Anda di halaman 1dari 5

Hajar Aswad Dicuri

Kota Mekah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia memiliki hukum-


hukum yang telah ditetapkan syariat, sebagai bukti yang menunjukkan
kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan perbuatan maksiat. Meski
larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah kaum Muslimin,
khususnya kota Mekah dan Ka’bah, pernah terjadi pelanggaran yang sangat
memilukan dan menodai Ka’bah secara khusus, yaitu terjadinya penjarahan
Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

‫سوومدتتهه مخ م‬
‫طاَمياَ مبننيِ آمدمم‬ ‫ضاَ نمتن اللومبنن مف م‬ ‫سموهد نمتن اتلمجنونة موههمو أم م‬
‫شدد مبمياَ ض‬ ‫منمزمل اتلمحمجهر اتلم ت‬

“Hajar Aswad turun dari surga, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air
susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adam-lah yang membuatnya sampai
berwarna hitam.” [Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al
Albani. Lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877].

Tentang keutamaannya yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda


:

ِ‫سمتملممهه ميتومم اتلنقمياَممنة نبمحقققن‬ ‫إون نلمهمذا اتلمحمجنر نلسماَنضاَ مو م‬


‫شمفمتتينن مي ت‬
‫شمههد نلممتن ا ت‬

“Sesungguhnya batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi
orang yang menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar.” [HR al
Hakim dan Ibnu Hibban, dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami’, no.
2184.].

Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:

‫طاَنن اتلمخنطيمئمة‬
‫سمحههمماَ ميهح و‬
‫نإون مم ت‬

“Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan


menghapus dosa.”[ Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al
Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919].

Hajar Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya


penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir
Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya,
Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna hitam
ini berada di sisi selatan Ka’bah.

Adalah Abu Thahir, Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan
Qaramithah pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan
melakukan kerusakan dan peperangan terhadap kaum Muslimin. Kota yang
suci, Mekah dan Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya. Dia dan
pengikutnya melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak rumah-
rumah. Bila terdengar namanya, orang-orang akan berusaha lari untuk
menyelamatkan diri [Al Bidayah wan Nihayah, 11/187].

Kisahnya, pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak
pimpinan Manshur ad Dailami bertolak menuju Mekah dan sampai dalam
keadaan selamat. Namun, tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah),
orang-orang Qaramithah (salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan huru-
hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan
menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang menjadi korban,
bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.

Sementara itu, pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –


semoga mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah– berdiri di pintu
Ka’bah dengan pengawalan, menyaksikan pedang-pedang pengikutnya
merajalela, menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan congkaknya ia berkata :
“Saya adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah yang menciptakan makhluk-
makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan mereka”.
Massa berlarian menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu
Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi’ah
Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf,
tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya sebagian ahli
hadits.

Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira terhadap para jamaah haji,
Abu Thahir memerintahkan pasukan untuk mengubur jasad-jasad korban
keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam Zam. Sebagian lainnya, di kubur
di tanah Haram dan di lokasi Masjidil Haram.

Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan. Dia juga memerintahkan agar pintu
Ka’bah dicopot dan melepas kiswahnya. Selanjutnya, ia merobek-robeknya di
hadapan para pengikutnya. Dia meminta kepada salah seorang pengikutnya
untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut talang Ka’bah. Namun tiba-tiba,
orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu Thahir pun mengurungkan
niatnya untuk mengambil talang Ka’bah. Kemudian, ia memerintahkan untuk
mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang lelaki memukul dan
mencongkelnya.

Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : “Mana burung-burung


Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?”

Peristiwa penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekah dan keluarganya
dengan didukung sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekah berusaha
membujuk Abu Thahir agar mau mengembalikan Hajar aswad ke tempat
semula. Seluruh harta yang dimiliki Sang Amir telah ia tawarkan untuk
menebus Hajar Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak bergeming. Bahkan Sang
Amir, anggota keluarga dan pasukannya menjadi korban berikutnya. Abu
Thahir pun melenggang menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad
dan harta-harta rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa
pulang ke daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.

Menurut Ibnu Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu,


karena mereka sebenarnya kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim
Fathimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di
wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad
‘Ubaidillah bin Maimun al Qadah. Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang
berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan
mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak
orang dari suku Barbar yang mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia dapat
memegang kekuasan sebagai kepala negara di wilayah tersebut. Orang-orang
Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya. Mereka (Qaramithah)
akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.

Perbuatan Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan


Hajar Aswad ini, oleh Ibnu Katsir dikatakan : “Dia telah melakukan ilhad
(kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang
sebelumnya dan orang sesudahnya”. [Al Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu
Katsir mengisahkan peristiwa ini di halaman 190-192].

Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia


kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339H.

Pada saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya


sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut, Hajar
Aswad dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar Aswad
sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.

Pasalnya, berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah


dilakukan. Amir Bajkam at Turki pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai
tebusan Hajar Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir,
pimpinan Qaramithah saat itu.

Kaum Qaramithah ini berkilah: “Kami mengambil batu ini berdasarkan


perintah, dan akan mengembalikannya berdasarkan perintah orang yang
bersangkutan”.

Pada tahun 339 H, sebelum mengembalikan ke Mekah, orang-orang


Qaramithah mengusung Hajar Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya
pada tujuh tiang Masjid Kufah. Agar, orang-orang dapat menyaksikannya.
Lalu, saudara Abu Thahir menulis ketetapan : “Kami dahulu mengambilnya
dengan sebuah perintah. Dan sekarang kami mengembalikannya dengan
perintah juga, agar pelaksanaan manasik haji umat menjadi lancar”.

Akhirnya, Hajar Aswad dikirim ke Mekah di atas satu tunggangan tanpa ada
halangan. Dan sampai di Mekah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H [Al
Bidayah wan Nihayah, 11/265].
Dikisahkan oleh sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad,
orang-orang Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa
onta. Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat
dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi hal-hal
aneh dalam perjalanan. (Mas)

Sumber :

– Shahih Bukhari, al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun.

– Shahih Muslim, Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H.

– Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan


Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H.

– Al Bidayah wan-Nihayah, al Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir,


Darul Ma’rifah, Cet. VI, Th. 1422 H.

– Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali Barnawi,


Mekah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H.

– Shahih Sunan at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al


Ma’arif.

– Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al


Ma’arif.

– Shahihul-Jami’ wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktab


Islami, Cet. III, Th. 1408.

– Taisiril Karimir-Rahman, Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I,


Th. 1423H.

– Al Jami’ li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi,


tahqiq Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.

Read more https://kisahmuslim.com/3446-sejarah-hajar-aswad-dicuri.html

Anda mungkin juga menyukai