PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istana ini merupakan salah satu peninggalan bersejarah berjayanya Kesultanan Islam di
tanah Borneo Kalimantan. Letaknya yang berada di hilir Sungai Kapuas, membuatnya
menjadi salah satu ikon wisata di Kabupaten Sintang ini. Biasanya masyarakat Sintang
menikmati sore hari sambil nongkrong memandang Sungai Kapuas di sekitar area depan
Istana Al Mukarramah ini.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
3. Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana bentuk Istana Al Mukarramah
2
BAB 2
PEMBAHASAN
Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama
Hindu dari Semenanjung Malaka (ada pula yang mengatakan berasal dari Jawa) bernama Aji
Melayu.
Ia datang ke daerah Nanga Sepauk (sekitar 50 km dari Kota Sintang) pada abad ke-4
dan mendirikan perkampungan baru di tempat itu. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat
dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk /phallus/ yang
oleh masyarakat setempat disebut "Batu Kelebut Aji Melayu". Putung Kempat adalah istri
Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan
batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.
Pada masa Kerajaan Sintang Hindu, Istana Sintang dibangun berdasarkan arsitektur
rumah panjang, rumah khas masyarakat Dayak. Namun, setelah Kerajaan Sintang menganut
agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana,
dibangunlah gedung istana yang baru dengan nama Istana Al Mukarrammah. Istana ini
dibangun pada tahun 1937 dengan arsitek seorang Belanda. Konstruksi bangunannya masih
menggunakan struktur rangka kayu, tetapi dengan pondasi tiang bersepatu beton. Atap istana
yang terbuat dari sirap kayu belian juga diperkuat dengan plafon dari semen asbes. Demikian
pula dinding istana dilapisi dengan semen setebal _+_ 3 cm. Sampai saat ini, kompleks Istana
Sintang masih terawat dengan baik.
3
Di sebelah barat istana, terdapat bangunan masjid dengan nama Masjid Jamik Sultan
Nata Sintang. Di bagian muka masjid itu, terdapat jembatan penyeberangan dari kayu yang
menghubungkan masjid dan istana yang dipisahkan oleh jalan beraspal. Jembatan ini
dibangun untuk memudahkan raja dan kerabat istana melaksanakan shalat di masjid.
Konstruksi awal masjid ini dibangun pada masa Pangeran Tunggal dengan kapasitas sekitar
50 orang. Perbaikan dan perluasan masjid kemudian dilakukan oleh penerusnya, yakni Sultan
Nata pada tahun 1672 M.
4
sultan, serta serambi belakang. Bangunan pengiring di sisi barat bangunan utama digunakan
sebagai ruang istirahat dan ruang keluarga sultan, sementara yang di sisi timur difungsikan
sebagai ruang tidur tamu sultan. Secara keseluruhan Istana Al Mukarrammah Sintang
memiliki luas bangunan sekitar 652 m2 .
Hingga saat ini, Istana Sintang masih digunakan sebagai kediaman sultan, yaitu
Pangeran Ratu Sri Negara H.R.M Ikhsan Perdana yang dinobatkan pada 22 Juli 2006 lalu.
Hanya saja, bangunan pengiring di sisi barat kediaman sultan saat ini digunakan sebagai
tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kerajaan Sintang, sementara di sisi timur,
selain sebagian digunakan untuk menyimpan foto dan lukisan raja-raja Sintang, juga
dimanfaatkan sebagai ruang kelas Taman kanak-kanak (TK) Dara Djuanti.
Dari teras bangunan utama, wisatawan dapat memandang taman rumput yang cukup
luas di halaman depan istana, juga dermaga kecil, serta pertemuan aliran Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi. Berbeda dengan keraton-keraton di Jawa, keraton-keraton Melayu umumnya
dibangun di sisi sungai besar. Istana Kadriah Pontianak , Keraton Paku-Surya Negara
Sanggau , serta Keraton Ismahayana Landak juga dibangun di tepi sungai. Hal ini
menyiratkan bahwa "jalan raya" yang menjadi nadi lalu-lintas utama ketika itu adalah jalur
sungai.
