Anda di halaman 1dari 20

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
segala rahmat dan karunia-Nya untuk memudahkan penulis sehingga hasil makalah ini berhasil
diselesaikan. Judul makalah yang penulis pilih adalah “Euthanasia”. Penulisan hasil makalah
ini adalah merupakan tugas Etika Keperawatan untuk mahasiswa DIV Keperawatan Semester 1
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

Dalam penulisan hasil makalah ini, penulis mengucapkan ucapan terima kasih yang tak
terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam proses pembuatan hasil makalah ini.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi kita.

Dalam penulis hasil makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan,
baik pada teknik penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang penulis miliki. Untuk
itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan hasil laporan. Akhir kata penulis ucapkan semoga hasil makalah ini dapat
bermanfaat bagi yang membacanya.

Yogyakarta, Oktober 2016

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 1

Daftar Isi .......................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ….................................................................................... 3


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertrian dan Jenis Jenis Euthanasi 5


B. Metode Euthanasia 8
C. Pandangan Etik terhadap Euthanasia 9
D. Pandangan kesehatan masayarakata terhadap Euthanasia 12
E. Hukum mengenai Euthanasia 13
F. Kasus mengenai Euthanasia dan solusi untuk memecahkan kasus 15

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 18
B. Saran .................................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 19

2
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan
aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat
digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus
provokatus dan euthanasia. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates
(460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap
saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau
diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua
pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan
keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan
masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak
tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi
demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak
ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak
sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan
menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila
perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah istilah euthanasia
muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan atau mati
secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah
ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan teknologi
canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan
hidup. Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatan terurtama di bagian gawat
darurat dan di bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakan
kasus yang sudah tidak dapat dibantu lagi.

3
Ada tiga petunjuk yang dapat digunakan untuk menentukan syarat prasarana luar
biasa. Pertama, dari segi medis ada kepastian bahwa penyakit sudah tidak dapat
disembuhkan lagi. Kedua, harga obat dan biaya tindakan medis sudah terlalu mahal.
Ketiga, dibutuhkan usaha ekstra untuk mendapatkan obat atau tindakan medis tersebut.
Dalam kasus-kasus seperti inilah orang sudah tidak diwajibkan lagi untuk mengusahakan
obat atau tindakan medis. Bahkan, euthanasia dengan menyuntik mati disamakan dengan
tindakan pidana pembunuhan. Alternatif terakhir yang mungkin bisa diambil adalah
penggunaan sarana via extraordinaria. Di Indonesia masalah euthanasia masih belum
mandapatkan tempat yang diakui secara yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan
Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan mendapatkan tempat yang diakui secara
yuridis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan jenis-jenis Euthanasia ?
2. Apa saja metode Euthanasia ?
3. Bagaimana pandangan Etik terhadap Euthanasia?
4. Bagaimana pandangan kesehatan masayarakata terhadap Euthanasia?
5. Bagaimana hukum mengenai Euthanasia?
6. Apa saja kasus mengenai Euthanasia dan bagaimana solusi untuk memecahkan
kasus tersebut ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dan jenis-jenis Euthanasia
2. Mengetahui Metode Euthanasia
3. Mengetahui pandangan Etik terhadap Euthanasia
4. Mengetahui pandangan kesehatan masayarakata terhadap Euthanasia
5. Mengetahui hukum mengenai Euthanasia
6. Mengetahui kasus mengenai Euthanasia dan solusi untuk memecahkan kasus

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Euthanasia

A.1 Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik,
tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat diartikan
mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka dari itu
dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian, namun
untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan
panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga tidak
menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggungjawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan
perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang
ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga
banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks
karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:
a. Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan
psikologi, euthanasia diartikan:
 Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
 Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
 Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien.

5
b. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti:
 Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang
beriman dengan nama Allah dibibir.
 Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat
penenang.
 Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia adalah
sebagai berikut:
a. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
b. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
c. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
e. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

A.2 Jenis-Jenis Euthanasia


Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini
dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk mengakhiri
hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya dilakukan dengan penggunaan
obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan. Euthanasia aktif terbagi menjadi dua
golongan
a. Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan medis
yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya dengan memberi
tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
b. Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis yang
dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui bahwa risiko

6
tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu
kehidupan lainnya.

