Anda di halaman 1dari 9

PANCASILA

KEJADIAN LUAR BIASA:DIFTERI

TUTORIAL 1: PENDIDIKAN DOKTER REGULER 2016

Disusun oleh:

RAHAYU FATMAWATI/18292
ALHADI HAKIM/18815
ALIF INDIRALARASATI/18816
CYRILLA MAYA V/18829
GABRIEL ADVENIA G/18843
HANIIFA H. HENDY/18846
RIZQI RACHMA DEWI/18863
VIKA NARFA AULIA/18874
DIANA WIJAYANTI/19044
RAFIF ADIANTO A W/19123

FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT, DAN


KEPERAWATAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
1. Definisi
Kejadian Luar Biasa (KLB), atau yang dalam istilah inggris dikenal dengan
disease outbreak, adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.
Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya
atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No.
451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa.
Menurut aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
• Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak
dikenal
• Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
• Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan
dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
• Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun
sebelumnya.
Menurut World Health Organization (WHO), KLB atau disease outbreak dapat
dikelompokkan menjadi 3 kelompok berdasarkan etiologinya:
• KLB akibat penyakit menular,
• KLB akibat paparan kimiawi,
• KLB yang tidak diketahui secara jelas penyebabnya.

2. Kasus KLB
Pada akhir Desember 2017, Indonesia menghadapi KLB Difteri.
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae dan ditandai dengan adanya peradangan pada selaput saluran
pernafasan bagian atas, hidung dan kulit.

Nila Moeloek, Menteri Kesehatan RI menjelaskan masalah KLB difteri sudah


lama terjadi di Indonesia sebelum 1990. Kejadian ini kemudian dapat diatasi,
hingga pada tahun 1990 Indonesia dinyatakan bebas difteri. Namun KLB difteri
terjadi lagi dan dapat kembali diatasi pada 2013. Dan pada tahun 2017, KLB
difteri terjadi lagi di Indonesia.

Selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi
dengan jumlah 954 kasus dan 44 kematian. Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9
Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 provinsi (DKI,
Banten, Jabar dan Lampung) dan tidak ada kematian. Pada tahun 2018 tidak ada
penambahan Kabupaten/Kota yang melaporkan adanya KLB Difteri. Data
terakhir, terdapat 85 kab/kota dari total 170 kab/kota yang sudah tidak
melaporkan kasus baru. Itu artinya KLB di 85 Kabupaten/Kota tersebut telah
berakhir.
3. Upaya Penanganan Kasus
a. Peran Pemerintah
Menurut lampiran Permenkes RI Nomor 1501/MENKES/PER/X//2010
tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangan, penanggulangan KLB meliputi:
1. Penyelidikan epidemiologi dan surveilans
Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan perkembangan
penyakit dan kebutuhan upaya penanggulangan. Tujuan penyelidikan
epidemiologi adalah untuk:
a. Mengetahui gambaran epidemiologi KLB difteri.
b. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit difteri.
c. Mengetahui faktor yang memengaruhi terjadinya penyakit difteri termasuk
sumber dan cara penularan penyakit.
d. Menentukan cara penanggulangan KLB.
Surveilans di daerah KLB dan daerah yang berisiko terjadi KLB
dilaksanakan lebih intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut
waktu dan tempat, serta dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya
penanggulangan yang sedang dilaksanakan. Surveilans meliputi:
a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos dan unit
kesehatan; membuat tabel, grafik dan pemetaan; melakukan analisis
kecenderungan KLB dari waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat dan
kelompok masyarakat.
b. Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa, kader,
dan masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan upaya
penanggulangan yang telah dilakukan.
c. Memanfaatkan hasil surveilans dalam upaya penanggulangan KLB.

2. Penatalaksanaan penderita
Penatalaksanaan penderita meliputi pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan serta upaya pencegahan penularan penyakit. Upaya pencegahan
penularan penyakit dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi, evakuasi
dan karantina sesuai penyakit. Isolasi dapat dilakukan dengan memisahkan pasien
difteri di ruang rawat inap khusus infeksi. Penatalaksanaan penderita
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk
kebutuhan pelayanan kesehatan.
Selain itu, penatalaksanaan penderita juga meliputi penyuluhan kepada
masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan berperan aktif dalam
penemuan dan penatalaksanaan penderita di masyarakat. Dapat juga dilakukan
kerja sama pimpinan daerah, tokoh masyarakat, serta lembaga swadaya
masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.

