dilakukan dengan mendeteksi dilatasi bilier dan
pemeriksaan penyebab kolangitis akut adalah EUS (endoscopic
ultrasonography), MRCP (magnetic resonance
cholangiopancreotography) dan ERCP (endoscopic retrograde
cholangiopancreotography). Diantara semuanya hanya MRCP
yang tidak bersifat invasif, namun tidak praktis hanya dapat
digunakan pada pasien yang dapat dibawa keruang radiologi,
umumnya studi menunjukkan sensivitas >90% untuk MRCP

Page
45
dalam mendeteksi batu di CBD dan sensivitasnya makin
berkurang untuk batu yang kecil. ERCP selain memiliki
sensivitas untuk mendeteksi juga memiliki potensi untuk
terapeutik, dalam mendiagnosis batu CBD, EUS lebih baik dari
ERCP, dalam hal keganasan EUS sama dengan ERCP. Dilatasi
intrahepatik tanpa adanya dilatasi CBD, menunjukkan kesan
suatu striktur jinak, sindrom mirri atau lesi di daerah hilus
duktus biliaris seperti tumor ganas (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).
Sebaliknya dilatasi CBD dengan atau tanpa dilatasi
intrahepatik konsisten dengan obstruksi distal seperti batu CBD
atau kanker pancreas. Mengetahui penyebab dilatasi
meminimalisai kebutuhan injeksi kontras yang dapat
meningkatkan tekanan bilier cukup kuat untuk menimbulkan
refluks cairan bilier kedalam sirkulasi sistemik dan
menghindarkan resiko injeksi yang tidak diinginkan kedalam
segmen yang tidak terdrainase (misalnya pasien dengan
striktur daerah hilus yang kompleks) yang secara potensial
dapat menyebabkan terjadinya kolangitis berat. MRCP dapat
meberikan informasi serupa dengan EUS dan ERCP, namun
kurang akurat untuk mendeteksi batu ukuran kecil dan harus
dilakukan sebagai prosedur terpisah. Meskipun USG
transabdominal relatif tidak sensitif untuk mendeteksi batu
CBD (biasanya <30%), namun tersedia mudah dan dapat
membantu bila batu atau tumor ditemukan. CT scan lebih
sensitive dari USG transabdominal untuk mendeteksi batu
CBD, dan sensitivitas helical CT tampaknya sebanding dengan
MRCP atau EUS pada beberapa studi. Namun EUS lebih
sensitif dari CT dan MRCP untuk mendiagnosis batu dengan
diameter <1cm (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Page
46
H. Penatalaksanaan
Pada semua pasien kolangitis akut, hidrasi agresif harus
diberikan segera setelah akses vena didapatkan untuk koreksi
kekurangan volume/dehidrasi dan menormalkan tekanan darah.
Terapi kolangitis akut terdiri dari pemberian antibiotik dan
drainase bilier. Beratnya kolangitis akut menetukan perlu
tidaknya pasien dirawat di rumah sakit. Bila klinis penyakitnya
ringan, dapat berobat jalan, teruma jika kolangitis akut ringan
yang kambuh/berulang (misalnya pada pasien dengan batu
intrahepatik). Namun demikian umumnya dokter menyarankan
perawatan rumah sakit pada kasus kolangitis akut. Kolangitis
ringan sampai sedang dapat ditatalaksana di ruangan umum,
akan tetapi pada kolangitis berat sebaiknya dirawat di ICU
(Intensive Care Unit) (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
 Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera
mungkin. Pedoman pemberian antibiotik sebaiknya
berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal rumah
sakit. Beberapa panduan menyarankan pada kolangitis akut
ringan sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan
sefalosporin generasi pertama atau kedua, penisilin dan
penghambat β laktam. Sedangkan kolangitis sedang sampai
berat sebaiknya pemberian antibiotik minimal 5-7 hari dengan
sefalosporin generasi ketiga atau keempat, non baktam dengan
atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau
karbapenem. Rekomendasi lain menyarankan regimen berikut
pada pasien kolangitis akut ringan sampai sedang atau
community acquired: (misalnya Ampisilin sulbactam iv 3 gram
setiap 6 jam, atau ertapenem 1 gram sekali sehari, atau
ampisilin iv 2 gram setiap 6 jam plus gentamicin iv 1.7
mg/kgbb setiap 8 jam atau golongan fluorokuinolon (misalnya

