KELOMPOK DISKUSI 3
1.1. Pemicu
Seorang anak laki-laki 16 tahun dengan riwayat demam dan batuk pilek
seminggu yang lalu dilaporkan secara mendadak mengalami kelemahan tungkai
kanan bawah kemudian disusul kelemahan tungkai kiri bawah, kemudian
kelemahannya menjalar dari ekstermiras bawah naik ke atas sehingga terjadi juga
kelemahan kedua anggota gerak atas, akhirnya pasien mengalami keempat anggota
gerak disertai rasa nyeri kesemutan dan baal pada keempat ekstermitas. Pasien
tersebut mengalami sesak nafas dan sulit menelan, kemudian pasien dibawa ke IGD
RSUD. Pada pemeriksaan di unit gawat darurat, dokter menemukan pasien
mengalami gangguan pernafasan, pasien disarankan masuk ICU. Setelah masuk ICU
pasien mendapat pertolongan bantuan pernafasan dari ventilator.
Riwayat :
Infeksi a. Demam Laki-laki 16 tahun
b. Batuk pilek
IGD
Gangguan pernafasan
DD :
GBS
ICPD
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis
Tata Laksana
1.6. Hipotesis
Laki-laki 16 tahun mengalami GBS dan dibutuhkan pemeriksaan penunjang.
Gambar 2.1 Klasifikasi Neuron Berdasarakan Jumlah, Panjang, San Bentuk Percabangan
Neurit1
Gambar 2.2.1 Jalur motorik somatik untuk koordinasi dan kontrol gerakan.2
Impuls saraf untuk gerakan volunter menyebar dari korteks serebral ke LMN
melalui jalur motorik langsung. Jalur motorik langsung, yang juga dikenal sebagai
jalur piramida, terdiri dari akson yang turun dari sel piramida. Sel-sel piramidal
adalah neuron motorik atas dengan badan selnya terletak di area motor utama dan
daerah premotor dikorteks serebral (daerah 4 dan 6). Jalur Motorik langsung terdiri
dari jalur kortikospinalis dan jalur kortikobulbar.2
Jalur kortikospinalis menyampaikan impuls untuk kontrol otot-otot tungkai
dan badan. Akson UMN di korteks otak membentuk saluran kortikospinalis, yang
turun melalui kapsul internal dari serebral dan pedunculus cerebri dari otak tengah. Di
medulla oblongata, bundel akson dari saluran kortikospinalis membentuk tonjolan
ventral yang dikenal sebagai piramida. Sekitar 90% dari akson kortikospinalis
decussate (menyeberang) ke sisi kontralateral (berlawanan) di medulla oblongata dan
kemudian turun ke sumsum tulang belakang di mana mereka bersinaps dengan neuron
sirkuit lokal atau LMN. 10% yang tetap pada sisi ipsilateral (yang sama) akhirnya
berdekusiasi di tingkat sumsum tulang belakang di mana mereka bersinaps dengan
neuron sirkuit lokal atau neuron motorik bawah. Dengan demikian, korteks serebral
kanan mengontrol sebagian besar otot di sisi kiri tubuh, dan korteks serebral kiri
mengontrol sebagian besar otot di sisi kanan tubuh. Ada dua jenis saluran
kortikospinalis: saluran kortikospinalis lateral dan saluran kortikospinalis anterior.2
1. Saluran kortikospinalis lateral. Akson kortikospinalis yang berdekusiasi di
medula membentuk saluran kortikospinalis lateral pada kolom putih lateral
sumsum tulang belakang. Akson ini bersinaps dengan neuron sirkuit lokal atau
LMN di cornu anterior sumsum tulang belakang. Akson dari LMN keluar
berakhir pada otot rangka yang mengendalikan gerakan di bagian distal dari
anggota gerak. Otot-otot distal bertanggung jawab untuk gerakan yang tepat,
lincah, dan sangat terampil dari tangan dan kaki. Contoh termasuk gerakan yang
diperlukan bermain piano.
2. Saluran kortikospinalis anterior. Akson kortikospinalis yang tidak berdekusiasi di
medula membentuk saluran kortikospinalis anterior di kolom putih anterior dari
sumsum tulang belakang. Pada setiap tingkat sumsum tulang belakang, beberapa
akson ini berdekusiasi melalui komisura putih anterior. Kemudian, mereka
bersinaps dengan neuron sirkuit lokal atau neuron motorik bawah di cornu
anterior. Akson dari neuron motorik bawah berakhir di otot rangka yang
mengendalikan gerakan badan dan bagian proksimal dari anggota gerak.