2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia volunter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat kematian atas
permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam keadaan
tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini dianggap
famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini
sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam yang
lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan Yezzi
seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia selain
euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar yang
bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya termasuk
pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang mungkin "de fakto"
dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari pasien atau
bahkan bertentangan dengan pasien.

7
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien
yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas keputusan
pemerintah.

B. Metode Euthanasia

1. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan
kematian.
2. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui
karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini
adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di dalam
keadaan vegetatif (koma).
3. Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat ditanyakan
persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi ketika permintaan
untuk melanjutkan perawatan ditolak.
4. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia. Hal
ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk membunuh
dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh
diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai
‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh
dr. Jack Kevorkian.

Dalam semua diskusi tentang euthanasia , berbagai aspek memainkan peranan yang
penting. Ini antara lain :
· Aspek kemanusiaan
· Aspek keagamaan
· Aspek medis
· Aspek yuridis

8
C. Pandangan Etik terhadap Euthanasia

Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam
hubungan dengan orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang
baik serta ditekankan pada penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang. Secara
umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan
moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian
tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan
kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan
untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain.
Dari sudut pandang etika, euthanasia dan aborsi menghadapi kesulitan yang sama. Suatu
prinsip etika yang sangat mendasar ialah kita harus menghormati kehidupan manusia. Bahkan
kita harus menghormatinya dengan mutlak. Tidak pernah boleh kita mengorbankan manusia
kepada suatu tujuan lain.
Dalam etika, prinsip ini sudah lama dirumuskan sebagai "kesucian kehidupan" (The
Sanctity Of Life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut, karena itu di
mana-mana harus selalu dihormati. Jika kita dengan konsekuen mengakui kehidupan manusia
sebagai suci, menjadi sulit untuk membenarkan eksperimentasi laboratorium dengan embrio
muda, meski usianya baru beberapa hari, dan menjadi sulit pula untuk menerima praktik
euthanasia dan aborsi, yang dengan sengaja mengakhiri kehidupan manusia. Prinsip kesucian
kehidupan ini bukan saja menandai suatu tradisi etika yang sudah lama, tetapi dalam salah satu
bentuk dicantumkan juga dalam sistem hukum beberapa Negara.
(PVS=Persistent Vegetative Status). Hidup manusia adalah dasar dari segala sesuatu.
Tanpa hidup, manusia tidak punya apapun, termasuk hak-haknya. Karena itu, hidup manusia
adalah hak dasar dan sumber segala kebaikan. Martabat manusia tidak berubah meskipun dia

9
dalam keadaan koma. Ia tetap manusia yang bermartabat. Dia bukan “vegetatif”=tumbuh-
tumbuhan. Oleh karena itu, ia tetap harus dihormati.
Penilaian etika euthanasia telah diperdebatkan tentang kebenarannya dalam decade
sekarang ini. Larangan untuk membunuh merupakan suatu norma moral yang sangat
fundamental untuk umat manusia. Tidak mengherankan, kalau dalam segala aspek kebudayaan
diberi tekanan besar pada norma ini, termasuk dalam bidang agama. Malah boleh dikatakan, ini
norma moral yang paling penting, sebagaimana pelanggarannya juga merupakan kejahatan
paling besar. Namun demikian norma moral ini pun tidak bersifat absolute. Rasanya dalam etika
tidak ada norma moral yang sama sekali absolute. Karena itu disekitar norma ini pun selalu
masih ada hal-hal yang dipermasalahkan. Dizaman sekarang menyangkut hukuman mati dan
euthanasia, tetapi berlawanan. Apakah pantas Hukuman mati dipertahankan sebagai
pengecualian atas larangan untuk membunuh sedangkan tentang euthanasia dipersoalkan tidak
perlu diakui adanya pengecualian atas larangan untuk membunuh.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor:
434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10
itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa,
termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang
dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti
bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran,
seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin
akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode
etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala
kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup
manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek dalam
suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan
bahwa : Eutanasia atau “pembunuhan tanpa penderitaan” hingga saat ini belum dapat diterima