Page
47
siprofloksasin iv 400 mg setiap 12 jam, levofloksasin iv 500
mg sekali sehari, atau moxiflokasain iv atau oral 400 mg sekali
sehari) ditambah metronidazol iv 500mg setiap 6-8 jam untuk
bakteri anaerob. Untuk pasien kolangitis akut berat atau
nosokomial (hospital acquired), direkomendasikan pemberian
antibiotik sebagai berikut: piparisilin-tazobaktam (3.375 gr iv
stiap 6 jamatau 4.5 gr iv setiap 8 jam), stau 3.1 gr iv tikarsilin-
klavulanat setiap 6 jam, atau tigesilin (100 mg iv bolus,
diteruskan 50 mg iv sekali sehari) atau sefalosporin generasi
ketiga (misalnya seftriakson 1-2 gr sekali sehari atau cefepim
1-2 gr setiap 12 jam) dengan metronidazol iv 500 mg setiap 6-8
jam untuk bakteri anaerob (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).
Pada pasien yang resiko tinggi terkena pathogen
resistensi antibiotik dapat diberikan imipenem iv 500 mg setiap
6 jam, meropenem iv 1 gr setiap 8 jam atau doripenem iv 500
mg setiap 8 jam. Pengecualian terdapat pada semua panduan,
misalnya sefalosporin generasi pertama tidak mencakup infeksi
enterococcus spp. Walaupun cefazolin disetujui untuk terapi
kolangitis akut. Karena itu pemilihan terapi antibiotik
sebaiknya berdasarkan sejumlah faktor meliputi sensitivitas
antibiotik, beratnya penyakit, adanya disfungsi ginjal atau hati,
riwayat pemakaian antibiotik sebelumnya, pola resistensi
kuman lokal dan penetrasi bilier dari antibiotik. Pilihan
antibiotik harus disesuaikan dengan hasil kultur darah dan
cairan empedu begitu diperoleh, namun pemberian antibotik
tidak boleh terhambat/tertunda karena menunggu hasil kultur.
Pada akhirnya yang lebih penting dari pemilihan terapi
antibiotik adalah drainase bilier efektif, karena adanya
obstruksi menghambat ekskresi bilier antibiotik. Pada suatu
studi, dimana pasien mendapat satu antibiotik (ceftazime,
cefoperazone, imipenem, netilmisin atau siprofloksasin), hanya

Page
48
siproflokasasin diekskresi kedalam sistem bilier yang obstruksi
dan hanya 20% dari konsentrasi serum (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016)..
 Drainase bilier

Drainase bilier biasanya diperlukan pada pasien


kolangitis akut untuk menghilangkan sumber infeksi dan juga
karena obstruksi dapat menurunkan ekskresi bilier antibiotik.
Beratnya penyakit menetukan dan menegaskan saatnya untuk
dilakukan drainase. Drainase dapat dilakukan secara elektif
pada pasien kolangitis akut ringan, dalam 24-28 jam pada
pasien kolangitis sedang, dan segera (dalam beberapa jam)
pada pasien kolangitis berat karena tidak akan merespon
dengan pemberian antibiotik saja. Beratnya kolangitis
ditentukan oleh respon klinik terhadap terapi medical
sebagaimana diuraikan dalam TG13, sehingga penggolangan
derajat beratnya penyakit kolangitis akut menuntut observasi
untuk mengetahui pasien-pasien mana akan respons baik
terhadap terapi. Pada suatu studi didapatkaan bahwa sekitar
80% pasien kolangitis akut merespon terhadap terapi medical
saja dan resolusi infeksi. Namun semua pasien tersebut
akhirnya memerlukan tindakan pembersihan saluran bilier
untuk mencegah kekambuhan kolangitis. Suatu studi dari
Hongkong melakukan ERCP emergency pada 225 pasien
kolangitis (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

