KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Islam
B. Sumber – sumber ajaran Agama Islam
B.I. Al – Qur’an
B.I.1. Ciri-ciri dan Kelebihan Al-Qur’an
B.I.2. Fungsi Al-Qur’an
B.I.3. Isi Kandungan Al-Qur’an
B.II. Al – Sunnah
B.II.1. Fungsi Al – Sunnah
B.II.2. Macam – macam Al – Sunnah
B.III. Hubungan antara Al – Qur’an dan Al – Sunnah
B.IV. Perbedaan antara Al – Qur’an dan Al – Sunnah
C. Ijtihad
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam makalah kami yang berjudul “Sumber – sumber Ajaran Agama Islam” ini akan
menguraikan mengenai pengertian Agama Islam, sumber hukum Islam dan ajarannya, serta
cara untuk memahaminya.
Dalam upaya memahami ajaran Islam, berbagai aspek yang berkenaan dengan Islam perlu
dikaji secara seksama, sehingga dapat menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif.
Hal ini penting dilakukan, karena kualitas pemahaman ke Islaman seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, sikap, dan tindakan ke Islaman yang bersangkutan. Untuk itu
uraian di bawah ini diarahkan untuk mendapatkan pemahaman tentang Islam.
Selain itu dalam makalah kali ini yang berjudul “SUMBER – SUMBER AJARAN AGAMA
ISLAM” akan di paparkan mengenai pengertian agama Islam itu sendiri dan juga sumber-
sumber hukum Islam, dan ini tentunya hanya mengulang untuk mengingatkan kembali
pelajaran yang telah lewat karena makalah yang akan kami bahas kali ini sudah sering kita
pelajari dan hanya untuk mengingatkan kembali.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja sumber – sumber ajaran Agama Islam?
2. Apa ciri – ciri dan kelebihan dari Al – Qur’an?
3. Apa fungsi Al – Qur’an?
4. Apa saja isi kandungan yang terdalam Al – Qur’an?
5. Apa fungsi Al – Sunnah?
6. Apa saja bagian – bagian dari Al – Sunnah?
7. Apa hubungan Al – Qur’an dan Al – Sunnah?
8. Apa yang membedakan antara Al – Qur’an dengan Al – Sunnah?
9. Apa itu ijhihad?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
2. Sebagai penambah pengetahuan dan wawasan akan sumber – sumber ajaran Agama Islam.
BAB II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Agama Islam
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama Islam, yaitu sisi
kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi
bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian.
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan bahwa Islam berasal dari bahasa
Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata
aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat sentosa dan berarti pula
menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata aslama itulah yang menjadi kata Islam yang
mengandung arti segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya. Oleh sebab itu, orang
yang berserah diri, patuh, dan taat disebut sebagai orang Muslim. Orang yang demikian
berarti telah menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri, dan patuh kepada Allah Swt. Orang
tersebut selanjutnya akan dijamin keselamatannya di dunia dan akhirat.
Dari pengertian kebahasaan ini, kata Islam dekat dengan arti kata agama yang berarti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian Islam demikian
itu, menurut Maulana Muhammad Ali dapat dihami dari firman Allah yang terdapat pada ayat
202 surat AI-Baqarah yang artinya, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan,
sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. [2]
Dari uraian di atas, kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan herserah diri kepada Tuhan dalam upaya mencari
keselamatan dan keba¬liagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Hal demikian
dilakukan atas kcsadaran dan kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura,
melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang sejak clalam
kandungan sudah menyatakan patuh dan tunduk kepada Tuhan.
B.II. Al – Sunnah
Kata Sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab ( سنةsunnah). Secara bahasa, kata السنة
(al-sunnah) berarti perjalanan hidup yang baik atau yang buruk. Pengertian di atas didasarkan
kepada Hadîts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim sebagai berikut:
Artinya: “Barang siapa membuat sunnah yang baik maka dia akan memperoleh pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.
Barang siapa membuat sunnah yang buruk maka dia akan memperoleh dosanya dan dosa
orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”
Al Sunnah menurut jumhur ahli hadits adalah sama dengan hadits yaitu: “Apa-apa yang
diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baik berbentuk ucapan, perbuatan,
ketetapan, dan sifat baik khalqiyah (bentuk) atau khuluqiyah (akhlak).
Dilihat dari hierarki sumber hukum Islam, Al-Sunnah menempati tempat kedua setelah Al-
Qur’an. Penempatan ini disebabkan karena perbedaan sifat di antara keduanya. Dilihat dari
segi kualitas periwayatannya al-Qur’an bersifat relative. Al-Syatibi menyatakan bahwa Al-
Sunnah sebagai penjelas dan penjabar Al-Qur’an.
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka Al-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah,
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi Al-Sunnah
dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits :
“Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat)
adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah”
(Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku
perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah
hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an.
Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an
dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi :
“Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34,
yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian
tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang
pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk
melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab
dengan hadits tersebut.
C. Ijtihad
Secara etimologi, kata ijtihad terbentuk dari kata dasar jahada yang berarti seseorang telah
mencurahkan segala kemampuannya untuk memperoleh hakikat sesuatu. Sedangkan menurut
istilah dalam ilmu fiqih, ijtihad berarti mengarahkan tenaga dan fikiran dengan sungguh-
sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistimbatkan) hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu.
