Anda di halaman 1dari 10

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Islam
B. Sumber – sumber ajaran Agama Islam
B.I. Al – Qur’an
B.I.1. Ciri-ciri dan Kelebihan Al-Qur’an
B.I.2. Fungsi Al-Qur’an
B.I.3. Isi Kandungan Al-Qur’an
B.II. Al – Sunnah
B.II.1. Fungsi Al – Sunnah
B.II.2. Macam – macam Al – Sunnah
B.III. Hubungan antara Al – Qur’an dan Al – Sunnah
B.IV. Perbedaan antara Al – Qur’an dan Al – Sunnah
C. Ijtihad
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam makalah kami yang berjudul “Sumber – sumber Ajaran Agama Islam” ini akan
menguraikan mengenai pengertian Agama Islam, sumber hukum Islam dan ajarannya, serta
cara untuk memahaminya.
Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu
dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif.
Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman ke Islaman seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke Islaman yang bersangkutan. Untuk itu
uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman tentang Islam.
Selain itu dalam makalah kali ini yang berjudul “SUMBER – SUMBER AJARAN AGAMA
ISLAM” akan di paparkan mengenai pengertian agama Islam itu sendiri dan juga sumber-
sumber hukum Islam, dan ini tentunya hanya mengulang untuk mengingatkan kembali
pelajaran yang telah lewat karena makalah yang akan kami bahas kali ini sudah sering kita
pelajari dan hanya untuk mengingatkan kembali.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber – sumber ajaran Agama Islam?
2. Apa ciri – ciri dan kelebihan dari Al – Qur’an?
3. Apa fungsi Al – Qur’an?
4. Apa saja isi kandungan yang terdalam Al – Qur’an?
5. Apa fungsi Al – Sunnah?
6. Apa saja bagian – bagian dari Al – Sunnah?
7. Apa hubungan Al – Qur’an dan Al – Sunnah?
8. Apa yang membedakan antara Al – Qur’an dengan Al – Sunnah?
9. Apa itu ijhihad?

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Sebagai penambah pengetahuan dan wawasan akan sumber – sumber ajaran Agama Islam.

BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi
kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi
bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa
Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata
aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula
menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata aslama itulah yang menjadi kata Islam yang
mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang
yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian
berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang
tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian Islam demikian
itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dihami dari firman Allah yang terdapat pada ayat
202 surat AI-Baqarah yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [2]
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan herserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
keselamatan dan keba¬liagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian
dilakukan atas kcsadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura,
melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak clalam
kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.

