Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Definisi Sediaan Tetes Mata
Tetes mata adalah sediaan steril yang berupa larutan atau suspensi yang
digunakan dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar
kelopak mata dari bola mata (Ansel, 1989).
Obat didalam tubuh akan mengalami suatu proses yang disebut dengan
farmakokinetik. Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam
tubuh atau efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses,
yaitu proses absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E).
Metabolisme atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk
aktif merupakan proses eliminasi obat. (Gunawan, 2009).
1) Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian
obat adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan
lain-lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan
cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena memiliki
permukaan absorpsi yang sangat luas, yakni 200 meter persegi (panjang
280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan,
2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam
tubuh, melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Pada
level seluler, obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport
aktif dan transport pasif.
2) Distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik
ke jaringan dan cairan tubuh. Distribusi obat yang telah diabsorpsi
tergantung beberapa faktor :

a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke organ
berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah
terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan distribusi ke organ
lain seperti kulit, lemak dan otot lebih lambat.
b. Permeabilitas kapiler
Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat.
c. Ikatan Protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein
dapat terikat atau bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan
tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas yang dapat memberikan efek.
Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat
protein.
3) Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah
komposisi obat sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang
keluar tubuh. Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara :
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan
bisa dimetabolisme lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah
dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs). Metabolisme obat terutama
terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic reticulum (mikrosom) dan
di cytosol. Tempat metabolisme yang lain (ekstrahepatik) adalah :
dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon
(oleh flora usus). Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang
nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi
melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya
diubah menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang
aktif, atau menjadi toksik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme :


1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, penyakit
hepar seperti sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat
memetabolisme obat dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya:
Rokok, Keadaan stress, Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs
orang tua
4) Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh.
Sebagian besar obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin.
Obat juga dapat dibuang melalui paru-paru, eksokrin (keringat, ludah,
payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi
dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui
ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi
glomerulus, sekresi aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami
kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per
tahun. Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke
dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi melalui paru terutama
untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).
Obat mengalami ekskresi bertujuan untuk mendetoksifikasi obat,
karena telah diketahui bahwa obat dianggap racun/ zat asing oleh tubuh.
Organ ekskresi juga bermacammacam contohnya yang paling umum
adalah ginjal, kemudian paru-paru, saliva, keringat, air susu, empedu, dan
lain-lain. Proses ekskresi melalui ginjal terdapat 3 tahapan yaitu :
a. Filtrasi glomerulus
b. Sekresi / reabsorpsi tubulus aktif
c. Difusi aktif
2.1.2 Syarat-syarat Sediaan Tetes Mata (Ansel, 1989)
Tetes mata adalah larutan berair atau larutan berminyak yang idealnya
harus memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a) Sediaan harus steril
b) Sediaan bebas dari efek iritan
c) Sediaan sebaiknya mengandung pengawet yang cocok untuk mencegah
pertumbuhan dari mikroorganisme yang dapat berbahaya yang dihasilkan
selama penggunaan.
d) Jika dimungkinkan larutan berair harus isotonis dengan sekresi lakrimal
konsentrasi ion hidrogen sebaliknya cocok untuk obat khusus, dan
idelanya tidak terlalu jauh dari netral.
e) Sediaan harus stabil secara kimia.
2.1.3 Keuntungan & Kerugian Sediaan Tetes Mata (Ansel, 1989)
a) Keuntungan
1. Larutan mata memiliki kelebihan dalam hal kehomogenan,
bioavaibilitas, dan kemudahan dalam penanganan.
2. Suspensi mata mempunyai keuntungan dimana adanya partikel zat
aktif dapat memperpanjang waktu tinggal pada mata sehingga
meningkatkan waktu terdisolusinya dengan air mata, sehingga terjadi
peningkatan bioavaibiltas dan efek terapinya.
b) Kerugian
1. Volume larutan yang dapat ditampung oleh mata sangat terbatas, maka
larutan yang berlebihan dapat masuk ke dalam nasal cavity lalu masuk
ke saluran GI menghasilkan absorpsi sistemik yang tidak diinginkan.
2. Kornea dan rongga mata sangat kurang tervaskuralisasi, selain itu
kapiler pada retina dan iris relatif non permeabel sehingga umumnya
sediaan untuk mata hanya berefek lokal saja
3.
2.1.4 Definisi Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik berspektrum luas yang berasal
dari beberapa jenis streptomyces misalnya S. Venezuelae, S.
phaeochromogenes var. chloromycetius dan S. omiyanensis. Setelah para
ahli berhasil mengelusidasi strukturnya, maka sejak tahun 1950
kloramfenikol sudah dapat di sintesis secara total. S. Venezuelae petama kali
diisolasi oleh Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil di
Venezuela (Tjay, 2002).
a) Farmakodinamik
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman.
Obat ini terikat pada ribosom sub unit 50s dan menghambat enzim
peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses
sintesis protein kuman.
Kloramfenikol bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi
kloramfenikol kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman
tertentu. Spektrum anti bakteri meliputi D.pneumoniae, S. Pyogenes,
S.viridans, Neisseria, Haemophillus, Bacillus spp, Listeria, Bartonella,
Brucella, P. Multocida, C.diphteria, Chlamidya, Mycoplasma, Rickettsia,
Treponema, dan kebanyakan kuman anaerob (Shargel, 2005).
b) Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar
puncak dalam darah tercapai hingga 2 jam dalam darah. Untuk anak
biasanya diberikan dalam bentuk ester kloramfenikol palmitat atau
stearat yang rasanya tidak pahit. Bentuk ester ini akan mengalami
hidrolisis dalam usus dan membebaskan kloramfenikol.
Untuk pemberian secara parenteral diberikan kloramfenikol suksinat
yang akan dihidrolisis dalam jaringan dan membebaskan kloramfenikol.
Masa paruh eliminasinya pada orang dewasa kurang lebih 3 jam, pada
bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50%
kloramfenikol dalam darah terikat dengan albumin. Obat ini
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan
otak, cairan serebrospinal dan mata.
Di dalam hati kloramfenikol mengalami konjugasi, sehingga waktu
paruh memanjang pada pasien dengan gangguan faal hati. Sebagian di
reduksi menjadi senyawa aril amin yang tidak aktif lagi. Dalam waktu 24
jam, 80-90% kloramfenikol yang diberikan oral diekskresikan melalui
ginjal. Dari seluruh kloramfenikol yang diekskresi hanya 5-10% yang
berbentuk aktif. Sisanya terdapat dalam bentuk glukoronat atau hidrolisat
lain yang tidak aktif. Bentuk aktif kloramfenikol diekskresi terutama
melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi
tubulus. Pada gagal ginjal, masa paruh kloramfenikol bentuk aktif tidak
banyak berubah sehingga tidak perlu pengurangan dosis. Dosis perlu
dikurangi bila terdapat gangguan fungsi hepar (Shargel, 2005).
c) Indikasi
Banyak perbedaan pendapat mengenai indikasi penggunaan
kloramfenikol, tetapi sebaiknya obat ini digunakan untuk mengobati
demam tifoid dan meningitis oleh H.Infuenzae juga pada pneumonia;
abses otak; mastoiditis; riketsia; relapsing fever; gangrene; granuloma
inguinale; listeriosis; plak (plague); psitikosis; tularemia; whipple
disease; septicemia; meningitis.Infeksi lain sebaiknya tidak diobati
dengan kloramfenikol bila masih ada antimikroba lain yang masih aman
dan efektif. Kloramfenikol dikontraindikasikan pada pasien neonatus,
pasien dengan gangguan faal hati, dan pasien yang hipersensitif
terhadapnya. Bila terpaksa diberikan pada neonatus, dosis jangan
melebihi 25 mg/kgBB sehari (Tjay, 2002).
d) Efek Samping
Reaksi saluran cerna, Bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah,
glositis, diare, dan enterokolitik. Reaksi alergi, Kloramfenikol dapat
menimbulkan kemerahan kulit, angioudem, urtikaria dan anafilaksis.
Kelainan yang menyerupai reaksi Herxheimer dapat terjadi pada
pengobatan demam Tifoid walaupun yang terakhir ini jarang dijumpai.
Reaksi neurologik, Dapat teihat dalam bentuk depresi, bingung, delirium
dan sakit kepala (Tjay, 2002).