3. Pencegahan dan pengebalan


Tindakan pencegahan dan pengebalan dilakukan terhadap orang,
masyarakat dan lingkungannya yang mempunyai risiko terkena penyakit KLB
agar tidak terjangkit penyakit. Orang, masyarakat, dan lingkungannya yang
mempunyai risiko terkena penyakit wabah ditentukan berdasarkan penyelidikan
epidemiologi.
Salah satu upaya pencegahan jangka pendek adalah dengan melalui
Outbreak Response Immunization (ORI), yaitu pemberian imunisasi tambahan
pada populasi berisiko. Dalam hal ini, diberikan imunisasi DPT/DT kepada
semua anak berumur <15 tahun yang tinggal di daerah KLB (umur 2-7 tahun
diberikan DPT, >7 tahun diberikan DT atau dT). Penentuan daerah ORI
berdasarkan pertimbangan banyaknya kasus baru, mudahnya penularan yang
berpotensi meluas menjadi wabah, tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi, serta
kesiapan sarana, prasarana, dan SDM. Tujuan ORI adalah untuk meningkatkan
kekebalan populasi sehingga mencegah meluasnya penularan penyakit, serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Selain upaya pencegahan jangka pendek, dapat juga dilakukan upaya
pencegahan jangka panjang dengan merencanakan kegiatan imunisasi rutin.
Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggelar kegiatan bulan akselerasi
cakupan imunisasi difteri tujuh dosis melalui imunisasi rutin, sweeping, imunisasi
lanjutan dan imunisasi di SD.

b. Peran Masyarakat
Upaya penanggulangan dari aspek pencegahan harus dilakukan bersama-sama
dengan tindakan deteksi dini kasus, pengobatan kasus, rujukan ke rumah sakit,
mencegah penularan, dan memberantas karier. Upaya pencegahan utamanya
dapat ditujukan kepada masyarakat supaya tidak meningkatkan angka kejadian
difteri pada KLB. Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
• Kenali gejala difteri.
• Segera ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri
tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya anak
berumur < 15 tahun.
• Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteri agar
segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
apakah anak benar menderita difteri.
• Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus
segera diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa
kuman) difteri dan mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat badan
selama 5 hari).
• Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.

c. Peran Tenaga Kesehatan


Tenaga kesehatan merupakan garda terdepan ketika terjadi KLB karena infeksi
penyakit. Perannya sangat penting sebagai eksekutor dari kebijakan-kebijakan
pemerintah. Peran tenaga kesehatan antara lain sebagai berikut:
• Mengenal dan mendeteksi sedini mungkin terjadinya KLB
Terjadinya KLB harus dilaporkan oleh tenaga kesehatan kepada dinas setempat
untuk dilakukan tindakan lanjutan.
• Penyelidikan epidemiologis KLB
Untuk melakukan tatalaksana dan merancang tindakan pencegahan penyebaran
KLB lebih luas, diperlukan penyelidikan epidemiologi seperti penyelidikan
mengenai apakah tempat yang terkena KLB tersebut merupakan endemik atau
epidemik penyakit dan merupakan penyakit infeksi atau penyakit kronis. Jika
ternyata KLB disebabkan oleh bakter difteri, maka penting untuk mengetahui
riwayat klinis penderita difteri menimbulkan KLB, sifat-sifat penyebabnya serta
faktor yang mempengaruhi terjadinya dan penyebarluasannya. Untuk kasus ini,
riwayat vaksinasi terutama sangat penting. Pasien yang sudah divaksinasi
cenderung terproteksi dari difteri sehingga jika terinfeksi, bisa tidak
bermanifestasi atau jika bermanifestasi, gejalanya lebih ringan.
• Pada tenaga kesehatan tingkat fasilitas kesehatan primer atau sekunder, jelaskan
mengenai sistem rujukan kepada pasien apabila pasien harus dirujuk.
• Periksa, obati, rawat dan isolasi pasien termasuk tindakan karantina jika
diperlukan. Peran tenaga kesehatan terhadap kesembuhan pasien dan pencegahan
penularan penyakit sangat penting. Pasien yang menderita difteri perlu diberikan
antibiotik yang sesuai. Terapi suportif untuk mendukung kondisi pasien dan
mengurangi gejala juga pentng, namun harus sesuai dengan kondisi klinis pasien.
Karena dapat menularkan ditularkan droplet, pasien difteri umumnya diisolasi
jika dirawat di rumah sakit.
• Pemberian obat profilaksis terhadap individu yang tinggal dekat dengan pasien
karena difteri dapat menular melalui udara. Individu yang curiga terpapar harus
diberikan antibiotik profilaksis untuk mencegah manifestasi klinis serta
penyebaran dari difteri.
• Anjuran untuk vaksinasi bagi semua masyarakat, terutama yang tinggal di daerah
KLB:
§ Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT
tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu.
§ Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan
imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang),
§ Apabila telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu ditambah
imunisasi DPT ulangan 1x.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa vaksinasi dapat menurunkan angka
difteri. Namun, cara kerja vaksin membutuhkan paling tidak 90% dari populasi
sudah divaksinasi untuk menerapkan herd immunity, yakni kondisi di mana
individu yang sudah divaksinasi dapat melindungi individu yang kontraindikasi
terhadap vaksinasi. Dalam aspek ini, tenaga kesehatan perlu berkoordinasi
dengan pemerintah untuk penyediaan vaksin, pengajuan anggaran khusus untuk
vaksin yang mencegah KLB, dan pengadaan edukasi secara massal.
• Edukasi terkait manfaat vaksin DPT, cara kerja, dan efek sampingnya
Tenaga kesehatan wajib mengedukasi masyarakat hingga masyarakat memahami
bahwa setelah imunisasi DPT, kadang-kadang timbul demam, bengkak dan nyeri
di tempat suntikan DPT, yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam
beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan,
boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4x sesuai umur, sering
minum jus buah atau susu, serta menggunakan baju tipis atau segera berobat ke
petugas kesehatan terdekat.
• Penyuluhan kepada masyarakat
Kejadian luar biasa seringkali menimbulkan kepanikan di masyarakat. Oleh
karena itu, tenaga kesehatan sebaiknya melakukan penyuluhan kepada
masyarakat terkait penyakit difteri. Kenali gejala difteri, apa yang perlu
dilakukan jika terinfeksi, bagaimana pencegahannya, serta langkah apa yang telah
dilakukan tenaga kesehatan dan pemerintah untuk mencegah penyebaran KLB
difteri.

