Anda di halaman 1dari 19

PRESENTASI KASUS

“Tinea Cruris”

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh :
Geulissa Addini Abidin
1820221054

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul :


“TINEA CRURIS”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun oleh :
Geulissa Addini Abidin 1820221054

Disetujui dan disahkan:


Pada tanggal , Juli 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622 201012 2 001
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME berkat rahmat dan anugerah-Nya sehingga
penyusunan presentasi kasus dengan judul “Sindrom Steven-Johson” ini dapat diselesaikan.
Presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan
datang. Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK selaku dosen pembimbing


2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di RSUD
Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto
3. Rekan-rekan dokter muda Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin atas semangat dan
dorongan serta bantuannya.
Semoga presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam maupun diluar
lingkungan RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Juli 2019

Penyusun
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tinea cruris merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan
dermatofita yang biasanya terdapat pada lipat paha, area genital dan bokong. Penyakit ini
disebabkan oleh jamur dermatofita yang umumnya berupa Microsporum, Trycophyton atau
Epidermophyton. Penyebab infeksi dermatofita yang paling dominan adalah Tricophyton
diikuti Epidermophyton dan Microsporum, dimana yang paling banyak adalah spesies
Tricophyton rubrum diikuti T.mentagrophytes, M. canis dan T.tonsurans (Verma dan
Heffernan,2008).
Dermatofita merupakan kelompok jamur yang memiliki kemampuan untuk melekat pada
keratin dan menggunakannya sebagai sumber nutrisi yang memungkinkan jamur tersebut
untuk berkoloni pada jaringan yang mengandung keratin, seperti stratum korneum epidermis,
rambut dan kuku. Penyakit ini dapat menyerang semua umur tetapi lebih sering menyerang
anak-anak (Havlickova et al,2008).
Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi.1 Jamur bisa hidup
dan tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur
bisa menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain
mikosis yang menyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin
jamur yang ada dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur
beracun.
Hal-hal tersebut menggabarkan betapa pentingnya mengetahui banyak hal terkait penyakit
tinea cruris. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk menulis mengenai tinea cruris.
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. N
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 27 Tahun
Pendidikan : SMA
Agama : ISLAM
Alamat : Banyumas, Jawa Tengah.
No. CM : 00099937

B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 01 Juli 2019 di Poli Kulit RSUD Margono Soekarjo pada
pukul 10.00 WIB.

Keluhan utama:
Gatal pada bagian pinggang, bokong dan tangan kiri.

Keluhan tambahan:
Gatal bertambah ketika udara panas dan berkeringat.

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dengan keluhan gatal pada pinggang, bokong dan tangan kiri sejak 1 tahun
yang lalu. Awalnya rasa gatal muncul pada telunjuk kiri dan kemudian oleh pasien digaruk.
Gatal kemudian meluas ke tangan tangan kiri, kemudian menyebar ke selangkangan, perut dan
wajah bagian kiri pasien. Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas kemudian diberikan obat
Cetirizine, Dextim dan Salep racikan namun tidak ada perbaikan. Rasa gatal akan bertambah
bila terkena panas dan berkeringat. Gatal disertai rasa panas dan cukup mengganggu aktivitas
pasien sehingga menyebabkan pasien gelisah dan susah tidur di malam hari. Pasien bekerja
sebagai penjaga stand minuman di Yogyakarta. Pasien mengaku rutin mandi minimal 2 kali
sehari dan rutin mengganti pakaian sehari-harinya ataupun setelah melakukan aktivitas. Pasien
mengaku bahwa bapaknya mengalami sakit ysng serupa dengan pasien. Sakit seperti ini
sebelumnya (-), riwayat alergi (-), riwayat kencing manis di keluarga (-), bekerja dibawah
terik matahari dari pagi sampai sore (+).

Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
 Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
 Riwayat konsumsi imunosupresan jangka panjang : disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


 Riwayat penyakit serupa : Bapak pasien menderita penyakit
yang sama namun sudah sembuh
 Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat penyakit gula : disangkal
 Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal

Riwayat sosial dan ekonomi


Pasien tingal Bersama orangtuanya. Pasien sehari-hari bekerja sebagai penjaga stand
minuman.

C. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36.5° C
BB/TB : 73 kg/170 cm
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : Ottorhea (-)
Hidung : Napas cuping hidung (-) secret (-)
Mulut : Sianosis (-)
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

D. Status Dermatologis
1. Lokasi
Manus sinistra, inguinal dan facial sinistra
2. Efloresensi
Plaque eritematosa berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan
papul dan vesikel di tepi. Daerah tengah relatif lebih tenang, Skuama (+), likenifikasi
(+).
Gambar 2.1. Gambaran Klinis Pasien

E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan

F. Diagnosis Banding
1. Eksema nummular
2. Granuloma anulare
3. Psoriasis
G. Diagnosis Kerja
Tinea Cruris

H. Pemeriksaan Anjuran
1. Pemeriksaan mikroskopis
2. Kultur
3. Pemeriksaan lampu wood

I. Resume
Tn. N, 27 tahun datang dengan keluhan gatal pada pinggang, bokong dan tangan kiri
sejak 1 tahun yang lalu. Awalnya rasa gatal muncul pada telunjuk kiri dan kemudian oleh
pasien digaruk. Gatal kemudian meluas ke tangan tangan kiri, kemudian menyebar ke
selangkangan, perut dan wajah bagian kiri pasien. Pasien sudah pernah berobat ke puskesmas
kemudian diberikan obat Cetirizine, Dextim dan Salep racikan namun tidak ada perbaikan.
Rasa gatal akan bertambah bila terkena panas dan berkeringat. Gatal disertai rasa panas dan
cukup mengganggu aktivitas pasien sehingga menyebabkan pasien gelisah dan susah tidur di
malam hari. Pasien bekerja sebagai penjaga stand minuman di Yogyakarta. Pasien mengaku
rutin mandi minimal 2 kali sehari dan rutin mengganti pakaian sehari-harinya ataupun setelah
melakukan aktivitas. Pasien mengaku bahwa bapaknya mengalami sakit ysng serupa dengan
pasien. Sakit seperti ini sebelumnya (-), riwayat alergi (-), riwayat kencing manis di keluarga
(-), bekerja dibawah terik matahari dari pagi sampai sore (+).
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 73 kg dan TB 170 cm.
Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis didapatkan makula eritema,
anular, tersebar difus, berbatas tegas, pinggir lesi polisiklik dan agak meninggi, dengan papul
dan vesikel di tepi, daerah tengah relatif lebih tenang, kuama (+), likenifikasi (+).

J. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Loratadin Tab 10 mg 1x1
2. Ketokonazol Tab 200 mg 1x1
Edukasi kepada pasien:
1. Menjelaskan tentan penyakit Tinea Cruris (penyebab, tanda dan gejala, komplikasi,
pengobatan, serta prognosis)
2. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
3. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan kulit
selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat sirkulasi udara.

K. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad komestikum : dubia ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, area genital dan bokong.
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita
yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan
dermatofita adalah tinea cruris (Verma dan Heffernan,2008).
Menurut Arnold et al (1990) berdasarkan pada pejamunya, jamur penyebab dermatofita
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, dimana pembagian ini juga mempengaruhi cara
penularan penyakit akibat dermatofita ini. Pengelompokannya yaitu:
 Geofilik yaitu transmisi dari tanah ke manusia
 Zoofilik yaitu transmisi dari hewan ke manusia, contoh Trycophyton simii (monyet),
Trycophyton mentagrophytes (tikus), Microsporum canis (kucing), Trycophyton equinum
(kuda) dan Microsporum nannum (babi).
 Antrofilik yaitu transmisi dari manusia ke manusia.

B. Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-25%
populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering (Rezvani dan
Sefidgar,2010). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan
kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis
(iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi (Havlickova et
al,2008)
Penyebab tinea cruris berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika Serikat penyebab
terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Universitas Sumatera Utara Trycophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering
tinea cruris adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan di Eropa
penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya
adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum (Verma
dan Heffernan,2008).
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah T. rubrum
57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes var. granulare 9,0%, M.
gypseum 3,2%, T. concentricum 0,5% (Made,2001).
Di RSU Adam malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab adalah dermatofita
yaitu: T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%, T.mentagrophytes 4,4%, dan M.canis 2%,serta
nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans 17,3%, Candida lain 1,8%) (Made,2001).

C. Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat lebih dari 40 spesies dermatofita
yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah satu penyakit yang disebabkan jamur golongan
dermatofita adalah tinea cruris (Verma dan Heffernan,2008).