Gambar 2.2.2 Jalur kortikospinalis2
Jalur anterolateral (spinotalamikus). Impuls saraf untuk nyeri, suhu, gatal, dan
menggelitik dari tungkai, batang, leher, dan kepala posterior naik ke korteks serebral
melalui jalur anterolateral (spinotalamikus).2
Gambar 2.3.2 Jalur anterolateral (spinotalamikus).2
2.7 GBS
2.7.1 Definisi
Guillain Barre Syndrome adalah kondisi inflamasi yang mengenai
sistem syaraf perifer yang bersifat akut yaitu dengan gambaran arefleksia yang
total yang terjadi dalam waktu dari 4-6 minggu semenjak terjadinya hiporefleksia
dan kondisi ini dimediasi oleh sistem imun.9
2.7.2 Etiologi
Sekitar 70% dari kasus GBS terjadi 1-3 minggu setelah proses infeksi
akut, biasanya pernapasan atau gastrointestinal. Campylobacter jejuni. infeksi
virus herpes manusia, virus CMV, Epstein-Barr, virus lain (misalnya, HIV,
hepatitis E) dan juga Mycoplasma pneumoniae telah diidentifikasi sebagai agen
yang terlibat dalam infeksi sebagai mana ia memiliki imunisasi baru-baru ini.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa vaksinasi H1N1 meningkatkan sedikit
risiko GBS. Vaksin rabies jenis lama terlibat sebagai pemicu dari GBS di negara-
negara berkembang di mana saat ini masih digunakan.10
2.7.3 Epidemiologi
Sepuluh studi melaporka kejadian pada anak-anak (0-15 tahun), dan
menemukan kejadian tahunan menjadi antara 0,34 dan 1,34/100.000. kebanyakan
penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika Utara dan melaporkan
angka kejadian serupa tahunan, yaitu antara 0,84 dan1,91/100.000. rata-rata
pertahun 1-3/100.000 populasi dan perepuan lebih sering terkena dari pada laki-
laki dengan perbandingan rasio perempuan : laki-laki = 1,5 : 1 untuk semua usia.
Penurunan insiden selama waktu antara tahun 1980an dan 1990an ditemukan.
Sampai dengan 70% dari kasus GBS disebabkan oleh infeksi antesedan.11
Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk
paling umum di negara-negara barat dan berkontribusi 85% sampai 90% kasus.
Kondisi ini terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia
termuda dan tertua dilaporkan adalah masing-masing 2 bulan dan 95 tahun. Suia
rerata onset adalah skitar 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki.11
Guillain Barre Syndrome adalah penyebab paling umum dari acute
flaccid paralysis pada anak-anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
sering didapatkan di daerag Jepan dan Cina, terutama pada orang muda.11
Hal ini terjadi lebih sering selama musim panas, sporadic AMAN
seluruh dunia mempengaruhi 10% sampai 20% pasien dengan Guillain Barre
Syndrome. Miller-Fisher syndrome mempengaruhi antara 5% dan 10% pasien
GBS di Negara-negara barat, tetapi lebih umum di Asia Timur, dengan 25%
terjadi di Jepang dan 19% di Taiwan.11
2.7.4 Klasifikasi
Guillain-Barré Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
adalah jenis paling umum ditemukan pada GBS, yang juga cocok
dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling
sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal.
Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi
limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag.12
2.7.6 Patofisiologi
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasinya terjadi demielinisasi akut pada Guillain-Barre Syndrome
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah: 14
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antobodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran
pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain-Barre Syndrome
dipengaruhi oleh respon imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya. Pada Guillain-Barre Syndrome, gangliosid merupakan target dari
antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya
kerusakan pada mielin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan
bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh.
Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan
gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan
tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni,
kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini
menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang
menginisiasi imunitas humoral maka sel T merespon dengan adanya infiltrasi
limfosist ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan
menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls
saraf.14
2.7.7 Menifestasi klinis
Kelemahan
Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan
simetris secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena
duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat
lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan
sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan
berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat
berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan
ventilasi. 11,15
Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variabel.7 Kebanyakan pasien
mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala
sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai
pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya
tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan
kaki. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal
dapat hadir. 11,15
Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan GBS, 89%
pasien melaporkan nyeri yang disebabkan GBS pada beberapa waktu
selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah
bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan
sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut. 11,15
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien
selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan
sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering
lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas
atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien.
Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan
GBS adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit
yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf,
ulkus dekubitus). 11,15
Perubahan otonom
Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan GBS.
Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi paroksimal, Hipotensi
ortostatik, Anhidrosis dan / atau diaphoresis. Retensi urin karena
gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus
dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. 11,15
Pernapasan
Empat puluh persen pasien GBS cenderung memiliki kelemahan
pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering
ditemukan adalah sebagai berikut; dispnea saat aktivitas, sesak napas,
kesulitan menelan, bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan
dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di
beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.11,15
2.7.8 Diagnosis14
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of
Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS).
Gejala utama
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas
dengan atau tanpa disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf
Gejala yang menyingkirkan diagnosis
1. Kelemahan yang sifatnya asimetri
2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
2.7.10 Komplikasi16
1. Kesulitan bernapas (gagal napas)
2. Kontraktur sendi atau kelainan bentuk lainnya.
3. Deep vein thrombosis (gumpalan darah yang terbentuk ketika
seseorang tidak aktif atau terbatas hanya pada tempat tidur).
4. Peningkatan risiko infeksi.
5. Tekanan darah rendah atau tidak stabil.
6. Kelumpuhan yang bersifat permanen.
7. Pneumonia.
8. Kerusakan kulit (ulkus)
9. Aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru-paru.
2.7.11 Prognosis
Pada umumnya, sekitar 3% sampai 5% pasien tidak dapat bertahan
dengan penyakitnya, tetapi pada sebagian kecil penderita dapat bertahan dengan
gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila
dengan keadaan antara lain pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal,
mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset, progresifitas
penyakit lambat dan pendek, dan terjadi pada penderita berusia 30-60 tahun.11,15
1. Snell RS. Clinical Neuroanatomy 7thed. New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2010.
2. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of anatomy & physiology. 2014.
3. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. Pacific Grove: Brooks
Cole; 201
4. "Paralysis Facts & Figures - Spinal Cord Injury - Paralysis Research
Center".Available from:Christopherreeve.org. Diakses pada 20 Desember 2016 .
5. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New York:
Mc-Graw Hill Co ; 1997. p.1089-1094.
6. Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical Syndrome. In :
Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management.
London: Springer-Verlag ; 1995.p.1-17.
7. Handisurya I, Utarna Y. Gambaran Klinis Motor Neuron Disease. Neurona.
1995; 12 : 21-26.
8. Martin JE, Swash M. The Pathology Of Motor Neuron Disease. In : Leigh PN,
Swash M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London:
Springer-Verlag ;1995.p.93-118.
9. Burns, Ted M, MD. Guillain Barre Syndrome, Semin Neurol 2008; 28(2) :152-
167.
10. Kasper DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine. 19th edition /
editors, Dennis L. Kasper, MD, William Ellery Channing, Professor of Medicine,
Professor of Microbiology, Department of Microbiology and Immunobiology,
Harvard Medical School, Division of Infectious Diseases, Brigham and Women’s
Hospital, Boston, Massachusetts [and five others]. New York: McGraw Hill
Education; 2015. 1 p.
11. Ropper HA, Brown HR. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th ed.
United States of America; 2005. p.1117-27.
12. Seneviratne U. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological Types and
Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National
Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003.
13. Diseases and Conditions Guillain-Barre syndrome. Available from: http:
//www.guillainbarresyndrome.net/. Diakses pada 12 December 2016.
14. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. 2000. Sindroma Guillain Barre: Neurologi
Klinis Dasar. Cetakan kedelapan. Jakarta: Dian Rakyat.
15. Yuki N, Hartung HP. Guillain–Barré Syndrome. N Engl J Med 2012;366:2294-
304.
16. Price, Sylvia A; Lorraine. 2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Ed 6. Jakarta : EGC.
17. Hoyle B. D. Chronic Acquired Demyelinating Symmetric Polyneuropathy
Classified by Pattern of Weakness Arch Neurol. 2003;60:260-264.
18. Markowitz J.A., Jeste S.S., Kang P.B. Child Neurology: Chronic inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy in children. 2008;71:e74-e78.
19. Köller H, Kieseier BC, Jander S, Hans-Peter Hartung. Chronic Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy. Volume 352:1343-1356. March 31, 2005.
20. Nates JL, Nunnally M, Kleinpell R, Blosser S, Goldner J, Birriel B, et al. ICU
Admission, Discharge, and Triage Guidelines: A Framework to Enhance Clinical
Operations, Development of Institutional Policies, and Further Research. Crit
Care Med. 2016 Aug;44(8):1553–602.