Anda di halaman 1dari 12

ANATOMI HEPATOBILIER (ATLAS ANATOMI MANUSIA SOBOTTA JILID 2

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih
1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah
kerangka iga (Sloane, 2004).
Hepar dan Vesica biliaris terletak intraperitoneal pada Epigastrium kanan. Fundus
Vesica biliaris berproyeksi ke Linea medioclavicularis dextra setinggi Costa lX. Lobus
hepatis sinister terletak pada Epigastrium kiri (sampai Linea medioclavicularis sinistra) di
anterior Gaster. Posisi Hepar bervariasi sesuai respirasi (lebih rendah saat inspirasi, lebih
tinggi saat ekspirasi) karena Area nuda-nya menempel pada Diaphragma. Oleh sebab itu,
posisinya juga bergantung pada ukuran paru.

Hepar dibagi menjadi lobus kanan yang lebih besar dan kiri yang lebih kecil
(Lobus dexter dan Lobus sinister) yang dipisahkan oleh Lig. falciforme di sebelah
ventral. Lig, falciforme berlanjut sebagai Lig. coronarium yang kemudian menjadi Lig.
Triangulare dextrum dan sinistrum yang menghubungkan Diaphragma, Lig. triangulare
sinistrum berlanjut menjadi Appendix fibrosa hepatis. Tepi bebas Lig. falciforme
mengandung Lig. teres hepatis (sisaV. umbilicalis prenatal). Kedua Ligamentum ini
berhubungan dengan dinding abdomen ventral.
Di Facies visceralis Fissura ligamenti teretis hepatis berlanjut ke Porta hepatis
yang menjadi tempat berlabuhnya struktur vaskular ke dan dari Hepar (V. portae hepatis,
A. hepatica propria, Ductus hepaticus communis). Di kranial, terlihat Lig. venosum (sisa
Ductus venosus prenatal).
Di sisi kanan Porta hepatis {Hilum hepatis), V. cava inferior terletak pada Sulcus
venae cava inferior dan Vesica biliaris tertanam dalam Fossa vesicae biliaris di
inferior. Lig. teres hepatis, Lig. venosum, V. cava inferior, dan Vesica biliaris
menggambarkan dua area persegi pada kedua sisi Porta hepatis pada sisi inferior Lobus
hepatis dexter, Lobus quadratus di ventral dan Lobus caudatus di dorsal. Dan Hepar
dapat mengalami perubahan bentuk dan menyesuaikan diri dengan bentuk organ-organ
sekitar.
SEGMEN SEGMEN HEPAR
1. Lobus caudatus
2. Segmentum laterale superius
3. Segmentum laterale inferius
4. A. Segmentum mediale superius
B. Segmentum mediale inferius
5. Segmentum anterius inferius
6. Segmentum posterius inferius
7. Segmentum posterius superius
8. Segmentum anterius superius

Hepar dibagi menjadi delapan segmen fungsional yang disuplai oleh satu cabang
trias porta (V. portae hepatis, A. hepatica propria, Ductus hepaticus communis) sehingga
secara fungsional independen. Terdapat kepentingan fungsional bahwa segmen I sampai
lV disuplai oleh cabang-cabang trias porta kiri dan dapat mewakili Lobus hepatis sinister
fungsional. Segmen V sampai Vlll disuplai oleh cabang-cabang trias porta kanan dan
mewakili Lobus hepatis dexter fungsional. Akibatnya, batas antara Lobus hepatis dexter
dan sinister fungsional terletak di bidang sagital antara V. cava inferior dan Vesica
biliaris dan bukan pada Lig. falciforme hepatis.

FISIOLOGI HEPATOBILIER
Hepar mempunyai beberapa fungsi yaitu:

A. Fungsi Pembentukan dan Eksresi Empedu

Empedu dibentuk oleh hepar melalui saluran empedu interlobular yang terdapat
dalam hepar, empedu yang dihasilkan dialirkan ke kandung empedu untuk disimpan.
Dalam sehari, sekitar 1 liter empedu dieksresikan oleh hepar. Garam empedu penting
untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus halus. Garam ini sebagian diserap
kembali oleh usus halus dan dialirkan kembali ke hepar (Guyton & Hall, 2008).

B. Fungsi Metabolik
Karbohidrat setelah diolah di saluran cerna akan menjadi glukosa, lalu
diserap melalui usus masuk ke dalam peredaran darah dan masuk ke dalam hepar
melalui vena porta. Didalam hepar sebagian glukosa di metabolisme sehingga
terbentuk energi yang befungsi menjaga temperatur tubuh dan tenaga untuk
bergerak. Glukosa yang tersisa diubah menjadi glikogen dan disimpan didalam hepar
dan otot atau diubah menjadi lemak yang disimpan di dalam jaringan subkutan
(Guyton & Hall, 2008).
Fungsi hepar dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,
pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan
protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa
lain dari asam amino (Guyton & Hall, 2008).
Hepar juga mengubah ammonia menjadi urea, untuk dikeluarkan melalui
ginjal dan usus. Metabolisme lemak yang dilakukan hepar berupa pembentukan
lipoprotein, kolesterol, dan fosfolipid (Amirudin, 2009  Buku ajar ilmu
penyakit dalam : fisiologi dan biokimia hati . Edisi V.).
C. Fungsi Pertahanan Tubuh
Hepar merupakan komponen sentral sistem imun, Sel Kuppfer, yang
meliputi 15% dari massa hepar serta 80% dari total populasi fagosit tubuh,
merupakan sel yang sangat penting dalam menanggulangi antigen yang berasal dari
luar tubuh dan mempresentasikan antigen tersebut kepada limfosit (Amirudin, 2009).
D. Fungsi Vaskular Hepar
Pada orang dewasa, jumlah aliran darah ke hepar diperkirakan sekitar
1.200-1.500 cc per menit. Darah tersebut berasal dari vena porta sekitar 1.200 cc dan
dari arteria hepatika sekitar 350 cc. Bila terjadi kelemahan fungsi jantung kanan
dalam memompa darah seperti pada penderita payah jantung kanan, maka darah dari
hepar yang dialirkan ke jantung melalui vena hepatika dan selanjutnya masuk ke
dalam vena kava inferior akan terhambat. Akibatnya terjadi pembesaran hepar
karena bendungan pasif oleh darah yang jumlahnya sangat besar (Guyton & Hall,
2008).
KOLANGITIS

 PENDAHULUAN
Kolangitis adalah suatu infeksi bakteri akut pada sistem saluran empedu.
Charcot ditahun 1877 menjelaskan tentang keadaan klinis dari kolangitis, sebagai trias,
yaitu demam, ikterus dan nyeri abdomen kuadran kanan atas, yang dikenal dengan
’’Charcot triad’’. Charcot mendalilkan bahwa ’’empedu stagnan’’karena obstruksi
saluran empedu menyebabkan perkembangan kolangitis.
Obstruksi juga dapat terjadi pada bagian manapun dari saluran empedu, yang
membawa empedu dari hepar kekandung empedu dan usus. Bakteri yang sering dikultur
pada empedu adalah Eschericia Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterococcus,
Clostridium perfiringens, Bacteroides fragilis. Bakteri anaerob yang dikultur hanya
sekitar 15% kasus.(1,2,4)
Patofisiologi kolangitis sekarang ini dimengerti sebagai akibat kombinasi 2 faktor,
yaitu cairan empedu yang terinfeksi dan obstruksi biliaris. Peningkatan tekanan
intraduktal yang terjadi menyebabkan refluks bakteri ke dalam vena hepatik dan sistem
limfatik perihepatik yang menyebabkan bakterimia.(3)
Pada tahun 1959, Reynolds dan Dargon menggambarkan keadaan yang berat pada
penyakit ini dengan menambahkan komponen syok sepsis dan gangguan kesadaran