D. Patogenesis
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang-benang filament terdiri dari sel-sel
yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan karakteristik utama yang
membedakan jamur, karena banyak mengandung substrat nitrogen disebut dengan chitin.
Struktur bagian dalam (organela) terdiri dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum
endoplasma, lisosom, apparatus golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing-
masing. Benang-benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium
(Ryan,2004).
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk spora, baik
seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang dibentuk hifa, besarnya
antara 1-3µ, biasanya bentuknya bulat, segi empat, kerucut atau lonjong. Spora dalam
pertumbuhannya makin lama makin besar dan memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam
spora yaitu spora seksual (gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan) (Hay dan Moore,2004).
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur yang dapat
tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan, jamur dermatofita harus
tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi temperatur dan kelembaban,
kompetensi dengan flora normal, spingosin dan asam lemak. Kerusakan stratum korneum,
tempat yang tertutup dan maserasi memudahkan masuknya jamur ke epidermis (Verma dan
Heffernan,2008).
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu baik respon imun
nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun nonspesifik merupakan pertahanan
lini pertama melawan infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti
gizi, keadaan hormonal, usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan
mukosa, sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan mekanisme
pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur. Terdapat 2
unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen kimia yang larut dan bersifat
toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia ini antara lain ialah
lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut. Unsur kedua merupakan elemen
seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan fungsi utama fagositosis, mencerna, dan
merusak partikel asing. Makrofag juga terlibat dalam respons imun yang spesifik. Selsel lain
yang termasuk respons radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan
sel NK (natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan
infeksi jamur (Cholis,2001).
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur setelah jamur
mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B merupakan sel yang berperan
penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini mempunyai mekanisme termasuk
pengenalan dan mengingat organism asing, sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan
kemampuannya untuk merspons secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi
antibodi, sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas
seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh adanya kontak
antara limfosit dengan antigen (Cholis,2001).

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan
perkembangan kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih
tenang. Tinea cruris yang menahun, tanda-tanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya
meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja (Verma dan Heffernan,2008). Gejala subyektif
yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan (Fransisca,2000).
Tinea kruris biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau dengan binatang piaraan
yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak dengan mamalia liar atau tanah yang
terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot dan
sebagainya (M.Goedadi dan H.Suwito,2001).

F. Penegakan Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk mendiagnosis tinea
cruris. Berdasarkan hasil anamnesis, biasanya pasien merasa gatal pada bagian selangkangan.
Rasa gatal akan meningkat jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan (Fransisca,2000).
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kelainan yang dilihat dalam penampakan klinis
merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya tenang. Kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan
yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi lesi dengan pinggir yang polikistik,
karena beberapa bagian lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda radang yang lebih
nyata, lebih sering terlihat pada anak-anak daripada dewasa.
Selain dari gejala khas tinea cruris, diagnosis harus dibantu dengan pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan mikroskopis, kultur, pemeriksaan lampu wood, biopsi
dan histopatologi, pemeriksaan serologi, dan pemeriksaan dengan menggunakan PCR (Hay
dan Moore,2004).
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan
kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah
dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop. Pemeriksaan ini memberikan hasil
positif hifa ditemukan hifa (benang-benang) yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak
juga spora berupa bola kecil sebesar 1-3µ (Hay dan Moore,2004).
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25- 30⁰C),kemudian satu
minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur. Spesies jamur dapat ditentukan
melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora (Hay dan Moore,2004).
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar ultraviolet dengan
panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak Universitas Sumatera Utara dapat dilihat. Bila sinar
ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita tertentu, sinar ini akan
berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna (fluoresensi). Beberapa jamur yang
memberikan fluoresensi yaitu M.canis, M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleinii. (Hay
dan Moore2004).

G. Diagnosis Banding
Ada beberapa diagnosis banding tinea cruris, antara lain eritema anulare sentrifugum,
eksema numular, granuloma anulare, psoriasis, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea, liken
planus dan dermatitis kontak (Verma dan Heffernan,2008).

H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan tinea cruris terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada
tinea cruris dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi
antara 1-4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat
diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal
infeksi jamur pada lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu
dilakukan dengan kompres basah secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi antijamur dengan
kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat perbaikan klinis dan mengurangi keluhan
pasien (Verma dan Heffernan,2008).
a. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat topikal dipengaruhi
oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas dan asiditas formulasi obat tersebut.
Selain obat-obat klasik, obatobat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan
untuk mengatasi masalah ini. Efektivitas obat golongan imidaol kurang lebih sama.
Pemberian obat dianjurkan selama 3-4 minggu atau sampai hasil kultur negative.
Selanjutnya dianjurkan juga untuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah
penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi kekambuhan (Verma
dan Heffernan,2008).
b. Pengobatan Sistemik
Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik yang dapat diberikan
pada tinea cruris adalah:
 Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk anak-anak
15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500-1000 mg/hari
 Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea cruris yang resisten terhadap
griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah 200 mg/hari selama 3 minggu.
 Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin dikatakan cukuo
memuaskan untuk pengobatan tinea cruris.

2. Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non
medikamentosa adalah sebagai berikut:
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk mencegah penyebaran infeksi ke
bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara bergantian dengan orang
yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk mencegah
penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan
kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat
sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan debu-
debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan sandal
yang terbuat dari bahan kayu dan karet

I. Prognosis
Prognosisnya sangat baik, dengan tingkat penyembuhan 70-100% setelah pengobatan
dengan azol topikal atau allylamines atau antifungi sistemik jangka pendek. Infeksi dermatofit
tidak menghasilkan mortalitas yang signifikan, tetapi mereka dapat sangat mempengaruhi
kualitas hidup.
IV. PEMBAHASAN

Tinea Cruris mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah lipat paha, area genital dan
bokong. Dinamakan Tinea cruris karena berdasarkan bagian tubuh yang terkena, yaitu di badan
dan anggota badan disebabkan oleh golongan jamur pidermophyton, Trichophyton, dan
Microsporum.4 Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang- cabangnya di dalam jaringan
keratin yang mati, hifa melepaskan keratinase serta enzim lainnya guna menginvasi lebih dalam
stratum korneum dan menimbulkan peradangan, walaupun umumnya, infeksi terbatas pada
epidermis, karena adanya mekanisme pertahanan tubuh non spesifik, seperti komplemen, PMN,
aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) namun adang-kadang dapat
bertambah/meluas. Masa inkubasinya sekitar 1-3 minggu. Tinea Cruris erupakan infeksi yang
umum terjadi pada daerah dengan iklim hangat, lembab; sekitar 47% isebabkan oleh Trichophyton
Rubrum.
Infeksi dermatofitosis jarang menimbulkan kematian, akan tetapi dapat memberikan efek yang
esar terhadap kualitas hidup.3 Diagnosis dermatofitosis memerlukan gabungan data klinis,
gambaran status lokalis dan pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis berupa pertumbuhan jamur
dengan pola radial di dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit sirsinar engan
batas jelas dan meninggi yang disebut ringworm, tepi polisiklik, daerah tepi tampak vesikel- esikel
kecil dengan skuama halus dan aktif. Dijumpai daerah penyembuhan sentral. Biasanya asa atal
bertambah jika berkeringat.
Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut dan kuku)
dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam
entuk hifa panjang, spora dan artospora (spora berderet). Dengan pembiakan, bertujuan untuk
engetahui spesies jamur penyebab; bahan sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud
ekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (contoh;
hloramfenicol) ke dalam media tersebut. Perbenihan pada suhu 24- 30°C. Pembacaan diakukan
alam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan
an ada atau tidaknya hifa. Pada pasien dengan lesi dermatofitosis yang luas, perlu dipikirkan
emungkinan infeksi HIV, riwayat atopik, serta pengobatan jangka panjang dengan steroid.
V. KESIMPULAN

Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, area genital dan bokong. Prevalensi
infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan menyerang 20-25% populasi dunia dan
merupakan salah satu bentuk infeksi kulit tersering (Rezvani dan Sefidgar,2010). Gambaran
klinis dimulai dengan lesi bulat atau lonjong dengan tepi yang aktif dengan perkembangan
kearah luar, bercak-bercak bisa melebar dan akhirnya memberi gambaran yang
polisiklik,arsinar,dan sirsinar. Pada bagian pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai
dengan eritema, adanya papul atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih
tenang. Berdasarkan hasil anamnesis, biasanya pasien merasa gatal pada bagian kulit yang
tidak berambut. Rasa gatal akan meningkat jika berkeringat dan kadang-kadang terlihat erosi
dan krusta akibat garukan (Fransisca,2000). Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik, kelainan
yang dilihat dalam penampakan klinis merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
Pengobatan tinea cruris terdiri dari pengobatan lokal dan pengobatan sistemik. Pada tinea
cruris dengan lesi terbatas,cukup diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-
4 minggu bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal diperlukan
pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal yang dapat diberikan yaitu
derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada
lesi yang meradang disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres
basah secara terbuka (Vermam dan Heffernan,2008).

Anda mungkin juga menyukai