Anda di halaman 1dari 22

POLITIK DALAM ISLAM

MAKALAH
Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah umum pendidikan agama islam

Oleh:

Kelompok: 7 (tujuh)

1. Mutiara Ramadhanti
2. Sumini Ayu Setiyowati
3. Faridatul Meikhusna
4. Diah Nurmala
5. Desi Wulandari
6. Muhammad Zainul
7. Ridwan Setyo Nugroho
8. Shihabuddin Rajab A

UPT BSMKU
UNIVERSITAS JEMBER
2015

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan taufik
hidayahnya sehingga kita semua masih bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.
Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam pembuatan makalah ini.
Tetapi kami bisa menyelesaikan makalah ini tepat waktu. makalah agama
menyinggung akan “Politik Dalam Islam”.
Dalam penyusunan makalah ini penyusung mengucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang turut membantu dalam penyelesaian makalah ini baik
moril maupun materiil. Kepada para orangtua dari kami yang telah memberi
support dan motivasi untuk pembuatan makalah ini. Tidak lupa kami sampaikan
terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu dan membimbing
kami, kepada teman-teman mahasiswa yang juga sudah memberi kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Tentunya ada hal-hal yang ingin kami berikan kepada para mahasiswa dari
hasil makalah ini.Karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat menjadi
sesuatu yang berguna bagi kita bersama, bermanfaat bagi penulis khususnya, dan
bagi para pembaca pada umumnya. Penulis menyadari bahwa dalam menyusun
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya
makalah ini.

Minggu, 01 November 2015

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................................................ 3

BAB I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4

I.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 4

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Politik .......................................................................................... 5

2.2 Politik dalam Islam........................................................................................ 5

BAB III Pembahasan

3.1 Pengertian dari Sistem politik Islam ..................................................... 6

3.2 Politik Dalam Islam ....................................................................................... 7

3.3 Kedudukan Sistem Politik Islam ............................................................. 9

3.4 Prinsip Dasar Politik Dalam Islam........................................................13

3.4Prinsip-prinsip Hukum Antar Agama

atau Hukum Internasional .............................................................................16

3.5 Kontribusi Umat Islam terhadap Politik di Indonesia.................18

BAB IV Penutup

4.1 Kesimpulan .....................................................................................................20

4.2 Saran ..................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di setiap negara memiliki sistem politik yang berbeda-beda. Namun, Islam
memiliki aturan politik yang bisa membuat negara itu adil.Dalam Al-Qur’an
memang aturan politik tidak disebutkan, tetapi sistem politik pada jaman
Rasullullah SAW sangatlah baik. Kehidupan Rosulullah menunjukkan bahwa
beliau memegang kekuasaan politik disamping kekuasaan agama.Ketika beliau
dan para sahabat hijrah ke Madinah menciptakan kehidupan yang sejahtera yaitu
mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu sistem yaitu sosial politik
dibawah kekuasaan beliau(perjanjian Madinah)Beliau ingin semua penduduk
Madinah menghormati perjanjian yang disepakati. Setelah Rasulullah memiliki
kekuasaan secara politik di Madinah, beliau juga menjalin kesepakatan dengan
penguasa mekkah agar tidak terjadi perselisihan , penguasa mekkah mengingkari
sehingga terjadi perang Badar Al-kubra,Uhud,dll.
Islam memberi landasan kehidupan umat secara lengkap termasuk
politik,politik seperti apa Islam tidak menentukan secara konkrit,itulah sebabnya
hingga terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dalam menentukan
sistem politik Islam. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang mendorong
masyarakatnya menjalankan syari’at Islam.
Indonesia adalah sebuah negara Islam terbesar di dunia, namun bila
dikatakan negara Islam, dalam prakteknya islam kurang di aplikasikan dalam
sistem pemerintahan baik itu politik maupun demokrasinya. Hal itu berpengaruh
besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia di Indonesia, terutama pada
sistem yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia. Contoh kecil adalah
maraknya korupsi yang dikarenakan kurang transparannya pemerintahan di
indonesia. Hal tersebut membuat penulis membahas tentang Islam dalam aspek
politik dan demokrasi suatu negara dalam makalah ini.
Disini kita akan membahas tentang peranan agama Islam dalam
perkembangan politik di dunia saat ini, dengan mengkaji berbagai informasi
berdasarkan Al-Qur’an, Al Hadits dan sejarah sistem politik di masa Rasulullah
SAW.

4
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat kami rumuskan beberapa permasalahan,
yaitu :
1. Apa pengertian sistem politik dalam islam?
2. Apa asas-asas yang digunakan di politik islam ?
3. Bagaimana kedudukan sistem politik dalam islam?
4. Apa saja prinsip-prinsip dasar atau siasat dalam islam?
5. Apa prinsip-prinsip hukum antar agama atau hukum internasional?

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Politik


Perkataan politik berasal dari bahasa Latin Politicus dan bahasa Yunani
politicos, artinya (sesuatu yang) berhubungan dengan warga negara atau warga
kota. Kedua kata itu berasal dari kata polis maknanya kota. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1989), pengertian politik sebagai kata benda ada tiga. Jika
dikaitkan dengan ilmu artinya (1) pengetahuan mengenai kenegaraan (tentang
sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan
(kebijaksanaan, siasat dan sebagainya)mengenai pemerintahan atau terhadap
negara lain; dan (3) kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani
suatu masalah).

2.2 Politik dalam Islam


Di dalam Islam kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm, perkataan
al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan 210 kali
dalam Al-Qur‟an. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm yang telah-dialih
bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang, patokan atau
kaidah, dan keputusan atau vonis (pengadilan).

Politik Islam = Fiqh Siyasah

Secara harfiyah dapat diartikan sebagai mengurus, mengendali atau


memimpin sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu„alaihi wa-sallam:

“Adapun Bani Israil dipimpin oleh para nabi mereka”

Fiqh Siyasah dalam konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang


membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam).

