Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa, atau
terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2009). Kekeruhan ini dapat
mengganggu jalannya cahaya yang melewati lensa sehingga
pandangan dapat menjadi kabur hingga hilang sama sekali. Penyebab
utama katarak adalah usia, tetapi banyak hal lain yang dapat terlibat
seperti trauma, toksin, penyakit sistemik (seperti diabetes), merokok
dan herediter (Vaughan & Asbury, 2007). Berdasarkan studi potong
lintang prevalensi katarak pada usia 65 tahun adalah 50% dan
prevalensi ini meningkat hingga 70% pada usia lebih dari 75 tahun
(Vaughan & Asbury, 2007).
Katarak merupakan masalah penglihatan yang serius karena katarak
dapat mengakibatkan kebutaan. Menurut WHO pada tahun 2002
katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling utama di dunia
sebesar 48% dari seluruh kebutaan di dunia. Setidaknya terdapat
delapan belas juta orang di dunia menderita kebutaan akibat katarak.
Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil survey kesehatan indera 1993-
1996, katarak juga penyebab kebutaan paling utama yaitu sebesar 52%.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Apa yang dimaksud dengan katarak ?
b. Apa yang menjadi faktor resiko ?
c. Apa saja tipe katarak?
d. Apa saja jenis katarak?
e. Bagaimana stadium katarak?
f. Bagaimana penatalaksanaan katarak?

1
C. TUJUAN
a. Memahami maksud dari penyakit katarak.
b. Memahami faktor resiko katarak
c. Memahami tipe katarak
d. Memahami jenis jenis katarak
e. Memahami stadium katarak
f. Memahami penatalaksanaan katarak

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi
akibat hidrasi(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau
terjadi akibat kedua-duanya (Ilyas, 2010). Lima puluh satu persen
(51%) kebutaan diakibatkan oleh katarak(WHO,2012). Katarak senilis
merupakan jenis katarak yang paling sering ditemukan. Katarak senilis
adalah setiap kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia lanjut, yaitu
di atas usia 50 tahun.

B. Faktor Resiko
Katarak adalah penyakit degeneratif yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang
berpengaruh antara lain adalah umur dan jenis kelamin sedangkan
faktor eksternal yang berpengaruh adalah pekerjaan dan pendidikan
yang berdampak langsung pada status sosial ekonomi dan status
kesehatan seseorang, serta faktor lingkungan, yang dalam
hubungannya dalam paparan sinat Ultraviolet yang berasal dari sinar
matahari (Sirlan F, 2000).
a. Usia
Proses normal ketuaan mengakibatkan lensa menjadi keras dan
keruh. Dengan meningkatnya umur, maka ukuran lensa akan
bertambah dengan timbulnya serat-serat lensa yang baru.
Seiring bertambahnya usia, lensa berkurang kebeningannya,
keadaan ini akan berkembang dengan bertambahnya berat
katarak. .Prevalensi katarak meningkat tiga sampai empat kali
pada pasien berusia >65 tahun (Pollreisz dan Schmidt, 2010).
b. Jenis Kelamin
Usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan oleh laki-
laki, ini diindikasikan sebagai faktor resiko katarak dimana

3
perempuan penderita katarak lebih banyak dibandingkan laki-
laki (WHO, 2012)

c. Riwayat Penyakit
Diabetes Melitus (DM) dapat mempengaruhi kejernihan lensa,
indeks refraksi, dan kemampuan akomodasi. Meningkatnya
kadar gula darah, juga akan meningkatkan kadar gula di
aqueous humor. Glukosa dari aqueous akan masuk ke lensa
melalui difusi dimana sebagian dari glukosa ini diubah menjadi
sorbitol oleh enzim aldose reduktase melalui jalur poliol, yang
tidak dimetabolisme dan tetap tinggal di lensa. Telah terbukti
bahwa akumulasi intraselular sorbitol menyebabkan perubahan
osmotic sehingga air masuk ke lensa, yang akan mengakibatkan
pembengkakkan serabut lensa. Penelitian pada hewan telah
menunjukkan bahwa akumulasi poliol intraseluler
menyebabkan kolaps dan likuifaksi(pencairan) serabut lensa,
yang akhirnya terjadi pembentukan kekeruhan pada lensa
(Pollreisz dan Schmidt, 2010).
d. Patogenesis
Katarak senilis adalah penyebab utama gangguan penglihatan
pada orang tua. Patogenesis katarak senilis bersifat
multifaktorial dan belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun sel
lensa terus bertumbuh sepanjang hidup, tidak ada sel-sel yang
dibuang. Seiring dengan bertambahnya usia, lensa bertambah
berat dan tebal sehingga kemampuan akomodasinya menurun.
Saat lapisan baru dari serabut korteks terbentuk secara
konsentris, sel-sel tua menumpuk ke ararh tengah sehingga
nukleus lensa mengalami penekanan dan pengerasan (sklerosis
nuklear).
Crystallin (protein lensa) mengalami modifikasi dan agregasi
kimia menjadi high-molecular-weight-protein. Agregasi protein

4
ini menyebabkan fluktuasi mendadak pada index refraksi lensa,
penyebaran sinar cahaya, dan penurunan transparansi.
Perubahan kimia protein lensa nuklear ini juga menghasilkan
pigmentasi yang progresif sehingga seiring berjalannya usia
lensa menjadi bercorak kuning kecoklatan sehingga lensa yang
seharusnya jernih tidak bisa menghantarkan dan memfokuskan
cahaya ke retina. Selain itu, terjadi penurunan konsentrasi
Glutathione dan Kalium diikuti meningkatnya konsentrasi
Natrium dan Kalsium.

C. Tipe Katarak Senilis


1. Katarak Nuklear
Dalam tingkatan tertentu sklerosis dan penguningan nuklear
dianggap normal setelah usia pertengahan. Pada umumnya,
kondisi ini hanya sedikit mengganggu fungsi penglihatan.
Jumlah sklerosis dan penguningan yang berlebihan disebut
katarak nuklear, yang menyebabkan opasitas sentral. Tingkat
sklerosis, penguningan dan opasifikasi dinilai dengan
menggunakan biomikroskop slit-lamp dan pemeriksaan reflex
merah dengan pupil dilatasi.
Katarak nuklear cenderung berkembang dengan lambat.
Sebagian besar katarak nuklear adalah bilateral, tetapi bisa
asimetrik. Cirri khas dari katarak nuklear adalah membaiknya
penglihatan dekat tanpa kacamata, keadaan inilah yang disebut
sebagai “penglihatan kedua”. Ini merupakan akibat
meningkatnya kekuatan focus lensa bagian sentral,
menyebabkan refraksi bergeser ke myopia (penglihatan dekat).
Kadang-kadang, perubahan mendadak indeks refraksi antara
nukleus sklerotik dan korteks lensa dapat menyebabkan
monocular diplopia . Penguningan lensa yang progresif