Table 2. Rekomendasi antimikrobial untuk infeksi bilier akut

Page
49
Frekuensi denyut jantung >100 x/menit, kadar albumin
<30 g/l, kadar bilirubin >50 µmol/l dan masa protrombin > 14
detik pada saat masuk rumah sakit signifikan berkaitan dengan
diperlukannya ERCP, serta menunjukkan terapi endoskopi
lebih aman dibandingkan pembedahan dalam tatalaksana
kolangitis akut, sehingga dekompresi surgical tidak mempunyai

Page
50
peranan dalam managemen kolangitis akut. Sebuah studi secara
random mengalokasikan 82 pasien dengan kolangitis akut berat
kedalam 2 grup, endoskopi atau dekompresi bilier surgical,
kelompok surgical signifikan lebih banyak mengalami
komplikasi dan mortalitas selama di rumah sakit dibandingkan
kelompok endoksopi (66% vs 34%, p >0.05 dan 32% vs 10%,
p<0.03 secara berurutan). Dengan demikian, pasien dengan
kolangitis akut sebaiknya masuk dirawat diruangan medical
untuk terapi antibiotik intravena dan dekompresi endoskopi.
Dekompresi bilier surgical sebaiknya dihindari pada pasien
kolangitis akut (Tusiantari dan Dwipayana, 2016).

ERCP lebih jadi pilihan dibandingkan PTBD


(percutaneus biliary drainage) karena lebih tidah invasif, lebih
aman, dapat dilakukan bedside dan dapat membersihkan batu
saluran empedu, tidak perlu koreksi koagulopati dan dapat
dilakukan tanpa paparan radiasi jika perlu (pada pasien yang
hamil). Keberhasilan ERCP lebih tinggi dibandingkan PTBD
untuk tatakasana obstruksi CBD, namun PTBD
dipertimbangkan pada obstruksi hilar, bila ahli endoskopi tidak
tersedia. PTBD biasanya dilakukan pada pasien yang gagal
dengan ERCP awal atau bila terdapat anatomi yang abnormal
akibat prosedur pembedahan sebelumnya seperti
koledokoyeyunostomi, kecuali bila ahli endsokopi utntuk
tatalaksana pasien seperti itu ada (Tusiantari dan Dwipayana,
2016).

Pasien dengan kolangitis akut dimana kontras tidak


terdrainase setelah gagal ERCP dapat memerlukan drainase
bilier perkutan mendesak untuk menghindari perburukan
sepsis. Kolangitis akut yang terjadi stelah manipulasi saluran
bilier merupakan faktor resiko prognosis buruk pada kolangitis

Page
51
akut. Karena itu tidak direkomendasikan injeksi kontras tanpa
terlebih dahulu menempatkan guidwire kedalam sistem bilier.
Pada umumnya pusat endoskopi, keberhasilan ERCP untuk
drainase bilier lebih dari 90%, jika tidak demikian sebaiknya
dirujuk pada unit/pusat layanan endoskopi yang lebih baik.
EUS terbatas, bila tersedia sebaiknya dilakukan sebelumnya
untuk evaluasi dilatasi saluran bilier intrahepatik dan
ekstrahepatik, adanya batu, massa pankreas atau hilus atau batu
kandung empedu. Aspirasi jarum halus pada suatu massa
sebaiknya dilakukan hanya jika pasien stabil dan tidak
memerlukan dekompresi bilier mendesak (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).