Selain dapat menikmati lansekap istana, para pelancong juga dapat menyaksikan
berbagai macam benda-benda bersejarah di istana ini. Di halaman istana, Anda dapat
menyaksikan sebuah meriam dan situs batu kundur, yaitu sebuah batu peninggalan Demong
Irawan sebagai lambang berdirinya Kerajaan Sintang. Di serambi depan istana, para turis
dapat melihat salinan Undang-undang Adat Kerajaan Sintang yang dibuat pada masa
pemerintahan Sultan Nata (disalin ulang pada tahun 1939) serta silsilah raja-raja yang pernah
memerintah Kerajaan Sintang. Sedangkan pada bangunan sisi barat dan timur pengunjung
dapat melihat koleksi meriam dalam berbagai ukuran, peralatan-perlatan dari logam (seperti
talam, kempu, dan bokor), koleksi senjata seperti tameng dan tombak, naskah Al-Quran
tulisan tangan pada masa Sultan Nata, berbagai macam stempel dan surat-surat kerajaan, serta
foto-foto dan lukisan Raja-raja Sintang.
5
Istana ini juga masih menyimpan barang-barang hantaran Patih Logender (seorang
perwira dari Majapahit) ketika meminang Putri Dara Juanti (putri Demong Irawan -pendiri
Kerajaan Sintang), antara lain seperangkat gamelan, patung garuda dari kayu, serta gundukan
tanah dari Majapahit.
Saat Ade Mohammad Djohan diangkat menjadi Ketua Mejelis Kerajaan Sintang,
beliau juga terpilih sebagai anggota DPR wakil Kalimantan Barat. Dari jabatan itu hubungan
persahabatan dengan Sultan Hamid II asal Kerajaan Kadriyah Pontianak sangatlah dekat,
apalagi Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio yang berdasarkan
keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) No. 2 tahun 1949 dipercaya untuk
mengkoordinir kegiatan perancangan lambang Negara. Sehubungan dengan penugasan itu
beliau mulai melakukan pendekatan ke berbagai kalangan termasuk melakukan studi
komperatif atas lambang Negara barat maupun timur. Dalam rangka mencari ide untuk
membuat lambang Negara, terdapat kesempatan Sultan Hamid II berbicara kepada Ade
Mohammad Djohan (sebagai kepala Swapraja Sintang anggota parlemen RIS). Ade
menyatakan bahwa lambang kerajaan Sintang adalah Burung Garuda. Mendengar ucapan
Ade, Sultan Hamid sangat tertarik dan sejak itu baik di Jakarta ataupun di Pontianak terjadi
diskusi yang sangat intensif antara keduanya. Akhirnya, Sultan Hamid II memberitahukan
kepada Ade bahwa beliau telah memutuskan akan membuat rancangan Lambang Negara RIS
berbentuk Burung Garuda.[3]
Pada bulan Januari 1950, Sultan Hamid II berkunjung ke Kapuas Hulu dan ia
sengaja singgah di kesultanan Sintang untuk membuktikan sebuah fakta yang yang pernah
dibicarakan dengan Ade tentang lambang kerajaan Sintang. Sultan Hamid II kagum dan
sangat tertarik melihat fakta yang ada. Oleh karena itu, Sultan Hamid II segera meminjam
burung Garuda yang ada di kerajaan Sintang tersebut untuk dibawa ke Pontianak. Burung
Garuda yang dipinjam oleh Sultan Hamid saat itu berukuran kecil yang menghiasi puncak
penyangga tiang Gantungan Gong yang dibawa Patih Lohgender dari Majapahit. Saat itu
pihak swapraja Sintang tak keberatan, tetapi dengan beberapa syarat, salah satunya Sultan
6
Hamid II harus menandatangani semacam berita acara peminjaman, dan waktu peminjaman