Secara bahasa, Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat


amali melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan,
pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.

6
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian dari Sistem Politik Islam

Kata sistem berasal dari bahasa asing (Inggris), yaitu system, artinya
perangkat unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu
totalitas atau susunan yang teratur dengan pandangan, teori, dan asas. Sedangkan
kata politik pada mulanya berasal dari Bahasa Yunani atau Latin, Politicos atau
politicus, yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis, yang
berarti kota. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata politik diartikan sebagai
“ segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai
pemerintahan”. Sedangkan kata Islam, adalah agama yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci Al Qur’an yang diturunkan ke
dunia melalui wahyu Allah SWT. Dengan demikian, sistem politik islam adalah
sebuah aturan tentang pemerintahan yang berdasarkan nilai-nilai Islam.
Islam memang memberikan landasan kehidupan umat manusia secara
lengkap, termasuk di dalamnya kehidupan politik. Tetapi Islam tidak menentukan
secara konkrit bentuk kekuasaan politik seperti apa yang diajarkan dalam Islam.
Itulah sebabnya, kemudian terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
dalam merumuskan sistem politik Islam.
Kehidupan Rasulullah Muhammad SAW menunjukkan, bahwa beliau
memegang kekuasaan politik di samping kekuasaan agama. Ketika beliau dengan
para sahabat hijrah ke Madinah, kegiatan dan aktivitas yang beliau lakukan dalam
kehidupan sehari-hari untuk menciptakan sistem kehidupan yang stabil dan
harmonis serta kondusif adalah mempersatukan seluruh penduduk Madinah dalam
satu sistem sosial politik di bawah kekuasaan beliau, yang dikenal dengan
Perjanjian Madinah. Rasulullah tidak memaksa kaum Yahudi, Nasrani, dan
pemeluk agama lainnya untuk memeluk agama Islam, tetapi beliau
menginginkan semua penduduk Madinah menghormati perjanjian yang mereka
sepakati.
Setelah Rasulullah memiliki kekuasaan secara politik di Madinah, beliau
juga menjamin kesepakatan dengan penguasa Mekah agar tidak terjadi
perselisihan diantara kedua kekuasaan tersebut, sekalipun dalam perkembangan
selanjutnya penguasa Mekah mengingkari perjanjian yang ia tandatangani,
sehingga memicu peperangan yang cukup hebat dan dahsyat, seperti perang
Badar, perang Uhud, dan lain-lain.
Dalam kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan
dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari akar kata sasa-yasusu, yang biasa
diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata

7
yang sama, ditemukan kata sus, yang berarti penuh kuman, kutu atau rusak,
sementara dalam Al Qur’an tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata
sasa-yasusu, namun ini bukan berarti bahwa Al Qur’an tidak menguraikan
masalah sosial politik.
Banyak ulama ahli AL Qur’an yang menyusun karya ilmiah dalam
bidang politik dengan menggunakan Al Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai rujukan,
bahkan Ibnu Taimiyah (1263-1328) menamai salah satu karya ilmiahnya dengan
al-Siyasah al-Syar’iyah (politik keagamaan). Uraian Al Qur’an tentang politik
secara sepintas dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang hukum.
Kata ini pada mulanya berarti “ menghalangi atau melarang dalam rangka
aperbaikan”. Dari akar kata yang sama, terbentuk kata hikmah, yang pada
mulanya berarti kendali. Makna ini sejalan dengan asal makna kata sasa-yasusu-
sais-siyasah, yang berarti mengemudi, mengendalikan, pengendali dan cara
pengendalian (M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas
pelbagai persoalan umat, 1997: 417).
Kata siyasah, sebagaimana dikemukakan diatas, diartikan dengan politik,
dan juga sebagaimana terbaca, sama dengan kata hikmat. Di sisi lain,
terdapat persamaan makna antara kata hikmah dan politik. Sementara ulama
mengartikan hikmah sebagai kebijaksanaan, atau kemampuan menangani suatu
masalah, sehingga mendatangkan manfaat atau menghindarkan mudharat. Dengan
demikian, sistem politik Islam adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain
ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan Negara, siapa pelaksana
kekuasaan tersebut, apa dasar, dan bagaimana cara untuk menentukan kepada
siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana
kekuasaan itu bertanggung jawab, dan bagaimana bentuk tanggung jawab
berdasarkan nilai-nilai agama Islam (sesuai dengan sumber ajaran Islam, yaitu Al
Qur’an, Hadits dan Ijtihad).

3.2 Politik Dalam Islam


Di dalam Islam kekuasaan politik kait mengait dengan al-hukm, perkataan
al-hukm dan kata-kata yang terbentuk dari kata tersebut dipergunakan 210 kali
dalam Al-Qur‟an. Dalam bahasa Indonesia, perkataan al-hukm yang telah-dialih
bahasakan menjadi hukum intinya adalah peraturan, undang-undang, patokan atau
kaidah, dan keputusan atau vonis (pengadilan).

Politik Islam = Fiqh Siyasah


Secara harfiyah dapat diartikan sebagai mengurus, mengendali atau
memimpin sebagaimana sabda Rasulullah sallallahu alaihi wa-sallam:
“Adapun bani israil dipimpin oleh nabi mereka”

8
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan Ilahiyah saja yang
dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatan umat juga dibahas dan diatur dalam
Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam yang dalam bahasa
agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam konteks terjemahan diartikan sebagai materi yang
membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam). Secara bahasa Fiqh
adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali melalui dalil-dalil
yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan,
pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah adalah segala
perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih
jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak menetapkannya dan
bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh Siyasah adalah
hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya. Pembahasan diatas
dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam disebut Fiqh Siyasah.

Fiqh Siyasah ini menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian,
yaitu:
1. Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri dari dua suku kata. Arti
Siyasah dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah
undang-undang atau peraturan.Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah
adalah keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang
bagi kemaslahatan umat.Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh Siyasah
adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak
menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.

2. Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda, kekayaan, dan harta. Oleh karena
itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu pemerintahan yang mengatur mengenai
keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah adalah hak dan
kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara guna
kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan
Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal
yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.Dari
pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa siyasah maliyah adalah hal-hal yang
menyangkut kas negara serta keuangan negara yang berasal dari pajak, zakat

9
baitul mal serta pendapatan negara yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

3. Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan, kekuasaan, wewenang, serta
kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna sebagai kekuasaan kepala
negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan internasional, masalh
territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan, pengasingan tawanan politik,
pengusiran warga negara asing. Selain itu juga mengurusi masalah kaum Dzimi,
perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak dengan kaum Dzimi, hudud, dan
qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa Siyasah Dauliyah lebih
mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang bersifat luar negeri, serta
kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna kedaulatan negara untuk
pengakuan dari negara lain.

4. Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah adalah perang,
keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah adalah
wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang atau
darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah Harbiyah adalah pemerintah
atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal dan masalah yang berkaitan
dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak dan jaminan keamanan
perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang, dan masalah
perdamaian (Pulungan, 2002. hal:41).
Konsekuensi dari asas bahwa hubungan Internasional dalam Islam adalah
perdamaian saling membantu dalam kebaikan

3.3 Kedudukan Sistem Politik Islam

Sampai saat ini, umat Islam berbeda pendapat tentang kedudukan politik
dalam syari’at Islam, paling tidak dalam hubungan antara Islam dan
ketatanegaraan. Dalam hal ini ada tiga aliran / pendapat, yaitu :
1. Pendapat pertama yang berpendirian, bahwa Islam bukanlah semata-mata
agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan. Sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan yang
lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk
kehidupan bernegara. Para penganut pendapat ini pada umumnya berpendapat
bahwa (1) Islam adalah agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula
antara lain sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya, dalam

10
bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada system ketatanegaraan
Islam, dan tidak perlu mengetahui , bahkan jangan meniru sistem
ketatanegaraan Barat, (2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang
harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad
SAW dan oleh empat al-Khulafa ‘al-Rasyidin. Tokoh-tokoh utama dari
pendapat ini antaralain Syeikh Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Syeikh
Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling vocal dan agresif adalah Maulana
Abul A’la al-Maududi.

2. Pendapat kedua yang berpendirian, bahwa Islam adalah agama dalam


pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut pendapat ini, Nabi Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul biasa,
seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak
manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi
budi pekerti luhur, akhlakul karimah, akhlak yang mulia, dan Nabi tidak
pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara. Diantara
tokoh-tokoh yang terkemuka dari pendapat ini adalah Ali Abdul Raziq dan
Dr. Thaha Husein.

3. Pendapat ketiga yang menolak pendapat, bahwa Islam adalah suatu agama
yang serba lengkap, dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi golongan ini juga menolak anggapan, bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan
Maha Penciptanya saja. Aliran ini berpendirian, bahwa dalam Islam tidak
terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini yang
terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, seorang
pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad
dan Fi Manzil al-Wahyi (Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, 1993: 2).

Sejarah membuktikan, bahwa Nabi, kecuali sebagai Rasul, meminjam


istilah Harun Nasution, beliau adalah kepala agama, dan juga kepala Negara. Nabi
menguasai satu wilayah Yatsrib yang kemudia diganti oleh Baginda Rasul dengan
nama Madinah al-Munawwarah (kota yang bersinar)sebagai wilayah kekuasaan
Nabi, sekaligus menjadi pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai
aturan dasar kenegaraannya (Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran, 1996: 227).
Dalam praktik, kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dalam pengurusan
umat Islam yang pertama di kota Madinah, Nabi Muhammad SAW bertindak

11
selain sebagai kepala agama (yakni Nabi), juga beliau juga bertindak sebagai
kepala Negara, walaupun tidak pernah beliau menyatakan dirinya sebagai kepala
Negara, seorang raja atau penguasa Negara. Tindakan beliau yang dianggap
sebagai kepala Negara (pemerintahan Negara) itu ialah misalnya pernyataan peran
dan perdamaian dengan pihak musuh ( kafir Quraisy) dan kafir Arab sekeliling
Mekkah, hubungan surat (diplomatik) dengan Kaisar Kerajaan Romawi Heraklius,
Raja Mesir Mukaukis dan Kisra Khorsu II Raja Persia, selain raja-raja Arab
sendiri (Bahrain dan lainnya). Walaupun isi surat-surat Nabi Muhammad SAW itu
semata-mata bernada ajakan Islam, namun dalam sejarah juga berarti hubungan di
antara kepala Negara yang satu dengan kepala Negara yang lain.
Kedudukan Nabi Muhammad SAW memimpin umat Islam dalam
negaranya sendiri tampak pada amal-amal dalam kegiatan pemerintahan Negara
(politik Islam), misalnya soal mengadili sengketa diantara umat (judikatif),
mengatur dan mengutus pejabat ke daerah-daerah untuk keamanan umat Islam
(eksekutif) dan selalu mengadakan musyawarah (legislatif) dalam membuat aturan
umat, mengatur pertahanan dan keamanan serta kesejahteraan umat. Di dalam
ktab Sittah, yakni 6 buah kitab kumpulan Hadits Nabi yang terkenal (antara lain
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), semua orang dapat meneliti betapa
banyaknya hadits-hadits Nabi yang membicarakan hal-hal yudikatif, eksekutif,
dan legislatif, hal-hal yang jelas merupakan amal-amal kenegaraan.
Setelah Nabi wafat, kedudukan beliau sebagai kepala Negara digantikan
Abu Bakar Siddik, yang merupakan hasil kesepakatan tokoh-tokoh sahabat,
selanjutnya disebut khalifah. Sistem pemerintahannya disebut Khilafh. Sistem
khilafah ini berlangsung hingga kepemimpinan berada di bawah kekuasaan
khalifah terakhir, Ali Ibnu Abi Thalib. Sistem pemerintahan selepas Ali Ibnu Abi
Thalib mengambil bentuk kerajaan, meskipun raja-raja yang menjadi para
penguasa menyatakan dirinya sebagai khalifah. Di dalam sistem kerajaan, khalifah
bukan dipilih secara demokratis, melainkan diangkat secara turun temurun. Sistem
kerajaan ini berlangsung hingga akhir abad ke tujub belas, saat Turki Usmani
mulai mengalami kekalahan-kekalahan dari bangsa Eropa. Akhir abad tujuh belas
hamper semua Negara Islam masuk dalam perangkap penjajahan Barat. Lamanya
penjajahan di Negara satu dengan Negara lainnya tidak sama.
Dengan semangat perjuangan yang tinggi dan rasa senasib
sepenanggungan, maka pada awal abad sembilan belas, Negara-negara Islam
mulai melepaskan diri satu persatu dari kolonialisme Barat yang sangat kejam.
Dan dalam waktu bersamaan, muncullah nasionalisme-nasionalisme. Sistem
pemerintahan bagi Negara-negara yang baru melepaskan diri dari kolonialisme
berbeda-beda. Ada yang muncul mengambil bentuk kerajaan, kesultanan, dan ada
yang muncul dengan bentuk cabinet presidensil atau cabinet parlementer.