B. Sumber – Sumber Ajaran Agama Islam


Sebagaimana yang telah diketahui bahwa ajaran Islam ini adalah ajaran yang paling
sempurna, karena memang semuanya ada dalam Islam, mulai dari urusan yang paling kecil
sampai urusan negara, Islam telah memberikan petunjuk di dalamnya. Allah berfirman, “Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagimu.” (Al-Maidah: 3)
Bukti kesempurnaan Islam itu tercermin dari ajaran dan tuntunan kehidupan yang
komprehensif dan bersumber dari kebenaran wahyu. Agama Islam memiliki aturan-aturan
sebagai tuntunan hidup manusia, baik dalam hubungan dengan sang khaliq Allah SWT (hablu
minawallah) maupun hubungan dengan manusia yang lainnya (hablu minannas). Tuntunan
itu digariskan sebagai sebuah jalan keselamatan yang berdiri kokoh atas dasar ajaran yang
diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya.
Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah
Alquran dan Al-Sunnah. Sumber ajaran lainnya yaitu ijtihad yang dipandang sebagai sebuah
proses penalaran atau akal pikiran yang digunakan untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah.
Dalil tentang sumber ajaran Islam tersebut tersurat dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
oleh Mu’adz bin Jabal. Hadits itu banyak diterjemahkan sebagai berikut:
Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda,
“.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan
kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah
saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra’yu
ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala
puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”
B.I. Al – Qur’an
Ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti
“bacaan” atau “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata
benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini
dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al Qur’an, yaitu:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya
(pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu ikuti bacaannya”.(QS 75:17-18)
Secara terminologi, Dr. Dawud Al-Attar (1979) mendefinisikan Al-Qur’an sebagai wahyu
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lisan, makna serta gaya bahasanya
yang tertulis dalam kitab yang ditulis secara mutawattir. Definisi di atas mengandung
beberapa kekhususan sebagai berikut:
• Seluruh ayat Al-Qur’an adalah wahyu Allah; tidak ada satu pun yang datang dari perkataan
atau pikiran Nabi Muhammad
• Al-Qur’an diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi
maupun redaksi Al-Qur’an datang dari Allah sendiri.
• Al-Qur’an dinukilkan secara mutawattir, artinya Al-Qur’an disampaikan kepada orang lain
secara terus menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta
karena banyaknya jumlah dan berbeda-beda tempat tinggal mereka.
Al-Qur’an sebagai wahyu diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun. Oleh para
ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode
Madinah.
• Periode Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-
surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Ayat-ayat Al-Qur’an yang turun
pada periode Mekkah sebanyak 4.780 ayat yang tercakup dalam 86 surat, Ciri-ciri ayat
Makkiyah :
a. Ayatnya pendek-pendek
b. Kebanyakan di awali dengan “ya ayyuhan nas”.
c. Berisi ajaran Tauhid, hari kiamat, akhlak dan kisah-kisah
• Periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat
yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. periode Madinah sebanyak 1.456
ayat yang tercakup dalam 28 surat. Ciri-ciri Ayat Madaniyyah :
a. Ayatnya panjang
b. Kebanyakan di awali dengan “ya ayuuhal ladzina”
c. Berisi ayat-ayat hukum, keadilan, masyarakat
Al-Qur’an terdiri dari 30 Juz, 114 surat dan 6666 ayat.
Selain Al-Qur’an, wahyu Allah ini diberi nama-nama lain oleh Allah, sebagaimana tercantum
dalam ayat-Nya, yaitu:
1. Al-Kitab, berarti sesuatu yang ditulis (QS. Ad-Dukhan: 2)
Di dalam nama ini terkandung isyarat perintah agar firman Allah itu ditulis nabi serta
mengandung prediksi bahwa Al-Qur’an akan menjadi kitab abadi yang dapat dibaca manusia.
2. Al-Kalam, berarti ucapan (QS. At-Taubah: 6)
Nama ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an seluruhnya ucapan Allah. Dalam kaitan ini
terkandung jaminan bahwa Al-Qur’an itu suci dan seluruh ayatnya datang dari Allah yang
Maha Suci dan Maha Benar.
3. Az-Zikra, berarti peringatan (QS. Al-Hijr: 9)
Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an selaku motivator amal, yaitu agar manusia beramal
baik dan konsisten dengan kebajikan lantaran amal perbuatan manusia akan diminta
pertanggungjawaban kelak di hari pembalasan.
4. Al-Qasas, berarti cerita-cerita (QS. Ali Imran, 62)
Al-Qur’an membawa cerita nyata tentang masyarakat masa silam bahkan sejak kejadian
pertama kali. Kenyataan ini membenarkan pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci
tertua
5. Al-Huda, berarti petunjuk (QS. At-Taubah: 33)
Nama ini menunjukkan fungsi Al-Qur’an sebagai petunjuk yang hanya dengannya manusia
dapat mencapai keridaan Allah.
6. Al-Furqan, berarti pemisah/pembeda (QS. Al-Furqan: 1)
Sebagai pedoman hidup dan kehidupan manusia, Al-Qur’an menyajikan norma dan etika
secara jelas, tegas, dan tuntas terutama soal kebaikan dan keburukan.
7. Al-Mau’izah, berarti nasihat (QS. Yunus: 57)
Meskipun di sana sini terdapat peringatan dan ancaman, namun secara umum gaya
penyampaian Al-Qur’an amat halus. Semakin didekati Al-Qur’an semakin menjadi teman
dialog dengan nasihat-nasihatnya yang menyejukkan.
8. As-Syifa, berarti obat atau penawar jiwa (QS. Al-Isra: 82)
Sesungguhya akar problematika manusia terletak di dalam dadanya. Dan Al-Qur’an memberi
solusi atas problematika manusia itu melalui akarnya. Ia menembus dada manusia dan
menghujam hatinya.
9. An-Nur, berarti cahaya (QS. An-Nisa: 174)
Nama ini mengisyaratkan Al-Qur’an sebagai cermin yang mewadahi sinar yang terpancar
dari Sang Sumber Cahaya, Allah SWT. Al-Qur’an memantulkan cahaya-Nya dan karenanya
ia mampu menembus hati manusia.
10. Ar-Rahman, berarti karunia (QS. An-Naml: 77)
Segala pemberian Allah akan menjadi rahmat di dunia dan akhirat, ketika pemberian itu
diterima, dijalani, dan dikembangkan dengan landasan Al-Qur’an
11. Al Muthahharah: Kita yang Disucikan
Isi Al-Qur’an mencakup dan menyempurnakan pokok- pokok ajaran dari kitab-kitab Allah
SWT yang terdahulu (Taurot, Injil, dan Zabur). Sebagian ulama mengatakan, bahwa Al-
Qur’an mengandung tiga pokok ajaran:
a. Keimanan;
b. Akhlak dan budi pekerti; dan
c. Aturan tentang pergaulan hidup sehari-hari antar sesama manusia. Sebagian ulama yang
lain berpendapat, bahwa Al-Qur’an berisi dua peraturan pokok:
1) peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT; dan
2) peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan alam
sekitarnya.
B.I.1. Ciri – ciri dan Kelebihan Al – Qur’an
Al-Quran mempunyai beberapa ciri khusus yang membedakannya dengan kitab-kitab yang
lain:
• la diturunkan dalam bahasa Arab. Ini membezakannya dari kitab-kitab. Samawi yang lain.
Tidak pemah terdengar wujudnya kitab yang lain ditunmkan dalam bahasa Arab. Perkara ini
dijelaskan oleh Allah swt dengan firmanNya yang bermaksud: ” Sesungguhnya Kami
turunkan dia, (sebgai) bacaan yang berbahasa Arab, supaya kamu berfikir” {Yusuf:2}
• Al-Quraan turun sebagai Wahyu daripada Allah swt kepada Rasulullah s.a.w dengan lafaz
dan maknanya sekali.
• Al-Quraan menjadi mukjizat bagi Rasulullah s.a.w. Allah telah mencabar orang-orang Arab
agar membuat satu kitab yang sama seperti Al Quraan. Tetapi mereka tidak mampu
melakukannya. Ini menjadi bukti yang jelas bahawa al-Quraan bukanlah ciptaan Nabi
Muhammad s.a.w, sebaiknya datang daipada Allah swt yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.
• Al-Quraan disampaikan kepada kita melalui riwayat yang mutawatir dan dengan jalan
penulisan dari sisi Rasullah s.a.w hingga ke hari ini. Ketetapanya adalah diyakini, tidak
diresapi oleh pengubahan atau penukaran atau peminda Firman Allah: ” Sesungguhnya
Kamilah yang menumnkan Al-Quraan dan sesungguhnya Kami benar- benar memeliharanya”
{Al-Hijr, 9}
• Membaca Al-Quraan di dalam sembahyang dan di luar sembahyang adalah dikira ibadah
dan diberikan pahala. Allah swt mewajibkan kita membaca surah Al-Fatihah dalam
sembahyang. Nabi s.a.w memberitahu kepada kita bahawa seseorang muslim akan diberi
ganjaran pahala bacaannya bagi setiap hurufdengan sepuluh kebaiakan.