sendiri tak boleh lebih dari 1 bulan. Fakta bahwa bentuk Burung Garuda yang pernah dibawa
Sultan Hamid II tersebut kini disimpan di Istana Kesultanan Sintang (Museum Dara Juanti),
yang telah ratusan tahun lalu menjadi pusat Kerajaan Sintang.[3]
Menurut A.M Sulaiman (83), salah seorang pegawai swapraja Sintang yang turut
menjadi saksi peminjaman lambang kerajaan Sintang oleh Sultan Hamid II pada masa itu,
juga membenarkan adanya peminjaman tersebut. Sebagai saksi hidup peminjaman, beliau
juga menyatakan, tak bermaksud menyangkal fakta sejarah bahwa Sultan Hamid II yang
mengusulkan Burung Garuda Sebagai lambang negara, tetapi mereka hanya berharap ada
pelurusan kronologi sejarah. Faktanya, Sultan Hamid II memang meminjam lambang
kerajaan Sintang yang berbentuk Burung Garuda, dan lambang tersebut dijadikan acuan
Sultan Hamid dalam mengusulkan Burung Garuda Sebagai Lambang Negara.
Lambang Negara Republik Indonesia “Lahir dari Sintang” sudah tepat, karena bahan
yang dipinjam oleh Sultan Hamid II berbentuk fisik dan bukan sketsa gambar garuda di
berbagai candi di pulau Jawa seperti yang dikirimkan oleh K.H. Dewantara kepada Sultan
Hamid II, apalagi seperti pernyatan J.U Lontaan yang menyatakan: "Ukiran burung Garuda.
Tak berbeda dengan gambar burung garuda lambang bangsa Indonesia", Lambang kerajaan
Sintang dengan nama Burung Garuda, sedangkan Lambang Negara olehSultan Hamid II
7
menamakan Elang Rajawali Garuda Pancasila. Dan baru diatur dalam amendemen kedua
UUD 1945 pada tahun 2000 barulah dicantumkan bahwa “Garuda Pancasila” merupakan
Lambang Negara Indonesia.
Oleh sebab itu, lambang Negara Republik Indonesia lahir dari lambang kerajaan
Sintang sudah sangat jelas sekali karena artefak burung Garuda itu sendiri masih utuh dan
terpelihara dengan baik, bahkan dalam rangka memperingati “60 tahun Garuda Pancasila”
oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Museum Konperensi Asia Afrika
Bandung meminjam artefak burung Garuda itu untuk dijadikan icon pameran "60 tahun
Garuda Pancasila". Karena pameran itu mendapat sambutan puluhan ribu pengunjung, maka
pihak kementerian luar negeri melalui museum konperensi Asia Afrika memperpanjang
peminjaman untuk tingkat Asia di Bandung sehingga peminjaman artefak tersebut menjadi 6
(enam) bulan lamanya. Alhasil artefak burung Garuda yang berasal dari eks kerajaan Sintang
mampu menyedot puluhan bahkan ratusan ribu pengunjung dari berbagai lapisan masyarakat.
8
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
3. Istana Al Mukarramah merupakan salah satu bukti dari perkembangan Islam di Sintang.
B. Saran
1. Hendaknya kita menjadi orang yang lebih ingin mengetahui banyak tentang potret dan
peninggaln sejarah yang ada di daerah kita
2. Hendaknya kita dapat mengambil ibrah dari Sejarah Istana Al Mukarramah di Sintang
dengan mempelajari dan mengetahui sejarah peninggalan, selain wawasan kita bertambah
kita juga akan lebih memahami kebudayaan-kebudayaan tempo dulu dan mengambil setiap
pelajaran dari sejarah tersebut.
9
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Museum_Dara_Juanti
http://sintang-city.blogspot.com/2011/08/asal-usul.html
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/kalimantan-4/sultan-of-sintang/
10