12
Menurut Harun Nasution, Khilafah (pemerintahan) yang timbul sesudah
wafatnya Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai bentuk kerajaan, tetapi lebih
dekat kepada Republik, dalam arti kepala Negara dipilih dan tidak mempunyai
sifat turun temurun. Sebagaimana diketahui, khalifah pertama adalah Abu Bakar
dan beliau tidak mempunyai hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW.
Khalifah kedua, Umar Ibnu Khattab, juga tidak mempunyai hubungan darah
dengan Abu Bakar, demikian pula khalifah ketiga, Utsman Ibnu Affan dan
Khalifah ke empat, Ali Ibnu Abi Thalib, satu sama lain tidak mempunyai
hubungan darah. Mereka adalah sahabat Nabi, dan dengan demikian, hubungan
diantara mereka merupakan hubungan persahabatan , dengan kata lain, pemilihan
khalifah berdasarkan kapabilitas, kapasitas, dan kemampuan skill dan leadership
dengan jalan musyawarah dan kesepakatan.
Sungguhpun demikian, Ibnu Khaldun (w. 1406 M) secara pragmatis
menerima penggabungan keduanya, dalam arti ia menganggap bahwa tidak ada
perbedaan prinsipil antara sistem khilafah dengan sistem kerajaan. Selanjutnya ia
menyatakan, bahwa kekhalifahan maupun kerajaan adalah khilafah Allah di antara
manusia bagi pelaksanaan segala peraturan di antara manusia. Al-Mawardi (w.
1058 M) dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah mengemukakan pembahasan
teoritis dan idealistis menyangkut khilafah. Menurutnya, Allah adalah penguasa
yang absolute bagi alam semesta dan merupakan pokok wewenang bagi Negara.
Melalui surat amanat, wewenang itu didelegasikan kepada masnusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi. Lembaga khilafah itu berdasarkan wahyu, yakni
pernyataan-pernyataan Al Qur’an untuk pegangan Khalifah Allah, bukan semata-
mata berdasarkan akal. Khalifah dicalonkan dan dipilih oleh para pemuka
masyarakat, yakni ahlu al-halli wa al’aqli. Khalifah mesti mengikuti suri tauladan
khalifah yang sebelumnya. Pemilihan atau penunjukan seorang khalifah mesti
diikuti oleh bai’at dari masyarakat.
Idealisme moral dari teori politik tentang khilafah dibuktikan lagi secara
khusus oleh kualifikasi jabatan tersebut, yaitu memiliki keadilan, punya cukup
ilmu bagi penafsiran dan pelaksanaan hukum, berwatak taat, memiliki keberanian
untuk memimpin perang, sehat fisik, dan turunan Quraisy, yakni suku Nabi
Muhammad SAW. Dalam kedudukannya sebagai amirul mukminin, ia memimpin
masyarakat dalam peperangan. Tugas khalifah yang paling utama adalah menjaga
dan melaksanakan syari’ah , mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dia
adalah penguasa, pengawas dan pelindung Islam, juga pembela keimanan dan
ketakwaan.
Berbeda dengan al-Mawardi, Ali Abd al-Raziq dalam bukunya al-Ahkam
al-Sulthoniyyah (Islam dan Ketatanegaraan) berpendapat, bahwa sistem
pemerintahan tidak disinggung-singgung oleh Al Qur’an dan al-Sunnah. Oleh
karena itu dalam ajaran Islam tidak terdapat ketentuan-ketentuan tentang corak

