Disusun oleh:
RAHAYU FATMAWATI/18292
ALHADI HAKIM/18815
ALIF INDIRALARASATI/18816
CYRILLA MAYA V/18829
GABRIEL ADVENIA G/18843
HANIIFA H. HENDY/18846
RIZQI RACHMA DEWI/18863
VIKA NARFA AULIA/18874
DIANA WIJAYANTI/19044
RAFIF ADIANTO A W/19123
2. Kasus KLB
Pada akhir Desember 2017, Indonesia menghadapi KLB Difteri.
Difteri adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheriae dan ditandai dengan adanya peradangan pada selaput saluran
pernafasan bagian atas, hidung dan kulit.
Selama tahun 2017, KLB Difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi
dengan jumlah 954 kasus dan 44 kematian. Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9
Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 provinsi (DKI,
Banten, Jabar dan Lampung) dan tidak ada kematian. Pada tahun 2018 tidak ada
penambahan Kabupaten/Kota yang melaporkan adanya KLB Difteri. Data
terakhir, terdapat 85 kab/kota dari total 170 kab/kota yang sudah tidak
melaporkan kasus baru. Itu artinya KLB di 85 Kabupaten/Kota tersebut telah
berakhir.
3. Upaya Penanganan Kasus
a. Peran Pemerintah
Menurut lampiran Permenkes RI Nomor 1501/MENKES/PER/X//2010
tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangan, penanggulangan KLB meliputi:
1. Penyelidikan epidemiologi dan surveilans
Penyelidikan epidemiologi dilaksanakan sesuai dengan perkembangan
penyakit dan kebutuhan upaya penanggulangan. Tujuan penyelidikan
epidemiologi adalah untuk:
a. Mengetahui gambaran epidemiologi KLB difteri.
b. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam penyakit difteri.
c. Mengetahui faktor yang memengaruhi terjadinya penyakit difteri termasuk
sumber dan cara penularan penyakit.
d. Menentukan cara penanggulangan KLB.
Surveilans di daerah KLB dan daerah yang berisiko terjadi KLB
dilaksanakan lebih intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut
waktu dan tempat, serta dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya
penanggulangan yang sedang dilaksanakan. Surveilans meliputi:
a. Menghimpun data kasus baru pada kunjungan berobat di pos dan unit
kesehatan; membuat tabel, grafik dan pemetaan; melakukan analisis
kecenderungan KLB dari waktu ke waktu dan analisis data menurut tempat dan
kelompok masyarakat.
b. Mengadakan pertemuan berkala petugas lapangan dengan kepala desa, kader,
dan masyarakat untuk membahas perkembangan penyakit dan upaya
penanggulangan yang telah dilakukan.
c. Memanfaatkan hasil surveilans dalam upaya penanggulangan KLB.
2. Penatalaksanaan penderita
Penatalaksanaan penderita meliputi pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan serta upaya pencegahan penularan penyakit. Upaya pencegahan
penularan penyakit dilakukan dengan pengobatan dini, tindakan isolasi, evakuasi
dan karantina sesuai penyakit. Isolasi dapat dilakukan dengan memisahkan pasien
difteri di ruang rawat inap khusus infeksi. Penatalaksanaan penderita
dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat lain yang sesuai untuk
kebutuhan pelayanan kesehatan.
Selain itu, penatalaksanaan penderita juga meliputi penyuluhan kepada
masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan berperan aktif dalam
penemuan dan penatalaksanaan penderita di masyarakat. Dapat juga dilakukan
kerja sama pimpinan daerah, tokoh masyarakat, serta lembaga swadaya
masyarakat untuk melaksanakan penyuluhan kepada masyarakat.
b. Peran Masyarakat
Upaya penanggulangan dari aspek pencegahan harus dilakukan bersama-sama
dengan tindakan deteksi dini kasus, pengobatan kasus, rujukan ke rumah sakit,
mencegah penularan, dan memberantas karier. Upaya pencegahan utamanya
dapat ditujukan kepada masyarakat supaya tidak meningkatkan angka kejadian
difteri pada KLB. Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
• Kenali gejala difteri.
• Segera ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri
tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor), khususnya anak
berumur < 15 tahun.
• Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteri agar
segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
apakah anak benar menderita difteri.
• Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus
segera diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa
kuman) difteri dan mendapat pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat badan
selama 5 hari).
• Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.
d. Peran Mahasiswa
Mahasiswa sejatinya bagian dari masyarakat sehingga peran-peran yang perlu
dilakukan masyarakat seperti mengenali gejala difteri dan segera mencari
pertolongan tenaga kesehatan juga aplikatif terhadap mahasiswa. Perbedaannya,
mahasiswa dapat berperan lebih aktif untuk mengedukasi sekitarnya sesuai
dengan kompetensi mereka. Pelajari penyakit difteri, gejalanya, penyebab dan
penularannya, serta hal-hal yang perlu diwaspadai. Mahasiswa sebaiknya ikut
berperan dalam memberikan pemahaman ke keluarga, teman sepermainan,
lingkungan, serta masyarakat yang dapat mereka jangkau. Selain itu, mahasiswa
juga dapat melakukan advokasi agar kasus kejadian luar biasa terkait
ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat.
4. Sila 1
Sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Fokusnya adalah
hubungannya antara manusia dengan Tuhan. Karena Negara adalah produk
manusia jadi Agama harus Hidup dalam negara. Indonesia memposisikan diri
bukan sebagai Negara Sekuler, namun juga bukan negara dengan basis Agama
tertentu.
Dalam konteks KLB, Sila pertama menghendaki segala upaya Agama until
menjaga kestabilan dan berusaha mungkin menjadikan KLB kondusif. Mengingat
masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Indonesia menjamin Hak
asasi manusia dalam menjalankan agamanya dengan bebas. Dalam kejadian luar
biasa, para pemeluk Agama harus tetap memegang teguh sila pertama.
KLB atau wabah dapat dianggap sebagai hukuman dari Tuhan. Pemahaman
tersebut dalam kondisi demografi dan sosial masyarakat Indonesia dapat
menambah kekacauan dan peningkatan tensi antar Komunitas tertentu dalam
masyarakat atau bahkan antar umat Lintas Agama. Para pemuka Agama harus
senantiasa mendukung penanganan KLB dari sudut pandang Agama.
5. Sila 2
Bunyi Pancasila sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” Nilai
kemanusiaan berarti memiliki sikap dan perilaku sesuai norma-norma sosial dan
nilai moral di masyarakat, memperlakukan segala hal dengan semestinya.
Tercermin dalam penanggulangan KLB/kejadian luar biasa/ wabah
penyakit menular, sehingga dapat memberikan perlindungan dan memberikan
hak asasi manusia serta menjunjung tinggi persamaan derajat manusia, yaitu
dengan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosial ,agama, dan
suku, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, yaitu dengan memperlakukan
manusia selayaknya memberikan hak asasi manusia, harkat dan martabat setiap
warga dan penduduk Indonesia sesuai dengan norma sosial dan nilai moral
sebagai manusia.
Seorang tenaga kesehatan masyarakat tentu harus memupuk nilai
kemanusiaan dalam diri, karena tenaga kesehatan masyarakat selalu berhadapan
dengan masyarakat. Selalu menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dan sikap
menolong sesama, karena sudah menjadi tugas seorang kesehatan masyarakat
untuk membantu dan menolong masyarakat dalam bidang kesehatan. Selalu
menghormati orang lain, tenaga kesehatan masyarakat harus bersikap santun saat
melayani masyarakat.
Keadilan, bahwa penanggulangan wabah penyakit menular harus
mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bahwa, tidak boleh membeda-
bedakan masyarakat yang akan dilayaninya berdasarkan status sosial,agama dan
juga suku.
6. Sila 3
Bunyi sila ke-3 dari Pancasila adalah ‘Persatuan Indonesia’. Telah kita ketahui
bersama bahwa Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, golongan, bahkan
memiliki bahasa daerah yang sangat beragam. Perbedaan itulah yang terkadang
menjadi alasan musuh-musuh NKRI untuk memecah belah bangsa. Oleh sebab
itu sangat diperlukan semangat persatuan dalam jiwa rakyat Indonesia. Persatuan
tidak muncul dalam waktu yang singkat, namun memerlukan proses yang
panjang. Sejatinya, perbedaan bukan menjadi pemecah belah bangsa Indonesia.
Perbedaan justru harus diartikan sebagai bahan-bahan bangunan yang akan
mengokohkan bangunan bangsa ini. Jika di analogikan, tidak mungkin sebuah
bangunan hanya terdiri dari batu bata saja. Untuk menjadikan bangunan itu
sebuah rumah, diperlukan bahan baku lain seperti genting, kaca, semen, dan lain
sebagainya.
Terkait dengan kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri, persatuan Indonesia,
yaitu sila ke-3 Pancasila sangatlah berkaitan erat. Dalam hal ini terkait dengan
beragam profesi yang ada di Indonesia. Setiap orang tidak dilahirkan dengan
kemampuan yang sama. Pekerjaan yang berbeda dapat dikolaborasikan untuk
mewujudkan suatu tujuan bersama. Sesuai dengan butir-butir Pancasila
khususnya sila ke-3 bahwa rakyat Indonesia haruslah mampu menempatkan
persatuan dan kesatuan diatas kepentingan pribadi ataupun golongan.