Ijtihad mengandung pengertian bahwa mujtahid mengerahkan kemampuannya. Artinya
mencurahkan kemampuan seoptimal mungkin sehingga ia merasakan bahwa dirinya tidak
sanggup lagi melebihi dari tingkat itu.
Adapun syarat-syarat menjadi mujtahid adalah:
• Memahami al-Qur’an dan asbab an-nuzulnya serta ayat-ayat nasikh dan mansukh.
• Memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya serta memahami hadits nasikh dan mansukh
• Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab
• Mengetahui tempat-tempat ijtihad
• Mengetahui ushul fiqih
• Memahami masyarakat dan adat istiadat dan bersifat adil dan taqwa.
Macam-macam Mujtahid :
a. Mujtahid Mustaqil
b. Mujtahid Muntasib
c. Mujtahid Madzhab
d. Mujtahid Murajjih
Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan yang hukumnya telah ditunjuk
secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuuk objek
ijtihad. Reaktualisasi hukum atas sesuatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara final
oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah termasuk kategori perubahan dan pergantian alias
penyelewengan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ijtihad perlu dilakukan oleh umat Islam dalam perjuangannya untuk mencapai suatu tujuan
kebaikan dan kebenaran, mengingat pentingnya ijtihad sebagai sarana mengelola dinamika
masyarakat. Tradisi ijtihad terus berkembang, dan mengalami masa keemasannya pada abad
ke-2 sampai abad ke-4 H. Yang paling banyak dilakukan pada masa tersebut muncullah
nama-nama mujtahid besar, yang kemudian dikenal dengan iman-imam madzhab seperti
imam hanafi, imam syafi’i, imam hambali dan lain-lain.
Harun Nasution dalam bukunya “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” menjelaskan
bahwa periode ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan Islam I,
700 – 1000M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad dan fatwa sahabat
dan tabi’in (generasi sesudah sahabat). Sesuai dengan bertambah luasnya daerah Islam,
berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi
dan sistem kemasyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam pula. Untuk
mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka didasarkan atas Al-
Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli-ahli hukum
mujtahid yang disebut imam atau faqih (fuqaha) dalam Islam.
Aktifitas ijtihad di satu pihak mengembangkan ilmu pengetahuan yang luas dan membuka
ruang bagi dinamika masyarakat yang sepi, tetapi dipihak lain ijtihad itu menimbulkan
perbedaan pendapat yang tajam.
Maka sesudah abad ke-4 H munculah wacana untuk menutup ijtihad dengan anggapan bahwa
hasil-hasil kajian ilmu yang dilakukan sampai masa itu sudah cukup untuk menjawab
berbagai masalah yang timbul kemudian. Apalagi pada masa itu tidak ada lagi mujahid besar
selain keempat imam yang mampu menjadi lokomotif untuk menggerakkan gerbang
pembawa gerakan ijtihad. Ada ulama terkemuka yaitu Ibnu Taimiyah (611-728 H) yang
mendobrak kebekuan dengan suaranya yang keras untuk membuka kembali pintu ijtihad.
Ijtihad dipandang sebagai aktivitas penelitian ilmiah karena itu bersifat relative. Relativitas
ijitihad ini menjadikannya sebagai sumber nilai yang bersifat dinamis. Pintu ijtihad selalu
terbuka, termasuk membuka kembali hukum-hukum fikih yang merupakan produk ijtihad
lama. Dr. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa terdapat dua agenda besar ijtihad yang dituntut
oleh peradaban modern dewasa ini, yakni ijtihad di bidang hubungan keuangan dan ekonomi
serta bidang ilmu pengetahuan. Satu hal yang disepakati para ulama bahwa ijtihad tidak boleh
berlaku bagi perumusan hukum aktifitas ibadah formal kepada Allah, seperti sholat. Sebab
ibadah formal merupakan hak Allah. Allah sendiri yang memiliki hak untuk menentukan
macam dan cara ibadah kepada-Nya. Tata ibadah formal telah dicontohkan secara final oleh
Rasulullah.
BAB III.
PENUTUP
A.Kesimpulan
Setelah kita menjabarkan mulai dari pengertian dari agama sampai dengan sumber-sumber
hukum agama Islam maka dapatlah kita simpulkan bahwa agama Islam yang merupakan
nama “Islam” itu sendiri ialah Allah lah yang membuat nama agama tersebut sesuai dengan
firmannya yang terdapat dalam Surah Ali Imron : 19 dan Allah hanya meridhoi agama Islam.
Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum Islam dapat kita simpulkan bahwa segala
sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu berlandaskan Al-
qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril dan membacanya di nilai sebagai Ibadah,
dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk
memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya.
B.Saran
Saran dari penulis adalah marilah kita mengamalkan dan menjadikan Al-qur’an dan Al-
sunnah sebagai pedoman dalam kehidupan kita sehari-hari yang merupakan sumber dari
hukum agama Islam dan sekaligus dapat membuat kita bahagia baik itu di dunia maupun
diakhirat nanti.
DAFTAR PUSTAKA
Prof Ali, Mohammad Daud, SH : Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2005.
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2002