13
Negara. Nabi Muhammad SAW hanya mempunyai tugas kerasulana dan dalam
misi beliau tidak termasuk pembentukkan Negara. Selanjutnya ia menyatakan,
sistem khilafah timbul sebagai perkembangan yang seharusnya dari sejarah Islam.
Nabi Muhammad SAW meninggal dunia dan dengan wafatnya beliau mestilah
ada yang menggantikan beliau dalam mengurus soal umat. Dengan jalan
demikianlah Abu Bakar muncul sebagai Khalifah atau pengganti beliau, dan
bukan pengganti Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi. Abu Bakar sebenarnya
tidak mempunyai tugas keagamaan. Beliau hanyalah kepala Negara dan bukan
kepala agama. Begitu pula Umar Ibnu Khattab, Utsman Ibnu Affan dan Ali Ibnu
Abi Thalib. Soal corak dan bentuk Negara bukanlah soal agama, tetapi soal
duniawi dan diserahkan kepada akal manusia untuk menentukannya. OLeh karena
itu tindakan Mustafa Kamal pada tahun 1924 M yang menghapuskan khilafah dari
sistem kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan dengan ajaran
Islam, dengan kata lain, tidak menyimpang dari sumber ajaran Islam, yaitu Al
Qur’an dan Al-Sunnah.
Muhammad Rasyid Ridha memberikan reaksi keras terhadap gagasan Ali
Abdul Raziq, Muhammad Rasyid Ridha merasa perlu membuat satu karya yang
secara khusus membahas tentang kedudukan khilafah dalam Islam sebagai
jawaban terhadap pemikiran sekuler Ali Abdul Raziq dalam sebuah buku yang
populer, yaitu Al-Khilafah au al Imamah al-Uzhma (kekhalifahan atau
kepemimpinan agung). Secara garis besar, uraian dalam buku tersebut berkisar
antara lain, definisi khilafah, hukumnya mendirikan lembaga khilafah, sebagai
syarat-syarat untuk dapat menduduki jabatan itu, syarat-syarat untuk menjadi ahlu
al-halli wa al-aqdi dan jumlahnya, keputraan mahkota dan lain sebagainya.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, khilafah adalah system
pemerintahan yang harus dipertahankan di dunia Islam untuk mewujudkan
persatuan dan kesatuan umat Islam (jami’ah Islamiyah). Pada saat itu, buku al-
Islam wa Ushul al-Hukmi, karya Ali Abdul Raziq bukan hanya dilarang beredar
oleh ulama al-Azhar, bahkan Ali Abdul Raziq pun dikeluarkan dari barisan kibar
al-ulama al-Azhar, Kairo, Mesir. Muhammad Rasyid Ridha sendiri menulis
sebuah buku yang berjudul al-Khilafah au al-Imamat al-Uzhma, yang isinya
sanggahan terhadap bahasan utama dalam karya Ali Abdul Raziq.
Kalau kita melihat perkembangan politik Islam di Negara Indonesia,
paling tidak ada beberapa hal yang kita perlu pikirkan dan mengemasnya ke
dalam perspektif religio politik baru tentang hubungan antara Islam dan Negara,
antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Pertama, dalam pandangan mereka, tidak ada bukti yang tegas bahwa Al
Qur’an dan Sunnah Nabi mewajibkan kaum muslimin untuk mendirikan
Negara Islam. Menurut pengamatan mereka, eksperimentasi politik Nabi
Muhammad tidak mengandung unsur proklamsi berdirinya sebuah Negara

14
Islam. Karenanya mereka menolak agenda politik para pemimpin dan aktivitas
politik Islam yang lebih awal, yang menuntut pembentukan sebuah Negara
Islam atau Negara yang berdasarkan ideologi Islam.
2. Kedua, mereka mengakui bahwa Islam memberi seperangkat prinsip social
politik. Meskipun demikian, mereka memandang bahwa Islam bukanlah
ideology. Karenanya dalam pandangan mereka, ideology Islam itu tidak ada,
bahkan menurut sebagian dari mereka, ideologisasi Islam dapat dianggap
sebagai mereduksi Islam.
3. Ketiga, karena Islam dipahami sebagai agama yang kekal dan universal, maka
pemahaman kaum muslimin terhadapnya tidak boleh dibatasi hanya kepada
pengertian formal dan legalnya, khususnya yang di bangun dalam konteks
ruang dan waktu tertentu. Pemahaman itu harus didasarkan kepada penafsiran
yang menyeluruh, yang menerapkan petunjuk tekstual dan doktrinalnya ke
dalam situasi dan konteks kontemporernya. Sudut pandang ini pada gilirannya,
meniscayakan transformasi Islam ke dalam prinsip-prinsip dan praktik-praktik
kontemporer.
4. Keempat, mereka percaya bahwa hanya Allah SWT yang mengetahui
kebenaran mutlak. Dengan demikian, sebenarnya hampir tidak mungkin bagi
seorang manusia untuk menjangkau realitas Islam yang mutlak. Dalam
penilaian mereka, pemahaman kaum muslimin terhadap doktrin-doktrin
keagamaan mereka pada dasarnya bersifat relative dalam nilai, dan karenanya
dapat berubah. Dengan adanya keragaman penafsiran terhadap Islam di satu
sisi, dan kenyataan bahwa Islam tidak mengakui system kependetaan dalam
beragama (la rahbaniyyah fi al-Islam) di sisi lain, maka tak seorang pun dapat
mengklaim bahwa pemahamannya tentang Islam adalah yang paling benar dan
paling otoritatif dibandingkan yang lain termasuk dalam sistem politik Islam.
(Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik
Politik Islam di Indonesia, 1998: 135). Karena itu, perlu sekali bagi kaum
muslim untuk mengembangkan toleransi beragama, baik secara internal
maupun eksternal termasuk tentunya dalam sistem politik Islam.

3.4 Prinsip Dasar Politik Dalam Islam

Al Qur’an menegaskan bahwa, kebenaran itu datangnya dari Allah SWT,


jangan sekali-kali diragukan, sebagaimana disebutkan dalam QS. 2 : 147.
Ditegaskan pula dalam QS. 3: 60, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah
SWT, jangan engkau termasuk mereka yang meragukannya. Juga terdapat
penegasan bahwa kebenaran dating dari Allah SWT, manusia bebas menentukan
pilihannya, menerima kebenaran itu atau menolaknya, sebagaimana firman Allah
dalam QS. 18 (al-Kahfi) : 29. Sebagai umat Islam, maka tentu saja kita