B.I.2. Fungsi Al – Qur’an


Al-qur’an mempunyai fungsi, diantaranya adalah :
– Al- Huda (petunjuk), bahwa al-qur’an adalah petunjuk bagi kehidupan manusia disamping
sunnah Rasul yang merupakan yang kedua yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia.
– Al-Furqan (pembeda). Sebagaimana firman Allah “Bulan Ramadhan adalah bulan yang
diturunkannya al-qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yan batil)..(QS. Al-Baqarah : 185).
– Al-Syifa (obat). Sebagaimana firman Allah “Hai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada)
dalam dada….(QS. Yunus : 57).
– Al-Mau’izhah (nasihat). Sebagaiman firman Allah “Al-Qur’an ini adalah penerangan bagi
seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi yang bertaqwa”. (QS. Ali Imran : 38).

B.I.3. Isi Kandungan Al – Qur’an


Pokok-pokok isi Al-Quran dapat dikelompokan atas lima macam, sebagaimana dikemukakan
oleh Muhammad Rasyid Ridha: “Al-Quran diturunkan hanya membawa lima perkara saja”
(Abdul Aziz, 1988:17).
Isi Al-Quran yang lima maccam itu adalah:
a. Tentang Aqidah Tauhid : Tauhid sebagai satu hak Allah SWT. Dari sejumlah hak-Nya
telah diajarkan kepada manusia sejak Nabi Adam as hingga Nabi-nabi sesudahnya.
b. Tentang Wa’du dan Wa’id (janji dan ancaman).
c. Tentang ibadat; ibadah bagi manusia disamping menjadi tujuan hidupnya, juga berfungsi
sebagai bukti nyata syukurnya kepada Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia-Nya yang
telah diberikan.
d. Tentang cara dan jalan mencapai kebahagiaan; Al-Quran mengandung hukum-hukum yang
mengatur tata cara pergaulan hidup bermasyarakat untuk mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
e. Tentang sejara umat masa lalu; dalam Al-Quran terdapat kisah-kisah para Nabi dan Rasul
dan orang-orang shalih lainnya agar kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.
Menurut Harun Nasution, kandungan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan periode penurunannya
dapat dibagi kedalam bagian-bagian besar berikut ini:
a. Ayat-ayat mengenai dasar-dasar keyakinan atau credo dalam Islam, yang kemudian
melahirkan teologi
b. Ayat-ayat mengenai soal hukum yang melahirkan ilmu hukum Islam
c. Ayat-ayat mengenai soal pengabdian kepada Tuhan yang membawa ketentuan-ketentuan
tentang ibadah dalam Islam
d. Ayat-ayat mengenai budi pekerti luhur yang melahirkan etika Islam
e. Ayat-ayat mengenai dekat dan rapatnya hubungan manusia dengan Tuhan yang kemudian
melahirkan mistisisme Islam
f. Ayat-ayat mengenai tanda-tanda dalam alam yang menunjukkan adanya Tuhan, yang
membicarakan soal kejadian alam di sekitar manusia. Ayat-ayat yang serupa ini
menumbuhkan pemikiran filosofis dalam Islam
g. Ayat-ayat mengenai hubungan golongan kaya dengan golongan msikin, dan ini membawa
pada ajaran-ajaran sosiologis dalam Islam
h. Ayat-ayat yang ada hubungannya dengan sejarah terutama mengenai nabi-nabi dan umat
mereka, sebelum Nabi Muhammad SAW. dan umat-umat lainnya yang hancur karena
keangkuhan mereka. Dari ayat-ayat ini dapat diambil pelajaran.
i. Ayat-ayat mengenai hal-hal lainnya.

B.II. Al – Sunnah
Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab ‫( سنة‬sunnah). Secara bahasa, kata ‫السنة‬
(al-sunnah) berarti perjalanan hidup yang baik atau yang buruk. Pengertian di atas didasarkan
kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Barang siapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.
Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Al Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan,
ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, Al-Sunnah menempati tempat kedua setelah Al-
Qur’an. Penempatan ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya. Dilihat dari
segi kualitas periwayatannya al-Qur’an bersifat relative. Al-Syatibi menyatakan bahwa Al-
Sunnah sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka Al-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah,
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi Al-Sunnah
dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits :
“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat)
adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah
hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an
dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34,
yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian
tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk
melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab
dengan hadits tersebut.