10
dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. “Euthanasia hingga saat
ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih
berlaku yakni KUHP (Wikipedia, 2012).
Utomo (2009) mengutarakan bahwa dalam prakteknya, para dokter tidak mudah melakukan
euthanasia ini, meskipun dari sudut kemanusiaan dibenarkan adanya euthanasia dan merupakan
hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan (sesuai dengan Deklarasi
Lisboa 1981). Akan tetapi dokter tidak dibenarkan serta merta melakukan upaya aktif untuk
memenuhi keinginan pasien atau keluarganya tersebut. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama,
karena adanya persoalan yang berkaitan dengan kode etik kedokteran, disatu pihak dokter
dituntut untuk membantu meringankan penderitaan pasien, akan tetapi dipihak lain
menghilangkan nyawa orang merupakan pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain dalam perundng-undangan merupakan tindak pidana,
yang secara hukum di negara manapun, tidak dibenarkan oleh Undang-undang.
Di dalam Wikipedia (2009) dinyatakan bahwa di dunia ini terdapat beberapa negara yang
telah melegalkan tindakan euthanasia dengan beberapa persyaratan dan pertanyaan yang harus
dipenuhi oleh pasien ataupun keluarganya, diantaranya Belgia, Belanda dan negara bagian
Oregon di Amerika. Di dalamnya juga disebutkan bahwa Senator Philippe Mahoux, dari partai
sosialis yang merupakan salah satu penyusun rancangan undang-undang tersebut menyatakan
bahwa seorang pasien yang menderita secara jasmani dan psikologis adalah merupakan orang
yang memiliki hak penuh untuk memutuskan kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat
akhir hidupnya.

11
D. Pandangan Kesehatan Masayarakata Terhadap Euthanasia

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu argumentasinya
menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan pengecualian atas
larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia
lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat
mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita
mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan sebagai “kesucian
kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci karena mempunyai nilai absolut
dan karena itu dimana-mana harus dihormati.

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara intrinsik
(ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya manusia).
Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada entah diakui atau
tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-
sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu,
manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan
tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang
banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien sudah
sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri. Beberapa hari
yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan hanya
sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa
penderitaan yang tidak perlu. Sedangkan menurut pakar kesehatan mengenai pengertian
kematian :

Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung merupakan
alat pemompa darah ke seluruh tubuh. bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf
penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala.

Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap
perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata Prof. Dr. Mahar Mardjono (eks
Rektor UI). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang
otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah terputus.
12
Menurut Dr. Yusuf Misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian
korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan
batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh.
Menurut Dr. Kartono Muhammad (wakil ketua Ikatan Dokter Indonesia) mengatakan
seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut Dr. Peunoh Daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan
empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara
maupun bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai
kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan
lewat panca indra dan hati.

E. Hukum Mengenai Euthanasia

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada


pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia. Tetapi
bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati
unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum,
adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau
dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-
hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat
padapasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua
belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa
alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau memperpendek
hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.

13
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah
ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri, dihukum
penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia
dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-
undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia sebagai
miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan macamnya
sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal
ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras,
warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia dijamin
oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