15
mengambil prinsip-prinsip dasar berdasarkan Al Qur’an dan al-Hadits sebagai
sumber referensi dan rujukan dalam berbagai hal termasuk dalam urusan politik.
Al Qur’an sebagai sumber ajaran utama dan pertama agama Islam
mengandung ajaran tentang nilai-nilai dasar yang harus diaplikasikan dan
diimplentasikan dalam pengembangan sistem politik Islam. Nilai-nilai dasar
tersebut adalah:
1. Keharusan mewujudkan persatuan dan kesatuan umat, sebagaimana
tercantum dalam QS. 23 (al-Mukminun): 52. Dengan demikian, tidak
dapat disangkal bahwa Al Qur’an memerintahkan persatuan dan kesatuan.
Hal ini dipertegas lagi dalam QS. 21 (al-Anbiya’): 92.
Perlu digaris bawahi, bahwa makna umat dalam konteks tersebut adalah
pemeluk agama Islam. Sehingga ayat tersebut pada hakekatnya
menyatakan bahwa agama umat Islam adalah agama yang satu dalam
prinsip-prinsip (ushul)-nya, tiada perbedaan dalam aqidahnya, walaupun
dapat berbeda-beda dalam rincian (furu’) ajarannya. Dengan kata lain, Al
Qur’an sebagai kitab suci pedoman bagi manusia mengakui kebinekaan
dalam ketungalan.
2. Kemestian bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah-masalah
ijtihadiyah. Dalam QS. 42 (al-Syura) : 38 dijelaskan, dan dalam QS. 3 (Ali
Imran) : 159.
Ayat diatas dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW
agar memusyawarahkana persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat atau
anggota masyarakatnya. Ayat ini juga sekaligus sebagai petunjuk kepada
setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar bermusyawarah
dengan anggota-anggotanya karena Rasulullah Muhammad SAW, bagi
kita umat muslim adalah suri teladan dalam hidup dan kehidupan. Dengan
kata lain kata al-amr (urusan) tercakup urusan ekonomi, pendidikan,
social, politik, budaya, hukum,dan lain sebagainya.
3. Keharusan menunaikan amanat dan menetapkan hukum secara adil.
Dijelaskan dalam QS. 4 (al-Nisa’) : 58. Al Qur’an terutama adalah
landasan agama, bukan sebuah kitab hukum. Berbagai kebutuhan hukum
dewasa ini tidak mendapatkan aturannya dalam Al Qur’an. Tentu saja Al
Qur’an menyediakan landasan, prinsip-prinsip bagi pencapaian keadilan
dan kesejahteraan serta penetapan hukum, yang harus diikuti oleh umat
Islam. Tetapi landasan itu hanyalah cita-cita pemberi arah, dan rakyat iru
sendirilah, lewat musyawarah dan lainnya, yang menyusun hukum-hukum
Negara itu termasuk prinsip-prinsip dalam menunaikan amanat dan
menetapkan hukum sehingga tetap berpedoman pada Al Qur’an sebagai
sumber utama dan pertama bagi umat Islam

16
4. Kemestian mentaati Allah dan Rasulullah serta Ulil Amri (pemegang
kekuasaan) sebagaimana difirmankan dalam QS. 4 (al-Nisa’): 59. Perlu
dicermati bahwa redaksi ayat di atas menggandengkan kata “taat” kepada
Allah dan Rasul, tetapi meniadakan kata itu pada Ulil Amri. Tidak
disebutkannya kata taat pada ulil amri untuk memberi isyarat bahwa
ketaatan kepada mereka tidak berdiri sendiri tetapi berkaitan atau bersyarat
dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul, dalam arti bila perintahnya
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka tidak
dibenarkan untuk taat kepada mereka. Dalam hal ini dikenal Hadits
Rasulullah SAW yang sangat populer yaitu : Tidak dibenarkan adanya
ketaatan kepada seseorang makhluk dalam kemaksiatan kepada Khalik
(Allah). Tetapi di sisi lain, apabila perintah ulil amri tidak mengakibatkan
kemaksiatan, maka wajib ditaati, walaupun perintah tersebut tidak
disetujui oleh yang diperintah. Dalam sebuah hadits disebutkan “Seorang
muslim wajib memperkenankan dan taat menyangkut apa saja (yang
direintahkan ulil amri), suka atau tidak suka, kecuali bila ia diperintahkan
berbuat maksiat, maka ketika itu tidak boleh memperkenankan, tidak juga
taat”. (HR. Bukhari Muslim, dan lain-lain melalui Ibnu Umar).
5. Keniscayaan mendamaikan konflik antar kelompok dalam masyarakat
Islam, sebagaimana difirmankan dalam QS. 49 (al-Hujarat): 9.
6. Keharusan mempertahankan kedaulatan Negara dan larangan melakukan
agresi dan invasi. Dijelaskan dalam QS. 2 (al-Baqarah) : 90.
7. Kemestian mementingkan perdamaian dari pada pernusuhan. Dalam QS. 8
(al-Anfal): 61.
8. Kemestian meningkatkan kewaspadaan dalam bidang pertahanan dan
keamanan, sebagaimana firman Allah dalam QS. 8 (al-Anfal): 60.
9. Keharusan menepati janji, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. 16
(al-Nahl): 91.
10. Keharusan mengutamakan perdamaian bangsa-bangsa, sebagaimana
firman Allah SWT dalam QS. 49 (al-Hujarat): 13.
11. Kemestian peredaran harta pada seluruh lapisan masyarakat. Dalam QS.
59 (al-Hasyr): 7
12. Bahkan Al Qur’an sama sekali tidak melarang kaum muslim untuk berbuat
baik dan memberi sebagian harta mereka kepada siapapun, selama mereka
tidak memerangi dengan motif keagamaan atau mengusir kaum muslimin
dari kampong halaman mereka, sebagaimana ditegaskan Allah SWT
dalam QS. 60 (al-Mumtahanah): 8.
13. Keharusan mengikuti prinsip-prinsip pelaksanaan hukum. Dalam Al
Qur’an ditemukan banyak ayat yang berkaitan atau berbicara tentang hokum.
Dalam Al Qur’an secara tegas dinyatakan, bahwa hak pembuat hokum itu

17
hanyalah milik Allah SWT semata, sebagaimana firman-Nya dalam QS. 6 (al-
An,am): 57.
Setiap muslim dalam pelaksanaan hukum Islam mesti mengikuti prinsip-prinsip :
(a) menyedikitkan beban (taqlil al-takalif), (b) berangsur-angsur (al-Tadarruf),
dan (c) tidak menyulitkan (‘adam al-haraj).
Demikian sekilas tentang prinsip-prinsip dasar sistem politik Islam berdasarkan
Al Qur’an. Tentu saja masih banyak ayat-ayat Al Qur’an yang saling berkaitan
dan berhubungan satu sama lain, sehingga terlihat jelas kesesuaian dan
konsistensi nilai-nilai dasar dalam Al Qur’an tentagn garis besar dalam urusan
politik Islam.