5
menyebabkan diskriminasi warna yang buruk. Pada kasus yang
sudah lanjut, nukleusnlensa menjadi opak dan coklat dan
disebut katarak nuklear brunescent.
Secara histopatologi, karakteristik katarak nuklearis adalah
homogenitas nukleus lensa dengan hilangnya lapisan tipis
seluler.
2. Katarak Kortikal
Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa. Ini
adalah jenis katarak yang paling sering terjadi. Lapisan korteks
lensa tidak sepadat pada bagian nukleus sehingga lebih mudah
terjadi overhidrasi akibat ketidakseimbangan elektrolit yang
mengganggu serabut korteks lensa sehingga terbentuk osifikasi
kortikal, yang ditunjukkan pada diabetes dan galaktosemia
(Fong, 2008). Perubahan hidrasi serat lensa menyebabkan
terbentuknya celah-celah dalam pola radial disekeliling daerah
ekuator. Katarak ini cenderung bilateral, tetapi sering asimetrik.
Derajat gangguan fungsi penglihatan bervariasi, tergantung
seberapa dekat kekeruhan lensa dengan sumbu penglihatan
(Harper et al,2010). Gejala yang sering ditemukan adalah
penderita merasa silau pada saat mencoba memfokuskan
pandangan pada suatu sumber cahaya di malam hari (Rosenfeld
et al, 2007).
Pemeriksaan menggunakan biomikroskop slitlamp akan
mendapatkan gambaran vakuola, degenerasi hiropik serabut
lensa, serta pemisahan lamella kortek anterior atau posterior
oleh air. Kekeruhan putih seperti baji terlihat di perifer lensa
dengan ujungnya mengarah ke sentral, kekeruhan ini tampak
gelap apabila dilihat menggunakan retroiluminasi. Secara
histopatologi, karakteristik dari katarak kortikal adalah adanya
pembengkakan hidrofik serabut lensa. Globula Morgagni

6
(globules-globulus material eosinofilik) dapat diamati di dalam
celah antara serabut lensa (Rosenfeld et al, 2007).

3. Katarak Subkapsularis Posterior


Katarak subkapsularis posterior terdapat pada korteks di dekat
kapsul posterior bagian sentral (Harper et al,2010). Katarak ini
biasanya didapatkan pada penderita dengan usia yang lebih
muda dibanding kedua jenis katarak yang lain. Gejalanya
antara lain adalah fotofobia dan penglihatan yang buruk saat
mata berakomodasi atau diberikan miotikum. Ini dikarenakan
ketika pupil konstriksi saat berakomodasi, cahaya yang masuk
ke mata menjadi terfokus ke sentral, dimana terdapat katarak
subkapsularis posterior, menyebabkan cahay menyebar dan
mengganggu kemampuan mata untuk memfokuskan pada
makula (Rosenfeld et al, 2007).
Deteksi katarak subkapsularis posterior paling baik
menggunakan biomikroskop slitlamp pada mata yang telah
ditetesi midriatikum. Pasda awal pembentukan katarakakan
ditemukan gambaran kecerahan mengkilap seperti pelangi yang
halus pada lapisan korteks posterior. Sedangkan pada tahap
akhir terbentuk kekeruhan granular dan kekeruhan seperti plak
di kortek subkapsular posterior (Rosenfeld et al, 2007).
Kekeruhan lensa di sini dapat timbul akibat trauma,
penggunaan kortikosteroid (topical atau sistemik), peradangan
atau pajanan radiasi pengion (Harper et al, 2010).

7
D. Jenis jenis katarak
a. Katarak kongenital adalah katarak yang sudah terlihat pada usia
dibawah 1 tahun.
1. Katarak lamelar atau zonular
Katarak lamelar ini mempunyai sifat herediter dan
ditransmisikan dominan, biasanya bilateral. Kekeruhan pada
serat lensa dalam kapsul lensa berbatas tegas dengan bgn
perifer tetap bening.
Katarak zonular terlihat segera sesudah bayi lahir, kekeruhan
dpt menutup seluruh celah pupil, bila tdk dilakukan dilatasi dpt
mengganggu penglihatan.
2. Katarak polaris posterior
Disebabkan menetapnya selubung vaskular lensa, kadang
menetapnya a. Hialoid sehingga terjadi kekeruhan lensa bgn
belakang.
3. Katarak polaris anterior
Gangguan terjadi pada saat kornea belum seluruhnya
melepaskan lensa dlm perkembangan embrional juga berakibat
terlambatnya pembentukan bilik mata dpn. Kadang 2x didptkan
suatu kekeruhan dari bilik mata dpn ke kornea.
4. Katarak nuklearis atau inti
Tampak sepert bunga karang, di daerah nukleus lensa. Sering
hanya berupa kekeruhan berbentuk bintik-bintik. Jarang terjadi
dan gangguan tjd pd trimester pertama kehamilan.
5. Katarak sutural
Suture merupakan garis pertemuan serat – serat lensa primer
dan membentuk batas depan dan belakang daripada inti lensa.
Katarak ini mengenai daerah sutura fetal, bersifat stasis terjadi
bilateral dan familial.

8
b. Katarak juvenil
Katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun. Kekeruhan lensa yang
terjadi pada saat masih tarjadi perkembangan serat – serat lensa
sehingga biasanya konsistensinya lembek seperti bubur dan sering
disebut soft cataract.
c. Katarak Komplikata
Katarak akibat penyakit mata lain spt radang, dan proses degenerasi
spt ablasi retina, retinitis pigmentosa, glaukoma, tumor intra okular,
nekrosis anterior segmen dll. Memberikan tanda khusus dimana
katarak selamanya mulai dari daerah kapsul atau pada lapis korteks.
d. Katarak Sekunder
Terjadi akibat terbentuknya jaringan fibrosis pd sisa lensa yang
tertinggal, paling cepat keadaan ini terlihat sesudah 2 hari. bentuk
lain yg merupakan poliferasi epitel lensa pada katarak sekunder
berapa mutiara elsching dan cincin Soemmering. cincin
Soemmering tarjadi akibat kapsul anterior yang pecah dan traksi
kearah pinggir – pinggir melekat pada kapsula posterior
meninggalkan daerah jernih di tengah dan membentuk gambaran
cincin. Mutiara elsching adalah epitel subkapsular yang
berproliferasi dan membesar sehingga tampak sebagai busa sabun
atau telur kodok.

E. Stadium Katarak
a. Katarak Insipien
Pada stadium ini akan terlihat hal-hal berikut :

1. Katarak kortikal : kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk


jeriji menuju korteks anterior dan posterior. Vakuol mulai
terlihat di dalam korteks.
2. Katarak subkapsular posterior : kekeruhan mulai terlihat
anterior subkapsular posterior, celah terbentuk antara serat

9
lensa dan korteks berisi jaringan degenerative (benda
Morgagni)
Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia oleh karena indeks
refraksi yang tidak sama pada semua bagian lensa. Bentuk ini
kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama (Ilyas, 2010).

b. Katarak Imatur
Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Katarak yang
belum mengenai seluruh lapis lensa. Pada katarak imatur akan
dapat bertambah volume lensa akibat meningktnya tekanan
osmotic bahan lensa yang degenerative. Pada keadaan lensa
mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga
terjadi glaukoma sekunder.
c. Katarak Matur
Pada katarak matur kekeruhan telah mengenai seluruh massa
lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang
menyeluruh. Bila katarak imatur atau intumesen tidak dikeluarkan
maka cairan lensa akan keluar, sehingga lensa kembali pada
ukuran yang normal. Akan terjadi kekeruhan seluruh lensa yang
bila lama akan mengakibatkan kalsifikasi lensa. Bilik mata depan
akan berukuran kedalaman normal kembali, tidak terdapat
bayangan iris pada lensa yang keruh, sehingga uji bayangan iris
negatif (Ilyas, 2010).
d. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur, katarak yang mengalami proses degenerasi
lanjut, dapat menjadi keras atau lembek dan mencair. Masa lensa
yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa sehingga lensa
menjadi kecil, berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan
terlihat bilik mata dalam dan lipatan kapsul lensa. Bila proses
katarak berjalan lanjut disertai dengan kapsul yang tebal maka