14
F. Kasus mengenai Euthanasia

Alasan Buta Bikin Saudara Kembar Identik Ini


Memilih Euthanasia
Oleh Melly Febrida
Posted: 15/01/2013 11:08

Dua pria berusia 45 tahun yang kembar identik meninggal dengan cara euthanasia. Saudara
kembar itu lahir dengan kondisi tuli dan berusaha mengakhiri hidupnya setelah mendengar kalau
keduanya bakal menjadi buta dalam waktu dekat.
Marc dan Eddy Verbessem tak bisa membayangkan bagaimana jika keduanya tak bisa lagi
melihat satu sama lain setelah menghabiskan seluruh hidupnya bersama-sama, berbagi
apartemen dan bekerja sebagai tukang sepatu.
Saudara kembar ini mengatakan ke dokter penderitaan yang dialaminya dan memilih euthanasia
yang legal dilakukan di Belgia.
Dalam hukum di Belgia, euthanasia memang diperbolehkan jika orang yang ingin mengakhiri
hidupnya mampu menjelaskan keinginananya kepada hakim dokter kalau ia menderita sakit yang
tak tertahankan.
Dua pria itu dieutanasia dengan suntikan mati oleh dokter di University Hospital Brussels pada
14 Desember.
"Mereka sangat senang. Lega melihat penderitaan mereka berakhir," kata dokter David Dufour
kepada berita televisi RTL.
"Mereka minum kopi di aula, itu berjalan lancar dan kaya akan percakapan. Perpisahan dari
orangtua dan saudara sangat tenang dan indah. Pada akhirnya ada gelombang kecil di tangan
mereka dan kemudian mereka pergi," ujar dokter itu seperti dikutip News.com.au, Selasa
(15/1/2013).
Dua pria dari Putte, luar Brussels, pertama kali meminta bantuan dan ditolak oleh rumah sakit
setempat.
"Ada hukumnya tapi jelas terbuka untuk berbagai penafsiran. Jika buta atau tuli diizinkan
eutanasia, kita jauh dari rumah. Saya tidak berpikir ini adalah seperti apa yang dimaksudkan
dalam undang-undang tentang penderitaan yang tak tertahankan," ujar dokter di rumah sakit
pertama kepada Telegraph.

15
Menurut tetangga di Putte, si kembar itu ternyata juga mendapat perlawanan dari orangtua yang
dituakan, yang awalnya tidak mendukung keinginan untuk euthanasia. Namun kakaknya, Dirk
Verbessem membelanya.
"Banyak yang akan bertanya-tanya mengapa saudara-saudaraku telah memilih untuk euthanasia
karena ada banyak orang yang tuli dan buta memiliki kehidupan 'normal'," katanya. "Tapi
saudara saya lelah dari satu penyakit ke yang lain".
Verbessem menjelaskan, saudara-saudaranya telah menderita penyakit tulang belakang dan
penyakit jantung, serta kehilangan visi mereka karena glaukoma.
"Ketakutan besar kalau mereka tidak lagi bisa melihat, atau mendengar," katanya.
Kasus saudara kembar ini tidak biasa karena secara fisik keduanya tidak sakit atau sakit parah.
Hanya beberapa hari setelah si kembar disuntik mati oleh dokter, sosialis yang berkuasa di
Belgia mengajukan amandemen hukum baru yang memungkinkan euthanasia pada anak-anak
penderita alzheimer.
Eutanasia telah legal di Belgia sejak tahun 2002 tetapi hanya orang-orang di atas usia 18.
(Mel/Igw)

Analisis Masalah
1. Identifikasi dan klarifikasi masalah etik
Dalam kasus ini, jika terjadi di Indonesia ada 2 pilihan masalah. Pertama adalah keinginan klien
untuk mati karena didiagnosa akan mengalami kebutaan selama hidupnya setelah mengalami
tuli. Kedua, adalah larangan dilakukannya euthanasia atau tindakan yang akan menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang yang tercantum dalam KUHP pasal 344.
Tetapi, dalam kasus ini, keinginan kedua pasien tersebut sangatlah kuat, karena merasa
lelah karena menderita penyakit satu ke yang lain. Disini pihak tenaga kesehatan dalam dilema
karena pihak klien meminta tindakan euthanasia tetapi melanggar aturan hukum.
2. Mengumpulkan data
Dalam kasus ini, pihak yang terlibat adalah dua saudara kembar dan dokter, dan yang berhak
mengambil keputusan adalah dua pihak tersebut, yaitu dua saudara kembar identik dengan
dokter.
Kepentingan dari masalah ini adalah keinginan dari pihak klien dan pihak dokter yang terancam
hukuman penjara selama 12tahun yang tercantum dalam KUHP pasal 344. Dilihat dari segi

