Anda di halaman 1dari 5

1) Etiopatologi

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara jelas. Interaksi yang

kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan

diduga paling mempengaruhi. Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal,

dan aksi Hipotalamus-Hipofis-Adrenal (HHA) juga dapat mempengaruhi

kepekaan dan ekspresi klinis SLE (McMurray and May, 2003).

Perkembangan SLE juga dipengaruhi dari gangguan mekanisme

pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan

kompleks imun (Bertsias George et al, 2012). Hilangnya toleransi imun,

meningkatnya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan

supresi sel B dan peralihan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan

hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Disiregulasi

sistem imun juga disebabkan oleh paparan faktor eksternal atau lingkungan

seperti radiasi ultraviolet dan infeksi virus dalam periode yang cukup lama

(Kanda et al., 1999).

Faktor genetik mempunyai risiko yang meningkat pada saudara kandung

dan kembar monozigot. Banyak gen yang berperan terutama pada gen yang

mengkode unsur-unsur sistem imun seperti kompleks histokompabilitas

mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 dengan komponen

komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen yaitu C1q,

C1r, C1s, C4, dan C2. Gen-gen lain ikut berperan yaitu gen yang mengkode

reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. Gen MHC (Major

Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Sekitar


6% penderita SLE mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2, C4,

atau C1q (Isbagio et al., 2009). Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal

membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan

respon imun (Kasjmir et al., 2011).

Faktor lingkungan seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus

dapat menyebabkan SLE. Sinar UV dapat menyebabkan self immunity dan

hilangnya toleransi. Hal ini dikarenakan sinar UV dapat menyebabkan

apoptosis keratinosit dan memicu pelepasan mediator imun dalam fase

induksi yang dapat mengubah sel DNA serta mempengaruhi sel

imunoregulator (Bertsias George et al, 2012). Perokok memiliki resiko tinggi

terkena SLE dikarenakan rokok mengandung amino lipogenik aromatic

(McMurray and May, 2003). Konsumsi obat-obatan juga dapat meningkatkan

apoptosis keratinosit. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi

ekspresi sel permukaan dan apoptosis (Kanda et al., 1999).

Faktor hormonal juga mempengaruhi terjadinya SLE.. Penderita SLE

mayoritas adalah permpuan dikarenakan terdapat hubungan antara kadar

hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen dapat mengaktifasi sel B

poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan pada

pasien SLE. Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk menjadi antigen

nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi pada struktur sel

lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi berpengaruh

dalam pembentukan kompleks imun dan aktifasi komplemen yang


mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan seperti kulit dan ginjal

(Bertsias George et al, 2012).

b) Histopatologi

Pada kelainan papul lichen planus, terdapat gambaran histopatologi

yang khas sebagai berikut.

1) Ortokeratosis yang padat dengan sangat sedikit sel parakeratotik

2) Lapisan granular menebal tidak sama dan berbentuk baji

3) Akantosis irregular dan rete ridges memanjang tidak teratur dan

sebagian meruncing seperti gergaji

4) Kerusakan lapisan sel basal dengan degenerasi vasuolar dan nekrosis

dari sel atau badan koloid

5) Infilrat limfositik dermal seperti pita di dekat epidermis (Rosa, 2008).

Gambaran histopatologi pada mukosa mulut sedikit berbeda. Pada

umumnya hanya ditemukan parakeratosis , tetapi terkadang orto dan

parakeratosis dapat terlihat dengan lapisan granular. Epitel mulut dapat

menyerupai epidermis kulit dikarenakan terdapat vakuol yang

mengandung glikogen berkurang, Banyak sel plasma di dalam infiltrat

seperti pita, dan badan koloid menjadi lebih sedikit. Epitel lebih sering

menjadi atropik. Ulkus dapat terjadi dikarenakan nekrosis epitel atau

vesikel yang pecah. Displasia epitel yang sedang atau berat dapat menjadi

risikoterjadinya karsinoma (Carrozzo and Thorpe, 2009).


c) Patofisiologi

OLP merupakan penyakit autoimun mediasi sel T namun

penyebabnya tidak diketahui secara pasti pada kebanyakan kasus.

Peningkatan produksi sitokin TH1 merupakan kunci dan penanda awal

terjadinya LP, yang diinduksi secara genetik, dan adanya polimorfisme

genetik dari sitokin yang terlihat mendominasi, baik pada lesi yang

berkembang hanya pada mulut(diasosiasikan dengan interferon-gamma

(IFN-γ) atau pada mulut dan kulit(diasosiasikan dengan tumor nekrosis

faktor-alfa (TNF-α)).

Sel T yang teraktivasi kemudian akan tertarik dan bermigrasi

melalui epitelium mulut, lebih jauh akan tertarik oleh adhesi molekul

interseluler (ICAM-1 dan VCAM), regulasi ke atas dari protein matriks

ekstraseluler membran dasar epitelial, termasuk kolagen tipe IV dan VII,

laminin dan integrin, dan kemungkinan oleh jalur sinyal CXCR3 dan

CCR5. Sitokin disekresi oleh keratinosit misalnya TNF-α dan interleukin

(IL)-1, IL-8, IL-10, dan IL-12 yang juga kemotaktik untuk limfosit. Sel T

kemudian akan berikatan pada keratinosit dan IFN-γ, dan regulasi

berkelanjutan dari p53, matriks metalloproteinase 1 (MMP1) dan MMP3

memicu proses kematian sel (apoptosis), yang akan menghancurkan sel

basal epithelial (Ismail et al., 2007).

Perjalanan kronis dari OLP merupakan hasil dari aktivasi faktor

nuklear mediator inflamasi kappa B (NF), dan inhibisi dari jalur

pengontrol faktor pertumbuhan transformasi (TGF-beta) yang


menyebabkan hiperproliferasi keratinosit yang memicu timbulnya lesi

putih (Sugerman and Savage, 2002).

Anda mungkin juga menyukai