B.II.1. Fungsi Al – Sunnah


Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang
diantaranya adalah :
– Untuk memperkuat Al-qur’an
– Menjelaskan isi Al-qur’an (bayan tafsir)
Dalam kaitan ini, hadist berfungsi memerinci petunjuk dan isyarat Al-qur’an yang bersifat
global, sebagai pengecuali terhadap isyarat Al-qur’an yang bersifat umum, sebagai pembatas
terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak dan sebagai pemberi informasi terhadap suatu
kasus yang tidak di jumpai dalam Al-qur’an.

B.II.2. Macam – macam Al – Sunnah


a. Ucapan
Al Hadist Qauliyah adalah perkataan Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang seperti,
hukum, akhlak, dan lain-lain.
Contohnya : “Bahwasanya amal-amal perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang
itu memperoleh apa yang ia niatkan dan seterusnya” HR. Bukhari dan Muslim
b. Perbuatan
Al Hadist Fi’liyah adalah perbutan Nabi Muhammad SAW yang mrupakan penjelasan dari
peraturan syari’ah yang belum jelas pelaksanaannya. Cara bersembahyang dan cara
menghadap kiblat dalam sembahyang sunat.
c. Penetapan dan PembiaranArti Taqriri ialah menetapkan, mendiamkan, yakni tidak
mengadakan sanggahan atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau dikatakan oleh para
sahabat dihadapan Nabi Muhammad. Contoh Taqrir Nabi Muhammad SAW tentang
perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapannya dalam salah satu jamuan makan dirumah
Khalid Bin Walid yang menyajikan daging biawak. Nabi Muhammad menyaksikan dan tidak
menyanggahnya tetapi beliau enggan memakannya karena jijik.
d. Sifat, keadaan, dan Himmah Rasulullah
– Sifat dan Keadaan beliau yang termasuk unsur Al – Sunnah “Rasulullah SAW itu adalah
sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang
tinggi dan bukan pula orang pendek” HR. Bukhari dan Muslim
– Silsilah, Nama dan tahun Kelahiran Nabi Muhammad SAW telah ditetapkan oleh para
sahabat dan ahli tarikh
– Himmah (hasrat/cita-cita) beliau yang belum sempat direalisasikan. Misalnya hasrat beliau
untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura.

B.III. Hubungan antara Al-Quran dan Al-Sunnah


• Al-Sunnah menguatkan hukum yang ditetapkan Al-Quran.
Al-Sunnah memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-Quran, misalnya Al-Quran
menetapkan hukum puasa dalam firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183) Ayat al-quran
tersebut dikuatkan oleh As Sunnah yakni :
“ Islam didirikan atas 5 perkara : Persaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan
ramadhan dan naik haji ke Baitullah” HR Bukhari Muslim
• Al-Sunnah memberikan rincian terhadap pernyataaan Al-Quran yang bersifat Misalnya Al-
Quran menyatakan perintah shalat dalam firman-Nya :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat …” (QS. Al-Baqarah ayat 110).
Shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum. As-Sunnah merincinya secara operasional
misalnya shalat mana saja yang hukumnya wajib dan yang mana yang sunnat.
• Al-Sunnah memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al-Quran yang bersifat umum.
Misalnya Al-Quran mengharamkan memakan bangkai dan darah dalam firman-Nya :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas
nama selain Allah, yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan
binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena itu
sebagian kefasikan.” (QS. Al-Maidah ayat 3).
• Al-Sunnah menetapkan hukum yang tidak ditetapkan oleh Al-Quran.
Al-Quran yang bersifat global, banyak hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara pasti oleh
Al-Quran. Dalam hal iniAs-Sunnah berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh
Al-Quran, seperti sabda Nabi SAW :
“Rasulullah SAW melarang semua mempunyai taring dari binatang dan semua burung yang
bercakar. (HR. Muslim)