d. Peran Mahasiswa
Mahasiswa sejatinya bagian dari masyarakat sehingga peran-peran yang perlu
dilakukan masyarakat seperti mengenali gejala difteri dan segera mencari
pertolongan tenaga kesehatan juga aplikatif terhadap mahasiswa. Perbedaannya,
mahasiswa dapat berperan lebih aktif untuk mengedukasi sekitarnya sesuai
dengan kompetensi mereka. Pelajari penyakit difteri, gejalanya, penyebab dan
penularannya, serta hal-hal yang perlu diwaspadai. Mahasiswa sebaiknya ikut
berperan dalam memberikan pemahaman ke keluarga, teman sepermainan,
lingkungan, serta masyarakat yang dapat mereka jangkau. Selain itu, mahasiswa
juga dapat melakukan advokasi agar kasus kejadian luar biasa terkait
ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat.

4. Sila 1
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Fokusnya adalah
hubungannya antara manusia dengan Tuhan. Karena Negara adalah produk
manusia jadi Agama harus Hidup dalam negara. Indonesia memposisikan diri
bukan sebagai Negara Sekuler, namun juga bukan negara dengan basis Agama
tertentu.
Dalam konteks KLB, Sila pertama menghendaki segala upaya Agama until
menjaga kestabilan dan berusaha mungkin menjadikan KLB kondusif. Mengingat
masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Indonesia menjamin Hak
asasi manusia dalam menjalankan agamanya dengan bebas. Dalam kejadian luar
biasa, para pemeluk Agama harus tetap memegang teguh sila pertama.
KLB atau wabah dapat dianggap sebagai hukuman dari Tuhan. Pemahaman
tersebut dalam kondisi demografi dan sosial masyarakat Indonesia dapat
menambah kekacauan dan peningkatan tensi antar Komunitas tertentu dalam
masyarakat atau bahkan antar umat Lintas Agama. Para pemuka Agama harus
senantiasa mendukung penanganan KLB dari sudut pandang Agama.