3.5 Prinsip-prinsip Hukum Antar Agama atau Hukum Internasional

Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyampaikan ajaran Allah kepada


seluruh umat manusia, tanpa dibatasi oleh wilayah, perbedaan ras dan warna kulit,
bahasa dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setiap orang di penjuru dunia manapun
yang beriman kepada Allah dalam arti menempatkan al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah sebagai acuan, paradigma hidupnya, maka orang tersebut adalah umat
Nabi Muhammad SAW. Begitu juga negara manapun yang melandaskan sistem
perundang-undangannya berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Muhammad SAW, maka negara tersebut adalah negara Islam. Namun dalam
kenyataannya kita juga saling berhubungan dengan negara

lain yang harus di jalin dengan baik dan benar, jadi diperlukan adanya
prinsip-prinsip politik luar negeri dalam Islam.
Hukum Islam, di samping mengatur soal-soal agama, juga mengatur
persoalan kemasyarakatan. Maksudnya, hukum Islam, di samping sebagai dasar-
dasar peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak yang
mengatur hubungan antara sesama manusia.Bahkan, hukum Islam bukan hanya
meletakkan dasar hubungan dalam arti yang sempit, tetapi mencakup segala aspek
hidup dan kehidupan yang ada.
Hukum Islam menjunjung tinggi huquq al-insaniyyah tanpa mengenal
diskriminasi agama, warna kulit, dan kebangsaan.Selain itu, hukum Islam juga
mengakui hak milik pribadi, namun melarang menumpuk kekayaan, merampas,
dan eksploitasi. Dengan kata lain, hukum Islam mengakui hak milik perorangan,
tetapi kepentingan sosial tidak boleh diabaikan.
Dalam skop yang lebih luas, hukum Islam menyeru agar seluruh umat
manusia yang berlainan asal dan kebangsaan, warna kulit dan agamanya,
menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga humanisme
benar-benar terwujud dalam kehidupan umat manusia.

18
Itulah sebabnya sehingga hukum Islam mengatur hubungan antara
bangsa dan negara, baik di waktu damai maupun di waktu perang.Bahkan, sampai
pada mendirikan badan Internasional yang bertugas untuk menyelesaikan
pertikaian yang terjadi di antara mereka. Apabila ada bangsa dan negara yang
tidak mau tunduk, maka dengan kekuatan badan itu dapat memaksa
menyelesaikan pertikaian-pertikaian yang terjadi, demi tegaknya kebenaran dan
terjaminnya keadilan.Pada garis besarnya, objek pembahasan sistem politik Islam,
meliputi :

 Siasah Dusturiyah atau Hukum Tata Negara.


Membahas hubungan pemimpin dengan rakyatnya serta industri-industri yang
ada di negara itu sesuai dengan kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan
pemenuhan kebutuhan rakyat itu sendiri, yang biasanya meliputi :
1) Persoalan imamah, hak dan kewajibannya.
2) Persoalan rakyat, status, hak, dan kewajiban.
3) Persoalan ba’iat.
4) Persoalan Waliyatul Ahdi.
5) Persoalan perwakilan.
6) Persoalan ahlu al-halli wa al-aqdi.
7) Wizarahdan pembagiannya.

 Siasah Dauliyah atau Hukum Internasional dalam Islam.


Pembahasan siasah dauliyahdalam Islam berorientasi pada permasalahan
sebagai berikut :
1) Damai adalah asas hubungan Internasional
2) Memperlakukan tawanan perang secara manusiawi.
3) Kewajiban suatu negara terhadap negara lain.
4) Perjanjian-perjanjian Internasional. Dan syarat-syarat mengikuti perjanjian
antara lain :
a. Yang melakukan perjanjian memiliki kewenangan.
b. Memiliki kerelaan.
c. Isi perjanjian dan objeknya tidak dilarang oleh agama Islam.
d. Perjanjian penting harus ditulis.
e. Saling memberi dan menerima (take and give).
5) Perjanjian ada yang selamanya (mu’abbad) dan sementara (mu’aqqat).
6) Perjanjian terbuka dan tertutup.
7) Mentaati perjanjian dan siasah dauliyahdengan orang asing.

19
 Siasah Maaliyah.
Dalam siasah maaliyah permasalahan yang biasanya dibahas adalah sebagai
berikut :

1) Prinsip-prinsip kepemilikan harta.


2) Tanggung jawab sosial yang kokoh.
3) Zakat, harta karun, kharaj (pajak), ghanimah (rampasan perang) dan fa’i.
4) Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli waris.
5) Bea cukai barang import.
6) Eksploitasi Sumber Daya Alam yang berwawasan lingkungan.

3.6 Kontribusi Umat Islam terhadap Politik di Indonesia


Kontribusi umat Islam dalam perpolitikan nasional tidak bisa dipandang
sebelah mata. Di setiap masa dalam kondisi perpolitikan bangsa ini, Islam ini
selalu punya pengaruh besar. Sejak bangsa ini belum bernama Indonesia, yaitu era
berdirinya kerajaan-kerajaan hingga saat ini, pengaruh perpolitikan bangsa kita
tidak lepas dari pengaruh umat Islam.Salah satu penyebabnya adalah karena umat
Islam menjadi penduduk mayoritas bangsa ini. Selain itu, dalam ajaran Islam
sangat di anjurkan agar penganut nya senantiasa memberikan kontribusi sebesar-
besarnya bagi orang banyak, bangsa, bahkan dunia. Penguasaan wilayah politik
menjadi sarana penting bagi umat Islam agar bisa memberikan kontribusi bagi
bangsa ini.
Sekarang mari kita amati kontribusi umat Islam dalam perpolitikan
Nasional di setiap era bangsa ini :
1. Era Kerajaan-kerajaan Islam Berjaya