Dalam melakukan pencegahan dan penanganan, diperlukan adanya kolaborasi
dari komponen-komponen profesi yang berbeda latar belakang. Peningkatan
kolaborasi interprofesi dalam pelayanan kesehatan terbukti sebanding dengan
kualitas pelayanan yang diberikan. Menurut penelitian Bosch dan Mansell
(2015), kolaborasi profesi dapat mencegah terjadinya peresepan obat yang salah,
meningkatkan laju kesembuhan pasien, berpengaruh baik terhadap keberhasilan
treatment, dan menurunkan angka morbiditas serta mortalitas.
Dokter tidak mungkin bekerja sendiri, ia membutuhkan bantuan dari perawat,
ahli gizi, pemerintah, dan terutama peran masyarakat untuk menekan angka
kejadian dIfteri. Penyakit ifteri biasanya meluas dengan cepat karena
transmisinya. Oleh karena itu dibutuhkan persatuan sebagai wujud sila ke-3
dengan mengkolaborasikan berbagai profesi yang ada untuk mengurangi dan
bahkan meniadakan kejadian difteri di Indonesia.
7. Sila 4
Hal terpenting yang terkandung di dalam sila keempat adalah sebagai warga
negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan,
hak dan kewajiban yang sama. Hak tiap manusia tidak akan tercapai tanpa adanya
pemenuhan kewajiban terlebih dahulu. Hak mendasar yang dimiliki manusia,
termaktub dalam topik hak asasi manusia, di antaranya hak hidup. Kewajiban
yang hadir sebagai konsekuensi dari hak hidup adalah bagaimana tiap-tiap insan
menghormati dan mengusahakan kesejahteraan, rasa aman, dan memberikan
kesempatan hidup yang sama bagi seluruh manusia.
Dalam pasal ini, penting untuk diingat pula bahwa musyawarah menjadi kunci
bagi penyelesaian dari berbagai permasalahan yang hadir di Indonesia, negeri kita
tercinta. Sebagai prinsip utama dari penyelesaian permasalahan berdasarkan
permusyawaratan adalah mementingkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi, serta berusaha melaksanakan hasil keputusan yang telah disepakati
bersama dengan penuh tanggung jawab.
Merebaknya kasus KLB merupakan sebuah pelanggaran terhadap Pancasila.
KLB timbul sebagai efek dari timbulnya pelanggaran menolak vaksinasi dan
tindakan preventif yang telah dirancang untuk menunjang kesejahteraan umum.
Adanya kasus KLB jelas bertentangan dengan khususnya sila keempat karena
artinya terdapat oknum yang tidak bisa menghargai serta menghormati keputusan
tertinggi yang dicapai dari musyawarah, sekaligus menaati peraturan yang telah
dibentuk sebagai hasil dari musyawarah mufakat. Akibatnya banyak pihak yang
dirugikan, bahkan KLB telah menjadi ancaman nasional yang dapat mengganggu
stabilitas bangsa dan negara.
8. Sila 5
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang berbunyi “setiap orang berhak atas kesehatan”, memperoleh
kesehatan merupakan hak setiap orang. Selain memiliki kesamaan hak atas
kesehatan, kita juga memiliki kewajiban yang sama untuk mendukung
tercapainya hak tersebut seperti yang tertuang pada ayat 1 pasal 9 UU Nomor 36
Tahun 2009 “Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan,
mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.”
Kejadian luar biasa (KLB) dilihat dari Pancasila sila ke-5 saling berkaitan.
Dalam sila ke-5 ini kita semua diajak untuk menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban, khususnya di bidang kesehatan.
Pasien-pasien yang ikut terjangkit wabah berhak memperoleh pelayanan
kesehatan untuk tindakan dan pengobatan yang diperlukan. Mereka yang tidak
terjangkit pun berhak memperoleh perlindungan dari penularan wabah penyakit,
misalnya dengan pemberian vaksinasi. Pemerintah khususnya Dinas Kesehatan
terkait dan pihak rumah sakit berkewajiban untuk melakukan penyelidikan dan
penanggulangan KLB, memberikan penanganan bagi yang sakit, dan
mengedukasi serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap KLB.
Kemudian, baik pemerintah, tenaga kesehatan, maupun masyarakat bersama-
sama menurunkan risiko terjadinya KLB.