5. Sila 2
Bunyi Pancasila sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” Nilai
kemanusiaan berarti memiliki sikap dan perilaku sesuai norma-norma sosial dan
nilai moral di masyarakat, memperlakukan segala hal dengan semestinya.
Tercermin dalam penanggulangan KLB/kejadian luar biasa/ wabah
penyakit menular, sehingga dapat memberikan perlindungan dan memberikan
hak asasi manusia serta menjunjung tinggi persamaan derajat manusia, yaitu
dengan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosial ,agama, dan
suku, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yaitu dengan memperlakukan
manusia selayaknya memberikan hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap
warga dan penduduk Indonesia sesuai dengan norma sosial dan nilai moral
sebagai manusia.
Seorang tenaga kesehatan masyarakat tentu harus memupuk nilai
kemanusiaan dalam diri, karena tenaga kesehatan masyarakat selalu berhadapan
dengan masyarakat. Selalu menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan sikap
menolong sesama, karena sudah menjadi tugas seorang kesehatan masyarakat
untuk membantu dan menolong masyarakat dalam bidang kesehatan. Selalu
menghormati orang lain, tenaga kesehatan masyarakat harus bersikap santun saat
melayani masyarakat.
Keadilan, bahwa penanggulangan wabah penyakit menular harus
mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bahwa, tidak boleh membeda-
bedakan masyarakat yang akan dilayaninya berdasarkan status sosial,agama dan
juga suku.
6. Sila 3
Bunyi sila ke-3 dari Pancasila adalah ‘Persatuan Indonesia’. Telah kita ketahui
bersama bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, golongan, bahkan
memiliki bahasa daerah yang sangat beragam. Perbedaan itulah yang terkadang
menjadi alasan musuh-musuh NKRI untuk memecah belah bangsa. Oleh sebab
itu sangat diperlukan semangat persatuan dalam jiwa rakyat Indonesia. Persatuan
tidak muncul dalam waktu yang singkat, namun memerlukan proses yang
panjang. Sejatinya, perbedaan bukan menjadi pemecah belah bangsa Indonesia.
Perbedaan justru harus diartikan sebagai bahan-bahan bangunan yang akan
mengokohkan bangunan bangsa ini. Jika di analogikan, tidak mungkin sebuah
bangunan hanya terdiri dari batu bata saja. Untuk menjadikan bangunan itu
sebuah rumah, diperlukan bahan baku lain seperti genting, kaca, semen, dan lain
sebagainya.
Terkait dengan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, persatuan Indonesia,
yaitu sila ke-3 Pancasila sangatlah berkaitan erat. Dalam hal ini terkait dengan
beragam profesi yang ada di Indonesia. Setiap orang tidak dilahirkan dengan
kemampuan yang sama. Pekerjaan yang berbeda dapat dikolaborasikan untuk
mewujudkan suatu tujuan bersama. Sesuai dengan butir-butir Pancasila
khususnya sila ke-3 bahwa rakyat Indonesia haruslah mampu menempatkan
persatuan dan kesatuan diatas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Dalam melakukan pencegahan dan penanganan, diperlukan adanya kolaborasi
dari komponen-komponen profesi yang berbeda latar belakang. Peningkatan
kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan terbukti sebanding dengan
kualitas pelayanan yang diberikan. Menurut penelitian Bosch dan Mansell
(2015), kolaborasi profesi dapat mencegah terjadinya peresepan obat yang salah,
meningkatkan laju kesembuhan pasien, berpengaruh baik terhadap keberhasilan
treatment, dan menurunkan angka morbiditas serta mortalitas.
Dokter tidak mungkin bekerja sendiri, ia membutuhkan bantuan dari perawat,
ahli gizi, pemerintah, dan terutama peran masyarakat untuk menekan angka
kejadian dIfteri. Penyakit ifteri biasanya meluas dengan cepat karena
transmisinya. Oleh karena itu dibutuhkan persatuan sebagai wujud sila ke-3
dengan mengkolaborasikan berbagai profesi yang ada untuk mengurangi dan
bahkan meniadakan kejadian difteri di Indonesia.

7. Sila 4
Hal terpenting yang terkandung di dalam sila keempat adalah sebagai warga
negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban yang sama. Hak tiap manusia tidak akan tercapai tanpa adanya
pemenuhan kewajiban terlebih dahulu. Hak mendasar yang dimiliki manusia,
termaktub dalam topik hak asasi manusia, di antaranya hak hidup. Kewajiban
yang hadir sebagai konsekuensi dari hak hidup adalah bagaimana tiap-tiap insan
menghormati dan mengusahakan kesejahteraan, rasa aman, dan memberikan
kesempatan hidup yang sama bagi seluruh manusia.
Dalam pasal ini, penting untuk diingat pula bahwa musyawarah menjadi kunci
bagi penyelesaian dari berbagai permasalahan yang hadir di Indonesia, negeri kita
tercinta. Sebagai prinsip utama dari penyelesaian permasalahan berdasarkan
permusyawaratan adalah mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi, serta berusaha melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati
bersama dengan penuh tanggung jawab.
Merebaknya kasus KLB merupakan sebuah pelanggaran terhadap Pancasila.
KLB timbul sebagai efek dari timbulnya pelanggaran menolak vaksinasi dan
tindakan preventif yang telah dirancang untuk menunjang kesejahteraan umum.
Adanya kasus KLB jelas bertentangan dengan khususnya sila keempat karena
artinya terdapat oknum yang tidak bisa menghargai serta menghormati keputusan
tertinggi yang dicapai dari musyawarah, sekaligus menaati peraturan yang telah
dibentuk sebagai hasil dari musyawarah mufakat. Akibatnya banyak pihak yang
dirugikan, bahkan KLB telah menjadi ancaman nasional yang dapat mengganggu
stabilitas bangsa dan negara.