10
korteks yang berdegenerasi dan cair tidak dapat keluar, maka
korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai sekantong susu
disertai dengan nukleus yang terbenam di dalam korteks lensa
karena lebih berat. Keadaan ini disebut sebagai katarak Morgagni.
F. Penatalaksanaan Katarak
Operasi katarak merupakan operasi mata yang sering dilakukan
diseluruh dunia, karena merupakan modalitas utama terapi katarak.
Tujuan dilakukan operasi katarak adalah perbaikan tajam penglihatan
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien (Purnaningrum, 2014).
Indikasi utama operasi katarak paling umum adalah keinginan pasien
sendiri untuk memperbaiki fungsi penglihatannya. Indikasi dilakukan
tatalaksana bedah untuk katarak tidak berdarakan visual acuity
tertentu melaiankan berdasarkan tingkat gangguan visual terhadap
aktivitas sehari-hari (Rosenfeld, 2007). Misalnya jika katarak masih
imatur dengan visus 6/24 namun pasien adalah seorang polisi dan
sangat terganggu maka bisa dilakukan operasi. Jika katarak sudah
matur namun pasien tidak merasa tidak terganggu berarti tidak perlu
dilakukan bedah. Namun jika katarak mencapai hipermatur dapat
meningkatkan resiko terjadinya glaukoma dan uveitis. Indikasi medis
untuk bedah katarak adalah galukoma fakolitik, glaucoma fakomorfik,
uveitis fakoantigenik, dan dislokasi lensa ke bilik anterior (Rosenfeld,
2007).
Bedah katarak telah mengalami perubahan dramatis selama 30 tahun
terakhir ini. Perbaikan terus berlanjut dengan peralatan otomatis dan
berbagai modifikasi lensa intraocular yang memungkinkan
dilakukannya operasi melalui insisi kecil. Metode operasi yang
digunakan sekarang adalah ekstraksi katarak intrakapsular (EKIK),
ekstraksi katarak ekstrakapsular (EKEK), dan fakoemulsifikasi
(Harper et al, 2010).
Beberapa jenis penatalaksanaan yaitu
g. Terapi Penyebab Katarak

11
Pengontrolan diabetes melitus, menghentikan konsumsi obat-
obatan yang bersifat kataraktogenik seperti kortikosteroid,
fenotiasin, dan miotik kuat, menghindari iradiasi (infra merah atau
sinar-X) dapat memperlambat atau mencegah terjadinya proses
kataraktogenesis. Selain itu penanganan lebih awal dan adekuat
pada penyakit mata seperti uveitis dapat mencegah terjadinya
katarak komplikata.
h. Memperlambat Progresivitas
Beberapa preparat yang mengandung kalsium dan kalium
digunakan pada katarak stadium dini untuk memperlambat
progresivitasnya, namun sampai sekarang mekanisme kerjanya
belum jelas. Selain itu juga disebutkan peran vitamin E dan aspirin
dalam memperlambat proses kataraktogenesis.
i. Penilaian terhadap Perkembangan Visus pada Katarak insipien dan
Imatur
1. Refraksi dapat berubah sangat cepat, sehingga harus sering
dikoreksi.
2. Pengaturan pencahayaan pasien dengan kekeruhan di bagian
perifer lensa (area pupil masih jernih) dapat diinstruksikan
menggunakan pencahayaan yang terang. Berbeda dengan
kekeruhan pada bagian sentral lensa, cahaya remang yang
ditempatkan di samping dan sedikit di belakang kepala pasien
akan memberikan hasil terbaik.
3. Penggunaan kacamata gelap pada pasien dengan kekeruhann
lensa di bagian sentral, hal ini akan memberikan hasil yang
baik dan nyaman apanila beraktivitas di luar ruangan.
4. Midriatil dilatasi pupil akan memberikan efek positif pada
lataral aksial dengan kekeruhan yang sedikit. Midriatil seperti
fenilefrin 5% atau tropikamid 1% dapat memberikan
penglihatan yang jelas.
j. Pembedahan Katarak