B.IV. Perbedaan Al-Qur’an dan Al-Sunnah


Sekalipun al-Qur’an dan al-Sunnah sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara
keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1. a. Al-Qur’an bersifat Qath’i ( mutlak ) kebenarannya.
b. Al-Sunnah bersifat Dzhanni ( relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. a. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup.
b. Tidak seluruh Hadits dapat dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadits Shahih,
ada pula Hadits yang Dhaif
3. a. Al-Qur’an sudah pasti autentik lafadz dan maknanya.
b. Al-Sunnah belum tentu autentik lafadz dan maknanya.
4. a. Apabila al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim wajib mengimaninya.
b. Apabila al-Sunnah berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka :
a. Penerimaan seorang muslim terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan
yang kuat, sedangkan;
b. Penerimaan seorang muslim terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan (
dugaan-dugaan ) yang kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah
Hadits itu benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah kodifikasi
hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana jaminan keyakinan
terhadap al-Qur’an.

C. Ijtihad
Secara etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata dasar jahada yang berarti seseorang telah
mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu. Sedangkan menurut
istilah dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-
sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.
Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya. Artinya
mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak
sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:
• Memahami al-Qur’an dan asbab an-nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.
• Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh dan mansukh
• Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab
• Mengetahui tempat-tempat ijtihad
• Mengetahui ushul fiqih
• Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa.
Macam-macam Mujtahid :
a. Mujtahid Mustaqil
b. Mujtahid Muntasib
c. Mujtahid Madzhab
d. Mujtahid Murajjih
Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk
secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuuk objek
ijtihad. Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara final
oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori perubahan dan pergantian alias
penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad perlu dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan
kebaikan dan kebenaran, mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika
masyarakat. Tradisi ijtihad terus berkembang, dan mengalami masa keemasannya pada abad
ke-2 sampai abad ke-4 H. Yang paling banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah
nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab seperti
imam hanafi, imam syafi’i, imam hambali dan lain-lain.
Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menjelaskan
bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan Islam I,
700 – 1000M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat
dan tabi’in (generasi sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam,
berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi
dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk
mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-
Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum
mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam.
Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka
ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi, tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan
perbedaan pendapat yang tajam.
Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa
hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab
berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar
selain keempat imam yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang
pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang
mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Relativitas
ijitihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu
terbuka, termasuk membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad
lama. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut
oleh peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi
serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh
berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal kepada Allah, seperti sholat. Sebab
ibadah formal merupakan hak Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan
macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh
Rasulullah.

BAB III.
PENUTUP

A.Kesimpulan
Setelah kita menjabarkan mulai dari pengertian dari agama sampai dengan sumber-sumber
hukum agama Islam maka dapatlah kita simpulkan bahwa agama Islam yang merupakan
nama “Islam” itu sendiri ialah Allah lah yang membuat nama agama tersebut sesuai dengan
firmannya yang terdapat dalam Surah Ali Imron : 19 dan Allah hanya meridhoi agama Islam.
Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum Islam dapat kita simpulkan bahwa segala
sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu berlandaskan Al-
qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril dan membacanya di nilai sebagai Ibadah,
dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk
memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya.

B.Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita mengamalkan dan menjadikan Al-qur’an dan Al-
sunnah sebagai pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari yang merupakan sumber dari
hukum agama Islam dan sekaligus dapat membuat kita bahagia baik itu di dunia maupun
diakhirat nanti.

DAFTAR PUSTAKA

Prof Ali, Mohammad Daud, SH : Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.

Miftah Faridl, As-Sunnah Sumber Hukum Islam, Bandung: Pustaka, 2001

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002

Anda mungkin juga menyukai