Gambar 1. Alur penatalaksanaan kolangitis akut menurut Tokyo Guidline 2013

Page
52
I. Komplikasi

Kolangitis yang tidak mendapatkan penanganan secara


tepat berpotensi menyebabkan munculnya penyakit lain,
bahkan kematian. Beberapa penyakit yang bisa terjadi pada
kolangitis, antara lain (Tusiantari dan Dwipayana, 2016):

1. Gagal ginjal, yaitu kondisi ketika ginjal kehilangan


kemampuan untuk menyaring zat sisa dari darah dengan
baik.
2. Syok septik, yaitu terjadinya penurunan tekanan darah.
Kondisi ini disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi meski
telah dilakukan resusitasi untuk mempertahankan tekanan
darah.
3. Kambuhnya cholangitis dan berlangsung dalam waktu yang
lama.
4. Abses hati, yaitu lubang-lubang kecil yang terbentuk pada
hati, dan lubang-lubang ini dipenuhi dengan nanah akibat
infeksi.
5. Cedera ginjal akut.
6. Disfungsi sistem pencernaan.

J. Prognosis

Kolangitis akut memiliki risiko kematian yang


signifikan, penyebab utamanya adalah syok yang tidak dapat
dipulihkan dengan kegagalan banyak organ (kemungkinan
komplikasi infeksi parah). Perbaikan dalam diagnosis dan
pengobatan telah menyebabkan penurunan angka kematian:
sebelum 1980, angka kematian lebih besar dari 50%, tetapi
setelah 1980 itu adalah 10-30%. Pasien dengan tanda-tanda
kegagalan organ multipel cenderung meninggal kecuali mereka

Page
53
menjalani drainase bilier dini dan pengobatan dengan antibiotik
sistemik. Penyebab lain kematian setelah kolangitis parah
termasuk gagal jantung dan pneumonia (Tusiantari dan
Dwipayana, 2016).

Page
54
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan.
Jadi, dari hasil diskusi SGD kelompok 5 LBM 4 “PERUTKU NYERI
MELILIT” kami mengambil diagnosis kerja pada scenario yaitu
KOLENGITIS AKUT. Kolangitis akut adalah sindrom klinis yang ditandai
dengan demam, ikterus, dan nyeri perut kanan atas yang berkembang sebagai
akibat dari sumbatan dan infeksi di saluran empedu. Penyebab paling sering
obstruksi bilier adalah koledokolitiasis, stenosis bilier jinak, striktur
anastomosis empedu, dan stenosis dengan penyakit ganas. Diagnosis
kolangitis akut dapat ditegakan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta melalui pemeriksaan penunjang.

Page
55
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin, Elizabeth, J. (2009). BukuSakuPatofisiologi. Jakarta: EGC.


2. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. BukuAjarPatologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
3. Price & Wilson. 2005. Patofisiologi :KonsepKlinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
4. Tusiantari, I. G. A. M., I. K. H. Dwipayana. 2016. Kolangitis Akut.
Denpasar. Fakultas Universitas Udayana, Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah
5. Abraham S, Rivero HG, Erlikh IV, Griffith LH, Kondamudi. 2014.
Surgical anf Nonsurgical Management og Gallstone. American Family
Physician, 15;89 (10).
6. Bloom, A. A., & Katz, J. 2016. Cholecystitis. Diakses 3 Juli 2016, dari
Medscape: http://emedicine.medscape.com/article/171886-overview
7. Lalisang, T. J. 2007. Kolesistektomi Laparoskopi. Dalam Buku Ajar
Ilmu PenyakitHati.
8. Nusi, I. A. 2007. Sekresi Empedu dan Kolestasis. Dalam Buku Ajar
Ilmu penyakitHati (hal. 9-15).
9. Susilo, L. 2013. Gambaran Karakteristik Pasien Kolelitiasis di Rumah
Sakit Immanuel Periode 1 Januari--31 Desember 2012. Repository
MaranathaChristian University
10. Kemenkes, RI. 2014. Pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI.
11. Avunduk, C., 2002. Manual of Gastroenterology: Diagnosis and therapy
Edisi 3
12. Paulsen F.& J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2
.Jakarta : EGC
13. Sloane E. 2004. Anatomi dan fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
14. Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gall bladder and Biliary Tract:
Anatomy and Structural Anomalies. Dalam: Tadataka Yamada, Textbook
of Gastroenterology. Edisi ke-5. USA: Wiley-Blackwell.

Page
56
LBM 4 “PERUTKU NYERI MELILIT” 57

Anda mungkin juga menyukai