12
Pembedahan katarak adalah pengangkatan lensa natural mata
(lensa kristalin) yang telah mengalami kekeruhan, yang disebut
sebagai katarak.
1. Indikasi
Indikasi penatalaksanaan bedah pada kasus katarak mencakup
indikasi visus,medis, dan kosmetik.
a) Indikasi visus;merupakan indikasi paling sering. Indikasi ini
berbeda pada tiap individu, tergantung dari gangguan yang
ditimbulkan oleh katarak terhadap aktivitas sehari-harinya.
b) Indikasi medis pasien bisa saja merasa tidak terganggu
dengan kekeruhan pada lensa matanya, namun beberapa
indikasi medis dilakukan operasi katarak seperti glaukoma
imbas lensa (lens-induced glaucoma), endoftalmitis
fakoanafilaktik, dan kelainan pada retina misalnya retiopati
diabetik atau ablasio retina.
c) Indikasi kosmetik kadang-kadang pasien dengan katarak
matur meminta ekstraksi katarak (meskipun kecil harapan
untuk mengembalikan visus) untuk memperoleh pupil yang
hitam.

13
2. Jenis-jenis operasi katarak
a) Phacoemulsification (Phaco)
Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi
yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di
kornea atau sklera anterior (2-5 mm) dengan
menggunakan getaran-getaran ultrasonik. Biasanya
tidak dibutuhkan penjahitan. Teknik ini bermanfaat
pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan
katarak senilis. Teknik ini kurang efektif pada katarak
senilis yang padat, dan keuntungan insisi limbus yang
kecil agak berkurang kalau akan dimasukkan lensa
intraokuler, meskipun sekarang lebih sering digunakan
lensa intraokuler fleksibel yang dapat dimasukkan
melalui insisi kecil seperti itu. Metode ini merupakan
metode pilihan di Negara Barat.
b) Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Insisi dilakukan pada sklera dengan ukuran insisi
bervariasi dari 5-8 mm. Namun tetap dikatakan SICS
sejak design arsiteknya tanpa jahitan, Penutupan luka
insisi terjadi dengan sendirinya (self-sealing). Teknik
operasi ini dapat dilakukan pada stadium katarak
immature, mature, dan hypermature. Teknik ini juga
telah dilakukan pada kasus glaukoma fakolitik dan
dapat dikombinasikan dengan operasi trabekulektomi.
c) Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior
(biasanya 10-12 mm), bagian anterior kapsul dipotong
dan diangkat, nukleus diekstraksi, dan korteks lensa
dibuang dari mata dengan irigasi dengan atau tanpa
aspirasi, sehingga menyisakan kapsul posterior. Insisi
harus dijahit. Metode ini diindikasikan pada pasien

14
dengan katarak yang sangat keras atau pada keadaan
dimana ada masalah dengan fakoemulsifikasi. Penyulit
yang dapat timbul adalah terdapat korteks lensa yang
dapat menyebabkan katarak sekunder.
d) Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)
Prosedur ini memiliki tingkat komplikasi yang sangat
tinggi sebab membutuhkan insisi yang luas dan tekanan
pada vitreous. Tindakan ini sudah jarang digunakan
terutama pada negara-negara yang telah memiliki
peralatan operasi mikroskop dan alat dengan teknologi
tinggi lainnya.

k. Lensa Intraokular
Setelah pengangkatan katarak, lensa intraokular (IOL) biasanya
diimplantasikan ke dalam mata. Kekuatan implan IOL yang akan
digunakan dalam operasi dihitung sebelumnya dengan mengukur
panjang mata secara ultrasonik dan dengan kelengkungan kornea
(maka juga kekuatan optik) secara optik. Kekuatan lensa umumnya
dihitung sehingga pasien tidak akan membutuhkan kacamata untuk
penglihatan jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi oleh refraksi mata
kontrolateral dan apakah terdapat katarak pada mata tersebut yang
membutuhkan operasi.

15
DAFTAR PUSTAKA
digilib.unimus.ac.id/download.php?id=8399
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/56180/4/Chapter%20II.pdf

16

Anda mungkin juga menyukai