16
agama juga euthanasia dilarang atau diharamkan seperti yang dikemukakan oleh Ketua Dewan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin pada harian tempo bahwa “Untuk eutanasia
aktif seperti suntik kami haramkan”.
Dalam kasus ini, faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan adalah
kepercayaan, sosial budaya, legalitas dan hak-hak klien yang berlaku.
3. Identifikasi pilihan-pilihan pemecahan
Dalam kasus ini ada dua pilihan alternatif, pertama dokter memenuhi permintaan klien yaitu
melakukan euthanasia dan yang kedua dokter dan pihak tenaga kesehatan lain melakukan
pendekatan personal kepada klien dan menjelaskan bahwa euthanasia dilarang baik secara
hukum ataupun agama. Juga perawat dapat menjelaskan bahwa sesungguhnya hidup itu adalah
nikmat dan karunia yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus disyukuri.
Alasan dari alternatif pertama adalah memenuhi hak klien yaitu menerima dan menghargai
keputusan klien, tetapi dalam hal ini lebih banyak segi negatifnya daripada segi positifnya.
Dilihat dari segi positifnya hanya ada satu, yaitu memenuhi hak klilen tetapi segi negatifnya
yaitu menghilangkan nyawa klien dan melanggar hukum serta melakukan tindakan yang
diharamkan oleh agama.
Alasan dari alternatif kedua adalah melindungi hak klien yaitu hak untuk hidup. Dilihat dari segi
positifnya juga dalam hal ini dokter dan tenaga kesehatan lain bisa terhindar dari pelanggaran
hukum pidana, tidak melakukan tindakan yang dilarang oleh agama dan menyelamatkan hak
pasien untuk hidup.
Setelah ditelaah, pilihan alternatif yang peling direkomendasikan yang sesuai dengan logika
adalah alternatif kedua, yaitu dokter dan pihak tenaga kesehatan lain melakukan pendekatan
personal kepada klien dan menjelaskan bahwa euthanasia dilarang baik secara hukum ataupun
agama.

17
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mandapatkan tempat yang diakui secara
yuridis dan mungkinkah dalam perkembangan Hukum Positif Indonesia, euthanasia akan
mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis.

Munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa


masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural. Disini Penulis menentang dilakukannya
euthanasia atas dasar etika, agama, moral dan legal, dan juga dengan pandangan bahwa apabila
dilegalisir, euthanasia dapat disalahgunakan. Kelompok pro-euthanasia mungkin akan
menentang pendapat ini dengan menggunakan argumen quality of life, dan hukum. Namun
demikian, pernyataan yang telah dikemukakan, pertama secara etika, tugas seorang dokter adalah
untuk menyembuhkan, bukan membunuh; untuk mempertahankan hidup, bukan untuk
mengakhirinya. Dari dasar agama adalah di mana dokter percaya kesucian dan kemuliaan
kehidupan manusia. Dari segi respek moral, pilihan untuk membunuh, baik orang lain maupun
diri sendiri adalah imoral karena merupakan tindak sengaja untuk membunuh seorang manusia.
Dari segi legal, seorang dokter yang melakukan euthanasia atau membantu orang yang bunuh
diri telah melakukan tindakan melanggar hukum. Pernyataan terakhir adalah sulitnya untuk
melegalisir euthanasia karena sulitnya membuat standar prosedur yang efektif. Selanjutnya hal
ini juga dapat memberikan tekanan kepada mereka yang merasa diabaikan atau merasa sebagai
beban keluarga atau teman.

Jadi di Indonesia Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran,
undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang menghukumkannya haram.
Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien berupa batang
otaknya sudah mengalami kerusakan fatal.

18
B. Saran
Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan eutanasia sebagai salah
satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik
sosial, etika, maupun moral.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://ilmugreen.blogspot.co.id/2012/07/pengertian-macam-macam-euthanasia.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia

http:/Pandangan Etika Dan Perundang-Undangan Tentang Euthanasia ” _ Fatmanadia.Htm

http://wimuliasih.blogspot.com/2013/05/euthanasia.html
http://kaniasaraswati.blogspot.co.id/2014/05/analisis-euthanasia.html

20

Anda mungkin juga menyukai