e) Bentuk Sediaan (Ansel, 1989)


Kloramfenikol Terbagi dalam bentuk sediaan :
1. Kapsul 250 mg, Dengan cara pakai untuk dewasa 50 mg/kg BB atau
1-2 kapsul 4 kali sehari. Untuk infeksi berat dosis dapat ditingkatkan 2
x pada awal terapi sampai didapatkan perbaikan klinis.
2. Salep mata 1 %
3. Obat tetes mata 0,5 %
4. Salep kulit 2 %
5. Obat tetes telinga 1-5 %
3.2 Uraian Bahan
1. Kloramfenikol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : CHLORAMPHENICOLUM
Nama Lain : Kloramfenikol
Rumus Molekul : C11H12Cl2N2O5
Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng
memanjang; putih hingga putih kelabu atau putih
kekuningan; larutan praktis netral terhadap lakmus
P; stabil dalam larutan netral atau larutan agak
asam
Kelarutan : Sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol,
dalam propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil
asetat.
2. Etanol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : AETHANOLIUM
Nama Lain : Etanol
BM/RM : 46,068 gr/mol / C2H5OH
Pemerian : cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap,
mudah bergerak, bau khas, rasa panas, mudah
terbakar.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dan dalam eter P.
Penyimpanan : Dalam Wadah Tertutup Rapat
3. NaOH (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : NATRII HYDROXYDUM
Nama Lain : Natrium Hidroksida
BM/RM : 40,00/NaOH
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau keeping,
kering, keras, rapuh dan menunjukkan susunan
hablur; putih, mudah meleleh basah. Sangat alkalis
dan korosif. Segera menyerap karbondioksida.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air dan etanol (95%) P.
Penyimpanan : Dalam Wadah Tertutup Baik

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi IV, 490-492, 502-
508, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Penerbit Universitas Indonesia,
Jakarta
Dirjen POM. 1979, Farmakope Indonesia Edisi III. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia : Jakarta.

Gunawan, Gan Sulistia. 2009, Farmakologi dan terapi Edisi 5. Jakarta :


Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Tjay, T. H., dan Rahardja, K., 2002, Obat-obat Penting; Khasiat, Penggunaan,
dan Efek-efek Sampingnya, Edisi V, 387, PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.

Shargel, L., and Yu, A. B. C., 2005, Biofarmasetika dan Farmakokinetika


Terapan, diterjemahkan oleh Fasich, dan Siti Sjamsiah, Edisi II, 21-25, 88-
99, Penerbit Universitas Airlangga, Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai