Anda di halaman 1dari 7

Penyandang cacat

A. Penyandang cacat
Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 19
mengatakan, bahwa "Bantuan sosial diarahkan untuk membantu penyandang cacat agar dapat
berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya." Kemudian Peraturan Pemerintah RI
Nomor 43 Tahun 1998 pada Pasal 59 menyebutkan, bahwa "Pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial diarahkan kepada penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat
direhabilitasi dan kehidupannya secara mutlak tergantung pada bantuan orang
lain." Berdasarkan hal tersebut, Departemen Sosial RI, sejak tahun 2006 telah melaksanakan
uji coba program tersebut.

Pada tahun 2006, lokasi uji coba berada di 5 Provinsi, yaitu Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan jumlah
penyandang cacat berat yang dibantu adalah sebanyak 2.750 orang. Kemudian pada tahun
2007, dilakukan pengembangan lokasi uji coba di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan
Bali dengan jumlah penyandang cacat berat 3.250 orang, dan pada tahun 2008 ini lokasi uji
coba telah dikembangkan ke beberapa provinsi lainnya, yaitu : Sumatera Utara, Jambi, Jawa
Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan jumlah
penerima bantuan adalah sebanyak 4.000 orang, sehingga jumlah keseluruhan penyandang
cacat berat yang mendapat bantuan adalah sebanyak 10.000 orang.
Program Bantuan Dana Jaminan Sosial Bagi Penyandang Cacat Berat merupakan
salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah melalui Departemen Sosial RI yang bertujuan
untuk membantu penyandang cacat berat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, sehingga
diharapkan taraf kesejahteraan hidupnya dapat terpenuhi secara wajar. Kriteria penyandang
cacat berat dalam program ini adalah:

1. Penyandang cacat yang derajat kecacatannya tidak dapat direhabilitasi, baik secara medis
maupun sosial

2. Aktivitas kehidupan sehari-harinya sangat tergantung kepada bantuan orang lain, seperti
bangun tidur, mandi, makan, minum dan sebagainya.

3. Tidak mampu menghidupi dirinya sendiri


4. Diutamakan berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi

5. Terdaftar sebagai penduduk setempat.

Disamping itu tujuan lain dari program ini adalah :


a. Terdatanya populasi penyandang cacat di daerah tersebut termasuk didalamnya penyandang
cacat berat.
b. Menumbuhkan kepedulian masyarakat sekitar, tokoh masyarakat dan pemerintah daerah
setempat untuk peduli terhadap kehidupan penyandang cacat.
c. Memberikan penguatan kapasitas masyarakat sekitar, tokoh masyarakat dan pemerintah
daerah tentang permasalahan kecacatan dan penyandang cacat serta upaya-upaya untuk
melibatkan penyandang cacat dalam proses kehidupan di lingkungannya.
Mekanisme penyaluran program ini bekerjasama dengan PT Pos Indonesia (persero).
Petugas dari PT Pos mengantarkan bantuan langsung ke alamat keluarga penyandang cacat
berat berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Depsos.
Pelayanan bagi penyandang cacat menurut Direktur PACA Dra. Justina Dwi Noviantari “
telah berfokus pada rehabilitasi dan pemberdayaan penyandang cacat yang telah kita
terapkan, agar mereka dapat diterima dilingkungan kerja, saat ini Kementerian Sosial melalui
Unit pelaksana teknis telah menjalin kerjasama dengan beberapa perusahaan untuk
meberdayakan penyandang cacat dalam bekerja agar mereka juga mendapatkan hak yang
sama dan tentunya selama masa pembinaan kita tetap melakukan kontroling kepada mereka
yang bekerja, karena mereka juga masih mebutuhkan pendamping “.
Sementara untuk penyandang cacat berat, lanjut Noviantari Pemerintah telah mengucurkan
dana kesejahteraan bagi penyandang cacat berat melalui program JSPACA sebesar 300
ribu/bulan/orangnya.
Kementerian Sosial melalui Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial terus berupaya
untuk mensosialisasikan program mengenai Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Cacat, yaitu Aksesbilitas Fisik, Pendidikan Inklusi serta mengenai ketenaga Kerjaan buat
Penyandang Cacat sebagai wujud kepedulian pemerintah dalam memberikan kesetaraan yang
sama tanpa memandang fisik sebagai kesamaan hak Azasi Manusia.
Kemeterian Sosial sebagai instansi pemerintah telah memberikan kontribusi kepada para
penyandang cacat walupun belum sepenuhnya berjalan dengan baik, namun dengan adanya
dukungan tersebut dapat mampu memberikan angin segar untuk mendukung program-
program pemerintah dalam memberikan kesetaraan kepada para penyandang cacat seperti hak
mendapatkan pekerjaan tanpa adanya diskriminasi, sehingga kemampuan seorang
penyandang cacat dapat disalurkan sesuai dengan kebutuhan kerja yang dibutuhkan, untuk itu
kita harus mempersiapkan aksebilitas untuk para penyandang cacat karena setiap manusia
memiliki hak yang sama dalam kesetaraan hidup “.Memberdayakan penyandang cacat
disegala sektor itulah harapan mereka dalam kegiatan sosialisasi Konvensi Internasional Hak-
hak penca, karena cacat bukanlah halangan untuk menghambat keterbatasan mereka namun
dengan kecacatan itu mereka ingin mandiri dan berguna untuk masyarakat, bangsa dan
negara.
Berbicara tentang hak atas jaminan kesehatan bagi penyandang disabilitas tentu tidak terlepas
dari beberapa hal yaitu kebutuhan khusus penyandang disabilitas atas kesehatan yang seperti
tertuang dalam Konvensi Hak Penyandang disabilitas tahun 2005 Pasal 25. Dimana Konvensi
tersebut sudah ditandatangani Indonesia dengan delegasi Menteri Sosial RI tanggal 30 Maret
2006.
Adapun kebutuhan khusus atas jaminan kesehatan bagi difabel secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua(2), yaitu :

1. Jaminan atas pembiayaan kesehatan yang affordable atau terjangkau, yaitu bahwa
setiap biaya pemberian layanan kesehatan harus dapat dijangkau oleh difabel baik
dengan biaya sendiri dan atau dibiayai oleh pemerintah. Termasuk didalamnya
pembiayaan yang meliputi formularium (obat) dan tindakan yang diperlukan secara
khusus karena kecacatannya, dimana hal tersebut sering menjadi point hal-hal yang
tidak tertanggung dalam pembiayaan kesehatan oleh pemerintah. Sebagai contoh
adalah vitamin A dosis tinggi, alat bantu seperti korset/ hearing aid dan terapi secara
rutin kepada paraplegia atau anak CP (Celebral Palsy) akan tetapi menjadi kewajiban
bagi pemerintah untuk memfasilitasinya karena merupakan kebutuhan khusus difabel
karena kecacatannya.
2. Jaminan atas pelayanan kesehatan yang aksesibel, dimana pelayanan kesehatan harus
dapat diakses dengan mudah oleh difabel. Kemudahan tersebut dapat diartikan secara
fisik bangunan gedung dengan sarana prasarananya , keterjangkauan dan service atau
pelayanan dari petugas medic (pemberi layanan kesehatan baik petugas penerima,
perawat, dokter dan petugas lain yang ada dalam ruang lingkup pemberi layanan
kesehatan). Sebagai contoh secara fisik adalah adanya fasilitas jalan
masuk, petunjuk/ informasi , loket, ruang tunggu, toilet yang dapat dipergunakan oleh
difabel (dari beragam kecacatan) dengan mudah. Contoh yang lain adalah petugas
medic yang mampu mendampingi dan berkomunikasi dengan difabel serta
mengetahui kebutuhan khusus difabel karena kecacatannya.

Konvensi tersebut memberikan amanat bahwa pemerintah dalam hal ini pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah menjalankan kewajibannya memberikan hak difabel/
penyandang disabilitas atas kesehatan sebagai suatu bentuk special measure (tindakan
khusus) untuk memenuhi kebutuhan khususnya seperti tertuang dalam Konvensi Hak
penyandang disabilitas tahun 2007 pasal 25.

http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=697
http://www.sapdajogja.org/kegiatan-sapda/97-jaminan-kesehatan-bagi-penyandang-
disabilitas.html
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4b8cf8abc7dc4/kesempatan-kerja-bagi-
penyandang-cacat

Evaluasi Program Pemberian Bantuan Dana Jaminan Sosial bagi Penyandang Cacat
Berat

UU NO.4 th 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 8,16,21,22 ayat 1 dan ayat 2 pada
intinya,mengatur pelaksanaan pemeliharaan kesejahteraan sosial bagi para penyandang cacat
berat yang sudah tidak bisa direhabilitasi dan hidupnya tergantung orang lain oleh pemerintah
atau swasta. Sistem Jaminan Sosial bagi paca berat merupakan salah satu wujud upaya tsb
diatas.Maka Pemerintah meluncurkan program pemberian bantuan dana jaminan sosial bagi
penyandang cacat th 2006 di Prop Jateng ,Jabar,DIY Sumatera Selatan dan Sumatera
Barat).Pemberian bantuan setiap bulan Rp.300.000; Evaluasi program dilaksanakan
berdasarkan laporan supervisi dan laporan pelaksanaan program dari masing-masing propinsi
dan hasilnya masih ditemukan beberapa kendala oleh sebab itu sbg upaya penyempurnaan
program dilakukan penelitian evaluatif terhadap program pemberian bantuan dana jaminan
sosial bagi penyandang cacat berat. Metode menggunakan model evaluatif program.
Lokasi dipilih 4 propinsi yaitu : Bali, DIY, Kalimantan Selatan dan Sumbar. Pengumpulan
data menggunakan wawancara, FGD, Observasidan dokumentasi. Analisis data secara
kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pelaksanaan
Panduan Program Pemberian Bantuan Dana Jaminan Sosial Bagi Penyendang Cacat Berat
antara lain : Masih kurangnya pemahaman Pedoman di tingkat Pelaksana.
Tujuan pemberian bantuan lebih banyak untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga paca
berat. Hal ini berkaitan dengan adanya penerimaan bantuan yang sekaligus 6-8 bulan
kurangnya sosialisasi ditingkat kabupaten/kota,kecamatan dan kelurahan sehingga perlu
disusun buku pentunjuk pelaksanaan tekhnis ditiap propinsi sesuai dengan kondisi masing-
masing daerah.
Disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi.
Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan
adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan, sedangkan
pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam
situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi
antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.
Jaminan Sosial
Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem Jaminan sosial yang diberlakukan di
Indonesia adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan
berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
Profil Lembaga
Perundang – undangan sosial menurut T.H. Marshall adalah kebijakan pemerintah dalam kaitan
dengan tindakan yang langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan warga Negara melalui
penyediaan pelayanaan atau penghasilan. Perundang-undangan sosial juga merupakan peraturan
yang harus dijalankan oleh pemerintah untuk dapat melayani dan mensejahterakan masyarakat agar
tercapai segala keberfungsian sosialnya.
Perundang Undangan Sosial
Disabilitas Tuna Netra
Tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989:p.971)
dan menurut literatur berbahasa Inggris visually handicapped atau visual impaired. Pada umumnya
orang mengira bahwa tunanetra identik dengan buta, padahal tidaklah demikian karena tunanetra
dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori.

Persatuan Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut:


Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga
mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya
untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu
dengan kaca mata (kurang awas). Ini berarti bahwa seorang tunanetra mungkin tidak mempunyai
penglihatan sama sekali meskipun hanya untuk membedakan antara terang dan gelap. Orang
dengan kondisi penglihatan seperti ini kita katakan sebagai ”buta total”.
Klasifikasi Tuna Netra
Klasifikasi anak tunanetra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :
1. Tunanetra ringan (defective vision/low vision); yakni mereka yang memiliki hambatan dalam
penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti program-program pendidikan dan mampu
melakukan pekerjaan/kegiatan yang menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tunanetra setengah berat (partially sighted); yakni mereka yang kehilangan sebagian daya
penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu mengikuti pendidikan biasa atau
mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Tunanetra berat (totally blind); yakni mereka yang sama sekali tidak dapat melihat.

Kirk (1962:p.214) mengutip klasifikasi ketunanetraan, yaitu :


1. Anak yang buta total atau masih memiliki persepsi cahaya sampai dengan 2/2000, ia tidak dapat
melihat gerak tangan pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
2. Anak yang buta dengan ketajaman penglihatan sampai dengan 5/200, ia tidak dapat menghitung
jari pada jarak 3 kaki di depan wajahnya.
3. Anak yang masih dapat diharapkan untuk berjalan sendiri, yaitu yang memiliki ketajaman
penglihatan sampai dengan 10/200, ia tidak dapat membaca huruf-huruf besar seperti judul berita
pada koran.
4. Anak yang mampu membaca huruf-huruf besar pada koran, yaitu yang memiliki ketajaman
penglihatan sampai dengan 20/200, akan tetapi ia tidak dapat diharapkan untuk membaca huruf 14
point atau tipe yang lebih kecil.
5. Anak yang memiliki penglihatan pada batas ketajaman penglihatan 20/200 atau lebih, akan tetapi
ia tidak memiliki penglihatan cukup untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan
penglihatan dan anak ini tidak dapat membaca huruf 10 point.

Dasar Hukum
1. UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, pasal 34.
2. Deklarasi HAM PBB atau Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan konvensi ILO
No.102 tahun 1952.
3. TAP MPR RI no X/MPR/2001 yang menugaskan kepada presiden RI untuk membentuk Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
4. UU No.40 tahun 2004 tentang SJSN.

PANTI SOSIAL BINA NETRA


"WYATA GUNA"
Alamat : Jalan Pajajaran No. 52 Telp.(022) 4205214 Bandung

Tujuan Lembaga :

Panti sosial bina netra “Wyata Guna” adalah lembaga yang menangani masalah tunanetra
Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara kami terhadap pihak wyataguna (Bu Wagiyem) menjelaskan bahwa anak-anak
yang berada di dalam wyataguna tersebut merupakan anak-anak yang di rekuitmen dengan syarat
tertentu. Seperti anak disabilitas yang belum pernah mengenyam pendidikan atau bahkan putus
sekolah, kemudian anak-anak tersebut di serahkan oleh orang tuanya. Jadi di wyata guna yang
mendapatkan jaminan sosial berupa penerima manfaat yag di sebut klien / siswa yang tuna netra
tidak boleh yang normal. Jaminan sosial yang telah diberikan oleh pemerintah terhadap anak-anak
disabilitas yang berada di wyataguna berupa pendidikan, makan 3x sehari, kesehatan, pelaratan
sekolah dan pribadi kecuali uang saku dan pakaian biasa. Jaminan kesehatan yang telah di berikan
oleh lembaga Wyata guna terhadap anak disabilitas yaitu dengan di sediakan klinik untuk anak-anak
yang menderita sakit ringan dengan adanya dokter gigi, mata dan umum. Jika ada anak yang
mengalami samit berat maka anak tersebut di berikan rujukan ke Rumah sakit milik pemerintah
dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu yang telah di berikan oleh pemerintah.
Jaminan sosial yang ada di lembaga wyata guna bermula dari rekruitmen orang-orang atau penerima
manfaat dari orang yang tidak mampu. Kebanyakan dari mereka merupakan orang-orang yang tidak
memiliki biaya atau lemah secara financial, lalu mereka yang tidak pernah mengeyam pendidikan
atau putus sekolah, dengan kata lain yaitu tidak memiliki cukup akses untuk mendapatkan unsure
pendidikan formal karena keterbatasan yang dimiliki. Namun penerima manfaat tersebut yang
hendak menjadi siswa atau klien harus memiliki kriteria khusus yang menjadi syarat bagi
mendapatkan bimbingan.

Calon penerima manfaat dipersilahkan untuk datang sendiri atau direkomendasi oleh pihak keluarga
atau kerabat. Selain itu pihak dari lembaga sering melakukan perjalanan ke berbagai daerah dengan
tujuan untuk memberikan pelayanan disabilitas yang masih sulit didapatkan, khususnya di daerah-
daerah yang cukup terpencil.

Jaminan sosial yang diberikan di lembaga wyata wiguna berupa bimbingan rehabilitasi berkelanjutan
yang dibebaskan dari berbagai biaya apapun karena ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini
Kementrian Sosial. Pendidikan yang diberikan berupa pendidikan formal dan non-formal seperti
keterampilan, pemberian keahlian profesi dll. Selain itu penerima manfaat atau klien sudah
disediakan mess atau asrama berikut keperluan pribadinya sehari-hari, pemeriksaan kesehatan,
pemberian makanan atau pemenuhan gizi setiap hari dan fasilitas pendukung lainnya.

Anda mungkin juga menyukai