 ETIOLOGI
Penyebab tersering obstruksi biliaris adalah : koledokolitiasis, obstruksi struktur
saluran empedu, dan obstruksi anastomose biliaris. Bagaimanapun berat penyebab
obstruksi, kolangitis tidak akan terjadi tanpa cairan empedu yang terinfeksi. Kasus
obstruksi akibat keganasan hanya 25-40% yang hasil kultur empedunya positif.
Koledokolitiasis menjadi penyebab tersering kolangitis.(3,8)
Dalam beberapa tahun terakhir dengan semakin banyaknya pemakaian manipulasi
saluran biliaris invasif seperti kolangiografi, stent biliaris, untuk terapi penyakit saluran
biliaris telah menyebabkan pergeseran penyebab kolangitis. Selain itu pemakaian jangka
panjang stent biliaris seringkali disertai obstruksi stent oleh cairan biliaris yang kental
dan debris biliaris yang menyebabkan kolangitis
 EPIDEMIOLOGI
Kolangitis merupakan infeksi pada duktus koledokus yang berpotensi
menyebabkan kesakitan dan kematian. Dilaporkan angka kematian sekitar 13-88%.
Kolangitis ini dapat ditemukan pada semua ras. Berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan
perbandingan antara laki-laki dan perempuan tidak ada yang dominan diantara
keduanya. Berdasarkan usia dilaporkan terjadi pada usia pertengahan sekitar 50-60 tahun.
 MANIFESTASI KLINIS
Walaupun gambaran klasik kolangitis terdiri dari trias, demam, ikterus, dan nyeri
abdomen kuadran kanan atas yang dikenal dengan trias Charcot, namun semua elemen
tersebut hanya ditemukan pada sekitar 50 persen kasus. Pasien dengan kolangitis
supuratif tampak bukan saja dengan adanya trias charcot tapi juga menunjukkan
penurunan kesadaran dan hipotensi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cameron,
demam di temukan pada lebih dari 90 persen kasus, ikterus pada 67 persen kasus dan
nyeri abdomen hanya pada 42 persen kasus.
Dua hal yang diperlukan untuk terjadinya kolangitis yaitu adanya obstruksi aliran
empedu dan adanya bakteri pada duktus koledokus. Pada sebagian besar kasus, demam
dan mengigil disertai dengan kolangitis menandakan adanya bakteriemia. Biakan darah
yang diambil saat masuk ke rumah sakit untuk kolangitis akut adalah positif pada 40
sampai 50 persen pasien. Pada hampir semua serial Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae adalah organisme tersering yang didapatkan pada biakan darah. Organisme
lain yang dibiakan dari darah adalah spesies Enterobacter, Bacteroides, dan
Pseudomonas.
Dalam serial terakhir species Enterobacter dan Pseudomonas lebih sering
ditemukan, demikian juga isolat gram negatif dan spesies jamur dapat dibiak dari empedu
yang terinfeksi. Adapun organisme anaerobik yang paling sering diisolasi adalah
Bacteroides fragilis. Tetapi, anaerobik lebih jarang ditemukan pada serial terakhir
dibandingkan saat koledokolitiasis merupakan etiologi kolangitis yang tersering.

 ANAMNESIS
Pada anamnesis penderita kolangitis dapat ditemukan adanya keluhan demam,
ikterus, dan sakit pada perut kanan atas. Beberapa penderita hanya mengalami dingin dan
demam dengan gejala perut yang minimal. Ikterus atau perubahan warna kuning pada
kulit dan mata didapatkan pada sekitar 80% penderita.(1,3,8)
 Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya demam, hepatomegali,
ikterus, gangguan kesadaran, sepsis, hipotensi dan takikardi. (4,9)
 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis pada
sebagian besar pasien. Hitung sel darah putih biasanya melebihi 13.000.
Lekopeni atau trombositopenia kadang – kadang dapat ditemukan, biasanya
jika terjadi sepsis parah. Sebagian besar penderita mengalami
hiperbilirubinemia sedang. Peningkatan bilirubin yang tertinggi terjadi pada
obstruksi maligna. Tes fungsi hati termasuk alkali fosfatase dan transaminase
serum juga meningkat yang menggambarkan proses kolestatik. (3, 4, 9)
Beberapa pemeriksaan radiologis pasien dengan kolangitis adalah:
1. Foto polos abdomen
Meskipun sering dilakukan pada evaluasi awal nyeri abdomen ,
foto polos abdomen jarang memberikan diagnosis yang signifikan. Hanya
sekitar 15% batu saluran empedu yang terdiri dari kalsium tinggi dengan
gambaran radioopak yang dapat dilihat. Pada peradangan akut dengan
kandung empedu yang membesar hidrops, kandung empedu kadang juga
dapat terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.(3,13)
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Juga dapat dilihat kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau edema karena peradangan
maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal
kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara di dalam usus. Dengan
ultrasonografi lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai
dengan gaya gravitasi.(3,12,13)
3. CT-Scan
CT Scan tidak lebih unggul daripada ultrasonografi untuk
mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk diagnosis
keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan
ketepatan sekitar 70-90 persen.
4. ERCP
Endoskopik merupakan selang kecil yang mudah digerakkan yang
menggunakan lensa atau kaca untuk melihat bagaian dari traktus gastro
intestinal. Endoscope Retrograde Cholangiopancreotography (ERCP)
dapat lebih akurat menentukan penyebab dan letak sumbatan serta
keuntungannya juga dapat mengobati penyebab obstruksi dengan
mengeluarkan batu dan melebarkan peyempitan.

5. Skintigrafi
Skintigrafi bilier digunakan untuk melihat sistem bilier termasuk
fungsi hati dan kandung empedu serta diagnosa beberapa penyakit dengan
sensitifitas dan spesifitas sekita 90% sampai 97%. Meskipun test ini
paling bagus untuk melihat duktus empedu dan duktus sistikus, namun
skintigrafi bilier tidak dapat mengidentifikasi batu saluran empedu atau
hanya dapat memberikan informasi sesuai dengan letak anatominya.
Agent yang digunakan untuk melakukan test skintigrafi adalah derivat
99m
asam iminodiasetik dengan label Tc.
6. Kolesistografi oral
Metode ini dapat digunakan untuk melihat kerja dari sistem bilier
melalui prinsip kerja yang sama dengan skintigrafi tapi dapat memberikan
informasi yang lebih jelas. Pasien diberi pil kontras oral selama 12-16 jam
sebelum dilakukan tes. Kemudian kontras tadi diabsorbsi oleh usus kecil,
lalu dibersihkan oleh hepar dan di ekskresi ke dalam empedu dan dikirim
ke kandung empedu.
7. Kolangiografi
Biasanya diindikasikan ada suatu saat dalam penatalaksanaan
pasien dengan kolangitis. Pada sebagian besar kasus, kolangiografi
dilakukan untuk menentukan patologi biliaris dan penyebab obstruksi
saluran empedu sebelum terapi definitif. Jadi, kolangiografi jarang
diperlukan pada awal perjalanan kolangitis dan dengan demikian harus
ditunda sampai menghilangnya sepsi. Kekecualian utama adalah pasien
yang datang dengan kolangitis supuratif, yang tidak berespon terhadap
antibiotik saja. Pada kasus tersebut, kolangiografi segera mungkin
diperlukan untuk menegakkan drainase biliaris. Kolangiografi retrograd
endoskopik ataupun kolangiografi transhepatik perkutan dapat digunakan
untuk menentukan anatomi atau patologi billiaris. Tetapi, kedua teknik
tersebut dapat menyebabkan kolangitis pada sekitar 5 persen pasien.
Dengan demikian perlindungan antibiotik yang tepat harus diberikan
sebelum instrumentasi pada semua kasus.

 PENATALAKSANAAN
Jika diagnosis klinis kolangitis telah dibuat, penatalaksanaan awal adalah
konservatif. Keseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi dan perlindungan
antiobiok dimulai. Pasien yang sakit ringan dapat diterapi sebagai pasien rawat dengan
antibiotik oral. Dengan kolangitis supuratif dan syok septik mungkin memerlukan
terapi di unit perawatan insentif dengan monitoring invasif dan dukungan vasopresor.
.
DEKOMPRESI BILIARIS
Sebagian besar pasien (sekitar 70 persen) dengan kolangitis akut akan berespon
terhadap terapi antibiotik saja. Pada kasus tersebut demam menghilang dan tes fungsi hati
kembali ke normal seringkali dalam 24 sampai 48 jam. Jika pasien tidak menunjukkan
perbaikan atau malahan memburuk dalam 12 sampai 24 jam pertama, dekompresi biliaris darurat
harus dipertimbangkan. Pada sebagian besar kasus, dekompresi biliaris segera paling baik
dilakukan secara non operatif baik dengan jalur endoskopik maupun perkutan. Yaitu:(2,3)

a. Penanggulangan sfingterotomi endoskopik


Apabila setelah tindakan di atas keadaan umum tidak membaik atau malah semakin buruk,
dapat dilakukan sfingterotomi endoskopik, untuk pengaliran empedu dan nanah serta
membersihkan duktus koledokus dari batu. Kadang dipasang pipa nasobilier. Apabila batu
duktus koledokus besar, yaitu berdiameter lebih dari 2 cm, sfingterotomi endoskopik mungkin
tidak dapat mengeluarkan batu ini. Pada penderita ini mungkin dianjurkan litotripsi terlebih
dahulu.(7,12)
b. Lisis batu
Disolusi batu dengan sediaan garam empedu kolelitolitik mungkin berhasil pada batu
kolesterol. Terapi berhasil pada separuh penderita dengan pengobatan selama satu sampai dua
tahun. Lisis kontak melalui kateter perkutan kedalam kandung empedu dengan metil eter
berhasil setelah beberapa jam. Terapi ini merupakan terapi invasif walaupun kerap disertai
dengan penyulit(7)
ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy) adalah penghancuran batu saluran
empedu dengan menggunakan berbagai jenis lithotripter yang dilengkapi dengan pencitraan
flouroskopi sebelum prosedur, diperlukan sfingterotomi endoskopik dan pemasangan kateter
nasobiliaris untuk memasukkan material kontras. Terapi dilanjutkan sampai terjadi penghancuran
yang adekuat atau telah diberikan pelepasan jumlah gelombang kejut yang maksimum.(3, 7, 9)

c. PTBD ( Percutaneous Transhepatik Biliar Drainage)

Pengaliran bilier transhepatik biasanya bersifat darurat dan sementara sebagai salah satu
alternatif untuk mengatasi sepsis pada kolangitis berat, atau mengurangi ikterus berat pada
obstruksi saluran empedu distal karena keganasan. Pada pasien dengan pipa T pada saluran
empedu dapat juga dimasukkan koledokoskop dari luar untuk membantu mengambil batu
intrahepatik.(7,13)

KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi dari penyakit kolangitis terutama yang derajat tinggi (kolangitis
supuratif) adalah sebagai berikut:
A. Abses hati piogenik
Abses hati piogenik merupakan 75% dari semua abses hati. Abses ini pada anak dan
dewasa muda terjadi akibat komplikasi apendisitis, dan pada orang tua sebagai komplikasi
penyakit saluran empedu seperti kolangitis. Infeksi pada saluran empedu intrahepatik
menyebabkan kolangitis yang menimbulkan kolangiolitis dengan akibat abses multiple.7
B. Bakteremia , sepsis bakteri gram negatif(9)
Bakteremia adalah terdapatnya bakteri di dalam aliran darah (25-40%). Komplikasi
bakteremia pada kolangitis dapat terjadi oleh karena etiologi utama penyebab terjadinya
kolangitis adalah infeksi bakteri. Demam merupakan keluhan utama sekitar 10-15%.
C. Peritonitis sistem bilier
Kebocoran empedu dalam ruang peritoneal menyebabkan iritasi dan peritonitis. Jika
empedu terkena infeksi, maka akan menyebabkan peritonitis dan sepsis yang mempunyai resiko
tinggi yang sangat fatal.
D. Kerusakan duktus empedu
Duktus empedu dapat dengan mudah rusak pada tindakan kolesistektomi atau pada
eksplorasi duktus empedu yang tidak sesuai dengan anatominya. Kesalahan yang sangat fatal
adalah tidak mengetahui cara melakukan transeksi atau ligasi pada duktus.
E. Perdarahan
Arteri hepatik dan arteri sistikus serta vaskularisasi hepar lainnya dapat mengalami trauma
dan perdarahan pada saat melakukan operasi. Perdarahan yang terjadi kadang susah untuk
dikontrol.
D. Kolangitis asendens dan infeksi lain
Kolangitis asendens adalah komplikasi yang terjadinya lambat pada pembedahan sistem
bilier yang merupakan anastomosis yang dibentuk antara duktus empedu dan usus besar bagian
asendens. Refluks pada bagian intestinal dapat berlanjut menjadi infeksi aktif sehingga terjadi
stagnan empedu pada sistem duktus yang menyebabkan drainase tidak adekuat.
Komplikasi lain yang harus diperhatikan pada pembedahan sistem bilier adalah abses
subprenikus. Hal ini harus dijaga pada pasien yang mengalami demam beberapa hari setelah
operasi.
Komplikasi yang berhubungan dengan pemakaian kateter pada pasien yang diterapi
dengan perkutaneus atau drainase endoskopik adalah:
* Perdarahan (intra-abdomen atau perkutaneus)
* Sepsis
PROGNOSIS
Tergantung berbagai faktor antara lain :
Ø Pengenalan dan pengobatan diri
Pada kasus kolangitis dibutuhkan pengobatan antibiotik secara dini dan diikuti dengan
drainase yang tepat serta dekompresi traktus biliaris.
Ø Respon terhadap terapi
Semakin baik respon penderita kolangitis terhadap terapi yang diberikan (misalnya
antibiotik) maka prognosisnya akan semakin baik.
Namun sebaliknya, respon yang jelek akan memperberat penyakit tersebut.
Ø Kondisi Kesehatan Penderita
Sistem pertahanan tubuh penderita merupakan salah satu faktor yang menentukan
prognosis penyakit ini. Biasanya penderita yang baru pertama kali mengalaminya dan berespon
baik terhadap terapi yang diberikan, prognosisnya akan baik.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Debas, T. Haile, Gastrointestinal Surgery, Pathophysiology and Management, p : 208-203
2. Sabiston C, Davidm Textbook of Surgery, WB. Sauders company, 1968, p : 1154 – 1161
3. Cameron L, John, Terapi bedah Mutakhir, Edisi 4, Binarupa Aksaram Jakarta, 1997, hal : 476-
479
4. Shojamanes, Homayoun, Mo, Cholangitis, in : http:/www.emidicine.com7 2006, p : 1-10
5. Luhulima, JW, dr, Prof, Abdomen, Anatomi II, Bagian Antomi FKUH, Makassar, 2001. hal :
28-29
6. Piutz R, Pabst R, Atlas Anatomi Manusia, Edisi 20, EGC, Jakarta, 1997, hal : 144-145
7. De Jong, Wim, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta, 1997 hal : 776-778.
8. Kaminstein, David, MD, Cholangitis, in : http://www.healthatoz.com 2006, p : 1-8
9. Josh, J. Adams, Cholangitus, in http://www.emidiche.com 2006, p : 1-11
10. Northon A, Jeffery, Balinger, Randal R, Chang EA, et al, Surgery Basic Science and Clinical
Evidence, Part I, New York, Sprinset Comp, 2000, p : 568-574

Anda mungkin juga menyukai