Pengaruh Islam terhadap perpolitikan Nasional punya akar sejarah yang


cukup panjang.Jauh sebelum penjajah kolonial bercokol di tanah air, sudah berdiri
beberapa kerajaan Islam besar.Kejayaan kerajaan Islam di tanah air berlangsung
antara abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi

2. Era Kolonial dan Kemerdekaan Orde Lama


Peranan Islam dan umatnya tidak dapat dilepaskan terhadap pembangunan
politik di Indonesia baik pada masa kolonial maupun masa kemerdekaan.Pada
masa kolonial Islam harus berperang menghadapi ideologi kolonialisme
sedangkan pada masa kemerdekaan Islam harus berhadapan dengan ideologi
tertentu macam komunisme.Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejarah secara
tegas menyatakan kalau pemimpin-pemimpin Islam punya andil besar terhadap
perumusan NKRI.Baik itu mulai dari penanaman nilai-nilai nasionalisme hingga
perumusan Undang-undang.

20
Para pemimpin Islam terutama dari Serikat Islam pernah mengusulkan
agar Indonesia berdiri di atas Daulah Islamiyah yang tertuang di dalam Piagam
Jakarta.Namun, format tersebut hanya bertahan selama 57 hari karena adanya
protes dari kaum umat beragama lainnya.Kemudian, pada tanggal 18 Agustus
1945, Indonesia menetapkan Pancasila sebagai filosofis negara.

3. Kemerdekaan Orde Baru


Pemerintahan masa orde baru menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya
asas di dalam negara.Ideologi politik lainnya dipasung dan tidak boleh
ditampilkan, termasuk ideologi politik Islam.Hal ini menyebabkan terjadinya
kondisi depolitisasi politik di dalam perpolitikan Islam.Politik Islam terpecah
menjadi dua kelompok.
 Kelompok pertama di sebut kaum skripturalis yang hidup dalam suasana
depolitisasi dan konflik dengan pemerintah.
 Kelompok kedua adalah kaum subtansialis yang mendukung pemerintahan dan
menginginkan agar Islam tidak terjun ke dunia politik.
4. EraReformasi
Bulan Mei 1997 merupakan awal dari era reformasi.Saat itu rakyat
Indonesia bersatu untuk menumbangkan rezim tirani Soeharto.Perjuangan
reformasi tidak lepas dari peran para pemimpin Islam pada saat itu.Beberapa
pemimpin Islam yang turut mendukung reformasi adalah KH. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), ketua NahdatulUlama. Muncul juga nama Nurcholis Majid
(Cak Nur), cendikiawan yang lahir dari kalangan santri. Juga muncul Amin Rais
dari kalangan Muhamadiyah. Bertahun-tahun reformasi bergulir, kiprah umat
Islam dalam panggung politik pun semakin diperhitungkan.Umat Islam mulai
kembali memunculkan dirinya tanpa malu dan takut lagi menggunakan label
Islam. Perpolitikan Islam selama reformasi juga berhasil menjadikan Pancasila
bukan lagi sebagai satu-satunya asas.Partai-partai politik juga boleh menggunakan
asas Islam. Kemudian bermunculanlah berbagai partai politik dengan asas dan
label Islam. Partai-partai politik yang berasaskan Islam, antara lain PKB, PKU,
PNU, PBR, PKS, PKNU, dan lain-lain.
Dalam kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan sekarang, sudah
waktunya umat Islam untuk terjun dalam perjuangan politik yang lebih
serius.Umat Islam tidak boleh lagi bermain di wilayah pinggiran sejarah. Umat
Islam harus menyiapkan diri untuk memunculkan pemimpin-pemimpin yang
handal, cerdas, berahklak mulia, profesional, dan punya integritas diri yang
tangguh.Umat Islam di Indonesia diharapkan tidak lagi termarginalisasi dalam
panggung politik. Politik Islam harus mampu merepresentasikan idealismenya
sebagai rahmatan lil alamin dan dapat memberikan kontribusi yang besar bagi
bangsa ini.

21
BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat.


Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hukum atau aktivitas dan
informasi. Beberapa prinsip politik islam berisi: mewujudkan persatuan dan
kesatuan bermusyawarah, menjalankan amanah dan menetapkan hukum secara
adil atau dapat dikatakan bertanggung jawab, mentaati Allah, Rasulullahdan Ulill
Amr (pemegang kekuasaan) dan menepati janji. Korelasi pengertian politik islam
dengan politik menghalalkan segala cara merupakan dua hal yang sangat
bertentangan. Islam menolak dengan tegas mengenai politik yang menghalalkan
segala cara.

Pemerintahan yang otoriter adalah pemerintahan yang menekan dan


memaksakn kehendaknya kepada rakyat. Setiap pemerintahan harus dapat
melindungi, mengayomi masyarakat. Sedangkan penyimpangan yang terjadi
adalah pemerintahan yang tidak mengabdi pada rakyatnya, menekan rakyatnya.
Sehingga pemerintahan yang terjadi adalah otoriter. Yaitu bentuk pemerintahan
yang menyimpang dari prinsip-prinsip islam. Dalam politik luar negerinya Islam
menganjurakan dan menjaga adanya perdamain. Walaupun demikan islam juga
memporbolehkan adanya perang, namun dengan sebab yang sudah jelas karena
mengancam kelangsungan umat muslim itu sendiri. Dan perang inipun telah
memiliki ketentuan-ketentuan hukum yang mengaturnya. Jadi tidak sembarangan
perang dapat dilakukan. Politik islam menuju kemaslahatan dan kesejahteraan
seluruh umat.

4.2 SARAN

Ada baiknya jika kita mempelajari tentang pemikiran terutama baik


tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya
ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini
merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini.

22

Anda mungkin juga menyukai