8. Sila 5
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang berbunyi “setiap orang berhak atas kesehatan”, memperoleh
kesehatan merupakan hak setiap orang. Selain memiliki kesamaan hak atas
kesehatan, kita juga memiliki kewajiban yang sama untuk mendukung
tercapainya hak tersebut seperti yang tertuang pada ayat 1 pasal 9 UU Nomor 36
Tahun 2009 “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.”
Kejadian luar biasa (KLB) dilihat dari Pancasila sila ke-5 saling berkaitan.
Dalam sila ke-5 ini kita semua diajak untuk menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban, khususnya di bidang kesehatan.
Pasien-pasien yang ikut terjangkit wabah berhak memperoleh pelayanan
kesehatan untuk tindakan dan pengobatan yang diperlukan. Mereka yang tidak
terjangkit pun berhak memperoleh perlindungan dari penularan wabah penyakit,
misalnya dengan pemberian vaksinasi. Pemerintah khususnya Dinas Kesehatan
terkait dan pihak rumah sakit berkewajiban untuk melakukan penyelidikan dan
penanggulangan KLB, memberikan penanganan bagi yang sakit, dan
mengedukasi serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap KLB.
Kemudian, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat bersama-
sama menurunkan risiko terjadinya KLB.

9. Kesimpulan dan Saran


Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri dilihat dari sudut pandang Pancasila,
merupakan bentuk dari penolakan vaksinasi oleh masyarakat, namun seluruh
lapisan masyarakat berhak memperoleh pelayanan kesehatan untuk tindakan dan
pengobatan. Selain itu, dalam mengatasi KLB tersebut, dibutuhkan kolaborasi
dari berbagai macam profesi sebagaimana dicantumkan pada sila ketiga. KLB
dapat dicegah sejak dini, yaitu dengan upaya imunisasi DPT seluruh anggota
keluarga, dibantu dengan penyuluhan akan pentingnya imunasasi, dan edukasi
terkait bahaya penyakit difteri serta hal-hal yang harus dilakukan apabila terdapat
beberapa gejala yang diderita anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.
Penyuluhan dan edukasi tersebut dapat mencegah pelanggaran nilai-nilai
pancasila dengan bentuk menolak vaksinasi yang bertujuan untuk menunjang
kesejahteraan umum.
REFERENSI:

Bosch, B., & Mansell, H. (2015). Interprofessional collaboration in health


care: Lessons to be learned from competitive sports. Canadian pharmacists journal :
CPJ = Revue des pharmaciens du Canada : RPC, 148(4), 176–179.
doi:10.1177/1715163515588106
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2018. Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia
Kejadian Luar Biasa Difteri. IDAI statement. Available on:
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-
indonesia-kejadian-luar-biasa-difteri
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2017. FAQ Seputar Kegiatan Outbreak
Response Immunization (ORI) Difteri. IDAI statement. Available on:
http://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-
response-immunization-ori-difteri
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Menkes: Difteri Menular,
Berbahaya, dan Mematikan Namun Bisa Dicegah dengan Imunisasi. Depkes RI.
Available on: http://www.depkes.go.id/article/view/17121200002/menkes-difteri-
menular-berbahaya-dan-mematikan-namun-bisa-dicegah-dengan-imunisasi.html
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Ini Makna KLB Difteri.
Depkes RI. Available on: http://www.depkes.go.id/article/view/17121200001/ini-
makna-klb-difteri.html
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pemerintah Optimis KLB
Difteri Bisa Teratasii. Depkes RI. Available on:
http://www.depkes.go.id/article/view/18011500004/pemerintah-optimis-klb-difteri-
bisa-teratasi.html
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
949/MENKES/SK/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1501/MENKES/PER/X//2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat
Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai