Anda di halaman 1dari 6

1.

Patofisiologi Spondilitis TB
a. Kerusakan Struktural Vertebra
Spondilitis tuberkulosis merupakan infeksi sekunder dari fokus infeksi
primer seperti paru-paru, kelenjar limfe mediastinum, mesenterium,
servikal, ginjal, dan organ dalam lainnya dengan penyebaran sebagian
besar secara hematogen melalui pembuluh darah arteri epifisis atau
melalui pleksus vena batson dari vena paravertebralis.
Kerusakan anatomi tulang belakang pada kasus infeksi
tuberkulosis dapat mempengaruhi kerusakan medula spinalis melalui dua
acara, yakni mekanik dan biologis. Pada spondilitis TB, bakteri biasanya
menyangkut di dalam spongiosa tulang. Proses infeksi dapat melibatkan
korpus vertebra atau diskus intervertebra, di mana lokasi paling sering
terjadinya infeksi pada vertebra terletak pada bagian lower thoracic dan
upper lumbar.
Infeksi tuberkulosis dapat menyebar ke tulang belakang dan
menyebabkan proliferasi sel radang dan nekrosis. Akibatnya, korpus
vertebra dapat mengalami perubahan morfologi (gibus) yang dapat
merusak medula spinalis secara mekanik dan mengakibatkan kelumpuhan.
Secara biologis, infeksi tuberkulosis dapat menyebar dan menginvasi
langsung medulla spinalis melalui ligamentum posterior dari korpus
vertebra dan mengakibatkan neuritis.
Kerusakan medula spinalis akibat spondilitis tuberkulosis sejatinya
dapat terjadi melalui kombinasi 4 faktor, yaitu penekanan oleh abses
dingin, iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis, terjadinya end-
arteritis tuberculosis setinggi blockade spinalnya, dan penyempitan
kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.
Masalah terpenting dalam pathogenesis tuberkulosis adalah
karakterisasi virulensi determinan bakteri Mycobacterium tuberculosis,
hubungannya dengan pertumbuhan bakteri pada organ yang terinfeksi,
serta adanya respons inflamasi. Pertumbuhan bakteri Mycobacteri
tuberculosis pada tulang akan memunculkan manifestasi infeksi dan
memunculkan respons inflamasi pada inang. Inflamasi yang diperlukan
untuk mengendalikan infeksi nyatanya juga dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang luas. Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis akan
menyebabkan apoptosis makrofag yang menghasilkan cathepsin D yang
terlibat dalam kerusakan jaringan dan dalam proses pencairan granuloma.
 Reaksi pertama pada infeksi tuberculosis di tulang belakang terjadi
pada system RES korpus vertebra berupa penimbunan sel-sel
polimorfonuklear (PMN) yang segera digantikan oleh makrofag dan
monosit. Lipid yang dihasilkan oleh proses fagositosis basil
tuberkulosis oleh makrofag akan dikeluarkan melalui sitoplasma
makrofag dan membentuk sel-sel epiteloid (datia Langhans) dan
nekrosis perkijuan yang memberikan gambaran reaksi spesifik tubuh
terhadap infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
 Dalam waktu sekitar satu minggu, limfosit akan muncul dan
membentuk cincin yang mengelilingi lesi. Kumpulan sel-sel epiteloid,
sel datia Langhans, dan limfosit ini akan membentuk suatu nodul yang
disebut tuberkel. Yang berkembang lambat, bersifat osteolisis lokal,
dan berada pada tulang subkondral di bagian superior atau inferior
anterior korpus vertebra. Pada minggu kedua mulai terjadi perkijuan
di sentral tuberkel tersebut, dan reaksi eksudatif berupa abses dingin
yang terdiri dari serum, leukosit, jaringan perkijuan, debris tulang dan
basil tuberkel yang dapat berpenetrasi dan menyebar ke berbagai arah.
 Proses selanjutnya ditandai dengan hiperemia dan osteoporosis berat
akibat resorpsi tulang yang akan mengakibatkan terjadinya destruksi
korpus vertebra di anterior. Proses perkijuan yang terjadi akan
menghalangi proses pembentukan tulang reaktif dan mengakibatkan
segmen tulang yang terinfeksi relatif avaskular, sehingga terbentuklah
sequester tuberkulosis. Destruksi progresif di anterior akan
mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra yang terinfeksi dan
terbentuklah kifosis atau angulasi posterior tulang belakang. Infeksi
selanjutnya dapat menembus korteks vertebra, menginfeksi jaringan
lunak di sekitarnya dan membentuk abses paravertebral. Diseminasi
lokal terjadi melalui penyebaran hematogen dan penyebaran langsung
di bawah LLA. Apabila abses paravertebra telah terbentuk, lesi dapat
turun mengikuti alur fasia muskulus psoas dan membentuk abses
psoas yang dapat mencapai trigonum femoralis.
 Abses dapat berkumpul dan mendesak ke arah belakang sehingga
menekan medulla spinalis dan mengakibatkan paraplegia Pott yang
disebut paraplegia awal. Selain karena tekanan abses, paraplegia awal
dapat pula disebabkan oleh kerusakan medula spinalis akibat
gangguan vaskular atau akibat regangan terus menerus pada gibus
yang disebut paraplegia lanjut. Abses dingin di daerah torakal dapat
menembus rongga pleura sehingga terjadi abses pleura, atau bahkan
ke paru bila ada perlekatan paru. Di daerah servikal, abses dapat
menembus dan
berkumpul di antara vertebra dan faring.
 Pada usia dewasa, diskus intervertebral bersifat avaskular sehingga
lebih resisten terhadap infeksi. Adapun infeksi diskus yang terjadi
akan bersifat sekunder. Berbeda dengan anak-anak yang diskus
intervertebralisnya masih bersifat vaskular, infeksi diskus yang terjadi
adalah infeksi primer. Penyempitan diskus intervertebral terjadi akibat
destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami
herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak.
b. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit spondilitis tuberculosis dibagi dalam 5 stadium, yaitu:
Stadium implantasi
Stadium ini merupakan kondisi dimana terjadi duplikasi bakteri
Mycobacterium tuberculosis membentuk koloni-koloni baru yang
terjadi saat daya tahan tubuh penderita menurun. Proses duplikasi ini
berlangsung selama 6–8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anakanak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
Stadium destruksi awal
Ketika stadium implantasi berlanjut, akan terjadi proses destruksi
korpus vertebra serta penyempitan ringan pada diskus yang
berlangsung selama
3–6 minggu.
Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolapsnya vertebra, dan
terbentuknya massa kaseosa serta pus yang berbentuk abses dingin.
Kondisi ini terjadi pada 2–3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Sekuestrum dapat terbentuk dan kerusakan diskus intervertebral dapat
terjadi. Pada saat inilah terbentuk tulang baji, terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibus.
Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis disebabkan oleh adanya tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondylitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis
yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi
pada regio ini.
Stadium deformitas residual
Stadium ini akan terjadi 3–5 tahun setelah munculnya stadium
implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen. Hal ini disebabkan
oleh adanya kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.
c. Kerusakan saraf pada spondylitis TB
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri ini umumnya menginfeksi paru-paru, tetapi dapat menyebar ke
sistem saraf pusat, terutama melalui tulang belakang. Penyebaran tersebut
dapat terjadi melalui reaktivasi kuman dorman yang menyebar melalui
darah (hematogenous foci) atau melalui nodus limfa dari dua vertebra
yang saling berdekatan.
TB spinal adalah jenis TB skeletal yang sangat berbahaya karena
dapat dikaitkan dengan kerusakan neurologis akibat kompresi struktur
saraf yang berdekatan dan deformitas tulang belakang yang signifikan.
Kerusakan neurologis yang tampak adalah paraplegia (kelumpuhan).
Berdasarkan waktu terjadinya, paraplegia pada pasien TB dapat
dikategorikan menjadi dua kelompok: paraplegia onset dini dan
paraplegia onset lambat.
Paraplegia onset dini terjadi ketika pasien masih menderita TB.
Oleh karena itu, kelumpuhan terjadi secara cepat dalam kurun waktu dua
tahun. Komplikasi saraf dapat terjadi akibat kompresi mekanik oleh abses,
jaringan granulasi, debris tuberkular, jaringan kaseosa, dan tekanan lokal
dari subluksasi patologis atau dislokasi vertebra. Akibatnya, medula
spinalis dapat mengalami edema akibat inflamasi dan mielomalasia.
Sementara itu, pada paraplegia onset lambat, kelumpuhan baru
terjadi beberapa tahun setelah pasien sembuh dari TB. Hal ini dapat terjadi
karena adanya faktor intrinsic yang menyebabkan kerusakan medulla
spinalis, yaitu tekanan dari anterior tulang kepada medula spinalis atau
vasokonstriksi dari jaringan parut di sekitar dura. Medula spinalis akan
mengalami edema, atrofi, dan gliosis interstitial sekunder.
Pengaruh TB pada tulang belakang baru menujukan manifestasi
setelah terjadi kompresi medulla spinalis pada kolom anterior vertebra.
Hal ini ditandai dengan peningkatan kelenturan yang berlebihan pada
refleks tendon dan ekstensor plantar. Ketika kompresi meningkat, pasien
mulai kehilangan kemampuan motorik secara bertahap (gradual) akibat
adanya lesi pada saraf motorik bagian atas. Kompresi yang cukup berat
dapat menyebabkan blok konduksi saraf secara keseluruhan di koloM
anterior.
Selain kolom anterior, kolom lateral juga dapat terpengaruh secara
parsial. Akibatnya, terjadi penurunan sensasi nyeri, suhu, dan sentuhan
kasar. Ketika kompresi semakin meningkat, kolom posterior juga dapat
terpengaruh. Hal ini menyebabkan hilangnya fungsi sensorik dan
gangguan otot sfingter.
Bila terjadi gangguan neurologis, derajat kerusakan paraplegia
dapat dibedakan menjadi:
- Derajat 1
Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensorik.
- Derajat 2
Terjadi kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih
dapat melakukan pekerjaannya
- Derajat 3
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/
aktivitas penderita serta hipoestesia/anestesia.
- Derajat 4
Terjadi gangguan saraf sensorik dan motorik disertai gangguan defekasi
dan mikturisi.

Rahayussalim, et al. 2018. Spondilitis Tuberkulosis: diagnosis,


penatalaksanaan, dan rehabilitasi Ed.1. Jakarta : Media Aesculapius

Anda mungkin juga menyukai